Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 6 - Memburu Harta Karun

Tabitha besembunyi dekat pohon dengan napas tertahan. Didepannya ada kuil yang telah menjadi reruntuhan. Pilar-pilar yang dulu memancarkan keagungan telah ambruk dan pagarnya telah habis dimakan karat. kaca-kaca yang dihiasi indah telah menjadi berkeping-keping, dan alang-alang memenuhi taman. Ia merupakan kuil desa perintis yang telah ditinggalkan di masa lalu. Ia benar-benar snyi; tiada manusia di dekatnya. Namun, dengan sinar matahari, ada semacam suasana suci di tempat itu. Tempat ini mungkin akan menjadi kesukaan para musafir untuk santap siang dan sebagainya.

Sebuah ledakan keras tiba-tiba memecahkan suasana tenang. Kirche telah siap di pohon dekat gerbang pos api. Tabitha, dalam bayang-bayang pohon, menggenggam tongkatnya. Alasan mengapa desa perintis ditinggalkan datang menyerbu keluar, Itu Orc. Tingginya 2 m dan beratnya 5x rata-rata manusia. Tubuh gemuk jeleknya ditutupi kulit yang dikupas dari binatang. Dengan hidung besar di wajah, mereka terlihat bagai babi. Bahkan, kau bisa mengatakan mereka babi berkaki dua. Ada sekitar 10-an Orc. Orc menyukai anak manusia, dan karena diserang segerombolan makhluk dengan selera mengerikan, penduduk desa meninggalkan desa. Penduduk sudah menceritakan ini pada pemimpin daerah itu, tapi pemimpin itu tak suka mengirim tentaranya kedalam hutan, jadi permintaan mereka ditolak. Desa ini hanya sekian dari banyak desa di Halkegenia yang mengalami kejadian serupa.

Para Orc berbicara satu sama lain dengan suara mirip babi, sambil menunjuk api yang membara di sekitar gerbang penjaga. Mereka lalu berteriak marah kepada setiap dari mereka. “Fugii! Pigii! Agii! Nguiiii!”

Melihat mereka mengayunkan pemukul di tangan, dapat dimengerti para orc tengah marah. Ada api, yang berarti ada manusia di sekitar. Mereka adalah musuh, dan api itu adalah umpannya. Melihat ini, Tabitha menimbang mana mantra yang bakal digunakannya. Ada lebih banyak musuh dari yang dia duga. Dia tak bisa terus-terusan menembakkan mantra. Jika mereka tak menjalankan semuanya dengan mulus, mereka bisa dengan mudah kehilangan kelebihan dari serangan kejut mereka. Sesaat kemudian, udara disekitar para orc bersinar dan 7 patung perunggu muncul darinya. Mereka golem Guiche. Tabitha mengernyitkan alisnya. Itu bukanlah apa yang telah mereka putuskan. Guiche pasti jadi tak sabar.

7 valkyrie Guiche menyerbu pemimpin orc. Mereka menusukkan tombak pendek mereka padanya. Ujung tombok menembus kedalam perut orc yang mengakibatkannya terjatuh KO di tanah. Namun, lukanya dangkal. Kulit tebal dan lemaknya kemungkinan menjadi tamengnya, melindungi organ dalamnya dari kerusakan. Ia dengan cepat bangkit. dan mengayunkan pemukulnya, tak dihiraukannya luka kecilnya. orc lainnya menyerbu dengan pemukul mereka, mengayukannya pada para patung perunggu. Pemukul yang diayunkan para orc seukuran manusia. Satu pukulan pada golem yang anggun tersebut, dan mereka akan dikirimkan terbang dan hancur di tanah.

Tabitha mulai membaca mantra sambil mengayunkan tongkatnya. Air, angin, angin. Satu air dan dua angin. Kedua elemen bergabung dan mantranya sempurna. Uap di udara membeku dan menjadi pasak-pasak. Mereka menghujam orc yang terluka dari segala arah. Ia merupakan salah satu serangan terkuat Tabitha, "Pasak Angin'. Orc yang terluka segera jatuh ketanah. Kirche, yang menonton dari atas pohon yang agak berjarak dari titik persembunyian Tabitha, mengayunkan tongkatnya. Api, api. Dua api. Sebuah bola api, lebih besar dari mantra bola api biasa, menyerang para orc. Ia merupakan mantra 'Bola nyala'. Dengan gerakan nan lincah yang sepertinya mustahil untuk ukuran mereka, mereka mencoba menghindari bola-bola api. Namun, bagaikan terikat pada benang, bola api tersebut mencari. Ia masuk mulut orc yang melenguh, dan kepalanya meledak terbakar. Namun, itu adalah akhir dari mantra yang mangkus. Mereka tak bisa terus menggunakan mantra yang kuat.

Para orc ketakutan, namun mereka menyadari mereka diserang sejumlah kecil penyihir. Setelah menyadari ini, mereka teringat pertempuran panjang yang dulu mereka alami dengan manusia. Jika mereka kalah, mereka akan kalah dalam sekejap. Namun, hingga kini, hanya dua dari mereka yang tebunuh. Yang berarti, serangan para manusia telah gagal. Kemarahan mengalahkan ketakutan mereka. Hidung tajam mereka bergerak-geral, mencoba mencari para manusia. Seekor manusia yang berbau lezat dapat tercium dari luaran taman kuil. Para orc langsung berlari. Tiba-tiba, seseorang dengan pedang di punggungnya muncul. disebelahnya ada salamnder api. Tanpa keraguan, para orc terus maju. Salamander akan menjadi lawan yang berat, tapi hanya dengan dua, itu takkan jadi masalah. Ksatria manusia bahkan tak perlu diperhatikan. Pernah ada yang berkata, bahwa satu orc dapat mengimbangi 5 ksatria manusia. Dan itu untuk ksatria yang ahli. Seorang anak bau kencur seperti ini akan segera hilang dengan satu ayunan pemukul.

Saito berbisik pada salamander disebelahnya. "Aku akan menyerang mereka dari kanan. Hentikan para monster sehingga tak bisa mendekati Kirche."

Api menyembul dari ujung mulut kadal ganas tersebut, dan ia mengangguk dengan"kyuru kyuru". Para babi besar membentuk kelompok untuk menyerang. Mereka mencoba mengancam mereka. Tangan Saito gemetar. Maaf untuk begitu bagus dalam berpakaian. Apaan sih itu. Menakutkan. Para orc memakai sebuah kalung. Setelah dilihat lebih dekat, dapat terlihat ia kalung dari tali jerami dan trengkorak manusia. Aturan duniaku benar-benar tak berlaku di dunia ini. Bau mengerikan si buas ini dapat tercium. Dengan tangan kiri yang gemetar, digenggamnya Derflinger. Tanda di punggung tanannya bersinar. Kemarahan dan energi yang meluap dalam dirinya membuat badannya panas. Dia mulai menggerakkan jari telunjuknya dalam irama sambil menggenggam pedang, membuatnya tetap tenang. Dia memperhitungkan saatnya meloncat.

Tap, tap, tap...irama dari denyutnya. Saito membuka mata, dan memandangi orc-orc yang menyerbunya. Seekor orc mengayunkan pemukul padanya. Ia kena...seharusnya begitu, Tapi pemukul itu hanya mengenai tanah. Ia mencoba mengangkat kepala untuk melihat sekitarnya, tapi pandangannya tergeser dan jatuh. Lehernya tak mau bergerak. Tangannya gelagapan mencari-cari kepalanya hanya untuk mendapati ia tiada. Saitosudah meloncat lebih cepat dari ayunan orc, dan telah memutuskan kepalanya. Bagaimana itu! Orc yang kena berguling di tanah. Saito menyerbu orc yang dekat. Dalam sekejap, dia menumbangkan orc yang tertegtun itu, dengan kekuatan pedangnya, dia menghabisinya. Di kiri, kadal gamas tengah bertarung dengan seekor orc, menyebarkan api kemana-mana. Nyalanya mengalahkan orc dan mengirimkan hembusan inferno ke kepalanya.

Kehilangan tiga rekan, mereka mengepung saito dengan penuh perhitungan. Dengan pedang yang siap, Saito menatap para orc dengan tatapan dingin. Tatapan yang bagaikan naga. insting mereka berkata dia berbahaya, Ia berkata mereka tak bisa menang. para orc saling memandangi satu sama lain. Tapi, ia manusia. Mereka tak mungkin kalah. Pasti ada kesalahan tadi. Mengabaikan insting, pengalaman dan akal sehat mereka, mereka berteriak dan menyerbu dalam serangan habis-habisan. Dan...ya, mereka kehilangan nyawa mereka. Dengan bantuan sihir, Saito dan Flame menghabisi mereka dalam dua menit.

Naga Tabitha mendarat di tanah. Jika naga angin terluka, itu berarti mereka harus berjalan pulang, jadi mereka memutuskan untuk tak mengikutsertakannya dalam pertempuran. Kirche yang datang dari atas pohon menggoyang-goyangkan Guiche.

"Ow! Apa yang kau lakukan?"

"Salahmu sehingga kita berantakan begini!"

Rencananya adalah mengumpan mereka kedalam lubang yang digali Verdandi dan menyalakan minyak yang telah dipersiapkan dalam lubang, Semua orc akan terbakar hingga mati.

"Memangnya mereka akan jatuh ke lubang seperti itu. Yang pertama bergerak yang menang. Aku hanya mempraktekkan itu." keluh Guiche.

"Tikus tanahmu menggalinya kan? Yakin dululah!"

"Cukup-cukup, semuanya baik-baik saja kan, jadi tak apa-apa." kata Saito.

Siesta, yang bersembunyi dan gemetaran, menyeruak keluar menuju Saito dan memeluknya, dibanjiri emosi yang meluap. "Itu luart biasa! Membunuh para orc yang kejam itu dalam sekejap! Kau luar biasa, Saito!"

Siesta lalu dengan takut-takut melirik mayat para orc.

"Dengan ini disekitar, kurasa kau tak bisa tenang memetiki jamur di hutan."

Saito mengelap darah dan lemak di Derflinger dengan daun. Tangannya masih gemetar. Belum terbiasa bertempur kukira, pikirnya. Meski mereka monster, mereka makhluk hidup. Hal-hal seperti pertempuran begitu mudah di mulut tapi mereka sebenarnya makhluk hidup yang berbunuhan satu sama lain. Bahkan jika kau menang, rasa tak enak menghinggapi. Meski aku memiliki kekuatan familiar Gandálfr, tubuhku tetaplah berupa daging dan tulang. Jika aku terpleset dan menerima hantaman dari salah satu pemukul itu...mungkin aku yang terbaring disana sekarang. Menyadari tangan Saito gemetar. Siesta menggenggam mereka erat. Apa kau baik-baik saja? Matanya tampak bertanya, Saito memaksa tersenyum dan mengangguk.

"Kau luar biasa...tapi kurasa hal-hal berbahaya buruk jua adanya..." bisik Siesta.

Sementara, meski tadi ada pertempuran, Kirche bersikap seakan tiada yang terjadi. Sambil melihat peta, dia berucap. "Um, didalam kuil ada altar...dan dibawahnya ada kotak tersembunyi."

"Dan didalam kotak itu..."

Guiche menelan ludah.

"Terletak emas, perak, dan harta legendaris ‘Brisingamen’ yang disembunyikan pendeta saat dia meninggalkan kuil ini."

Kirche menyisir rambutnya seolah dia telah memenangkan sesuatu.

"Umm, ia seperti sebuah kalung dari emas. Ia terbuat dari 'emas menyala'! Wow, bahkan namanya membuatku bersemangat. Saat kau mengenakannya, kau akan dilindungi dari segala bencana dan..."


Malam itu...mereka mengelilingi api unggun di taman kuil. Semuanya berwajah kecewa. Guiche berkata pahit, " Jadi, yang katanya harta adalah itu?"

Guiche menunjuk perhiasan yang luntur warnanya dan beberapa keping tembaga kotor. Dibawah altar, ada kotak. Namun, ia dipenuhi sampah yang bahkan tak mereka mau bawa pulang.

"Ini terbuat dari brass. Kalung dan cincin telinga murahan ini bukan ‘Brisingamen’ yang itu kan?"

Kirche tak menjawab. Dia hanya memandangi kukunya dengan mata penuh kebosanan. Tabitha membaca buku seperti biasa. Saito berbaring, menerawangi bulan.

"Hei Kirche. itu sudah yang ke-7! Kita mengikuti peta-peta itu dengan usaha keras dan semua yang kita dapatkan hanya beberapa koin tembaga! hartanya bahkan tak mendekati apa yang catatan peta bilang! Seluruh peta itu bohong!"

"Tutup mulutmu. Seperti kukatakan sebelumnya, ke-mungkin-an ada peta asli didalam bundel itu."

"Itu terlalu kejam! Monster dan hewan buas kan berkeliaran di reruntuhan dan gua! Hanya mendapatkan ini sebagai imbalan untuk mengalahkan mereka jauh dari cukup!"

Guiche memegang mawar buatannya di mulut dan menyiapkan tempat tidur.

"Yah. Jika kau bisa dapat harta hanya dengan membunuh monster-monster, tiada yang bakal miskin."

Suasana suram menyelimuti mereka. Tapi suara ceria Siesta menghilangkannya. "Semuanya, makan malam siap!"

Siesta mulai membagi sop untuk semuanya dari pot di api unggun. Baunya enak.

"Ini enak! Wow, benar-benar enak. Daging macam apa yang kau gunakan?" kata Guiche sambil memenuhi mulutnya.

Yang lain mencicipinya dan mulai berkata bagaimana enaknya ia. Siesta tersenyum dan berkata, "Daging orc."

Guiche langsung memuntahkan sopnya. Semuanya menatap dengan rahang mengaku pada Siesta.

"i-itu hanya bercanda! Aku membuatnya dari seekor kelinci liar. Aku menangkapnya dengan sebuah perangkap."

Siesta lalu menjelaskan bagaimana dia menyiapkan perangkap-perangkap untuk menangkap kelinci dan burung, serta mengumpulkan herba dan sayur untuk sopnya, selama yang lain berburu harta karun.

"Jangan menakutiku seperti itu. Tapi kau benar-benar terampil, mampu membuat sesuatu yang begitu enak dalam hutan." ucap Kirche dengan nada lega.

"Itu karena kehidupan di desa." kata Siesta malu.

"Apa nama sup ini? Herba-herba yang kau gunakan agak beda dengan biasanya, kutak pernah melihat beberapa sayur itu," kata Kirche sambil mengaduk salah satu sayur dengan garpunya.

"Ia sop yang dibuat di desaku, namanya Yosenabe." jelas Siesta sambil mengaduk isi pot.

"Ayah mengajarkanku bagaimana bikinnya. Dari tumbuhan liar yang bisa dimakan, akar tanaman...Ayahku mempelajarnya dari kakekku. Ia adalah kekhususan desaku."

Berkat makanan lezat itu, mereka merasa lebih tenang. 10 hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan sekolah. Saat Saito memandangi langit, dia membayangkan apa yang tengah dilakukan Louise.

"Apa ia enak, Saito?"

Disebelahnya, Siesta tersenyum hangat. Sambil memenuhi mulutnya dengan sop, dia tersenyum balik. Senyum Siesta, rasa sop, keduanya mengingatkan dia pada sesuatu. Dia tak tahu sudah berapa lama dia pergi tapi Saito teringat dunianya. Setelah makan malam, Kirche membuka peta itu lagi.

"Menyerah sajalah dan kembali ke sekolah." usul Guiche, tapi Kirche tak goyah.

"Sekali lagi. Hanya sekali lagi."

Bagaikan terobsesi, mata Kirche menyusuri peta itu. Mengerai satu peta, dia menempatkannya di tanah.

"Ok, yang ini! Jika ini juga bohong, kita kembali ke sekolah!"

"Apa hartanya?"

Dengan lengan disilangkan, Kirche menjawab,"Baju Naga."

Siesta, yang tengah menyantap sop setelah semuanya selesai, tersedak makanannya sendiri.

"Be-benarkah?"

"Ada apa dengan itu? Apa kau tahu sesuatu tentangnya? Ia dekat desa bernama Tarbes. Dimana Tarbes ya..."

Siesta menyahut cepat, "Ia sejalan dengan La Rochelle. Ada ladang luas...ia daerah asalku."


Pagi berikutnya, saat mereka mengendarai si naga angin. Siesta menjelaskan pada semuanya. Tiada banyak yang bisa diceritakan. Ada sebuah kuil didekat desa dan didalam kuil ada sesuatu yang disebut Baju Naga.

"Mengapa ia disebut 'Baju Naga'?"

"Kau bisa terbang bila kau mengenakannya." kata Siesta lemah.

"Terbang? jadi ia barang jenis angin?"

"Ia sebenarnya tak sebegitu pentingnya..." kata Siesta, merasa terganggu.

"Mengapa?"

"Ia sebuah kebohongan. Ia salah satu 'harta' yang bisa kau temukan dimanapun. Semuanya hanyalah nama. Namun, penduduk setempat senang...mereka menghiasi kuil, dan menyembahnya..."

"Benarkah?"

Siesta lalu melanjutkan dan berkata dengan tegang."Sebenarnya...pemiliknya adalah kakekku. Suatu hari, kakekku muncul di desa. Dia bilang bahwa dia datang dari timur dengan Baju Naga."

“Wow…”

"Tapi tiada yang mempercayainya. Semuanya mengatakan bahwa kakekku aneh."

"Mengapa?"

"Seseorang bilang padanya untuk terbang dengan itu, tapi dia bilang pada mereka dia tak bisa. Dia membuat banyak alasan, tapi tiada yang memiliki alasan untuk mempercayainya. Setelah itu, dia berkata 'tak bisa menerbangkannya lagi' dan berdiam di desa. Dia bekerja sangat keras, dan memberikan uangnya pada para ningrat, meminta mereka menempatkan mantra keabadian pada 'Baju Naga'. Dia memperlakukannya dnegan penuh perhatian."

"Orang yang aneh. Pasti sulit ya bagi keluargamu?"

"Tidak, terpisah dari Baju Naga, dia ramah dan pekerja keras. Semua menyukainya."

"Ia sesuatu yang terkenal di desa kan? Seperti Yosenabe itu...maka kita tak bisa mengambilnya."

"Tapi...oa lebih seperti barang keluarga kami...Jika Saito mau, aku bisa meminta ayahku untuk menunjukkannya padamu," kata Siesta dengan nada salah tingkah.

Tepat saat Saito berpikir kebohongan tiada gunanya, Kirche menyahut,"Bahkan jika ia bohong, ada cara-cara untuk menjual kebohongan. Ada banyak orang dengan selera beda di dunia ini."

"Kau wanita yang mengerikan." kata Guiche terkejut.

Si naga angin mengepakkan sayapnya, mengarah menuju Tarbes.


Sementara di sekolah, Louise masih melewatkan pelajaran. Dia tak mau bertemu siapapun dengan hatinya yang seperti ini. Dia hanya meninggalkan kamarnya untuk makan di aula makan dan saat dia pergi mandi. Dia tahu Saito berdiam di tenda di lapangan Vestri, jadi dia kesana beberapa hari yang lalu untuk melihat bagaimana keadaan Saito, tapi tiada orang disana. Saat dia menanyakan Monmorency, yang kebetulan lewat, dia baru tahu Saito, Guiche, Kirche, dan Tabitha telah melewatkan pelajaran untuk berburu harta. Para guru tengah marah dan akan membuat mereka membersihkan seluruh auditorium saat mereka kembali. Dia merasa lebih sedih saat memikirkan bagaimana asyiknya itu. Dia merasa bagaikan hanya dia yang ditinggalkan. Louise menangis di kasurnya lagi. Bilamana dia melihat jerami yang ksong, airmata akan tumpah. Sebuah ketukan di pintu, Pintu terbuka dengan sebuah 'dang!' begitu Louise menjawab ia tak dikunci. Kepala sekolah, Osman tua ada di pintu, yang mengejutkan Louise. Louise cepat-cepat mengenakan gaunnya dan bangkit dari kasur.

"Bagaimana perasanmu?"

Merasa lesu, Louise menjawab,"Kuminta maaf telah membuatmu khawatir. Ini bukan apa-apa. Benar. Aku hanya merasa tak enak badan..."

Osman meraih sebuah kursi dan duduk.

"Kau beristirahat untuk waktu yang cukup lama. Aku khawatir, tapi sepertinya kau baik-baik saja."

Louise mengangguk, dan duduk di sebuah kursi. Dengan wajah lelah, dia menerawang keluar jendela.

"Sepertinya kau belum dari penampilanmu."

"Maaf."

"Masih ada dua minggu. Pikirkanlah pelan-pelan. Ingat. Ia pernikahan teman pentingmu. Pastikan kau memilih kata-katamu dengan hati-hati."

Louise mengangguk. Dia malu bahwa dia melupakan tentang prosa karena berada dalam alam pikirannya sendiri."Aku jahat ya. Dia mengangapku sebagai teman, dan bahkan memberikan peran sebagai perawan."

Osman bangkit."Ngomong-ngomong, dimana familiarmu?"

Dia membuang pandangannya dan terdiam. Osman tersenyum.

"Apa kalian berdua bertengkar?"

"Saat kalian muda, kalian bertengkar soal remeh. Ini karena muda-mudi tak tahu bagaimana mengalah. Terkadang, ada retakan yang akan berkembang menjadi sesuatu yang tak dapat diperbaiki. Kau harus hati-hati."

Sambil tertawa, Osman meninggalkan ruangan. Setelah pintu tertutup, Louise berbisik,"Ia bukan sesuatu yang kecil..."

Louise menuju mejanya, Dia mengabaikan yang lain dan membuka Buku Doa Sang Pendiri. Dan, seolah tengah membersihkan piirannya, dia menutup matanya. Dia berkonsentrasi, mencoba memikirkan sebuah prosa, Aku harus berpikir prosa yang hebat untuk Henrietta. Louise tetap menutup mata. Eh? ada sebuah sinar terang. Tiba-tiba, dia bisa melihat huruf-huruf di halaman-halaman itu. Mata Louise mengaku. Namun, selanjutnya, mereka meluntur dari halaman buku bagai kabut. Apa itu? pikirnya, sambil melihat-lihat halamannya. Aku tak bisa melihatnya lagi. Kemungkinan mataku hanya kelelahan, pikirnya.

"Semuanya salah Saito" bisiknya.