Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab10

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab Sepuluh: Medan Keberenian[edit]

Di atas sebuah buki kecil yang tergambar di peta…subuh membawa maju cahaya melewati gelap.

Pemandangan perlahan meluas, dan padang rumput di bawah membesar dan membesar.

Ini ditunjukkan di peta, daerah pedesaan sekitar 150 liga di barat daya kota Saxe-Gotha. Saito akhirnya sampai disana setelah semalaman berkuda.

Meski lelah memeluknya. Meski dia berkuda semalaman, ruh perjuangan dan gairah dipulihkan cahaya pagi.

Melalui embun pagi, perlahan-lahan diiringi goncangan bumi, sebuah tentara hebat muncul.

Saito berdiri dan memukulkan tapaknya ke kuda yang tadi dikendarai. Si hewan yang tengah santai mengunyah rumput tiba-tiba terkejut dan kabur ke arah mereka datang.

“Kau takkanmenggunakan kuda?” tanya Derflinger dari balik bahu.

“Dia juga punya nyawa; dia bukan sekedar alat.”

“kau memiliki hati yang baik, rekan.”

Saito menanyai Derflinger,” Bukankah kau menceritakan sebelumnya bahwa Gandálfr mampu menghadapi seribu musuh sendirian? 70.000 seharusnya tak jadi masalah kan?”

“Itu kata mereka, tapi itu cuma legenda, jadi orang cenderung melebihkan. Jangan terlalu berharap, nyatanya, itu mungkin kurang dari seribu.”

“..Mengapa kau begini? Berdusta padaku seperti itu. Jika kau berbohong, jangan ceritakan kenyataannya. Kita sudah pasti tewas, jadi stidaknya berdustalah hingga akhir.”

Di ufuk padang rumput, mereka bisa melihat tentara yang terus maju. Meski ia 70.000, karena mereka tak berbaris sederet, ia tampak tak sebesar itu, tapi nyatanya, semua 70.000 di sana.

Tentara yang bersenjata, Penyihir bermantra, Meriam, semi-manusia seperti orc dan troll, ksatria naga…Ksatria pengendara hewan phantom.

Tiada yang luput, semua 70.000 ada disana.

Saito bertanya dengan suara bergetar nan takut.


“Ah, mengapa aku harus menyabung nyawaku untuk menerjang kerumunan itu?”

“Mengapa kau menanyakan sesuatu yang jelas? Kapal-kapal kita harus mundur, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka.”

“Tidak…aku tidak ngomong soal itu..tapi, lupakan sajalah.” Saito mendesah. “Waktu itu aku diselamatkan tikus tanah Guiche, tapi kali ini tak mungkin kita bisa selamat.”

“Tidak, kita tak bisa. Tak peduli keadaannya, labrak saja. Untuk keadaan begini, tak peduli arahnya, akibatnya sama saja. Arah petugas pemimpin, pukul jatuh kepala dan tubuh akan kacau. Mungkin kau bisa memberi mereka sehari atau sekitaran itu.”

“Saito mengangguk sambil menggenggam erat Derflinger. Tanda di tangan kirinya mulai bersinar.

“Boleh kuceritakan kau seseuatu, Derfliner?”

“Apa sih?”

“Apa aku boleh bercerita soal masa kecilku?”

“Boleh.”

“Suatu ketika aku liat seorang nenek diganggu berandalan dekat stasiun kereta, soal nenek itu menabrak mereka. Tapi saat itu aku hanya anak kecil. Aku tak bisa menghentikan mereka meski aku ingin, jadi aku hanya mematung dan menonton. Saat itu aku berpikir, “Jika saja aku sedikit lebih kuat. Tapi di saat yang samas, aku juga mendesah lega. Karena meskipun aku lebih kuat, ia tak manjamin aku bakal menang.”

“Benar.”

“Jangan salah. Kini aku lebih kuat jadi tiada alasan lagi. Waktu itu aku tak punya kekuatan, jadi aku punya alasan untuk tak berbuat apa-apa. Aku tak cukup kuat, sehingga ku tak bertinfak. Tapi kini aku tak bisa mengelak. Karena aku sangat, sangat kuat. Tak peduli bagaimana, aku adalah Gandálfr, kan?”

Deflinger bergumam rendah “Um hum.”

“Tapi… semua itu hanya di luar, Di dalam diriku, aku tak benar-benar kuat. Namun tiada yang bisa ku lakukan soal itu, meski aku familiar Gandálfr nan legendaris, tubuhku gemetaran, Aku benar-benar tak punya persiapan mental apapun. Keadaan begini bukanlah untukku. Melindungi kehormatan semuanya, aku benar-benar tak menyukainya! Aku gemetaran ketakutan. Aku tak ingin mati.”

“Rekan, kau benar-benar seorang Pemberani!”

“Kepribadian seperti ini hanya akan mengarah pada masalah, dengan cepat.” Pikir Saito.

“Keberanian, bukankah ini adalah keberanian itu sendiri?”

“Hei, rekan.”

“Apa?”

“Apa aku akan mati?”

Mungkin”

Pemuda itu terdiam. Derflinger memutuskan untuk menyemangatinya.” Jika seperti ini jadinya, maka keluarlah seperti pahlawan!”

“Mengapa?”

Karena jika tidak, semuanya bakal sia-sia.

“400 m di depan mereka, mereka bisa melihat kekuatan penyerang Albion.

Tiba-tiba tubuhnya mulai menggerakkan dirinya sendiri; mereka takkan tahu apalkh ini karena kekuatan Gandálfr ataukah karena keberanian Saito sendiri, Atau yang lain.

Saito menyerbu ke 70.000 tentara itu.

Kelompok pertama tentara Albion yang menemukan pahlawan penyerbu itu bukan kaveleri depan, melainkan familiar burung hantu milik komandan artileri. Karena dia tak percaya pada para infantri, dia memutuskan memeriksa hal ini sendiri.

Setelah dia mentahkikkan keadaan melalui burung hantunya, dia langsung memerintahkan skuad senpi untuk bersiap menembak, karena selama perjalanan, para prajurit senpi biasanya tak mengisi senjata mereka.

“Apa? Hanya satu orang?”

Dia terkejut saat menemukan hanya ada satu orang, tapi dia kaget begitu melihat kecepatan pemuda itu.

Itu bukan kecepatan yang bisa dicapai seseorang dengan kakinya sendiri.

Kaveleri depan juga membuat kesalahan yang sama.

Karena kesalahan perkiraan kecepatan, musuh melewati mereka tepat ketika mereka berhenti. Sebelum kaveleri bisa menghunus senjata mereka, mereka dipukul jatuh dari kuda.

Yang bisa dilakukan kaveleri yang terjatuh hanyalah mendengar suara jejak musuh, kecepatannya begitu tinggi sehingga mereka bahkan tak bisa melihat musuh mereka.

Sebelum para prajurit selesai mengisi senjata mereka, musuh sudah di depan pemimpin mereka.

Ia seseorang bersenjatakan pedang besar.

Si komandan, langsung menarik keluar tongkat sihirnya, tapi diterbangkan pedang tersebut. Sesuatu menghantam keras sisi kepalanya dan dia langsung pingsan.

Berikutnya, ksatria sihir menghampiri dari udara. Mereka menggunakan sihir dan familiar mereka untuk mengikuti gerakan Saito dan melepaskan rentetan mantra.

Bilah angin, tombak es, dan bola api terbang beruntun menuju Saito, tapi langsung dihisap si pedang. Meski para ksatria kaget, mereka tak menghentikan serangan sihir mereka.

Komandan ksatria menyuruh bawahannya menyebar; begitu dia memerintahkan itu, sehembus angin bergerak di sisinya. Angin menghentak, tongkat sihirnya patah menjadi dua, dan ada kaki menghantam dalam perutnya. Dengan iga yang remuk, nyerinya begitu kuat sehingga dia tak bisa berteriak dan langsung pingsan.

Derflinger menanyai Saito,”Mengapa kau tak membunuh mereka?”

Saito melemparkan balasan pendek, “Aku bukan prajurit.”

“Maksudmu?”

“Mau itu teman atau musuh. Aku takkan memperlakukan mereka seperti alat.”

Derflinger mendesah.

Saitu menari, menghindar, menghantam kiri-kanan, menyebabkan kekacauan dalam formasi musuh.

Bertarung sendirian ternyata sangat menguntungkan.

Untuk mencegah penembakan teman sendiri, musuh tak berani menggunakan senpi dan proyektil, dan dengankecepatan Gandálfr, tiada yang bisa mengejar di dunia ini.

Tapi…penyihir musuh tetap sulit ditangani.

Meski Derflinger bisa menyerap rentetan tak henti mantra, jumlah sihir yang ditembakkan diatas normal, dan perlahan si pedang kehilangan kemampuannya untuk menangani mereka.

“Ugh!”

“Tangan kiri?”

“Huh, sial…tak bisa kugerakkan lagi.”

Kini Saito hanya bisa menggerakkan Derflinger dengan tangan kanannya karena bahu kirnya terluka parah dan sebagian tubuhnya terbakar api, yang datang dari bola api yang meledak di dekatnya.

Meski dalam keadaan genting, Saito terus menerjang, tetap tegak berdiri sambil dikepung dari segala arah.

Karena serangan sihir dan senjata…cedera Saito bertambah parah seiring dengan waktu.

Petugas komandan unit tengah mengendarai manticore phantomnya. Dia menendang tunggangannya dan bersiap menyerbu, tapi sebuah pedang memukulnya jatuh dan dia melihat manticorenya terkapar. Sesaat kemudian, kakinya sendiri remuk dan dia pingsan ke tanah.

Komandan divisi senpi memerintahkan bawahannya bersiap untuk sebuah manuver, yang bakal mengepung musuh yang bagai angin ini seketika, tapi musuh itu melompati formasi, dan menghantam kepala komandan dengan pedangnya, mengirimnya langsung ke alam mimpi.

Komandan muda yang dibebani para pemanah buru-buru memerintahkan bawahannya memanah, tapi panah-panah itu tak dapat mencapai musuh, malah menghantam sekutunya sendiri. Dalam kekacauan dia berhasil mengenai kakinya sendiri.

Kekacauan diantara garda terdepan semakin besar. Jenderal Hawkins menerima laporan yang memusingkannya. Laporan yang diterimanya berantakan.

Ada yang mengatakan, musuhnya pengendara tunggal.

Ada yang mengatakan,musunya seorang penyihir.

Ada yang mengatakan,ini bagian tentara musuh.

Ada yang mengatakan, itu ksatria sihir elf.

Ada yang mengatakan,itu divisi elf…dll

Tapi sang Jendera, veteran yang telah melalui 100 pertempuran, merasa ia hanyalah seorang musuh. ‘ Seorang Musuh dengan kecepatan angin.

Seorang Musuh dengan kekuatan bagai api.

Musuh yang takkan goncang bagaikan batuan bumi.

Musuh yang sukar dibaca bagaikan gelombang lautan.

“Aku tak menyukainya,” ucap Jenderal Hawkins.

Tepat ketika Saito mematahkan tongkat sihir petugas eselon tengah, dia menemukan sekumpulan penyihir. Karena begitu banyak penyihir melindungi seseorang itu berarti…

“Dia pasti berpangkat tinggi…” ujar Derflinger. Tapi meski Saito mendengarnya, dia tak bisa berbuat banyak karena tubuhnya mulai lumpuh oleh nyeri. Dia takkan bisa bergerak beberapa saat lagi.

Dia harus menyimpan tenaga untuk bernapas.

Hanya untuk memukul jatuh satu petugas lagi…

Hanya untuk menyebabkan lebih banyak kekacauan.

Seperti ini hanya untuk memperpanjang waktu. Meski Cuma semenit, satu detik, kesempatan ini harus diambil.

Ini adalah Tugas Louise.

“Tugas yang seharusnya dilakukan Pemilikku yang cantik.”

Saito menyerbu menuju jenderal musuh yang dikelilingi kumpulan penyihir.

Jenderal Hawkins menatap angin yang berhembus kepadanya.

Kecepatan yang benar-benar mengagumkan,


Dia menghunus tongkat sihirnya, mengucapkan mantra dan dalam sekejap memunculkan bilah angin. Tapi…musuhmenghidarinya dengan mudah. Yang bisa dilihatnya hanyalah pedang musuh yang melayang menuju kepalanya.

Jenderal Hawkins hanya dapat melihat bayangan di depannya, seakan mencoba membekaskan pada pandangannya,

Para pengendara menghantam musuh dengan tembakan sihir membabi-buta, tiap-tiap tembakan menempelkan diri pada tubuh pemedang tersebut.

Meski tembakan-tembakan tersebut seharusnya berakibat fatal, sang ksatria bagai angin itu tak pernah melambat.

Pedangnya naik, menghantam kedalam tubuh Hawkins.

Ujung pedang mencapai 5 cm dari wajahnya.

Hawkins tak mengalihkan pandangan dan menatap lurus ujung pedang itu.

Tapi ia tak mengenai wajah hawkins.

Seakan waktu berhenti, gerakan pemedang membeku.

Hawkins menggunakan tongkat sihirnya untuk memukul pedang sehingga menjauh, dan sang pemedang menghantam tanah dengan sebuah gubrak.

“Yang Mulia! Situ OK?”

“Jenderal hawkins! Salah seorang ksatria mendekat.

“Tiada tulang yang patah,” jawabnya.

Laporan datang bertubi-tubi.

Sangat tak terbayangkan bahwa seorang ksatria bisa menyebabkan begitu banyak kekacauan. 14 Pemimpin rendah dan tinggi terluka, infantri terdaftar yang diperkirakan cedera sekitar dua ratus lima puluh.

Kehilangan ini dari pandangan keseluruhan tentara masih berada dalam batas yang dapat diterima. Tapi akibatnya signifikan. Garda depan yang kuat kini kacau balau, banyak yang cedera karena tembakan teman dalam kabut perang, dan \ cerita bahwa “semua disebabkan satu pemedang” telah menyebar diantara prajurit bagai api liar, merusak moral prajurit dengan hebatnya.

Komandan depan melaporkan dengan wajah masam: “ Saya takutkan ini memakan beberapa waktu untuk memperbaiki garda depan, setidaknya beberapa jam.”

Dan, isu-isu terus menyebar di antara prajurit yang ketakutan, yang sangat mengurangi kecepatan gerak pasukan. Prajurit yang terdaftar takut bahwa musuh mungkin menyembunyikan pemedang lain seperti ini.

Ajudan perlahan berbisik pada Jenderal hawkins.

“Saya takut kita tak bisa memenuhi tujuan gerak kita hari ini. Jika ini terus berlangsung, kita akan membuang setengah hari…tidak, satu hari.”

Hawkins menunduk.

Dia turun dari kudanya, berjalan mendekati pemedang yang pingsan, dan melihatnya baik-baik.

“Dia hanya seorang pemuda.

Tubuh di tanah itu milik seorang pemuda brambut hitam yang tampangnya tak biasa.

Melihatnya masih bernapas lemah, sudah jelas tubuhnya terkena kerusakan sihir yang parah; ini Cuma soal waktu.

Hawkins ingin menghadirkan penyihir air, namun setelah begitu banyak luka itu hanya akan memperpanjang deritanya. Bahkan sihirpun tak terbatas.

Hawkins menunduk memandang pemuda itu dan bergumam,

“Aku sangat iri.”

“Huh?”

“Seorang ksatria sendirian menghentikan seluruh tentara…dalam cerita sejarah yang panjang, dia seorang pahlawan; Aku ingin aku bukan hanya seorang jenderal, tapi seorang pahlawan.”

Suara Hawkins perlahan menghilang.

Sub-komandannya juga mengangguk.

“Apa yang kau katakan benar, namun keadaan ini adalah hasil peperangan, syang sekali dia musuh kita.”

“Meski dia seorang musuh…bahkan bukan seorang ningrat…aku percaya dia harusnya menerima penghormatan dan kehormatan tertinggi.”

“Aku mengerti maksudmu.”

Keduanya, Jenderal Hawkins dan si sub-komandan menyaluti pemuda itu.

“Ayo kita kubur dia dengan hormat.”

Dia memberikan perintahnya pada para prajurit.

Tepat saat itu, tubuh Saito melompat.

“Apa-apaan ini?”

Tubuh Saito mencapai kecepatan lamanya, dan menghilang kedalam hutan.


Begitu di dalam hutan…tubuh Saito rubuh lagi.

Sebuah suara bergema dalam hutan nan gelap.

Bukan suara Saito, namun milik Derflinger.

“Haaah…sudah 1000 tahun sejak terakhir kali aku menggunakan ‘tuan’, ya? Meki alasan aku bisa bergerak…adalah karena aku menyerap energi sihir. Lagipula, aku sudah lelah…tapi rekan, kau terlihat hancur berantakan…”

Tubuh Saito tak bergerak sedikitpun.

“Hei, rekan. Apa kau mendengarku? Bertahanlah., aku akan menceritakan sesuatu yang menyenangkan. Saat itu, gadis itu mengenakan pakaian kucing hitam itu hanya untukmu. Dia ingin kau mendorongnya ke bawah lagi.”

Derflinger menunggu beberapa saat.

Namun, tak peduli berapa lama dia menunggu, tiada jawaban yang keluar.

Begitu kekuatan Derflinger memudar, tangan Saito melonggarkan pegangannya. Terbebas dari jemari Saito yang tak bernyawa, Derflinger berucap penuh sesal,

“…Ck, kau tak bisa mendengarku lagi.”

Louise terbangun dan menemukan dirinya di dek Redoutable.

Karena angin yang menyapu wajahnya, dan juga suara layar yang berkibar, akhirnya dia terbangun.

Malicorne dan Guiche menatap balik wajahnya.

“Wow, Louise terbangun!”

“Bagus! Bagus!”

Melihat teman-temannya mengangguk-angguk, Louise bertanya dengan nada heran:

“Mengapa … Aku …?”

“Kami tak tahu. Saat kapal berangkat, kami menemukanmu tidur di sini.”

“…Disini? Ini kapal?”

Saat dia memandangu pemandangan yang bergerak selama beberapa menit, Louise tiba-tiba teringat seseuata yang maha penting, dan langsung tegak berdiri.

“Aku, aku mesti pergi untuk menghentika tentara musuh. Aku harus mencegah tentara Albion menyusul kita!”

Baik Malicorne maupun Guiche memandanginya heran.

“Menghentikan musuh/”

“Ya! Aku harus memperlambat musuh untuk memberi waktu bagi kita untuk mundur.”

“Kita sudah mundur.”

“Ini kapal terakhir dari pelabuhan Rosais.”

“…Oh?”

Louise terlihat kebingungan saat melihat dari dalam, dimana daratan Albion semakin mengecil.

“Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi pada Tentara Albion yang mengear kita?”

“Mereka mengatakan mereka tak bisa mengejar kita, meski hampir.”

Bagus, Bagus, ini berarti kita bisa pulang dengan selamat.”

“Tapi saat kita kembali, akan ada banyak masalah.”

Malicorne dan Guiche bertatapan, lalu keduanya mulai tertawa.

Apa yang sebenarnya terjadi?”

Mengapa tentara Albion memperlambat gerak mereka?

Saat itu…dia tiba-tiba teringat sesuatu yang lebih penting.

Dia tak bisa menemukan Saito dimana pun.

Louise berlari mengelilingi kapal. Dan bertemu Siesta beserta keluarganya di dalam.

“Nona Louise…kau terbangun?”

“Jangan ngomong soal itu! Dimana Saito?”

Wajah Siesta langsung pucat begitu mendengar ini.

“Saya menunggu Nona Vallière terbangun untuk menanyakan itu, bukankah Saito-sa bersamamu?”

Louise menggelengkan kepalanya, melihat wajahnya yang penuh kekhawatiran, Siesta makin pucat tiap detik,

“Nona Vallière. Dimana Saito-san? Dimana! Mohon bilang padaku!"

Tepat saat itu, mereka mendengar obrolan dua prajurit di belakang mereka.

“Kudengar dari teman di kapal Navarre bahwa mereka melihat seseorang berkuda sendirian untuk menghadang tentara Albion.”

“Haha, berhentilah bercanda, itu Cuma satu orang, apa sih yang bisa dia lakukan?”

Louise berjalan mendekati salah satu prajurit tersebut dan berkata,

“Hei, apakah apa yang kau katakan benar?”

Si prajurit terkejut ditanyai seorang bangsawan, dan menunjukkan wajah terkejut lalu dengan suara bergetar,

“Ya, ya, tapi aku tak tahu apa itu benar atau tidak, kudengar ini dari orang lain, bagian itu memang benar.”

Wajah Louise langsung pucat, darah langsung terhisap dari tiap inci tubuhnya. Itu pasti Saito. Tak mungkin salah. “Aku tak tahu apa yang dia lakukan untuk membuatku terlelap. Lalu menaruhku di kapal ini,…lalu pergi menghadang tentara Albion.”

Louise berlari ke hedge dan berteriak

“Saito!!!”

“Nona Vallière, apa yang terjadi? Mohon bilang, ceritakan padaku!”

Sieta yang khawatir menekan Louise.

“Saito!!!”

Teriak Louise sambil melompati pagar, lalu mencoba melompat menuju tanah.

“HEY! HEY! Apa kau mau mati?!”

Guiche dan Malicorne yang melihat hal ini lalu mencengkram dia sebelum dia bisa melompat.

“Lepaskan aku!!! Aku mohon, lepaskan aku!!!”

“TIDAK! Tiada lagi orang kita di darat.”

“Lepaskan aku!!!”

Jeritan dan erangan Louise bergema memenuhi langit Negeri Putih.


Tentara Albion yang tiba di Rosais, menengadah ke atas dan menggeremutukkan gigi.

Mereka hanya beda serambut, tapi kini mereka tak bisa melakukan apapun selain menonton tentara sekutu kabur.

Mereka bisa saja meneruskan pengejaran, tapi tiada kapal tersisa.

Setelah menduduki Rosais, Cromwell memasuki markas bata merah…lalu menggigit jari karena marah.


Dia sudah mendapati Jenderal Hawkins, yang gagal menyelesaikan misi, ditahan dan dikirim balik ke Londinium.

“Mengapa Gallia tidak mengirim prajurit mereka? Jika mereka diserang dari dua arah oleh kedua negara, kekuatan sekutu takkan bisa meninggalkan Saxe-Gotha…”

Dia menanyai Nona Sheffield…yang tak terlihat dimanapun.

Cromwell tegang setelah kalah di satu pertempuran. Dia takut untuk meneruskan perang ini lebih jauh. Dia berada pada titik pecah. Dia berada pada titik dimana dia gemetaran tak terkendali.

Teriakan riuh-rendah terdengar dari sisi lain jendela.

Saat dia melangkah mendekat.

Dia melihat kloter besar menembus langit.

Di bendera yang berkibar bisa terlihat dua tongkat sihir bersilangan…kloter Gallia.

Cromwell jadi bersemangat.

“Ooh! Akhirnya kalian datang! Pas seperti diharapkan dari negara Gallia nan besar! Ada berapa kapal, tuh? Tapi…mengapa mereka datang sekarang…setelah musuh melarikan diri?”

Dan begitu dia menggigit kkuku jarinya lagi, barulah terlintas mengapa.

“Itu benar! Mereka akan mengejar kloter musuh! Bagus itu! Utusan! Langsung kesini!”

Saat dia hendak memanggil utusan…utusan itu sendiri meloncat ke ruangannya.

“Kloter Gallia! Mereka tiba!”

“Aku tahu! Aku melihatnya sendiri! Sekarang! Bilang ke komandan kloter Gallia bahwa-…”

Utusan itu menyela perintah Cromwell.

“Yang Mulia. Ada pesan dari kloter Gallia!”

“Pesan? Oh! Begitu!”

“Mereka ingin tahu keberadaan anda untuk menyambut anda!”


“Sambutan! Begitukah, ha ha ha! Mereka benar-benar sangat ramah! Mereka memiliki raja dan sekretaris yang ramah, jadi pasti komandan armadanya pun begitu! Sekarang kibarkan Bendera Persatuan di depan pintu.”

“Dimengerti.” Utusan itupun pergi

Setelah beberapa saat, di Lapangan,, Bendera Persatuan Suci Republik Albion dikibarkan. Setelhanya, lusinan kapal berbaris di sekitar gedung satu di antara ynag lain. Ini pemandangan perkapalan yang luar biasa.

Sambutan macam apa ya? Dia menanti dengan girang.

Lalu, di depan matanya, pintu gedung terbuka dan orang-orang panik berlarian keluar. “Mengapa mereka melarikan diri dari sini?” Tepat seperti tikus-tikus dari kapal yang tenggelam.

Dia melihat lagi ke atas, ke armada. Ratusan meriam dari lubang tembak bersinar bersamaan,

Cromwell belum pernah melihat sesuatu yang lebih indah selama 30 tahun hidupnya.

Ribuan bola meriam, setelah perintah menembak, mengenai gedung bata merah tempat Cromwell berada.

Dan dalam seketika, Markas resmi itu menjadi puing-puing.