Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab8

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Labotarium Pak Colbert

Pak Colbert berumur 42 tahun. Dia telah mengabdi di akademi selama 20 tahun. Dia penyihir yang dijuluki "Ular Api". Hobinya...atau lebih tepatnya, hidupnya, berpusat pada riset dan penemuan. Dia segera ke lapangan begitu melihat benda yang dibawa para naga dari lab risetnya. Keingintahuannya telah dipantik.

"Kalian, apa itu? Bisakah kalian menjelaskannya padaku?"

Wajah Colbert bersinar begitu dia memandangi Saito, yang tengah menyaksikan Zero Fighter diturunkan.

"Ah, sebenarnya saya ingin membicarakannya denganmu."

"Aku?"

Cobert terkejut. Siapa sebenarnya jelata muda ini? Yang dia tahu hanyalah bahwa dia familiar legendaris, Gandálfr, yang dipanggil oleh Nona Vallière. Lahir di Rub 'al Khali, dia satu-satunya orang yang menyebut penemuan Colber "Luar biasa".

"Ini disebut pesawat terbang, Di duniaku, mereka terlihat terbang dimana-mana,"

"Ini terbang!? Wow! Luar biasa!"

Colbert mulai mengamati bagian-bagian dari zero fighter dengan ketertarikan yang dalam.

"Apa ini sayapnya! Sepertinya ia tak bisa mengepak seperti sayap biasa! bagaimana dengan kincir ini?"

"Itu disebut baling-baling. Saat ia berputar ia membuat pesawat maju ke depan."

Dengan mata lebar karena kekaguman, Colbert mendekati Saito. "Oh, begitu! Saat ia berputar, ia mengeluarkan tenaga angin! Pembuatannya bagus sekali kan! Bisakah kau menerbangkannya untukku? Lihat, tangaku gemetaran saking penasarannya!"

Tak tahu harus gimana, Saito menggaruk kepalanya."Em,..untuk memutar baling-baling, aku butuh bensin."

"Bensin? Apa itu?"

"Itu yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau tahu kelas dimana kau menunjukkan penemuanmu pada kami?"

"Ular senang?"

"Ya! Kau harus membakar mintyak untuk membuatnya bergerak kan?"

"Jadi kau butuh minyak? Itu masalah yang mudah diselesaikan!"

"Tidak, menurutku itu tak bisa. Ia harus bensin."

"Bensin? Hm...memang ada beberapa jenis minyak sih."

Saito tiba-tiba menyadari para naga menyeringai lebar pada mereka. Guiche berbisik di telinga saito. 'Maaf jika kau sibuk, tapi jika kau tak membayar biaya transportasi..."

"Kalian ningrat juga kan> Berhentilah terus mengumbar soal duit."

"Hei, tentara itu miskin tahu."

Saito tersenyum pada Colbert. "Pak Colbert, bisakah kau membayar biaya transportasi untuk saat ini?"


Lab Colbert terletak di daerah sempit antara menara pusat dan menara api. Ia lebih seperti gudang perahu tua.

"Mulanya, aku bereksperimen di kamarku sendiri, tapi bau dan suara datang secara alami dengan penelitian. Aku dikeluhi orang-orang sekitarku tak lama kemudian."

Rak kayu disesaki botol-botol obat, tabung uji, wadah berisi nostrum, dan yang seperti itu. Disebelahnya adalah dinding rak buku, disesaki buku-buku. Ada bola langit yang dibuat dari parkemen yang ditempel ke bola, dan berbagai peta lainnya. Ada kadal, ular dan burung yang tak pernah dilihatnya sebelumnya didalam kandang. Bau harum yang tak berasal dari debu maupun tanah mengisi seisi ruangan. Saito menjepit hidungnya.

"Kau akan segera terbiasa dengan baunya. Namun seorang wanita takkan, yang merupakan alasan mengapa aku sendiri."

Colbert duduk sambil menggumamkan jawaban pertanyaan yang tak ditanyakan padanya. Dia mencium bensin yang didapat dari dasar tangki bahan bakar zero fighter. Karena mantra keabadian dikenakan pada Zaro Fighter, bensin itu tak mengalami perubahan kimiawi apapun.

"Hmm...ini bau yang tak pernah kucium sebelumnya. Memberikan bau seperti ini bahkan tanpa pemanasan...Ini pasti mudah terbakar. Jika ini digunkan sebagai peledak, kekuatannya patut diwaspadai."

Dia meraih selembar perkamen didekatnya dan mulai mencorat-coret beberapa catatan.

"Jika aku memperbanyak minyak ini, pesawat itu bakal terbang?"

"Mungkin...Jika ia belum rusak."

"Menarik! mengadakan senyawa adalah hal sukar tapi kukan mencobanya!"

Bergumam pada dirinya sendiri, dia mengeluarkan seluruh macam zat dan menyalakan lampu alkoholnya.

"Kau dipanggil Saito kan?"

Saito mengangguk.

"Kau berkata di kota asalmu, ini bisa terlihat terbang dimana-mana? Teknologi dari tanah yang dkuasai para elf di timur sepertinya melebihi teknologi apapun di Halkegenia."

Entah mengapa Saito merasa jahat telah berbohong pada Colbert, yang telah lebih dari sekedar ingin membantunya mengandakan bensin dan juga telah membayar biaya transportasi.

"Pak Colbert, sebenarnya, aku...tidak dari dunia ini. Pesawat ini, dan juga 'Tongkat Kehancuran' yang menghancurkan golem Fouquet serta aku, dari dunia lain."

Tangan Colbert tiba-tiba berhenti. "Apa katamu?"

"Aku datang dari dunia lain."

Colbert terpaku menerawangi Saito lalu melanjutkan dengan menganggukkan kepalanya, bagai terkagum.

"Oh, begitu." bisiknya.

"Apa kau tak terkejutkan?"

"Ya..tentu saja aku terkejut. Tapi kau memang menujuk ke arah sana. Caramu bicara dan kelakuanmu memiliki rasa yang beda. Hm, ini menjadi semakin dan semakin menarik."

"Kau seorang yang aneh ya, Pak Colbert?"

"Aku disebut aneh oleh banyak orang. Aku bahkan belum menemukan seseorang yang akan menikahiku. Tapi aku memiliki suatu keyakinan."

"Suatu keyakinan?"

"Ya. Ningrat Halkegenia memperlakukan sihir semata-mata sebagai alat...seperti sebuah sapu, mereka hanya melihatnya sebagai alat yang berguna. Aku tak pikir sihir adalah sesuatu seperti itu. Sihir dapat digunakan untuk yang lebih dari itu. Daripada hanya ikut penggunaan biasa dari cabang yang berbeda dari sihir, jkita seharusnya mencoba untuk mencari cara-cara berbeda untuk menggunakannya."

Sambil mengangguk, Colbert melanjutkan. 'Setelah melihatmu, keyakinanku tumbuh semakin kuat. Siapa pernah terpikir ada dunia lain! Ini menunjukkan aturan di Halkegenia tidak mutlak! Menarik! Topik yang sangat menarik! Aku ingin melihat dunia ini. Kemungkinan ada banyak hal baru menunggu untuk disingkap! IA mungkin menambah sebuah halaman baru pada penelitianku! Jika kau punya pertanyaan, apapun itu, datang saja dan bicaralah denganku. Colbert Sang Ular Api akan selalu membantumu."


Di lapangan Austri, Saito tengah duduk di kokpit Zero fighter dan memeriksa bagiannya. Saat dia menggenggam tongkat kendali, atau bahkan saat dia hanya menyentuh sebuah tombol, tanda di tangan kirinya bersinar. Info akan mengalir ke otaknya, dan menceritakan kondisi bagian itu. Saat dia menggerakkan tongkat kendali, aileron sayap dan pengangkat di ekor bergerak dengan sebuah 'clank'. rudder ekor bergerak saat dia menginjak batang rudder dan sebuah penunjuk berbentuk silang muncul di panel gelas saat dia menekan tombol alat penglihatan di lembar alat. Mesin di kedua sisi badan pesawat masih hidup. Tanda Gandalfr yang bersinar menceritakan sedikit soal itu pada pemakainya. Sebuah senyum mengembang di bibir Saito.

"Rekan apa ini bisa terbang?"

"Ya."

"Sesuatu seperti ini terbang...duniamu sesuatu yang aneh."

Banyak siswa menonton Saito yang berada di dalam Zero fighter, tapi dengan cepat mereka kehilangan minat dan pergi. Hanya ada beberapa ningrat yang akan tertarik dengan ini, seperti Colbert, pikir saito. Tiba-tiba seorang gadis muncul, dengan bangganya dia menyisir rambut blonde pinknya dengan tangannya. Louise menatap Saito dan benda di mana dia bearada di dalamnya. Bagai menunjukkan dia marah, dia menunjuknya dan berkata, "Appan itu?"

Saito mengangkat kepalanya dari kokpit dan menjawab singkat, "Pesawat". Karena mereka masih belum berbaikan, dia mengatakan itu sambil membuang muka.

"Kalau begitu, turunlah dari pesawat itu." perintah Louise, memonyongkan bibir bawahnya sambil berkacak pinggang, Dia mengacuhkannya dan melanjutkan memeriksa bagian-bagian zero fighter. Louise memegangi ujung dari sayap dan mulai membuat Zero fighter bergoyang.

"Aku bilang turun kan?"

"Baiklah:. bisik Saito sabil turun dan menuju Louise.

"kemana kau pergi?"

"Berburu harta karun."

"Apa yang kau pikirkan, pergi tanpa bilang apa-apa pada tuanmu?"

Louise menyilangkan lengannya dan menatap Saito. Saito menyadari mata Louise membengkak.

"Bukankah kau memecatku?"

Louise menjatuhkan pandangannya dan bicara dengan nada bagaikan hendak menangis."Sepertinya kau berhak menjelaskan dirimu. Jika kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan sekarang."

"Apa yang harus dijelaskan? Aku tak melakukan apapun. Ini tentang Siesta kan? Siesta hendak jatuh jadi aku mencoba menangkapnya. Aku lalu terjatuh juga, membuatnya terlihat seperti aku telah mendorongnya ke tempat tidur."

Alasan sebenarnya adalah karena Siesta tiba-tiba mulai melepaskan pakaiannya, tapi demi kebaikan Siesta, dia tak bilang soal itu.

"JAdi, memang tidak ada yang terjadi?"

"Tidak ada. Mengapa kau begitu marah? Itu kali pertama dia datang ke kamar. Memang bisa hal seperti itu terjadi. Mengapa sih kau marah? Apa yang aku dan Siesta lakukan bukan urusanmu kan?" kata Saito.

Louise hanya berpikir aku adalah familiarnya. Satu-satunya alasan dia memperlakukanku lebih baik adalah karena kesadaran barunya soal kasih sayang pada binatang.

"Ia bukan urusanku, tapi dalam beberapa hal, ia adalah urusanku."

"Dalam hal apa?"

Louise menatap Saito dan mendengus. Louise menarik lengan baju Saito. Dia membisikkan hal-hal seperti "Hei, minta maaflah" dan "Mengapa kau dingin begini, kau membuatku khawatir:, tapi Saito tak memandangi Louise lagi. Dia tengah menerawangi Zero fighter. Louise telah tiba pada ujung keseimpulannya. Dia malu bahwa dia telah menutup diri di kamarnya dan ngambek. Dia mengeluarkan teknik mematikan yang telah dia simpan. Ia merupakan teknik rahasia seorang gadis, yang akan menyapu pergi seluruh kecurigaan, kemarahan, kontradiksi, dan bahkan fakta bahwa Louise mengeluarkan Saito. Dia meledak dalam tangis.

Berember-ember airmata mengalir dari matanya. "Kemana saja kau pergi selama ini! Tolol! Aku benci kau!"

Sambil terisak, dia mengusap airmata yang mengalir dengan punggung tangannnya.

"H-Hei, jangan menangis."

Panik, Saito menempatkan tangannya di bahu Louise. Louise menangis lebih keras. "Aku benci kau! Aku benci kau!"

Kirche menghampiri mereka, dengan membawa sebuah bulu ayam dan lap debu di tangannya. Karena mereka membolos pelajaran, hukuman mereka adalah mengelap bersih jendela-jendela akademi. Karena Saito bukan ningrat ataupun siswa di akademi, dia tak harus melakukan apa-apa. Guiche memandangi Saito, yang tengah menenangkan Louise, dan menyeringai, 'Kau tak bisa membuat tuanmu menangis begitu saja seperti itu."

Kirche berkata acuh tak acuh, "Sudah berbaikan? Itu tak seru..."

Tabitha hanya menunjuk keduanya dan berkata, "Setelah hujan datanglah cerah."


Malam itu...

Louise berbaring di kasurnya, erat memeluk bantalnya. Setelah Saito menanggalkan jaketnya, Louise menyelip masuk, seakan ia dikasih. Dia berusaha keras pura-pura membaca sebuah buku. Saito melihat sekeliling ruangan yang ditinggalkannya selama kira-kira seminggu. Peralatan meja tersebar dimana-mana.

"Jadi kau bolos dari pelajaran?"

Montmorency mengatakan soal itu saat mereka berpapasan di koridor. Montmorency bilang ke Louise bahwa dia telah bolos terlalu lama, tapi Louise mengabaikannya dan berjalan pergi. Louise menatap Saito, merasa agak tertekan. "Jadi kenapa?"

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Saito, yang tampaknya khawatir

Dia hendak mengatakan "Kau pukir ini salah siapa sehingga aku membolos pelajaran?" tapi harga dirinyalah yang menang. Sambil mengenakan selimut di atas kepala, dia menyusup masuk dibawahnya. Saito menggaruk kepalanya dan memandangi tumpukan jerami. Jadi dia tak membuangnya keluar, pikirnya, sambil memandang hangat pada Louise.

Tiga hari berlalu.

Colbert terbangun oleh kotekan ayam. Sepertinya dia terlelap tanpa menyadarinya. Dia telah membolos pelajaran dan menutup diri di lab selama tiga hari ini. Di hadapannya ada labu di atas lampu alkohol. Sebuah tabung gelas menjulur keluar darinya, yang membiarkan katalis yang terpanaskan mendingin dan menggumpal dalam beker di kiri. Ini adalah langkah terakhir. Colbert mencium bensin yang diterimanya dari saito dan mulai dengan seksama membaca mantra alkemi pada zat di beker sambil berkonsentrasi pada bau bensin. Sebuah gumpalan asap menyembul dari beker dan warna zat didalamnya berubah menjadi coklat kekuningan. Dia menciumya. Bau menyengat dari bensin menusuk hidungnya. Colbert membuka pinta dengan sebuah'duk' dan buru-buru keluar.

"Saito! Saito! Aku berhasil! Aku Berhasil! Aku berhasil menyelesaikannya!"

Kehabisan napas, Colbert menghampiri Saito, yang tengah memeriksa Zero fighter. Didalam botol anggur yang dijulurkannya, ada cairan coklat kekuningan, Saito membka tutup tanki bahan bakar, yang berada di depan perisai angin. Ada kuncinya, sehingga dia meminta Colbert menyihirkan sebuah mantra pembuka pada itu. Dia menuangkan dua botol bensin kedalamnya.

"Aku menganaisis komposisi minyak yang kau berikan padaku." kata Colbert dengan bangga.

"Ia sepertinya terbuat dari mikroba di fosil, sehingga aku mencari yang mirip. Aku memutuskan menggunakan fosil pepohonan...dengan kata lain, batubara. Aku merendamnya dalam sebuah katalis khusus dan mengekstrak komposisi yang mirip. Setelah menghabiskan berhari-hari untuk itu, aku membacakan mantra alkemi padanya. Dan itu merubahnya jadi..."

"Bensin kan?"

Colbert mengangguk dan membujuk Saito "Cepatlah, putar kincir itu untukku, Aku begitu bersemangat hingga aku tak sempat tidur."

Setelah mengisi tanki gas, Saito kembali ke kokpit. Info bagaimana menyalakan mesin dan menerbangkan Zero fighter mengalir ke otaknya. Untuk menyalakan mesin, baling-baling harus diputar dulu. Saito menyembulkan kepalanya dari perisai angin. "Pak Colbert, bisakah kau memutar baling-baling dengan sihir?"

"Kukira ia diputar dengan tenaga dari pembakaran minyak?"

"Untuk menyalakan mesin, tuas didalam mesti diputar secara manual dulu. Aku tak punya alat untuk memutar baling-baling, jadi , kalau bisa, mohon gunakan sihir."

Colbert mengangguk. Saito mulai mempersiapkan pesawat. Pertama, dia mnset sumber bahan bakar ke tanki yang baru saja dituangkannya bensin. Kemudian dia menst tuas rasio campuran dan kecepatan baling-baling pada keadaan optimal. Tangan Saito bergerak sendiri. Kekuatan Gandálfrnya melaksanakan semua operasi itu. Dia membuka flap tudung dan menutup tutup radiator pendingin minyak. Baling-baling bergemuruh begitu Colbert menggunakan sihirnya.

Dengan mata terbuka lebar, Saito menekan tombol penyala dengan tangan kanan pada waktu yang tepat. Tangan kirinya memegang tongkat kemudi, dibengkokkannya masju sedikit. Sebuah suara "darekdek" terdengat dan mesin mulai menyala setelah percikan dari colokan penyala. Saat mereka bergemeruh, baling-baling mulai berputar. Badan pesawat bergetar. Rem tak diinjak sehingga pesawar mulai majud engans endirinya. Colbert menonton dengan wajah tergerak. Setelah mengecek meteran-meteran mesin bergerak, Saito mematikan tombol penyala. Sambil melompat keluar dari kokpit, dia memeluk Colbert. "Pak Colbert, mesinnya nyala!"

"Ya, kita berhasil! Tapi mengapa ia tak terbang?"

"Bensinnya tak cukup. Untuk terbang, kita perlu paling tidak dima barrel."

"Itu banyak sekali! Tapi karena aku sudah melakukan begitu banyak, aku akan menyelesaikannya!"

Setelah Colbert kembali ke labnya, Saito melanjutkan penyesuaiannya. Dia tak punya alat apapun, sehingga dia hanya membersihkan bagian-bagian. Louise memanggil Saito yang tampak terikat dengan ini. "Hei, kini waktunya makan malam. Apa saja yang telah kau lakukan? Kini sudah gelap."

"Aku menyalakan mesinnya!" Teriak Saito senang.

Tapi Louise menjawab tak acuh. "Benar-benar deh. Bagus untukmu. Apa yang akan terjadi setelah kau mesin berjalan?"

"Ia terbang! Ia akan terbang!"

"Apa yang akan kau lakukan saat ia terbang?" tanya Louise dengan nada sendirian.

Saito menceritai Louise soal ide yang ada di pikirannya dalam dua-tiga hari ini. "Aku akan mencoba terbang ke timur."

"Timur? Aku tak percaya. Apa kau berkata kau hendak ke Rub' al Khali? Benar-benar, aku tak percaya!"

"Mengapa? Pemilik pesawat ini terbang dari sana. Aku mungkin bisa menemukan beberapa petunjuk untuk kembali ke duniaku sendiri." kata Saito, gemetar.

Louise tampaknya tak berminat sedikitpun. Dia menyahut dengan nada sendirian

"Kau familiarku. Kau tak bisa begitu saja melakukan apa yang kau mau. Dan, pernikahan putri diadakan lima hari lagi. Aku harus membaca sebuah prosa saat itu. Tapi aku belum terpikir sesuatu yang bagus untuk dikatakan."

Tertarik oleh Zero fighter, Saito mengangguk seakan dia mendengarkan. Begitu dia tahu ia bisa terbang, dia menjadi terikat olehnya. Louise menarik telinganya. Dia bosan. Saito belum pernah memperhatikanku sejak dia kembali dan malah hanya memandangi pesawat ini. "Dengarkan aku!"

"Aku mendengarkan!"

"Kau tidak. Kau melamun. Tiada familiar yang mendengarkan tuannya sambil membuang muka!"

Louise menyeret Saito kembali ke kamarnya.


Louise membuka Buku Do'a Sang Pendiri di hadapan Saito. "Aku akan membacakan apa yang kupikir sudah siap untuk diprosakan."

Dengan sebuah dehem lucu, Louise mulai membaca prosanya. "Di hari nan indah inmi, Saya, Louise Françoise Le Blanc de la Vallière, berdoa untuk kehadiran nan suci dari Sang Pendiri, akan membacakan prosa yang diberkahi..."

Kemudian, Louise berhenti,

"Lanjut?"

"Dari sini dan seterusnya, aku harus memberikan terima kasih pada keempat cabang sihir, Ia harus puitis dan berirama..."

"Jadikan sajalah berirama."

Louise memanyunkan bibirnya seakan dia ngambek, 'Aku tak bisa memikirkan apapun. Menuliskannya secara puitis adalah nyeri di leheku. Aku bukan seorang pujangga atau semacamnya."

"Tak apa, bacakan saja apa yang telah kau tulis disana."

Dengan wajah tertekan, dia membacakan baris "puitisnya. "Um, api adlaah panas, kau harus berhati-hati."

"'Kebutuhan' tak puitis, Kau mungkin seharusnya mengingat itu."

"Diamlah. Saat angin berhembus, mereka yang menjual barrel beruntung."

"Mengapa kau menggunakan kata itu disini?"

Louise, yang tampaknya tak memiliki bakat puitis sedikitpun, melemparkan dirinya ke kasur seakan ngambek dan berbisik, "Aku akan tidur."

Sebagaimana biasa, dia berganti pakaian sambil menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut. Setelah mematikan lampu, dia memanggil Saito, yang suah menyelami tumpukan jeraminya. "Aku bilang tidur di kasurku, kan?"

Jantung Saito mulai berdegup kencang. 'Benarkah? Tak apa-apa?"

Louise tak membalas. Saito menyusup ke kasur karena pikir dia akan marah bila dia tak melakukan apa yang diperintahkan padanya. Louise masih bangun. Dia membuka mulutnya, seakan dia ingin biacara pada Saito. "Jadi, kau benar-benar akan ke tanah timur?"

"Ya." jawab Saito.

"Ia berbahaya, tahu. Para elf membenci manusia..."

"Tapi manusia hidup di daerah yang lebih jauh lagi dari tanah para elf kan? Seperti tempat yang disebut Rub' al itu."

"Sifat manusia itu berbeda jauh. Ia akan berbahaya."

Sepertinya Louise khawatir soal mempersilahkan Saito pergi.

"Kau masih akan pergi?"

Saito memikirkannya sebentar lalu mengangguk "Yah, aku mungkin bisa menemukan petunjuk untuk kembali pulang."

Louise bergerak-gerak dibawah selimut. Saat Saito membayangkan apa yang tengah dilakukannya, dia mengistirahatkan kepalanya di dada Saito. "Wha-"

"Aku hanya menggunakannya sebagai pengganti bantalku!" kata Louise dengan nada ngambek dan marah.

"Apa kau masih akan pergi bahkan bila aku bilang tidak?"

Saito diam saja.

"Kuberpikir sama..."bisik Louise.

"Ini bukan duniamu kan?...tentu kau hendak kembali."

Rambut Louise memiliki keharuman yang memikat. Suara napasnya juga dekat. Keduanya hening. Saito memikirkan banyak hal. Saito tak berbicara, dan Louise tak tahu apalagi yang harus dikatakan, jadi dia hanya memeluk erat dada Saito.

"Aku tak ingin kau pergi. Saat kau disampingku, aku bisa tidur tanpa khawatir apapun. Kau membuatku marah..." kata Louise dengan suara pelan sambil memeluk saito.

Sepertinya mata yang membengkak itu karena dia tak tidur pikir Saito. Sesaat kemudian, napas Louise yang teratur, seperti anak-anak, dapat terdengar dekat dada Saito. Dia tidur lelap. Louise tampak begitu manja sehingga membuat hati Saito berdegup. Sepertinya dia tak enak kalau aku tak ada. Yah, aku ini kan familiar. Sambil mendengarkan napas Louise, Saito tengah berpikir keras dan dalam. Dia memikirkan orang-orang yang dia temui di dunia ini. Dia telah bertemu begitu banyak orang dalam beberapa bulan di Halkegenia. Ada orang jahat, tapi juga orang baik.

Ada Marteau dari dapur yang memberikannya makan.

Osman, yang bilang padanya bahwa dia akanmemberikannya bantuan bila dia perlu pertolongan.

Colbert, yang dengan senanghati mengadakan bensin untuknya.

Si arogan dan terkadang menyakitkan, tapi bersahabat dengan kualitasnya sendiri. Guiche.

Bukan seorang manusia tapi sebuah pedang, rekan yang diandalkannya, Deflinger.

Henrietta, sang putri nan cantik.

Pemberani...dan mati karenanya, Pangeran Wales.

Tabitha, si pendiam tapi orang yang telah menyelamatkannya beberapa kali.

Kirche si penggoda, yang bilang dia suka Saito, meski mungkin itu lelucon.

Sista, pelayan yang lucu dan baik...yang mungkin memiliki rasa padanya.

Dan terakhir, tuannya di sebelahnya, yang membuat hatinya berdegup. Arogan dan sombong, tapi yang terkadang menunjukkan kelembutan yang melelhkan hatinya. Louise. Gadis dengan rambut blonde pink dan mata besar yang coklat kemerahan.

Saat waktuku pulang datang, apa aku bisa meninggalkan orang-orang ini dengan sebuah senyum di wajahku?

Apa aku bisa meninggalkan Louise dengan sebuah senyum?

Aku tak tahu.

Tapi...Saito berpikir

Orang-orang yang telah begitu baik padaku, aku ingin lakukan yang terbaik yang kubisa untuk mereka.

Setidaknya selama aku di dunia ini, aku ingin melakukan sesuatu untuk mereka.

Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Untuk sekarang, Saito memeluk kepala Louise dengan lembut.

Louise mendesah dalam tidurnya.