Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Penutup

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Epilog[edit]

Henrietta pingsan sesaat, tapi dia bangun karena sebuah suara yang memanggil-manggil namanya. Louise tengah menepuk-nepuknya, khawatir. Hujan telah berhenti. Rerumputan dekat sana basah dan diselimuti udara dingin. Bagaikan pertarungan keras yang baru saja tadi hanyalah sebuah dusta, pikir Henrietta.

Namun, ia bukanlah sebuah dusta. Mayat dingin Wales terbaring disisinya. Mayat-mayat dingin lainnya betebaran di sekelilingnya, Ini akhir dari yang diberikan hidup palsu oleh Cincin Andvari. "Mantra Penangkal" Louise menghilangkan nyawa palsu dan mereka kembali ke keadaan asli mereka, meski Henrietta tak tahu alasannya. Hanya saja, dia merasa semua yang perlu kembali telah pada keadaan seharusnya, Dan, itu sudah cukup untuk sekarang.

Dia ingin berfikir ini sebagai sebuah mimpi. Tapi, semuanya adalah kenyataan bagai mimpi buruk. Dan dia sendiri, telah mencoba melemparkan segalanya dan menyerahkan dirinya pada mimpi buruk itu. Henrietta menutupi wajahnya dengan tangannya, Kini, dia tak punya hak untuk memegangu mayat Wales. Apalagi wajah untuh menghadapi Louise di hadapannya, yang telah mencintainya sejak mereka masih kecil.

"Apa yang baru saja kulakukan?"

"Apa kau sudah bangun?" tanya Louise pada Henrietta dengan nada sedih nan dingin. Tiada tanda-tanda kemarahan. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan, tapi ini Louise yang biasa.

Henrietta mengangguk."Apa yang harus kukatakan untuk meminta maaf padamu? Apa yang harus kuucapkan untuk meminta ampun dari orang-orang yang kusakiti? Kumohon, katakan padaku, Louise."

"Untuk sekarang, kekuatan putri-sama diperlukan."

Louise menunjuk Saito yang terkapar.

"Luka-luka yang mengerikan."

"Dia telah ditelan puyuh itu, Mohon sembuhkan dia dnegan 'air'mu."

Henrietta dan melantunkan sebuah aksara, Dengan kekuatan tongkat keluarga kerajaan yang menyimpan kekuatan 'air', luka Saito mulai menutup. Mata Saito terbelabak saat dia menyadari yang menyembuhkan lukanya adalah Henrietta.

"Aku tak punya kata apapun untuk meminta maaf. Apa ada orang lain yang terluka?"

Ada banyak ningrat yang selamat dari skuad hippogrif. Henrietta menyembuhkan luka mereka satu-satu. Lalu...tanpa peduli apakah teman atau musuh, mayat-mayat dibawa ke lindungan sebuah pohon. Bahkan bila mayat-mayat ini akan dikubur, mereka tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Louise dll...bahkan Kirche, bahkan Tabitha, tak bisa menyalahkan Henrietta. Henrietta tengah bermimpi buruk. Sebuah mimpi manis nan menggoda. Jika mereka harus membenci seseorang, pastilah yang memberi Wales nyawa palsu dan mengambil untung dari hati Henrietta dengan cara ini. Tak bisa dikatakan Henrietta tak berdosa, tapi adalah kebenaran jua bahwa ada sesuatu yang mengambil untung dari dosa itu.

Henrietta mencoba menggerakkan Wales pada akhirnya. Saat itu...Henrietta melihat sesuatu yang samasekali tak bisa dipercayainya...Mungkin cinta menyedihkan Henrietta mencapai entah dimana...Mungkin, seseorang dengan lembut, untuk menghapus dosanya, dengan lembut melepas sisik kehidupan...Saat Henrietta menyentuh pipi Wales, matanya perlahan membuka.

"...Henrietta? Apa itu kau?"

Sebuah suara yang lemah dan pudar, tapi itu tak diragukan lagi adalah suara Wales, Bahu Henrietta berguncang. Jika mukjizat ada di halkegenia, waktu-waktu seperti ini adalah salah satunya. Itu karena tiada yang bisa menjelaskan alasan mengapa cahaya kehidupan yang seharusnya menghilang diberikan nyala redup. Mungkin saat 'Sihir Penangkal' Louise menyapu nyawa palsu tersebut, napas kehidpan Wales yang seidkit menyalakan apinya.

Adalah mungkin bahwa perasaan Henrietta pada Wales memanggil kasih Tuhan. Tiada yang tahu mengapa. Hanya dengan itu, Wales membuka matanya, Itulah kenyataannya.

"Wales-sama..." panggil Henrietta pada cintanya, Dia mengerti. Kali ini, Wales ini adalah yang sebenarnya. Bukan sebuah boneka yang digerakkan nyawa palsu, tapi dia yang sebenarnya. Airmata mengalir dari mata Henrietta.

"Oh, apa ini, Begitu lama aku menunggu-nunggu saat ini..."

Gerombolan itu segera mendatangi mereka dengan wajah terkejut. Pada saat itu, Henrietta melihat bahwa noda merah sudah menyebari kaos putih wales, Luka yang disebabkan tusukan Wardes yang ditutup nyawa palsu telah terbuka. Panik, Henrietta melantunkan sebuah mantra untuk menutup luka itu. namun...kenyataan memang kejam. Sihir Henrietta tak bekerja pada luka itu, Dengan luka yang tak menutupm noda darah terus membesar.

"Wales-sama, jangan....Tidak, mengapa..."

"Tiada gunanya...Henrietta. Luka ini takkan menutup lagi. Tubuh yang telah mati sekali takkan hidup lagi. Aku mungkin telah kembali sebentar, sebentar saja. Mungkin, ini kekuatan Arwah Air."

"Wales-sama, tidak, tidak...Apa kau berencana meninggalkanku sendirian lagi?"

"Henrietta. Aku punya satu harapan terakhir."

"Jangan katakan sesuatu seperti 'terakhir'."

"Aku ingin pergi ke Danau Ragdorian itu, tempat dimana aku bertemu denganmu pertama kali. Ada sesuatu yang ingin aku kau janjikan disana."

Tabitha membawa naga anginnya, Saito dan Kirche menaruh Wales di punggungnya. Setelahnya, Henrietta, yang menaiki naga angin, menempatkan kepala wales di pangkuannya dan mendukung tubuh Wales agar tak jatuh. Naga angin itu mengembang ke atas, membawa kelompok itu. Bertujuan ke Danau Ragdorian, si naga angin terbang lurus kesana. __________________

Di Danau Ragdorian, Wales menyenderkan tubuhnya pada Henrietta begitu mereka berjalan di tepian. Langit mulai memutih. Pagi sudah dekat.

"Sangat penuh kenangan."

"Ya."

"saat kita pertamakali bertemu, kupikir kau tampak bagaikan seorang peri. Lihat, kau mandi di sekitar sini."

Wales menunjuk satu titik. Dia mungkin tak lagi bisa melihat. Titik itu sangat berbeda dari yang ada dalam ingatan Henrietta. Namun, Henrietta mengangguk. Dengan sepenuh tenaga dia berusaha menahan tangisannya,

"Oh, kau ahli sebagaimana selama ini."

"Pada waktu itu, inilah yang kupikirkan. Jika saja kita lemparkan segalanya seperti ini. Kemanapun tak apa-apa. Tempat tak masalah. Adalah cukup untuk memiliki hanya sebuah rumah kecil dengan sebuah taman. aah, hamparan bungan juga diperlukan. Sebuah hamparan bunga tempat kau menumbuhkan bunga-bunga."

Sepertinya tenaga disedot dari kaki Wales tiap langkah yang ditempuhnya.

"Hei, aku selalu ingin menanyaimu. Pada saat itu, mengapa kau tak ucapkan kata-kata lembut itu? mengapa kau tak katakan kau mencintaiku? Akus elalu menantikannya."

Wales tersenyum. "Aku takbisa mengucapkan kata-kata tersebut, itu akan membuatmu tak bahagia."

"Apa-apaan katamu? adalah kebahagiaanku untuk dicintai olehmu."

Wales lalu terdiam. Henrietta merasakan nyawa memudar dari tubuh Walesnya yang tercinta sedikit demi sedikit. Baginya untuk bertahan begitu lama, pasti itu sebauh mukjizat. Namun, dia tak bisa menangis. Dalam waktu yang tersisa, dia ingin bertukar kata dengannya sebanyak mungkin. meski begitu, suaranya bergetar.

Mengeluarkan segenap tenanganya, wales berkata. "Bersumpahlah, Henrietta."

"Aku akan bersumpah apapun. Apa yang harus kusumpahkan? Mohon bilang padaku."

"Untuk melupakanku. Bersumpahlaj kau akan melupakanku dan mencari lelaki lain untuk dicintai. Aku ingin mendengar kata-kata itu. Di Danau Ragdorian ini, Di hadapan Arwah Air, Aku ingin kau bersumpah itu."

"Jangan katakan yang tak mungkin. Aku tak bisa bersumpah semacam itu. Tak mungkin bagiku bersumpah sebuah dusta." Henritta membeku di tengah-tengah. Bahunya berguncang,

"Kumohon, Henrietta, Kalau tidak, rohku mungkin berkeliaran selamanya, Apa kau ingin aku tak bahagia?"

Henrietta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Aku pasti tak mau."

"Tiada waktu lagi. Tiada waktu lagi yang tersisa. Aku sudah...Karenanya, kumohon..."

"Kalau begitu, kalau begitu...bersumpahlah. Bersumpahlah kau mencintaiku. Kini, kau bisa bersumpah itu, kan? Jika kau bersumpah begitu, maka aku pun akan bersumpah."

"Pasti."

Henrietta, dengan sebuah wajah penuh kesedihan, mengutarakan kalimat sumpahnya. "...Aku bersumpah. Untuk melupakan soal Wales-sama.Dan juga, untuk mencari orang lain untuk dicintai."

Wales berkata dengan wajah puas. "Terima kasih."

"Berikutnya giliranmu. Kumohon."

"Pasti. Bawa aku ke sisi air."

Henrietta membawa Wales ke tepi air. Mentara pagi menyembul melalui ruang diantara pepohonan, dan dengan keindahan yang tak terperikan, Danau Ragdorian berkilauan. Kaki mereka kebasahan dalam air. Henrietta memegangi bahu Wales. Kini katakan. Untuk mencintaiku. Tak apa-apa untuk hanya saat ini. Aku akan memeluk saat ini selamanya. Tak peduli apa yang kau ucapkan. aku akan memeluknya. Mengerti?"

Namun, Wales tak menjawab.

"Wales-sama?"

Henrietta menggoyangkan bahu Wales. Tapi8, Nyawa Wales telah melayang. Henrietta perlahan-lahan mengingat hari-hari disini, saat dia bertemu Wales untuk pertama kalinya. Bagaikan mengambil ingatan satu demi satu dari kotak barang berharga dan memeriksanya satu-satu. Hari-hari yang menyenangkan dan ceria takkan lagi datang. Kalimat sumpah yang dipertukarkan di danau ini tak bisa lagi dijaga.

"Orang yang jahat," bisik Henrietta sambil memandang lurus ke depan.

"Hingga akhir, kau tak pernah ucapkan kalimat sumpah itu."

Pelan-pelan, Henrietta menutup matanya. Dari kelopak matanya yang tertutup, sebuah aliran airmata terbentuk menggarisi pipinya. ____________

Saito yang menonton keduanya dari bayangan, tengah memegangi bahu Louise. Louise mengamati Henrietta dalam diam, menahan suaranya selama menangis. Sambil memegangi bahu Louise, Saito berpikir...Apa aku benar?...Pada waktu itu, apa menyilahkan Henrietta pergi, seperti yang dikatakannya...akan membuatnya lebih bahagia? Bahkan bila itu cinta palsu...Jika orang yang sebenarnya percaya itu nyata, bukankah itu baik-baik saja?

Sambil memegangi bahu Louise, yang tengah menangis seperti anak kecil, Saitoteus berfikir soal itu. Aoa yang benar, dan apa yang salah...Bahkan setelah ini, kemungkinan ada banyak hal lain yang bakal membuatnya khawatir, pikir Saito mendalam. Bahkan setelah ini, ada kemungkinan datangnya saat-saat dimana dia tertekan untuk membuat keputusan seperti saat ini.

Saito memeluk Louise erat. Setidaknya, saat waktu itu tiba...untuk dia, dia sendiri, untuk tak goyah, Saito berdoa. __________

Henrietta membaringkanmayat Wales dalam air. Lalu dia sedikit mengayunkan tongkatnya, dan melantunkan sebuah aksara. Air danau bergeral, pelan-pelan membawa tubuh Wales kedalam air, dimana ia tenggelam. Airnya tembus pandang hinga sanagt dalam, dan mayat Wales yang tenggelam bisa dilihat dengan jelas. Bahkan setelah dia tak bisa melihat Wales lagi, Henrietta tetap mematung.

Bahkan saat permukaan danau memantulkan cahaya matahari dan mulai menyebarkan cahaya tujuh warna prismatik di sekitara situ...Henrietta terus memandang untuk selamanya.