Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4

From Baka-Tsuki
Revision as of 21:30, 22 July 2014 by Chaotic Run (talk | contribs) (Created page with " {{:Zero_no_Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4_Illustrasi}} {{:Zero_no_Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4_Pengantar}} {{:Zero_no_Tsukaima ~ Indonesian Version:Volu...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search



Prolog[edit]

Danau Ragdorian yang terletak diantara kerajaan Tristain dan Gallia meruapakan salah satu tempat terindah Hakegenia. Ia membentang sekitar 600 kilometer persegi dan luasnya dapat dibandingkan dengan jarak Tristania, ibukota Tristain, dengan akademi sihir. Danau itu terletak di dataran yang agak tinggi, dan indah bagaikan sebuah lukisan, Hijau matang dari hutan yang disulam dengan air jernih dari danau merupakan mahakarya yang tak mungkin dbuat dewa yang dengan ceroboh mengayunkan kapaknya.

Namun, danau itu bukan sesuatu yang dimiliki manusia. Tempat itu didiami roh air, yang merupakan penduduk asli Halkegenia. Ia meruapakan surga bagi roh air yang memiliki sejarah yang jauh lebih panjang dari manusia. Roh-roh air telah mebuat sebuah benteng dan kota didasar danau dan mengembangkan kultur dan kerajaan mereka sendiri, Dikatakan bahwa siapapun yang melihatnya, tak peduli seberapa jahat mereka, akan memulai lembaran baru.

Roh-roh air ini disebut roh dari sumpah dan dikatakan bahwa sumpah yang dibuat dengan mereka takkan pernah terputus. Itu katanya...roh-roh air, yang dikatakan melebihi keindahan warna yang tersulam di hutan, langit dan danau, jarang muncul di hadapan manusia. 10 tahun lalu, mereka muncul sekali untuk memperbaharui sumpah mereka dengan keluarga kerajaan Tristain, tapi sejak itu, mereka tak muncul lagi dari dasar danau. Karena itulah, meski dikatakan "sumpah yang dibuat dengan mereka takkan pernah putus", merupakan tugas maha sulit untuk membuktikannya.


Pertama kalinya Henrietta dan Wales bertemu adalah saat di Danau Ragdorian. Itu tiga tahun lalu...Untuk merayakan HUT Ratu Marianne, Kerajaan Tristain mengundang tamu dari seluruh negara dan mengadakan sebuah pesta taman besar-besaran di Danau Ragdorian. Para bangsawan dan keluarga kerajaan yang diundang dari seluruh Halkegenia - Kerajaan Albion, Kerajaan Gallia, dan kekaisaran Germania, berkumpul di danau, semua berpakaian mewah dan berinteraksi sampai ke hati mereka. Kembang api dari sihir dipasang dan dibawah sebauh tenda besar, sebuah pesta diadakan sepanjang malam dengan santapan dan anggur terbaik dunia tersaji.

Pada malam di akhir minggu pertama, saat perayaan sudah habis setengahnya, Henrietta yang 14 tahun meninggalkan tendanya dan berjalan menuju pesisir danau tanpa pengiring maupun pengawal/ Dia kenyang akan perayaan, yang sepertinya takkan berakhir, Hari-hari disesaki dengan event-event, seperti santapan, pesta dansa, pembacaan puisi...Dia sudah kenyang dengan semua penyambutan dan pujian, Dia ingin sendiri dan menghirup udara segar.

Dia telah melewati daerah dimana tenda-tenda dan bangunan didirikan dengan wajahnya tersembunyi dibalik tudung besar dan membuat jalan ke sisi pesisir yang sepi. Bulan bersinar terang, menciptakan suasana impian. Terpukau oleh pemandangan ini, Henrietta hanya bisa memandangi sungao, yang mecerminkan bulan nan terang benderang. Sepertinya terpukau oleh pemandangan tak cukup baginya. Henrietta melihat sekelilingnya. Setelah memastikan tiada orang di sekeliling, dia terus menanggalkan pakaiannya. Dengan senyum licik mengembang di wajahnya, dia perlahan mengukir jalannya ke air.

Air nan dingin menyelimuti badannya, Kini awal musim panas, jadi kesejukannya terasa menyegarkan di malam yang hangat. Dia akan dimarahi bila ditemukan di tempat semacam ini oleh La Porte si chamberlain, tapi dia telah menahan soal pesta taman yang mengikat terlalu lama. Aku akan dimaafkan untuk sesuatu seperti ini, bisik Henrietta begitu dia mulai berenang. Setelah berenang sebentar, tiba-tiba dirasanya ada orang di peisir. Wajah Henrietta memerah dan dia menyembunyikan badannya dengan tangannya.

'Siapa?"

Sosok itu tak menjawab. Siapa ini? La Porte si chamberlain yang menyebalkan? Temannya yang setahun lebih muda darinya, Louise Françoise? Namun, dia telah menusup keluar dari tenda tanpa sepengetahuan mereka. Merasa tak enak, dia meminta identitas sosok itu.

"Wahai orang yang tak sopan. Sebutkan namamu!" Suaranya yang bernada panik mencapai pesisir.

"Aku bukan orang mencurigakan. Aku hanya keluar untuk jalan-jalan. mengapa kau disini, berenang, pada waktu begini?"

Henrietta merasa diserang oleh sikap tenang sosok itu, meski dia telah melihat Henrieeta berenang selama ini. "Bukankah Aku meminta namamu? Meski aku tak terlihat sepertinya, aku seorang putri dari sebuah negeri. Sebelum keadaan memburuk, sebutkan namamu dan enyahlah."

Mendengar ini, sosok itu terkejut. "Seorang putri? Apa mungkin, Henrietta?"

Henrietta terkejut pada ketiadaan sebutan 'putri'. hanya ada lima orang yang berkumpul di danau yang dapat menyebutnya dengan sikap begitu. Akan menjadi seorang pendosa sukar dipercaya keberadaannya bila dia bukan salah satu dari lima itu.

"Siapa kau?"

Henrietta telah membuka topeng putrinya dan menanyai sosok itu dengan suara seorang gadis yang ketakutan. Sosok itu tertawa. Ditertawakan, Wajah Henrietta memerah.

"Ini aku Henrietta, Wales. Wales dari Albion. Sepupumu!"

"Wales...? Maksudmu, Pangeran Wales?"

Pangeran Wales. Putra mahkota Albion. Mereka tak pernah bertemu sebelumnya, tapi tentu saja dia tahu namanya. Putra tertua dari saudara ayahnya. Wajahnya semakin memerah.

"Aku tiba disini malam ini dengan ayahku, Aku hendak sekilas saja mengamati Danau Ragdorian karena ia sangat terkenal. Maaf menakutimu."

"Ampun deh, aku tak bisa mempercayaimu."

Dengan pakaiannya sudah dipakai kembali, Henrieta menoleh menghadapi Wales. "Kau bisa berbalik sekarang."

Wales berbalik saat Henrietta berganti pakaian, Begitu dia berbalik lagi, sesuatu mengalir menyusuri tulang belakang Henrietta untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya. Tubuhnya, yang dingin karena danau memanas seakan api telah membakarnya. Dia tersenyum malu karena penampilan gagahnya. Tampaknya Wales juga merasakan hal yang sama.

"Aku terkejut. Kau telah tumbuh menjadi cantik, Henrietta..." Pangeran yang terkagum mengutarakan kata-kata yang melelehkan dari mulutnya.

"A-aku tak begitu..." Henrietta menunduk, tak kuasa mengangkat wajahnya.

"Aku tak bermaksud mengagetkanmu. Aku tengah melepas kebosanan dan mendengar beberapa 'plas-plas'...saat aku kesini, aku menyadari seseorang tengah berenang. Maaf. Aku tak kuasa menontom."

"Mengapa kau menontonnya?"

"Bukankah roh-roh air yang hidup di danau ini tertarik pada sinar rembulan? Aku ingin melihat mereka sekali-kali. Kecantikan para roh air dikatakan dpat mempermalukan kedua bulan."

Henrietta tersenyum. "Maaf bahwa aku yang disitu."

Sambil menggaruk pipinya dengan sikap malu-malu, Dia dengan jujur berkata. "Tidak juga, aku tak pernah melihat roh air sebelumnya, tapi..."

"Tapi?"

"Kau jauh lebih cantik. Lebih cantik dari roh air."

Karena malu, Henrietta menyembunyikan wajahnya. "Orang-orang Albion luar biasa leluconnya."

'I-ini bukan lelucon! Aku seorang pangeran tahu. Kutak pernah berbohong, tak pernah sekalipun! Aku benar-benar berpikir kau lebih cantik!" Jawab Wales yang panik.

Detak Henrietta tertahan seakan sebuah mantra dikenakan padanya. Sepupu di hadapannya...Seorang pangeran dari negeri lain, yang dia hanya tahu namanya. Pesta taman yang membosankan, tiba-tiba menjadi indah berwarna-warni saat mereka berdiri ditepi Danau Ragdorian yang berkemilauan.


Hubungan mereka tumbuh semakin erat meski waktunya tak lama. Mereka mengerti perasaan masing-masing hanya dengan saling memandang mata, mereka juga mengerti waktu mereka bersama terbatas. Tiap malam di pesta taman, Wales dan Henrietta akan bertemu di danau. Henrietta akan menyembunyikan wajahnya dengan sebuah kudung besar, dan Wales menggunakan topeng phantom yang telah digunakan di pesta topeng. Tanda dari pertemuan mereka adalah suara dari batu kecil yang dilempar ke sungai. Orang yang pertama kali tiba akan menunjukkan diri dari penyamaran yang menyembunyikan diri mereka, dan setelah memeriksa tiada orang disekitar, mereka menggunakan sebuah sandi.

Setelah Wales mengatakan "Pada malam dimana angin berhembus", Henrietta akan membalasnya dengan "Sebuah sumpah pada air yang kubacakan."

Pada suatu hari, keduanya berjalan-jalan menyusuri danau sambil berpegangan tangan.

"Kau agak telat Henrietta. Aku hampir kelelalahan menunggu."

"Maaf. Pestanya ngaret. Sudah kenyang aku akan obrolan para mabuk."

"Tapi...Apa benar tak apa-apa bagimu untuk menyusup keluar seperti ini tiap malam?"

Henrietta tertawa kecil pada wajah khawatir Wales. "Tak apa. Aku menggunakan sebuah umpan."

"Sebuah umpan! Itu sesuatu yang cukup serius."

"Ia tak sbesar itu juga kok. Temanku yang kau lihat bersamaku saat makan siang di hari sebelumnya..."

"Maksudmu gadis kurus yang berambut panjang?"

Wales membengkokkan kepalanya. Gadis yang akan mengiuti Henrietta kemana-mana dan bermain dengannya. Dia begitu terpukau dengan Henrietta sehingga dia benar-benar tak bisa mengingat tampang gadis itu. namun, dia samar-samar ingat warna rambutnya.

"Ya. Dia berpakaian sepertiku, dan kemudian ke kasurku untukku. Selimut menutupinya dari ujung kepala sehingga meski ada yang berdiam di samping kasur, mereka tak bisa melihat wajahnya."

"Tapi, bukankah warna rambutnya berbeda denganmu? Jika aku benar mengingatnya, dia pink, sedangkan kau..."

Wales menyisir rambut Henrietta dengan tangannya.

"Warna chestnut nan indah. Ia jadi umpan yang agak buruk."

"Aku telah mengadakan sebuah cat rambut sihir khusus untuknya. Tapi aku merasa agak bersalah. Aku tak benar-benar mengatakan bahwa aku bertemu denganmu. Dia pikir aku keluar hanya untuk jalan-jalan."

"Kau benar-benar jahat!" kata Wales sambil tertawa.

"Shh! Jangan tertawa keras-keras. Kita tak tahu bila ada yang mendengarkan."

"Tiada yang akan ada disini, mendengarkan kita, pada malam jam segini kecuali para roh air. Ah, aku ingin meliaht mereka sekali saja. Aku membayangkan kecantikan macam apa yangmembuat rembulan iri."

Sambil memanyunkan bibirnya, Henrietta membalas Wales dengan nada terusik.

"Oh, aku sadar sekarang. Jadi kau sebenarnya tak ingin bertemu denganku. Kau hanya ingin melihat roh air, dan mengajakku ikut."

Wales tiba-tiba berhenti dan mencubit lembut pipi Henrietta dengan kedua tangannya dan menggapai bibirnya. Henrietta terkejut, tapi sejurus kemudian menutup matanya. Bibir keduanya saling menekan. Setelah sesaat, Wales menjauhkan mukanya.

'Aku mencintaimu, Henrietta."

"Aku juga mencintaimu." bisik Henrietta, Wajahnya snagat merah.

Sebuah kilasan kesenderian terpantul dari mata Wales. Selama dia tersihir oleh ide cinta mereka, akal sehatnya juga membayangkan kesudahannya. Status mereka tak memperbolehkan mereka untuk bersama, Jika ada yang tahu tentang hubungan mereka...mereka mungkin takkan pernah diperbolehkan melihat satu sama lain lagi dalam acara-acara resmi. Itu bagian dari menajdi seorang putri dan pangeran.

Wales mulai berbicara, mencoba melegakan suasana. "Hahaha...kita berdua terlahir dengan takdir yang mengganggu. Kebanyakan waktu yang kita habiskan bersama adlah saat malam, dengan penyamaran! Adalah sangat bagus, paling tidak sekali, jika aku bisa menemanimu di danau ini, hanya denganmu dan sang surya."

Henrietta menutup matanya dan dan perlahan menyender pada dada Wales. 'Buatlah sebuah janji."

"Janji?"

"Ya. Para roh air yang hidup disini juga dikenal sebagai 'roh dari janji'. Janji yang dibuat di hadapan mereka dikatakan takkan terputus." bisik Henrietta 14 tahun sambil menutup mukanya.

"Itu hanya sebuah takhayul. Sebuah dongeng tua."

"Bahkan jika ia takhayul, aku mempercayainya. Jika dengan percaya, janjiku akan terpenuhi, maka aku akan percaya selamanya. Selamanya..."

Setetes airmata jatuh dari matanya dan mengalir menuruni pipinya. Wales dengan lembut mengusap pipi Henrietta. "Aku mencintaimu, Henrietta, karena kau sangat mencintaiku. Jadi jangan menangis seperti ini. Sungainya akan kebanjiran dengan airmatamu. Orang-orang yang berkumpul disini akan tenggelam tahu."

"Kau mungkin tak tahu seberapa cintanya aku padamu. Semakin aku serius, semakin kau menggodaku."

"Jangan seperti itu Henrietta."

Sambil mengagkat ujung roknya, Henrietta memasuki air. "Putri dari Tristain, Henrietta, bersumpah demi para roh air bahwa dia akan mencintai Pangeran Wales selamanya."

"Kau berikutnya, Wales. Bersumpahlah seperti aku tadi,"

Wales memasuki air dan memeluk Henrietta. Henrietta memegangi bahu wales. "Wales?"

"Kakimu akan kedinginan."

"Tak apa-apa. Daripada itu, aku bersumpah untuk mencintaimu selamanya. Bersumpahlah juga."

"Sumpah yang tak terputus hanyalah takhayul."

"Apa kau berkata hatimu akan berubah?"

Wales terdiam beberapa lama, berpikir dalam. Akhirnya Dengan wajah lembut, dia mengucapkan sempahnya pada danau. "Pangeran Albion, Wales, bersumpah demi para roh air , bahwa suatu hari nanti, dia akan berjalan di Danau Ragdorian ini bersama Henrietta dan sang surya, tangan dengan tangan."

"Aku telah bersumpah."

Henrietta mengubur wajahnya kedalam dada wales dan berbisik pelan pada dirinya sendiri. "...Jadi kau takkan bersumpah untuk mencintaiku?"

Permukaan danau berkemilauan dengan cahaya. Kemudian setelah sesaaat tertelan lagi oleh kesunyian. Keduanya saling memandang. Apa tadi cahaya rembulan, ataukah para roh air yang menerima sumpah mereka, mereka tak tahu...Tapi dengan saling bersandar, mereka terus menerawangi keindahan Danau Ragdorian.


Bab 1 - Orang Suci[edit]

Pada Jalan Bourdonné di kota sebelum Istana Tristain, tampak parade luar biasa yang diadakan sebagai perayaan kemenangan. Parade dipimpin kereta perang Putri Henrietta, yang ditarik oleh hewan legendaris yang dikenal sebagai unicorn. Bangsawan terkenal dalam kereta perang mereka mengikuti. Disekitar mereka, skuad sihir pertahanan berlaku sebagai penjaga mereka. Jalan sempit itu dipenuhi penonton. Orang-orang bersorak begitu mereka melihat kereta-kereta perang tersebut lewat dari jendela-jendela dan atap-atap bangunan.

"Hidup Putri Henrietta!"

"Hidup Tristain!"

Kerumunan snagat antusias. Putri Henrietta telah membimbing tentara Tristain pada kemenangan di Padang Tarbes di hari sebelumnya melawan tentara Albion yang merusak perjanjian. Putri Henrietta, yang mengalahkan musuh yang melebihi jumlah mereka, dipuja sebagai seorang "santo" dan seterkenal yang seharusnya. Setelah Parade selesai, upacara penobatan menunggu Henrietta, dimana dia yang akan meneruskan tahta. Ini diajukan Kardinal Mazarini, yang disetujui mayoritas ningrat senat dan menteri kabinet. Perkawinan pangeran dengan negeri tetangga, Germania, demham Henrietta dibatalkan, lebih karena kekecewaan mereka. Yah, mereka tak bisa menerima mereka tak berguna bagi negera yang telah mengalahkan tentara penyerbu dari Albion.

Tentu saja, pembatalan aliansi tak pernah terlintas dalam pikiran. Tristain adalah negara kuat yang Germania, yang ketakutan oleh kemarahan Albion, tak bisa abaikan untuk diajak. Dengan kata lain, Henrietta mendapatkan kebebasannya melalui tangannya sendiri.


Sekelompok tentara Albion yang kalah tengah menonton keramaian dari sudut plaza. Mereka adalah ningrat dari tentara Albion yang ditawan. Meski mereka tawanan, mereka diperlakukan baik, Tongkat mereka diamankan, tapi mereka tak diikat, dan bisa dnegan bebas berdiri, Penjaga ditempatkan disekitar mereka, tapi tiada yang berpikir untuk kabur. Saat ningrat ditangkap sebagai tawanan, mereka terkena sumpah. Jika mereka merusak sumpah itu, maka kehormatan dan nama mereka menjadi abu. Untuk ningrat, yang sangat menghargai kehormatan, itu sama dengan kematian.

Didalamnya, ada seorang lelaki dengan wajah terbakar sedikir dengan wajah polos. Itu Tuan Bowood, kapten dari kapal perang Lexington, yang Louise tenggelamkan dengan membuatnya tertelan nyala sihir Voidnya. Dia menyikut seorang ningrat disebelahnya dan berbicara padanya. "Lihat Horatio, itu 'santo' yang mengalahkan kita."

Ningrat yang dipanggil Horatio membalikkan sosok gemuknya dan menyahut. "Hm...Belum pernah ada penobatan seorang putri di Halkegenia sebelumnya. Dan meski mereka mengalahkan kita, perang belum selesai. Lebih jauh lagi, tidakkah dia sedikit terlalu muda?"

"Horatio, kau seharusnya beljar sedikit sejarah. Ada satu kejadian di Gallia dan dua di Tristain dimana putri dinobatkan."

Horatio menggaruk kepalanya. "Sejarah kau bilang? Jika ya, kita hanya pita yang menghiasi lembar pertama dari sejarah brilian Santo Henrietta. Cahaya itu! Tak hanya menghancurkan kapalku, tapi juga milikmu!"

Bowood mengagguk, Bola cahaya yang menyinari diatas Lexington mengembang menjadi raksasa hanya dalam beberapa detik. Tidak hanya menyebabkan kloter ditelan dalam nyala api, ia juga menghancurkan 'batu angin' di kapal, menyebabkan mereka tenggelam menuju tanah. Yang lebih mengejutkan lagi, cahaya itu tak membunuh satu orangpun. Cahaya itu menghancurkan si kloter, tapi tak berefek pada mereka. Mereka bisa melayang turun ke tanah dengan sedikit kontrol yang tersisa pada mereka. Nyalanya memang mencederai banyak orang tapi tiada kematian.

"Sebuah cahaya mukjizat...Aku tak bisa mempercayainya, Aku belum pernah mendengar atau melihat sihir semacam itu sebelumnya. Negara kita punya musuh yang mengerikan." bisik Bowood.

Dia memanggil seorang prajurit yang tengah memegang sebuah halberd raksasa. "Kau, ya, kau."

Sambil mengangkat alisnya, prajurit tersebut menghampiri Bowood. "Apa anda memanggil saya, Tuan?"

Tak peduli lawan maupun kawan, ningrat diperlakukan dengan hormat, Si prajurit menunggu Bowood berbicara dengan sikap sopan.

"Bawahanku tak dipenjarakan kan? Apa mereka diberi makan dengan baik?"

"Tentara yang ditawan dikumpulkan dan diundang masuk tentara Tristain. Apa pekerjaan yang harus dikerjakan mereka tapi kebanyakan mereka seharusnya mau bergabung dengan tentara kami. Bagaimanapun juga, ia adalah kemenangan besar. Jangan khawatir tentang perut mereka, Tristain bukanlah negara miskin yang berhitung untuk memberikan atau tak memberikan tawanan makanan."

"Ini secangkir untuk merayakan kemenangan 'santo."

Prajurit itu tertawa. "Mohon persilahkan saya untuk menawarkan sebuah cangkir untuk kesehatan Yang Mulia."

Merasa senang, Bowood berbisik saat dia melihat prajurit itu pergi. "Jika perang yang menggusarkan ini berakhir dan kau kembali pulang, apa yang akan kau lakukan, Horatio?"

"Aku akan pensiun dari ketentaraan. Aku bahkan bersedia melepas tongkatku, setelah melihat cahaya itu."

Bowood tertawa keras. "Kita berpikiran hal yang sama! Aku juga merasa begitu."


Sebuah senyum mengembang di wajah Kardinal Mazarini selama dia duduk disebelah Henrietta. Itu senyum yang dia tak pernah tunjukkan selama 10 tahun, sebuah senyum tanpa kekhawatiran. Sambil membuka jendela kereta, dia melambaikan tangannya untuk membalas sorakan dari kerumunan. Dia senang dua beban di bahunya terangkat. Administrasi internal dan diplomasi. Dia mempertimbangkan untuk menyerahkannya pada Henrietta dan berlaku sebagai penasehat saja. Mazarini menyadari tuan barunya berwajah sedih. Sambil memainkan kumisnya, dia menanyakan. :Sepertinya kau tak merasa bahagia. Aku belum melihat keceriaanmu sejak kau melangkah masuk kereta ini."

"Mengapa aku mesti naik tahta? Bukankah masih ada Ibu?"

"Dia bahkan takkan bereaksi bila kami memanggilnya 'Yang Mulia Ratu'/ Dia mengatakan dia bukanlah seorang raja, dia hanyalah istri seorang raja dan ibumu. dan pasti takkan mengenakan mahkota."

"Mengapa ibuku menolak menermanya?"

Segurat kesedihan terpancar dari wajah Mazarini. "Sang ratu masih bersedih. Dia masih merindukan ayahmu yang tiada."

Henrietta mendesah. "Maka aku akan jadi seperti ibuku. Tahta bisa tetap dikosongkan. Penobatan takkan dilakukan."

"Jangan mengatakan hal yang egois begitu! Penobatanmu adalah sesuatu yang juga diharapkan ibumu. Tristain tak bisa jadi sebuah negara lemah sekarang ini. Para ningrat dan rakyat dari Tristain, juga negara sekutu, berharap kau untuk mengambil alih tahta."

Henrietta mendesah lagi. Dia menatap rubi angin pada jari manis kirinya. Itu cincin yang dibawa Saito kembali padanya, sebuah pengingat dari Wales. Kemenangan yang mengangkatnya ke tahta...dalam sudut pandang tertentu adalah kemenangan Wales, Cincin itu memberi Henrietta keberanian untuk menghadapi musuh. Jika ibu membiarkan tahta kosong karena merindukan ayah...maka aku ingin melakukan hal yang sama. Aku tak ingin jadi seorang ratu. Tapi dia bisa mendengar sorakan kerumunan. Seakan membujuknya, Mazarini dengan pelan berbisik. "Seluruh Rakyat mengharapkan penobatan ini. Badan Yang Mulia sudah bukan lagi milik anda."

Dengan sebuah deheman, dia melanjutkan. "Aku akan menjelaskan tatacara penobatan. jadi kau takkan membuat kesalahan apapun."

"Ia hanya mengenakan sebuah mahkota...Mengapa begitu cerewet."

"Jangan berkata begitu. Ia adalah sebuah ritual suci. Ritual dimana kau dibebani kekuatan yang diberkahi Sang Pendiri dan menyatakannya pada dunia. Seluruh Tatcaranya adalah sebuah tradisi."

Dalam suasana 'penting', Mazarini menjelaskan tatacaranya. "...Kemudian, saat ritual selesai, Yang Mulia akan emnghampiri Sang Ratu di altar. Kau akan membacakan sumpah yang ditulis Sang Pendiri dan Dewa, kemudian ibumu akan mengenakan mahkota padamu. Kemudian seluruh Halkegenia, termasuk aku, akan menyebutmu dengan 'Paduka'."

Sebuah sumpah...Bersumpah akan sesuatu yang tak benar-benar dipegang teguh dlam hatinya,,,bukankah itu pengkhianatan? Pikir Henrietta.

Aku tak bisa berpikir diriku adalah ratu. Kemenangan itu...Kemenangan di Tarbes yang mengangkatku ke tahta tak dicapai dengan kepemimpinanku, tapi karena berlebihnya pengalaman dan keteguhan dari para jenderal dan Mazarini. Aku hanya memimpin, aku tak melakukan selain itu. Jika Wales masih hidup, apa yang akan dikatakannya padaku? Aku, yang telah diberikan tugas untuk melayang ke puncak kekuatan...

Wales. Walesku yang tersayang. Satu-satunya yang pernah kucintai...

Sebelum itu atau bahkan setelahnya, Satu-satunya saat dimana aku benar-benar bersumpah dengan kata-kata yang bergema dengan sebenar-benarnya dalam hatiku adalah saat itu di Danau Ragdorian. Kemenangan Besar dan kecemerlangan penobatan tak meringankan Hati Henrietta dari pikiran semacam itu. Dia menatap parkemen di tangannya dengan tatapan kosong.

Itu laporan yang dikirim pada Henrietta pada hari sebelumnya. Yang tertulis disana adalah hasil interogasi tawanan yang dilakukan penjaga. Ada stertulis sesuatu tentang Zero fighter Saito menembak jatuh para naga. Seorang tawanan yang menjadi pengendara naga mengatakan ia terbang dengan kelincahan tinmggi dan menggunakan serangan berdasar sihir yag kuat, menembak jatuh sekutunya satu demi satu. Tapi naga semacam itu tak ada di tentara Tristain. Bingung dengan ini, si penjaga memeriksa hal ini lebih lanjut, Sebuah laporan dari Desa Tarbes berlanjut. 'Naga' yang digunakan pengendaranya adalah tak lain dan tak bukan merupakan barang sihir yang dinamakan 'Baju Naga' milik Desa Tarbes. Tapi sepertinya ia bukan barang sihir, tapi lebih sebagai mesin yang tak dikenal.

Yang mengendalikannya adalah familiar temannya, La Vallière. Dan...Juga Ada sedikit petunjuk info mengenai cahaya yang menghancurkan kloter musuh. Cahaya itu, muncul dekat mesin terbang itu. Penjaga telah berhipotesa, bahwa La Vallière dan familiarnya merupakan sumber cahaya itu. Namun, penjaga itu merasa bingung apa dia harus menghubungi mereka berdua. Laporan itu diakhiri dengan permintaan untuk arahan lebih lanjut soal investgasi ini.

Cahaya yang membawakanku kemenangan...Cahaya kuat yang menyerupai matahari...Bahkan memikirkan soal cahaya itu membuat tubuhku menghangat...

"Apa itu kau Louis?" Bisik Henrietta perlahan.


Sementara itu, berlawanan dengan keriuhan di jalan Bourdonné, hari-hari tua yang berulang terus berlangsung di Akademi Sihir. Kepala Akademi, Osman, telah memuji kemenangan Tentara kerajaan di Tarbes, tapi selain itu, tiada yang terjadi. Tapi, sekali lagi, mereka berada di sekolah, sebuah lingkungan yang tak memiliki tempat untuk politik. Bahkan dalam kecamuk perang, para murid entah kemana mengerjakan keperluan mereka sendiri. Bagi ningrat Halkegenia, perang adalah sesuatu yang terjadi tiap tahun. Selalu ada pertengkaran dimanapun di dunia ini. Dan saat semua menjadi lebih serius, akan selalu ada kekacauan, tapi saat perang telah usai, semua kembali seperti sediakala.

Didalam proses ini, sebuah perang kecil lain telah terbangun dan menggelinding di Lapangan Vestri yang sunyi. Pada sebuah bangku dibawah matahari nan hangat, Saito membuka bungkusan di tangannya. Wajahnya berseri-seri, "wow! Hebat sekali! Sebuah syal!"

Siesta yang wajahnya memerah duduk di sampingnya, "Yahh, em, apa ya...pesawat? Dingin kan kalau naik itu?"

Kini tiga jam lewat tengah siang. Karena Siesta mengatakan memiliki sesuatu untuk diberikan padanya, dia bilang supaya Saito datang ke lapangan Vestro. Dan hadiahnya berupa syal. Sebuah syal seputih salju. Ia hangat bagai kulit lembut Siesta.

"Ya! Memeng jadi agak dingin sih klo buka pelindung anginnya."

Saito mengenakannya di leher untuk mencobanya. Kini awal musim panas, tapi langit masih dingin dan lebih dingin lagi kalau pelindung angin dibuka. Selama lepas landas dan pendaratan, dia perlu menyembulkan kepalanya keluar pelindung angin untuk memeriksa bawahnya, Ini berbeda dengan pesawat modern dimana mereka bisa melakukan semuanya dengan pelindung angin tertutup. Di syal putih itu, ada kata-kata tertul;is dengan wol rajut hitam. Mulanya mereka terlihat sebagai huruf-huruf dari alfabet, tapi bila dilihat lebih dekat, mereka adalah karakter-karakter Halkegenia, agak berbeda dari alfabet.

"Apa artinya ini?"

"Hm? Ah. kau tak bisa membaca tulisan kami karena kau dari dunia lain. Um, Namamu tertulis disitu."

"Oh, begitu."

Saito tersanjung, "Ah, jadi begini cara namaku ditulis dalam karakter dunia ini." pikirnya sambil melihatnya terkagum-kagum. Empat karakter tersusun berderet, yang mungkin dibaca "Saito. Didekatnya ada susunan karakter berjumlah 6.

"Kalau ini bagaimana?"

"hehe...tiu namaku. Maaf, aku tak bisa tidak. kau tak suka?"

"Ti-tidak, buikan begitu1"

Saito dengan panik menggelengkan kepalanya.

"Aku benar-benar senang kau merajut sebuah syal untukku."

Ini kali pertama dalam hidupnya dia menerima hadiah dari seorang gadis. Dia teringat tragedi yang terjadi tiap tahun. Ulang tahunnnya jatuh pada hari libur nasional, jadi sekolah libut. Dia tak punya pacar sekalipun yang menyelamatinya. Pernah sekali, ibunya memberi sebuah jam padanya, yang rusak di hari berikutnya. Pada hari valentine, pernah kejadian kursinya tertukar dengan orang disebelahnya dan sebauh coklat diletakkan di mejanya.

"Siapa ya?! Siapa ya yang suka padaku?! teriaknya, menari kemana-mana saking bahagianya. Seorang gadis berpenampilan biasa mendatanginya dan mengatakan "Maaf, kursnya tertukar." Malu karena tingkahnya, dia berakhir dengan ngambek dalam toilet. Dan karena itulah, menerima sebuah hadiah dari seorang gadis cukup untuk membuanya berkaca-kaca. Fakta bahwa ia buatan tangan menguatkan manisnya Siesta 120%. Siesta yang biasanya manis kini terangkat derajatnya menjadi malaikat. "Ta[i apa tak apa-apa memberikan ini padaku? Pasti butuh kerja keras untuk merajut ini." kata Saito perlahan.

"Tak apa-apa. kau tahu, saat tentara Albion menyerang, aku sangat ketakutan. Tapi saat kudengar pertempuran berakhir dan keluar hutan, kau sudah mendarat dengan pesawat itu kan?"

Saito mengangguk.

"Aku benar-benar senang. Itulah mengapa aku..."

Keduanya tersadar bahwa wajah mereka memerah. Siesta telah memeluk dan mencium saito di saat itu. Penduduk desa keluar hutan sebentar setelahnya. Banyak dari mereka telah menonton Saito mengalahkan naga musuh dengan Zero fighternya dengan penuh perhatian. Mereka memuji Saito dan Louise sebagai pahlawan karena telah meremukkan mush. Perayaan diadakan tiga hari tiga malam, dan keduanya menerima perlakuan setara keluarga kerajaan. Mereka juga telah mengembalikan kehormatan Kakek Siesta, dengan membuktikan bahwa Zero fighter memang bisa terbang. Selama perayaan, Siesta dengan rajin mendekati Saito dan merapat padanya, Seperti sekarang, tubuhnya menyender ringan pada Saito. Kebingungan, Saito mengucek-ucek Syal di lehernya.

"Uh?"

Dia menyadari sesuatu. :Siesta, syalnya agak panjang..."

"Hehe...itu karena ia dibuat untuk melakukan ini."

Siesta mengambil ujung syal dan melilitkannya di lehernya. Saat dia melakukan itu, panjang syalnya sudah pas.

"I-ia dibuat untuk dua orang/"

"Yap. Kau tak menyukainya?"

Ada aura kuat terpancar begitu Siesta memandangi kedalam mata Saito setelah berkata begitu. Ini bagai dia memiliki mata seekor pupi nan manis. Sebuah syal untuk berdua...Kau ini apa, pelayan nan sempurna? Pelayan sepertimu akan dihukum mati di jepang, k-k-k-kau... Pikiran Saito mulai ga beres. Sikap bagai-pelayan Siesta telah mendaratkan hantaman kritis di fikirannya. Siesta meluncurkan serangan lainnya. Sambil menutup mata, dia memajukan bibirnya dan bersender pada Saito.

Saito menelan ludah. Reaksi dia akan membuatnya menekankan bibirnya pada milik Siesta. Tapi...ingatan tentang perkataan ayah Siesta selama pesta mengemuka dalam pikirannya. Dia telah menghampiri Saito saat Siesta meninggalkan kursinya sebentar, Dia memuji Saito sebagai pahlawan desa, untuk aksinya mengalahkan para naga dari Albion. Namun, wajah tersenyumnya memancarkan aura gelap saat dia mengarahkan pandangan mengerikannya pada Saito. "Kau penyelamat desa ini, dan pahlawan yang melindungi Tristain dari Albion. Aku mencintaimu untuk itu. Tapi..."

"Um, tapi apa?"

"Jika kau membuatku putriku menangis, aku akan membunuhmu."

Saito takkan pernah melupakan wajah ayah Siesta saat dia mengatakan itu. Ia lebih menakutkan dari para orc, naga, bahkan sihir Louise yang menghancurkan kloter mush. Dia tak bisa dengan santai menggapai Siesta. Dia adalah seseorang yang bagaimanapun juga harus kembali pulang...Jika dia menciumnya, maka dia akan membuat Siesta sedih. Dan jika itu terjadi, ayah Siesta mungkin akan mengikutinya ke bumi dan memburunya. Teror yang dipancarkan wajah ayah Siesta, cukup mengancam untuk menghentikannya dari menertawakan ide itu.

Tapi, begitu bibir Siesta mendekat semakin dekat, keengganannya mulai goyah. Karena Saito tak juga bergerak mendekat, sepertinya Siesta berencana menolkan jarak sendiran. Sambil memegangi kepala Saito, dia dengan berani mendekatkannya. Siesta adalah seorang gadis dengan keberanian yang seukar dipercaya saat dia berani. Saito tak bisa melawan. Ah, tidak...tapi jika hanya sebuah ciuman...Pikirnya begitu tubuhnya mengkaku. dang dengan "duk" nan keras, Saito pingsan karena sebuah batu besar dilemparkan pada kepalanya. Sekitar 15 meter di belakang bangku yang ditempati saito dan Siesta, ada sebuah lubang menganga di tanah. Didalamnya, ada seirang gadis yang tengah mengumpulkan napas. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Louise. Louise menginjak keras tanah. disampingnya, ada tikus tanah raksasa yang menggali lubang itu, Verdandi dan si pedang pintar, Derflinger. Setelah memaksa tikus tanah Guiche menggali lubang, Louise bersembunyi didalamnya, menyembulkan kepalanya dalam sunyi dan mengawasi Saito dan Siesta. Dia telah membawa Derflinger bersamanya karena dia ingin menanyakan beberapa hal padanya.

"Apaan sih familiar itu?!"

Racaunya sembari meninju dinding lubang dengan kepalannya.

"Jangan mati Saito!" dapat terdengar dari bangku, begitu Siesta memapah saito. Louise telah melemparkan batu yang mengenai Saito di kepala. Adalah tak terampuni untuk mencium gadis lain karena dia familiarnya.

"Hei gadis ningrat." kata Derfilnger dengan suara tak bernada.

"Apa? Mulailah mengingat namaku dari sekarang."

"Siapa peduli tentang itu? daripada itu, apakah kini tengah tren menggali tanah untuk mengawasi familiar?"

"Mengapa ia bisa ngtren?"

"Lalu mengapa kau mengintip dari lubang ini?"

"Jika aku terlihat, aku akan terlihat buruk." kata Louise sambil menatap pedang.

"jadi bukankah lebih baik untuk berhenti mengintipnya? Tak apa-apa kan meninggalkannya melakukan apa yang disukainya kan?"

"Tidak, itu tidak apa-apa. Familair tolol itu, bahkan tanpa meminta nasihat dariku, menghabiskan seharian berc-c-c-c-cumbu dengan gadis itu."

Suara Louise mulai bergetar ketika dia mencapai kata "bercumbu." dia cukup marah.

"Aku mungkin adalah penyihir 'Void' nan legendaris, tapi aku tak bisa menemukan seorangpun untuk membicarakannya. Aku bahkan hendak mencari familiarku yang tolol, tak guna nan inkompeten tapi dia pergi entah kemana berc-c-c-cum..."

"C-c-c-cum-"

'Jangan meniruku!"

"Tapi bukankah melemparkan sebuah batu sedikit berlebihan? Rekanku mungkin bisa mati."

Louise menyilangkan lengannya sambil duduk didalam lubang. "Bercumbu di suatu tempat tanpa memenuhi tugas seorang familiar; dia masih 10 tahun terlalu muda untuk itu!"

"Cemburu."

"Tidak. kau salah."

Saat Louise membuang mukanya yang memerah, Derflinger meniru nada biacara Louise. "Mengapa dia tak mencoba menciumku?"

"Diamlah."

"Aku bahkan berpura-pura terlelap. Aku akan menangis, kau tahu."

"Jika kau mengatakan itu lagi, aku akan melelehkanmu dengan sihir 'Void'ku. Aku bersumpah, aku akan melelehkanmu."

Derflnger gemetar tak karuan dengan tawa. Sambil memicingkan mata tanda ketidaksenangannya, Louise menanyai Derflinger. "Hei, sepertinya tiada lagi yang bisa ditanya selain kau. Seorang ningrat terhormat seperti aku, tengah menanyai sebuah pedang karatan sepertimu sebuah pertanyaan, berterima kasihlah."

"Apa?"

Louise berdehem. Dengan wajah memerah, dia menanyai Derflinger dalam nada suara yang dengan habis-habisan mencoba menyelamatkan tiap harga diri yang dimilikinya. "Katakan di bagain mana pelayan itu lebih menarik daripadaku, dengan singkat dan mudah dimengerti."

"Apa gunanya bertanya itu?"

"Itu bukan urusanmu. Jawab saja pertanyaannya."

"Kecemburuan."

"Kukatakan bukan itu kan?!"

"Bahkan kau dnegan sepenuh hatimu menciumku saat itu...aku akan menangis kau tahu."

"Baiklah, kini saatnya melelehkanmu."

Louise dengan erat memegang tongkatnya sambil menggumamkan sebuah mantra. Derflinger dengan cepat menjawab dalam kepanikan. Dia tak mungkin menahan sebuah ledakan dari cahaya bersihir."O-OK, aku mengerti! Itu tak membantumu ya?! Pertama-tama, gadis itu bisa masak."

"Kukira juga begitu. Terus apa. Kau bisa hanya memesan makanan."

"Cowok suka cewek yang bisa. Dia juga tampak mahir dalam menjahit."

"Aku juga bisa. Aku diajar ibuku kau tahu."

"Kau bagai kadal, dan dia naga bila ada yang membandingkan kalian dalam menjahit."

"Berikutnya."

"Yah, wajah...Kupikir ini masalah kesukaan. Kau cukup bagus dalam bagian ini tapi gadis itu juga punya auranya sendiri. Tapi gadis itu punya senjata yang tak kau miliki."

"Dan apakah itu?"

"Buah dada."

"Orang akan tumbuh, tahu."

Louise mengatakan itu sambil membusungkan dadanya. Sebuah dada yang benar-benar datar.

"Berapa usiamu?"

"16."

"Oh, Sudah dewasa. Tiada harapan tersisa."

Louise mulai menggumamkan mantra.

"Tungu! Hentikan! Hei! Cowok secara alami menyukai cewek dengan buah dada besar. Dia nyata-nyata terbang ke tanah peri saat dia mandi bersama gadis itu."

Saat Derflinger bicara begitu, amarah mulai mengisi mata Louise.

"Apa? Apa yang baru saja kau katakan?'

"Eh? Saat mereka mandi bersama..."

Derflinger menjelaskan kejadian saat Saito dan Siesta mandi bersama. Louise menghirup dan menghembuskan napasnya dalam-dalam. Dia gemetar karuan karena marahnya. Derflinger memutuskan tetap diam setelah ditakuti olehnya, sesuatu yang jarang bagi pedang seperti dia untuk dirasakan. Sementara itu, si tikus tanah telah menyembulkan kepalanya dari lubang. Ia telah melihat sosok senang tuannya yang sedari tadi mencari-carinya.

Sambil berjongkok, Guiche melingkarkan lengannya pada familiarnya dan menggosokkan dagu padanya. "Ah! Aku tadi mencari-carimu, Verdandi! kau si lucu berambut! Demi Hakkegenia, apa yang tengah kau lakukan, menggali lubang di tempat seperti ini? Hm? Eh. Lousie?"

Guiche tampak terkejut saat dia menjorok ke lubang dan menemukan Louise. "Mengapa kau berada dalam lubang ini?"

Dengan wajah khawatir, Verdandi memandangi Guiche dan Louise. Guiche memberikan anggukan pelan dan mulai berbicara dengan sikap yakin.

"Aku mengerti Louise. Kau membiarkan Verdandi menggali lubang, sehingga kau bisa mencari cacing tanah? Untuk membuat serum kecantikan ya. Dan familiarmusepertinya bersama pelayan dari aula makan juga..." kata Guiche, sambil melirik adegan Siesta merawat Saito. Seperti biasanya, Saito pingsan. Siesta akan memegangi dadanya dan membuat keributan besar.

"Ahaha! Kau akan harus bekerja keras pada kecantikanmu untuk memenangkan kembali familiarmu itu! Diambil oleh seorang gadis desa...kehormatanmu dengan pasti akan hancur!"

"Sial." gumam Derflinger.

Louie menggenggam lutut Guiche dan menarknya kedalam lubang. dalam dua detik, dia sudah menghabisi Guiche. Si tikus tanah dengan khawatir menyentuh-nyentyhkan hidungnya pada wajah pingsan Guiche. Sambil mengeraskan kepalannya. Dia bergumam dalam nada rendah. "Berikutnya dia."

"Sepertinya 'Zero' ini 100x lebih mengerikan daripada sebelumnya." kata Derflinger pada dirinya sendiri.


Sambil menguisap kepalanya yang nyeri, Saito kembali ke kamar Louise, dan menemukan Louise yang tengah duduk sambil menyilanglkan kaki di kasur sambil menatap jendela. Kamarnya agak gelap. Kinis udah sore tapi Louise belum menyalakan cahaya apapun. Saito merasakan bulu kuduknya berdiri dari suasana ngeri ini.

"Apa ada saah Louise? Bukankah kamarnya agak gelap?"

Louise tak menjawab. Dia terus membelakangi Saito. Seprtinya dia tengah pundung(maaaf, ini bahasa sunda). Apa ya kira-kira yang bikin dia marah? fikir Saito.

"Waktu yangagak telat untuk kembali ya? Apa saja yang kau lakukan?" kata Louise tanpa bergerak seincipun. Nada suaranya dingin, tapi sepertinya dia tak marah.

Saito mendesah lega dan menjawab "Aku bertemu Siesta di lapangan Vestro. Dia bilang dia memiliki sesuatu yang ingin diberikannya. Dan setelahnya ada batu entah darimana yang menghantam kepalaku...Ia benar-benar sakit."

"Benar-benar deh. Pasti hukuman langit. Ngomong-ngomong, aku punya sesuatuuntuk dikatakan padamu...jadi duduklah di lantai."

"Eh, lantai?"

"Kau anjing."

"Ah, kembali pada anjing~", gumam Saito sambil perlahan kembali ke pintu. Jangan mengutuk para dewa, kate mereka. Uh, Louise lebih mengerikan dari seorang dewa. Apa itu karena sihir Void sang Pendiri, dia tak tahu, tapi ini Louise - yang menghancurkan seluruh kapal musuh dnegan sebuah mantra. Louise menyentak tongkatnya saat Saito mencoba membuka pintu.

"Huh?" saat dia mencoba memotar pegangan pintu, ia tak mau memutar.

"Aneh, huh,...sepertinya kini aku bisa sihir biasa dengan mudah." kata ouise dengan punggungnya tetap membelakangi Saito.

"L-Louise?" tanya Saito dengan suara bergetar.

Louise mengerikan. Suaranya biasa, tapi tetap saja dia mengerikan.

"Aku selalu gagal pada mantra keempat cabang sihir sampai titik ini...mungkin memang benar aku adalah yang terpilih untuk memakai void. Dan dari hari ke hari, akan ada pertumbuhan. Menurutmu bagaimana, anjing?"

Saito kini habis-habisan mencoba memutar pegangan pintu, tapi ia tak mau bergerak.

"Tiada gunanya. Aku menyihir sebuah mantra "Pengunci" disitu. Ngomong-ngomong, anjing, tuanmu tengah gelisah. Aku mungkin yang terpilih untuk memakai sihir void, tapi aku bahkan tak bisa menemukan seorangpun untuk berbicara. Tiada yang tahu kini aku bisa menggunakan sihir void. Sepertinya sihir ledakanku hanya diperlakukan sebagai mukjizat oleh orang-orang...Tapi kupikir istana akan segera tahu. Allu apa jadinya aku? Dalam situasi sulit begini, familiarku yang tolol nan memalukan memutuslan untuk pergi berkencan dengan seorang pelayan."

Dan kau bahkan menc-c-c-ciumku - Louise hampir mengatakannya sebelum dengan cepat menutup mulutnya. Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia pilah kata-kata berikutnya. Wajah Saito makin memucat daripada yang sudah-sudah setelah terus berusaha memutar pegangan pintu. Tak peduli seberapa keras dia mencoba memutarnya, pegangan tetap tak terputar. Sihir 'pengunci'nya sangat kuat.

"Sebuah kencan kurasa takapa-apa. Tapi mandi bersama. Kini itu tak bisa. It yang terburuk dari yang terburuk. Mengabaikan tuanmu dan mandi bersama dengan seorang pelayan? Aku cukup yakin itu pantas dihukum mati. Kau sangat beruntung aku orang yang lembut."

Louise mulai gemetaran.

Kau bahkan menc-c-c-ciumku. Mandi bersama. Mandi bersama dengan si pelayan.

Sesuatu terbang menuju jendela. Itu seekor pelikan.

"Ah, cepat ya."

Louise membuka paket di kaki pelikan, menempatkannya di kasur dan menaruh beberapa koin emas di paruhnya. Sepertinya pelikan digunakan sama dengan pelayanan kiriman di dunia ini.

"A-Apa yang kau beli?"

"Aku kini menyadari anjing tak jua kapok bila kau hanya menggunakan sebuah cambuk."

Wajah Saito membeku sambil dengan gila-gilaan mencoba memutar pegangan pintu.

"T-Tolong! Tolong!"

"Kukatakan padamu, itu taida gunanya."

Saat dia melirik ke belakang, Louise berdiri tepat dibelakangnya. Saito menjerit saat melihat wajah Louise. Louise tengah menggigit bibir dengan mata terbakar. Dia mungkin lebih mengerikan dari Ayah Siesta. Seperti biasanya, Louise mengarahkan sebuah tendangan pada bagian bawah Saito, yang hasilnya berupoa kolapsnya Saito di lantai.

"Aaaaaah...mengapa kau sangat tak manusiawi pada bagia sensitifku?"

Louise menekankan satu kaki pada leher Saito. "Dengarkan anjing. Sepertinya kau kurang hormat. Selalu mengibaskan ekormu disini dan disana - itulah menapa aku beli ini."

Louise mulai mengikat sesuatu yang sepetinya mirip tali kulit pada tubuhnya. Dan dengan sebuah 'clink' kunci didadanya terkunci. Ini semacam pengikat tubuh.

"A-Apa ini?"

"Alat sihir penahan yang biasanya digunakan untuk menjinakkan binatang buas."

"Kau pasti bercanda!" teriak Saito sambil mencoba berdiri. Louise menggumamkan sebuah mantra pendek. "Vasra."

Dengan geliatan kesakitan, Saito jatuh ke tanah.

"Ia punya sihir air dan angin padanya. Dengan sinyal dari tuannya, ia akan mulai memberikan struman listrik." Jelas Louise, tapi Saito sudah pingsan karena setruman tadi.

Louise menarik tubuhnya melewati lantai dan melemparkannya kedalam tumpukan jemari. "Kau kecepatan 100 tahun untuk mandi bersama seorang gadis!"



Bab 2 - Saito Pergi Berbelanja di Kota yang Penuh Keramaian[edit]

Wardes bangun. dia mencoba bangkit dan bermuka masam. Saat clingak-clinguk(wonder ni susah nerjemahinnya, tergantung situasi), dia melihat bandana yang dilingkarkan pada tubuhnya. Dimana aku? Aku yakin aku kena sihir dari mesin terbang yang dipiloti Gandálfr dan pingsan. Dia melihat sekelilingnya. Ia kamar sederhana dengan dinding dan lantai kayu. Ada liontin di meja, yang dia pakai di lehernya. Melihat sebuah jug, dia mencoba meraihnya. Tapi dia tak bisa mencapainya, karena seluruh tubuhnya masih nyeri/ Pada saat itu, pintu terbuka dan dia melihat sebuah wajah yang biasa.

"Oh, kau sudah sadar."

"Tanah Ambruk? Kau..."

Fouquet menempatkan sepiring sup di meja. Wardes mencoba bangkit lagi dan merasakan sesetruman nyeri di sekujur tubuh. "Agh.."

"Kau masih tak bisa bergerak. Badanmu ditembus rentetan peluru di sekujur tubuh. Ia menghabiskan seluruh penyihir elemn air untuk membacakan mantra 'penyembuhan' selama tiga hari tiga malam untuk menyembuhkanmu."

"peluru?"

Wardes membuat wajah curiga.

"Apa aku ditembak pistol? Inikah kekuatan pistol?"

Pistol adalah senjata yang digunakan jelata. Tekanan dari percikan pelatuk, menekan sebuah peluru bundar keluar dari senjata. Meski kekuatannya dalam jarak dekat melebihi dari busur, keharusan mengisi peluru dan bubuk mesiu secara terpisaj membuatnya sulit untuk menembak cepat. Sebagai tambahan, akurasinya tak lebih baik dari panah. Kelebihan utama dari pistol adalah kau tak perlu latihan tambahan untuk menggunakannya. Ia bukanlah senjata hebat bagi seorang penyihir.

"Benarkah? Kau bahkan tak tahu senjata yang mengalahkanmu? Oh orang yang acuh."

Sambil berkata begitu, Fouquet menyendok sup dan membawanya ke mulut Wardes.

Wardes berfikir, ini pasti mesin terbang aneh yang digunakan Gandalfr... Tak hanya ia bisa terbang cepat, tapi ia juga dilengkap pistol yang bisa menembak terus-terusan. Dan lalu, dalam sekejap, sebuah pusaran cahaya muncul...Seluruh kloter Albion telah dihancurkan dalam sekedip mata oleh cahaya itu...Apa cahaya yang kulihat? Sesuatu pasti tengah terjadi Halkegenia. Aku bisa mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena kejadian ini meungkin berhubungan dengan itu entah bagaimana...Keinginanku untuk mendapatkan kemampuan Louise. Dan kemampuan manipulasi sihir aneh milik Kaisar Suci Cromwell...Bahkan jika dia akan mengikuti Cromwell dan pergi ke Tanah Suci, rencanya mungkin tak berhasil, mengingat seluruh kloter dihancurkan hanya oleh satu orang.

"Hei, supnya dingin nih."

kata Fouquet, dengan nada marah, pada Wardes. Dia hilang dalam alam pikirannya sendiri.

"Dimana ini tempat?" pinta Wardes, tak sekalipun melirik supnya.

"Albion. Ini kuil di pinggiran Londinium, dimana aku bertugas dulu. Baguslah kau bisa kembali dengan utuh, kau harus berterima kasih padaku untuk itu."

"Albion? Apa yang terjadi dengan sebuan militer?"

"Aah, kukira kau tak tahu keadaan karena kau pingsan. Ia kegagalan sempurna. Setelah pengahncuran kloter, Tentara Albion memutar arah. Ampun deh. 'Kemengan Pasti' apanya. Jika kau tak bisa mengalahkan Tristain, yang jumlahnya kau lebihi berkali-kali lipat, kau mungkin kesulitan mengambil kembali Tanah Suci."

"Kutak tahu kau bergabung dengan prajurit penyerbu juga. Kau seharusnya bilang padaku soal itu."

Fouquet terheran-heran. :Aku memberitahumu kok! Aku bertugas disana sebagai unit pemandu karena tentara Albion tak biasa dengan geografi negara asing! Sepertinya kau jenis yang melupakan hal yang tak menarik bagimu!"

"Begitukah> Aah, itu benar. Maaf."

Lalu Wardes bergumam"Aku lapar, berikan aku sedikit sup."

Meski Wajah Fouquet berubah muram dan kesal, sup tetap saja dikirim ke mulut Wardes. "Apa hanya 'lapar' yang bisa kau ucapkan? Aku dengan cepat merawatmu, segera menyembuhkanmu dengan mantra 'Air'ku. Setelah itu, dengan menggunakan relasi ilegalku saat aku jadi pencuri, aku entah bagaimana dapat kapal untuk Albion, dan kabur dengan aman. Beneran dah, seharusnya aku tak menyelamatkan orang yang tak tahu terima kasih ini!"

Wardes menunjuk meja. "Bisakah kau membawa liontinitu padaku?"

Liontin ituberupa loket perak. Fouquet membawanya pada Wardes.Dia mengambilnya dan mengenakannyadi leher.

"Apa ia sangat penting bagimu?"

"Ga begitu juga, tapi ia menenangkanku."

"Dia wanita yang sangat cantik."

Saat Fouquet menonton Wardes dengan senyum dikulum, pipi Wardes memerah.

"Kau melihatnya?'

"Ya, karena kebiasaan. Kau memegangnya erat dalam tidurmu, jadi aku penasaran."

"Sebagaimana yang diharapkan dari seorang pencuri."

"Jadi ceritakanlah, siapa orang itu? Yang penting bagimu yang lain?" tanya Fouquet pada wardes sambil membungkuk kedepan.

Wardes berkata dengan nada tak senang. "Dia ibuku."

"ibumu? Penampilanmu menipuku, ku tak tahu kau begitu manja ke ibumu. Kau hidup dengannya?"

"Tak lagi. Selain itu, ia bukan urusanmu."

"Setelah merawatmu, itukah sikapmu sebagai balasannya?"

Pada saat itu, pintu terbuka denagn sebuah 'clank'. Itu Cromwell, ditemani Sheffield. Melihat wardes, dia tersenyum tipis. Senyum itu tak pernah berubah. Seperti boneka saja, pikir Wardes. Mereka mengalami kekalahan. Sebuah antukan tak terpikirkan pada langkah pertama dari ambisi Albion. Namun fakta itu tampak tak mempengaruhi Cromwell. entah dia benar-benar tegar atau optimis nan acuh. Itu sulit dikata.

"Sepertinya kau sudah sadar, Viscount."

"Aku minta pengampunanmu, Yang Mulia. Aku tak hanya gagal sekali, tapi dua kali."

"Tapi sepertinya kegagalanmu tak penting."

Sehffield, yang berdiri di sisi Cromwell, mengangguk, kemudian membaca gulungan parkemen yang tampak sebagai laporan, dan bergumam, "Sebuah bola cahaya muncul di langit dan menerjang kloter kita."

"Dengan kata lain, musuh menggunakan sihir tak diketahui untuk melawan kita. Ini adalah kesalahan perhitungan dan itu bukan kesalahan siapapun. Jika ada yang harus dipersalahkan...itu adalah kesalahan pimpinan untuk tidak menganalisis potenso perang musuh dengan tepat. Prajurit biasa sepertimu seharusnya tak dipersalahkan untuk itu. Kau seharusnya fokus pada penyembuhan kesehatanmu."

Cromwell menawarkan tangannya pada Wardes. Wardes menciumnya. "Aku berterima kasih atas kebaikan Yang Mulia."

Wardes teringat rambut pink blonde panjang Louise. Louise berada di mesin terbang itu. Sihir begituan tak pernah...Wardes telah melihat talenta Louise. Dia ingin memilikinya dalam tangannya sendiri...elemen yang digunakan Brimir sang Pendiri. Elemen yang hilang, 'Void'. Dia menggelengkan kepalanya. Cromwell mengatakan 'Void' adalah elemen yang mengendalikan kehidupan. Tapi bagaimana ia bisa menciptakan cahaya yang bisa mengalahkan seluruh kloter? Bahkan jika ia benar-benar sihir yang kuat, adalah sulit membayangkan bahwa Louise bisa mengendalikannya.

"Apa 'Void' sumber cahaya itu? Tapi 'Void' yang Yang Mulia bicarakan dan cahaya itu tampaknya berbeda jauh."

"Tiada yang bisa mengatakan mereka punya pengetahuan lengkap soal apa itu 'Void'. 'Void' adalah misteri besar."

Sheffield menyela. "Ia dibungkus di sisi lain sejarah yang gelap dan tua."

"Sejarah menyembunyikan banyak hal menarik. Satu kali, Aku ketemu sebuah buku yang menamakan salah satu perisai Pendiri sebagai Santo Aegis. Ia punya sedikit info mengenai 'Void'."

Cromwell berbicara seakan-akan tengah bersyair. "Sang Pendiri menciptakan matahari, untuk menynari bumi."

"Memang. Dulu tiada cahaya dalam matahari kecil itu."

"Misteri diatas misteri, aku merasa sakit, Terbangun juga buruk.<!> Apa iaya begitu, Viscount?"

"Ia sebagaimana yang kau katakan."

"Katanya tentara Tristain dipimpin Henrietta. Untuk alasan apa seorang putri yang masih mentah bertarung? Putri itu menggunakan 'Buku Doa Sang Pendiri'. Mungkin dia mengendus rahasia yang tertidur dalam Keluarga kerajaan."

"Apa rahasia yang tertidur dari Keluarga Kerajaan?"

"Keluarga Kerajaan Albion, Keluarga Kerajaan Tristain, dan Keluarga Kerajaan Gallia...mulanya satu. Dan rahasia Sang Pendiri dibagi diantara mereka. Bukankah begitu, Nona Sheffield?" bujuk Cromwell pada wanita di sebelahnya.

"Ia sebagaimana yang dikatakan Yang Mulia. Harta yang diberikan pada Keluarga Kerajaan Albion adalah 'Rubi Angin'...Namun, dimana Rubi Angin menghilang belum ditemukan. Ini akrena investigasi belum berakhir sampai saat ini."

Wardes mngawasi wanita itu dengan perasaan curiga. Karena wajahnya tersembunyi oleh tudung panjang, wajahnya tak mungkin terlihat. Meski orang-orang berpikir dia adalah sekretaris Cromwell...Dia tak memberikan kesan hanya sebagai sekretaris. Tiada sihir kuat yang terasa darinya, Namun, karena dia dipromosikan kesini oleh Cromwell, dia mungkin punya kemampuan khusus.

"Kini, Henrietta, seorang 'Wanita Suci' yang disembah, dinobatkan sebagai ratu." gumam Cromwell.

Sheffield berkata, "Pemerintahan kerajaan. Ratu negeri itu juga akan mendapatkan rahasia Keluarga Kerajaan."

Cromwell tersenyum. "Wales-san."

Wales, yang dihidupkan lagi oleh Cromwell, memasuki ruangan dari koridor.

"Kau memanggil, Yang Mulia?"

"Aku ingin memberikan rasa terimakasihku pada penobatan cintamu....sang Wanita Suci. Aku ingin dia datang ke istanaku di Londinium. Namun, perjalanan sepertinya bakal melelehkan jadi temani dia untuk menghapus kebosanan."

Wales menggumamkan, "Pasti" dengan nada datar.

"Jadi, Wardes-san. Jaga diri ya? Aku akan menyerahkan urusan mengundang sang 'Wanita Suci' ke pesta makan malam dan meyakinkan kedatangannya dengan selamat."

Wardes membungkuk. Cromwell dan yang lainnya meninggalkan ruangan. Fouquet bergumam acuh tak acuh. "Lelaki menjijikkan. Mengumpan seorang pecinta dengan cintanya yang telah mati bukanlah cara seorang ningrat."

Fouquet menambahkan, meski dia sendiri membenci para ningrat. "Lelaki itu bukan seorang ningrat. Belumkah kau mendengarnya? Dia hanya seorang pendeta biasa pada mulanya."

Lalu, Wardes menghirup napas keras-keras.

'Ada apa?"

"Aku tak bisa tenang. Jika saja lukaku sudah sembuh...Aku bisa mengerjakan tugasku daripada bermain dengan mayat..."

Setelah itu, Wardes dengan rasa menyesal mengubur wajahnya di tangannya.

"Sial! Aku...Apa aku lemah? Bukankah Tanah Suci terlepas lagi..."

Fouquet tertawa sambil tersenyum, dan menempatkan tangannya pada bahu wardes. "Kau adalah seorang elaki lemah...Yah, kutahu itu sejak awal."

Kemudian, Fouquet mendekatkan wajahnya pada wajah Wardes dan menempelkan bibirnya pada bibir Wardes. Sambil perlahan menarik bibirnya kembali, Fouquet bergumam. "Kini, beristirahatlah. Aku tak tahu apa yang kau sembunyikan...Namun sesekali kau harus beristirahat juga."


Dalam istana Kerajaan Tritain, Henrietta tengah menunggu tamunya. Meski dia seorang ratu, tak pernah dia duduk di tahta. Dia lebih banyak mengerjakan pekerjaan seorang raja. Setelah penobatan selesai dan dia menjadi ratu, Jumlah hal-hal yang perlu dikerjakan untuk urusan domestik dan asing bertambah dengan hebat. Ada yang meminta pinjaman, ada yang memintanya secara baik-baik, dan Henrietta, sejak pagi hingga malam, selalu bertemu orang. Dan, karena perang, ada lebih banyak tamu dari biasanya. Karena dia selalu memaksakan diri untuk menunjukkan kehormatannya, dia menjadi sangat kelelalahan. Meski dibantu Mazarini, dia harus menjawabnya sendiri. Sudah terlalu terlambat untuk Henrietta untuk kembali menjadi seorang putri.

Namun...untuk tamu yang baru saja datang ini, dia tak menunjukkan maupun membuat ekspresi maupun sikap begitu. Sebuah suara tertahan dari luar ruangan memanggil, memberitahu Henrietta soal kedatangan sag tamu. Tepat setelah itu, pintu terbuka. Adalah Louise yang berdiri disana, yang dengan hormat menundukkan kepalanya. Disebelahnya, sosok Saito terlihat. Bahkan sekarang, sebuah alat penahan untuk menjinakkan binatang buas dipasang pada badannya.

"Louise, aah, Louise!"

Henrietta berlari menuju mereka dan memeluk Louise erat. Dengan wajah menengadah, Louise berkata. "Putri-sama...Tidak, kini, saya harus memanggil anda Paduka ."

"Aku tak suka bila kau mengucapkannya begitu resmi, Louise Francoise. Bukankah kau temanku yang tercinta?"

"Maka, Saya akan memanggil anda putri-sama, sebagaimana biasanya."

"Mohon lakukan itu untukku, Aah, Louise, aku tak ingin jadi seorang ratu. Ia dua kali lebih membosankan, tiga kali lebih mengikat, dan 10x lebih mengkhawatirkan." ucap Henrietta, yang tampak bosan.

Setelahnya, Louise diam, menunggu untuk titah Henrietta. Pagi ini, kurir dari Henrietta datang ke Akademi Sihir. Mereka naik kereta yang disediakan Henrietta dan datang kesini. Sepertinya aku dipanggil untuk alasan tertentu. pikir Louise. Apa ini tentang 'mantra 'Void'? Tapi, dia sepertinya enggan berbicara soal itu. Henrietta hanya bertatapan dengan matanya, tak berbicara. Akhirnya, Louise berkata. "Saya harus memberikan selamat atas kemenangan ini." Louise mencoba menemukan topik yang tak sulit bagi Henrietta.

"Kemenangan ini seluruhnya berkat kau, Louise."

Lousie memandangi wajah Henrietta dengan wajah kaget.

"Kau tak bisa menyembunyikan rahasia yang begitu hebat dariku, Louise."

"T-Tapi, aku tak melakukan apapun..." Louise tetap mencoba berpura tak tahu-menahu.

Henrietta tersenyum dan menyerahkan laporan, yang ditulis pada parkemen, kepada Louise, Setelah membacanya, Louise mendesah. "Anda bahkan memeriksa itu?"

"Yah, karena itu hasil perang, adalah lebih baik untuk tidak melewatkan apapun."

Setelahnya, Henrietta menghadapi Saito, yang diacuhkan hingga sekarang. Di perjalanan, Saito mendengar dari Louise bahwa Henrietta telah menjadi seorang ratu, jadi dia merasa sangat tegang.

"Untuk mengendalikan mesin terbang negeri asing yang menghancurkan korps ksatria naga musuh, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya."

"Tidak...itu tidak seperti itu."

"Kau adalah pahlawan negeri ini. Jadi kini aku memberikan kau glar keningratan..."

"Itu sangat salah! merubah seekor anjing menjadi seorang ningrat!"

"Anjing?"

"T-Tidak...itu bukan apa-apa." gumam Louise dengan wajah memerah.

"Maka, aku akan menghadiahimu gelar seorang 'teman'."

Saat Henrietta mengatakan ini, Saito mengucapkan, 'Haa'. Lalu dia mengingat perkataan Kirche yang dulu, Bahwa di Tristain, jika kau bukan seorang penyihir sejak lahir, maka kau tak bisa jadi seorang ningrat. Tapi, pikirannya soal 'teman' ini tak keluar dari mulutnya. Yah, bagaimanapun juga, saat kembali ke Jepang, seluruh gelar akan kehilangan makna mereka.

"Luar biasa...hasil perang yang luar biasa, Louise Francoise. Perang berakhir berkat kau dan familiarmu. Tidak pernah ada kemenangan seperti ini sepanjang sejarah Halkegenia. Dengan penuh kesungguhan, Lousie, kau seharusnya diberikan tanah seukuran negara kecil dan gelar sebagai duchess untuk ini. Dan familiarmu dianugrahi gelar 'teman'.

"Aku t-tak perlu apa-apa...perbuatan ini adalah familiarku..." ucap Louise enggan.

"Bukankah kau penyebab cahaya itu, Louise? Cahaya itu disebut sebuah mukjizat istana, namun aku tak percaya mukjizat. Cahaya itu datang dari mesin terbang yang kau naiki. Bukankah kau penyebabnya?"

Henrietta menatap Louise dalam-dalam. Mustahil untuk menyembunyikan segalanya dengan ini. dan bagaimana dengan Saito? Meski dia terus-terusan menatik lengan baju Louise, mencoba menyela dnegan "Ngomong-ngomong...", Louise perlahan-lahan mulai berbicara soal Buku Doa sag Pendiri. Dia tak bisa berbicra mengenai itu dengan orang lain. Adalah terlalu beresiko untuk melakukan itu. Perlahan-lahan...Louise berbicara pada Henrietta. Dia mengambil "Ruby Air' milik Henrietta, menempatkannya pada halaman dari Buku Doa sang Pendiri dan sebuah tulisan kuno muncul. Saat dia membacanya pada saat itu, dia membacakan mantra sebentuk cahaya.

"Buku Doa sang Pendiri ditulis dengan elemen 'Void'. Apakah ini benar, Putri-sama?"

Henrietta menatap menembus bahu Louise. "Kau tahu Louise? Brimir sang Pendiri memberikan cincin pada tiga anak dari tiga keluarga kerajaan untuk dijaga sebagai pusaka. Tristain mendapatkan "Rubi Air' dan Buku Doa sang Pendiri, dimana keduanya kini milikmu."

"Err..."

"Ia telah diwarisikan seperti ini diantra keluarga-keluarga kerajaan. Keluarga-keluarga kerajaan inilah yang mewarsi kekuatan sang Pendiri."

"Saya bukanlah seorang keluarga kerajaan."

"Apa maksudmu Louise? Leluhur Duke de La Vallière merupakan anak ilegal raja. Dan kau adalah anak Duke itu."

Louise kaget.

"Engkau juga mewarisi darah Keluarga Kerajaan Tristain. Dan itu sucudh sudah cukup bagus."

Setelahnya, Henrietta mengambil tangan Saito. Saat melihat tanda, dia mengangguk. "Apa ini tanda dari 'Gandálfr'? Tanda familiar yang Brimir sang Pendiri gunakan untuk perlindungan selama membacakan mantra?"

Saito mengangguk. Sir Osmond juga mengatakan hal yang sama.

"Jadi...Saya benar-benar seorang pengguna 'Void'?"

"Kupikir memang begitu."

Louise mendesah.

"Jadi kau mengerti kan mengapa aku tak bisa menganugrahimu, Louise/"

Saito, yang tak mengerti, menanyakan kenapa. "kenapa?"

Henrietta menjawab dnegan wajah kelabu. "Jika aku memberikan penghargaan, pelayanan rahasia Louise akan tersingkap seterang siang bolong. Itu berbahaya. Kekuatan Louise terlalu besar. bahkan satu negeri takkan bisa menangani kekuatan semacam ini. Jika ada musuh yang tahu rahasia Louise, mereka akan tergila-gila padanya dan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Aku sendiri akan menjadi sasaran musuh,"

Setelah itu, Henrietta mendesah. "Musuh bukanlah satu-satunya pihak yang tertarik pada 'Void'. Bahkan didalam istana...mereka yang tahu kekuatan itu, akan selalu mencoba menggunakannya demi kepentingan mereka sendiri."

Lousie mengangguk dengan mata ketakutan.

"Karena itulah, Louise, kau seharusnya jangan berbicara dengan siapapun soal kekuatan itu. Rahasiamu aman bersamaku."

Lalu Lousie berfikir sesaat...

Dan, dengan cara perlahan yang memperlihatkan keteguhannya, dia buka mulut. "Jangan khawatir Putri-sama. Aku ingin menunjukkan 'Void'ku untuk anda."

"Jangan...tidak apa-apa. Kau harus melupakan kekuatan itu sesegera mungkin. Dan jangan pernah menggunakannya lagi."

"Tapi...putri-sama, aku ingin membantu anda dengan kekuatan yang dianugrahkan padaku!"

Tapi, Henrietta menggelengkan kepalanya. "Ibu berkata, kekuatan hebat membuat orang gila. Siapa yang bisa yakin bahwa kau, setelah mendapatkan kekuatan 'Void', takkan ke arah sana?"

Louise dengan bangga mengangkat kepalanya. Itu wajah seseorang yang telah memutuskan misinya. Tapi, wajah itu 'berbahaya'. "Aku selalu ingin mendedikasikan kekuatan dan tubuhku pada putri-sama dan ibu pertiwi. Aku diajar begitu, aku percaya itu, dan aku tumbuh dengannya. Namun, sihirku selalu gagal. Sebagaimana yang anda tahu, aku dijuluki 'Zero'. Dibelakang cemoohan dan hinaan, aku selalu diguncang penyesalan."

Louise dengan jelas mendeklarasikan. "Tetapi, Tuhan memberikan kekuatan semacam ini padaku. Aku sendiri percaya diri dalam menggunakannya. Namun, bila anda berkata bahwa paduka takkan memerlukannya, maka adalah perlu untuk mengembalikan tongkatku pada Paduka."

Henrietta tersentuh oleh deklarasi Louise. "Louise, aku mengerti, Kau masih tetap...Sahabat terbaikku. Dari saat-saat dimana kau membantuku di danau Ragdorian. Kau dihukum demi aku..."

"Putri-sama..."

Louise dan Henrietta saling berpelukan dengan erat. Saito, yang selalu ditinggal, mengayunkan kepanaya dnegan fikiran kosong. Louise terlalu baik untuk berjanji tanpa berfikir dulu...pikirnya, meski dia tak menyatakannya. Meski adalah hal baik untuk membantu Henrietta...tapi bagaimana dengan perjalanan ke timur untuk menemukan jalan untuk mengembalikanku ke rumah... Dengan membantu Henrietta, sepertinya mereka takkan kesana.

"Setelah ini, aku juga akan membantu Louise."

"Itu alami, putri-sama."

"Ini aku berikan kembali Buku Doa sang Pendiri padamu. Tapi, Louise, berjanjilah padaku. Jangan bilang siapa-siapa bahwa kau seorang pengguna 'Void'. Dan jangan menggunakannya sembarangan juga."

"Pasti."

"Setelah ini, kau akan jadi wanita senatku dan hanya akan mematuhiku."

Henrietta mengambil pena bulu dan parkemen haluys. Setelah itu, dia menandatangani dokumen itu dan meletakkan pena bulu.

'Ambillah ini. Ini izin resmiku. dengan ini, baik didalam istana. didalam maupun diluar negeri, kau akan memiliki otoritas luar biasa diatas segalanya, bahkan diatas polisi. Jika tiada kebebasan, seseorang tak bisa bekerja baik."

"Louise dengan khidmat menerima izin dengan wajah penuh rasa terima kasih. otoritas Henrietta. Ini berarti Louise dianugrahi hak bertindak atas nama ratu.

"Jika saya menghadapi masalah yang hanya bisa diselesaikan anda, saya pasti meminta bantuan. Untuk ini, mohon tetap berlaku sebagai siswa Akademi Sihir seperti yang anda lakukan sampai saat ini. Karena anda, tanpa keraguan, akan melakukannya dengan baik."

Setelah itu, Henrietta menoleh pada Saito. Memilki ide, dia merogoh kantong bajunya, Saat dia mengeluarkan beberapa koin emas, Saito tahu apa yang akan terjadi.

"Aku memintamu untuk memperhatikan Louise, sahabat pentingku, familiar-san nan baik."

"I-itu, aku tak bisa mengambilnya."

Saito terlihat kagum pada koin emas dan perak dalam tangannya,

"Dengan sepenuh hati, mohon terima ini. Hanya memberikanmu ini sebagai tanda Chevalier adalah yang terbaik yang bisa dilakukan ratu lemah ini. kau menunjukkan kesetiaan padaku dan ibu pertiwi. Ini tak seharusnya tak dihadiahi." kata Henrietta dengan mata penuh kesungguhan.

Sat melihat mata yang begitu, mustahil menolaknya. Setelah menerima ini, sepertinya dia tak bisa menolak untuk membantu Louise. Karena Saito tak berasal dari dunia ini, dia juga bukan bawahan Henrietta, tapi meski dia tak perlu merasa bertanggung jawab, Saito merasakan perlunya melakukan sesuatu. Aah, mungkin ini takdir, pikirnya, Tidak, ini lebih pada pribadinya daripada takdir. Saat seorang wanita cantik seperti Henrietta mengatakan 'kumohon', dia tak bisa menemukan tempat di hati untuk menolak. Orang yang berhati baik ya aku ini. Haa. Dia tak terlalu diterima di Jepang pada waktunya. Bagaimanapun juga, aku harus mencari jalan untuk pulang, pikir Saito, sambil memasukkan koin-koin emas kedalam sakunya.


Saito dan Louise keluar dari Istana Kerajaan berurutan.

"Benar-benar deh, kau terlalu baik dalam berjanji."

"Apa maksudmu?"

Louise menatap Saito.

"Karena, kau berkata kau akan membantu putri-sama, tapi itu membuat pergi ke timur mustahil." kata Saito dengan nada kecewa.

"jangan pergi tanpa izin. Semuanya tetap disni, jadi berhentilah bertanya."

Louise membuang muka dan mulai berjalan meninggalkan Saito di belakang. Saito berlari mengejarnya yang tengah panik.

"bagaimana kau bisa berkatas begitu? Lepaskan aku dari ini!"

Saito menunjuk pada alat penahan yang digunakan untuk menjinakkan binatang buas yang pasanga pada tubuhnya.

"Jangan membantah! Jika si familiar bertindak seenaknya, adalah tugas tuannya untuk memasang rantai padanya." jawab Louise acuh tak acuh.

Saito, yang ingin diperhatikan, tiba-tiba mencengkram bahu Louise. Mereka sudah di jalan Bourdonne, tepat di depan Istana Kerajaan, Jalan raya, dan bagaimana dengan pengguna jalan? mereka semua menonton.

"Hei! Orang-orang melihat! Lepaskan!"

Saito berkata dengan nada rendah. "Kau berpikir bahwa aku seharusnya tak kembali?"

Lousie jadi kelabakan dengan kata-kata ini dan merubah wajahnya.

"Jadi begitu, ya kan? kau khawatir aku akan pergi kan? Akan jadi sulit untuk membantu putri-sama kalau begitu."

Tidak seperti itu, Louise ingin berkata begitu, tapi tetap menutup mulutnya. itu bukan alasan mengapa aku tak ingin Saito kembali ke dunia asalanya. Namun, dengan mengatakan ini, dia akan membuka perasaan hatinya pada Saito. harga diri Lousie takkan memperbolehkan hal itu. Dalam keadaan terombang-ambing, Louise mngangguk paksa. "I-itu benar! Nanti malah tiada yang mengurusmu."

"Luar biasa, jadi begitu toh." gumam Saito, dan mulai berjalan lagi.

Apa yang sebenarnya dipikirkannya adalah, dia tak harus bilang 'aku mencintaimu', tapi setidaknya dia bisa bilang 'aku akan sendirian' atau paling tidak ;'aku ingi kau tak kemana-mana', jika dia bilang itu, Saito tak masalah membantunya dan akan mencari jalan kembali setelahnya. Saat henrietta meminta bantuannya tadi, meski dia pikir ini mengganggu, dia juga senang untuk sesaat. Tiada yang benar-benar memerlukannya di Jepang. Bumi tetap berputar, meski Saito hilang. Namun, itu berbeda dengan dunia ini. Siesta dan Henrietta...ada beberapa orang yang memerlukan dia.

Namun dia ingin lebih diperlukan Louise. Tapi, dari perkataannya di awal, yang ia pedulikan hanyalah kekuatan Gandalfr. Saito ngambek, dia pundung. meneguhkan hati, dia mulai mendorong melalui kerumunan. Kota masih ramai oleh pewrayaan kemenangan. Sekelompok pemabuk tengah tos dan berteriak sambil memegang cangkir yang terisi anggur. Louise yang masih terguncang akibat sikap Saito, membeku sejenak. Dengan wajah menunduk, dia menggigit bibir. Saat wajahnya diangkat, Saito sudah pergi masuk kerumunan dan tak terlihat. Louise berlari panik.

"nyingkah!"

Louise menabrak keras seorang lelaki. Doa, yang tampak seperti tentara bayaran, jatuh. Di tangannya ada sebotol sake, yang tengah ditenggaknya. Sepertinya dia benar-benar mabuk. Meski Louise mencoba melewati samping lelaki itu, dia menggenggam tangan Louise.

'tunggu Nona, kau harus meminta maaf karena menabrak seseorang di tengah jalan."

Lalu, laki-laki lain, yang tampaknya tentara bayaran, menyadari mantel Lousie dan bergumam. "Seorang ningrat, huh?"

Namun, lelaki yang mencengkram tangan Louise tak bergerak.

"Hari ini adaalh festival perayaan kemenangan di Tarbes. Kesampingkan status. Hari ini, ningrat, tentara, dan pedagang sama derajatnya, Hei, Nona ningrat, bagaimana kalau berbagi satu minum denganku sebagai permintaan maaf menabrakku?"

Sambil berkata begitu, dia mengacungkan guci anggurnya.

"Lepaskan aku! Dasar orang kasar!" teriak Louise. Wajah lelaki itu langsung menjadi brutal dan menggelagak.

"Kau panggil aku apa, Hei! Siapa yang kau pikir menyerang tentara Albion di Tarbes! Wanita suci atau ningrat sepertimu, tidak, kami para tentara!"

Lelaki itu mencoba meraih rambut Louise. Namun tangannya dihentikan. Saito, yang muncul tepat dihadapan mereka, dengan erat mencengkram tanagn lelaki itu.

"Apa? Enyahlah nak!"

"Lepaskan." kata Saito dengan nada pelan. Dulu, kakinya bakal gemetar saat mengancam lelaki yang tampak mengerikan. Namun, kini dia saito yang melalui berbagai pertarungan. Karenanya dia mendapat keberanian. Kini dia hanya perlu meraih Derflinger di punggungnya saat waktunya datang, Tidak mengeluarkannya, tapi menggenggamnya saja sudah cukup untuk mengKO para prajurit ini.

Lelaki itu melihat pedang di bahu saito, dengan mata sama. Pengalaman yang didapatnya dari medan pertempuran selama bertahun-tahun mengatakannya bahwa sikapo saito bukan hanya omong kosong. Dia lalu meludah, lalu membujuk teman-temannya pergi. Saito dengan diam mengambil tangan Louise, dan mulai berjalan. Louise mencoba mengatakn sesuatu pada saito. Tapi, ini semua membuatnya tak mampu menemukan kata. Saito berjalan cepat, mendorong melalui kerumunan.

"Apa kau marah?" tanya Louise dengan nada pelan.

"Ga juga." sahut Saito.

Pegangan tangannya membuat Louise berdetak sesaat. Apa Saito juga merasakannya sama? Namun, karena Saito berjalan lurus kedepan, dia tak bisa melihat ekspresi wajahnya. Louise mengikuti sambil ditarik. Ini menyegarkan, perasaan menyenangkan yang tak bisa dijelaskan maupun dimengerti Louise.


Louise, selama berjalan dan berpegangan tangan dengan saito, kembali ceria. Kota dipenuhi festival aneka warna, pertunjukan menyenangkan, kios dan gerobak makanan dimana barang-barang aneh dijual dan terhampar sepanjang jalan. Karena dia seorang putri tuan tanah lokal, Louise tak pernah berjalan dalam kota ramai dengan cara ini. Terlebih algi, dia tak pernah berjalan dalam kota sambil berpegangan tangan dengan lawan jenisnya. Dengan keduanya bergabung, kepala Louise menjadoi ringan dan melayang.

"Sangat ramai." kata saito.

"Benar." gumam Louise senang.

"Rasanya bagai festival duniaku."

"benarkah?"

"Ya. Kios jalanan nan semarak berbaris tepat seperti ini, menangkap ikan mas, memancing yo-yo, toko okonomiyaki, dan gerobak makanan dalam barisan."

Sambil berkata begitu, mata Saito menerawang. Louise mengeratkan pegangannya pada tangan Saito. Entah bagaimana, bayangan kepergian Saito yang tiba-tiba ke tempat nan jauh membuanya tak enak. Suatu saat...hari dimana Saito pergi, pasti tiba. Namun, saat berjalan bersama begini, Aku ingin kau hanya melihatku, pikir Louise. Hanya saat ini. Dan tak peduli yang lain. Dan di saat yang sama dia marah pada dirinya sendiri yang telah berpikir begitu. Karena cinta? Bukan itu. Adalah harga dirinya yang jadi masalah. Setelah meyakinkan dirinya sendiri soal itu, Louise menatap sekelilingnya dengan hampa. Dan kemudian, sambil berteriak "Waa.", dia berhenti.

"Ada apa?"

Saito berbalik, Louise tengah memandangi toko perhiasan. Disana, pada sebuah kain, terpampang berbagai cincin dan kalung.

"Kau ingin liat-liat?" tanya Saito, dan Louise, dengan pipi memerah, mengangguk.

melihat dua orang mendekat, seorang pedagang dengan turban di kepala menggosokkan kedua tangannya.

"Oh! Ayo masuklah! Aku lihat kau seorang ningrat, nona. Kami punya barang-barang langka untuk ditawarkan, ini terbuat dari "emas ukiran", ini bukan bohongan."

Perhiasan-perhiasan yang dihamparkan cocok bagi ningrat untuk dikenakan; terbuat dengan baik untuk memuaskan berbagai rasa. Lousie mengambil sebuah kalung. Gantungannya putih murni, diukir dengan bentuk kerang, Ada banyak permata besar disekitarnya. namun, bila dilihat seksama, permata itu hanyalah kristal murahan. Namun, Lousie menyukai gantungan berkilau ini. Dalam suasana festival yang ramai, terisi dengan barang-barang berharga, sesuatu yang mencolok bakal menarik perhatian.

"Kau menginginkannya?"

Louise menggelengkan kepalanya, malu. "tak punya uangnya."

"Baiklah, aku akan menurunkannya. 4 ecus saja."

Si pedagang tersenyum manis.

"Terlalu mahal!" teriak Louise.

"Kau tak punya segituan?" tanya Saito, terkejut.

Lousie manyun. "Aku akan bila aku tak beli pedang kurang ajar kemarin-kemarin. Aku habiskan seluruh uang saku bulananku untuk itu."

Saito dengan enggan merogoh sakunya, Dia denagn erat menggenggam koin-koin emas yang diterimanya dari Henrietta tadi. Sambil memegang koin-koin emas yang kira-kira seukuran koin satu yen de telapaknya, Saito bertanya, "Segini berapa?"

Si Pedagang terkejut bahwa Saito yang bawa duitnya.

"I-ini...! Bagus kali....."

Setelah mengambil empat koin emas yang terukirkan potret raja, si pedagang menyerahkan gantungan kalung pada Louise. Louise terkejut dan kaget, pipinya jadi lemas. Hal pertama yang dilakukan Saito pada uang yang diberikan Henrietta adalah berbelanja untukku. Dia sangat bahagia. Setelah beberapa saat itu di tangannya, dia dengan riang memasangnya di leher. "Ia pas untukmu." kata sang pedagang dengan nada sungguh-sungguh.

Aku ingin Saito melihatku, pikirnya sambil menarik lengan bajunya, Namun Saito, yang perhatiannyatertuju pada kios dekat pinggir, tak bergerak. Apaan sih yang kau lihat?...Saito tengah memandangi barang rampasan, dari tentara Albion, yang dihamparkan di tanah. Barang-barang yang diambil prajurit diberikan pada para pedagang. Itu kepunyaan musuh yang dirampas...pedang, baju baja, pakaian, jam. Saito mengambil salah satu pakaian.

Aku ingin dia melihatku, Louise manyun, ngambek dia. Namun, perhatian Saito tertuju penuh pada pakaian, Memang beralasan sih dia ingin baju baru.

"Apa, ingin baju baru? tapi bukan ide bagus untuk memakai baju bekas setengah rusak yang perbah dipakai musuh, ada yang jauh lebih baik kan?"

Tapi Saito tak menjawab. Dia meraih salah satu potong pakaian, dan tangannya bergetar.

"Wahai pelanggan, kau punya mata yang bagus, Ini seragam pelaut dari Albion. meski murahan, ia juga enak dipakai. Dengan memasang kerahnya begini, ia melindungi leher dari angin."

Seragam pelaut? memang! T-tapi di dunia Saito ia disebut seragam nahkoda...Kepala Saito mulai bekerja dengan kekuatan penuh. Meski ukurannya kebesaran, ia masih bisa dipermak agar bisa dipakai Siesta...Dia membayangkan Siesta memakainya...kelihatannya bagus...Kesenangannya bertambah. Tidak, bukan itu, Bukan kesenangan pribadi. Terima kasih. Ini balasan untuk syal itu! Tapi, Dia tetap merasa agak bersalah. Itu benar, Saito mendinginkan kepala. Uang, dia mutlak harus memakainya untuk ini.

"Berapa?" tanya Saito dengan nada yang sangat bergairah.

"Tiga ecus cukup."

Lousie terkejut. membayar begitu banyak uang untuk pakaian bekas adalah keterlaluan. Tapi Saito membayar harga yang diminta.


Louise, yang telah kembali ke kamarnya, tengah berbaring di kasur, membuka-buka Buku Doa Sang Pendiri sambil bersenandung. Sepertinya hatinya senang. Saito mencoba menyusup keluar dari kamar diam-diam, dia ingin ke Siesta untuk menyerahkan barang yang dibelinya hari ini, tapi pintu dikunci Louise yang mengayunkan tongkatnya dan menyihirkan mantra pengunci pada pintu.

"Apa kau akan pergi entah kemana saat tengah malam?"

"Eh? Tidak..."

Tentu dia tak bisa mengatakan dia hendak menuju tempat Siestauntuk mengantarkan seragam pelaut yang dibelinya hari ini.

"H-hanya ingin merasakan angin malam! Wah! Wahahaha!"

Louise menatap Saito masam. Dan, dengan tegas, dia menuju Saito dan dengan dengan sikap biasa melepas jaket Saito.

"A-apa-apaan kau?!"

"Melepasnya."

"Melepasnya? Alat penahan Hewan Buas membuatnya nyangkut!"

Saat Saito berteriak begitu, Lousie melepas kunci alatnya, menunduk untuk sesaat. Karena dia membelikan gantungan di kota hari ini, dia pikir Louise telah memaafkannya. Namun Louise tak bisa dengan mudah memaafkan dia yang mandi bersama dengan seorang gadis. Louise mengendurkan alat penahan dan melepas jaket Saito. Wajahnya selalu marah. Dia mengunyah bibir bagian bawahnya. Kemudian Lousie kembali ke kasur, memeluk jaket yang dilepas erat-erat. dan berkata "Menghadaplah kesana!".

Dengan seluruh pakaiannya ditanggalkan. Louise, yang hanya memakai jaket Saito, manyun.

"Masih ingin pergi jalan-jalan?"

Memberikannya pada Siesta harus menunggu hingga malam besok, pikir Saito, yang kini hanya mengenakan kaos. Meski sudah awal musim panas, tetap saja iklim di Halkegenia sangat berbeda dengan Jepang. Jalan-jalan dengan keadaan begini, bisa membuatnya masuk angin. Tak perlu diragukan lagi Louise jyga tahu itu.

"Ada banyak hal yang lebih penting daripada angin malam, bukankah begitu~? dan seorang rekan yang tak melayani tuannya tak bagus, nekankah begitu~?" kata Louise sambil berbaring pada perutnya dan mengayun-ayunkan kakinya.

Dengan enggan, Saito duduk di kasur. "Dimengerti."

Louise, yang berbaring di kasur, mulai membaca Buku Doa sang Pendiri.

"Bukankah semuanya kosong?"

"Aku bisa membacanya."

Louise menunjukkan "Ruby Air" di jarinya pada Saito dan menjelaskan hubungannya dengan Buku Doa sang Pendiri.

"Apaaa. elemen dari Void..."

Saito teringat cahaya sihir, yang mnyapu habis kloter pada hari itu.

'Void'. Elemen legendaris yang Brimir sang Pendiri gunakan...Dan, aku seorang familiar yang katanya digunakan Brimir sang Pendiri - 'Gandalfr'. Familiar legendaris yang memiliki kemampuan ahli menggunakan segala macam senjata, untuk melindungi sang Pendiri, selama dia membacakan mantranya...

"Jadi kau penyihr terkuat di dunia ini? Keren! Menghancurkan hanya dengan sekali ayun."

"Aku takkan berkata begitu, jadi aku belum mengatakan ini pada putri-sama karena aku tak ingin mengecewakannya..."

Dengan sebuah desah, Louise meraih tongkatnya.

"A-Apa?"

Setelahnya, Lousie dengan pelan-pelan mulai membacakan mantra. "Eor Sun Fuir..."

"H-Hentikan! Dasar bodoh!"

Adalah sangat mengerikan bila ledakan semacam itu terjadi di tempat seperti ini. Tapi, Louise tak berhenti membaca.

“Yarunsakusa..”

Setelah menyelsaikan mantra tanpa halangan, Louise mengangkat tongkatnya. Saito menyembunyikan dirinya di tumpukan jerami, membuat jerami bertebaran disekitarnya. Kemudian mata Louise berputar ke belakang dan tiba-tiba ambruk ke kasur.

“L-L-L-Louise? Louise!”

Saito mengguncangkan Louise, panik. Setelah diguncang beberapa saat, Louise membuka mata.

“Auuu…”

"A-Apa? Ada apa?!"

Sambil menggoyangkan kepalanya, Lousie dengan cepat bangkit.

"Berhentilah ribut-ribut. Aku hanya pingsan sesaat."

“Eh? Eeeh?!”

"Sudah membacakan "Ledakan" hingga menit terakhir, tapi ga ada apa-apa...Setelah itu, tak peduli seberapa banyak aku memantra, aku pingsan di tenagh-tengah. Ledakan hanya timbul sekali."

"Semacam apa?"

"Kupikir alasannya adalah kekuatan hati tak mencukupi."

"Kekuatan hati?"

"Benar. Kekuatan hati terpakai saat sihir dibacakan. Kau tak tahu?"

"Bagaimana aku bisa tahu hal begituan?"

Kemudian, Louise duduk tegak sambil malu-malu, mengagkat jari dan mulai menjelaskan dengan bangga bagaikan seekor merak.

"Dengarkan. jumlah elemen yang bisa digunakan penyihir bisa ditambah, dan tingkat dia bisa berubah tergantung itu. Seorang penyihir yang hanya bisa menggunakan satu elemen adalah titik. Bisa dua - jadi garis. Bisa tiga - segitiga. Mantra juga ada tingkatannya.. mantra dari tiga elemen disebut "mantra Segitiga'. Tiap kali tingkat mantra meninggi, konsumsi kekuatan hati mengganda."

“Haa.”

"Misalnya, mantra garis akan mengambil delapan kekuatan hati penyihir, tapi saat penyihir itu memutuskan memakai mantra titik, hanya empat ekuatan hatinya yang terpakai. Harganya bergantung pada orangnya, tapi aturannya berlaku ke semua."

“Haa.”

"Poin utamanya, penyihir itu bisa memakai dua mantra titik saja. Delapan dibagi empat adalah dua. Karenanya, kau bisa memakai mantra dua kali, Tapi saat kau memakai mantra garis, kau hanya bisa sekali, karena kekuatan hati yang dipakai dua kalinya, dan delapan dibagi delapan adalah satu."

“Haa.”

Saat penyihir garis tumbuh jadi penyihir segitiga, pemakaian kekuatan hati utuk mantra titik berkurang setengahnya. karenanya, empat dibagi dua - dua. dia bisa menggunkan mantra titik empat kali. Mantra garis bisa dua kali. Mantra segitiga - sekali. Itu karena penyihir mendewasa."

"Haa. Dengan kata lain, mantra kelas rendah bisa dipakai berulang kali, sedangkan mantra kelas tinggi hanya bisa dipakai beberapa kali saja?"

"Benar. jadi kini kau ngerti kan hubungan mantra dengan kekuatan hati?"

"Begitulah. Jadi, kau pingsan tadi..."

Ya. tadi aku pingsan karena aku maksa dan menghabiskan seluruh kekuatan hatiku. Mantranya terlalu kuat dan kekuatan hatiku tak cukup."

"Terus, napa kau bisa menggunakannya pas hari itu?"

"Yah..erm...aku juga tak mencari-cari..."

"Bagaimana kekuatan hati terisi?"

"Dasarnya, ia terisi lagi saat tidur."

Saito beroikir sambil melipat kedua lengannya. "Ummmm...Yah, hingga kini, kau tak menggunakan kebanyakan mantra dengan benar, kan?"

"Yah, benar sih."

"Karenanya, kau mengumpulkan banyak kekuatan hati, kan? dan saat itu, kau menghabioskannya sekali pakai."

Wajah Louise terkaget-kaget.

"Misalnya, ambillah kekuatan hatimu 100. 'Ledakan', menghabiskan 100, seluruhnya dalams ekali pakai. kekuatan hati biasanya terisi saat tidur saat malam, tapi jumlah yang diperlukan terlalu besar bagimu...Karena ia 100, kau tak bisa mengiusinya kembali hanya dengan tidur semalam."

Saito dengan datar menguraikan hipotesisnya "Apa? Bagiku itu sepertinya akhir sihirmu."

Tapi, Wajah Louise serius. "Mungkin saja..."

“Eh? Eeeh?”

"dengan menggunakan mantra bumi kelas persegi 'Emas Cetakan'. emas bisa diciptakan. Tapi kau mengapa dunia masih menggunakan uang?"

"Eh?"

"Diakatakan bahwa penyihir persegi tak bisa begitu saja membacakan mantra berulang kali. Ia tak bisa diandalkan, sekali isi ulang mungkin perlu seminggu, lainnya - sebulan. lagipula, jumlah emas yang bisa kau dapat dengan cara begini terlalu kecil. Makanya uang digunakan, bukan emas."

“Hmmm…”

"Dengan kata lain, mantra kuat menghabiskan lebih banyak kekuatan hati dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terisi lagi, Untukku, sepertinya begitu juga."

"Lalu...kapam kau bisa memantar lagi...?"

"Ga tahu,. aku...sebulan atau mungkin setahun..."

Lousie menerawang.

"10 tahun."

"Jangan berkata yang tidak-tidak."

"Tapi, ia berhasil."

"Yah. Tiada yang benar-benar mengerti 'Void'. bagaimanapun juga, kekuatan pembacaannya telah ditunjukkan. Tiada mantra lain seperti ini."

"Ia terlalu kecil sekarang. Uuu, jeramiku..." kata saito sambil melihat jerami-jerami yang betebaran.

"Bukankah tak apa-apa? Meski tiada tumpukan jerami." ucap Louise, yang wajahnya memerah karena alasan tertentu.

"Haa". Saito menahan napasnya sesaat begitu dia menyadari sesuatu. Apa! Dia menjadi gila dari pemandangan yang diberikan Louise padanya, yang tak disadari Louise sendiri. Ujung jaketnya telah naik hingga paha Louise. Sedikit lagi, sediiiikit laghi. dia mengintip.

Saito cepat-cepat memegang hidungnya. Karena sikap Saito, Louise akhirnya sadar bahwa jaket telah naik. Dia langsung menggerakkan kakinya dan menurunkan ujung jaket dengan wajah memerah.

"Na! Kau lihat! Kau lihat, Kau lihat! Kau lihaaaaat!"

"S-Salahmu karena tak makai celana dalam apapun!" teriak Saito juga,

"Aku tak bisa tidur dengannya! Sealu begitu!"

"Selalukah?"

lalu Louise menggigit bibir bawahnya, dan dengan sedikit weruwush, menyusup dibawah selimut.

"Tidur."

Saito dengan enggan masuk dari ujung selimut. Dia dengar suara dari Louise yang ngambek didalams elimut.

"Tidurlah di tumpukan jerami, familiar pengintip."

"Ia betebaran."

Meski dia dengar Lousie menggeram beberapa kali dari dalam selimut, dai tenang kembali setelah beberapa saat. "Aah". Sambil memikirkan tentag seragam pelaut yang akan diserahkannya pada Siesta besok malam, Saito jatuh terlelap.


Bab 3 : Baju Pelaut dan Kecemburuan Louise[edit]

Sinar matahari bersinar terang di plaza Austri. Saito tengah berguling-guling di tanah dan gemetaran hebat. Kemudia dia

mengangkat wajahnya, memandangi karya seni yang dihasilkannya, dan sekali lagi menggila karena kegairahannya.

""Hah, hah, hah..." napasnya memanas.

Detak jantungnya mencapai puncaknya berulangkali dan membawa hati Saito pada utopia.

"Bergetarlah, detak jantungku,"

"Berdeguplah, hatiku yang penuh rindu."

"Bergetarlah lebih dan lebih panas, berkahilah kejeniusanku..."

"Kata sang malaikat. Katanya disini. Aku bersyukur aku hidup...."

Saito menggenggam era-erat rumput yang tumbuh di tanah dan berteraik keras.

"UooooooooooOOOOOOH! Aku yang terheBAAAAAAAAT!"

Kemudian dia menunjuk pada malikat dihadapannya.

"Siesta juga yang terheBAAAAAAAT!!"

Siesta, yang terheran-heran, menonton seluruh tingkah Saito karena kegairahan dan kesenangannya.

Saito-san...aneh....

Dia bergumam tak sadar. Itu benar-benar menunjukkan seaneh apa Saito berlaku.

"T-tapi, pakaian ini....."

"A-Apa? Ada yang salah? Apa ada yang kurang?!"

Saito terbang denagn ringannya menuju Siesta.

"Y-yah...maksudku, ini seragam militer kan? Bahkan jika aku mengenakannya, takkan terlihat bagus..."

"Jangan berkata bodoh!"

Sikap mengancam Saito membuat Siesta "Hii..." dan mundur.

"Di DuNIAAAA iiiiNIIIII! yakin itu pasti pakaian untuk prajurit angkatan laut! taPIIIIIIIIII! di duniAAAAAAAkUUUUUUU!

Gadis-gadis usimu memakainya dan pergi ke sekolah! perGIIIIIIIIIIIIIIIIIII dalam bentuk kemajuan masa kini!"

"Y-Ya..."

Aah, Saito san benar-benar aneh....

Lalu Sairo berteriak setengah menangis. "Ia disebut seragam pelaut di duniaku! MaaaaaaaaaaaaaF aku terlaHIIIIIIIIIIIIIIr!"

Siesta pikir, jadi ini toh....Ini pakaian dari tempat kelahiran Saito....Kemarin malam, Saito mendatanginya dan menyerahkan

seragam pelaut dengan wajah kaku, Saat Saito berkata "Aku akan memermak pakaian ini sehingga bisa kau pakai." Dia dengan

jujur pikir Saito telah kehilangan akal sehatnya, Meski begitu, Saito dengan jujur merasa senang bahwa Saito membelikan

pakaian untuknya, Dan kini, kepada Saito yang senang karena memakaikannya pakaian dari tempat kelahirannya, dia merasa malu.

Jika saat ini Saito normal, menarik diri darinya adalah satu-satunya yang mungkin dilakukan, tapi untuk alasan itu, wajah

Siesta memerah.

"Pertamanya kukira Saito san jadi gila, tapi dia punya alasan seperti itu...."

Aku mengerti! Siesta mengangguk dan berbalik untuk menghadap Saito dengan serius. "Apa yang harus kulakukan untuk

menyenangkanmu lebih lanjut?"

Saito, sekali lagi, memandangi penampilan Siesta dari atas sampai bawah. Pertama, bagian atas. Ia Permata indah yang terbuat

dari baju pelaut Albion, Lengan putih panjang dengan mulut hita, Kerah dan syal biru gelap. Tiga garis putih mengitari kerah.

Dan kemudian, Saito mengembunkan kejeniusannya kedalam "panjang". Saito, dengan segenap kemampuannya, memerintahkan Siesta

untuk membuat bagian perut pendek. Dengan memendekkan panjang bagian atas. Ia hanya mencapai ujung atas rok. Karenanya,

kapanpun Siesta membengkokkan tubuhnya, dia bisa melihat perut Siesta. Saito memang benar-benar.

Kini, rok, Dia seharusnya tak melakukannya, tapi dia curi seragam cadangan Louise. Ia punya lipatan, jadi dia membuatnya

terpakai, Ini, juga, dipendekkan hingga yang terpendek yang dia bisa. Hasilnya, Sepertinya rok pertama di dunia lain ini yang

berukuran 15 cm diatas lutut tercipta. Dan lalu kaos kaki, Mereka hasil dari gabungan antara keinginan Saito dan kenyataan.

Saito denagn hati-hati memilih dan menyusun kaos kaki biru gelap.

Sepatunya. Mereka boot berenda tinggi yang selalu dipakai Siesta. Ia satu-satunya goresan dalam karya seni yang berkilau ini.

Dia benar-benar mengingikan sepatu berhak disini. Sedihnya, itu tak ada di dunia ini. Bagaimanapun juga, Ini semuanya

diperiksa dan disusun oleh Saito. Dada besarnya, yang biasanya tertutupi dan disembunyikan apron, terangkat oleh seragam

pelaut buatan tangan. Kakinya yang kurus, dan sehat bagaikan kepunyaan serow, tersedot kedalam rok yang berada 15 cm diatas

lutut. Siesta biasanya tak memakai rok yang pendek begitu, jadi campuran nostalgia dan kesegaran membuatnya lebih dan lebih

tergerak secara emosional.

"Bilang padaku! Saito-san! Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu mendekat pada tempat kelahiranmu?!"

Saito berpikir. Dengan serius tentu saja, mempertaruhkan nyawanya. Dia mengingat seluruh jenis pola. Seperti kalkulator nan

canggih, kepala Saito berputar. Suara hatinya berbisik. Saito, HANYA ITU YANG BISA, Benar, Hanya itu...Hanya itu...Dengan

suara yang hampir tersengak, dia meremasnya keluar. "Berputarlah."

"Eh?"

"Berputar-putar, seperti itu, Lalu, setelahnya, katakan 'Maaf membuatmu menunggu!' penuh keceriaan padaku."

Siesta melangkah mundur. Saito sejenis lelaki yang ibunya bilang padanya agar tak didekati saat dia masih kecil. Tetap saja

Siesta ingin menyenangkannya. Bagaikan menyiapkan dirinya, "Y-ya..." Dia mengangguk, dan Siesta pun berputar. Syal dan roknya

tersibak dengan ringan ke udara.

"Ma-maaf membuatmu menunggu."

"Salaaaaaaah!"

"Hii!"

"Di akhir, kau mengankat satu jari dan bilang "ne". Penuh keceriaan. Sekali lagi."

Sambil mengangguk, Siesta mengulangi sebagaimana diperintahkan. Melihat ini, Saito beretriak. "Terima kasih untuk

k-k-k-keberaniamu."

Apa ini ga papa, Siesta? Benarkah...untuk orang ini? Dia agak merasakannya dari bagian dirinya yang lebih sadar, tapi Siesta

menutupnya dengan penolakan. -Tiap orang punya hobi dan kesukaan yang tak bisa mereka katakan pada orang lain. Saito-san

bukan kekecualian. Yah, itu saja... Ya, itu! Dia mengataknnya pada dirinyas endiri dengan cerah dan tersenyum. Siesta ini

kuat.

"Apa yang harus kulakukan selanjutnya?"

"Um, selanhjutnya..."

Saat Saito melipat lengannya dan mulai bingung soal ini, Dua orang berjalan mendekati mereka dengan sikap aneh. Itu Guiche

dan Malicorne si gemuk. Sebuah duo yang tak biasa. Seperti keduanya telah menonton Siesta dari tempat tertentu.

"ehem:, Guiche berdehem untuk menarik perhatian.

"Itu...apa? Apa-apan pakaian itu?!"

Untuk alasan tertentu, Guiche bergairah saat memandanginya seakan dia hendak menangis. Malicorne juga menunjuk Siesta sambil

gemetaran.

"Lu-Luar biasa! Mutlak Luarbiasa! Bukankah begitu?! Guiche!"

"Aah, ini! Tak pernah kulihat pakaian seluarbiasa ini sebelumnya! I-I-itu!"

"Ia langsung menyerang pikiran!"

Mata keduanya berkemilauan dengan sangat, dan menatap Siesta seakan hendak memakannya. Waaan, kepusingannya berlipat ganda,

Siesta merasa agak gimana, tapi keduanya ningrat. Karena dia harus, Siesta memaksa tersenyum. Senyum dan seragam pelaut

tampaknya merusak Malicorne dan Guiche secara sempurna, karena mereka mulai mendekat dengan tingkah terkagum-kagum bagaikah

seorang yang jalan sambil tidur. Siesta, yang merasakan bahaya pada tubuhnya, berkata "Yah, aku akan kembali bekerja!" dan

melarikan diri.

"Sangat manis..." guam Guiche degan nada melamun saat melihat Siesta melarikan diri.

"Benar sekali..." Malicorne juga bergumam, tampaknya terikat mantra.

"Kalian kesini untuk apa?!"

Saat Saito berteriak, keduanya akhirnya sadar, Lalu, Guiche memeluk bahu Saito.

"H-Hei kau, Dimana kaubeli pakaian itu?"

"Apa yang hendak kau lakukan dengan menanyakan itu?"

Guiche berkata dengan nada malu-malu. "A-Ada seseorang yang hendak keberikan pakaian itu sebagai hadiah."

"Putri?"

"Bodoh! Terlalu! Itu keterlaluan! Paduka Putri kini adalah Paduka Ratu! Aah, dia telah pergi ke tempat nan tinggi yang tak

dapat kujangkau...Lebih baik saat dulu dia masih putri, tapi kini sebagai Ratu..."

Tempat tinggi apa? Kau tak pernah punya kesempatan sejak awal. Pikir Saito, tapi dia memutuskan untuk tetap diam dan

mendengarkan.

"Nah, aku akhirnya ingat. Dia selalu di sampingku, terus menontonku dengan mata manisnya...Rambut blonde indah, senyum manis

bagai parfum..."

Ah, mantan pacarnya. Saito menyadarinya. "Monmon?"

" Bukan Monmon! Ia Montmorency!"

"Oh, begitu. Kau ingin mendekatinya lagi. Kau tahu, kau memang tak punya keutuhan."

"AKu tak ingin dikatai begitu olehmu. Kini, bilang padaku. Dimana pakaian itu dijual?"

"Hmph, Seakan kau bisa pernah mengerti seni." Sahut Saito. Dia tak ingin seseorang seperti Guiche mempermalukan ingatan

tempat kelahirannya.

"Mau bagaimana lagi? Aku takkan hanya melaporkan kejadian hari ini, tapi juga menanyakan Louise."

Itu adalah kata sihir yang paling pasti.

"Aku masih punya dua lagi. Gunakan mereka sesukamu."

Ia menarik penyerahan diri maksimum Saito seketika.

"Tetap saja. apaan sih pakaian ini? Kupikir aku pernah melihatnya dimana...gitu. Bukankah pelaut memakai pakaian itu? Untuk,

hmmm, seorang gadis memakainya dan memberi daya tarik yang begitu kuat! Misterius sekali."

Sambil melipat lengannya, Saito membusungkan dada dengan bangga. "Tentu saja. Ia memiliki sihir penarik dari tempat

kelahiranku terpasang padanya."


Kini, di malam hari itu. Montmorency, yang bangga dengan rambut emas bergelombang panjang dan mata biru jernihnya, tengah

meracik sebuah ramuan dalam kamar di asrama, Sambil menyenderkan tubuh tingginya di kursi, dia tengah serius meracik ramuan

rahasia dalam sebuah pot dengan alu kayu. Montmorency si "Harum". seorang penyihir dari elemen "air", memiliki hobo pada obat

sihir...membuat ramuan. Dan tepat seperti yang nama keduanya bilang, keahliannya adalah membuat pengharum. pengharum

buatannya dikenal memancarkan harum yang khas dan manis, dan dia sangat terkenal diantara para gadis dan wanita kota.

Hari ini, Montmorency dengan bersemangat menracik sebuah ramuan tertentu. Ia bukan ramuan biasa. Pastilah, sebab ini adalah

ramuan yang terlarang. Oleh proklamasi negeri, ia merupakan barang terlarang untuk diciptakan ataupun digunakan. Montmorency

menjual pewangi yang dibuatnya ke kota, dan perlahan mengumpukan uang. Lalu, hari ini, dia menghabiskan uang yang ditabungnya

dan mendapatkan bahan-bahan untuk ramuan terlarang, juga obat rahasai mahal yang diperlukan untuk meracik. Di toko sihir

hitam. Hobi menang atas moral. Karena kenyang soal membuat ramuan biasa, Montmorency ingin membuat sesuatu yang dilarang

meski denda besar bakal ditimpakan padanya bila dia ketahuan.

Bersama kayu wangi sulfur naga, dan mandragora yang digejrot, akhirnya, tinggal menuangkan obat rahasia nan

essensial...cairan yang dibayar dengan uang yang begitu banyak untuk didapatkan. Dia meraih botol kecil disampingnya. Jumlah

yang kecil...Untuk jumlah cairan yang begitu sedikit dalam botol parfum ini, Monmorency menghabiskan begitu banyak uang yang

telah ditabungnya, 700 ecu koin emas. Jumlah uang yang seorang jelata bisa gunakan ntuk hidup selama 5-6 tahun. Saat dia

memiringkan botol kecil pada pot, dia berhati-hati agar tiada yang tumpah...seseorang mengetuk pintu, menyebabkan Montmorecy

bangkit.

"Si-siapa...? Saat begini..."

Dia menaruh bahan-bahan dan peralatan yang tadinya di meja kedalam lemari. Setelahnya, dia menuju pintu sambil menyisir

rambutnya keatas.

"Siapa?"

"Ini aku! Guiche! Pelayan abadimu! Bukakan pintu ini untukku!"

"Pelayan abadi apaan". gumam Montmorency. Dia tahu sifat ketidaksetiannya dengan cukup baik. Saat mereka jalan bersama di

kota, dia akan tertarik dan melihat sekeliling mencari wanita cantik tanpa lelah. Saat mereka minum anggur di bar, Dia akan

mencoba menggaet pelayan kapanpun dia meninggalkan kursinya sebentar.Terakhir, dia akan melupakan janji kencan dan memetik

kembang untuk seorang gadis di tempat lain. Adalah menggusarkan mendengarnya mengucapkan 'abadi'.

Montmorency berbicara dengan nada gusar. "Mengapa kau datang kesini? Aku sudah putus denganmu."

"Aku sama sekali tak berpikir seperti itu. Tapi jika kau berpikir seperti itu, maka itu salahku...Bagaimanapun jua, aku

mencintai hal-hal yang indah. Dengan kata lain, aku hamba keindahan...Seperti yang sudah kau ketahui, sni, benar sekali,

seni! Aku terlalu lemah terhadap hal-hal indah..."

Kau mencintai seni? Untuk seseorang dengan selera buruk, beraninya kau mengatakan itu. Pikirnya. Warna kemeja yang dipakain

Guiche saat kencan adalah ungu gingira, dan dia pening sewaktu Guiche datang memakai syal merah dan hijau.

"Tapi aku sudah meyakinkan diri untuk tidak lagi menerima seni apapun selain kau. Bagaimanapun jua, kau sepertinya yang

paling bersni. Um, seperti rambut blondemu."

Apa kau seorang tolol?

"Enyahlah, aku sibuk."

Saat Montmorency dengan dingin mengatakan itu. Sunyi datang menyergap sebentar. Setelahnya, Guiche yang menangis dan meratap

dapat terdengar dari koridor.

"Aku mengerti...Dikatai begitu, aku hanya bisa hancur di sini. Jika aku dibenci olehmu, yang kucintai, sampai sebegitunya,

maka tiada harganya sama sekali hidup ini."

"Lakukanlah apa yang kau mau."

Lelaki seperti Guiche takkan mati hanya karena ditolak. Montmorency terus memasang sikap dinginnya.

"Saat ini, Aku ingin, setidaknya...di pintu kamar dimana kau hidup, memahat bukti bahwa aku telah hidup...bahwa aku telah

mencintaimu."

"A-Apa yang hendak kau lakukan?! Hentikan itu!"

Suara sesuatu yang keras dapat terdengar menggaruk-garuk pintu.

"Lelaki yang mengorbankan dirinya untuk cinta, Guiche de Gramont, Hancur oleh cinta abadi, dia mati disini...sekian."

"Bukan 'sekian'! ampuuun!"

Montmorency membuka pintu. Guiche berdiri disana dengan senyum sempurna di wajahnya.

"Montmorency! Aku mencintaimu! Aku benar-benar mencintaimu! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!"

Lalu, dia memeluknya erat. Montmorency membeku untuk sesaat. Lagipula, Guiche terus mengatakan "Aku mencintaimu". Itu karena

dia kekurangan kosakata, tapi tak peduli berapa kali dia mengatakannya, Montmorency tak merasa buruk. Lalu Guiche menyerahkan

bungkusan yang dipegangnya pada Montmorency.

"...Apa ini?"

"Bukalah, Itu sebuah hadiah untukmu."

Montmorency membuka bungkusan itu. Isinya seragam pelaut. Saito telah meminta Siesta untuk memermak seragam itu agar pas

dengan tubuh Montmorency. Guiche selalu mengingat ukuran gadis-gadis yang dipcarinya.

"Pakaian yang aneh..."

Montmorency mengernyitkan alis.

"Bagaimana kalau kau mengenakannya? Ia pasti pas denganmu. Kesucianmu akan meningkat berlipat ganda, Ayolah. Cepat. Apa, aku

menghadap arah lain."

Sambil menghadap kebelakang, Guiche mulai menggigit-gigit kukunya terus-terusan. Melihat ini tak terhindarkan, Montmorency

melepas kemejanya dan memakai pakaian tadi.

"Sudah."

Saat berbalik, wajah Guiche mencerah penuh energi. "Aah, Montmorency~...Kau benar-benar suci...Montmorencyku yang manis~..."

Sambil menggumamkan itu, Guiche mencoba menciumnya. Montmorency langsung menahannya.

"Monmon..."

Wajah Guiche tampa kusut sedih.

"Jangan salah paham. Aku membuka pintu ke kamarku, tapi aku tak membuka pintu ini. Aku belum memutuskan untuk berbaikan

denganmu. Dan, siapa yang kau panggil Monmon?"

Hanya dengan itu, Guiche girang. Masih ada harapan tersisa. "Montmorencyku~! Kau merasa untuk mempertimbangkannya,

begitukah!"

"Jika kau mengerti, enyahlah! Aku tengah mengerjakan sesuatu!"

Sambil berkata "Ya, Ya, tentu saja aku akan pergi, Jika kau bilang begitu, aku akan pergi kapan saja." Guiche meninggalkan

kamar sambil berjingkrak-jingkrak.

Montmorency bercermin di kaca. "Apaan ini...Tak mungkin aku mengenakan sessuatu yang pendek nan memalukan!"

Tanpa sadar wajahnya memerah . Bila melihat lebih dekat, pakaian ini agak manis. Guiche dengan sengaja menyiapkan pakaian ini

untuknya,

Umumumu...

Yah, dibilang "Aku mencintaimu" seperti itu, hatinya tengah melambung. Mereka asalnya jadian, jadi dia tak membencinya.

"harus bagiamana ? Memaafkannya?"

Tapi, dia teringat bagaimana Guiche mencurnaginya di masa lalu. Bahkan jika aku jadian dengannya lagi, bukankah semuanya akan

berulang lagi. Dia sudah mau muntah karena khawatir akan kecurangannya. Apa yang seharusnya kulakukan? Selama memikirkan itu,

dia teringat ramuan yang diraciknya. Dia membuka lemari. Dia melihat obat rahasia didalam botol pewangi yang disembunyikannya

tadi. Montmorency memiringkan kepalanya dan mulai berfikir.

Un, ini penawaran yang bagus...aku juga bisa menguji kemangkusannya. Bagaimana kalau aku uji ramuan ini sedikit setelah ia

diselesaikan? pikir Montmorency.


Hari berikutnya, perhatian seluruhnya terus-menerus tertuju pada Montmorency saat dia memasuki kelas. Mengapa? dia muncul

dengan memakai seragam pelaut itu. Siswa-siswa pria dengan cepat bereaksi. Pakaian pelaut dan gadis....Merasakan kerapihan

segar pada penggabungan ini yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, mereka mulai menatap Montmorency dengan sangat.

Menyadari cara para pria bereaksi, para siswa wanita denagn cepat merasa iri, dan mereka mentapnya juga. Montmorency berhasip

memonopoli tatapan semua orang dalam kelas, sehingga dia merasa sangat senang. Sambil berkacak pinggang, dia memandang ke

atas dan dewngan bangga menaruh di udara, kemudian menuju kursinya. Louise juga menatap Monmorency sambil melongo. Kalau tak

salah, itu kan pakaian pelaut tentara Albion yang Saito beli di kota kan?

Louise menepuk Saito, yang berada disampingnya dan tengah gemetaran karena alasan tertentu. "Hei, bukankah itu pakaian yang

kau beli? Mengapa Montmorency memakainya?"

"Ah, aah...yah, ah, Guiche bilang untuk memberikan itu pada dia..."

Louise ingat Guiche dan Montmorency berpacaran.

'mengapa kau memberikannya pada Guiche?"

Saito mulai gemetar yang lebih hebat.

"Eh? karena, dia bilang dia menginginkannya..."

Louise merasa sesuatu yang mencurigakan dari sikap Saito. "Hooi, apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Dia menatapnya dengan mata tajam.

"Eh? Eeeeh> Aku tak menyembunyikan apapun! Ayolah..."

Saito merasakan keringat dingin nan lembab mengalir di tengkuknya. Tak terpikir plehnya bahwa Montmorency akan memakainya ke

kelas.

Sial, Jika Louise tahu itu hadaih untuk Siesta...Louise pasti jadi marah, Sepertinya gadis ini bakal bosan jika aku,

familiarnya, bersama gadis lain. Meski dia tak mencintai atau sejenisnya, dia tak bisa memaafkannya. Itu pasti, tepat seperti

yang selalu dikatakan Louise, "mengabaikan tuanmu dan bersama gadis lain" menggusarkannya.

Apa-apaan ini? Bagaimanapun juga, keinginannya adalah untuk memonopoli familiarnya, menurut Saito. Dia menjadi marah padanya

karena anjing piaraannya lebih terikat pada orang lain daripada dengannya. Tak pernah dalam mimpi terliarnya sekalipun Saito

pikir Louise punya rasa padanya. Ini sangat-Saito, Cara berfikir yang sangat memutar untuk salahpaham. Aah, saat dia tahu aku

mandi bersama Siesta beberapa saat yang lalu, setelahnya mengerikan. Dengan penuh sesal, Saito melihat alat penahan yang

dipasang sekali lagi padanya. Perkara itu...jika Louise tahu dia memakaikan pakaian pelaut pada Siesta dan menikmati putaran

roknya....Wajahnya membeku dalam ketakutan.

Digantung di langit-langit, dan disetrum berulang-ulang....Terakhir, rasa serangan "Void"...Berceceran bagai helaian

jerami...Aku mungkin mati...

Saito mulai bergetar dengan sangat. Jangan gemetaran, ini mencurigakan! Semakin dia memikirkannya, semakin gemetaran dia.

Akhirnya, apa harusnya aku mempersembahkan seragam pelaut itu pada Lousie untuk pertama kali? Tidak. Louise yang harga

dirinya tinggi takkan pernah memakainya. Lagipula, Siesta lebih pas dengan seragam pelaut itu. Rambutnya hitam, dan dia 1/8

jepang. Rambut blonde-pink Louise takkan pas dengan seragam pelaut itu. Tubuhnya juga terlalu kecuali, jadi nanti

kelonggaran.

Apa?...I-Itu! Sial, Itu bisa agak bagus juga. I-tu bisa juga jadi bagus. Sial! Kesalahan perhitungan! Apa yang telah

kulakukan........?

Saito menggelengkan kepalanya untuk mengusir keluar delusi-delusi itu. Bagaimnapun juga, yang kuinginkan adalah menikmati

suasana dari tempat kelahiranku. Tiada yang harus dirasakan bersalah, Ini dusta, tapi tidak. Wajahnya biru pucat, dia

gemetaran hebat, dan dia bergumam dengan napas berat, jadi bukan hanya Louise yang menilainya mencurigakan.

Hoi. Apa yang kau sembunyikan? Aku takkan memaafkanmu bila kau menyembunyikan sesuatu dariku." Mata Louise melotot.

"A-Aku tak menyembunyikan apapun."

Terlalu mencurigakan. Louise mencoba menanyainya lagi, tapi dia harus menyerah saat guru memasuki ruang kelas. Saat sekolah

selesai, Saito meninggalkan alasan mustahil soal "Aku harus memberi makan merpati-merpati" dan menghilang dari ruangan kelas.

"Kapan dia dapat merpati?" gumam Louise dengan wajah sangat ngambek. Untuk alasan tertentu, suatu firasat busuk dapat

diraskan


Saito berlari ke dapur. Dia tak bisa berbicara dengan Siesta untuk saat ini karena Siesta tampak sibuk selama makan siang dan

pengamatan Louise yang ketat. Melihat Saito yang terengah-engah saat tiba, wajah Siesta bersinar cerah. "Waah! Saito-san!"

Kepala Koki, Marteau si tua, juga mendatanginya dan melingkarkan lengan tebalnya di leher Saito.

"Hoi! Pedang kami! Lama tak jumpa!"

"Ha-halo..."

"Yey! Akhir-akhir ini, kau tak datang kesini! Siesta selalu kesepian, kau tahu!"

"Wahahaha" Suara tawa memenuhi seisi dapur. Memerah wajahnya, Siesta, yang berada di wastafel, memeluk sebuah pelat erat.

Siesta dengan cepat mendekatkan mulutnya ke telinga Siesta. "Siesta."

"Y-ya..."

"Tentang pakaian itu...Saat kau selesai dengan pekerjaanmu, bisakah kau membawa mereka denganmu?"

"Eh?"

"Hmm, lihatlah...Tempat dimana tiada orang yang bisa melihatn kita sepertinya bagus....di plaza Vestri, ada tangga menuju

menara kan? Bawa mereka kesana."

Wajah Siesta memerah kagum. Setelahnya, Saito berlari pergi dan menghilang.

"Aah...aku..."

"Ada apa, Siesta. Janji untuk bertemu/"

Siulan menggema, tapi itu tak lagi memasuki telinga Siesta. Wajahnya memerah sempurna, Siesta berbisik kosong. "Apa yang

harus kulakukan? Aah, aku akan direnggut pergi..."



Kini, di sisi lain, Louise tengah berjalan keliling sekolah dan mencari familiarnya. Sejak dia bilang dia hendak memberi

makan merpatinya, Saito tak menunjukkan diri. Dia pergi ke menara api, dan mengintip kedalam lab Pak Colbert. Meski namanya

lab, ia hanya gubug yang hampir rubuh. kapanpun Colbert punya waktu luang, dia biasanya disana/ Tapi, Saito tak disana.

Colbert sendiri tengah mengerjakan sesuatu dengan ributnya pada baju Naga yang ditinggalkan didepan labnya.

Louise menanyai Colbert. "pak Colbert, apa anda melihat saito?'

"Kutak tahu...dia tak kesini untuk 2-3 hari."

Louise memandangi Zero fighter dan terkaget-kaget. Bagian mesin dari hidungnya telah dicopot dari badannya dan ditempatkan di

tanah, dan ia dengan tragis telah dicopot-copoti.

"Oh, ini! Aku tertarik dengan strukturnya. Aku tak dapat izin dari saito-kun, tapi ini hanya pencopotan ringan. Ia rumit,

tapi secara teoritis, ia tak begitu jauh berbeda dari "Ular Senang' yang kurancang. Tetap saja, ini agak mudah rusak. Jika ia

terbang sekali, ia harus dengan tepat dicopoti dan bagian-bagiannya dirawat. Kalau tidak, tidak hanya ia bakal gagal

menjalankan kesangkilan aslinya, tapi juag ada kemungkinan ia hancur..."

Colbert akhirnya mulai berbicara soal struktur mesin dan perawatannya.

"Ha, hah...Kalau begitu, Punten."

Louise tak benar-benar tertarik dengan percakapan semacam itu, jadi dia menundukkan kepalanya dan mulai berlari lagi. Colbert

berteriak pada punggungnya."Nona! Jika kau bertemu saito-kun, bilang ini padanya! Aku telah menempatkan senjata baru yang

mengejutkan pada "Baju Naga' ini!"

Tempat selanjutnya yang dikunjungi Louise adalah menara angin. Di Akademi Sihir, Menara tersusun dalam pentagram dengan

menara utama di tengah, Menara angin adalah salh-satunya. Ia lebih sering dipakai untuk kelas-kelas. Hanya ada satu pintu

masuk. Louise melihat bayangan mencurigakan seseorang yang menghilang melalui pintu kedalam menara. Baju putih,,,sebuah kerah

besar, Jelas sekali, itu pakaian pelaut yang diapakai Montmorency tadi. Siapa itu? Jika itu Montmorency, maka rambutnya pasti

blonde...Orang yang tadi masuk berambut hitam. Louise diam-diam mengikuti orang itu.

Setelah membuka pintu ke menara angin, dia berlari lurus melewati koridor yang memiliki ruangan semisirkular yang tersusun

kiri-kanan. Setelah mendorong membuka pintu, dia mendengat suara jejak langkah yang dengan pasti mendaki tangga. Setelah

Louise sebentar mengambil napas pada lantai pertama, dia mengejar orang itu, Dia mendengar suara pintu yang membuka-menutup

di lantai kedua, Agar tidak langkah kakinya tak terdengar, Louise dengan hati-hati mendekati pintu itu. Disana, Louise

menyenderkan badannya didekatnya. Ini kan gudang. Apa sih yang direncanakan orang yang mengenakan pakaian pelaut itu disini?

Louise menyisirkan rambut blonde pinknya kebelakang dan menempatkan telinganya di pintu. Dia mendengar sebuah suara aneh dari

dalam. Suara yang kadang-kadang terhenti....

"Haah, Nn, Haahaa..."

Suara semacam itu. Alis mata Louise mengernyit. Karena kecilnya, dia tak bisa menebak siapa itu. Tapi itu punya lelaki. Di

tempat seperti ini, memanggil seseorang sambil memakai pakaian itu...Ornag yang bisa bersuara begitu... Louise memikirkan

delusi mengerikan dalam otaknya.

"Haa! Lu-lu, lucu..."

Lucu? Saat itu, sesuatu menggebrak kedalam kepala Louise. Baang! Dia membuka pintu dan menyerbu masuk ruangan.

"Apa yang sedang kau lakukan?!"

"Hiiiiii!"

Orang disana berbalik. Dia memakai pakaian pelaut, terlebih lagi, dengan rok di bawah. Sudah pasti, itu Malicorne si gemuk.

"Ma-Ma, Malicorne?"

"Louise!" Malicorne mencoba melarikan diri, tapi dia tak biasa dengan rok, sehingga kakinya terjerat oleh itu dan terjatuh.

"Ah! Nna! Ah! Fua! AAH!"

Malicorne berteriak sambil menggelepar di lantai. Dengan wajah ogre, Louise menginjak-injak punggung Malicorne. Dalam gudang

ada cermin tua. "Cermin Pembohong". Ia cermin yang memantulkan keindahan dari keburukan dan sebaliknya, tapi karena berbagai

alasan, ia hampir pecah, jadi ia disimpan disni. Sepertinya Malicorne mencari kepuasan sendiri dengan mencerminkan dirinya.

Kesenangan yang tak dapat dimengerti.

"Mengapa kau memakai itu?

"Tidak, ia begitu indah...Ta-tapi, aku tak punya siapa-siapa yang akan memakainya untukku..."

"Jadi kau memakainya sendiri?"

"I-itu benar! Apa itu salah? A-Aku harus memakainya sendiri! Guiche punya Montmorency dan familiarmu yang jelata itu punya

pelayan dari dapur! Tapi, aku tak punya pacaaaaaar!"

"Apa kau bilang? Ada apa antara Saito dan pelayan itu?"

Mata Louise membara.

"Eh? yah, dia membuat pelayan itu memakai pakaian ini dan berputar-putar...Aah, itu sangat menyentuh! Hanya dengan memikirkan

itu, hatiku terasa terbakar dari rasa yang sangat menggetarkan itu! Itulah kenapa aku harys setidaknya mencerminkan diriku di

cermin ini dengan memakai ini sebagai memento dari ingatan itu...aah, aku...Aku peri nan indah...AAAaaaaahh!" teriak

Malicorne/ Louise menginjak-injak wajah itu dengan kakinya.

"Diamlah."

"Ah! Aah! Ah! Louise! Ah! Louise! dIinjak-injak gadis cantik sepertimu...Kurasa aku kehilangan indraku! Bakarlah dosaku!

Biarkan aku menebusnya! Remukkan dosaku kehilangan kendali atas diriku yang berlaku bagai peri manis di tempat begini! Ada

sesuatu yang salah denganku! Ah! Ah! Nnnnaaaaaaaaa!"

Dengan begitu, Louise menginjak-inhaj wajah Malicorne dan menyebabkannya pingsan.

"Ya, pasti ada yangsalah denganmu." gumam Louise, yang bahunya naik-turun karena amarah,

"Begitu toh...Jadi ini artinya...Pelayan itu begitu baik...jadi dia begitu baik sehingga kau memberikannya pakaian nan indah

sebagai hadiah...Terlebih lagi kau bersenang-senang dengan membuatnya berputar-putar? Jangan becanda ya."

Sambil meremas telapaknya kedalam kepalan, Louise mendengus. "Familiar itu, meski dia menciumku."


Di sudut tempat yang ditentukan, plaza Vestri, Siesta datang naik tangga menara api setelaha malam tiba, Setelah tugasnya

berakhir, perlu waktu untuk bersih-bersih badan dengan mandi dana berdandan. Dia menuju landaian tangga, tapi Saito tak

disana, Hanya ada dua galon disana, Sekelilingnya remang-remang. Siesta dengan pandangan khawatir mulai melihat

sekelilingnya.

"Saito-san."

Setelah takut-takut mengutarakan itu,tutup galon membuka dengan suara, Siesta langsung mundur, tapi Saito menyembul darinya.

"Siesta."

"Wah! Saito-san! Kenapa kau disana?!"

"Yah, ada beberapa alasan...tung-. eh?"

Saito memandangi penampilan Siesta dan matanya terbelabak. Dia memakai pakaian apelaut buatan tangan itu.

"K-kau datang sambil memakainaya?"

"Eh, ya...Karena kupikir Saito-san akan alebih bahagia bila aku mengenakan ini."

Sial. AAku seharusnya bilang "kembalikan", bukan "bawakan". Tak mungkin akau bilang supaya ia melepasnya disni. Saat Saito

panik begitu, Siesta berputar dan mengacungkan jari didepan wajahnya. Roknya terangkat dengan anggun.

"Un, um...Terima kasih telah menunggu."

Kemudian Siesta tersenyum cerah. Ma-manis. Tanpa sadar, wajah Saito memerah. Tepat saat itu juga, terdengar suara galon

bergetar dibelakang mereka. Siesta jadi "Kayaa!" dan memeluk Saito. "Nyaa, nyaa", terdenagr suara kucing. Saito mengelus

adadanya tanda lega.

"Oh, cuma seekor kucing.."

Tapi,masalahnya bukan kucing. Siesta tengah menekankan dadanya pada Saito. Mereka terimpit dada Saito, dan pakaian pelaut

buatan tangan telah aadengan bebas berubaha bentuk. Wajah Saito amemucat. Raa-ra-ra sa ini adalah...

"S-Siesta, um..."

"Ada apa?"

"Kau tak mengenakan bra?"

Siesta menatapanya kosong. 'Bra itu apa?"

"Eh? Eeeeehhh? itu lho, untuk dada, seperti ini, melindunginya..."

Tapi, Siesta tetap menatapnya kosong. Sepertinya atiada bra di dunia ini.

"Tapi, Aku memang mengenakan pakaian dalam dan sebuah korset dibawah kemejaku saat aku dalam pakaian pelayanku..."

Kemudian wajahnya memerah."Tapi, aku tak mengenakan apapun saat ini. Pakaian dalam akan kelihatan jika aku mengenakannya

bersama rok pendek ini..."

"Apa itu pakaian dalam?"

"Eh, Um. semacam celana pendek.'

Aah, itu lho yang seperti spat panjang. Haah, jadi payudaranya seperti ini kalau dia tak memakai korset. Pikir Saito sambil

menerawangi langit. Dia pikir dia akan mimisan bila dia tak begitu. Terlebih lagi, tiada bra? begitu toh. Jika aku

memikirkannya, saat aku mencuci pakaian dalam Louise, aku ingat mencucui celana dala, chemise dan korset, tapi tiada bra.

Kupikir itu karena dia tak punya payudara, tapi sepertinya bra itu sendiri tak ada. Apalagi, kalau gadis ningrat mengenakan

pakaian dalam berenda, gadis biasa seperti Siesta takkan begitu kan? Eh? Dia tak mengenakan apapun saat ini?...Berarti....

"Kau jahat Saito-san...Aku tak punya pakaian dalam berenda seperti para ningrat...Tapi kau malah membuatku mengenkan rok yang

begitu pendek..."

Dengan kata Lain, Dia tak mengenakannya.

MEMANG!

Dalam kepalanya, bermunculan irama-irama seperti banbakabaanbanbonbanbanbakabaan.

Tempat pertama. Siesta-san, tempat pertama.

Siesta dengan erat menyandarkan badannya pada Saito. Memeluk bahunya. Perlahan, Siesta mendekatkan bibirnya pada yang Saito.

"U, um... Apa, apa kita akan melakukannya disini?"

"Eh?"

"Ya, aku seorang gadis desa, jadi aku tak pilih-pilih tempat, tapi, um..."

"Siesta?"

"Tempat yang lebih bersih yang takkan didatangi orang akan lebih baik. Ah, tapi ini hanya harapan saja! Jika Saito-san bilang

tempat ini baik, maka aku juga ok dengan itu. Aah, aku takut. Bagaimanapun juga, ini kali pertamaku. Ibu, maafkan aku, aku

akhirnya akan terenggut disini."

Sepertinya dia benar-benar salahpaham. Saito hanya ingin dia mengembalikan pakaian pelaut disini. Tapi Siesta pikir dia akan

direnggut. Saat dia pikir dia perlu menjelaskan...dibelakang mereka, tutup dari galon lainnya terbuka lurus keatas.

"A-Apa?!"

Saat Saito berbalik, tutup galon yang jatuh langsung menghantam kepalanya.

"Gyaa!"

Kemudian dari dalam galon, sebuah bayangan bangkit bersamaan dengan bergetarnya tanah. Sebenarnya, yang bergetar hanyalah

galonnya, tapi rasanya bagaikan tanah pun bergetar. Itu menunjukkan betapa marahnya orang didalam galon itu.

"L-Louise?" ucap Saito dengan nada bergetar. Siesta ketakutan oleh Louise, yang kepalanya menyenbul dari galon, dan

bersembunyi di bayang-bayang Saito.

"Me-mengapa kau ada didalam sebuah galon...?"

"Aku tengah membuntutimu dan melihatmu sembunyi didalam galon, Jadi aku mengikutimu dan bersembunyi di galon sebelahnya. Aku

berhati-hati agar tak bersuara. Tapi aku sedikit memukul galon karena marah. bagian 'nyaa, nyaa.'

Aah, suara kucing tadi adalah Louise, Terlebih lagi, dia, mendengarkan seluruh percakapan kami tadi. Wajah Louise pucat

saking marahnya. Matanya melotot, seluruh tubuhnya gemetaran bagai gempa. Dengan nada penuh getaran, Louise berucap. "Itu

merpati yang sangat bagus untuk engkau pelihara, a kan> Heeh. Sebuah pakaian indah sebagai hadiah, huh. baiklah. Aku baik,

jadi aku akan memaafkan hal semacam itu. Aku tak apa-apa kau mengabaikan tuanmu dan mengirimkan merpatimu hadiah."

"Louise, dengarkan."

"Tapi, merpati itu bilang begini.'Kau membuatku memakai rok yang begitu pendek'. Tanpa pakaian dalam apapun.'Kau membuatku

memakai rok yang begitu pendek'. Yang terbaik. itu lelucon terbaik abad ini."

"Louise! Dengarkan! Kumohon!"

"Tenanglah. Ia takkan sakit. Dengan "Void"ku, aku takkan menyisakan setitikpun daimu."

Menyiapkan "Buku Doa Sang Pendirinya", Louise mulai membacakan mantranya. Merasakan bahaya hidup, Saito refleks menggapai

Derflinger yang tergantung di punggungnya. Siesta menjadi ketakutan dan bersembunyi dalam perlindungan.

"Ada apa denganmu? Apa kau berencana melawan tuanmy? Bukankah itu menarik?"

Lousie yang mengucapkan itu menakutkan. Melebihi kapal perang, melebihi naga, melebihi iblis orc, melebihi Wardes...Louise

lebih menakutkan daripada yang sudah-sudah. Tubuh Saito gemetaran kaku. Apaan sih dengan ketegangan ini...I-ini "Void"...

"Rekan, menyerahlah." bisik Derflinger dengan sikap bosan.

Menunjukkan ketegaran seorang tolol, Saito menarik keluar pedangnya, "Vo-vo-vo-void bukanlah apa-apa! Ayo!"

Tanda di tangan kiri Saito bersinar... Louise mengayunkan tongkatnya

ke bawah saat pembacaannya belum selesai. Boom! Dan

tempat didepan Saito meledak. Tertelan oleh akilatan, Saito diterbangkan dari landaian dan menghantam tanah dibawah. Setelah

mengahantam tanah, wajah Saito tak karuan karena ketakutan, dan dia bangkit lalua kabur. Louise menengok dari landaian dan

berteriak. "Tunggu!"

Ga mungkin aku nunggu. Jika aku nunggu, aku tewas, Pasti tewas. Ketakutan primitif mengambil alih otak Saito. Saito, sambil

terjatuh-jatuh, lari sekuat-kuatnya. Louise mengejar setelahnya.


Guiche tengah mencoba sebaika mungkin dalamkamar Montmorency untuk menenangakan pacarnya. Tentanga bagaimna penampilan

Montmorency bagaikan mawar, bagai mawar liar, bagai mawar putih, bagaimana matanya bagaikan mawar biru, pokoknyam dia

menggunakan mawar-mawar dan memujinya, danlalu dia menyanjungnya menggunakan roh air sebagai perbandinagan. Montmorency, yang

bukan merupakan kekecualian diantara ningrat Tristain, sanagt bangga dan angkuh, jadi diataka membenci pujian. Namun

punggungnya menghadap aGuiche, dan dia bersikap menerawangi jendela. itu tanda "Puji aku lagi". Melihat ini, Guiche mengeruk

isi kepalanya lebih keras dan melepas kata-kata untuk menarik hatinya.

"Di hadapanmu, nukankah roh air akan melarikan diri? Lihatlah, rambut ini...ia bagai ladang rumput emas. Ia lautan bintang

yang berkerlip/ Aah, wanita apapun disampingmu takkan lagi masuk penglihatanku."

Guiche terus masuk-keluar kamar, dan dia sudah mengeluarkan kata-kata yang cukup untuk sebuah drama. Kurasa ini cukup pikir

Montmorency. Perlahan, sambil tetap membelkangi. dia dengan lembut mengeluarkan tangan kirinya pada Guiche. "aah" Guiche

mendesah, membayangkan apa yang terjadi, dan mencium tangan itu.

"Aah, Montmorencyku~..."

Guiche mencoba membawa bibirnya mendekati bibir Montmorency, tapi it dihentikan jarinya.

"Sebelum itu, mari kita minum beberapa tetes anggur. Kau kan cape-cape membawanya kesini."

"Te-tentu saja!"

Diatas meja, vas berisi bunga, sebotol anggur, dan dua gelas keramik ditaruh. Guiche mendatangi kamar Montmorency dengan

membawa itu. Guiche cepat-cepat menuangkan anggur kedalam gelas. Saat dia begitu, Montmorency tiba-tiba menunjuk keluar

jendela. "Oh? seorang putri telanjang tengah terbang di angkasa."

"Eh? Dimana? Dimana, dimana?"

Mata Guiche melotot dan melotot keluar jendela seakan-akan hendak memakannya. Apaan "Wanita lain selainmu takkan l;agi masuk

mataku", sepertinya aku harus menggunakan ini. Sambil memikirkan itu, Montmorency dengan sembunyi-sembunyi menuangkan isi

botol kecil yang disembunyikannya di lengan baju kedalam cangkir anggur Guiche. Cairan bening terlarut kedalam anggur.

Montmorency tersenyum manis. "Hanya main-main. Yah, ayo bersulang."

"Ayolah, jangan mengagetkanku seperti itu..." tepat saat Guich mengatakan itu, pintu membuka dengan sebuah bam dan sebuah

angin puyuh mengalir masuk. Guiche diterbangkan dan berguling di lantai. Itu Saito.

"Haa, haa, haa... Hi-hi-hi"

"Kenapa kau disini?!"

"Sembunyikan aku!" Sambil mengatakan itu, Saito loncat ke kasur Montmorency.

"Hei! Apa ada orang yang bakal loncat kedalam kasur Montmorency! Pergi! Kau!"

"Tunggu, apa yang kau lakukan?! Masuk kamar orang sesukamu..."

Saat Montmorency menyilangkan lengannya dan meneriaki Saito, angin puyuh lain mengalir masuk kamar. Montmorency diterbangkan

dan mendapati hidungnya terhantam parah ke lantai.

"Louise!" teriak Guiche. Mengapa, itu Louise yang kehilangan dirinya dalam marah.

"A-a-a-a-pa yang kalian berdua lakukan?!"

"Diamlah! Mana Saito!"

Ditekan oleh sikap mengancam Louise, Guiche dan Montmorency bertukar pandang dan menunjuk ke kasur. Ada gumpalan tebal dalam

futon, agak bergetar. Dengan nada rendah, Louise memerintah kearah kasur. "Saito, keluarlah."

Sebuah suara kaku keluar dari futon. "saito tak disni."

Louise mengambil gelas anggur dari meja. Montmorency ber "Ah!" dengan nada pelan, tapi terlambat, Louise menenggak semuanya

dalam satu tegukan. "Buhah! Aku haus dari lari-lari ini. Semuanya salahmu. Baiklah, aku yang bakal mendatangimu."

Louise menarik minggir futon kasur.

Saito disana gemetaran.

"Bersiaplah...Nna?"

Tepat saat dia memandangnya dan mengatakan itu, perasaan Louise berubah. Louise mengejar Saito karena dia tak bisa memaafkan

Saito yang memberikan hadiah pada wanita lain meski telah mencium dia. Jika kau mencium gadis seperti Louise, itu bakal jadi

masalah. Dengan kata lain, ini masalah harga diri. Tapi, kini. tepat saat dia melihat Saito, perasaannya pada Saito loncat

begitu saja. Hingga detik ini, yah, dia samar-samar menyukainya. Dia takkan menerimanya, tapi dia menyukainya. Itulah mungki

mengapa dia begitu cemburu...Di saat ini, dia mencintai tanpa hambatan apapun. Emosinya begitu besar, bahkan pikiran Louise

sendiri jadi liar. Tanpa berpikir, Louise menutupi pipinya dengan tangannya.

Oh...aku begitu mencintainya?....Aku mencintainya begitu....begitu....besar?

Ait mata mengalir deras dari mata Louise. Perasaan sedihnya lebih besar dari perasaan marahnya. Dia mencintainya begitu kuat,

jadi mengapa Saito tak memerhatikannya. ini begitu menyedihkan, Louise mulai terisak.

"Louise?"

Saito dengan curiga melihat Louise, yang sikapnya berubah 180 derajat, dan bangkit. Guiche juga melihat Louise, yang

tiba-tiba mulai menangis, dengan mata terkejut. Montmorency tengah memegangi kepalanya dan ber"oh, tidak". Obat yang hendak

diminumkannya pada Guiche telah diminum Louise.

"Hei, Louise..."

Louise memandangi Saito dan memeluk dadanya.

"Tolol!"

"Eh?"

"Tolol, tolol! Mengapa? Mengapa?"

Louise mulai dengan sangat berbeda. Saito panik.

"Mengapa kau tak memerhatikanku! Itu jahat banget! Uweeeee~h!"

Louise mengubur wajahnya kedalam dada Saito dan terisak-isak.


Bab 4 - Rahasia Tabitha[edit]

Beberapa hari sebelumnya, di ujung pagi hari Louise mengejar Saito kemana-mana. Kirche dan Tabitha duduk di kereta yang ditarik kuda. Mereka telah menjelajah dari tenggara, dari akademi sihir. Kirche menarik keluar kepalanya dari jendela dan berteriak. "Tabitha! Lihat ini! Sapi! Banyak lho! Lihat! Ada banyak sekali!"

Rancah berada dikedua sisi jalan dan sapi-sapi tengah merumput.

"Mereka merumput! Moo, Moomoo!"

Tapi Tabitha tak bereaksi. Dia terus membaca bukunya sebagaimana biasa. Merasa bosan, Kirche melemaskan lengannya keluar.

"Hei, Tabitha. Ini perjalanan pulang yang sudah lama ditunggu kan? bukankah kau seharusnya lebih senang?"

Karena Louise dan Saito tak ada karena dipanggil ke Istana Kerajaan, saat dia mendatangi kamar Tabitha untuk bermain, dia terkejut menemukan Tabitha mengemas barang-barangnya,

"Apa kau hendak melakukan perjalanan?" tanya Kirche padanya.

Tabitha menjawab bahwa dia hrus pulang untuk melihat ibunya, Meski Tabitha dingin sebagaimana biasanya, Kirche merasakan ada yang beda dalam suaranya. Jadi Kirche dan Tabitha berangkat bersama. KArena keluarga Tabitha mengirimkan sebuah kereta, mereka tak perlu menggunakan naga anginnya. Ia berputar-putar diatas mereka di langit selama pejalanan sambil membawa Salamander Kirche di punggungnya.

"Karena sekolah telah memberikan izin resmi untuk kepergian kita, ia takkan dihitung sebagai absen dan kita tak perlu khawatir soal membersihkan menara sebaagi hukuman."

Tabitha terus melihat bukunya tanpa menjawab. Aku telah menjadi temannya selama lebih dari 3 tahun, dan aku tetap tak tahu apa yang dipikirkannya.

Kirche memutuskan untuk mencoba dan memulai pembicaraan yang berbeda. "Ini kali pertama aku mempelajari bahwa ibu pertiwimu bukan Tristain, melainkan Gallia. Kaus eorang murid pindahan?"

Mereka sebentar lagi melewati perbatasan, Kirche sudah meminta Kepsek Osman untuk menandatangani dan menyediakan dokumen-dokumen untuk keamanan pelewatannya. Kirche punya rasa samar-samar bahwa nama Tabitha adalah psudonym...Tapi dia tak pernah menanyakannya soal asal namanya. Tabitha. Ia sebenarnya nama yang cukup biasa. Bahkan jelata akan memakai nama yang lebih baik. Ia semacam nama yang bisa diberikan pada kucing. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Tabitha mungkin menyembunyikan perihalbahwa dia berasal dari keluarga aristokrat terhormat Tristain, tapi dia salah, dia sebenarnua berasal dari bangsawan Kerajaan kuno Gallia yang berbatasan dengan Germania.

Tanah Halkegenia dikelilingi lautan dan punya busuran yang lemah, menciptakan semenanjung raksasa. Hanya orang-orang asli tanah ini tahu kata-kata untuk menggambarkannya, Gallia berada di tenggara dan Germania, di timur laut. Tristain berada diantara keduanya dan ukurannya sama dengan Belanda+belgia di dunia saito. Luas wilayah kedua negara ini sektar 10x Tristain. Penduduk Tristain memanggil ibu pertiwi mereka 'negeri kecil' dalam mempermainkan diri sendiri. Di semenanjung kecil di selatan yang menghadap laut, Negara-negara seperti Germania harus berperang untuk penguasaan lokal. Romalia sang negeri relijius terlibat dalam perang untuk penguasaan; kantor paus mengadvokasi kepercayaan tentang Brimir sang Pendiri dan para Tuhan. Kebetulan Kardinal Mazarini berasal dari Romalia.Terus-terusan melayang diataslautan dan tanah utama Halkegenia adalah benua melayang Albion. Bila mau ikut aturan, Albion bukanlah bagian dari Tanah utama Halkegenia.

Kirche berbalik untuk menanyai Tabitha, "Mengapa kau belajar di sebrang?"

Namun, Tabitha tak menjawab perkataan Kirche. Dia terus duduk dan membaca bukunya sebagaimana sebelumnya. Kemudian Kirche tiba-tiba menyadari sesuatu. Halaman di bukunya tak pernah berubah, ia sama seperti sebelumnya. Selama ini, Tabitha terus memandangi halaman yang sama. Kirche memutuskan untuk tak bertanya lagi. Apapun alasannya untuk belajar sebrang atau kembali pulang, dia akan menunggu hingga Tabitha bilang soal itu sendiri. Dia mengerti bahwa pada saat itu, saat Tabitha mengemas barang-barangnya, dia dikelilingi suasana yang berbeda.

Meski umur mereka berbeda, mereka berteman, dan tak hanya karena sekolah mereka sama. Meski berteman, ada hal-hal yang kedua sisi tak dpat dipaksakan untuk membicarakannya. Tabitha yang tak buka mulut sering-sering. Kirche perhatian sebagai seorang senior. Keduanya punya alasan masing-masing untuk melewati perbatasan dan pergi ke Tristain. Sambil meneruskan berjalan. Kirche teringat pada berbagao situasi politik berbagai negeri. Meski dia tak tertarik politik. Namun dengan isu-isu perang yang beterbangan di sekelilingm dia tak bisa tidak tapi mengira-ngira dengan pikirannya.

Gallia tetap netral dan terus diam soal penyerbuan Tristain oleh Albion. Meski ancaman dpat terasa dari perubahan politik di Albion dan pemerintahan baru mereka. Sebuah proposal aliansi dibuat oleh Tristain, tapi ditolak. Hampir pasti mereka akan mempertahankan netralitas mereka selama wilayah mereka aman. Ada isu yang masuk kupingnya soal Gallia yang membakar krisis dalam negeri ini. Dengan seluruh masalah internal dan eksternal ini, bukan perkara mudah untuk membayangkan pening yang diahadapi para politikus. Dia terus menemani Tabitha ke Kerajaan Gallia. Meski mereka datang sebagai turis, Kirche punya firasat kuat sesuatu yang salah tengah berlangsung. Saat dia memikirkan ini, dia dengan kosong mengeluarkan kepalanya dari kereta.

Sebaris penduduk desa muncul muncul jauh didepan kereta. Perhatian Kriche tertuju pada barisan yang terdiri dari kurdang dari 10 penduduk desa. Semuanya memakai jubah bertudung yang menutupi wajahnya. Kirche menyadari bahwa mereka semua membawa tongkat sihir. Kalau dilihat lebih seksama, bentuk tongkat mereka sepertinya menunjukkan mereka adalah tentara. Karena kini perang berkobar, hal semacam itu tak asing.

Kuda terus melaju. Melalui celah tudung jubah, dia dapat melihata wajah salah satu ningrat. Itu mata seorang pemuda yang sangat tampan. Dia menyenderkan kepalanya pada lengannya dan mendesah. "Seorang ganteng, di tempatku berada."

Setelah itu dia tiaba-tiba menyadarinya. Kupikir akau tahu dia. "Diamana aku melihatnya ya...siapa ya..."

Dia memandanginya saat dia masih terlihat, panas tubuhnya naik lalu mendingin. Aantusiasmenya segera pergi saat dia tak lagi bisa melihatnya, pria itu segera terlupakan. Kirche maju dan memandangi Tabitha. Mata biru intannya yang disembunyikan dibelakang kacamatanya memandang ke bawah pada halaman buku yang sama. Sambil dengan lembut menaruh tangannya di abahu Tabaitha, dia aberkata dengan suara bersemangatanya yang biasa. "tak apa-apa. Apapun yang terjadi, aku akan bersamamu."

Jadi, mereka terus melanjutkan perjalanan selama 2 hari hingga mereka mencapai gerbang. Di titik pemeriksaan tapal batas, para penajaga membaca dokumen mereka dan menyilahkan mereka masuk. Ini Gallia. Bahasa dan tradisi Gallia serta Tristain miripsatu sama lain. Mereka juga dikenal sebagai "Mahkota kembar". Saat mereka tiba adi persimpangan perbatasan, para penjaga menghampiri dan meminta bukti perjalanan. Sambil memegang tombak besar, merekaa membuka pintu dan mengonfirmasi izin wisata Tabaitha dan Kirche.

Dia melihatnya dan berkata dengan enggan. "Jalan didepan tak dapat digunakan lagi, kau harus memutar."

"Mengapa, apa yang sedang terjadi?"

"Karena kini, danau meluap dan beberapa jalan sudah penuh kebanjiran."

Danau Ragdorian merupakan danau abesar yang terbentang disepanjang perbatasan Gallia dan Tristain. Ia tempat dengan apemandangan terindah di Halkegenia dan punya reputasia besar. Setelah maju sebentar dia jalan itu, mereka akhirnya amencapai daerah terbuka. Jalannya terletak di ujung sejumlah kecil bukit rendahm dan pembukaan di ketinggian terpisah dari Danau Ragdorian. Di seberang pesisir danau adalah Tristain. Sebagaimana yang dikatakan penjaga, permukaan air danau dipastaikan telah naik. Tanpa melihat batas danau pun, mereka bisa menyaksikan air sudah mencapai bukit-bukit terdekat. Bunga dan rumput yang terendam air dapat terlihat. Tabitha menutup bukunya dan memandang keluar jendela.

'Apa rumahmu dekat sini?"

"Bentar lagi."

Ini pertama kalinya Tabitha buka mulut sejak mereka naik kereta, Tapi dia diam lagi. Berganti ke jalan pegunungan, kereta kuda terus maju menuju rumah keluarga Tabitah. Mereka memasuki hutan dan mencapai tempat dimana pepohonan oak besar tumbuh. Petani-petani tengah beristirahat di bawah naungan bayanga-bayang, Kirche menyadari seorang petani dengan sekeranjang apel dan menghentikan laju kereta, Kemudian dia berteriak memanggil petani tersebut. "Itu sepertinya apel-apel yang lezat, berapa kau jual padaku?"

Petani itu mengambil sebuah apel dari keranjang dan menyerahkannya pada Kirche untuk ditukar beberapa koin perunggu.

"Ini cukup untuk membeli seisi keranjang!"

"Dua cukup!"

Kirche menggigit apel begitu petani tersebut menyerahkan apel kedua padanya. Kirche dengan cepat memberikannya pada Tabitha. Dia terus mengatakan. "Apel ini sangat enak. Apa nama daerah ini?"

"Daerah disekitar Ragdoriam merupakan area kendali langsung."

"Apa? Area kendali langsung?"

Area yang langsung dipegang dan diatur raja.

"Tanah ini dibawah penguasaan langsung Paduka, dan kami kini merupakan vassalnya." kata petani tersebut sambil tersenyum.

Tanah itu sangat subur dan bagaikan keluar dari lukisan dengan keindahan ala gambar. Mengapa raja menginginkan tanah ini dapat dimengerti. Kirche memandangi Tabitha. "Area ini dikuasai keluargamu...apa kau..."

Setelah sekitar 10 menit, akhirnya mereka bisa melihat rumah Tabitha didepan. Ia berupa mansion Tuan tanah feodal nan kuno, yang dibangundengan penuh agung. Kirche memandangi ukiran sabit yang dapat dilihat di gerabng. Napasnya tertahan. Tanda itu berupa dua tongkat sihir yang bersilangan dan tertulis "untuk maju". Ini adalah crest Keluarga kerajaan Gallia. namun, saat mereka mendekat, sebuah celah dapat terlihat pada crest itu. Itu tanda cela. Meski itu berarti ini adalah keluarga kerajaan, mereka dicabuti haknya. Kereta berhenti didepan pagar, dan seorang pelayan tua menghampiri mereka, membungkuk, lalu membuka pintu untuk Tabitha untuk bisa keluar.

"Nona, selamat kembali."

Tiada orang lain yang datang dan ini membuat Kirche merasa daerah ini ditinggalkan. Dia turun dari kereta sambil memikirkan ini. Tabitha dan Kirche tiba di ruang tengah dengan bimbingan pelayan tua itu. Ruangan itus angat rapih, namun, kebisuannya aneh, hampir tampak tak beruh. Ia bagai kuil yang bersiap untuk pemakaman. Kirche duduk di sofa ruangan tengah dan berkata. "Bisakah kita pertama-tama mengatakan spunten pada ayahmu?"

Namun Tabitha menggelengkan kepalanya. "Tunggu disini."

Dia lalu meninggalkan ruang tengah. Kirche duduk di sofa dan memandang ke kanan begitu pelayan tua itu mendekat dengan anggur dan suguhan dan menyiapkannya untuk Kirche. Tapi dia tak menyentuhnya dan malah bertanya langsung pada pelayan tua itu. ;ini ruahnya, tapim sepertinya, kecuali engkau, tiada lagi yang tinggal disini."

"Aku butler keluarga Orléans, Percerin. Apa kau sahabat Nona Charlotte?"

Kirche mengangguk. Charlotte d'Orléans sepertinya merupakan nama asli Tabitha. Orléans, Orléans, dia terus memikirkan nama itu, kemudian tiba-tiba dia memikirkan sesuatu. Orléans, bukankah itu nama keluarga adik Raja Gallia?

"Mengapa ada tanda cela di crest rumah ini?"

"Sepertinya kau seorang asing, mohon ampuni aku, apa aku bisa menanyakan namamu?"

"Saya Von Zerbst dari Germania. ngomong-ngomong, ada apa dengan rumah ini? MengapaTabitha belajar di sebrang menggunakan nama alias? Mengapa saat dia masih kanak-kanak?"

Butler itu mendengarkan pertanyaan Kirche kemudian mendesah. " Nona menyebut dirinya Tabitha...Begitukah...dia tak pernahmembawa teman sebelumnya. Karena kau orang yang bisa dia membuka diri, sehrausnya tak masalah untuk menceritakannya padamu."

Setelah itu Percerin membungkuk dalam-dalam lalu melanjutkan pembicaraan. "Kediaman ini sebenarnya adalah penjara."


Tabitha mengetuk pintu kamar terdalam di kediaman itu. Tiada jawaban. Semuanya biasa saja. Dalam lima tahun ini, tiada yang pernah membuka pintu saat ia diketuk. Saat itu, tabitha baru 10 tahun. Tabitha membuka pintu. Keadaan didalam kamar berbeda dengan bagian mansion lainnya. Yang ada di kamar hanyalah sebuah tempat tidur, meja, dan sebuah kursi. Tiada yang lain, Hembusan sejuk mengalir masuk melalui jendela yang terbuka. Renda bergelombang saat ditiup angin. Sis ruangan tak terganggu selaan. Ada wanita tinggi dan kurus, memegangi erat sebuah boneka di tangannya. Apa yang tersisa dari wajah cantiknya kini hilang karena sebuah penyakit. Dia diantara 35-40 tahun, tapi terlihat seperti 20 tahun. Dia mengintip Tabitha dengan mata ketakutan bagaikan seorang anak kecil.

'Siapa?"

Tabitha membungkuk dalam-dalam sambil menghampiri wanita itu. "Aku telah kembali, ibu."

Namun, wanita itu tak mengakui Tabitha sebagai putrinya, Tak hanya itu, dia juga berbalik dari Tabitha dengan dingin dan berkata. "Enyahlah kau gadis murahan! Apa kau mata-mata dari keluarga kerajaan? Kau ingin merenggut putri cantikku Charlotte dari tanganku? Aku takkan pernah memberikan Charlotte padamu!"

Tabitah tak bereaksi dan tetap menundukkan kepalanya.

"Betapa buruknya untuk berpura-pura bahwa anak ini suatu hari ini akan menginginkan tahta...Aku sudah kenyang oleh hidup kotor istana! KAmi hanya ingin hidup tenang...Tinggalkan saja aku!"

Ibunya melempar gelas berisi air di meja pada Tabitha. Tabitha tak menghindarinya. Itu mengenai kepalanya dan jatuh ke lantai. Ibunya kembali menggosok-gosok wajah boneka. Sebagian wajah boneka terkuak dan menampakkan kapas dibawahnya, hampir pasti habis dari seluruh gosokan tangan ibu di masa lalu. Tabitha menampakkan sebuah senyum sedih, sebuah ekspresi yang hanya akan ditunjukkannya di kamar ini di hadapan ibunya.

"Suamimu telah dibunuh, itulah emngapa kau begini; bagaimanapun juga, aku akan meninggalkanmu sekarang, tapi aku akan kembali cepat ataupun lambat. Hingga hari itu, mohon berdoa untuk keselamatan boneka putrimu."

Angin bertiup mengalir masuk kamar melalui jendela-jendela yang terbuka, menggoyangkan tirai. Meski ini awal musim panas, angin yang bertiup dari danau terasa dingin nan menusuk.


"Seorang korban dari perang suksesi?" Saat Kirche menanyakan itu, Percerin mengangguk.

"Ya, kejadiannya 5 tahun lalu saat raja mangkat. Dia meninggalkan 2 putra mahkota. Yang kini bertahta adalah putra sulung, Joseph. Ayah Nona Charlotte, Duke Orleans. adalah putra kedua."

"Jadi dia memang berasal dari keluarga kerajaan."

"Duke Orleans berbakat dan dicintai semuanya, dia tampak sebagai penguasa yang pantas di mata rakyatm medki dia dia harus menghadapi kesulitan karena menjadi putra kedua. Karena ini, banyak orang mendukung sang Duke dan menginginkannya yang bertahta. Istana kemudian terbagi kedalm dua kelompok, keduanya meluncurkan usaha kotor untuk kekuatan. Akhirnya, Duke Orleans dibunuh. Dia kena panah beracun didadanya, Seseorang yang lebih terhormat dari siapapun di negeri ini dibunuh bukan oleh sihir, tapi panah beracun. Penyesalan dan amarah tak dapat dibayangkan. Namun tragedi masih lama berakhinya."

Percerin mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan. "Kemudain, mereka yang menjadikan Joseph raja mulai menyasar Nona. Mereka ingin mnyingkirkan kemungkinan masalah di masa depan. Orang-orang ini mendatangkan Madam dan Nona ke pesta yang diadakan mereka. Namun, mereka meracuni minuman nona. Madam telah menyadari ini, dan untuk melindungi Nona, dia sendiri yang meminumnya. Sebuah sihir yang merusak pikiran seseorang telah ditempatkan di air itu. Sejak itu, Madam menjadi gila."

Kirche, terkejut dan kehilangan kata-kata, mendengarkan pengakuan butler itu.

"Sejak itu, Nona menyegel mulut dan ekspresinya, Nona Charlotte asalnya ceria dan cerah, orang yang berbeda dengan saat ini. namun ini bisa dimengerti. Siapapun yang menyaksikan ibu mereka jadi gila akan jadi seperti itu.

Yang lainnya, mengetahui mereka telah gagal dan untuk melindungi mereka sendiri, mengirimkan perintah kerajaan pada Nona Charlotte, Tugasnya luarbiasa sulit, tiada yang pernah bisa menyelesaikannya hidup-hidup. Namun Nona menyelesaikan tugas dan menyatakan loyalitasnya pada keluarga kerajaan, untuk melindunginya. Tapi Nona Charlotte tetap diperlakukan semena-mena oleh keluarga kerajaan. Biasanya, prestasi ini cukup untuk mendapatkan sebuah daerah, tapi dia malah dihadiahi gelar Chevalier dan dipaksa belajar di sebrang. Madam tinggal disini, di rumah ini, dengan keadaan yang kini dia alami."

Percerin menggigit bibirnya penuh sesal. "Lalu...! Kapanpun keluarga kerajaan punya tugas sulit untuk diselesaikan, mereka memintanya melakukanpekerjaan kotor mereka? ayahnya dibunuh, ibunya diracun dan jadi gila, dia sendiri dipimpin dan disuruh-suruh mush pribadinya bagai duri dalam daging! Kutak pernah tahu sesuatu setragis ini, bagaimana orang bisa menjadi sebegitu jahatnya."

Kirche kini menyadari mengapa Tabitha tetap diam. Dia tak pernah tahu alasan mengapa Tabitha diberikan gelar Chevalier untuk tugas yang tak dimintanya. Di perjalanan, dia terus menatap halaman yang sama dari bukunya. Nama runenya adalah 'Badai salju'. Angin dingin telah bertiup kedalam hatinya dan belum mereda. Rasa dingin yang dirasakannya, pikir Kirche, tak dapat dibayangkan.

"Bukankah kau bilang Nona memperkenalkan dirinya sebagai Tabitha?"

"Ya."

"Madam merupakan orang yang sangat sibuk, namun, Nona kecil tetap bersikap terbuka dan ceria. Nona kecil sebenarnya sangat kesepian. Madam pergi ke kota dan memilihkan sebuah boneka khusus untuk Nona kecil selama jadwal padatnya. Nona sangat bahagia dan memperlakukannya bagaikan adik perempuannya. Kini boneka itu ada di tangan madam. Karena keadaan pikirannya saat ini, ida percaya boneka itu adalah Nona charlotte."

Kirche kaget.

"Tabitha. itu nama yang Nona kecil berikan untuk boneka itu."

Tiba-tiba Pintu terbuka dan Tabitha berjalan masuk.

Sang Butler membungkuk, menyembunyikan wajah nyerinya dan menyerahkan sebuah surat dari keluarga kerajaan. "ini perintah dariakeluarga kerajaan."

Tabitha melepas segel setelah menerima surat dan mulai membcanya secara biasa. Saat dia selesaia membacanya, dia mengangguk ringan.

'Kapan kau mulai?"

Tabitha menjawab bagaikan menjadwalkan jalana-ajalan. "Besok."

"Diterima, Akua akan menyampaikan ini pada utusan. Akua mengharapkan keselamatnmu sat tugasini selesai."

Sang Butler membungkuk hormat alalu meninggalkan ruangan. Tabitha berjalan melewati menuju Kirche. "Tunggu disini."

Kirche menggelengkan kepalanya. "Maaf, aku dengar semuanya, aku juga ikut."

"Berbahaya."

"Kutak bisa amembiarkanmu pergi sendiri."

Tabitha tak menjawab. Tapi dia menundukkan kepalanya dengan ringan.


Malamnya, keduanya tidur di kamar yang sama. Begitu Tabitha mengenai kasur, dia segera terlelap. Kirche tak abisa tidur dan berbaring di sofa dengan satu tangan di bawah bantal. Tabitha talh menjelaskan pada Kirche soal tugas macam apa yang bakal dilaksanakan, dan menyanyai Kirche apa dia benar-benar ahendak datang.

-Meski aku telah berjanji...Ini pasti bukan tugas biasa. Besar kemungkinan mereka bisa tewas untuk menyelesaikan tugas ini. Tapi sebagai ningrat, resiko tewas tak pernah jauh-jauh. Daripada itu, dia lebih mengkhawatirkan anak ini. Kesepian macam apa yang kemungkinan telah ditanggung anak ini?

Tabitha tengah gelisah di kasurnya. Dengan tanggalnya kacamata, wajah tidurnya menyerupai seorang gadis kecil tanpa dosa. Wajah yang tak menunjukkan dia menanggung ketakbahagiaan yang tak pantas untuk seusianya, pengabdian terhormat yang memberinya gelar Chevalier dan tugas sulit yang harus dia selesaikan.

"Morn."

Tabitha berkata dalam tidurnya. Bahu Kirche bereaksi pada perkataannya.

"Bunda, jangan minum itu. Bunda."

Tabitha memanggil ibunya beberapa kali dalam tidurnya. Dahinya terus mengucurkan keringat yang makin menyangat setelah tiap panggilan. Kirche dengan lembut bangkit, berbaring di kasur di samping Tabitha, dan mendekapnya mendekat. Tabitha mengubur kepalanya dalam dada Kirche. Detak jantungnya tersalurkan pada Tabitha begitu mereka berbaring disana, mungkin itu terasa bagaikan milik seorang ibu. Beberapa saat kemudian, Tabitha tenang kembali, keringat malamnya pergi meninggalkannya.

Bagi Kirche, Dia pikir bahwa dia entah bagaimana mengerti alasan mengapa Tabitha memperlakukannya sebagai seorang teman. Hatinya belum beku sempurna, sedikit kehangatan masih tersisa didalamnya. Hanya saja angin es yang bertiup menyumbatnya. Dia mungkin merasakan bahwa api didalam Kirche dapat melelehkannya. Kirche, sambil perlahan terlelap, berkata dengan lembut."Hai Charlotte. 'Ardent' menghangatkan dan melelehkan segalanya, jadi kau bisa beristirahat dengan tenang."



Bab 5 - kekuatan Obat Cinta[edit]

Saat Saito bangun di pagi hari, Louise tengah tidur disebelahnya. Malam sebelumnya, saat Louise, yang matanya bengkak penuh air mata, kelelahan, dia membawanya ke kamar dan langsung terlelap. "Kuukuu," dengan wajah tanpa dosa, dia menghembuskan napas saat tidur. Apa yang membuatnya berubah jadi begini kemarin? Saat itu dia siap

membunuh, saat lainnya - dia tiba-tiba menangis " Mengapa kau tak memerhatikanku!" Apa? Apa? fikir Saito. 

Dia mulai bangun. Dengan tergesa-gesa, Louise bangkit, dan menyadari adanya Saito, menggigit bibir. Kemudian dengan suara tertahan, dia bergumam. "Selamat pagi."

"S-selamat pagi," Saito membalas salam.

Kemudian wajah Louise memerah dengan mata marah di wajahnya, tapi kini yang beda. Sambil menatap Saito, dia dengan lembut melengkungkan bibirnya dan berkata dengan malu-malu.

"A-apa?"

"Maafkan aku."

Louise membuka mulutnya dan berkata dengan nada sesal. "MaafkanakuMaafkanakuMaafkanaku. Maafkan aku?"

Louise ini aneh sekali. Dia menatap Saito dengan mata puppy yang terlantar, padahal dia tak pernah menatap S a i t o b e g i n i s e b e l u m n y a . L o u i s e s e l a l u m e r e n d a h k a n n y a a t a u b e r w a j a h m a s a m , d i a t a k b i a s a d i l i h a t d e n g a n c a r a l a i .

"Benar-benar deh, apa yang salah denganmu?"

Karena khawatir, dia mencengkram bahu Louise. Louise yang hanya bergaun malam membengkokkan kepalanya dan menyenderkan pipinya pada tangan Saito. Saito merasakan pang yang tak terduga. Terlebih lagi, pang pada sisi kirinya. Y a n g c e pat tentu saja. Sesaa t kemudian, dia terpengaruh sempurna oleh sebuah kekuatan mengerikan. Badannya gemetaran hebat dan detaknya e n g g a n b e r d e n y u t . A a h , m e l i h a t L o u i s e s e p e r t i i n i . . . D i a ta k j a t u h c i n t a p a d a k u k a n ? !

"Aku lihat."

"Eh?"

"...sebuah mimpi kemarin."

Mimpi?

"M-Mimpi apa?"

"Sebuah mimpi tentang Saito."

"M-Mimpi tentng apa/'

"Saito berlaku jahat dalam mimpi. Meski aku berbicara sangat keras, dia masih berbicara dengan gadis lainnya."

'Gab' Louise menggigit tangan Saito. Namun, itu tak sakit. Louise menggigit sangat lembut. Kemudian mentapa keatas pada wajah saito.

"Meski begitu, itu kemarin. Jangan membeli hadiah untuk gadis lainnya, jangan melirik gadis lainnya - kau punya tuanmu Louise -sama kan?"

Saito menelan ludah selama melihat Louise. Dia tak pernah menyadari Louise begitu mencintainya...Tapi apa yang membuat sikap Louise berubah drastis. Seakan dia orang yang sangat berbeda. Louise yang begitu merendahkanku hingga kini, tak bisa jadi manis hanya dengan begitu, Pertama-tama dia marah. dan kini di dengan lembut mengunyah telapaknya selama memarahinya. Dia takkan pernah menggigit seperti ini. Dia akan memukul. Louise takkan pernah menjual dirinya untuk seorang jalang...Meski pertama-tama Saito pikir Louise mungkin jatuh cinta, dia menyingkirkan cahaya harapan terakhir dari pikirannya.

"Dengarkan aku."

"Y-ya."

"Kayakan padaku sejujur-jujurnya. S-siapa yang paling kau cintai di dunia?"

Louise mengubur wajahnya di dada Saito dan berucap dengan nada memelas. Saito merasa pening kepala dan menjawab tak jelas. "T-tuan-sama. Ya."

"Bohong."

Itu bukan kebohongan. Saat dekat, hanya Louise yang bisa membuat dadanya berdetak begini. Namun, Louise yang sekrang...

"Benarkah?"

"Ya..."

Kemudian Louise bangkit, dan tototo. berlari ke sisi lain kasur. Setelah mengeluarkan sesuatu dari celah rahasia di dinding disamping kasur, dia berlari ke Saito dengannya.

"N. N, nh"

Kemudian dia menyodorkannya pada Sairo.

"apa...?"

'Ambillah."

Barang rumit yang disodorkan terbuat dari wol rajut. Dalam hal apapun juga, ia tampak tak bisa dipakai. Saito menerimanya dan membengkokkan kepalanyam mencoba mencari tahu gunanya. Apakah mungkin, iini sesuatu untuk "dipakai"? Tidak, takkan pernah. Dia tak punya bagian tubuh dimana ini bisa masuk. Louise dengan diam terus menonton Saito...Dengan mata yang tampak berkaca-kaca dari tangisan. Aah, tak bisa menolak saat melihat mata yang seperti itu. Mata itu merupakan mata penih harapan. Dan dia tak bisa menjawab harapan Louise karena dia tak tahu sama sekali ini untuk apa, namun, dia harus melakukan sesuatu!

Apa-apaan ini, pikir Saito, Berfikirlah! Yaaah, kalau dilihat-lihat, ini sepertinya mirip mainan Medusa. Ia juga bisa dilihat sebagai spesies fauna Burgess yang menguasai lautana di masa kuno. Meski ia tampak seperti hewan misterius. kareba Louise yang menyerahkannya padaku, ia pasti punya kegunaan. Ah! Pikirkan!

Saito kebingungan, perlahan kehilangan kendali. "Hebat! Ini? sesuatu yang luar biasa! Tampilan Medusa! Yang terbaiklah!"

Wajah Lousie jatuh. "Itu berbeda...bukan itu...Itu sweater."

Untuk kata alien Sweater. ia berbeda sama sekali dari apa yang diharapkan orang. Ia dengan mudahnya melewati bayangan Saito. Panik, Saito mencoba memakainya. Tapi bagaimana mengenakannya? Entah bagaimana, ia menemukan sebuah lubang dan mendorong kepalanya masuk. Tapi lengannya tak keluar dan setengah kepalanya tetap tersendat didalam. Tersendat dengan cara yang tak enak, Saito berdiri diam. Kemudian, Louise memeluk erat Saito dan mendorongnya jatuh ke kasur.

“L-Louise...”

karena lengannya tertahan oleh sweater, dia tak bisa bergerak.

"Tenanglah," mohon Louise pada Saito

Apa? Aku sudah diam. Tapi itu karena aku tak bisa mengeluarkan lenganku dari sweater.

"Tak bisa." katanya pelan, jujur.

Louise memegang Saito erat, bagai seorang gadis memeluk boneka hewan kesukaannya.

"Ugh, bukankah kau harus ke kelas?"

"Tak apa-apa, Aku bolos saja."

Muhaa! Semakin dia memikirkannya, semakin mencurigakanlah semuanya. Biasanya, Louise tak pernah bolos kelas dengan begitu ringannya.

"Untuk seharian ini. Karena, jika kau ditinggalkan, kau bermesraan dengan gadis lain. Aku benci itu."

Sepertinya dia ingin mengikat saito dengan ini. tapi, untuk seorang Louise yang harga dirinya begitu tinggi untuk mengatakan hal semacam itu...Bahkan jika dia merasa begini, dia takkan pernah mengucapkannya keras-keras.

"Katakanlah sesuatu." ucap Louise dengan manisnya.

Saito, ada apa dengan Louise? fikirnya, sambil mengkahwatirkannya, apa yang membuat Louise mulai berbicara begitu lembut dan halus.


Siangnya, Louise akhirnya terlelap. Gadis muda itu mengorok lemah dalam tidur nyenyaknya. Kemudian Lousie dengan sembunyi-sembunyi menyelinap keluar kamar dan menuju ruang makan. Dia juga hendak mengambil bagian Louise. Siesta, yang sudah menyiapkan makan siang di dapur, dengan manis tersenyjm saat dia selesai menjelaskan situasi yang dihadapinya.

"Kau terkenal."

"Tidak, ini beda. Lousie bukan dirinya. Dia berkelakuan lucu. Tak bisa diapa-apakan, dan kini aku harus dapt sebagian dari makanan ini..."

Saito mengataknnya dengan nada khawatir, sedangkan Siesta menginjak-injak kaki Saito tanpa menghentikannya senyumnya.

"Itu bagus."

“S-Siesta?"

Sepertinya dia benar-benar marah. Senyum dinginnya hanya menunjukkan kemarahan bekunya.

"Heeeh. Nona Vallière, ningrat yang harga dirinya tinggi itu tiba-tiba menjadi begitu manis pada saito. Apa yang membuatnya berubah pikiran tentang Saito-san? Aku khawatir."

Sambil tetap tersenyum, Siesta menguatkan injakannya pada kaki Saito. Saito berteriak.

"I-itu benar! Dia memang tiba-tiba mulai bertingkah aneh."

"benarkah?'

"Ya...seakan-akan dia berubah jadi orang lain."

Mendengar itu, Siesta mulai berpikit dengan wajah serius.

"Itu mengingatkanku, kudengar ada ramuan sihir yang dapat mengubah pikiran orang jadi begini..."

"Ramuan sihir?"

"Benar. namun karena aku bukan seorang penyihir, aku mungkin tak mengerti benar tentang itu...tapi Nona Vallière takkan meinum barang semacam itu..."

Saito teringat malam sebelumnya. Tingkah Louise berubah drastis setelah masuk kamar Montmorency...selama dia bersembunyi dibawah selimut kasur. Pada saat itu, kelakuan Louise tiba-tiba berubah...Apa louise melakukan sesuatu setelahnya?...Ah...Itu mengingatkanku, dia berkata "Fuah! Aku haus dari lari kesana-kemari!" dan dalam sekali teguk meminum anggur merah di meja!....itu? Apa itu ya...? Saito mulai merasa curiga pada anggur merah dalam kamar Montmorency.


Saito menunggu Montmorency keluar dari ruang makan dan mencengkram lengannya, Guiche, yang berjalan disebelah Montmorency, ngamuk. "hei! Apa yang kau lakukan pada Montmorencyku!"

Namun, wajah Montmorency tiba-tiba memucat, bukannya mengeluh. Apa?! Meski dia mencengkram lengan seorang ningrat seperti itu! Sepertinya Montmorency, yang bahkan lebih arogan dari Louise, tak ingin membuat keributan lebih lanjut. Dengan kata lain, dia merasa berutang pada Saito soal sesuatu dan ia pasti berhubungan dengan perubahan Louie yang tiba-tiba.

"Hei Monmon." Saito menatap Montmorency.

"A-Apa...?

Dia dengan aneh membuang muka. Dia tak marah dipanggil Monmon. Ini makin lama makin mencurigakan.

"Apa yang kau buat yang diminum Louise?"

"Eh?' Guiche membuat wajah curiga.

"Montmorency memberikan Louise sesuatu?"

"Hei Guiche. Kau melihat perubahan Louise kan? Suatu saat dia marah, setelahnya dia menempatkan telapaknya dengan lembut. Bahkan orang setolol kau harusnya jadi curiga."

Guiche berpikir sambil menyilangkan lengannya. Ini makan waktu, karena dia lamban sebagaimana biasa. Lalu Guiche, yangd engan usaha keras ingat kejadian malam sebelumnya, menganggul. "Ia sebagaimana katamu. Seharusnya tak mungkin bagi Louise untuk jadi lembut tiba-tiba kan?"

"Benar! Monmon! Louise jadi aneh setelah meminum anggur di kamarmu!"

"Itu anggur yang kubeli! Tiada yang mencurigakan soal itu!"

Setelah mengatakan itu, Guiche menyadari tingkah tak biasa Montmorency. Dia tengah menggigit bibirnya kuat-kuat dan tetes-tets kecil keringat dingin muncul di dahinya.

"Montmorency! Anggur itu, benarkah..."

"Anak itu meminumnya tanpa permisi!" teriak Montmorency, karena tak tahan.

"Bukan itu masalahnya! itu salahmu!" katanya sambil menunjuk Guiche, menepuk hidung Guiche dengan jarinya. Kini, dengan amrah yang berbalik, Guiche dan Saito mematung dan hanya menonton Montmorency.

"Karena kau selalu main kemana-mana!"

"Kau1 apa yang kau taruh di anggur itu?!"

Saito mengerti. Montmorency ingin Guiche meminum sesuatu yang ditaruh dalam anggur. Tapi malah Louise, yang menyerbu masuk, yang meminumnya. Untuk sesaat, keduanya, Guiche dan saito, berdiri dengan enggan dan malu, kemudian menyurut kebelakang. Kemudian Montmorency dengan nada pelan dan tertahan bilang. "...Ramuan cinta."

"Ramuan cinta!" teriak Guiche dan Saito.

Montmorency buru-buru menempatkan kedua tangannya pada mulut keduanya dalam panik. "Tolol! Jangan keras-keras!...ia dilarang."

Saito mencengkram lengan Montmorency, menyingkirkan tangannya dari mulut dan berteriak. "Ya jangan memulai semua ini dong! Tolonglah Louise, entah gimana!"


Montmorency, saito dan Guiche memeras otak dalam kamar Montmorency. Montmorency menjelaskan pada keduanya dengan arogan bahwa dia membuat sebuah ramuan cinta untuk mencegah Guiche berselingkuh. Dia menaruhnya dalam gelas Guiche agar dia meminumnya, Tapi kemudain Saito dan Louise menyerbu masuk kedalam kamar. Tak sulit bagi Saito untuk membayangkan apa yang terjadi setelah itu. Tak tahu apa-apa, Louise meminum semuanya. Saito berteriak, "Apa yang telah kau lakukan?!"

"...Tapi. kalau tidak, dia takkan jatuh cinta padaku kan?"

Guiche, yang hingga tadi diam, memegangi tangan Montmorency yang memerah. "Montmorency, kau begitu perhatian padaku..."

"Hah! Kau pikir aku melakukannya untukmu? Aku takkan menyia-nyiakan waktuku untuk itu. Hanya saja, adalah tak enak bagiku, bahwa kau berselingkuh di belakangku!"

Merah pada pipi Montmorency dengan cepat berganti wajah masam nan arogan. Sebagaimana bisa diduga, harga diri seorang wanita ningrat Tristain sangatlah tinggi. Sangat mementingkan diri sendiri dan arogan.

"Jangan khawatir soal aku yang berselingkuh! Aku pelayanmu, selamanya!"

Guiche mendekap Montmorency erat. Kemudian, dia memegang pipinya, mencoba menciumnya. Montmorency yang terpana menutup matanya.

"Hentikan."

Saito menarik dan memisahkan mereka.

"Apa yang kau lakukan, tolol?!"

"Tak penting itu! Tolong Louise dulu!"

"Dia bakal sembuh cepat ataupun lambat!"

"Kapankah 'cepat ataupun lambat' ini!"

Montmorency terlihat ragu-ragu. "Fisiologi tiap orang beda-beda, mungkin ia bakal makan sebulan atau mungkin setahun..."

"Kau berencana membiarkanku minum itu?'

Guiche memucat.

"Itu terlalu lama. Yang cepat! Bagaimanapun caranya! lakukan!"

Saito memanjangkan lehernya dan mendekatkan wajahnya pada Montmorency.

"Aku mengerti! Tapi butuh waktu untuk menyiapkan penawarnya!"

"Buruan dan lakukan itu! Sekarang! buat itu sekarang!"

"Tapi, untuk membuat penawar, ada obat tertentu nan mahal yang diperlukan, aku gunakan seluruh uangku untuk membuat ramuan cinta dan itu sangat mahal. Aku tak bisa melakuaknnya dalam waktu dekat."

"Ya, uang bakal susah didapatkan, jangan berlebihan."

"Tiada uang? Kalian adalah ningrat!"

saat Saito berteriak, Guiche dan Montmorency saling memandangi.

"Meski kami adalah ningrat, kami juga murid."

"Adalah anggota dewasa dari keluarga yang memiliki tanah dan uang."

"Ya minta ortu kalian untuk mengirimkan uang." kata Saito pada keduanya.

Disini, Guiche lalu mengangkat telunjuknya dan mulai berbicara. "Dengarkan, Di dunia ini ada dua jenis ningrat. Yang satu adalah ningrat yang tak punya keberuntungan yang bagus soal uang, yang satunya lagi - ningrat yang memiliki uang. Misalnya saja, de Montmorency. Keluarga Montmorency gagal dalam reklamasi tanah dan pengaturan tanahnya buruk.

Montmorency menyela masuk.

"Atau seperti Keluarga de Gramont, keluarga Guiche, yang demi kehormatan, terlibat dalam sebuah perang dan menghabiskan seluruh uang mereka..."

"Bagaimanapun juga, ada ningrat yang tak berpunya. Sebenarnya, aku tak berlebihan lho, setengah ningrat di dunia ini hanya punya cukup uang untuk menjaga kediaman dan tanah disekitarnya. Tapi, seorang jelata sepertimu tentu takkan mengerti kesulitan menjaga kehormatan dan harga diri kebangsawanan."

Orang-orang ini...Saito dengan enggan mulai merogoh-rogoh dalam kantong jin dan parkanya. Kemudian dia menarik keluar koin-koin emas yang diterimanya dari Henrietta sebelumnya. Setengahnya dia tinggalkan di kamar Louise dan setengahnya lagi dia bawa sendiri.

"Segini cukupkah?"

Dia menghamburkan mereka ke meja.

"Uwaa! mengapa kau punya begitu banyak uang? Kau!"

Melihat jumlah emas yang terhampar di meja, napas Montmorency hampir saja terhenti.

"Luar biasa, bahkan ada beberapa yang 500 ecu."

"jangan tanyakan darimana asalnya. Beli saja obat mahal itu dengannya di akhir besok."

Montmorency mengangguk dengan enggan. __________________________

Saat dia kembali ke kamar dengan kantong yang kosong, kamarnya terlihat aneh.

Entah bagaimana, seisi kamar dipenuhi asap seperti yang berasal dari rokok. tapi baunya harum. Louise tengah duduk di tengah ruangan dengan stik joss yang dibakar disekelilingnya.

"Hei, apaan ini? Ada apa dengan semua ini?"

Saat Saito berkata begitu. Louise, yang selama ini menunggunya, menjawab dengan nada terisak-isak. "Darimana saja engkau...?"

Saat itulah Saito baru menyadari betapa menggodanya penampilan Louise. Dia tak mengenakan roknya.

"Kau tinggalkan aku sendirian..." katanya dengan nada terisak-isak sambil menangadah menatap Saito dengan pundungnya.

Sepertinya, selama dia merasa kesepian, dia mulai membakar semua aroma ini.

"Ma-maaf..."

Mengapa dia tak memakai rok?! Dia mencoba memalingkan mukanya dari tubuh Louise saat dia menyadari fakta lain yang tak diduga. Yah...Lo-Louise, Louise Françoise, si nakal ini, rok bukanlah satu-satunya yang dia lewatkan...CDnya juga hilang. Garis perut bawahnya mengintip dari celah kemejanya. Tiada tanda-tanda pakaian dalam di dalam. Saito mulai gemetaran.

"K-kau, P-pakailah C-c-c-cdmu!"

Sambil gemetaran, dia berteriak sambil memalingkan muka.

"Takkan!"

"Mengapa tidak?!"

"Aku tak cukup seksi. Aku tahu ini karena malam demi malam, Saito tidur disisiku di kasur, tapi dia tak melakukan apapun padaku. Aku tak tahan lagi." kata Louise dengan nada terisak.

"I-itu, kau, aku, apa kau berkata kau ingin aku m-mendorongmu jatuh dan l-l-l-l-lakukan hal-hal itu padamu?"

""A-apa itu buruk...?"

"Iya."

"Tapi, aku akan mengejapkan mata dan selama sejam, aku akan berpura-pura tak tahu apa-apa.'

Tapi dengan mengatakan bahwa dia akan berpura-pura tak tahu...Louise membuat sebuah komitmen besar. Louise menarik ujung kemejanya kebawah untuk menutupi kemaluannya dan bangkit berdiri. Louise menggerakkan kakinya yang telanjang dan kurus. Hati Saito berdetak dalam dadanya, suaranya bagai deringan sebuah bel yang terus-menerus. Louise melompat ke dada Saito. Bau harum rambutnya bahkan lebih kuat dari aroma wewangian dalam ruangan. Dia tak pernah menggunkan parfum, ini bau alami tubuhnya.

Dengan wajahnya terkubur dalam parka Saito, Saito gemetaran dan bergerak-gerak. 'Aku kesepian...Bodoh..."

Kedua tangan Saito menempatkan diri mereka pada tubuh Louise. Mereka tampak memeluknya erat secara insting. Saito menggigit bibir. Dia agak menekankan gigitannya untuk mendapatkan kembali kesadarannya melalui nyeri.

Louise hari ini...bukanlah Louise yang kukenal. Adalah ramuan cinta yang membuat diriku kehilangan akal. Louiseku adalah yang kulindungi dan kusukai...Dengan alasan ini, aku tak bisa memeluknya dengan keadaannya sekarang. Apa yang terjadi jika remnya gagal? Dia pasti menelan Lousie bagaikan binatang buas. Karena cinta, ini tak bisa.

Saito, dengan tangan yang gemetaran, mencengkram bahu Louise. Kemudian dia menatap lurus pada mata Louise dan memeras keluar suara sehalus mungkin. "Louise..."

"Saito..."

"Y-yah...kau bertingkah aneh hari ini karena suatu obat."

"Obat...?"

Louise menengadah pada saito dengan mata yang berkaca-kaca.

"Itu benar. Kau kini bukanlah dirimu yang sebenarnya. tapi jangan khawatir. Aku akan menemukan penawarnya, bagaimanapun caranya. OK?"

"Ini bukan karena obat!"

Louise menatap lurus pada Saito. "Perasaan ini bukanlah karena obat. Karena setiap kali kumelihat Saito, jantungku mulai berdetak liar. Tak hanya itu...Aku tak bisa bernapas dan merasa tak tertolong. Aku tahu, perasaan ini adalah..."

"I-itu beda. Aku akan menerima bila itu adalah perasaanmu yangs ebenarnya, tapi ini bukan, ini beda. Ini karena obat. Penawarnya akan ada besok malam, jadi tunggu hingga saat itu. Yah, itu..dan, kini. pergi tidur yuk?"

Louise menggelengkan kepalanya."Aku tak paham. Itu tak ada kaitannya. bagaimanapun. kau harus memelukku erat atau aku tak tidur."

"Jika aku melakukannya, kau akan masuk kasur/'

Louise mengangguk. Saito membawanya ke kasur. Kemudian berbaring, bergeser ke sisinya. seperti biasa, Louise memeganginya dengan erat.

"jangan kemana-mana. Pandangilah aku, hanya aku, jangan yang lain. hanya aku." ulangnya, bagaikan itu semacam mantra.

Saito menganggul. "Aku takkan kemana-mana. Aku akan tetap disini untuk waktu yang lama."

"Benarkah?'

"aah. Ya. jadi tenang sajalah, ya?"

"un...Jika Saito berkata begitu, aku akan tidur. Karena aku tak ingin dia membenciku."

Namun, Louise tak pergi tidur, dan malah bergeser sedikit dan menempatkan wajahnya yang memerah ke punggung leher Saito. Sebelum Saito sempat memikirkan apa yang tengah dilakukannya, dia mulai mencium leher Saito. Ini bagai tusukan ribuan harum sepanjang tulang punggungnya.

“Haaaaaaaaaaah...”

Saito mulai gemetar ketakutan. Sementara itu, Louise mulai mengisap kuat-kuat kulit Saito.

"Louise! Louise!"

Jika kau tak hentikan ini, aku akan mati. Tapi Louise tak berhenti. Dengan pipi yang memerah, diamatinya tempat yang baru saja diciumnya. tempat itu memerah seakan digigit serangga. Menyadari ini, Louise melanjutkan dan terus meninggalkan tanda di kulit Saito dengan rasa ketertarikan nan tinggi.

"Louise, hentikan! Aku sudah! Aku! Aah!"

Fikirannya sudah tak tahan. Saat Louise menyingkirkan bibirnya, dia bergumam dengan nada pundung. "Tidak, aku takkan berhenti. Saito adalah milikku, hanya milikku. Karenanya, aku akan meninggalkan tanda untuk menunjukkan dia milikku dan menjaga agar gadis-gadis lain menjauh."

Setelah itu, siksaan Saito berlanjut untuk beberapa waktu. Louise mulai meninggalkan bekas ciuman tak hanay di punggung lehernya tapi bahkan juga di dadanya, Akhirnya ada 10-an. Konvulsi kuat Saito menjadi gemetaran ringan saat bibir Louise akhirnya meninggalkan dadanya. Kemudian Louise memutarkan kepalanya ke samping, menunjukkan lehernya sendiri pada Saito.

"Sekarang, kau tandai aku."

"T-tapi..."

Saito memandangi leher Louise yang kurus dan putih salju.

"Jika kau tak melakukan ini - aku takkan pergi tidur."

Tiada jalan lain. Saito mengejapkan matanya dan membawa bibirnya pada leher Louise. Dia menyentuhnya. Sebuah desahan dalam meluncur dari bibir Louise. Tak pernah mendengar desahan yang begitu manis darinya sebelumnya, Saito hampir tewas. Dengan ketegangan nan tinggi, dia mengisap kulit celadon Louise.

"Nh...!"

Louise pasti tegang juga, tuh dia mengerang sebagai bukti. Kelelahan dengan cepat menghampirinya dan Louise mulai bernapas sebagaimana seorang setengah tertidur setelah sesaat. Saito bernapas keras-keras, dia harus menahan diri berkali-kali, klo tidak, dia bakal menyerang Louise yang dengan damai terlelap disisinya. tenanglah! Louise bersikap begini hanya karena ramuan itu! Dia harus cepat-cepat mencari penawarnya, untuk mengembalikan Louise yang sepedas biasanya, bukan yang manis begini!

Saito lalu menyadari apa yang digenggam erat Louise dalam tidurnya. Itu kalung yang dibelikan Saito ketika ke kota. Dia menggenggamnya erat seakan itu semacam harta berharga. Melihat pemandangan nan manis ini hampir membuatnya kehilangan seluruh tenaganya. Ini kejam. Louise sangat jahat. Adalah sebuah kejahatam untuk terlihat begitu manis. Tanpa sadar, dia mengulurkan tangannya menjangkau Louise, hanya untuk menahannya dengan yang satunya lagi. Aku tak punya hak untuk mengambil kesempatan pada Louise dengan cara ini. Ini terjadi bukan karena aku. Ini karena ramuan. Tahanlah.

Jika saja aku tak pernah menginginkan Siesta mengenakan seragam pelaut itu, Louise takkan jadi begini...Karenanya ini salahku. Aku tak berguna, pikir Saito. Aku tak pernah menolak kesempatan untuk bermesraan dengan seorang gadis dan...

Siesta. Ya, Siesta....Aah, Siesta, cukup dengan kehadirannya, aku tenang. dia juga berparas bagus.,,,Tapi saat Louise didekatnya, hatinya berdegup....Aah, manakah yang lebih kucintai?

Kekhawatiran yang sangat mewah. Dia bahkan tak pernah membayangkan bakal mengkhawatirkan soal beginian saat masih di bumi. Melihat wajah Louise yang tertidur, dia mulai berfikir...Mengapa kembali ke dunia asalnya, jika kau bisa tinggal disini?...Saat Louise menjadi Wanita Senat Henrietta, semakin sulit untuk berkelana ke timur...Meski dia kecewa, di saat yang bersamaan, dia juga merasa senang. Karena dengan itu, dia bisa tinggal di sisi Louise.

Aah, Bumi, Siesta dan Louise. Ketiganya berputar-putar dalam kepala Saito, membuatnya frustasi...Pilihan mana yang kuambil? Dia bisa saja tak memilih sekarang, tapi suatu saat, dia harus....Mungkin, di masa depan yang dekat. ___________________

Di sore hari berikutnya, Saito tengah berada di kamar Montmorency. Dia bertengakr dengan Louise sebelum meninggalkannya dan datang kesini...

"Kau tak bisa membuat penawar?"

Dengan wajah terangkat, Saito menatap Montmorency. Disamping Monmon, Guiche duduk sambil memegangi dagu dan terdiam nanar. Montmorency dan Guiche telah pergi ke kota hari itu untuk bertemu para pedagang pasar gelap dengan harapan menemukan penawar, tapi...

"Ini tak bisa diapa-apakan! ia terjual habis!"

"Terus kapan kau bisa membelinya?!"

"Itu...sepertinya mereka tak punya apa yang diperlukan."

"Memangnya apa itu?"

"Obat khusus dari Danau Ragdorian, di perbatasan dengan Gallia, Ia terbuat dari air mata roh air...Namun sepertinya mereka tak bisa berhubungan dengan roh-roh air sekarang."

'Apaa?!"

'dengan kata lain, kita tak bisa mendapatkan obat khusus ini."

"Lalu bagaimana dnegan Louise?'

"Yah, maksudku, klo dipikir-pikir, apa sih jeleknya ini? Dia telah jatuh cinta padamu. Kau menyukai Louise, kan?"

Namun, Saito tak bisa setuju dengan apa yang dikatakan Guiche. "Aku tak bisa bahagia jika alasan dia menyukaiku adalah karena obat itu. Itu bukan perasaan Louise yang sebenarnya. Itulah mengapa aku ingin Louise kembali menjadi dirinya yang sebenarnya."

Tapi...Montmorency manyun dan Guiche menggelengkan kepalanya dengan enggan. Bahkan Saito pun berpikir dalam hening untuk sesaat, sebelum akhirnya dia mengepalakan tangannya, membulatkan tekad.

"Dimana roh air itu?"

Aku sudah bilang padamu, di danau Ragdorian."

"Jadi kau hanya perlu bertemu dengannya, kan?'

"Eeeeeh!? Kini, dengarkan! Roh air jarang sekali memunculkan wajahnya pada manusia! Dan jika dia muncul, dia sangat kuat! Jika dia dibuat marah, hasilnya bisa mengerikan!"

'Aku tak peduli, Ayo berangkat!"

"Tapi aku peduli! Aku sudah mutlak tak pergi1"

Saito menyilangkan lengan. "Baikalah kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan. Aku harus bilang soal ini pada Baginda Yang Mulia Putri tentang ramuan cinta ini, atau Baginda Yang Mulia Ratu ya sekarang? Bagaimanapun, aku pasti harus meminta bantuan padanya soal ini. Klo dipikir-pikir, bukankah ramuan itu dilarang? Berarti seharusnya ia tak boleh dibuat, kan? Sekarang...apa ya yang bakal dilakukan Paduka bila mengetahui hal ini/'

Wajah Montmorency memucat dengan cepat.

"Bagaimana menurutmu, Monmon?"

"Ya sudahlah! Aku mengerti! Aku akan pergi, jika kau pergi!"

"Hmm, kita tak bisa biarkan Louise tinggal klo begini. Nanti malah ada yang menyadari tingkah anehnya dan curiga soal ramuan cinta."

Guiche menggelengkan kepalanya.

"Jangan takut cintaku. Aku akan selalu disisimu selama perjalanan ini." kata Guiche sambil bersender masuk dan mencoba dengan perlahan menempatkan tangannya pada bahu Montmorency, tapi Montmorency dengan cepat menghindarinya.

"Itu tak benar-benar menginspirasi. kau terlalu lemah."

Setelah itu, ketiganya membuat persiapan untuk perjalanan ini. Mereka akan pergi hari berikutnya, saat pagi buta. Karena mereka tak tahu bagaimana gerak-gerik Louise bila ditinggalkan sendiri, mereka memutuskan membawanya turut serta.

"haah, ini kali pertama ku nolos sekolah." desah Montmorency.

"Dan bagaimana denganku, karena aku tak ke sekolah selama setengah tahun sekarang? Setelah Saito datang, petualangan selalu ada tiap hati! Ahahaha!" Guiche meledak dalam tawa yang hangat.



Bab 6 - Arwah Air[edit]

Bukit dan gunung membayangi ombak Danau Ragdorian yang berwarna biru gelap, begitu mereka berayun. Penyinaran matahari pada danau disebarkan bagai selayar gelas yang berkilauan. Saito dkk tiba di danau menggunakan kuda. Karena Louise tak suka berkuda sendiri, dia dan Saito di kuda yang sama. Dia duduk di depan. Sepertinya dia tak mau menginggalkan sisi Saito meski sesaat. Montmorency dan Guiche sama-sama berkendara pada kuda abu-abu nan bagus secara terpisaj.

"Ini pasti Danau Ragdorian yang terkenal itu! Tidak, keindahan danau ini tak terlukiskan! Roh air ada disana! Aku terkesan! HO-HO-HO – YAHOO!" teriak Guiche sambil meccambuk kudanya dan membuatnya berlari menuruni bukit.

Tapi kudanya takut air dan saat ia mencapai tepian, ia berhenti dengan tiba-tiba. Mengikuti hukum Inersia, Guiche terlempar dari kuda dan dengan bantingan yang bergemuruh, jatuh dengan kepala di bawah kedalam danau.

"Tak bisa menjejak tanah! Ini dalam! Dalaaaaaaaam!"

Guiche dengan putus asa berteriak meminta tolong selama bergerak-gerak dalam air. Sepertinya Guiche tak tahu cara berenang.

"Sepertinya aku harus berpikir ulang soal hubungan kita ya?" gumam Montmorency.

"Itu sangat baik sekali." angguk Saito.

Louise menatap Saito dengan wajah khawatir. "Montmorency baik?'

"Aku t-tak bermaksud begit-tu. Tunggulah. Aku akan mengembalikanmu pada diri asalmu."

Saito membawa kudanya mendekat ke tepian. Guiche, setelah usaha yang sekian lama, gemetaran dan kebasahan dari kepala hingga ujung jari kaki begitu dia mencapai tepian. Dia berwajah nanar.

"Hei Hei, bukankah seharusnya kau menolongku? Jangan meninggalkan seseorang yang tak bisa berenang!"

Namun, Montmorency sama sekali tak memedulikan Guiche dan malah memandangi danau dengan curiga.

"Ada apa/" tanya Saito.

"Aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Tinggi air naik. Tepian Ragdorian mestinya agak jauh diatas sana."

"Benarkah?'

"Ya. Lihat disana. Ada atap menyembul. Sepertinya desa itu kebanjiran."

Mengikuti mata Montmorency, memang mereka bisa melihat atap tersebut. Saito bahkan bisa menyadari bayangan hitam rumah yang terendam permukaan air. Montmorency berjalan menuju tepian, mencemplungkan jarinya kedalam air dan menutup matanya.

"Sepertinya Roh air marah."

"Bagaimana kau tahu itu?'

"Karena aku pengguna elemen air, Monmorency si Wangi. Keluarga Kerajaan Tristain telah berhubungan dnengan Roh Air danau Ragdorian berdasarkan sebuah sumpah kuno. Keluarga "Air" Montmorency telah bernegoisiasi dengannya selama sekian generasi."

"Dan kini?"

"Kini, untuk berbagai alasan, ningrat lainnya yang melakukan itu."

"Lalu, apa kau pernah melihat roh air itu?"

"Hanya sekali saat masih kecil duku. Saat kami perlu drainase untuk tanah kami, keluarga kami meminta bantuan roh air. Sebuah wadah gelas besar dibuat untuk memindahkannya. Namun, karena harga diri roh air sangat tinggi, ia bisa sangat-sangat aredif. Faktanya, adalah karena keagresifan mereka, skema drainase keluarga kami gagal. Ayahku bilang pada roh air 'Jangan berjalan, Lantainya jadi basah'..."

"Bagaimana penampakan roh air ini?" tanya Saitom penasaran dia.

"Sebenarnya aku tak pernah benar-benar melihatnya."

Guiche, yang mengibas-ngibaskan kemeja basahnya yang dikepas, mengangguk tanda setuju, Louise, yang sama sekali tak tertarik diskusi ini, bersembunyi dibelakang Saito dan tanpa sadar menggenggam erat ujung parkanya.

"Indah! begitulah...:

Tepar saat itu, seorang petani tua yang sendirian dan selama ini bersembunyi di bekalang pohon, melangkah keluar. "Sepertinya, kalian, adalah bangsawan."

Seorang petani berusia pertengahan menengadah dengan wajah malu.

"Ada apa?" tanya Montmorency.

"Tuan-tuan, apa kalian datang untuk bernegosiasi dengan Roh Air? Jika ya, maka kami terselamatkan! Kami mohon, cepatlah bersepakat dan selesaikan masalah banjir ini."

Mereka saling memandang. Sepertinya petani ini seorang penduduk desa yang ditenggelamkan kedakam danau.

"Itu, yah, kami... kami hanya datang kesini untuk melihat-kihat danau."

Sudah pasti, Montmorency ta bisa mengatakan bahwa mereka datang untuk medapatkan air mata Roh Air.

"Oh, begitu...Memang sih, para tuan tanah dan sang ratu hanya tertarik dengan perang melawan Albion, tak memedulikan desa terpenxil seperti milik kami. Mereka bahkan tak bisa membayangkan bagaimana susahnya memanen..."

"Haa," desah si petani dalam-dalam.

"Memangnya apa yang terjadi pada Danau Ragdorian?"

"Air mulai naik sekitar 2 tahun lalu. Permukaan naik perlahan, pertama-tama membanjiri pelabuhan, lalu kuil dan ladang...Lihat kan? Sekarang, bahkan sarang para elang dibanjiri. Para tuan tanah setempat yang bertanggung jawab pada daerah ini menceburkan diri dalam kesenangan urusan kerajaan dan tak memerhatikan permohonan kami."

“Yoyoyo,” isak si petani tua nanar.

"Sekama bertahun-tahun hidup kami di tanah ini, kami bergantung pada suasana hati Roh Air. Jujur saja, adalah bagus sekali jika ia tinggal di dasar danau...Kami benar-benar ingin mengerti mengapa tiba-tiba ia tertarik dengan tanah ami. Karena tanah ini milik manusia! Tapi, hanya seorang ningrat yang bisa berbicara dengannya. Aku ingin tahu apa yang kami, para petani yang menderita ini, lakukan sehingga membuatnya kehilangan kontrol."

Saito dan yang lainnya menunduk malu. ____________________

Setelah si petani selesai menggerutu dan pergi, Montmorency mengeluarkan sesuatu dari tas yang diikatkan ke pinggangnya, sebuah katak mungil. Warnanya kuning terang dengan banyak bintik hitam. Montorency lalu menaruhnya di telapak tangannya, ia menengadah dan menatap pada Monmon dengan pandangan heran.

"Katak!"

Louise, yang takut akan katak, berteriak dan mendekati Saito.

"Ada apa dengan katak berwarna yang beracun ini?"

"Kubilang padamu, Ia tak beracun! Ia familiarku tercinta!"

Jelaslah bahwa katak mungil ini adalah familair Montmorency. Montmorency mengangkat jarinya, dan memerintahkan pada familairnya. "Dengarkan Robin, aku ingin kau menghubungi seorang teman lamamu."

Kemudian Montmorency merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah jarum, dalam sekejap dia menusukkannya ke jarinya, membuat darah merah seterang sebuah rubi mengucur. Membalikkan jarinya, dia membiarkan setetes jatuh pada kataknya. Setelah itu, Montmorency melantunkan sebuah mantra, menyembuhkan luka di ujung jarinya, Kemudian dia mendekatkan lagi si katak.

"karena dia tahu siapa aku, dia seharusnya tahu kau siapa. Tolonglah Robin, demi nama roh-roh besar dari yang meninggal, cari Roh Air tua, dan bilang padanya aku berharap berbicara dengannya karena aliansi kita. Lakukan itu untukku, mengerti?"

Si katak mengangguk pelan dan menghilang kedalam air dengan sebuah plas.

"Kini, Robin pergi untuk memanggil Roh Air, Jika dia bisa menemukannya, sepertinya dia bakal membawanya kesini."

Saito terlihat meragukannya. "Saat-saat begini, kita harus menceritakannya sebuah cerita menyedihkan, tapi aku membayangkan apa itu bisa ya? Mungkin cerita yang aku tahu soal seorang tuan dan seekor anjing bisa menjelaskannya. Tapi, itu sangat tua, aku membayangkan apa ini bakal cocok dengan orang-orang ini..."

"Cerita menyedihkan? Apaan sih yang kau katakan?"

Karena kita perlu airmata dari Roh Air. Bagaimana cara kita mendapatkannya bila kita tak membuatnya menangis?"

"Kau benar-benar Tak tahu apa-apa. Yah, sepertinya karena bahkan penyihir elemen bukan air juga tak tahu, jadi mustahilberharap seorang jelata sepertimu tahu, Airmata Roh Air hanyalah sebuah sebutan. Ia tak benar-benar menangis."

Saito dan Guiche saling memandang. Louise yang kesepia tanpa perhatian Saito, "Sok-sok" menggosokkan pipinya pada punggung Saito. Ini benar-benar aneh! Meski seseorang bisa mati dari seorang Louise yang begitu manis, yang dipedulikannya kini hanyalah cerita Montmorency.

"Lalu, apa sih airmata Roh Air itu?" tanya Guiche.

"Sang Roh Air...dibandingakan dengan rentang hidup manusia, ia bisa hidup selama waktu yang sangat, sangat lama. Katanya ia sudha ada sejak 6.000 tahun yang lalu, saat Brimir sang Pendiri mendirikan Halkegenia. Tubuhnya, seperti juga air, dapat berubah bentuk...dan diterangi sinar matahari, ia berkilauan dnegan tujuh warna..."

Tepat saat Montmorency mengatakan ini, permukaan air mulai bercahaya...Sang Roh Air muncul. _________________________________

30 meter dari tepain dimana Saito dkk berdiri, permukaan air bersinar. Permukaan air mulai beriak tiada henti. Kemudian air mengembang bagai kue yang diragi. Saito menonton itu semua dengan wajah kosong saking terkejutnya. Airnya terus berubah bentuk sehingga tiada yang bisa melihat tangannya. Ia terlihat bagai amoeba raksasa. Meski cahaya yang berwarna-warni indah...itu membuat mereka tak nyaman.

Si Katak familiar Montmorency, meloncat balik ke tuannya dnegan sebuah plas. Montmorency mengulurkan telapak tangannya dan menangkap si katak. Dia menepuk kepala kataknya dengan jarinya. "Terima kasih kau membantu membawanya kesini."

Kemudian Montmorency bangkit, mengembangkan tangannya pada Roh Air, dan membuka mulutnya. "Saya adalah Montmorency Margarita La Fère de Montmorency. Pengguna air, anggota dari keturunan pengemban sumpah kuno. Saya telah menempatkan darah pada katak itu untuk membantumu mengingatnya. Jika anda mengingatnya, jawablah dengan cara dan kalimat yang kami mengerti."

Roh air...naik dari permukaan air...perlahan mulai membentuk sosok tanah liat. Mata Saito terbelabak saking terkejutnya menonton ini semua. Massa air perlahan membentuk dirinya jadi bentuk Montmorency dan tersenyum tipis. Namun, ia lebih besar dan tak berpakaian. Ia terlihat bagaikan Montmorency yang transparan dan telanjang. Seperti patung es saja.

Ekspresi Roh Air berubah dalam kedalam berbagai bentuk. Setelah senyum, marah mengikuti, lalu - wajah menangis. Tiap kali dia mencoba sebuah ekspresi baru, bentuk wajah dari air itu bergerak. Memang dia terlihat indah. Bagaikan permata yang selalu berubah.

Kemudian wajahnya jadi dingin kembali begitu sang Roh Air menjawab pertanyaan Montmorency. "Saya ingat, manusia nan rendah. Saya ingat cairan yang mengaliri tubuhmu. Bulan telah berganti 52 kali sejak pertemuan terakhir kita."

"Saya bahagia, Roh Air, Saya perlu meminta sesuatu pada anda. Meski ini sepertinya tak sopan, bisakah anda memberikan saya sebagian kecil dari tubuhmu?"

Sebagian tubuhnya? Saito membayangkannya. Apa itu? Saat dia mencolek Monmorency, Montmorency berbalik dan merasa terganggu.

"Meski itu airmata, adalah mustahil membuat roh abadi menangis. Mereka...berbeda dnegan kita. Aku bahkan tak tahu apa mereka bisa disebut makhluk hidup. Bagaimanapaun jua, airmata Roh Air adalah sebuah bagian dari tubuhnya."

"Jadi kita harus memotong tubuhnya?!" teriak saito terkejut.

"Shh! Jangan keras-keras! Toh Air bisa menjadi sangat pemarah! Itulah mengapa mendekati mustahil untuk mendapatkan airmatanya. Bagaimana orang-orang di pasar gelap kota bisa mendapatkannya...aku benar-benar tak bisa membayangkannya."

Sang Roh Air tersenyum

"Oh, ia tersenyum! Pasti dia setuju!"

Tapi, kata-kata yang datang dari mulutnya...mungkin karena ia masih tak mengerti cara berbicara yang benar, benar-benar bertolak belakang. "Aku menolak, manusia nan rendah."

"Begitukah? Tak beruntunglah kami. Yah, Kami akan kembali sekarang."

Saito terkejut atas bagaimana mudahnya Montmorency menyerah. 'Hei Hei! Tunggu sebentar! Jangan menyerah atas Louise begitu saja! Hei, Roh Air!"

Saito mendorong Montmorency kesisi dan menghadap sang Roh Air.

"Tunggu! Kau! Hentikan! Jangan membuat Roh Air marah!"

Montmorentcy mencoba mendorong Saito kesamping, tapi Saiyo bahkan tak bergeming. Guiche menundukkan kepalanya membayangkan apa yang akan terjadi. Louise dengan diam-diam mendekati Saito. Melihat pemandangan seperti itu, sulit dibilang siapa yang merupakan familiar diantara mereka.

"Roh Ait nan Agung! Kumohon! Aku akan lakukan apapun untuk meminta airmatamu! Secuplik! Hanya secuplik!"

Roh air berbentuk Montmorency tak menjawab Saito sama sekali, yang bersujud.

"Kumohon! Orang paling penting bagiku kini dalam masalah! Bukankah kau juga punya seseorang yang penting bagimu? Orang yang penting bagiku kini tengah membutuhkan pertolongan...dan untuk itu, sebagian tubuhmu diperlukan! Karenanya, kumohon! Lihatlah!"

Mendengar ini, Montmorency berhenti mencoba menarik Saito menjauh dan mendesah dalam-dalam. Guiche, yang begitu tersentuh hingga berurai airmata, mengangguk. Louise, yang merasa tak aman, terus memegangi Saito.

Sang Roh Air merubah penampilannya beberapa kali sebelum mengambil bentuk Montmorency lagi, dan berkata pada Saito, "Baiklah."

"Yay! Benarkah?"

"Tapi dengan satu syarat. Sebagai manusia rendahan yang tak tahu alasan dunia ini, kau berkata kau akan lakukan apapun?"

"Ya! Itulah yang kukatakan!"

"Maka hentikanlah mereka yang menyerangku, kawan-kawanmu."

Mereka saling memandang. "Menghentikan?"

"Ya, aku telah meninggikan permukaan air sejauh yang kubisa. Aku tak mempunyai tenaga lagi untuk melawan mereka. Jika kalian bisa menang melawan mereka. Aku akan menganugrahi kalian dengan airmataku."

"Tidak, aku benci perkelahian."

Saito menaruh tangannya di bahu Montmorency dan menepuknya. "Kau lebih ingin memakan makanan penjara?"

Sekali lagi, Saito mengamcam Montmorency soal ramuan terlarang dan dia, seperti hari sebeumnya, tak bsa apa-apa dan menurut.

"Aku sudah tahu itu! Aku akan melakukannya!"

Jadi, diputuskan bahwa mereka perlu mencari tahu jatidiri orang-orang yang menyerang Roh Air. _________________________________________________

Tempat dimana Roh Air hidup adalah di dasar terdalam danau. Seseorang, dengan menggunkan sihir, menyerangnya pada tengah malam. Saito dkk bersembunyi dalam bayang-bayang pepohonan di tepian bagian Gallia - sebuah tempat yang ditunjukkan Roh Air pada mereka - dan menunggu diam-diam kedatangan para penyerang.

Guiche, untuk menyenangkan dirinya sebelum pertarungan. menyeruput anggur yang dibawa Saito. Saat seluruh ketegangannya pergi dan da mulai menyenyi, Saito mendorong kepalanya kesamping. Hati Louise dalam keadaan luar biasa buruk karena Saito hanya berbicara dengan Montmorency.

Mengapa dia lebih sayang pada Montmorency daripada aku, apa dia mencintainya, atau mungkin dia membenciku, Waah waah - dia menangis marah, dan dengan raungannya seperti itu, Saito harus mencium pipinya berkali-kali untuk menenangkannya dan menidurkannya. Karena itu, kini dia tengah terlelap tenang disisinya, bernapas lembut dengan sebuah selimut membungkusnya. Sepertinya siapapun bakal seperti itu jika sebuah ramuan membuat mereka jatuh cinta gila.

"Orang-orang yang menyerang Roh Air pergi ke dasar danau. Bagaimana mereka bisa bernapas dibawah permukaan air?" tanya Saito pada Montmorency.

Montmorency berpikir sejenak. "Mungkin mereka pengguna elemen air? Menggunakan gelembung udara disekitar pngguna, takkan sulit ke dasar danau. Di waktu yang sama, bahkan jika kau menggunakan sihir air dan bisa bernapas dibawah permukaan air, menyentuh air secara langsung sama dengan bunuh diri karena Roh Air yang mengendalikannya disini. Jadi mungkin ia penyihir elemen udara, sehingga mereka bisa tak menyentuh air sama sekali."

Menurut Roh Air, dia diserang tiap malam secara terus-terusan, sehingga beberapa bagian tubuhnya tercabik.

"Tapi bagaimana seseorang bisa melukainya dan tetap dapat melenggang tanpa diketahui?"

"Gerakan Roh Air lambat...Lagipula, bila kau memisahkannya dengan sumber airnya, sihirnya akan perlahan habis. Sebuah nyala api yang kuat bakal membuanya menguap perlahan-lahan. Akan menjadi mustahil untuk menjadi cairan kembali begitu dirubah menjadi gas."

"Mustahil untuk kembali?"

"Jiwa Roh Air bagaikan sebuah gumpalan. Meski dicabik-cabik hinga menjadi serpihan, ia bisa menyambung kembali jadi satu, asalkan ia memiliki seluruh bagiannya. Ia makhluk yang sangat rumit dibandingkan dengan kita."

"Hmm..." Saito mengangguk

"Dan karena para penyerangnya tak menyentuh air, Roh Ait tak bisa menyentuh mereka."

"Jadi ia tak begitu kuat ternyata."


"Benar-benar deh...Kau tak tahu seberapa menakutkannya Roh Air...Bila untuk sesaat saja kau kehilangan fokus dan gelembung menghilang dan air masuk untuk terhubung denganmu -- maka hasilnya mengerikan. Air mengendalikan hidup makhluk air. Jika kau kehilangan perlindungan gelembung, maka kau akan memasuki wilayah Roh Air dimana menantangnya adalah sesuatu yang bahkan seharusnya tak dilakukan, bahkan oleh iblis terhebat sekalipun."

Saito mendesah. Benar-benar, Halkegenia diisi makhluk-makhluk yang tak bisa dia bayangkan sebelumnya, Dua bulan tengah bersinar, tinggi nun jauh di langit, Kini tengah malam. Saito menutup mulutnya dan dengan satu tangan meraih Derflinger, yang tergantung di punggungnya, mendekat. Montmorency, yang ketakutan oleh ketegangan yang tba-tiba, bergumam denagn suara bergetar. "Bagiamanapun, karena aku benci perkelahian, aku menyerahkan semuanya padamu."

"Jangan khawatir Montmorency, aku disini. Aku akan dengan berani melindungi sang gadis dari peperangan dan menghukum si jahat."

Guiche, yang jelas-jelas minum anggur terlalu banyak, mulai bersender pada Montmorency.

"Dengarkan, pergi tidur sajalah kau. Kau penuh bau alkohol."

"Guiche, jadi umpan."

Guiche mengangguk dengan wajah merahnya.

Saito mengambil napas dalam-dalam. Intuisi petarung yang dia peroleh dari banyak pertarungan yang dilaluinya kini mengatakan padanya seseorang ada di dekatnya. Mulutnya dipenuhi air liur. Musuhku mereka? Tapi, semuanya bakal baik-baik saja. Aku adalah Gandálfr yang legendaris. Aku seharusnya bisa menghajar para penyihir. Apa sih susahnya dibandingkan dengan para ksatria naga yang menyerangku sebelumnya?

Tak sadar diri, Saito menjadi terlalu pede. Dia menerawangi wjaha Louise yang tengah terlelap. Tunggulah, aku pasti membawamu kembali -- gumamnya pelan. ______________________________________________

Sejam telah berlalu sejak saat itu. Bayangan muncul di tepian. Dua irang, Karena sosok-sosok tersebut memakai junah hitam pekat bertudung, sulit ditebak apa mereka pria atau wanita. Saito mencengkram pegangan Derflinger. Tanda di tengan kirinya mulai bersinar, Namun, dia belum meninggalkan titik persembunyiannya. Dia masih belum bisa memutuskan apa mereka yang menyerang roh air apa bukan.

Tapi, pasangan itu mengeluarkan tongkat mereka sambil berdiri di tepian. Sepertinya mereka mulai melantunkan mantra. Merasa yakin bahwa kini tiada kesalahan, Saito bangkit dari perlindungan pepohonan dan bergerak menuju keduanya. Dua orang seharusnya bakal jadi pertarungan yang mudah. Karena aku telah...mengalahkan Wardes dan setan Orc yang 10x lebih besar, dan ini hanya sepasang orang. Hei, mereka bahkan tak melihat ke arahku. Kemenangan yang mudah, pasti menang ini, aku bisa mengalahkan mereka dalam sehembus angin.

Saito menyembunyikan dirinya dibelakang pohon disamping pasangan tersebut. Melihatnya berjingkok, Guiche mulai melantunkan mantranya. Tanah dimana pasangantersebut berdiri tiba-tiba naik dan menjadi tentakel bagaikan tangan yang mncengkram kaki para penyerang....hening...Saito keluar dan menyerbu dari bayang-bayang pohon. Jarak ke para penyihir sekitar 30 meter. Saito, menunjukkan kekuatan Gandálfr, menolkan jarak dalam 3 detik kurang.

Tapi, reaksi musuh sangat cepat, Para penyerang mulai melantunkan mantra di saat yang sama dengan naiknya tanah. Api terbang dari ujung tongkat, membakar tanah yang mencengkram kaki pasnagn tersebut. Bayangan yang lebih kecil bertindak lebih mengejutkan. Daripada melepaskan mantranya pada Guiche, dia mengarahkannya pada Saito, yang tak siap untuk ini.

Tubuh itu berbalik dengan cepat. dan tongkatnya diayunkan. Tepat seperti dalam pertarungan dengan Wardes sebelumnya, sebuah palu udara menghantam tubuh Saito. Saito, yang tak menduga serangan semacam ini, terkena di bagain depan dan dengan mudah diterbangkan. Dalam sekejap, sebuah panah es mengikuti. Saito membalikkan badan dan menghindarinya dengan meloncat, tapi penyihir yang tinggi menembakkan sebuah bola api besar padanya. Meski Saito juga mencoba menghindarinya, arahnya akurat bagaikan gerakan Saito sudah diantisipasi sebelumnya.

"Rekan! Angkat aku!" teriak Derflinger.

Saito buru-buru menahan bola api dengan pedangnya, namun meski ia diserap kedalam pedang, ia meledak, menyebarkan pecahan api. Saito nampak terpana dan terhenti. Meski dia dengan sekerasnya berusaha menyingkirkan rqasa nyeri, matanya masih sakit. percikan masuk matanya, Saito menjadi ragu-ragu. Sial! Tongkat mereka.

Dia mengurangi kewaspadaannya

karena mengira musuh akan fokus pada Guiche, Tapi musuh sudah berpengalaman dalam pertarungan dan mengantisipasi sebuah serangan dari arah yang berbeda

, tak terkejut sedikitpun.

Terlebih lagi, mereka bekerjasama dengan baik. saat yang lain menyiapkan mantra, yang lain melepasnya. Meski ini taktik sederhana, hasilnya mangkus. Bagaimanapun, tiada celah. Angin yang meraung melepas pedang dari genggaman Saito yang terpana. Tubuhnya jadi terasa berat. Di sudut matanya, dia dapat melihat bola api besar lainnya tengah mendekat. saito menyerah. Kepercayaan dirinya yang berlebihan telah enyah begitu cepat.

Aah, aku ternyata seorang amatiran. Kekuatan Gandálfr memberikanku kepercayaan diri lebih dari kemampuanku yang sebenarnya. Menyerang langsung tak bekerja pada semua lawan! aah, Louise, maaf! Louise!

Tapi, dewi fortuna tak meninggalkan Saito, meski pada saat ini sekalipun. Di saat bola api menghantam saito, daerah di hadapannya meledaj. Bola api dan Saito diterbangkan. Sihir ini adalah 'Void' Louise!

"Jangan menyakiti Saitooo!"

Jeritan Louise bergema sepanjang malam. Ini hampir membuat Saito menangis. Louise menolongku. Meski dia terlelap...tapi dia mungkin terbangun oleh semua keributan ini. Louise menunggu serangan, tapi penjagaan mereka telah turun. Karenanya, kini dia bisa memulihkan diri. Entah bagaimana, saito memaksa membuka mata kanannya dan mengambil Derflinger.

Tapi sebelum dia menyerbu dan menyerang lagi...Pasangan itu berhenti bergerak. Teriakan Louise membuat mereka menyadari sesuatu. Kedua bayangan itu saling memandang....dan membuka tudung mereka. Wajah yang nampak oleh cahaya rembulan adalah...

“Kirche! Tabitha!” teriak Guiche keras.

Merasa lega, Saito yang kelelahan berlutut di tanah.

"Kau? Kenapa, sayang?!"

Terkejut, Kirche juga berteriak.


Bab 7 - Cincin Andvari[edit]

Saito yang matanya telah disembuhkan mantra air Montmorency, telah mulai bertanya pada Kirche, yang sedang memasak daging dengan Tabitha disekitar api unggun. Guiche tampak mabuk sempurna dan telah berbicara sendiri keras-keras dengan segelas anggur di tangannya. Sepertinya dia terlalu mabuk untuk berkelana. Kini sudah lewat tengah malam, dan rembulan kembar berkilau dengan indahnya di permukaan danau. Ia pemandangan yang indah.

Kirche mendekati Saito dan menanyakan apa kulanya sudah pulih. Meski Saito merasa agak tak enak karena kalah, dia tak bisa tidak mengakui kerja sama keduanya. "Kau benar-benar hebat, kami tak punya kesempatan."

"Kalah menang juga bergantung pada keberuntungan. Jika keberuntunganmu lebih baik, kami hanya bisa kabur. Lagipula, kau bertarung sendirian, Guiche tak berguna, Montmorency hanya menonton, dan Louise hanya mengirimkan hantaman terakhir."

Kirche dengan bangga menyisiri rambutnya.

"Tapi mengapa kau menyerang sang Roh Air?" tanya Saito, duduk dekat api unggun.


"Mengapa kalian perlu melindunginya?" tanya Kirche balik.

Louise, yang telah menggosok-gosokkan dirinya ke peunggung Saito untuk beberapa waktu, menarik lengan parkanya dengan sedih. "Kau pikir Kirche lebih baik dariku?"

"Ahj! Tidak - Itu tidak benar! Aku hanya menanyakan apa yang sedang terjadi! Mengapa kau tak pergi tidur saja?"

"Tak mungkin, aku tak perlu istirahat! Apa kau tak ingin ngobrol denganku? Itu kali ke-32 kau bilang agar aku tidur hari ini."

Sepertinya Louise telah mengitung kata-kata yang diucapkan saito padanya. Meski sedikit menakutkan, Saito merasa Lousie benar-benar manis saat itu. Tapi kini dia tengah sibuk sehingga dia dengan lembut menaruh tangannya pada bahu Louise dan berbicara seakan Louise seorang anak kecil:" Kita bisa bicara nanti, kau seharusnya pergi tidur. Kau baru saja melantunkan mantra yang hebat, apa kau tak lelah?"

Lousie dengan lucunya membentuk libngkaran dengan jarinya pada dada Saito. "Kalau begitu...bejanjilah padaku dengan sebuah ciuman."

'Apa...?"

"Cium aku atau aku takkan pergi tidur."

Kirche menatap mereka dengan mulut menganga. Guiche dan Montmorency saling memandang sambil mesem-mesem. Kirche dan Tabitha masih tak tahu apa yang telah terjadi. saito dengan enggan mencium pipi Louise.

Louise menggembungkan pipinya dan berkata tegas. "Pipi saja tak cukup!"

Saito merasa sangat aneh, akan sangat memalukan bila mencium Louise langsung di bibir saat semuanya menonton. Dia berfikir untuk sesaat dan akhirnya mencium dahi Louise. Louise tak cukup puas, tapi dia merangkak ke pangkuan Saito, mengistirahatkan dirinya diantara lutut Saito dan menyenderkan tubuhnya pada dada saito, lalu menutup matanya. Sebentar setelahnya, napasnya melambat dan dengkuran ringan keluar dari bibir pinknya yang agak menganga.

"Bagaimana kau bisa menjinakkan Louise hingga jadi begini? Aku tak pernah terfikir bahwa kau lelaki yang bisa menaklukkan seorang gadis, tapi kini dia sudah memperlakukanmu bagai seorang dewa!" tanya Kirche terkagum-kagum.

"Ini tak seperti itu, Montmorency membuat ramuan cinta dan Louise meminumnya secara tak sengaja. Orang yang pertama kali dilihatnya adalah aku dan kini dia jatuh cinta denganku."

"Ramuan cinta? Mengapa kau membuat barang semacam itu?" tanya Kirche pada Montmorency, yang tengah mengunyah daging.

'Oh, aku hanya penasaran untuk melihat apakah aku bisa."

Montmorency telah menghindari pertanyaan dengan jawaban yang biasa...

'Benar-benar deh. seorang wanita yang tak percaya pada auranya adalah yang terburuk. Bukankah begitu?"

"Matilah kau! Lagipula, ini semua salah guiche, jika dia yang meminumnya, kita tak perlu mencari penawarnya saat ini!"

"Apa kau mengatakan, sejak awal ini memang salahku?'

Saito menjelaskan keadaannya pada Kirche. Untuk membuat penawarnya, mereka perlu airmata Roh Air. Dan sebagai imbal;annya, mereka perlu melawan para penyerangnya...

"Jadi begitu toh, itulah mengapa kau melindungi sang Roh Air/'

Kirche menatap aneh Tabitha yang tengah memandangi api unggun dengan ekspresi merasa disudutkan.

'Ini buruk; kami tak bisa melawanmu, tapi jika kami tak menghentikan sang Roh Air, keluarga Tabitha bakal bermasalah..."

"Mengapa perlu untuk menyingkirkannya?"


Dibujuk oleh saito, Kirche menjawab dengan enggan. Dia sudah pasti tak bisa secara terbuka menceritakan soal urusan pribadi keluarga Tabitha.

"Kau tahu, permukaan air telah menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Keluarga Tabitha telah menderita karena kerusakan ini sehingga kami dipercayai untuk menyingkirkannya."

Jadi begitu toh. Mereka tak bisa pulang dengan tangan kosong. Lalu bagaimana

seharusnya mereka menanganinya ya...Saito memikirkannya sebentar dan berkesimpulan."Tak apa, kalian bisa berhenti menyerang sang Roh Air dan kita bisa mencari tahu mengapa sang Roh Air menaikkan permukaan air begitu tinggi dan memintanya menghentikannya."

"Sang Roh Air bakal mendengarkan kita?"

"Pagi ini, kami berunding dengannya dan ia setuju memberikan kami sebagian tubuhnya jika kami menghentika para penyernagnya."

Kirche memikirkannya sebentar lalu menanyai Tabitha, "Asalkan banjir berhenti dan dataran kembali pada keadaannya semula, apa itu bisa/"

Tabitha mengangguk.

"Bagus, sudah diputuskan! Kita akan berunding besok!" _____________________________________________

Pagi-pagi keesokan harinya, Motmorency, seperti hari sebelumnya, melepas familiar katak mungilnya kedalam danau untuk memanggi sang Roh Air. Air terpisah dan sang Roh Air muncul memcah kabut pagi.

"Roh Air, para penyerang takkan lagi mengganggumu, sebagai bagian dari persetujuan kita, berikanlah sebagian tubuhmu!'

Begitu Montmorency selesai berbicara, tubuh sang Roh Air gemetar dan secuplik tubuhnya terlepas sebagai tetesan dan masuk kedalam vial yang dipegang Guiche. Janji telah dipenuhi, sang Roh Air kembali tenggelam kedalm danau. Namun Saito dengan cepat memanggilnya untuk berhenti.

"Mohjon tunggu! Aku ingin meminta sesuatu padamu!"

Sang Roh Air bangkit dari permukaan air, mengambil, ini yang tak disenangi Montmorency, bentuk telanjang Montmorency sekali lagi.

"Apa, manusia nan rendah?"

"Mengapa kau meninggikan permukaan air? Tolonglah, apa ada alasan yang bisa kau ceritakan pada kami? Kami bisa membantumu jika kau menghentikan semua ini.'

Tubuh sang Roh Air membengkak dan berubah-ubah posisi. Ia terus-menerus merubah-ubah sikap dan ekspresi 'Montmorency' yang seoertinya menunjukkan perasaan. Mungkin, bentuknya menunjukkan pikirannya.

"Aku akan memikirkan soal memercayakan tugas ini padamu. Karena kau memnuhi kontrak kita sbelumnya, kupikir aku bisa memercayaimu.'

Tiba-tiba nampak marah, sang Roh Air berhenti, Saito tak berkata apapun, menunggu sang roh untuk melanjutkan. Setelah berubah bentuk beberapa kali, sang Roh Air telah membentuk tubuh Montmorency lagi dan melanjutkan ucapannya. "Dahula kala, seseorang dari kalian mencuri salah satu hartaku.'"


"Sebuah harta?"

"Ya, milikku yang paling penting tercuri dari bagian terdalam danauku, sekitar 30 bulan sebelum bulan sabit."

"Sekitar 2 tahun lalu..." gumam Montmorency.

"Apa kau hedak balas dendam pada manusia dengan meninggakan permukaan air dan membanjiri desa-sesa?"

"Balas dendam? Jenis kami rak punya maksud semacam itu. Aku hanya mencoba mengambil kembali hartaku, dan bahkan bila ia perlu waktu selamanya, air akan perlahan membanjiri daratan. Bahkan jika perlu untuk menenggelamkan seisi benua, aku akan mendapatkan kembali apa yang direbut dariku."

"Kau hendak melakukan sampai sebegitunya?"

Ini sudah keterlaluan, sang Roh Air hendak menenggelamkan seisi benua untuk mengambil kembali hartanya, proses yang bisa memakan waktu ratusan, bahkan ribuan tahun.

"Kau sabar sekali."

"Konsep kami tentang waktu berbeda, untukku, selamanya sama dengan kini. Seluruh waktu sama bagiku, tak peduli masa kini atau masa depan, ia pasti datang. Ia tak memiliki perbedaan karena aku selalu ada."

Sang Roh Air tampaknya tak memiliki konsep kematian. Waktu dengan skala begini takkan terbayangkan oleh manusia.

"Yah, kami bisa membantumu mengambil kembali harta itu. Harta apap itu?'

"Hartaku adalah Cincin Andvari, ia telah bersamaku sampai saat ini."

"Rasanya aku pernah mendengarnya." ucap Montmorency.

"Sebuah barang sihir legendaris dari sistem air. Katanya ia bisa memberikan nyawa palsu pada mayat..."

"Itu tak salah, tapi kematian adalah konsep yang tak kupahami, karenanya, aku tak bisa mengerti gambaran yang kau berikan, Cincin Andvari tak hanya memberikan nyawa palsu, ia juga perwujudan "Kekuatan air" kuno, ia bukan barang sihir biasa.

"Lalu siapa yang mecurinya?"

"Dengan menggunakan sihir angin, beberapa manusia datang ke tempatku. Mereka tak menggangguku yang tengah terlelap dan merampas barangku yang paling berharga."

"Jadi kau bahkan tak tahu nama mereka?"

"Salah satu dari mereka bernama Cromwell."

Kirche berkata pada dirinya sendiri, "Kalau tak salah, dia kan Kaisar Baru Albion."

Semuanya ecuali Saito hanya bisa saling memandang tak tahu harus bagaimana.

"Apa dia orang yang berbeda? Ada kemungkinan dua orang bernama sama...Jika dia mendapatkan kekuatan nyawa palsu, kira-kira untuk apa ya dia bakal menggunaannya?"

"Mereka yang bangkit kembali akan kehilangan kebebasannya. Mereka harus mematuhi pemilik cincin."

"Itu benar-benar cincin iblis, mengendalikan yang telah mati adalah kekuatan yang menjijikkan." kata Kirche dengan nada rendah.

Kirche terus bergumam sendiri, dia merasa dia teringat sesuatu tapi tak dapat menerangkannya dengan jelas. Saito mengangguk yakin, lalu berbalik menghadap Sang Roh Air.

"Aku mengerti. Mohon hentikan menaikkan permukaan air dan aku jamin aku akan mengembalikan cincinmu."

Sang Roh Air gemetara, "Aku mempercayaimu, jika kau bisa membawa kembali cincin itu, aku takkan lagi menaikkan permukaan air."

"Lalu kapan aku harus sudah mengembalikannya padamu?'

Kali ini, Sang Roh Air menggelengkan kepala dan gemetaran. "Sebelum hidupmu berakhir, selain itu aku tak peduli."

"Kau tak apa-apa dengan waktu yang begitu lama?"

"Aku tak peduli, bagikum besok tiada bedanya dengan bagian lain dari masa depan.' Setelah mengatakn itu, Sang Roh Air kembali ke dasar Danau.

Tepat saat itu, Tabitha menahannya dengan memanggilnya. "Mohon tunggulah."

Semuanya menatap Tabitha dengan heran dan kaget. Meski dia selalu bersama mereka sampai saat ini, ini kali pertama dia berbicara.

"Roh Air, aku inginmenanyakan sesuatu padamu."

"Apa pertanyaanmu?'

"Kami para manusia selalu menyebutmu sebagai "Roh dari Sumpah', Aku ingin tahu alasannya."

"Wahai manusia nan rendah, keberadaan aku dan kau sangat jauh berbeda. Aku tak dapat mengerti pertanyaanmu secara penuh, tapi aku bisa menngira-ngira. Keberadaanku inilah yang merupakan alasan untuk nama itu. Aku tak punya bentuk yang tetap, namun aku takkan pernah berubah. Dari generasi ke generasi yang tak terhitung jumlahnya, aku selalu berada disini, di air ini."

Sang Roh Air gemetaran saat berbicara. Suaranya menggema di udara.

"Karena kau tak berubah selamanya, pastilah kau akan selamanya membawa harapan kami."

Tabitha mengangguk, lalu mengejapkan matanya. Pada akhirnya, kepada siapa dia bersumpah? Kirche dengan lembut menaruh tangan di bahunya.

Montmorency yang melihat hal ini, langsung menepuk Guiche.

"Apa?"

"Cepatlah, bersumpahlah juga."

"Sumpah apa?'

"Kau pikir untuk apa aku membuat ramuan cinta itu?"

"Mmm! Ah...Aku bersumpah bahwa aku akan mendahulukan Montmorency di atas yang lainnya mulai saat ini dan seterusnya..."

Dia menepuk Guiche lagi.

"Owww...Ah...! Apaan sih! Sumpah lho!"

"Aku tak ingin diatas yang lain, aku ingin jadi satu-satunya. Bersumpahlah kau hanya mencintaiku!"

Guiche memaksa kata-kata sedih keluar dengan nada yang bakal sukar dipercaya kebanyakan orang.

"Aku bersumpah..."

Louise juga menarik lengan baju Saito, matanya menatap lurus kedalam mata Saito. "Kau juga - bersumpahlah padaku."

Saito memandangi dalam-dalam wajah Louise. Hari ini dia harus mengucapkan selamat tinggal pada Louise ini dan dia tak bisa membantah dia merasa kesepian, entah bagaimana. Meski ini semua terjadi karena ramuan cinta itu, berapa kali sih Louise mengatakan padanya bahwa dia mencintai Saito?

Tapi Saito lebih menyukai Louise yang asli. Meski dia dihantam oelhnya dan diperlakukan bagai seekor anjing, dia pikir yang asli lebih baik.

"Kau tak hendak bersumpah padaku? Kau tak mencintaiku?"

Air mata mengisi mata Louise.

"Maaf...Aku tak bisa bersumpah padamu...Aku tak bisa berjanji pada engkau yang sekarang."


Saat Saito mengatakan itu, dia mulai menangis. Sailto dengan lembut mengusap kepala Louise.


Bab 8 - Reuini Yang Kebohongan Semata[edit]

Henrietta yang hampir telanjang tengah berbaring di kasur. Yang dikenakannya hanyalah sebuah chemise tipis. Kamar yang ditempatinya dulu dimiliki ayahnya, Raja yang telah berpulang. Tapi dia mulai menggunakannya setelah menjadi ratu. Disamping kasur yang berkanopi raksasa ada meja kesukaan ayahnya. Dia perlahan mengulurkan tangannya dan meraih botol anggur. Setelah menuangkannya ke cangkirnya, dia menenggaknya sekali teguk. Sebelumnya, dia telah meminum alkohol secara ringan saat dia makan...tapi setelah menjadi ratu, jumlah yang diminumnya meningkat.

Bagi Henrietta yang tak lain hanya merupakan hiasan bagi pemerintah, ditanyai soal keputusan adalah sesuatu yang dia khawatirkan. Kebanyakan keputusan dibawa padanya dalam keadaan matang, tapi meski begitu, yang menyetujuinya adalah dia. Apalagi, meski aktivitasnya tengah menurun, perang masih berjalan. Meski dia hanya penguasa hiasan, tanggung jawab yang begitu banyak telah membebaninya. Henrietta masih menangani tekanan itu. Dia tak bisa tidur tanpa minum. Dia tak bisa menunjukkan ini pada wanita senat penasihatnya atau pejabat-pejabatnya, jadi dia meminum anggur tersembunyi itu di malam buta. Sekali lagi, dia menuangkan anggur kedalam cangkirnya.

Aku mungkin minum terlalu banyak. Dia berpikir sambil mengantuk dalam mabuknya. Dengan hening dia melantunkan sebuah mantra dan mengayunkannya ke bawah pada cangkir yang tadi dituangkan anggur. Air mengalir dari ujung tongkatnya dan mengisi cangkir. Ini sebuah mantra untuk mengembalikan uap air di udara menjadi cairan kembali. Ia sebuah mantra dasar dari unsur air. Airnya kepenuhan dan tumpah dari cangkir. Mungkin karena mabuknya, dia tak bisa mengendalikan jumlah yang dituangkannya. Dia meminum semuanya.

Henrietta yang pipinya tercelup pink, terbaring dalam kasurnya sekali lagi. Saat dia mabuk, apa yang diingatnya adalah...hari-hari yang menyenangkan itu. Hari-hari penuh kilau. Sedikit dari waktunya dimana dia benar-benar merasa hidup. Waktu nan pendek musim panas dimana dia 14 tahun. Kata-kata yang ingin didengarnya sekali saja...

"Mengapa kau tak mengucapkannya saat itu?" tanya Henrietta, menutupi wajahnya dengan kedua tanannya.

Tapi, orang yang akan mengatakannya tak lagi disini. Tidak dimanapun di dunia ini. Dia rasa bahwa kemenangan mungkin menyembuhkan kesedihan. Dia pikir bahwa keja seorang ratu yang melelahkan dapat membuatnya lupa akan itu. Tapi, dia tak bisa melupakannya. Kemenangan gemilang, kata-kata pujian, teriakan orang-orang yang menghormati dan mencintainya sebagai seorang suci...tak bisa menandingi satu kata itu.

Tanpa sadar, air matanya menetes. Oh tidak, pikirnya. Pagi esok akan datang cepat. Ada perundingan dengan duta Germania. Bagi Tristain dan Henrietta yang menginginlan perang tolol ini segera berakhir, ini adalah perundingan yang penting. Aku tak bisa menunjukkan wajahku yang basah dengan airmata.Aku tak bisa lagi menunjukkan sisi lemahku pada siapapun.

Dia mengusap airmatanya. Dan saat dia menggapai cangkir anggurnya lagi...Ada sebuah ketukan di pintu. Siapa ini yang datang malam buta begini? Apa masalah muncul lagi? Ini mengganggu, tapi aku tak bisa mengabaikannya, Albion mungkin telah melepas armada mereka lagi. Henrietta memakai gaunnya dengan sikap mengantuk dan bertanya dari kasurnya. "La Porte? Ataukah Kardinal? Ada apa, di malam nan buta begini?"

Namun, tiada jawaban. Sebagai gantinya, ada ketukan lain. Jika ini bukan Pejabat tertinggi atau Kardinal, lalu siapa?

"Siapa ini? Sebutkan dirimu. Bagi orang yang mengunjungi ruangan Ratu begitu telat saat malam, tak munkin tak bisa menyebutkan diri mereka. Kini, bicaralah, Kalau tidak, aku akan memanggil yang lain."

"Ini aku."

Tepat saat kata-kata itu masuk telinganya, ekspresi wajah Henrietta menghilang.

"Sepertinya aku minum terlalu banyak. Ini tak aik, untuk mendengar halusinasi begitu jelas..." Sambil menggumamkan itu, dia menempatkan tangannya di dada. Tapi, kuatnya degupan jantungnya tak berhenti.

"Ini aku. Ini aku, Henrietta. Bukalah pintu ini."

Henrietta buru-buru ke pintu.

"Pangeran Wales? Tak mungkin. Kau seharusnya tewas di tangan seorang pengkhianat..." Dengan suara bergetar, dia mengatakan itu.

"Itu sebuah kesalahan. Da aku, selamat."

"Itu sebuah dusta. Dusta. Bagaimana bisa?"

"Aku telah melarikan diri. Yang mati itu adalah...samaranku."

"Itu...Meski, Rubi Angin..."

Henrietta memeriksa cincin itu, sebuah kenangan dari Wales, yang ada di jarinya.

"Untuk mengecoh musuhmu, kau harus mulai dari temanmu, kan? Yah, bisa dimengerti bila kau tak mempercayaiku. Maka, aku akan memperdengarkanmu bukti bahwa aku adalah aku."

Ssambil gemetaran, Henrietta menunggu perkataan Wales.

"Di malam saat angin bertiup."

Kata-kata kunci yang begitu sering didengarnya di Danau Ragdorian. Henrietta langsung membuka pintu, bahkan sampai lupa menjawabnya. Senyum yang dimimpikannya berulang kali berdiri disana. "Ooh, Pangeran Wales...Kau benar-benar selamat..."

Apa yang terjadi kemudian tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Henrietta dengan erat memeluk dada Wales, Lalu menempatkan wajahnya disitu dan terisak. Wales dengan lembut menepuk-nepuk kepalanya. "Kau selalu sama, Henrietta. Benar-benar cengeng."

"Itu karena, Aku pikir kau benar-benar sudah mati...Mengapa kau tak berkunjung lebih cepat?"

"Setelah kalah, aku kabur menggunakan sebuah kapal. Aku bersembunyi di huatan Tristain sampai saat ini. Aku tak bisa membiarkan musuh menemukan keberadaanku, jadi aku mengubah tempatku beberpaa kali. Aku datang ke tanah di mana benteng tempat kau hidup berada dua hari lalu...Adalah memakan waktu untuk memeriksa kapan kau akan sendirian. Tak mungkin aku bisa hanya berdiri di ruang tunggu sebagai seorang hadirin di waktu siang, kan?" Wals tersenyum menggoda saat mengatakan ini.

"Sebagaimana biasanya, kau selalu jahat. Kau tak mengerti...Seberapa dalam aku bersedih...Seberapa sendirian aku rasa."

"Aku mengerti. Itulah mengapa aku datang untuk mengunjungimu."

Untuk sesaat, Henrietta dan wales berpelukan.

"Kau bisa datang ke benteng ini sebanyak yang kau mau. Albion tak punya kekuatan untuk menyerbu Tristain saat ini. Yah, armada andal mereka telah hancur. Benteng ini adalah tempat teraman di Halkegenia. Musuh tak bisa menyentuhmu seujung jaripun."

"tak bisa seperti itu." Wales tersenyum ceria.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku harus kembali ke Albion."

"Hal yang sangat bodoh! Ini seperti membuang sia-sia nyawa yang nyaris saja terlepas dari genggaman!"

"Meski begitu, aku harus kembali. Aku harus membebaskan Albion dari tangan Reconquista."

"Omong kosong!"

"Ini bukanlah sebuah omong kosong. Untuk alasan itu, aku datang menemuimu."

"Aku?"

"Kekuatanmu diperlukan untuk pembebasan Albon. Ada orang-orangku di sana juga, tapi...Lebih dari itu, aku perlu seseorang yang bisa kupercaya. Kau akan pergi denganku, kan?"

"Tak mungkin...Aku senang dengan perkataanmu, tapi itu mustahil. Aku bisa pergi berpetualang begitu saat aku seorang putri, tapi kini aku seorang ratu. Entah aku suka atau tidak, negara dan rakyat ada di pundakku. Mohon jangan katakan yang tak mungkin."

Namun, Wales tak menyerah. Dengan perkataan yang lebih manis, dia mencoba meyakinkan Henrietta. "Aku tahu ini mustahil, Tapi, kau penting untuk kemenangan. Di tengah-tengah kekalahan perang, aku menyadarinya. Tentang betapa butuhnya aku padamu. Aku perlu sang "Santo" yang akan membawa kemenangan bagiku dan Albion."

Henrietta merasa suatu panas mengaliri tubuhnya. Dia dibutuhkan oleh orang tercintanya. Mabuk dan kesendirian mengompori kehendak yang mengembang dalam dirinya. Meski begitu, Henrietta sekeras hati menjawab. "Jangan menggangguku lagi. Mohon tunggulah, aku akan mendatangkan orang-orang dan menyiapkan tempat tidur untukmu. Besok, sekali lagi, kita bisa merundingkan hal ini, perlahan..."

Wales menggel;engkan kepalanya. "Kita takkan tepat waktu besok."

Lalu, Wales dengan mudah mengucapkan kata-kata yang selalu ingin didengar henrietta." Aku mencintaimu, henrietta. Itulah mengapa, ikutlah denganku."

Jantung Henrietta mulai berdetak dengan irama yang sama saat dia dan wales bercengkrama di Danau Ragdorian. Wales perlahan mendekatkan Bibirnya pada Henrietta. Pada Bibir Henrietta yang mencoba mengatakan sesuatu, wales menyegelnya. Dalam alam pikiran Henrietta, dia mengingat lagi semua ingatan manis itu. Karena itu, Henrietta tak menyadari sihir penidur dimantrakan padanya. Masih merasa bahagia, Henrietta jatuh ke alam mimpi. __________________

Sementara itu, di saat yang sama...

Dalam salah satu kamar di asrama putri di Akademi Sihir Tristain, Montmorency tengah berusaha sekuat mungkin meramu sesuatu selama Saito dll menontonnya.

"Selesai~! Fuu! Tettap saja, itu benar-benar sulit~!"

Sambil mengusap keringat dari dahinya, Montmorency menjatuhkan diri ke kursinya. Dalam pot di atas meja ada obat penawar yang baru saja dia ramu.

"Tak apa-apakah untuk meminumnya seperti ini?"

"Ya."

"Mengambil pot itu, Saito membawanya ke ujung hidung Louise. Louise mengerut karena baunya. "Baiklah, Louise. Minum ini."

"Tidak. Ini bau luar biasa busuk."

Louise menggelengkan kepalanya. Sial, aku seharusnya mencampurnya dengan sesuatu dan membuatnya minum ini tanpa sadar. Untuk membuat anak-anak makan wortel, kau memotong-motongnya dan mencampurnya dalam hamburger.

"Ayolah. Minum ini."

Jika aku minum ini, apa kau akan menciumku?"

Saito menganggauk, menyadari dia tak punya pilihan lain.

"OK. Jika kau meminum ini, aku akan menciummu."

Louise menjawab. "Aku mengerti", dan mengambil pot itu. Dia melihat sisinya dengan ekspresi jijik sebentar, tapi dia menutup matanya dengan tegas dan meminum seluruhnya. Montmorency, menyaksikan ini, mecolek Saito. "Untuk sekarang, bukankah lebih baik jika kau kabur?"

"Mengapa?"

"Mengapa?"

"Karena ingatan dari waktu saat dia tergila-gila padamu setelah meminum ramuan cinta tak menghilang. Dia ingat semuanya. Louise itu ingat segala yang dilakukannya dan apa yang dilakukan padanya."

Saito menegang dalam keterkejutan dan melihat ke arah Louise.

Louise ber"Buhwa!" setelah meminum semuanya, lalu dia cegukan sekali. "Funya."

Setelah itu, sekan roh jahat telah meninggalkannya, ekspresi wajahnya kembali normal secara sempurna. Melihat Saito di hadapannya. wajahnya tiba-tiba memerah. Mengunyah-ngunyah bibirnya, dia mulai gemetaran. Saito mengucapkan. "Ya Tuhan," dan mencoba menyusup keluar .

"Tunggu."

Maaf, tapi makanan untuk merpatiku..."


"Kau bahkan tak memelihara merpati seekorpuuuuuuuuuuuuuun!!!!"

Suara Louise menggema. Ini buruk. Aku akan dibunuh. Saito membuka pintu dan brlari menuruni tangga seakan-akan dia berguling-guling. Namun, Louise yang sekarang bergerak secepat kilat. Melompat dari landaian tangga, dia menyasar sebuah tendangan ke arah bawah tangga pada punggung Saito. Saito berputar kincir, berguling ke lantai pertama, dan menghantam lantai dengan keras.

Untungnya, ini adalah jalan masuk asrama putri. Dia mencoba kabur dengan merangkak, tapi, sebagaimana biasa, punggung lehernya diinjak erat oleh kaki Louise.

"A-Aku tak melakukan kesalahan apapun! Ini tak bisa dielakkan! Ini salah obat itu! Kita sama-sama tak senang!"

Tabpa menjawab balik, Louise menarik parkanya ke atas. Lalu dia menarik kaosnya. Menemukan tanda cium yang lebih banyak lagi, wajahnya semakin memerah. dia membuat ini sendiri. Ini adalah, Ini adalah-Ini adalah...bagiku untuk melakukan hal seperti ini...Dia menelusur punggung lehernya dengan jarinya. Tanda yang sama oleh Saito ada disana.

Dengan malu dan marah pada dirinya bercampur, akal sehat Louise melayang. Pada akhirnya, yang menerima kemarahannya yang tak beralasan adalah tubuh saito. Jeritan Saito bergema di udara. _________________

Pada sebuah bangku di Plaza Austria, Saito tengah berbaring tak bergerak disana. Dia terluka hingga koma, dan setengah mati. Dia terkadang berkejut, jadi dia belum mati. Disampingnya adalah Louise yang akhirnya tenang kembali, duduk di ujung bangku, yang tengah memerah pipinya dan berpikir tentag sesuatu sambil manyun seakan dia marah.

Kedua bulan telah terbit dan bersinar pada keduanya dengan lembut. Namun, udara yang mengitari keduanya jauh dari lembut dan terasa aneh, panas, dan melumpuhkan. Dengan kata lain, uadara diantara keduanya telah kembali normal.

"Apa kau puas sekarang?" ucap Saito.

"Ji-jika aku normal, aku pasti takkan melakukan sesuatu seperti itu! Beneran! Hmph!"

"Aku tahu itu." ucap Saito dengan nada kelelahan.

Pada saat itu, akhirnya Louise menyadari bahwa itu bukanlah salah Saito sama sekali. Meski begitu, dia membiarkan Louise melakukan apa yang dia lakukan dan menerima amukannya. Pipinya bengkak. Apa dia baik-baik saja? Meski dia yang mencederainya, dia merasa tertahan untuk merawatnya, Tapi...itu benar-benar memalukan. Ingatan dari saat-saat setelah dia meminum, ramuan cinta menahannya untuk menghampiri Saito.

Tapi mengapa familiar ini membiarkan dirinya dipukuli ya?

"Kau adalah kau juga. Kau tak harus patuh dan dihajar olehku hingga jadi begini, kan? Sheesh! Melawanlah sedikit! Aku kelewatan, tahu!"

"...Tak apa-apa." ucap Saito dengan nada kecapean.

"Mengapa begitu?"

"...Karena jika aku melakukan itu, kau takkan merasa puas, kan? Aku mengerti yang kau rasakan. Yah, kau mengikuti seorang lelaki yang bahkan kau tak suka begitu dekat, dan kau bahkan melakukan hal ini dan itu. Untuk seseorang yang berharaga diri tinggi sepertimu, tak mungkin kau bisa memaafkannya, kan? dan tetap saja, kalau dilihat kebelakang, aku punya sedikit tanggung jawab saat membuatmu marah...Sudahlah, tak usah mengkhawatirkan soal itu."

Wow, bukankah itu kata-kata yang manis. Meski aku mehajarnya begitu parah. Itu datang menembusnya. Tapi, perkataan yang keluar adalah kebalikannya.

"A-aku tak mengkhawatirkannya. Beneran, aku hanya ingin cepat-cepat melupakannya."

Haa, mengapa aku tak bisa jujur? pikirnya. Louise lalu menanyakan satu hal yang selama ini mengusiknya. "Hei, apa aku bisa menanyaimu sesuatu?"

"Tentang apa?"

"Saat aku, yah, dalam keadaan dimana aku tak bisa hidup tanpamu berkat obat itu...mengapa kau tak, um, me-me-melakukan apapun?"

Saito blingsatan menjawabnya, "Itu karena, itu bukanlah kau. Aku tak bisa melakukan sesuatu padamu yang bukan kau. Aku tak bisa takluk pada hawa nafsu dan mencemari seseorang yang penting bagiku."

Dikatakan bahwa dia penting, pipi Louise memerah. Tapi dia tak bisa menunjukkan wajah ini padanya. Louise membuang muka. Tapi, dia benar-benar penasaran. Mengapa aku penting? Hei...mengapa?

"Me-mengapa, mengapa aku penting?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Ya...kau menyediakan makanan dan tempat untuk tidur."

"Haa..."Dia merasa kecewa. Yah, itu masuk akal. Aku malu hingga aku bergairah untuk sesat, Louise telah membuang muka dari Saito, jadi dia tak menyadari Saito mengatakan itu dengan wajah nan merah. Tetap saja, dia seorang familiar yang tetap memanggilku, tuannya, "penting" setelah dilukai begitu parah.

Menjadi sedikit lebih jujur, Louise meminta maaf dengan sikap ngambek. "..Maafkan aku. Aku takkan marah lagi. Kau punya hak melakukan sesuatu secara bebas juga."

Kalau mau jujur, dia tak mau mengatakan ini, Dia teringat saat-saat ramuan cinta mengendalikannya. Itu mungkin adalah kehendaknya yang sebenarnya, pikirnya sedikit.

"Tak apa-apa. Kau bukanlah kau jika kau tak marah. Lakukanlah semaumu."

Lalu, keduanya terdiam. Tak bisa menahan suasana itu, Louise akhirnya merubah topik pembicaraan. "Haa, tetap saja, memang penuh kenangan...Danau Ragdorian itu."

"Kau pernah kesana sebelumnya?"

"Eeh. Saat aku 13. Ada perayaan saat aku menemani sang Putri. Sebuah Pesta Kebun nan megah diselenggarakan saat itu...itu benar-benar hidup dan mewah. Itu sangat menyenangkan."

Lousie menarik dasar-dasar ingatannya dan mulai bicara. "Kau tahu, Danau Ragdorian adalah tempat dimana Pangeran Wales dan sang Putri bertemu. Di malam butam sang Putri mengatakan padaku 'Aku ingin keluar jalan-jalan, jadi aku perlu menyusup keluar dari kasur. Aku sangat menyesal, tapi Lousie, bisakah kau berbaring kasur menggantikanku?' dan aku bertindak sebagai penggantinya. Kalau dipikir-pikir sekarang, itu mungkin saat mereka bercengkrama."

Saat Louise mengatakan itu, sebuah suara keras bergema dari belakang bangku. Dar lubang yang digali tikus tanah yang pernah digunakan sekali oleh Louise untuk mengawasi Siesta dan saito, rambut merah Kirche menyembul. Tabitha berada disampingnya.

"Itu dia! Aku ingat sekarang! Itu Pangeran Wales!"

"A-apa katamu?!"

"Apa! Kalian berdua nguping?"

"Ehehehe," Kirche merangkak keluar lubang sambil menyeringai. "Iyaah, Aku ingin melihat kalian berbaikan satu sama lain...melodrama setelah kau menghajarnya begitu parah. Bukankah itu tampak menarik?"

"Ga mungkin sama sekali."

Wajah Louise dan Saito bersemu merah. Kirche mendekati bangku sambil mengangguk-ngangguk. "Itu benar. Kupikir aku melihat wajahnya sebelumnya entah dimana. Ihaay, jadi begitu toh. Itu pembunuh wanita asal Albion, Pangeran Wales."

Kirche telah melihat wajahnya saat Upacara penobatan Kaisar Germania. Saat itum dia duduk di kursi tamu, memancarkan senyum bangsawan yang menyilaukan ke sekitarnya. Doa akhirnya ingat sekarang, jadi Kirche puas.

"Apa yang kau maksud dengan 'Itu adalah Pangeran Wales'?"

Kirche menjelaskan pada Saito dan Louise. Bagaimna mereka berpapasan dengan sekelompok orang yang menunggangi kuda saat menuju Danau Ragdorian. Bagaimana dia ingat melihat wajah itu entah dimana tapi tak bisa mengingatnya dengan baik.

"Tapi aku ingat sekarang. Itu adalah Pangeran wales, Ada pengumuman bahwa dia tewas dalam pertempuran, tapi dia hidup~."

"Itu mustahil! Pangeran seharusnya telah tewas! Aku disana, menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri!"

Kirche tak melihat Pangeran Wales tewas, jadi dia sebenarnya tak merasakan kematiannya dari tangan pertama. Karenanya, dia menanyai Saito dengan sikap bercanda. "Oh? Benarkah begitu? Lalu, siapa yang kulihat?"

"Apa kau tak tertukar dengan orang lain?"

"Tak mungkin bagiku untuk salah mengira si ganteng itu dengan orang lain."

Teat saat itu, sesuatu tersambung dalam kepala Saito. Hal yang sama juga terjadi pada Louise. Keduanya berpandangan. Kata-kata yang Arwah Air ucapkan...Ada seseorang bernama "Cromwell" dalam kelompok yang mencuri Cincin Andvari.

"Cincin Andvari...Jadi, Benar-benar Reconquista yang..."

"Hei, Kirche. Hendak kemana kelompok itu?" tanya Louise, kehabisan napas.

Ditekan sikap serius keduanya, Kirche menjawab." Dia berpapasan dengan kami, jadi, mari kita lihat, menuju ibukota, Tristain."

Louise berlari. Saito mengikuti setelahnya.

"Tunggu! Apa yang tengah terjadi?!"

Kirche kebingungan.

"Sang Putri dalam masalah!"

"Mengapa~?"

Kirche dan Tabitha tak tahu soal hubungan rahasia Wales dan Henrietta, jadi mereka tak mengerti arti dibalik kata-kata itu. Tapi, penasaran dengan sikap Louise dan Saito yang tak biasa, Mereka mengikuti keduanya.


Bab 9 - Sengketa Kesedihan[edit]

Sambil menunggangi naga angin Tabitha, Saito, Louise, Kirche, dan Tabitha sendiri, terbang menuju Istana Kerajaan, meninggalkan Akademi sihir dua jam lalu. Kini sejam setelah tengah malam. Halaman depan tengah kacau. Louise dan Saito merasa firasat buruk mereka menjadi kenyataan. Saay Naga angin mendarat di Halaman, ia langsung dikepung tentara penjaga sihir.

Komandan kesatuan Manticore, dengan keras memerintahkan. "Hei kalian! Istana Kerajaan kini tertutup! Enyahlah!"

Namun, dia sudah mengenali kelompok ini saat melihatnya. Mereka sama dengan yang datang kesini tepat sebelum perang melawan Albion dimulai. Sang komandan mengernyitkan alisnya. "Kalian lagi! Kalian hanya datang pada waktu-waktu bermasalah!"

Lousie meloncat turun dari si naga angin. Dia tak puya waktu bermain tanya-jawab dengan kapten penjaga. Dia bertanya sambil terengah-engah. "Putri-sama! Tidak, sang Paduka, apa dia baik-baik saja?!"

Lapangan tengah berdengung bagai sarang lebah. Para ningrat sedang membawa tongkat sihir bersinar mereka, sementara tentara - senter, mencari sesuatu. Jelas sekali bahwa sesuatu terjadi di Istana Kerajaan.

"Aku tak harus menceritakan apapun padamu, hai terkutuk. Enyahlah sekarang juuga."

Dengan wajah merah saking marahnya, Lousie menarik keluar sesuatu dari sakunya. Itu surat izin yang diberikan Henrietta pada Louise sebelumnya. "Aku adalah wanita senat dibawah kendali langsung dari Sang Paduka! Di tanganku ada surat Izin yang ditandatangani sang Ratu! Aku punya hak memeriksa yurisdiksi Paduka! Aku meminta penjelasan segera atas situasi terkini!"

Si Komandan mencengkram Surat Izin dari tangan Louise dengan keterkejutan luar biasa di seluruh wajahnya. Mereka memang surat izin asli yang ditandatangani Henrietta yang bertuliskan.- 'Louise Françoise Le Blanc De La Vallière diberikan hak menjadi seorang perwakilan kerajaan. Permintaannya mesti dipenuhi.' Dengan tandatangan kerajaan tertera. Sang Komandan Menatap Louise dengan kagum dan terkejut. GAdis yang begitu muda...punya dokumen yang begitu penting dari Sang Paduka..

Dia hanyalah seoran pelayan.Tak peduli bagaimana orang melihat, seorang atasan tetap seorang atasan. Dia langsung berdiri tegak dan melaporkan situasi mengenai Sang Paduka. "Dua jam lalu, seseorang menculik Sang Paduka pergi. Satu penjaga dihajar begitu mereka kabur dengan kuda-kuda. Skuad griffon tengah mengejar mereka. Kami mencari-cari disni untuk mencari bukti-bukti."

Kompleksi Louise berubah."Kemana mereka berangkati?"

"Mereka ke selatan lewat jalan utama. Sepertinya mereka kabu menuju distrik La Rochelle. Tak diragukan lagi, Albion punya peran dalam hal ini. Meski perintah untuk menutup pelabuhan langsung dikirim...Kesatuan Ksatria Naga hampir hancur di perang sebelumnya. Jadi satu-satunya cara mengejar mereka adalah dengan griffon atau kuda..."

Naga angin lebih ringan dari griffon jadi biasanya mereka yang jadi pengejar...tapi dengan keadaan sekarang - adalah dipertanyakan apakah mungkin untuk menyusul mereka. Louise meloncat ke naga angin lagi. "Cepatlah! Pencuri yang menculik putri-sama melarikan diri menuju La Rochelle! Kita dalam masalah besar bila kita tak bisa menyusul mereka saat pagi tiba!"

Semuanya, mendengar keadaannya, mengangguk, terlihat tegang. Tabitha memerintahkan si naga angin. Sylphid terbang memasuki kegelapan malam lagi. Louise berteriak. "Terbang rendah! Musuh mengendarai kuda!"

Si naga angin terus terbang mengikuti jalan utama dengan kelenturan yang mengejutkan. Kini malam gelap pekat, tapi meski tiada yang bisa melihat beberapa langkah ke depan. si naga angin terus terbang menggunakan hidung tajamnya, menghindari pepohonan dan bebangunan. ______________

Unit griffon telah memecah jadi dua, satunya terbang di sepanjang jalan utama, yang lain mengendarai kuda. Sudah dapat diduga bahwa Kesatuan Griffon adalah yang teringan diantara ketiga skuad dan mereka dapat melihat lebih baik saat malam. Karenanya, mereka dipilih sebagai unit pengejar. Banyak orang dalam skuad terbakar amarah. Musuh menyerang senat dibawah lindungan kegelapan. Bahkan dalam mimpi terliar mereka sekalipun, ta dapat dibayangkan bahwa seseorang berani Istana di ibukota. Terlebih lagi, adalah Ratu muda Henrietta yang diculik, seorang penerus tahta. Bagi ksatria sihit yang telah menjadi penjaga keluarga kerajaan, tiada algi coreng yang lebih dari ini.

Griffon menggunakan kai dan sayap mereka untuk memburu ke depan. Meski keberangkatannya tertunda akibat seluruh kebingungan tadi, tetap saja musuh menggunakan kuda. Tiada alasan bagi mereka untuk tak bisa menyusul. Komandan meneriaki unitnya dengan keras. "Ayo Lari! Susul Paduka secepat mungkin!"

Sekelompok unit Griffon maju memburu kedepan. Ada sebuah keributan besar diantara unit Griffon yang tadi maju. Mereka mungkin telah menemukan sesuatu. Dibawah tanda si komandan, seorang pengguna api maju dan melumcurkan sebuah mantra api. Ini menerangi jalan utama hingga 100 mail kedepan, dan dapat terlihat sosok-sosok penunggang di kejauhan. Mereka 10x banyaknya.

Si Koamndan tersenyum kejam. "Pertama-tama, sasar kudanya! Jangan melukai Sang Paduka!"

Kesatuan Griffon memburu maju, meluncurkan mantra bergantian. Setelah tembok mantra mengepung musuh, para ksatria meluncurkan sebuah serangan dalam seketika. Bola api, bilah angin, tombak es, semua mengarah pada kuda yang dikendarai musuh. Doh! Bumi berguncang, membuat kuda-kuda jauh satu demi satu. Si Komandan memastikan bahwa Ratu Henrietta, yang berpakaian gaun putih, menunggangi punggung kuda pertama. Dalam situasi darurat seperti ini, dia ragu - adalah penting untuk menyelematkan Sang Paduka tanpa kurang satu apapun. Jika Sang Paduka terluka, dia pasti dapat beberapa bentakan keras setelahnya.

Setelah mengucapkan permintaan maaf, sang komandan melantunkan mantra angin, memutuskan kaki kuda pertama dan melemparkan sang Putri dan pengendaranya ke tanah. Tanpa ampun, skuad griffon mengepung ksatria musuh yang jatuh. Leher para penculik dipotong dengan bilah angin dan tombak es menembus jantung mereka. Ksatria yang memimpin pelarian mendapati kepalanya dipotong bilah angin si komandan, sebuah luka mematikan.

Pertarungan telah putus dalam sesaat. Saat si Komandan mengangguk memberi tanda, unit itu berhenti. Lalu dia meloncat turun dari griffonnya. dan menghampiri ratu yang terjatuh ke rerumputam...Ksatria, yang seharusnya telah tewas, berdiri secara bergantian. Para Ksatria grifoon, yang menurunkan kewaspadaan mereka karena berpikir musuh telah dibasmi kini dikejutkan sihir musuh.

"Ah!" erang si komandan yang mencoba menarik keluar tongkatnya saat tubuhnya ditelan topan. Lengan dan kaki diputus topan itu, menghabisi mereka dalam sesaat, begitu ksatria yang seharusnya telah dihabisi si komandan bangkit berdiri, dngan luka terbuka yang terlihat jelas di lehernya, dan tersenyum.


Saat Wales akhirnya menaruh tongkatnya ke sisi, dia menghapiri rerumputan dimana Henrietta jatuh. Henrietta baru saja mencoba sembuh dari kekagetan terlempar ke rerumputan.Dia menatap wales dengan mata tak percaya. "Wales-sama, kau...apa-apaan ini?"

"Terkejut?"

Henrietta menghunus tongkat kristal yang selalu dibawa bersamanya dan menyasarnya pada Wales. "Siapa kau?"

"Aku adalah Wales."

"Bohong! Kau bunuh kesatuan ksatria sihir..."

"Kau ingin membunuhku? Tak apa-apa, Remukkan aku dengan sihirmu. Iris jantungku jika kau mau."

Wales menunjuk dadanya, Tangan yang menggenggam tongkat Henrietta mulai gemetaran. Mantra sihir tak keluar dari mulutnya.Yang keluar malah sebuah isakan tertahan. "Mengapa kau lakukan ini?"

"Percayalah padaku, Henrietta."

"Tapi...tapi, ini..."

"Aku akan mengatakan alasannya nati. Banyak hal-hal yang menjadi sebabnya, Untuk sekarang, ikutilah aku tanpa banyak tanya."

"A-Aku tak mengerti. Mengapa kau melakukan hal semacam ini...Apa yang coba kau lakukan?"

Wales menjawab lembut. "Kau tak perlu mengerti. Kau tak perlu menyukai sumpah, kau hanya perlu mengikutinya. Apa kau ingat? Kalimat sumpah yang kau ucapkan di Danau Ragdorian. Kalimat yang kau ucapkan di hadapan Arwah Air."

"Tak mungkin aku melupakannya. Aku akan mengingatnya hingga aku mati."

"Mohon ucapkan itu, Henrietta."

Henrietta mengucapkan sumpah itu kata demi kata. "...Aku, Henrietta, putri Tristain bersumpah di hadapan Arwah Air bahwa dia akan mencintai Wales-sama selamanya."

"Hanya satu hal yang kini berubah dari sumpah di masa lalu. Kau kini seorang ratu. Tapi, bukankah yang lainnya tak berubah? dan takkan berubah?"

Henrietta mengangguk. Aku selalu hanya bermimpi saat wales akan memelukku dalam lengannya.

"Meski sekarnag kini begini, sumpah yang terucap di hadapan Arwah Air tak bisa dirusak. Kau hanya perlu percaya pada kata-katamu sendiri. Mohon serahkan yang lainnya padaku."

Tiap kata-kata lembut Wales membuat Henrietta semakin menjadi seorang gadis yang tak tahu apa-apa. Henrietta terus mengangguk beberapa kali, seperti seorang anak kecil. Dia terbujuk secara sempurna. Setelahnya, Wales bangkit dan menghampiri ksatria-ksatrianya. Dapat terlihat luka mematikan pada leher atau dada mereka. Namun...mengabaikan itu, mereka bergerak bagai makhluk hidup lainnya.


Mereka pergi memeriksa kuda-kuda yang jatuh, tapi, mereka semua telah mati. Mereka lalu menyembunyikan diri dalam rerumputan nan tinggi, satu demi satu menghilang dari pandangan. Garis penyergapan. Tanpa berkata apa-apa, mereka dan wales membentuk garis penyergapan, dan berhenti bergerak. Tepat seperti apa yang dilakukan makhluk hidup. ____________________

Saito dkk terbang diatas naga angin menyusuri jalan utama hingga mereka melihat pemandangan mengerikan. Mayat-mayat betebaran dimana-mana. Si Naga angin berhenti, dan mereka meloncat turun. Tak ikut turun, Tabitha melihat-melihat sekitar dengan awas.

"Putri." ucap Saito. Mayat-mayat terbakar dengan lengan dan kaki terputus betebaran. Griffon-griffon dan kuda-kuda terbaring dalam kolam darah mereka sendiri. Ini pasti unit griffon itu.

"Ada yang hidup!"

Saito dan Louise berlari menuju suara Kirche. Meski terluka dalam di lengannya, seseorang selamat.

"Apa kau baik-baik saja?"

Louise kini menyesal tak mengikutserakan Montmorency dengan mereka. Dalam kasus luka-luka, sihir airnya takkan tergantikan.

"Aku baik-baik saja...dan kau siapa?"

"Kami, sama sepertimu, memburu geng yang menculik Yang Mulia. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Si Ksatria menjawab dengan nada gemetaran. "Mereka, luka mereka benar-benar parah..."

"Apa?"

Namun, si ksatria tak bisa menceritakan apa-apa lagi. Merasa lega bahwa kini bantuan telah datang, dia pingsan. Tepat saat itu, sebuah serangan sihir dilancarkan dari segenap penjuru. Tabitha langsung bereaksi. Sudah menduga bahwa akan ada serangan sebelumnya, dia menciptakan sebuah tembok udara di atas dan membuatnya terbang turun dengan sihirnya.

Keluar dari reruputan, bayangan-bayangan bangkit, berayun dalam gerakan lambat. Mereka ningrat Albion yang telah tewas dan dibangkitkan oleh cincin Andvari. Kirche dan Tabitha bersiap. Namun, untuk alasan tertentu, musuh tak meluncurkan serangan lagi. Ketegangan dimulai. Lalu, Saito terkaget-kaget saat menemukan bayangan yang begitu dikenalnya disana. "Pangeran Mahkota Wales!"

Namun, dia...Wales, yang telah tewas dan diberikan nyawa palsu oleh Cromwell menggunakan Cincin Andvari, hasil curian dari Arwah Air, telah menculik Henrietta. Sambil berpikir begitu, Saito menjadi marah pada tindakan yang begitu curang tersebut. Da mencengkram Derflinger di bahunya. Tanda di tangan kirinya mulai bersinar. "Kembalikan Sang Putri."

Namun, Wales tak mengurungkan senyumnya. "Kau berkata hal-hal dengan begitu yakin. Aku tak bisa mengembalikannya karena dia mengikutiku atas kehendaknya sendiri."

"Apa?"

Dibelakang punggung Wales, Henrietta, berpakaian gaun, muncul.

"Putri!" teriak Louise. "Tolong jangan kesana! Pangeran Wales itu bukan wales yang sebenarnya! Ia jelmaan Pangeran, dibangkitkan oleh tangan Cromwell menggunakan Cincin Andvari!"

Namun, Henrietta tak melangkah maju. Dia hanya menggigit dan mengeraskan bibirnya yang gemetaran.

"...Putri?"

"Lihat kan? Kini, bagaimana denagn sebuah kesepakatan?"

"Kesepakatan?"

"Itu benar. Meski kami senang untuk bertengkar denganmu disini, kami kehilangan kuda-kuda kami, Dan berkelana tanpa kuda melalui malam bisa berbahaya, jadi aku ingin menyimpan sihir sebanyak mungkin."

Tabitha melantunkan mantra. 'Tetes berangin' - mantra serangan oleh Tabitha nan ahli. Tepat di tengah-tengah perkataannya, panah es itu menembus tubuh Wales. Namun...sungguh mengejutkan, Wales tak terjerembab dan lukanya sembuh sendiri beberapa saat kemudian.

"Tiada gunanya. Aku tak mempan oleh seranganmu."

Tetap saja, meski sudah melihat ini, ekspresi Henrietta tak berubah.

"Lihat! Ia bukan Sang Pangeran! Ini sesuatu yang lai! Putri!"

Namun, Henrietta tak mau percaya, dan menggelengkan kepalanya dari kanan ke kiri. Lalu berkata pada Louise denagn suara tertahan. "Kumohon, Louise, turunkan tongkatmu. Mohon lakukan itu untukku. Mohon biarkan kami pergi."

"Putri? Apa katamu?! Putri! Itu bukan Pangeran Mahkota Wales! Putri, kau telah ditipu!"

Henrietta lalu memberikan senyum, sebuah senyum nan membingungkan.

"Kutahu itu. Dalam kamarku, saat bibir kami bertemu, aku tahu itu 100 kali. Namun, tetap saja kutak peduli. Louise kau belum pernah mencintai seseirang begitu kuat. Saat kau bena-benar jatuh cinta, kau bisa melemparkan segala yang lain. Kau ingin mengikutinya kemanapun. Meski itu sebuah dusta. Kau tak bisa melakukan yang lainnya selain percaya. Aku bersumpah, Louise. Aku membuat sumpah di hadapan Arwah Air, mengatakan 'Aku bersumpah mencintai Wales selamanya'. Meski seluruh isi dunia mengatakan ini sebauh dusta, perasaanku sendiri bukanlah sebuah dusta. Karenanya, Biarkan kami pergi, Louise."

"Putri!"

"Ini sebuah perintah, Louise Françoise. Yang terkahir, dariku padamu. Mohon, menyingkirlah dari jalan kami."

Tangan Louise yang mengarahkan tongkat turun ke samping. Mengerti keputusan tegas Henrietta, dia tak bisa tidak menyerah. Mengapa dia harus menghentikna cinta yang ebgitu kuat...Garis orang-orang yang telah mati mencoba melewati Louise yang mematung. Tapi, sebelum mereka...Saito, sambil memegang Derflinger, menutup jalan mereka.

Dia sangat sedih. Dia mengerti perasaan Henrietta. Tapi akal sehat Saito tak bisa menermianya. Pikirannya menjerit bahwa dia harus tak membiarkannya. Saito berkata dengan nada yang mengandung kesedihan dan kemarahan. "Putri, jika aku boleh bicara, berbicara dalam tidur tidak baik."

Bahu dan tubuhnya bergetar,

"Kehendak, cinta, bersama dengan seorang wanita, tak peduli hal lainnya. Apa itu cinta sejati? itu hanya kebutaan belaka. Darah memenuhi kepala dan membuatmu tak bisa berpikir lurus."

"Pergi! Ini sebuah perintah!" jerit Henrietta dengan seluruh ketegasannya yang tersisa.

"Sayangnya, aku bukan bawahanmu. Perintahmu tak berarti apa-apa untukku. Meski kau terus memerintahku...aku takkan mendengarkan. Aku akan memotong menembus mantramu."

Adalah Wales yang bergerak pertama kali. Meski dia mencoba mengucapkan sebuah mantra, Saito menerjangnya, Namun, sebuah dinding air menerbangkan saito. Henrietta yang mematung, menggenggan tongkat sambil gemetaran. "Aku takkan membiarkanmu menyentuh seujung jaripun dari Wales."

Dinding air penghancur bergerak menuju Saito lagi. Namun, ruang dihadapan Henrietta meledak disaat berikutnya. Henrietta diterbangkan.

Louise telah melantunkan mantra peledak. 

"Meski kau seorang putri, aku juga takkan membiarkanmu menyentuh seujung jaripun dari familiarku." Dengan rambut acak-acakan, Louise mengucapkan itu dengan nada bergetar.

Sejak Ledakan ini, Tabitha dan Kirche, yang selama ini menonton pertunjukan dengan keterkejutan hampa, mulai ikut melantun mantra. Pertarungan dimulai. Saito terus menahan mantra sihir dengan pedangnya di hadapan Louise. Meski sihir tersebar kemana-mana, tiada yang terluka parah. Meski sihir Tabitha dan Kirche yang dilepaskan mampu menjatuhkan musuh, musuh sendiri menimpan kekuatan hati mereka, berharap melemahkan mereka sedikit demi sedikit dengan mantra titik.

Namun, kerjasama musuh sangat bagus, Sedikit demi sedikit, Saito dkk tersudut. Sebelum mereka menyadarinya, Louise, Saito dll dikepung dalam lingakaran nan ketat. Mereka tersudut dalam keadaan bertahan. Jumlah musuh terlalu besar, jadi tiada kesempatan untuk menyerang. Kirche melepaskan bola api lagi, membakar habis seorang penyihir.

"Apinya mangkus! Ia hanya perlu membakar!"

Kirche meluncurkan serangan api lainnya, Tabitha menukar serangan untuk langsung melindungi Kirche, Saito juga berubah menjadi pendukung. Mantra yang terbang pada Kirche diserap Derflinger. Para musuh menyembuhkan diri dan mencoba memotongnya dengan pedang angin. Namun, api Kirche membakar habis tiga lagi dari mereka...Musuh berlari menjauh dari rentang sihir Kirche lalu berkumpul lagi.

"Kalau begini, jika kau membakar mereka dengan api sedikit demi sedikit...kita mungkin punya kesempatan menang." ucap Kirche.

Namun, Langit berpaling dari mereka. Perlahan, Tabita menyadari sesuatu yang basah menerpa pipnya, Dengan wajah khawatirm dia menengadah ke langit, Sebuah awan besar dari hujan mengembang di atas mereka. Hujan yang mulai turun sebagai rintik-rintik, berubah menjadi deras dalam sekejap.

Henrietta berteriak, "Singkirkan tongkat kalian! Aku tak mau membunuh kalian!"

"Bangunlah, putri! Kumohon!" teriak Louise, tapi suaranya teredan suara air hujan yang turun semakind eras.

"Lihat! Hujan! Hujan! Mantra 'Air' akan selalu menang dalam hujan! Berkat hujan ini, kemenangan kami sudah diputuskan!"

"Benarkah?" teriak Saito tegang, Kirche, yang hendak mengatakan itu, mengangguk, menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Benar-benar ini, Sang Putri dapat melantunkan sebuah dinding air pada kita dnegan ini, Apiku tak guna sekarang. Angin Tabitha dan bahkan pedangmu tak bisa melukai mereka...Yah, kini sudah selesai. Kalah!" Ucap Louise dengan suara tertahan.

"Meski aku tak ingin melakukan ini, ayo kabur, Kita tak bisa mati disini."

"Tapi bagaimana kita bisa kabur? Kita dikeping, kan?"

Semuanya terdiam. lalu Deflinger dengan cemerlang bersuara. "aah."

"Apa?"

"Aku ingat. Mereka menggunakan sihir yang sangat mengenang..."

"Ya?"

"Saat aku melihat sang Arwah Air, ia menggelitik sesuatu di alam pikiranku...Tidak, rekan, maaf ~ Aku lupa. Aku ingat sekarang!"

"Apa?!"

"Sumber mereka dan kita adalah jenis sihir yang sama. Ngomong-ngomong, ia berbeda dari dasar sistem empat elemen agungmu - sihir dari 'hidup'"

"Apa?! Pedang legendaris! Berkatalah hanya bila kau punya sesuatu yang penting untuk dikatakan! Dasar tak bsia apa-apa!"

"Yang tak bisa apa-apa adalah kau. Meski menjadi pengguna void, menembakkan 'Ledakan' secara terus menerus adalah tolol, aku lihat dan ingat itu, Meski orang itu bisa jadi sangat kuat, jumlah kekuatan hati yang termakan besar sekali. Seperti hari ini, meluncurkan yang gede-gedean seperti itu bisa membutuhkan setahun untuk menembak lagi. Kita perlu kembang api yang beda hari ini."

"Terus?!"

"Baliklah halaman buku doa. Wahai Brimir, orang hebat. Dia pasti punya balasan yang bagus."

Lousie melihat-lihat halaman, seperti yang disuruh. Namun, selain 'Ledakan' ia kosong sebagaimana biasa. "Ini bahkan tiada tulisan apapun! Putih diatas putih!"

"Balik lebih jauh. Jika diperlukan, kau akan bisa membacanya."

Mata Louise menangkap halaman dimana huruf-huruf tertulis. Ia ditulis dalam aksara-aksara bahasa kuno."...Mantra Penangkal?"

"itu benar. 'Lepas'. Ramuan yag kau minum sebelumnya adalah alasan mengapa kau bisa membacanya."

Henrietta dengan sedih menggelengkan kepalanya. Meski dia menyuruh Louise untuk melarikan diri, dia tak menurut. Terlebih lagi, Louise melangkah mendekat ke pusat lingkaran yang ketat itu. Sambil menengadah ke atas, Henrietta mulai mengucapkan sebuah mantra. Aku tak ingin membunuh jika memungkinkan, Namun, jia kau tetap menahan langkahku...

Dengan cantrip aria Henrietta, air hujan mulai menderas. Satu demi satu penihir musuh dilingkupi armor air pada diri mereka. 'Nyala' lawan tersegel dnegan ini. Sebagai tambahan, Henrietta mengucapkan mantra lain. Mantra Wales bergabung dengannya. Wales mengamati Henrietta sambil tersenyum dingin. Meski dia menyadari kurangnya kehangatan, hati Henrietta tetap mersakan pasnas yang berembun.

Keduanya dikelilingi topan air. 'Air', 'Air','Air', dan 'Angin','Angin','Angin',

Kekuatan keenam. - air dan angin.

Peniyihir segitiga biasanay tak bisa membuat mantra kuat semacam ini. Untuk mengatakan tak pernah, bukanlah sebuah plebih-lebihan, Namun, darah terpilih dari keluarga kerajaan memungkinkan itu. Hanya keluarga kerajaan yang bisa melakukan mantra segi enam. Mantra gabungan mereka meningkat menjadi ukuran yang sukar dipercaya. Kedua segitiga bersentuhan, menciptakan sebuah puyuh besar dari yang keenam.

Puyuh itu bagai tsunami. Jika kena, ia bisa menerbangkan sebuah benteng sekalipun. Suara lantunan Lousie bercampur dengan suara hujan. Dibelakang punggung Saito, mantra Louise dapat dilantunkan dengan nyaman. Bagi Louise, tiada yang mustahil hari ini. Dia terus memusatkan kekuatan hatinya sambil mengucapkan aksara-aksara kuno secara bergantian dengan mulutnya.

"Apa yang slaah dengan gadis ini?" tanya Kirche sambil tersenyum.

"Aah, dia hanya bertingkah sepertis ebuah legenda sekarang." Saito mencengkram pedangnya dan menjawab dengan nada bercanda. Mendnegar Louise melantunkan sebuah mantra 'Void' memberinya keberanian. Keberanian yang membuatnya tersenyum. Keberanian yang bisa merubah kematian jadi candaan.

"Jadi. Ini bagus begitu. Namun, bila 'Legenda' itu tak paling tidak mengucurkan sesuatu, kita tak bisa menang melawan puyuh itu."

Puyuh air raksasa yang berputar-putar di sekeliling Wales dan Henrietta mengembang cepat. Lantunan sunyi Louise terus berlanjut. Tepat seperti yang diharapkan dari 'Void'. Ia panjang sebagaimana biasanya.

"Ini buruk. Mereka lebih cepat." gumam Deflinger.

"Terus bagaimana?"

"Kau seharusnya tahu apa yang harus dilakukan. Adalah tugasmu untuk menghentikan puyuh itu, Gandálfr.”

"Tugas..apa?" wajah Saito mengernyit. Namun, dia tak takut. Keberaniannya yang membaja memenuhi seluruh tubuhnya.

"Tidak, aku pikir-pikir,"

"Apa?"

"Bukankah kau ketakutan oleh puyuh yang sedemikian besar?"

"Mugkin ya. Kau slaah paham, Gandálfr. Tugasmu bukan menyerang musuh tapi menjaga tuanmu selama mantra dilantunkan. Hanya sgitu tugasmu."

"Tapi itu tak mudah."

"Kau mendapatkan keberanian saat mendengar mantra tuanmu, Wajahmu memerah, kau ingin tertawa keras-keras, detakmu semakin cepat. Ini semua ada sebabnya."

"Aku serahkan ini padamu." gumam Kirche.

Tabitha mengamati wajah Saito.

"Kemenangan mudah." gumam Saito, "Aku adalah familiar si Void."

Mantra Wales dan Henrietta sudah sempurna. Puyuh raksasa dari air yang berkobar terbang menuju Saito dkk, Meski besar, kecepatannya mengejutkan. Ia bagai sebuah benteng air. Benteng air yang bakal menyapu sekelilingnya dengan kejam dan menelan mereka. Sambil mencengkram Derflinger, Saito menyerbu maju menuju puyuh bagaikan langkah penari dan mendorongkan Derflinger pada inti puyuh air yang memutar.

Meski dia hampir tertelan, dia berdiri tegak pada kakinya. Nyeri menjuluri tubuhnya. Dia tak bisa bernapas. Air dengan kejam menghantamnya, merobek-robek kulitnya. Namun, Saito bertahan. Kukunya tercabut. Gendang telinganya robek. Alisnya teriris, nyeri berdenyut melalui bola matanya. Dia tak bisa berapas, Lengan kanannya melepas pedang begitu sendinya patah. Derflinger tertelan air itu.

Tepat saat semuanya tampak bakal runtuh, Louise menyelesaikan mantranya. Meski dia tak bisa mendengar maupun melihat apa-apa, Saito bisa merasakannya.

"Akhirnya, dasar." gumam Saito yang lalu pingsan. ______________________

Di hadapan mata Louise, yang menyempurnakan mantranya, sebuah puyuh raksasa mengamuk. Namun, itu tak mencapainya. Saito berdiri dianta topan itu, dan dia bisa melihat Saito mati-matian menahan nyeri. Akhirnya Saito kalah pada kekuatan alam yang mengamuk dan rebah ke tanah sebelum air terjun raksasa itu meninggalkan celah kecil didalamnya

Louise menggigit bibir, Melalui celah itu, dia arahkan 'Sihir Penangkal' pada musuh. Sekeliling Henrietta berubah jadi cahaya bersinar nan kemilau. Denagn sebuah dug, tubuh Wales, yang berdiri di sebelahnya, rebah ke tanah, Meski Henrietta mencoba berlari menyongsongnya, dia pingsan sebagai bayaran mantra yang memakan seluruh kekuatan hatinya dan terantuk ke tanah.

Seketika, suasana dilingkupi keheningan.


Epilog[edit]

Henrietta pingsan sesaat, tapi dia bangun karena sebuah suara yang memanggil-manggil namanya. Louise tengah menepuk-nepuknya, khawatir. Hujan telah berhenti. Rerumputan dekat sana basah dan diselimuti udara dingin. Bagaikan pertarungan keras yang baru saja tadi hanyalah sebuah dusta, pikir Henrietta.

Namun, ia bukanlah sebuah dusta. Mayat dingin Wales terbaring disisinya. Mayat-mayat dingin lainnya betebaran di sekelilingnya, Ini akhir dari yang diberikan hidup palsu oleh Cincin Andvari. "Mantra Penangkal" Louise menghilangkan nyawa palsu dan mereka kembali ke keadaan asli mereka, meski Henrietta tak tahu alasannya. Hanya saja, dia merasa semua yang perlu kembali telah pada keadaan seharusnya, Dan, itu sudah cukup untuk sekarang.

Dia ingin berfikir ini sebagai sebuah mimpi. Tapi, semuanya adalah kenyataan bagai mimpi buruk. Dan dia sendiri, telah mencoba melemparkan segalanya dan menyerahkan dirinya pada mimpi buruk itu. Henrietta menutupi wajahnya dengan tangannya, Kini, dia tak punya hak untuk memegangu mayat Wales. Apalagi wajah untuh menghadapi Louise di hadapannya, yang telah mencintainya sejak mereka masih kecil.

"Apa yang baru saja kulakukan?"

"Apa kau sudah bangun?" tanya Louise pada Henrietta dengan nada sedih nan dingin. Tiada tanda-tanda kemarahan. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan, tapi ini Louise yang biasa.

Henrietta mengangguk."Apa yang harus kukatakan untuk meminta maaf padamu? Apa yang harus kuucapkan untuk meminta ampun dari orang-orang yang kusakiti? Kumohon, katakan padaku, Louise."

"Untuk sekarang, kekuatan putri-sama diperlukan."

Louise menunjuk Saito yang terkapar.

"Luka-luka yang mengerikan."

"Dia telah ditelan puyuh itu, Mohon sembuhkan dia dnegan 'air'mu."

Henrietta dan melantunkan sebuah aksara, Dengan kekuatan tongkat keluarga kerajaan yang menyimpan kekuatan 'air', luka Saito mulai menutup. Mata Saito terbelabak saat dia menyadari yang menyembuhkan lukanya adalah Henrietta.

"Aku tak punya kata apapun untuk meminta maaf. Apa ada orang lain yang terluka?"

Ada banyak ningrat yang selamat dari skuad hippogrif. Henrietta menyembuhkan luka mereka satu-satu. Lalu...tanpa peduli apakah teman atau musuh, mayat-mayat dibawa ke lindungan sebuah pohon. Bahkan bila mayat-mayat ini akan dikubur, mereka tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Louise dll...bahkan Kirche, bahkan Tabitha, tak bisa menyalahkan Henrietta. Henrietta tengah bermimpi buruk. Sebuah mimpi manis nan menggoda. Jika mereka harus membenci seseorang, pastilah yang memberi Wales nyawa palsu dan mengambil untung dari hati Henrietta dengan cara ini. Tak bisa dikatakan Henrietta tak berdosa, tapi adalah kebenaran jua bahwa ada sesuatu yang mengambil untung dari dosa itu.

Henrietta mencoba menggerakkan Wales pada akhirnya. Saat itu...Henrietta melihat sesuatu yang samasekali tak bisa dipercayainya...Mungkin cinta menyedihkan Henrietta mencapai entah dimana...Mungkin, seseorang dengan lembut, untuk menghapus dosanya, dengan lembut melepas sisik kehidupan...Saat Henrietta menyentuh pipi Wales, matanya perlahan membuka.

"...Henrietta? Apa itu kau?"

Sebuah suara yang lemah dan pudar, tapi itu tak diragukan lagi adalah suara Wales, Bahu Henrietta berguncang. Jika mukjizat ada di halkegenia, waktu-waktu seperti ini adalah salah satunya. Itu karena tiada yang bisa menjelaskan alasan mengapa cahaya kehidupan yang seharusnya menghilang diberikan nyala redup. Mungkin saat 'Sihir Penangkal' Louise menyapu nyawa palsu tersebut, napas kehidpan Wales yang seidkit menyalakan apinya.

Adalah mungkin bahwa perasaan Henrietta pada Wales memanggil kasih Tuhan. Tiada yang tahu mengapa. Hanya dengan itu, Wales membuka matanya, Itulah kenyataannya.

"Wales-sama..." panggil Henrietta pada cintanya, Dia mengerti. Kali ini, Wales ini adalah yang sebenarnya. Bukan sebuah boneka yang digerakkan nyawa palsu, tapi dia yang sebenarnya. Airmata mengalir dari mata Henrietta.

"Oh, apa ini, Begitu lama aku menunggu-nunggu saat ini..."

Gerombolan itu segera mendatangi mereka dengan wajah terkejut. Pada saat itu, Henrietta melihat bahwa noda merah sudah menyebari kaos putih wales, Luka yang disebabkan tusukan Wardes yang ditutup nyawa palsu telah terbuka. Panik, Henrietta melantunkan sebuah mantra untuk menutup luka itu. namun...kenyataan memang kejam. Sihir Henrietta tak bekerja pada luka itu, Dengan luka yang tak menutupm noda darah terus membesar.

"Wales-sama, jangan....Tidak, mengapa..."

"Tiada gunanya...Henrietta. Luka ini takkan menutup lagi. Tubuh yang telah mati sekali takkan hidup lagi. Aku mungkin telah kembali sebentar, sebentar saja. Mungkin, ini kekuatan Arwah Air."

"Wales-sama, tidak, tidak...Apa kau berencana meninggalkanku sendirian lagi?"

"Henrietta. Aku punya satu harapan terakhir."

"Jangan katakan sesuatu seperti 'terakhir'."

"Aku ingin pergi ke Danau Ragdorian itu, tempat dimana aku bertemu denganmu pertama kali. Ada sesuatu yang ingin aku kau janjikan disana."

Tabitha membawa naga anginnya, Saito dan Kirche menaruh Wales di punggungnya. Setelahnya, Henrietta, yang menaiki naga angin, menempatkan kepala wales di pangkuannya dan mendukung tubuh Wales agar tak jatuh. Naga angin itu mengembang ke atas, membawa kelompok itu. Bertujuan ke Danau Ragdorian, si naga angin terbang lurus kesana. __________________

Di Danau Ragdorian, Wales menyenderkan tubuhnya pada Henrietta begitu mereka berjalan di tepian. Langit mulai memutih. Pagi sudah dekat.

"Sangat penuh kenangan."

"Ya."

"saat kita pertamakali bertemu, kupikir kau tampak bagaikan seorang peri. Lihat, kau mandi di sekitar sini."

Wales menunjuk satu titik. Dia mungkin tak lagi bisa melihat. Titik itu sangat berbeda dari yang ada dalam ingatan Henrietta. Namun, Henrietta mengangguk. Dengan sepenuh tenaga dia berusaha menahan tangisannya,

"Oh, kau ahli sebagaimana selama ini."

"Pada waktu itu, inilah yang kupikirkan. Jika saja kita lemparkan segalanya seperti ini. Kemanapun tak apa-apa. Tempat tak masalah. Adalah cukup untuk memiliki hanya sebuah rumah kecil dengan sebuah taman. aah, hamparan bungan juga diperlukan. Sebuah hamparan bunga tempat kau menumbuhkan bunga-bunga."

Sepertinya tenaga disedot dari kaki Wales tiap langkah yang ditempuhnya.

"Hei, aku selalu ingin menanyaimu. Pada saat itu, mengapa kau tak ucapkan kata-kata lembut itu? mengapa kau tak katakan kau mencintaiku? Akus elalu menantikannya."

Wales tersenyum. "Aku takbisa mengucapkan kata-kata tersebut, itu akan membuatmu tak bahagia."

"Apa-apaan katamu? adalah kebahagiaanku untuk dicintai olehmu."

Wales lalu terdiam. Henrietta merasakan nyawa memudar dari tubuh Walesnya yang tercinta sedikit demi sedikit. Baginya untuk bertahan begitu lama, pasti itu sebauh mukjizat. Namun, dia tak bisa menangis. Dalam waktu yang tersisa, dia ingin bertukar kata dengannya sebanyak mungkin. meski begitu, suaranya bergetar.

Mengeluarkan segenap tenanganya, wales berkata. "Bersumpahlah, Henrietta."

"Aku akan bersumpah apapun. Apa yang harus kusumpahkan? Mohon bilang padaku."

"Untuk melupakanku. Bersumpahlaj kau akan melupakanku dan mencari lelaki lain untuk dicintai. Aku ingin mendengar kata-kata itu. Di Danau Ragdorian ini, Di hadapan Arwah Air, Aku ingin kau bersumpah itu."

"Jangan katakan yang tak mungkin. Aku tak bisa bersumpah semacam itu. Tak mungkin bagiku bersumpah sebuah dusta." Henritta membeku di tengah-tengah. Bahunya berguncang,

"Kumohon, Henrietta, Kalau tidak, rohku mungkin berkeliaran selamanya, Apa kau ingin aku tak bahagia?"

Henrietta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Aku pasti tak mau."

"Tiada waktu lagi. Tiada waktu lagi yang tersisa. Aku sudah...Karenanya, kumohon..."

"Kalau begitu, kalau begitu...bersumpahlah. Bersumpahlah kau mencintaiku. Kini, kau bisa bersumpah itu, kan? Jika kau bersumpah begitu, maka aku pun akan bersumpah."

"Pasti."

Henrietta, dengan sebuah wajah penuh kesedihan, mengutarakan kalimat sumpahnya. "...Aku bersumpah. Untuk melupakan soal Wales-sama.Dan juga, untuk mencari orang lain untuk dicintai."

Wales berkata dengan wajah puas. "Terima kasih."

"Berikutnya giliranmu. Kumohon."

"Pasti. Bawa aku ke sisi air."

Henrietta membawa Wales ke tepi air. Mentara pagi menyembul melalui ruang diantara pepohonan, dan dengan keindahan yang tak terperikan, Danau Ragdorian berkilauan. Kaki mereka kebasahan dalam air. Henrietta memegangi bahu Wales. Kini katakan. Untuk mencintaiku. Tak apa-apa untuk hanya saat ini. Aku akan memeluk saat ini selamanya. Tak peduli apa yang kau ucapkan. aku akan memeluknya. Mengerti?"

Namun, Wales tak menjawab.

"Wales-sama?"

Henrietta menggoyangkan bahu Wales. Tapi8, Nyawa Wales telah melayang. Henrietta perlahan-lahan mengingat hari-hari disini, saat dia bertemu Wales untuk pertama kalinya. Bagaikan mengambil ingatan satu demi satu dari kotak barang berharga dan memeriksanya satu-satu. Hari-hari yang menyenangkan dan ceria takkan lagi datang. Kalimat sumpah yang dipertukarkan di danau ini tak bisa lagi dijaga.

"Orang yang jahat," bisik Henrietta sambil memandang lurus ke depan.

"Hingga akhir, kau tak pernah ucapkan kalimat sumpah itu."

Pelan-pelan, Henrietta menutup matanya. Dari kelopak matanya yang tertutup, sebuah aliran airmata terbentuk menggarisi pipinya. ____________

Saito yang menonton keduanya dari bayangan, tengah memegangi bahu Louise. Louise mengamati Henrietta dalam diam, menahan suaranya selama menangis. Sambil memegangi bahu Louise, Saito berpikir...Apa aku benar?...Pada waktu itu, apa menyilahkan Henrietta pergi, seperti yang dikatakannya...akan membuatnya lebih bahagia? Bahkan bila itu cinta palsu...Jika orang yang sebenarnya percaya itu nyata, bukankah itu baik-baik saja?

Sambil memegangi bahu Louise, yang tengah menangis seperti anak kecil, Saitoteus berfikir soal itu. Aoa yang benar, dan apa yang salah...Bahkan setelah ini, kemungkinan ada banyak hal lain yang bakal membuatnya khawatir, pikir Saito mendalam. Bahkan setelah ini, ada kemungkinan datangnya saat-saat dimana dia tertekan untuk membuat keputusan seperti saat ini.

Saito memeluk Louise erat. Setidaknya, saat waktu itu tiba...untuk dia, dia sendiri, untuk tak goyah, Saito berdoa. __________

Henrietta membaringkanmayat Wales dalam air. Lalu dia sedikit mengayunkan tongkatnya, dan melantunkan sebuah aksara. Air danau bergeral, pelan-pelan membawa tubuh Wales kedalam air, dimana ia tenggelam. Airnya tembus pandang hinga sanagt dalam, dan mayat Wales yang tenggelam bisa dilihat dengan jelas. Bahkan setelah dia tak bisa melihat Wales lagi, Henrietta tetap mematung.

Bahkan saat permukaan danau memantulkan cahaya matahari dan mulai menyebarkan cahaya tujuh warna prismatik di sekitara situ...Henrietta terus memandang untuk selamanya.



Kembali ke Halaman Utama