Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2 - Saito Pergi Berbelanja di Kota yang Penuh Keramaian[edit]

Wardes bangun. dia mencoba bangkit dan bermuka masam. Saat clingak-clinguk(wonder ni susah nerjemahinnya, tergantung situasi), dia melihat bandana yang dilingkarkan pada tubuhnya. Dimana aku? Aku yakin aku kena sihir dari mesin terbang yang dipiloti Gandálfr dan pingsan. Dia melihat sekelilingnya. Ia kamar sederhana dengan dinding dan lantai kayu. Ada liontin di meja, yang dia pakai di lehernya. Melihat sebuah jug, dia mencoba meraihnya. Tapi dia tak bisa mencapainya, karena seluruh tubuhnya masih nyeri/ Pada saat itu, pintu terbuka dan dia melihat sebuah wajah yang biasa.

"Oh, kau sudah sadar."

"Tanah Ambruk? Kau..."

Fouquet menempatkan sepiring sup di meja. Wardes mencoba bangkit lagi dan merasakan sesetruman nyeri di sekujur tubuh. "Agh.."

"Kau masih tak bisa bergerak. Badanmu ditembus rentetan peluru di sekujur tubuh. Ia menghabiskan seluruh penyihir elemn air untuk membacakan mantra 'penyembuhan' selama tiga hari tiga malam untuk menyembuhkanmu."

"peluru?"

Wardes membuat wajah curiga.

"Apa aku ditembak pistol? Inikah kekuatan pistol?"

Pistol adalah senjata yang digunakan jelata. Tekanan dari percikan pelatuk, menekan sebuah peluru bundar keluar dari senjata. Meski kekuatannya dalam jarak dekat melebihi dari busur, keharusan mengisi peluru dan bubuk mesiu secara terpisaj membuatnya sulit untuk menembak cepat. Sebagai tambahan, akurasinya tak lebih baik dari panah. Kelebihan utama dari pistol adalah kau tak perlu latihan tambahan untuk menggunakannya. Ia bukanlah senjata hebat bagi seorang penyihir.

"Benarkah? Kau bahkan tak tahu senjata yang mengalahkanmu? Oh orang yang acuh."

Sambil berkata begitu, Fouquet menyendok sup dan membawanya ke mulut Wardes.

Wardes berfikir, ini pasti mesin terbang aneh yang digunakan Gandalfr... Tak hanya ia bisa terbang cepat, tapi ia juga dilengkap pistol yang bisa menembak terus-terusan. Dan lalu, dalam sekejap, sebuah pusaran cahaya muncul...Seluruh kloter Albion telah dihancurkan dalam sekedip mata oleh cahaya itu...Apa cahaya yang kulihat? Sesuatu pasti tengah terjadi Halkegenia. Aku bisa mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena kejadian ini meungkin berhubungan dengan itu entah bagaimana...Keinginanku untuk mendapatkan kemampuan Louise. Dan kemampuan manipulasi sihir aneh milik Kaisar Suci Cromwell...Bahkan jika dia akan mengikuti Cromwell dan pergi ke Tanah Suci, rencanya mungkin tak berhasil, mengingat seluruh kloter dihancurkan hanya oleh satu orang.

"Hei, supnya dingin nih."

kata Fouquet, dengan nada marah, pada Wardes. Dia hilang dalam alam pikirannya sendiri.

"Dimana ini tempat?" pinta Wardes, tak sekalipun melirik supnya.

"Albion. Ini kuil di pinggiran Londinium, dimana aku bertugas dulu. Baguslah kau bisa kembali dengan utuh, kau harus berterima kasih padaku untuk itu."

"Albion? Apa yang terjadi dengan sebuan militer?"

"Aah, kukira kau tak tahu keadaan karena kau pingsan. Ia kegagalan sempurna. Setelah pengahncuran kloter, Tentara Albion memutar arah. Ampun deh. 'Kemengan Pasti' apanya. Jika kau tak bisa mengalahkan Tristain, yang jumlahnya kau lebihi berkali-kali lipat, kau mungkin kesulitan mengambil kembali Tanah Suci."

"Kutak tahu kau bergabung dengan prajurit penyerbu juga. Kau seharusnya bilang padaku soal itu."

Fouquet terheran-heran. :Aku memberitahumu kok! Aku bertugas disana sebagai unit pemandu karena tentara Albion tak biasa dengan geografi negara asing! Sepertinya kau jenis yang melupakan hal yang tak menarik bagimu!"

"Begitukah> Aah, itu benar. Maaf."

Lalu Wardes bergumam"Aku lapar, berikan aku sedikit sup."

Meski Wajah Fouquet berubah muram dan kesal, sup tetap saja dikirim ke mulut Wardes. "Apa hanya 'lapar' yang bisa kau ucapkan? Aku dengan cepat merawatmu, segera menyembuhkanmu dengan mantra 'Air'ku. Setelah itu, dengan menggunakan relasi ilegalku saat aku jadi pencuri, aku entah bagaimana dapat kapal untuk Albion, dan kabur dengan aman. Beneran dah, seharusnya aku tak menyelamatkan orang yang tak tahu terima kasih ini!"

Wardes menunjuk meja. "Bisakah kau membawa liontinitu padaku?"

Liontin ituberupa loket perak. Fouquet membawanya pada Wardes.Dia mengambilnya dan mengenakannyadi leher.

"Apa ia sangat penting bagimu?"

"Ga begitu juga, tapi ia menenangkanku."

"Dia wanita yang sangat cantik."

Saat Fouquet menonton Wardes dengan senyum dikulum, pipi Wardes memerah.

"Kau melihatnya?'

"Ya, karena kebiasaan. Kau memegangnya erat dalam tidurmu, jadi aku penasaran."

"Sebagaimana yang diharapkan dari seorang pencuri."

"Jadi ceritakanlah, siapa orang itu? Yang penting bagimu yang lain?" tanya Fouquet pada wardes sambil membungkuk kedepan.

Wardes berkata dengan nada tak senang. "Dia ibuku."

"ibumu? Penampilanmu menipuku, ku tak tahu kau begitu manja ke ibumu. Kau hidup dengannya?"

"Tak lagi. Selain itu, ia bukan urusanmu."

"Setelah merawatmu, itukah sikapmu sebagai balasannya?"

Pada saat itu, pintu terbuka denagn sebuah 'clank'. Itu Cromwell, ditemani Sheffield. Melihat wardes, dia tersenyum tipis. Senyum itu tak pernah berubah. Seperti boneka saja, pikir Wardes. Mereka mengalami kekalahan. Sebuah antukan tak terpikirkan pada langkah pertama dari ambisi Albion. Namun fakta itu tampak tak mempengaruhi Cromwell. entah dia benar-benar tegar atau optimis nan acuh. Itu sulit dikata.

"Sepertinya kau sudah sadar, Viscount."

"Aku minta pengampunanmu, Yang Mulia. Aku tak hanya gagal sekali, tapi dua kali."

"Tapi sepertinya kegagalanmu tak penting."

Sehffield, yang berdiri di sisi Cromwell, mengangguk, kemudian membaca gulungan parkemen yang tampak sebagai laporan, dan bergumam, "Sebuah bola cahaya muncul di langit dan menerjang kloter kita."

"Dengan kata lain, musuh menggunakan sihir tak diketahui untuk melawan kita. Ini adalah kesalahan perhitungan dan itu bukan kesalahan siapapun. Jika ada yang harus dipersalahkan...itu adalah kesalahan pimpinan untuk tidak menganalisis potenso perang musuh dengan tepat. Prajurit biasa sepertimu seharusnya tak dipersalahkan untuk itu. Kau seharusnya fokus pada penyembuhan kesehatanmu."

Cromwell menawarkan tangannya pada Wardes. Wardes menciumnya. "Aku berterima kasih atas kebaikan Yang Mulia."

Wardes teringat rambut pink blonde panjang Louise. Louise berada di mesin terbang itu. Sihir begituan tak pernah...Wardes telah melihat talenta Louise. Dia ingin memilikinya dalam tangannya sendiri...elemen yang digunakan Brimir sang Pendiri. Elemen yang hilang, 'Void'. Dia menggelengkan kepalanya. Cromwell mengatakan 'Void' adalah elemen yang mengendalikan kehidupan. Tapi bagaimana ia bisa menciptakan cahaya yang bisa mengalahkan seluruh kloter? Bahkan jika ia benar-benar sihir yang kuat, adalah sulit membayangkan bahwa Louise bisa mengendalikannya.

"Apa 'Void' sumber cahaya itu? Tapi 'Void' yang Yang Mulia bicarakan dan cahaya itu tampaknya berbeda jauh."

"Tiada yang bisa mengatakan mereka punya pengetahuan lengkap soal apa itu 'Void'. 'Void' adalah misteri besar."

Sheffield menyela. "Ia dibungkus di sisi lain sejarah yang gelap dan tua."

"Sejarah menyembunyikan banyak hal menarik. Satu kali, Aku ketemu sebuah buku yang menamakan salah satu perisai Pendiri sebagai Santo Aegis. Ia punya sedikit info mengenai 'Void'."

Cromwell berbicara seakan-akan tengah bersyair. "Sang Pendiri menciptakan matahari, untuk menynari bumi."

"Memang. Dulu tiada cahaya dalam matahari kecil itu."

"Misteri diatas misteri, aku merasa sakit, Terbangun juga buruk.<!> Apa iaya begitu, Viscount?"

"Ia sebagaimana yang kau katakan."

"Katanya tentara Tristain dipimpin Henrietta. Untuk alasan apa seorang putri yang masih mentah bertarung? Putri itu menggunakan 'Buku Doa Sang Pendiri'. Mungkin dia mengendus rahasia yang tertidur dalam Keluarga kerajaan."

"Apa rahasia yang tertidur dari Keluarga Kerajaan?"

"Keluarga Kerajaan Albion, Keluarga Kerajaan Tristain, dan Keluarga Kerajaan Gallia...mulanya satu. Dan rahasia Sang Pendiri dibagi diantara mereka. Bukankah begitu, Nona Sheffield?" bujuk Cromwell pada wanita di sebelahnya.

"Ia sebagaimana yang dikatakan Yang Mulia. Harta yang diberikan pada Keluarga Kerajaan Albion adalah 'Rubi Angin'...Namun, dimana Rubi Angin menghilang belum ditemukan. Ini akrena investigasi belum berakhir sampai saat ini."

Wardes mngawasi wanita itu dengan perasaan curiga. Karena wajahnya tersembunyi oleh tudung panjang, wajahnya tak mungkin terlihat. Meski orang-orang berpikir dia adalah sekretaris Cromwell...Dia tak memberikan kesan hanya sebagai sekretaris. Tiada sihir kuat yang terasa darinya, Namun, karena dia dipromosikan kesini oleh Cromwell, dia mungkin punya kemampuan khusus.

"Kini, Henrietta, seorang 'Wanita Suci' yang disembah, dinobatkan sebagai ratu." gumam Cromwell.

Sheffield berkata, "Pemerintahan kerajaan. Ratu negeri itu juga akan mendapatkan rahasia Keluarga Kerajaan."

Cromwell tersenyum. "Wales-san."

Wales, yang dihidupkan lagi oleh Cromwell, memasuki ruangan dari koridor.

"Kau memanggil, Yang Mulia?"

"Aku ingin memberikan rasa terimakasihku pada penobatan cintamu....sang Wanita Suci. Aku ingin dia datang ke istanaku di Londinium. Namun, perjalanan sepertinya bakal melelehkan jadi temani dia untuk menghapus kebosanan."

Wales menggumamkan, "Pasti" dengan nada datar.

"Jadi, Wardes-san. Jaga diri ya? Aku akan menyerahkan urusan mengundang sang 'Wanita Suci' ke pesta makan malam dan meyakinkan kedatangannya dengan selamat."

Wardes membungkuk. Cromwell dan yang lainnya meninggalkan ruangan. Fouquet bergumam acuh tak acuh. "Lelaki menjijikkan. Mengumpan seorang pecinta dengan cintanya yang telah mati bukanlah cara seorang ningrat."

Fouquet menambahkan, meski dia sendiri membenci para ningrat. "Lelaki itu bukan seorang ningrat. Belumkah kau mendengarnya? Dia hanya seorang pendeta biasa pada mulanya."

Lalu, Wardes menghirup napas keras-keras.

'Ada apa?"

"Aku tak bisa tenang. Jika saja lukaku sudah sembuh...Aku bisa mengerjakan tugasku daripada bermain dengan mayat..."

Setelah itu, Wardes dengan rasa menyesal mengubur wajahnya di tangannya.

"Sial! Aku...Apa aku lemah? Bukankah Tanah Suci terlepas lagi..."

Fouquet tertawa sambil tersenyum, dan menempatkan tangannya pada bahu wardes. "Kau adalah seorang elaki lemah...Yah, kutahu itu sejak awal."

Kemudian, Fouquet mendekatkan wajahnya pada wajah Wardes dan menempelkan bibirnya pada bibir Wardes. Sambil perlahan menarik bibirnya kembali, Fouquet bergumam. "Kini, beristirahatlah. Aku tak tahu apa yang kau sembunyikan...Namun sesekali kau harus beristirahat juga."


Dalam istana Kerajaan Tritain, Henrietta tengah menunggu tamunya. Meski dia seorang ratu, tak pernah dia duduk di tahta. Dia lebih banyak mengerjakan pekerjaan seorang raja. Setelah penobatan selesai dan dia menjadi ratu, Jumlah hal-hal yang perlu dikerjakan untuk urusan domestik dan asing bertambah dengan hebat. Ada yang meminta pinjaman, ada yang memintanya secara baik-baik, dan Henrietta, sejak pagi hingga malam, selalu bertemu orang. Dan, karena perang, ada lebih banyak tamu dari biasanya. Karena dia selalu memaksakan diri untuk menunjukkan kehormatannya, dia menjadi sangat kelelalahan. Meski dibantu Mazarini, dia harus menjawabnya sendiri. Sudah terlalu terlambat untuk Henrietta untuk kembali menjadi seorang putri.

Namun...untuk tamu yang baru saja datang ini, dia tak menunjukkan maupun membuat ekspresi maupun sikap begitu. Sebuah suara tertahan dari luar ruangan memanggil, memberitahu Henrietta soal kedatangan sag tamu. Tepat setelah itu, pintu terbuka. Adalah Louise yang berdiri disana, yang dengan hormat menundukkan kepalanya. Disebelahnya, sosok Saito terlihat. Bahkan sekarang, sebuah alat penahan untuk menjinakkan binatang buas dipasang pada badannya.

"Louise, aah, Louise!"

Henrietta berlari menuju mereka dan memeluk Louise erat. Dengan wajah menengadah, Louise berkata. "Putri-sama...Tidak, kini, saya harus memanggil anda Paduka ."

"Aku tak suka bila kau mengucapkannya begitu resmi, Louise Francoise. Bukankah kau temanku yang tercinta?"

"Maka, Saya akan memanggil anda putri-sama, sebagaimana biasanya."

"Mohon lakukan itu untukku, Aah, Louise, aku tak ingin jadi seorang ratu. Ia dua kali lebih membosankan, tiga kali lebih mengikat, dan 10x lebih mengkhawatirkan." ucap Henrietta, yang tampak bosan.

Setelahnya, Louise diam, menunggu untuk titah Henrietta. Pagi ini, kurir dari Henrietta datang ke Akademi Sihir. Mereka naik kereta yang disediakan Henrietta dan datang kesini. Sepertinya aku dipanggil untuk alasan tertentu. pikir Louise. Apa ini tentang 'mantra 'Void'? Tapi, dia sepertinya enggan berbicara soal itu. Henrietta hanya bertatapan dengan matanya, tak berbicara. Akhirnya, Louise berkata. "Saya harus memberikan selamat atas kemenangan ini." Louise mencoba menemukan topik yang tak sulit bagi Henrietta.

"Kemenangan ini seluruhnya berkat kau, Louise."

Lousie memandangi wajah Henrietta dengan wajah kaget.

"Kau tak bisa menyembunyikan rahasia yang begitu hebat dariku, Louise."

"T-Tapi, aku tak melakukan apapun..." Louise tetap mencoba berpura tak tahu-menahu.

Henrietta tersenyum dan menyerahkan laporan, yang ditulis pada parkemen, kepada Louise, Setelah membacanya, Louise mendesah. "Anda bahkan memeriksa itu?"

"Yah, karena itu hasil perang, adalah lebih baik untuk tidak melewatkan apapun."

Setelahnya, Henrietta menghadapi Saito, yang diacuhkan hingga sekarang. Di perjalanan, Saito mendengar dari Louise bahwa Henrietta telah menjadi seorang ratu, jadi dia merasa sangat tegang.

"Untuk mengendalikan mesin terbang negeri asing yang menghancurkan korps ksatria naga musuh, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya."

"Tidak...itu tidak seperti itu."

"Kau adalah pahlawan negeri ini. Jadi kini aku memberikan kau glar keningratan..."

"Itu sangat salah! merubah seekor anjing menjadi seorang ningrat!"

"Anjing?"

"T-Tidak...itu bukan apa-apa." gumam Louise dengan wajah memerah.

"Maka, aku akan menghadiahimu gelar seorang 'teman'."

Saat Henrietta mengatakan ini, Saito mengucapkan, 'Haa'. Lalu dia mengingat perkataan Kirche yang dulu, Bahwa di Tristain, jika kau bukan seorang penyihir sejak lahir, maka kau tak bisa jadi seorang ningrat. Tapi, pikirannya soal 'teman' ini tak keluar dari mulutnya. Yah, bagaimanapun juga, saat kembali ke Jepang, seluruh gelar akan kehilangan makna mereka.

"Luar biasa...hasil perang yang luar biasa, Louise Francoise. Perang berakhir berkat kau dan familiarmu. Tidak pernah ada kemenangan seperti ini sepanjang sejarah Halkegenia. Dengan penuh kesungguhan, Lousie, kau seharusnya diberikan tanah seukuran negara kecil dan gelar sebagai duchess untuk ini. Dan familiarmu dianugrahi gelar 'teman'.

"Aku t-tak perlu apa-apa...perbuatan ini adalah familiarku..." ucap Louise enggan.

"Bukankah kau penyebab cahaya itu, Louise? Cahaya itu disebut sebuah mukjizat istana, namun aku tak percaya mukjizat. Cahaya itu datang dari mesin terbang yang kau naiki. Bukankah kau penyebabnya?"

Henrietta menatap Louise dalam-dalam. Mustahil untuk menyembunyikan segalanya dengan ini. dan bagaimana dengan Saito? Meski dia terus-terusan menatik lengan baju Louise, mencoba menyela dnegan "Ngomong-ngomong...", Louise perlahan-lahan mulai berbicara soal Buku Doa sag Pendiri. Dia tak bisa berbicra mengenai itu dengan orang lain. Adalah terlalu beresiko untuk melakukan itu. Perlahan-lahan...Louise berbicara pada Henrietta. Dia mengambil "Ruby Air' milik Henrietta, menempatkannya pada halaman dari Buku Doa sang Pendiri dan sebuah tulisan kuno muncul. Saat dia membacanya pada saat itu, dia membacakan mantra sebentuk cahaya.

"Buku Doa sang Pendiri ditulis dengan elemen 'Void'. Apakah ini benar, Putri-sama?"

Henrietta menatap menembus bahu Louise. "Kau tahu Louise? Brimir sang Pendiri memberikan cincin pada tiga anak dari tiga keluarga kerajaan untuk dijaga sebagai pusaka. Tristain mendapatkan "Rubi Air' dan Buku Doa sang Pendiri, dimana keduanya kini milikmu."

"Err..."

"Ia telah diwarisikan seperti ini diantra keluarga-keluarga kerajaan. Keluarga-keluarga kerajaan inilah yang mewarsi kekuatan sang Pendiri."

"Saya bukanlah seorang keluarga kerajaan."

"Apa maksudmu Louise? Leluhur Duke de La Vallière merupakan anak ilegal raja. Dan kau adalah anak Duke itu."

Louise kaget.

"Engkau juga mewarisi darah Keluarga Kerajaan Tristain. Dan itu sucudh sudah cukup bagus."

Setelahnya, Henrietta mengambil tangan Saito. Saat melihat tanda, dia mengangguk. "Apa ini tanda dari 'Gandálfr'? Tanda familiar yang Brimir sang Pendiri gunakan untuk perlindungan selama membacakan mantra?"

Saito mengangguk. Sir Osmond juga mengatakan hal yang sama.

"Jadi...Saya benar-benar seorang pengguna 'Void'?"

"Kupikir memang begitu."

Louise mendesah.

"Jadi kau mengerti kan mengapa aku tak bisa menganugrahimu, Louise/"

Saito, yang tak mengerti, menanyakan kenapa. "kenapa?"

Henrietta menjawab dnegan wajah kelabu. "Jika aku memberikan penghargaan, pelayanan rahasia Louise akan tersingkap seterang siang bolong. Itu berbahaya. Kekuatan Louise terlalu besar. bahkan satu negeri takkan bisa menangani kekuatan semacam ini. Jika ada musuh yang tahu rahasia Louise, mereka akan tergila-gila padanya dan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Aku sendiri akan menjadi sasaran musuh,"

Setelah itu, Henrietta mendesah. "Musuh bukanlah satu-satunya pihak yang tertarik pada 'Void'. Bahkan didalam istana...mereka yang tahu kekuatan itu, akan selalu mencoba menggunakannya demi kepentingan mereka sendiri."

Lousie mengangguk dengan mata ketakutan.

"Karena itulah, Louise, kau seharusnya jangan berbicara dengan siapapun soal kekuatan itu. Rahasiamu aman bersamaku."

Lalu Lousie berfikir sesaat...

Dan, dengan cara perlahan yang memperlihatkan keteguhannya, dia buka mulut. "Jangan khawatir Putri-sama. Aku ingin menunjukkan 'Void'ku untuk anda."

"Jangan...tidak apa-apa. Kau harus melupakan kekuatan itu sesegera mungkin. Dan jangan pernah menggunakannya lagi."

"Tapi...putri-sama, aku ingin membantu anda dengan kekuatan yang dianugrahkan padaku!"

Tapi, Henrietta menggelengkan kepalanya. "Ibu berkata, kekuatan hebat membuat orang gila. Siapa yang bisa yakin bahwa kau, setelah mendapatkan kekuatan 'Void', takkan ke arah sana?"

Louise dengan bangga mengangkat kepalanya. Itu wajah seseorang yang telah memutuskan misinya. Tapi, wajah itu 'berbahaya'. "Aku selalu ingin mendedikasikan kekuatan dan tubuhku pada putri-sama dan ibu pertiwi. Aku diajar begitu, aku percaya itu, dan aku tumbuh dengannya. Namun, sihirku selalu gagal. Sebagaimana yang anda tahu, aku dijuluki 'Zero'. Dibelakang cemoohan dan hinaan, aku selalu diguncang penyesalan."

Louise dengan jelas mendeklarasikan. "Tetapi, Tuhan memberikan kekuatan semacam ini padaku. Aku sendiri percaya diri dalam menggunakannya. Namun, bila anda berkata bahwa paduka takkan memerlukannya, maka adalah perlu untuk mengembalikan tongkatku pada Paduka."

Henrietta tersentuh oleh deklarasi Louise. "Louise, aku mengerti, Kau masih tetap...Sahabat terbaikku. Dari saat-saat dimana kau membantuku di danau Ragdorian. Kau dihukum demi aku..."

"Putri-sama..."

Louise dan Henrietta saling berpelukan dengan erat. Saito, yang selalu ditinggal, mengayunkan kepanaya dnegan fikiran kosong. Louise terlalu baik untuk berjanji tanpa berfikir dulu...pikirnya, meski dia tak menyatakannya. Meski adalah hal baik untuk membantu Henrietta...tapi bagaimana dengan perjalanan ke timur untuk menemukan jalan untuk mengembalikanku ke rumah... Dengan membantu Henrietta, sepertinya mereka takkan kesana.

"Setelah ini, aku juga akan membantu Louise."

"Itu alami, putri-sama."

"Ini aku berikan kembali Buku Doa sang Pendiri padamu. Tapi, Louise, berjanjilah padaku. Jangan bilang siapa-siapa bahwa kau seorang pengguna 'Void'. Dan jangan menggunakannya sembarangan juga."

"Pasti."

"Setelah ini, kau akan jadi wanita senatku dan hanya akan mematuhiku."

Henrietta mengambil pena bulu dan parkemen haluys. Setelah itu, dia menandatangani dokumen itu dan meletakkan pena bulu.

'Ambillah ini. Ini izin resmiku. dengan ini, baik didalam istana. didalam maupun diluar negeri, kau akan memiliki otoritas luar biasa diatas segalanya, bahkan diatas polisi. Jika tiada kebebasan, seseorang tak bisa bekerja baik."

"Louise dengan khidmat menerima izin dengan wajah penuh rasa terima kasih. otoritas Henrietta. Ini berarti Louise dianugrahi hak bertindak atas nama ratu.

"Jika saya menghadapi masalah yang hanya bisa diselesaikan anda, saya pasti meminta bantuan. Untuk ini, mohon tetap berlaku sebagai siswa Akademi Sihir seperti yang anda lakukan sampai saat ini. Karena anda, tanpa keraguan, akan melakukannya dengan baik."

Setelah itu, Henrietta menoleh pada Saito. Memilki ide, dia merogoh kantong bajunya, Saat dia mengeluarkan beberapa koin emas, Saito tahu apa yang akan terjadi.

"Aku memintamu untuk memperhatikan Louise, sahabat pentingku, familiar-san nan baik."

"I-itu, aku tak bisa mengambilnya."

Saito terlihat kagum pada koin emas dan perak dalam tangannya,

"Dengan sepenuh hati, mohon terima ini. Hanya memberikanmu ini sebagai tanda Chevalier adalah yang terbaik yang bisa dilakukan ratu lemah ini. kau menunjukkan kesetiaan padaku dan ibu pertiwi. Ini tak seharusnya tak dihadiahi." kata Henrietta dengan mata penuh kesungguhan.

Sat melihat mata yang begitu, mustahil menolaknya. Setelah menerima ini, sepertinya dia tak bisa menolak untuk membantu Louise. Karena Saito tak berasal dari dunia ini, dia juga bukan bawahan Henrietta, tapi meski dia tak perlu merasa bertanggung jawab, Saito merasakan perlunya melakukan sesuatu. Aah, mungkin ini takdir, pikirnya, Tidak, ini lebih pada pribadinya daripada takdir. Saat seorang wanita cantik seperti Henrietta mengatakan 'kumohon', dia tak bisa menemukan tempat di hati untuk menolak. Orang yang berhati baik ya aku ini. Haa. Dia tak terlalu diterima di Jepang pada waktunya. Bagaimanapun juga, aku harus mencari jalan untuk pulang, pikir Saito, sambil memasukkan koin-koin emas kedalam sakunya.


Saito dan Louise keluar dari Istana Kerajaan berurutan.

"Benar-benar deh, kau terlalu baik dalam berjanji."

"Apa maksudmu?"

Louise menatap Saito.

"Karena, kau berkata kau akan membantu putri-sama, tapi itu membuat pergi ke timur mustahil." kata Saito dengan nada kecewa.

"jangan pergi tanpa izin. Semuanya tetap disni, jadi berhentilah bertanya."

Louise membuang muka dan mulai berjalan meninggalkan Saito di belakang. Saito berlari mengejarnya yang tengah panik.

"bagaimana kau bisa berkatas begitu? Lepaskan aku dari ini!"

Saito menunjuk pada alat penahan yang digunakan untuk menjinakkan binatang buas yang pasanga pada tubuhnya.

"Jangan membantah! Jika si familiar bertindak seenaknya, adalah tugas tuannya untuk memasang rantai padanya." jawab Louise acuh tak acuh.

Saito, yang ingin diperhatikan, tiba-tiba mencengkram bahu Louise. Mereka sudah di jalan Bourdonne, tepat di depan Istana Kerajaan, Jalan raya, dan bagaimana dengan pengguna jalan? mereka semua menonton.

"Hei! Orang-orang melihat! Lepaskan!"

Saito berkata dengan nada rendah. "Kau berpikir bahwa aku seharusnya tak kembali?"

Lousie jadi kelabakan dengan kata-kata ini dan merubah wajahnya.

"Jadi begitu, ya kan? kau khawatir aku akan pergi kan? Akan jadi sulit untuk membantu putri-sama kalau begitu."

Tidak seperti itu, Louise ingin berkata begitu, tapi tetap menutup mulutnya. itu bukan alasan mengapa aku tak ingin Saito kembali ke dunia asalanya. Namun, dengan mengatakan ini, dia akan membuka perasaan hatinya pada Saito. harga diri Lousie takkan memperbolehkan hal itu. Dalam keadaan terombang-ambing, Louise mngangguk paksa. "I-itu benar! Nanti malah tiada yang mengurusmu."

"Luar biasa, jadi begitu toh." gumam Saito, dan mulai berjalan lagi.

Apa yang sebenarnya dipikirkannya adalah, dia tak harus bilang 'aku mencintaimu', tapi setidaknya dia bisa bilang 'aku akan sendirian' atau paling tidak ;'aku ingi kau tak kemana-mana', jika dia bilang itu, Saito tak masalah membantunya dan akan mencari jalan kembali setelahnya. Saat henrietta meminta bantuannya tadi, meski dia pikir ini mengganggu, dia juga senang untuk sesaat. Tiada yang benar-benar memerlukannya di Jepang. Bumi tetap berputar, meski Saito hilang. Namun, itu berbeda dengan dunia ini. Siesta dan Henrietta...ada beberapa orang yang memerlukan dia.

Namun dia ingin lebih diperlukan Louise. Tapi, dari perkataannya di awal, yang ia pedulikan hanyalah kekuatan Gandalfr. Saito ngambek, dia pundung. meneguhkan hati, dia mulai mendorong melalui kerumunan. Kota masih ramai oleh pewrayaan kemenangan. Sekelompok pemabuk tengah tos dan berteriak sambil memegang cangkir yang terisi anggur. Louise yang masih terguncang akibat sikap Saito, membeku sejenak. Dengan wajah menunduk, dia menggigit bibir. Saat wajahnya diangkat, Saito sudah pergi masuk kerumunan dan tak terlihat. Louise berlari panik.

"nyingkah!"

Louise menabrak keras seorang lelaki. Doa, yang tampak seperti tentara bayaran, jatuh. Di tangannya ada sebotol sake, yang tengah ditenggaknya. Sepertinya dia benar-benar mabuk. Meski Louise mencoba melewati samping lelaki itu, dia menggenggam tangan Louise.

'tunggu Nona, kau harus meminta maaf karena menabrak seseorang di tengah jalan."

Lalu, laki-laki lain, yang tampaknya tentara bayaran, menyadari mantel Lousie dan bergumam. "Seorang ningrat, huh?"

Namun, lelaki yang mencengkram tangan Louise tak bergerak.

"Hari ini adaalh festival perayaan kemenangan di Tarbes. Kesampingkan status. Hari ini, ningrat, tentara, dan pedagang sama derajatnya, Hei, Nona ningrat, bagaimana kalau berbagi satu minum denganku sebagai permintaan maaf menabrakku?"

Sambil berkata begitu, dia mengacungkan guci anggurnya.

"Lepaskan aku! Dasar orang kasar!" teriak Louise. Wajah lelaki itu langsung menjadi brutal dan menggelagak.

"Kau panggil aku apa, Hei! Siapa yang kau pikir menyerang tentara Albion di Tarbes! Wanita suci atau ningrat sepertimu, tidak, kami para tentara!"

Lelaki itu mencoba meraih rambut Louise. Namun tangannya dihentikan. Saito, yang muncul tepat dihadapan mereka, dengan erat mencengkram tanagn lelaki itu.

"Apa? Enyahlah nak!"

"Lepaskan." kata Saito dengan nada pelan. Dulu, kakinya bakal gemetar saat mengancam lelaki yang tampak mengerikan. Namun, kini dia saito yang melalui berbagai pertarungan. Karenanya dia mendapat keberanian. Kini dia hanya perlu meraih Derflinger di punggungnya saat waktunya datang, Tidak mengeluarkannya, tapi menggenggamnya saja sudah cukup untuk mengKO para prajurit ini.

Lelaki itu melihat pedang di bahu saito, dengan mata sama. Pengalaman yang didapatnya dari medan pertempuran selama bertahun-tahun mengatakannya bahwa sikapo saito bukan hanya omong kosong. Dia lalu meludah, lalu membujuk teman-temannya pergi. Saito dengan diam mengambil tangan Louise, dan mulai berjalan. Louise mencoba mengatakn sesuatu pada saito. Tapi, ini semua membuatnya tak mampu menemukan kata. Saito berjalan cepat, mendorong melalui kerumunan.

"Apa kau marah?" tanya Louise dengan nada pelan.

"Ga juga." sahut Saito.

Pegangan tangannya membuat Louise berdetak sesaat. Apa Saito juga merasakannya sama? Namun, karena Saito berjalan lurus kedepan, dia tak bisa melihat ekspresi wajahnya. Louise mengikuti sambil ditarik. Ini menyegarkan, perasaan menyenangkan yang tak bisa dijelaskan maupun dimengerti Louise.


Louise, selama berjalan dan berpegangan tangan dengan saito, kembali ceria. Kota dipenuhi festival aneka warna, pertunjukan menyenangkan, kios dan gerobak makanan dimana barang-barang aneh dijual dan terhampar sepanjang jalan. Karena dia seorang putri tuan tanah lokal, Louise tak pernah berjalan dalam kota ramai dengan cara ini. Terlebih algi, dia tak pernah berjalan dalam kota sambil berpegangan tangan dengan lawan jenisnya. Dengan keduanya bergabung, kepala Louise menjadoi ringan dan melayang.

"Sangat ramai." kata saito.

"Benar." gumam Louise senang.

"Rasanya bagai festival duniaku."

"benarkah?"

"Ya. Kios jalanan nan semarak berbaris tepat seperti ini, menangkap ikan mas, memancing yo-yo, toko okonomiyaki, dan gerobak makanan dalam barisan."

Sambil berkata begitu, mata Saito menerawang. Louise mengeratkan pegangannya pada tangan Saito. Entah bagaimana, bayangan kepergian Saito yang tiba-tiba ke tempat nan jauh membuanya tak enak. Suatu saat...hari dimana Saito pergi, pasti tiba. Namun, saat berjalan bersama begini, Aku ingin kau hanya melihatku, pikir Louise. Hanya saat ini. Dan tak peduli yang lain. Dan di saat yang sama dia marah pada dirinya sendiri yang telah berpikir begitu. Karena cinta? Bukan itu. Adalah harga dirinya yang jadi masalah. Setelah meyakinkan dirinya sendiri soal itu, Louise menatap sekelilingnya dengan hampa. Dan kemudian, sambil berteriak "Waa.", dia berhenti.

"Ada apa?"

Saito berbalik, Louise tengah memandangi toko perhiasan. Disana, pada sebuah kain, terpampang berbagai cincin dan kalung.

"Kau ingin liat-liat?" tanya Saito, dan Louise, dengan pipi memerah, mengangguk.

melihat dua orang mendekat, seorang pedagang dengan turban di kepala menggosokkan kedua tangannya.

"Oh! Ayo masuklah! Aku lihat kau seorang ningrat, nona. Kami punya barang-barang langka untuk ditawarkan, ini terbuat dari "emas ukiran", ini bukan bohongan."

Perhiasan-perhiasan yang dihamparkan cocok bagi ningrat untuk dikenakan; terbuat dengan baik untuk memuaskan berbagai rasa. Lousie mengambil sebuah kalung. Gantungannya putih murni, diukir dengan bentuk kerang, Ada banyak permata besar disekitarnya. namun, bila dilihat seksama, permata itu hanyalah kristal murahan. Namun, Lousie menyukai gantungan berkilau ini. Dalam suasana festival yang ramai, terisi dengan barang-barang berharga, sesuatu yang mencolok bakal menarik perhatian.

"Kau menginginkannya?"

Louise menggelengkan kepalanya, malu. "tak punya uangnya."

"Baiklah, aku akan menurunkannya. 4 ecus saja."

Si pedagang tersenyum manis.

"Terlalu mahal!" teriak Louise.

"Kau tak punya segituan?" tanya Saito, terkejut.

Lousie manyun. "Aku akan bila aku tak beli pedang kurang ajar kemarin-kemarin. Aku habiskan seluruh uang saku bulananku untuk itu."

Saito dengan enggan merogoh sakunya, Dia denagn erat menggenggam koin-koin emas yang diterimanya dari Henrietta tadi. Sambil memegang koin-koin emas yang kira-kira seukuran koin satu yen de telapaknya, Saito bertanya, "Segini berapa?"

Si Pedagang terkejut bahwa Saito yang bawa duitnya.

"I-ini...! Bagus kali....."

Setelah mengambil empat koin emas yang terukirkan potret raja, si pedagang menyerahkan gantungan kalung pada Louise. Louise terkejut dan kaget, pipinya jadi lemas. Hal pertama yang dilakukan Saito pada uang yang diberikan Henrietta adalah berbelanja untukku. Dia sangat bahagia. Setelah beberapa saat itu di tangannya, dia dengan riang memasangnya di leher. "Ia pas untukmu." kata sang pedagang dengan nada sungguh-sungguh.

Aku ingin Saito melihatku, pikirnya sambil menarik lengan bajunya, Namun Saito, yang perhatiannyatertuju pada kios dekat pinggir, tak bergerak. Apaan sih yang kau lihat?...Saito tengah memandangi barang rampasan, dari tentara Albion, yang dihamparkan di tanah. Barang-barang yang diambil prajurit diberikan pada para pedagang. Itu kepunyaan musuh yang dirampas...pedang, baju baja, pakaian, jam. Saito mengambil salah satu pakaian.

Aku ingin dia melihatku, Louise manyun, ngambek dia. Namun, perhatian Saito tertuju penuh pada pakaian, Memang beralasan sih dia ingin baju baru.

"Apa, ingin baju baru? tapi bukan ide bagus untuk memakai baju bekas setengah rusak yang perbah dipakai musuh, ada yang jauh lebih baik kan?"

Tapi Saito tak menjawab. Dia meraih salah satu potong pakaian, dan tangannya bergetar.

"Wahai pelanggan, kau punya mata yang bagus, Ini seragam pelaut dari Albion. meski murahan, ia juga enak dipakai. Dengan memasang kerahnya begini, ia melindungi leher dari angin."

Seragam pelaut? memang! T-tapi di dunia Saito ia disebut seragam nahkoda...Kepala Saito mulai bekerja dengan kekuatan penuh. Meski ukurannya kebesaran, ia masih bisa dipermak agar bisa dipakai Siesta...Dia membayangkan Siesta memakainya...kelihatannya bagus...Kesenangannya bertambah. Tidak, bukan itu, Bukan kesenangan pribadi. Terima kasih. Ini balasan untuk syal itu! Tapi, Dia tetap merasa agak bersalah. Itu benar, Saito mendinginkan kepala. Uang, dia mutlak harus memakainya untuk ini.

"Berapa?" tanya Saito dengan nada yang sangat bergairah.

"Tiga ecus cukup."

Lousie terkejut. membayar begitu banyak uang untuk pakaian bekas adalah keterlaluan. Tapi Saito membayar harga yang diminta.


Louise, yang telah kembali ke kamarnya, tengah berbaring di kasur, membuka-buka Buku Doa Sang Pendiri sambil bersenandung. Sepertinya hatinya senang. Saito mencoba menyusup keluar dari kamar diam-diam, dia ingin ke Siesta untuk menyerahkan barang yang dibelinya hari ini, tapi pintu dikunci Louise yang mengayunkan tongkatnya dan menyihirkan mantra pengunci pada pintu.

"Apa kau akan pergi entah kemana saat tengah malam?"

"Eh? Tidak..."

Tentu dia tak bisa mengatakan dia hendak menuju tempat Siestauntuk mengantarkan seragam pelaut yang dibelinya hari ini.

"H-hanya ingin merasakan angin malam! Wah! Wahahaha!"

Louise menatap Saito masam. Dan, dengan tegas, dia menuju Saito dan dengan dengan sikap biasa melepas jaket Saito.

"A-apa-apaan kau?!"

"Melepasnya."

"Melepasnya? Alat penahan Hewan Buas membuatnya nyangkut!"

Saat Saito berteriak begitu, Lousie melepas kunci alatnya, menunduk untuk sesaat. Karena dia membelikan gantungan di kota hari ini, dia pikir Louise telah memaafkannya. Namun Louise tak bisa dengan mudah memaafkan dia yang mandi bersama dengan seorang gadis. Louise mengendurkan alat penahan dan melepas jaket Saito. Wajahnya selalu marah. Dia mengunyah bibir bagian bawahnya. Kemudian Lousie kembali ke kasur, memeluk jaket yang dilepas erat-erat. dan berkata "Menghadaplah kesana!".

Dengan seluruh pakaiannya ditanggalkan. Louise, yang hanya memakai jaket Saito, manyun.

"Masih ingin pergi jalan-jalan?"

Memberikannya pada Siesta harus menunggu hingga malam besok, pikir Saito, yang kini hanya mengenakan kaos. Meski sudah awal musim panas, tetap saja iklim di Halkegenia sangat berbeda dengan Jepang. Jalan-jalan dengan keadaan begini, bisa membuatnya masuk angin. Tak perlu diragukan lagi Louise jyga tahu itu.

"Ada banyak hal yang lebih penting daripada angin malam, bukankah begitu~? dan seorang rekan yang tak melayani tuannya tak bagus, nekankah begitu~?" kata Louise sambil berbaring pada perutnya dan mengayun-ayunkan kakinya.

Dengan enggan, Saito duduk di kasur. "Dimengerti."

Louise, yang berbaring di kasur, mulai membaca Buku Doa sang Pendiri.

"Bukankah semuanya kosong?"

"Aku bisa membacanya."

Louise menunjukkan "Ruby Air" di jarinya pada Saito dan menjelaskan hubungannya dengan Buku Doa sang Pendiri.

"Apaaa. elemen dari Void..."

Saito teringat cahaya sihir, yang mnyapu habis kloter pada hari itu.

'Void'. Elemen legendaris yang Brimir sang Pendiri gunakan...Dan, aku seorang familiar yang katanya digunakan Brimir sang Pendiri - 'Gandalfr'. Familiar legendaris yang memiliki kemampuan ahli menggunakan segala macam senjata, untuk melindungi sang Pendiri, selama dia membacakan mantranya...

"Jadi kau penyihr terkuat di dunia ini? Keren! Menghancurkan hanya dengan sekali ayun."

"Aku takkan berkata begitu, jadi aku belum mengatakan ini pada putri-sama karena aku tak ingin mengecewakannya..."

Dengan sebuah desah, Louise meraih tongkatnya.

"A-Apa?"

Setelahnya, Lousie dengan pelan-pelan mulai membacakan mantra. "Eor Sun Fuir..."

"H-Hentikan! Dasar bodoh!"

Adalah sangat mengerikan bila ledakan semacam itu terjadi di tempat seperti ini. Tapi, Louise tak berhenti membaca.

“Yarunsakusa..”

Setelah menyelsaikan mantra tanpa halangan, Louise mengangkat tongkatnya. Saito menyembunyikan dirinya di tumpukan jerami, membuat jerami bertebaran disekitarnya. Kemudian mata Louise berputar ke belakang dan tiba-tiba ambruk ke kasur.

“L-L-L-Louise? Louise!”

Saito mengguncangkan Louise, panik. Setelah diguncang beberapa saat, Louise membuka mata.

“Auuu…”

"A-Apa? Ada apa?!"

Sambil menggoyangkan kepalanya, Lousie dengan cepat bangkit.

"Berhentilah ribut-ribut. Aku hanya pingsan sesaat."

“Eh? Eeeh?!”

"Sudah membacakan "Ledakan" hingga menit terakhir, tapi ga ada apa-apa...Setelah itu, tak peduli seberapa banyak aku memantra, aku pingsan di tenagh-tengah. Ledakan hanya timbul sekali."

"Semacam apa?"

"Kupikir alasannya adalah kekuatan hati tak mencukupi."

"Kekuatan hati?"

"Benar. Kekuatan hati terpakai saat sihir dibacakan. Kau tak tahu?"

"Bagaimana aku bisa tahu hal begituan?"

Kemudian, Louise duduk tegak sambil malu-malu, mengagkat jari dan mulai menjelaskan dengan bangga bagaikan seekor merak.

"Dengarkan. jumlah elemen yang bisa digunakan penyihir bisa ditambah, dan tingkat dia bisa berubah tergantung itu. Seorang penyihir yang hanya bisa menggunakan satu elemen adalah titik. Bisa dua - jadi garis. Bisa tiga - segitiga. Mantra juga ada tingkatannya.. mantra dari tiga elemen disebut "mantra Segitiga'. Tiap kali tingkat mantra meninggi, konsumsi kekuatan hati mengganda."

“Haa.”

"Misalnya, mantra garis akan mengambil delapan kekuatan hati penyihir, tapi saat penyihir itu memutuskan memakai mantra titik, hanya empat ekuatan hatinya yang terpakai. Harganya bergantung pada orangnya, tapi aturannya berlaku ke semua."

“Haa.”

"Poin utamanya, penyihir itu bisa memakai dua mantra titik saja. Delapan dibagi empat adalah dua. Karenanya, kau bisa memakai mantra dua kali, Tapi saat kau memakai mantra garis, kau hanya bisa sekali, karena kekuatan hati yang dipakai dua kalinya, dan delapan dibagi delapan adalah satu."

“Haa.”

Saat penyihir garis tumbuh jadi penyihir segitiga, pemakaian kekuatan hati utuk mantra titik berkurang setengahnya. karenanya, empat dibagi dua - dua. dia bisa menggunkan mantra titik empat kali. Mantra garis bisa dua kali. Mantra segitiga - sekali. Itu karena penyihir mendewasa."

"Haa. Dengan kata lain, mantra kelas rendah bisa dipakai berulang kali, sedangkan mantra kelas tinggi hanya bisa dipakai beberapa kali saja?"

"Benar. jadi kini kau ngerti kan hubungan mantra dengan kekuatan hati?"

"Begitulah. Jadi, kau pingsan tadi..."

Ya. tadi aku pingsan karena aku maksa dan menghabiskan seluruh kekuatan hatiku. Mantranya terlalu kuat dan kekuatan hatiku tak cukup."

"Terus, napa kau bisa menggunakannya pas hari itu?"

"Yah..erm...aku juga tak mencari-cari..."

"Bagaimana kekuatan hati terisi?"

"Dasarnya, ia terisi lagi saat tidur."

Saito beroikir sambil melipat kedua lengannya. "Ummmm...Yah, hingga kini, kau tak menggunakan kebanyakan mantra dengan benar, kan?"

"Yah, benar sih."

"Karenanya, kau mengumpulkan banyak kekuatan hati, kan? dan saat itu, kau menghabioskannya sekali pakai."

Wajah Louise terkaget-kaget.

"Misalnya, ambillah kekuatan hatimu 100. 'Ledakan', menghabiskan 100, seluruhnya dalams ekali pakai. kekuatan hati biasanya terisi saat tidur saat malam, tapi jumlah yang diperlukan terlalu besar bagimu...Karena ia 100, kau tak bisa mengiusinya kembali hanya dengan tidur semalam."

Saito dengan datar menguraikan hipotesisnya "Apa? Bagiku itu sepertinya akhir sihirmu."

Tapi, Wajah Louise serius. "Mungkin saja..."

“Eh? Eeeh?”

"dengan menggunakan mantra bumi kelas persegi 'Emas Cetakan'. emas bisa diciptakan. Tapi kau mengapa dunia masih menggunakan uang?"

"Eh?"

"Diakatakan bahwa penyihir persegi tak bisa begitu saja membacakan mantra berulang kali. Ia tak bisa diandalkan, sekali isi ulang mungkin perlu seminggu, lainnya - sebulan. lagipula, jumlah emas yang bisa kau dapat dengan cara begini terlalu kecil. Makanya uang digunakan, bukan emas."

“Hmmm…”

"Dengan kata lain, mantra kuat menghabiskan lebih banyak kekuatan hati dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terisi lagi, Untukku, sepertinya begitu juga."

"Lalu...kapam kau bisa memantar lagi...?"

"Ga tahu,. aku...sebulan atau mungkin setahun..."

Lousie menerawang.

"10 tahun."

"Jangan berkata yang tidak-tidak."

"Tapi, ia berhasil."

"Yah. Tiada yang benar-benar mengerti 'Void'. bagaimanapun juga, kekuatan pembacaannya telah ditunjukkan. Tiada mantra lain seperti ini."

"Ia terlalu kecil sekarang. Uuu, jeramiku..." kata saito sambil melihat jerami-jerami yang betebaran.

"Bukankah tak apa-apa? Meski tiada tumpukan jerami." ucap Louise, yang wajahnya memerah karena alasan tertentu.

"Haa". Saito menahan napasnya sesaat begitu dia menyadari sesuatu. Apa! Dia menjadi gila dari pemandangan yang diberikan Louise padanya, yang tak disadari Louise sendiri. Ujung jaketnya telah naik hingga paha Louise. Sedikit lagi, sediiiikit laghi. dia mengintip.

Saito cepat-cepat memegang hidungnya. Karena sikap Saito, Louise akhirnya sadar bahwa jaket telah naik. Dia langsung menggerakkan kakinya dan menurunkan ujung jaket dengan wajah memerah.

"Na! Kau lihat! Kau lihat, Kau lihat! Kau lihaaaaat!"

"S-Salahmu karena tak makai celana dalam apapun!" teriak Saito juga,

"Aku tak bisa tidur dengannya! Sealu begitu!"

"Selalukah?"

lalu Louise menggigit bibir bawahnya, dan dengan sedikit weruwush, menyusup dibawah selimut.

"Tidur."

Saito dengan enggan masuk dari ujung selimut. Dia dengar suara dari Louise yang ngambek didalams elimut.

"Tidurlah di tumpukan jerami, familiar pengintip."

"Ia betebaran."

Meski dia dengar Lousie menggeram beberapa kali dari dalam selimut, dai tenang kembali setelah beberapa saat. "Aah". Sambil memikirkan tentag seragam pelaut yang akan diserahkannya pada Siesta besok malam, Saito jatuh terlelap.