Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab9

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 9 - Sengketa Kesedihan[edit]

Sambil menunggangi naga angin Tabitha, Saito, Louise, Kirche, dan Tabitha sendiri, terbang menuju Istana Kerajaan, meninggalkan Akademi sihir dua jam lalu. Kini sejam setelah tengah malam. Halaman depan tengah kacau. Louise dan Saito merasa firasat buruk mereka menjadi kenyataan. Saay Naga angin mendarat di Halaman, ia langsung dikepung tentara penjaga sihir.

Komandan kesatuan Manticore, dengan keras memerintahkan. "Hei kalian! Istana Kerajaan kini tertutup! Enyahlah!"

Namun, dia sudah mengenali kelompok ini saat melihatnya. Mereka sama dengan yang datang kesini tepat sebelum perang melawan Albion dimulai. Sang komandan mengernyitkan alisnya. "Kalian lagi! Kalian hanya datang pada waktu-waktu bermasalah!"

Lousie meloncat turun dari si naga angin. Dia tak puya waktu bermain tanya-jawab dengan kapten penjaga. Dia bertanya sambil terengah-engah. "Putri-sama! Tidak, sang Paduka, apa dia baik-baik saja?!"

Lapangan tengah berdengung bagai sarang lebah. Para ningrat sedang membawa tongkat sihir bersinar mereka, sementara tentara - senter, mencari sesuatu. Jelas sekali bahwa sesuatu terjadi di Istana Kerajaan.

"Aku tak harus menceritakan apapun padamu, hai terkutuk. Enyahlah sekarang juuga."

Dengan wajah merah saking marahnya, Lousie menarik keluar sesuatu dari sakunya. Itu surat izin yang diberikan Henrietta pada Louise sebelumnya. "Aku adalah wanita senat dibawah kendali langsung dari Sang Paduka! Di tanganku ada surat Izin yang ditandatangani sang Ratu! Aku punya hak memeriksa yurisdiksi Paduka! Aku meminta penjelasan segera atas situasi terkini!"

Si Komandan mencengkram Surat Izin dari tangan Louise dengan keterkejutan luar biasa di seluruh wajahnya. Mereka memang surat izin asli yang ditandatangani Henrietta yang bertuliskan.- 'Louise Françoise Le Blanc De La Vallière diberikan hak menjadi seorang perwakilan kerajaan. Permintaannya mesti dipenuhi.' Dengan tandatangan kerajaan tertera. Sang Komandan Menatap Louise dengan kagum dan terkejut. GAdis yang begitu muda...punya dokumen yang begitu penting dari Sang Paduka..

Dia hanyalah seoran pelayan.Tak peduli bagaimana orang melihat, seorang atasan tetap seorang atasan. Dia langsung berdiri tegak dan melaporkan situasi mengenai Sang Paduka. "Dua jam lalu, seseorang menculik Sang Paduka pergi. Satu penjaga dihajar begitu mereka kabur dengan kuda-kuda. Skuad griffon tengah mengejar mereka. Kami mencari-cari disni untuk mencari bukti-bukti."

Kompleksi Louise berubah."Kemana mereka berangkati?"

"Mereka ke selatan lewat jalan utama. Sepertinya mereka kabu menuju distrik La Rochelle. Tak diragukan lagi, Albion punya peran dalam hal ini. Meski perintah untuk menutup pelabuhan langsung dikirim...Kesatuan Ksatria Naga hampir hancur di perang sebelumnya. Jadi satu-satunya cara mengejar mereka adalah dengan griffon atau kuda..."

Naga angin lebih ringan dari griffon jadi biasanya mereka yang jadi pengejar...tapi dengan keadaan sekarang - adalah dipertanyakan apakah mungkin untuk menyusul mereka. Louise meloncat ke naga angin lagi. "Cepatlah! Pencuri yang menculik putri-sama melarikan diri menuju La Rochelle! Kita dalam masalah besar bila kita tak bisa menyusul mereka saat pagi tiba!"

Semuanya, mendengar keadaannya, mengangguk, terlihat tegang. Tabitha memerintahkan si naga angin. Sylphid terbang memasuki kegelapan malam lagi. Louise berteriak. "Terbang rendah! Musuh mengendarai kuda!"

Si naga angin terus terbang mengikuti jalan utama dengan kelenturan yang mengejutkan. Kini malam gelap pekat, tapi meski tiada yang bisa melihat beberapa langkah ke depan. si naga angin terus terbang menggunakan hidung tajamnya, menghindari pepohonan dan bebangunan. ______________

Unit griffon telah memecah jadi dua, satunya terbang di sepanjang jalan utama, yang lain mengendarai kuda. Sudah dapat diduga bahwa Kesatuan Griffon adalah yang teringan diantara ketiga skuad dan mereka dapat melihat lebih baik saat malam. Karenanya, mereka dipilih sebagai unit pengejar. Banyak orang dalam skuad terbakar amarah. Musuh menyerang senat dibawah lindungan kegelapan. Bahkan dalam mimpi terliar mereka sekalipun, ta dapat dibayangkan bahwa seseorang berani Istana di ibukota. Terlebih lagi, adalah Ratu muda Henrietta yang diculik, seorang penerus tahta. Bagi ksatria sihit yang telah menjadi penjaga keluarga kerajaan, tiada algi coreng yang lebih dari ini.

Griffon menggunakan kai dan sayap mereka untuk memburu ke depan. Meski keberangkatannya tertunda akibat seluruh kebingungan tadi, tetap saja musuh menggunakan kuda. Tiada alasan bagi mereka untuk tak bisa menyusul. Komandan meneriaki unitnya dengan keras. "Ayo Lari! Susul Paduka secepat mungkin!"

Sekelompok unit Griffon maju memburu kedepan. Ada sebuah keributan besar diantara unit Griffon yang tadi maju. Mereka mungkin telah menemukan sesuatu. Dibawah tanda si komandan, seorang pengguna api maju dan melumcurkan sebuah mantra api. Ini menerangi jalan utama hingga 100 mail kedepan, dan dapat terlihat sosok-sosok penunggang di kejauhan. Mereka 10x banyaknya.

Si Koamndan tersenyum kejam. "Pertama-tama, sasar kudanya! Jangan melukai Sang Paduka!"

Kesatuan Griffon memburu maju, meluncurkan mantra bergantian. Setelah tembok mantra mengepung musuh, para ksatria meluncurkan sebuah serangan dalam seketika. Bola api, bilah angin, tombak es, semua mengarah pada kuda yang dikendarai musuh. Doh! Bumi berguncang, membuat kuda-kuda jauh satu demi satu. Si Komandan memastikan bahwa Ratu Henrietta, yang berpakaian gaun putih, menunggangi punggung kuda pertama. Dalam situasi darurat seperti ini, dia ragu - adalah penting untuk menyelematkan Sang Paduka tanpa kurang satu apapun. Jika Sang Paduka terluka, dia pasti dapat beberapa bentakan keras setelahnya.

Setelah mengucapkan permintaan maaf, sang komandan melantunkan mantra angin, memutuskan kaki kuda pertama dan melemparkan sang Putri dan pengendaranya ke tanah. Tanpa ampun, skuad griffon mengepung ksatria musuh yang jatuh. Leher para penculik dipotong dengan bilah angin dan tombak es menembus jantung mereka. Ksatria yang memimpin pelarian mendapati kepalanya dipotong bilah angin si komandan, sebuah luka mematikan.

Pertarungan telah putus dalam sesaat. Saat si Komandan mengangguk memberi tanda, unit itu berhenti. Lalu dia meloncat turun dari griffonnya. dan menghampiri ratu yang terjatuh ke rerumputam...Ksatria, yang seharusnya telah tewas, berdiri secara bergantian. Para Ksatria grifoon, yang menurunkan kewaspadaan mereka karena berpikir musuh telah dibasmi kini dikejutkan sihir musuh.

"Ah!" erang si komandan yang mencoba menarik keluar tongkatnya saat tubuhnya ditelan topan. Lengan dan kaki diputus topan itu, menghabisi mereka dalam sesaat, begitu ksatria yang seharusnya telah dihabisi si komandan bangkit berdiri, dngan luka terbuka yang terlihat jelas di lehernya, dan tersenyum.


Saat Wales akhirnya menaruh tongkatnya ke sisi, dia menghapiri rerumputan dimana Henrietta jatuh. Henrietta baru saja mencoba sembuh dari kekagetan terlempar ke rerumputan.Dia menatap wales dengan mata tak percaya. "Wales-sama, kau...apa-apaan ini?"

"Terkejut?"

Henrietta menghunus tongkat kristal yang selalu dibawa bersamanya dan menyasarnya pada Wales. "Siapa kau?"

"Aku adalah Wales."

"Bohong! Kau bunuh kesatuan ksatria sihir..."

"Kau ingin membunuhku? Tak apa-apa, Remukkan aku dengan sihirmu. Iris jantungku jika kau mau."

Wales menunjuk dadanya, Tangan yang menggenggam tongkat Henrietta mulai gemetaran. Mantra sihir tak keluar dari mulutnya.Yang keluar malah sebuah isakan tertahan. "Mengapa kau lakukan ini?"

"Percayalah padaku, Henrietta."

"Tapi...tapi, ini..."

"Aku akan mengatakan alasannya nati. Banyak hal-hal yang menjadi sebabnya, Untuk sekarang, ikutilah aku tanpa banyak tanya."

"A-Aku tak mengerti. Mengapa kau melakukan hal semacam ini...Apa yang coba kau lakukan?"

Wales menjawab lembut. "Kau tak perlu mengerti. Kau tak perlu menyukai sumpah, kau hanya perlu mengikutinya. Apa kau ingat? Kalimat sumpah yang kau ucapkan di Danau Ragdorian. Kalimat yang kau ucapkan di hadapan Arwah Air."

"Tak mungkin aku melupakannya. Aku akan mengingatnya hingga aku mati."

"Mohon ucapkan itu, Henrietta."

Henrietta mengucapkan sumpah itu kata demi kata. "...Aku, Henrietta, putri Tristain bersumpah di hadapan Arwah Air bahwa dia akan mencintai Wales-sama selamanya."

"Hanya satu hal yang kini berubah dari sumpah di masa lalu. Kau kini seorang ratu. Tapi, bukankah yang lainnya tak berubah? dan takkan berubah?"

Henrietta mengangguk. Aku selalu hanya bermimpi saat wales akan memelukku dalam lengannya.

"Meski sekarnag kini begini, sumpah yang terucap di hadapan Arwah Air tak bisa dirusak. Kau hanya perlu percaya pada kata-katamu sendiri. Mohon serahkan yang lainnya padaku."

Tiap kata-kata lembut Wales membuat Henrietta semakin menjadi seorang gadis yang tak tahu apa-apa. Henrietta terus mengangguk beberapa kali, seperti seorang anak kecil. Dia terbujuk secara sempurna. Setelahnya, Wales bangkit dan menghampiri ksatria-ksatrianya. Dapat terlihat luka mematikan pada leher atau dada mereka. Namun...mengabaikan itu, mereka bergerak bagai makhluk hidup lainnya.


Mereka pergi memeriksa kuda-kuda yang jatuh, tapi, mereka semua telah mati. Mereka lalu menyembunyikan diri dalam rerumputan nan tinggi, satu demi satu menghilang dari pandangan. Garis penyergapan. Tanpa berkata apa-apa, mereka dan wales membentuk garis penyergapan, dan berhenti bergerak. Tepat seperti apa yang dilakukan makhluk hidup. ____________________

Saito dkk terbang diatas naga angin menyusuri jalan utama hingga mereka melihat pemandangan mengerikan. Mayat-mayat betebaran dimana-mana. Si Naga angin berhenti, dan mereka meloncat turun. Tak ikut turun, Tabitha melihat-melihat sekitar dengan awas.

"Putri." ucap Saito. Mayat-mayat terbakar dengan lengan dan kaki terputus betebaran. Griffon-griffon dan kuda-kuda terbaring dalam kolam darah mereka sendiri. Ini pasti unit griffon itu.

"Ada yang hidup!"

Saito dan Louise berlari menuju suara Kirche. Meski terluka dalam di lengannya, seseorang selamat.

"Apa kau baik-baik saja?"

Louise kini menyesal tak mengikutserakan Montmorency dengan mereka. Dalam kasus luka-luka, sihir airnya takkan tergantikan.

"Aku baik-baik saja...dan kau siapa?"

"Kami, sama sepertimu, memburu geng yang menculik Yang Mulia. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Si Ksatria menjawab dengan nada gemetaran. "Mereka, luka mereka benar-benar parah..."

"Apa?"

Namun, si ksatria tak bisa menceritakan apa-apa lagi. Merasa lega bahwa kini bantuan telah datang, dia pingsan. Tepat saat itu, sebuah serangan sihir dilancarkan dari segenap penjuru. Tabitha langsung bereaksi. Sudah menduga bahwa akan ada serangan sebelumnya, dia menciptakan sebuah tembok udara di atas dan membuatnya terbang turun dengan sihirnya.

Keluar dari reruputan, bayangan-bayangan bangkit, berayun dalam gerakan lambat. Mereka ningrat Albion yang telah tewas dan dibangkitkan oleh cincin Andvari. Kirche dan Tabitha bersiap. Namun, untuk alasan tertentu, musuh tak meluncurkan serangan lagi. Ketegangan dimulai. Lalu, Saito terkaget-kaget saat menemukan bayangan yang begitu dikenalnya disana. "Pangeran Mahkota Wales!"

Namun, dia...Wales, yang telah tewas dan diberikan nyawa palsu oleh Cromwell menggunakan Cincin Andvari, hasil curian dari Arwah Air, telah menculik Henrietta. Sambil berpikir begitu, Saito menjadi marah pada tindakan yang begitu curang tersebut. Da mencengkram Derflinger di bahunya. Tanda di tangan kirinya mulai bersinar. "Kembalikan Sang Putri."

Namun, Wales tak mengurungkan senyumnya. "Kau berkata hal-hal dengan begitu yakin. Aku tak bisa mengembalikannya karena dia mengikutiku atas kehendaknya sendiri."

"Apa?"

Dibelakang punggung Wales, Henrietta, berpakaian gaun, muncul.

"Putri!" teriak Louise. "Tolong jangan kesana! Pangeran Wales itu bukan wales yang sebenarnya! Ia jelmaan Pangeran, dibangkitkan oleh tangan Cromwell menggunakan Cincin Andvari!"

Namun, Henrietta tak melangkah maju. Dia hanya menggigit dan mengeraskan bibirnya yang gemetaran.

"...Putri?"

"Lihat kan? Kini, bagaimana denagn sebuah kesepakatan?"

"Kesepakatan?"

"Itu benar. Meski kami senang untuk bertengkar denganmu disini, kami kehilangan kuda-kuda kami, Dan berkelana tanpa kuda melalui malam bisa berbahaya, jadi aku ingin menyimpan sihir sebanyak mungkin."

Tabitha melantunkan mantra. 'Tetes berangin' - mantra serangan oleh Tabitha nan ahli. Tepat di tengah-tengah perkataannya, panah es itu menembus tubuh Wales. Namun...sungguh mengejutkan, Wales tak terjerembab dan lukanya sembuh sendiri beberapa saat kemudian.

"Tiada gunanya. Aku tak mempan oleh seranganmu."

Tetap saja, meski sudah melihat ini, ekspresi Henrietta tak berubah.

"Lihat! Ia bukan Sang Pangeran! Ini sesuatu yang lai! Putri!"

Namun, Henrietta tak mau percaya, dan menggelengkan kepalanya dari kanan ke kiri. Lalu berkata pada Louise denagn suara tertahan. "Kumohon, Louise, turunkan tongkatmu. Mohon lakukan itu untukku. Mohon biarkan kami pergi."

"Putri? Apa katamu?! Putri! Itu bukan Pangeran Mahkota Wales! Putri, kau telah ditipu!"

Henrietta lalu memberikan senyum, sebuah senyum nan membingungkan.

"Kutahu itu. Dalam kamarku, saat bibir kami bertemu, aku tahu itu 100 kali. Namun, tetap saja kutak peduli. Louise kau belum pernah mencintai seseirang begitu kuat. Saat kau bena-benar jatuh cinta, kau bisa melemparkan segala yang lain. Kau ingin mengikutinya kemanapun. Meski itu sebuah dusta. Kau tak bisa melakukan yang lainnya selain percaya. Aku bersumpah, Louise. Aku membuat sumpah di hadapan Arwah Air, mengatakan 'Aku bersumpah mencintai Wales selamanya'. Meski seluruh isi dunia mengatakan ini sebauh dusta, perasaanku sendiri bukanlah sebuah dusta. Karenanya, Biarkan kami pergi, Louise."

"Putri!"

"Ini sebuah perintah, Louise Françoise. Yang terkahir, dariku padamu. Mohon, menyingkirlah dari jalan kami."

Tangan Louise yang mengarahkan tongkat turun ke samping. Mengerti keputusan tegas Henrietta, dia tak bisa tidak menyerah. Mengapa dia harus menghentikna cinta yang ebgitu kuat...Garis orang-orang yang telah mati mencoba melewati Louise yang mematung. Tapi, sebelum mereka...Saito, sambil memegang Derflinger, menutup jalan mereka.

Dia sangat sedih. Dia mengerti perasaan Henrietta. Tapi akal sehat Saito tak bisa menermianya. Pikirannya menjerit bahwa dia harus tak membiarkannya. Saito berkata dengan nada yang mengandung kesedihan dan kemarahan. "Putri, jika aku boleh bicara, berbicara dalam tidur tidak baik."

Bahu dan tubuhnya bergetar,

"Kehendak, cinta, bersama dengan seorang wanita, tak peduli hal lainnya. Apa itu cinta sejati? itu hanya kebutaan belaka. Darah memenuhi kepala dan membuatmu tak bisa berpikir lurus."

"Pergi! Ini sebuah perintah!" jerit Henrietta dengan seluruh ketegasannya yang tersisa.

"Sayangnya, aku bukan bawahanmu. Perintahmu tak berarti apa-apa untukku. Meski kau terus memerintahku...aku takkan mendengarkan. Aku akan memotong menembus mantramu."

Adalah Wales yang bergerak pertama kali. Meski dia mencoba mengucapkan sebuah mantra, Saito menerjangnya, Namun, sebuah dinding air menerbangkan saito. Henrietta yang mematung, menggenggan tongkat sambil gemetaran. "Aku takkan membiarkanmu menyentuh seujung jaripun dari Wales."

Dinding air penghancur bergerak menuju Saito lagi. Namun, ruang dihadapan Henrietta meledak disaat berikutnya. Henrietta diterbangkan.

Louise telah melantunkan mantra peledak. 

"Meski kau seorang putri, aku juga takkan membiarkanmu menyentuh seujung jaripun dari familiarku." Dengan rambut acak-acakan, Louise mengucapkan itu dengan nada bergetar.

Sejak Ledakan ini, Tabitha dan Kirche, yang selama ini menonton pertunjukan dengan keterkejutan hampa, mulai ikut melantun mantra. Pertarungan dimulai. Saito terus menahan mantra sihir dengan pedangnya di hadapan Louise. Meski sihir tersebar kemana-mana, tiada yang terluka parah. Meski sihir Tabitha dan Kirche yang dilepaskan mampu menjatuhkan musuh, musuh sendiri menimpan kekuatan hati mereka, berharap melemahkan mereka sedikit demi sedikit dengan mantra titik.

Namun, kerjasama musuh sangat bagus, Sedikit demi sedikit, Saito dkk tersudut. Sebelum mereka menyadarinya, Louise, Saito dll dikepung dalam lingakaran nan ketat. Mereka tersudut dalam keadaan bertahan. Jumlah musuh terlalu besar, jadi tiada kesempatan untuk menyerang. Kirche melepaskan bola api lagi, membakar habis seorang penyihir.

"Apinya mangkus! Ia hanya perlu membakar!"

Kirche meluncurkan serangan api lainnya, Tabitha menukar serangan untuk langsung melindungi Kirche, Saito juga berubah menjadi pendukung. Mantra yang terbang pada Kirche diserap Derflinger. Para musuh menyembuhkan diri dan mencoba memotongnya dengan pedang angin. Namun, api Kirche membakar habis tiga lagi dari mereka...Musuh berlari menjauh dari rentang sihir Kirche lalu berkumpul lagi.

"Kalau begini, jika kau membakar mereka dengan api sedikit demi sedikit...kita mungkin punya kesempatan menang." ucap Kirche.

Namun, Langit berpaling dari mereka. Perlahan, Tabita menyadari sesuatu yang basah menerpa pipnya, Dengan wajah khawatirm dia menengadah ke langit, Sebuah awan besar dari hujan mengembang di atas mereka. Hujan yang mulai turun sebagai rintik-rintik, berubah menjadi deras dalam sekejap.

Henrietta berteriak, "Singkirkan tongkat kalian! Aku tak mau membunuh kalian!"

"Bangunlah, putri! Kumohon!" teriak Louise, tapi suaranya teredan suara air hujan yang turun semakind eras.

"Lihat! Hujan! Hujan! Mantra 'Air' akan selalu menang dalam hujan! Berkat hujan ini, kemenangan kami sudah diputuskan!"

"Benarkah?" teriak Saito tegang, Kirche, yang hendak mengatakan itu, mengangguk, menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Benar-benar ini, Sang Putri dapat melantunkan sebuah dinding air pada kita dnegan ini, Apiku tak guna sekarang. Angin Tabitha dan bahkan pedangmu tak bisa melukai mereka...Yah, kini sudah selesai. Kalah!" Ucap Louise dengan suara tertahan.

"Meski aku tak ingin melakukan ini, ayo kabur, Kita tak bisa mati disini."

"Tapi bagaimana kita bisa kabur? Kita dikeping, kan?"

Semuanya terdiam. lalu Deflinger dengan cemerlang bersuara. "aah."

"Apa?"

"Aku ingat. Mereka menggunakan sihir yang sangat mengenang..."

"Ya?"

"Saat aku melihat sang Arwah Air, ia menggelitik sesuatu di alam pikiranku...Tidak, rekan, maaf ~ Aku lupa. Aku ingat sekarang!"

"Apa?!"

"Sumber mereka dan kita adalah jenis sihir yang sama. Ngomong-ngomong, ia berbeda dari dasar sistem empat elemen agungmu - sihir dari 'hidup'"

"Apa?! Pedang legendaris! Berkatalah hanya bila kau punya sesuatu yang penting untuk dikatakan! Dasar tak bsia apa-apa!"

"Yang tak bisa apa-apa adalah kau. Meski menjadi pengguna void, menembakkan 'Ledakan' secara terus menerus adalah tolol, aku lihat dan ingat itu, Meski orang itu bisa jadi sangat kuat, jumlah kekuatan hati yang termakan besar sekali. Seperti hari ini, meluncurkan yang gede-gedean seperti itu bisa membutuhkan setahun untuk menembak lagi. Kita perlu kembang api yang beda hari ini."

"Terus?!"

"Baliklah halaman buku doa. Wahai Brimir, orang hebat. Dia pasti punya balasan yang bagus."

Lousie melihat-lihat halaman, seperti yang disuruh. Namun, selain 'Ledakan' ia kosong sebagaimana biasa. "Ini bahkan tiada tulisan apapun! Putih diatas putih!"

"Balik lebih jauh. Jika diperlukan, kau akan bisa membacanya."

Mata Louise menangkap halaman dimana huruf-huruf tertulis. Ia ditulis dalam aksara-aksara bahasa kuno."...Mantra Penangkal?"

"itu benar. 'Lepas'. Ramuan yag kau minum sebelumnya adalah alasan mengapa kau bisa membacanya."

Henrietta dengan sedih menggelengkan kepalanya. Meski dia menyuruh Louise untuk melarikan diri, dia tak menurut. Terlebih lagi, Louise melangkah mendekat ke pusat lingkaran yang ketat itu. Sambil menengadah ke atas, Henrietta mulai mengucapkan sebuah mantra. Aku tak ingin membunuh jika memungkinkan, Namun, jia kau tetap menahan langkahku...

Dengan cantrip aria Henrietta, air hujan mulai menderas. Satu demi satu penihir musuh dilingkupi armor air pada diri mereka. 'Nyala' lawan tersegel dnegan ini. Sebagai tambahan, Henrietta mengucapkan mantra lain. Mantra Wales bergabung dengannya. Wales mengamati Henrietta sambil tersenyum dingin. Meski dia menyadari kurangnya kehangatan, hati Henrietta tetap mersakan pasnas yang berembun.

Keduanya dikelilingi topan air. 'Air', 'Air','Air', dan 'Angin','Angin','Angin',

Kekuatan keenam. - air dan angin.

Peniyihir segitiga biasanay tak bisa membuat mantra kuat semacam ini. Untuk mengatakan tak pernah, bukanlah sebuah plebih-lebihan, Namun, darah terpilih dari keluarga kerajaan memungkinkan itu. Hanya keluarga kerajaan yang bisa melakukan mantra segi enam. Mantra gabungan mereka meningkat menjadi ukuran yang sukar dipercaya. Kedua segitiga bersentuhan, menciptakan sebuah puyuh besar dari yang keenam.

Puyuh itu bagai tsunami. Jika kena, ia bisa menerbangkan sebuah benteng sekalipun. Suara lantunan Lousie bercampur dengan suara hujan. Dibelakang punggung Saito, mantra Louise dapat dilantunkan dengan nyaman. Bagi Louise, tiada yang mustahil hari ini. Dia terus memusatkan kekuatan hatinya sambil mengucapkan aksara-aksara kuno secara bergantian dengan mulutnya.

"Apa yang slaah dengan gadis ini?" tanya Kirche sambil tersenyum.

"Aah, dia hanya bertingkah sepertis ebuah legenda sekarang." Saito mencengkram pedangnya dan menjawab dengan nada bercanda. Mendnegar Louise melantunkan sebuah mantra 'Void' memberinya keberanian. Keberanian yang membuatnya tersenyum. Keberanian yang bisa merubah kematian jadi candaan.

"Jadi. Ini bagus begitu. Namun, bila 'Legenda' itu tak paling tidak mengucurkan sesuatu, kita tak bisa menang melawan puyuh itu."

Puyuh air raksasa yang berputar-putar di sekeliling Wales dan Henrietta mengembang cepat. Lantunan sunyi Louise terus berlanjut. Tepat seperti yang diharapkan dari 'Void'. Ia panjang sebagaimana biasanya.

"Ini buruk. Mereka lebih cepat." gumam Deflinger.

"Terus bagaimana?"

"Kau seharusnya tahu apa yang harus dilakukan. Adalah tugasmu untuk menghentikan puyuh itu, Gandálfr.”

"Tugas..apa?" wajah Saito mengernyit. Namun, dia tak takut. Keberaniannya yang membaja memenuhi seluruh tubuhnya.

"Tidak, aku pikir-pikir,"

"Apa?"

"Bukankah kau ketakutan oleh puyuh yang sedemikian besar?"

"Mugkin ya. Kau slaah paham, Gandálfr. Tugasmu bukan menyerang musuh tapi menjaga tuanmu selama mantra dilantunkan. Hanya sgitu tugasmu."

"Tapi itu tak mudah."

"Kau mendapatkan keberanian saat mendengar mantra tuanmu, Wajahmu memerah, kau ingin tertawa keras-keras, detakmu semakin cepat. Ini semua ada sebabnya."

"Aku serahkan ini padamu." gumam Kirche.

Tabitha mengamati wajah Saito.

"Kemenangan mudah." gumam Saito, "Aku adalah familiar si Void."

Mantra Wales dan Henrietta sudah sempurna. Puyuh raksasa dari air yang berkobar terbang menuju Saito dkk, Meski besar, kecepatannya mengejutkan. Ia bagai sebuah benteng air. Benteng air yang bakal menyapu sekelilingnya dengan kejam dan menelan mereka. Sambil mencengkram Derflinger, Saito menyerbu maju menuju puyuh bagaikan langkah penari dan mendorongkan Derflinger pada inti puyuh air yang memutar.

Meski dia hampir tertelan, dia berdiri tegak pada kakinya. Nyeri menjuluri tubuhnya. Dia tak bisa bernapas. Air dengan kejam menghantamnya, merobek-robek kulitnya. Namun, Saito bertahan. Kukunya tercabut. Gendang telinganya robek. Alisnya teriris, nyeri berdenyut melalui bola matanya. Dia tak bisa berapas, Lengan kanannya melepas pedang begitu sendinya patah. Derflinger tertelan air itu.

Tepat saat semuanya tampak bakal runtuh, Louise menyelesaikan mantranya. Meski dia tak bisa mendengar maupun melihat apa-apa, Saito bisa merasakannya.

"Akhirnya, dasar." gumam Saito yang lalu pingsan. ______________________

Di hadapan mata Louise, yang menyempurnakan mantranya, sebuah puyuh raksasa mengamuk. Namun, itu tak mencapainya. Saito berdiri dianta topan itu, dan dia bisa melihat Saito mati-matian menahan nyeri. Akhirnya Saito kalah pada kekuatan alam yang mengamuk dan rebah ke tanah sebelum air terjun raksasa itu meninggalkan celah kecil didalamnya

Louise menggigit bibir, Melalui celah itu, dia arahkan 'Sihir Penangkal' pada musuh. Sekeliling Henrietta berubah jadi cahaya bersinar nan kemilau. Denagn sebuah dug, tubuh Wales, yang berdiri di sebelahnya, rebah ke tanah, Meski Henrietta mencoba berlari menyongsongnya, dia pingsan sebagai bayaran mantra yang memakan seluruh kekuatan hatinya dan terantuk ke tanah.

Seketika, suasana dilingkupi keheningan.