Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume8 Bab2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter Dua : Pagi Saito

Ring Ring Ring Ring Ring Ring!. . . Bunyi jam alarm dan Saito membuka matanya yang mengantuk.

Ia pelan-pelan beranjak dari tempat tidurnya.

Di sini adalah Jepang , Tokyo di mana rumahnya yang berlantaikan dua dan enam kamar tidur. Di kamarnya sendiri. Sekejap saja, ia merasakan perasaan yang aneh, suatu yang sulit untuk dijelaskan.

Ia berada di tempat tidurnya! Tapi kenapa ia merasa gelisah?

Masih dalam keadaan ngantuk, Saito melihat pada jam alarm berbentuk seperti kucing : 8:30 pagi. Perasaann gelisahnya menghilang bersamaan dengan teriakannya “Sial!” dan meninggalkan tempat tidur.

Bukannya ia hampir kesiangan?

Saitu melompat turun ke tangga dan tiba di lantai satu, lalu berteriak pada ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.

“Ibu, kenapa tidak membangunkanku?”

“Bukannya sudah kukatakan pdamu, kamu harus bisa bangun sendiri di pagi hari?”

Sesaat, muncul perasaan rindu rumah yang begitu besar pada dirinya.

Melihat punggung ibunya, Saito merasa ia melihat seorang yang ia cintai yang sudah lama menghilang. Ia melihat bayangan ibunya setiap hari, jadi perasaan apa ini?

Tapi sekarang bukan waktunya untuk mengkhawatirkan hal ini, ia sudah hampir terlambat ke sekolah. Saito berjalan cepat menuju ruang tamu, mengenakan seragam sekolah yang ia tinggalkan di sana, dan berlari kembali ke dapur pada ibunya : “Aku sudah terlambat, segera pergi, bu!” mengambil sepotong roti bakar dari meja makan, menggigitnya di mulut seperti tikus, menelannya ketika ia berlari keluar dari pintu.

Keluar dari rumah dan terus menuju jalan perumahan.

Tiba-tiba Saito terdiam di tempatnya.

Ibu sering sekali mengeluh tentang rumah di seberang jalan dan berwarna merah yang jelek. Saito mengambil waktu untuk “meminjam” beberapa buah dari pohon kesemek milik tetanggganya. Di dekatnya ada sebuah mesin penjual buat jus buah.

Pemandangan yang biasa dan normal. Meskipun, ini adalah pemandangan yang sudah biasa baginya, di sana ada perasaan rindu yang luar biasa, yang membuat semuanya terasa sayang.

Ini adalah ketiga kalinya dalam sehari ia merasakan perasaan aneh ini. Saito berdiri kebingungan, tidak bisa menemukan alasan mengapa semua ini terjadi. Pada momen itu, seseorang memanggilnya dari belakang.

“Saito-san!”

Saitu berbalik ke belakang, hanya menemukan perempuan dengan seragam sekolahnya berdiri di depannya.

“Siesta!”

Tidak salah lagi itu adalah Siesta.

Walaupun, ia biasanya adalah maid di Akademi Sihir Tristain, sekarang ia berdiri di depannya memakai seragam sekolah.

Siesta memakai seragam kebaratan yang pernah Saito lihat sebelumnya, membuatnya terlihat keimutan yang baru. Bersama dengan rok mini yang dikenakan oleh murid lainnya, blus berwarna biru dengan kemeja putih, dan kaus kaki sepanjang lutut.

Apa yang Siesta lakukan di Tokyo?

Kenapa Siesta memakai seragam sekolahnya?

Meskipun ia masih kesulitan menemukan jawaban untuk pertanyaannya, ia memilih menemukan jawaban pada pertanyaan pertama yang muncul dipikirannya. “Kenapa kamu berpakaian seperti itu?”

Siesta menjawab pertanyaan Saito dengan wajah yang bingung.

“Karena Saito-san dan aku pergi ke sekolah yang sama, bukannya normal bagiku memakai seragam yang sama?”

Oh, jadi begitu yah. Saito mengangguk begitu mengerti. Dari cara ia mengatakannya itu terasa benar, tapi sekarang pikiran Saito sedikit kabur, jadi ia tidak begitu bisa mengungkapkan apa yang salah.

Siesta lari dengan memegangi tangan Saito.

“Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu...”

Muka Siesta berubah merah, tidak dapat menyelesaikan kalimatnya.

“Aku sudah menunggumu dari tadi.... aku ingin pergi sekolah bersama... jadi...”

“Oh, begitukah? Ok, mari pergi bersama.”

Lupakan saja, ia begitu manis. Pergi bersama tidak masalahkan. Saito membuang pertanyaan yang tadi muncul di kepalanya.

“Bagus!” Kata Siesta dengan tersenyum dan mengambil selangkah ke depan. Angin musim semi bertiup melawan tubuhnya.

“Oh!” Angin sangat kuat hingga mengangkat rok pendeknya.

Rok itu memperlihatkan kulit seputih salju, menyebabkan Saito mencubit hidungnya secara reflek.

“Kenapa, Siesta, Kenapa kamu tidak memakai celana dalam?”

Siesta menggunakan tangannya untuk menahan roknya, dan membalas dengan malu.

“Karena, karena aku bukan salah satu dari perempuan kelahiran bangsawan, yang memakai celana dalam kebungaan...”

“Jepang tidak punya satupun kebangsawanan!”

“Benarkah itu...”

Itu adalah jawab yang sangat aneh, pikir Saito, terasa ada ketidaksesuaian.


Semua terasa masuk akal, tapi terasa tidak sepenuhnya benar... Hanya mereka berdua berdiri kebingungan...

Saito dibuat melayang dengan sebuah tamparan keras pada dirinya dari belakang dan langsung terjatuh di tanah.

Orang yang menjatuhkanya ke tanah adalah gadis berambut pink. Ia memiliki sepotong roti panggang di mulutnya dan mengeluh di waktu yang sama.

“Terlambat, terlambat, Aku terlambat!”

Gadis itu terus mengeluh dan berpaling, menginjak Saito beberapa kali dengan kakinya.

“Kau! Kau!”

Saito mati-matian mencoba untuk bangun.

“Ah, terlambat, benar-benar terlambat!!”

Gadis itu kembali mengayunkan kakinya, kali ini mengarah pada wajah Saito. Saito terjatuh kembali sambil berteriak.

“Nona Valliere!”

Teriak Siesta.

“Ah... Terlambat, Aku bilang kita terlambat!”

Perempuan bernama Valliere terus berteriak “Terlambat”, tapi di saat yang sama menari di atas tubuh Saito yang terjatuh.

Saito yang berbaring di tanah, berteriak keras, “Kalau kau tahu kau terlambat, berhentilah menari di atas tubuhku!”

Dengan teriakan itu, gadis mungil berambut pink itu berhenti. Tangannya melingkar di dadanya, ia menatap Saito dan bertanya,

“Ke mana kau melihat? Wajahmu memerah!!” Ada perasaan tidak menyenangkan dari suaranya saat ia bertanya,

Perempuan muda ini memakai seragam yang sama dengan Siesta – Seragam sekolah Saito. Tetapi, cara ia memakainya berbeda. Ia membiarkan kancing seragamnya terbuka, dan membiarkan dasinya longgar, yang membuat penampilannya sangat kelonggaran baginya. Tetapi, rambut pink itu dan mata berwarna teh itu pasti adalah Louise.

“Kenapa kamu memakai pakaianmu seperti itu?”

Tetapi Louise tidak terlihat mendengarkan pertanyaan Saito.

“Kemana kau melihat? Jawab!”

“Itu tidak ada hubungannya denganmu!” Begitu Saito selesai berbicara, ia menerima hadiah dari kaki Louise tepat di wajahnya.

“Tentu saja itu ada hubungannya denganku! Kau adalah familiarku, jadi apapun yang terjadi kau hanya diperbolehkan untuk melihatku seorang! Jika kau melihat orang lain, Aku akan memberi pelarajan untukmu!”

Louise menatap Siesta marah.

“Jadi, jadi, jadi kapan kau pergi melihat maid berdada besar, ini berarti hukuman keras! Apa kau mengerti?”

“Apa kamu bercanda tentang itu?” teriak Saito. Ia melompat ke atas dan menggenggam bahu Louise.

“Eh...” Louise mengeluh tajam bersamaan dengan jatuh ke tanah, dan Saito mendarat di atasnya, matanya terpaku pada wajahnya.

“Kau, apa yang kau lakukan?... Kau, kau berencana untuk menyerang majikanmu?”

“Betul sekali.”

“Kau jangan berani melakukan sesuatu! Aku adalah bangsawan, kau adalah rakyat jelata!”

“Putri bangsawan tidak akan berpakaian seperi ini!”

Teriak Saito sambil menunjuk pada kaos kaki Louise yang longgar.

“Apa, apa urusannya? Apa yang aku pakai itu adalah urusanku! Kau hanya seorang familiar, pikirkan urusanmu sendiri!”

“Apa itu familiar? Apa itu bangsawan? Apa itu majikan? Itu tidak sama di sini! Karena kita berada di Jepang!”

“Jangan berbicara yang mengada-ngada!” bentak Louise. Saito menahan amukan Louise dan melihat pada mata hangat Louise.

“Kamu... ingin semua ini terjadikan?”

Walaupun kata-kata itu muncul dari mulutnya, itu bukanlah seperti dirinya. Walaupun ia berbicara... rasanya seperti ia menonton film tentang karakter lain.

“...Eh?”

“Kamu berharap dijatuhkan olehku, yakan? Itu mengapa kau mengenakan kostum kucing hitam itu. Itu agar diriku menjatuhkanmu. Yah? Bicaralah. Heeey, Bicara!”

Kata-kata itu pernah dikatakan sebelumnya, pikir Saito aneh tapi tenang, ketika berteriak.

Kemudian pipi perempuan berubah menjadi merah muda, seperti warna rambutnya. Ia memalingkan kepalanya dan melihat ke arah lain.

“J-Jangan be-bercanda. Siapa yang ingin dijatuhkan? Ber-Berhenti bercanda, lepaskan aku secepatnya atau aku akan menendangmu.”

“Kalau begitu tendanglah.”

Mendengar perkataan yang serius, Louise menggigit pelan bibirnya.

“Ja-Jangan marahi aku....” katanya dengan suara lemah.

“Baiklah, selamat makan.” Saito mengangguk serius dan mulai mengendurkan kemeja Louise. Aku pernah melakukan ini sebelumnya, pikirnya. Lalu kepalanya dipukul dengan penggorengan oleh Siesta yang berdiri di belakang.

“Aw!”

“Kita ada di tengah jalan. Itu memalukan, tolong hentikan.”

“Penggorengan, kenapa...”

“Aku membawanya buat memasak.”

“Berhenti!” teriak Louise tidak sopan pada Siesta. Siesta berpaling pada Louise.

“Kenapa kau begitu marah, walaupun aku menolongmu? Lalu semua perkataan tentang “marah” sebelumnya adalah bohong. Itu bukan niatmu dari awal. Kau ingin dijatuhkan, bukan?”

“Bo-Bohong! Maid seharusnya diam dan mengerjakan cucian!”

“Aku akan mencuci jika kau mau memberikanku papan cucian.”

“Haah? Aku tidak punya papan cuci!”

“Tidak benar. Kau punya satu yang bagus di situ.”

Ia menunjuk pada dada Louise. Louisee mengeluarkan jeritan nyaring.

“Keeeeeeeeeee!”

“Cuci dengan dada yang kecil♪ Dengan gelembung cuci♪ gosok gosok gosok♪”

Loise melompat mendengar nyanyian Siesta.

“Apaaa! Dada besar cuma itu yang kau punya, maid! Hanya bercumbu dengan laki-laki yang kau pikirkan! Bahkan tidak memakai celana dalam!”

“Bukannya kau juga sama! Kau selalu berpikir bagaimana caranya bercinta! Berikutnya tidak memakai apapun! Bangsawan bodoh! Selalu berharap dan menunggu dengan sinar mata yang akan dijatuhkan oleh Saito-san! Apakah kau punya malu?!”

“Apa! Tidak becus! Maid bodoh!” Perselisihan berubah menjadi seperti perkelahian kucing antara keduanya. Rok yang berkibar, saling mencakar, mencambak rambut satu sama lain, mereka berguling di tanah seperti dua ayam yang mengamuk.

“Ber-Berhenti...” guman Saito, meskipun keduanya tidak mendengarkan sama sekali. Kemudian... Sebuah limusin hitam datang.

Pintunya pengemudi terbuka dan Mazarin, berpakaian dengan baju hitam dan sarung tangan putih, melangkah keluar. Ketika Mazarin membuka pintu belakang, ia menunduk hormat. Keluarlah Henrietta, dengan gaun putih. Ia mengenakan topi yang tidak bertepi dengan bunga-bunga yang cocok sekali dengan anak gadis dari pada seorang putri. Ia memegang elegan tas di sampingnya.

Henrietta lari menuju Saito dan mengulurkan tangannya.

“Kamu menghentikan 70.000 pasukan.”

“Ya.” Balas Saito dengan berani.

“Kamu benar-benar tak terhentikan. Aaah, kamu adalah penyelamat Tristain. Meskipun aku adalah ratu tak berguna yang tidak bisa melakukan apapun, aku tidak bisa membiarkan seorang berloyalitas tinggi tidak mendapat penghargaan. Baiklah, cium tangan ini.”

Saito mengambil tangan itu dan menekan bibirnya, kemudian, Henrietta merangkul tangannya melingkar pada leher Saito.

“Tu-tuan Pu-Putri?”

“Panggil aku Ann. Berikutnya, pada bibir. Untuk tanda kasih sayang.” Dengan malu-malu Henrietta memeluk kepala Saito erat-erat dan mengerutkan bibirnya.

Gawat, pikir Saito dan dengan cepat kepalanya.

“Apa yang tuan putri lakukan?!”

“Bangsawan selalu! Kamu selalu lebih menyukai mereka! Tidak mungkin seorang perempuan desa lebih mendapat perhatian!”

Saito, tahu benar apa yang terjadi akan membuatnya jadi sasaran amukan Louisse dan Siesta, dengan cepat melepaskan tangan Henrietta dan melarikan diri.

“Tunggu! Ayo lanjutkan malam itu di hotel murah.”

Teriak Henrietta.

“Melanjutkan apa di hotel murah itu?! APA?!”

“Apa yang kau lakukan di sana! Kau pasti memakai pakaian aneh lagi!”

Siesta dan Louise berlari mengejar Saito sambil berteriak.

Ketika ia mencoba melarikan diri, sebuah motor amerika muncul dari pojok. Scarron dan Jessica mendudukinya, berpakaian baju kulit yang ketat.

Saito melompati motor milik mereka berdua dan terjatuh.

Jessica melompat dari motornya dan menatapi Saito yang terkapar.

“Berhentilah jadi orang tak berguna, bantu aku menjual minyak ini.”

“Ka-kamu...”

“Huh? Tidak bersemangat? Apakah ini akan menyemangatimu?”

Ia melemparnya tatapan nakal dan melalui celah jaket kulitnya membawa tangan Saito pada bukitnya yang berkembang dengan baik.

Sekarang ia dalam masalah besar.

“Tu-tunggu sebentar!”

“Tunggu untuk apa?” Jessica berkata dengan suara nakal yang menggelitik hati pria, dan mengamatinya lewat mata yang berbinar-binar.

“Kamu perempuankan? Jadi jangan bersikap seperti ini...”

Tapi mata Jessica membuat Saito menahan napasnya...

“Si rambut coklat itu lagi!”

“Sepupuku! Ada apa ini?!”

Saito meninggalkan Jessica dan mulai berlari lagi. Ia melarikan diri menuju jalan utama, dan tangannya yang mencoba membuka jalan di tengah kerumunan, ia menabrak orang lagi.

“M-maaf.”

Ia menabrak perempuan dewasa dengan rambut merah muda panjang. Ia mengenakan kardigan warna ungu tipis dan memegang rantai yang menyambung dengan banyak anjing.

Bark. Bark bark. Bark bark bark.

Anjing-anjing itu mendekati Saito.

“Anjing! Banyak sekali anjing! Anjing yang baik! Uwaa! Waawaa!”

“Huh, mereka terlihat begitu menyukaimu.”

Saito mengenal perempuan itu. Ia salah satu keluarga Louise.

Aura lembut disekitar perempuan berambut merah muda panjang.

Ia menekan tangannya pada mulutnya, berusaha menahan tawanya. Perempuan ini adalah Cattleya, kakak perempuan Louise. Anjing Cattleya terus menjilati Saito.

“Ah! Hey! Hentikan! Hentikan!”

Sniff sniff, bark bark, sniff sniff, bark bark.

“Apaaa! Sekarang diantara anjing-anjing! Bukankah, kau cocok satu sama lain! Lucu sekali! Apa! Apa yang kau lakukan pada kakakku!”

Louise berlari sambil berteriak.

“Bahkan dengan anjing! Aku tidak menerima itu!

Teriak Siesta.

Mereka berdua mempunyai mata yang mengerikan di wajah mereka. Jika Saito tertangkap oleh keduanya, hidupnya bisa dalam bahaya. Tapi karena jilatan anjng-anjing ia tidak bisa melakukan apa-apa.

“Kau anjing mesum!”

Ketika Louise berteriak dan melompat ke arahnya... Saito melayang di udara.

“Ter-terbang?”

Saito melihat ke atas dan menemukan dirinya tertangkap oleh naga angin. Duduk di punggung adalah perempuan berambut biru. Mereka adalah Tabitha dan familiarnya, yang membawa Saito.

Untuk suatu alasan, Tabitha mengenakan pakaian pramugari. Seorang gadis seperti Tabitha mengenakan baju pramugari, penampilan yang, yang aneh. Seperti lelucon di dalam cerita. Meskipun Tabitha perpakaian seperti itu ia tetap terlihat serius pada bukunya.

“Apa, apa yang... Oh, kamu yah... tidak usah dipikirkan, terima kasih sudah menolongku.” Saito mengungkapkan rasa terima kasihnya, perasannya begitu lega.

Tapi Tabitha tetap seperti biasanya, tidak mengeluarkan suara.

Saito ikut diam untuk beberapa detik, tapi semuanya berubah menjadi lebih kaku, jadi ia memutuskan untuk menemukan topik pembicaraan, dan akhirnya melihat buku Tabitha.

“Kamu tahu gak aku selalu ingin tahu... apa buku yang selalu kamu baca?” Tabitha menolak untuk menjawab.

Tanpa cara lain, Saito memutuskan mendekatinya dari belakang dan mengintip buku tersebut. Ketika ia melihat judu, ia tidak bisa berhenti tertaa. “Ah? Tekhnik Romantis : Bagaimana cara untuk cowok menyukaimu... kamu... buku seperti ini?? Ahahahaha! Kamu tertarik pada hal seperti ini?”

Tabitha, tidak menjawab, terus melompati halaman buku. Matanya tidak mengeluarkan sedikitpun emosi, jadi mustahil untuk menebak apakah ia marah atau malu.

“Hal seperti ini yah, sebagaimana banyaknya buku yang kamu baca, itu tidak berguna. Pertama kamu harus belajar berbicara pada cowok. Karena tujuan hatimu adalah yang utama.” Saito terlihat begitu tahu tentang hal itu dan menambahkan: “Apa pun yang terjadi, orang sepertimu yang tidak pernah ngomong, dalam situasi tidak memungkinkan.” Saito mengusap kepala Tabitha dengan lembut dan Tabitha hanya mengangguk kepalanya mengikuti tangan Saito.

“Kamu bisa menjadikan kumodel, mari latihan ngomong.”

Perempuan berambut biru diam memandangi wajah Saito. Sebagaimanapun ia mencoba dengan keras, tidak ada yang keluar dari mulut Tabitha.

“Hei, apa yang kamu rencanakan? Jika seperti ini kamu tidak akan pernah menemukan pacar! Hayo Hayo! Kamu harusnya lebih tahu kata dari pada mantra, hayo! Katakanlah sesuatu!”

Saito setengah bercanda, kepala gadis kecil itu bergoyang ke kiri dan kanan. Kemudian, Tabitha berdiri.

“Aku tahu.”

“Oh?”

Tabitha tetap tidak berekpresi, tapi seperti mesin gun ia mengeluarkan deretan kata-kata:

“Tidak menemukan pacar? Pikirkan masalahmu sendiri! Menempel diantara maid dan penyihir tanpa dada, kau tidak punya hak untuk berbicara tentangku. Seseorang sepertimu, yang kau lihat hanya tuan putri, gadis desa atau kakak perempuan dengan dada besar dan secapat kilat kau mengeluarkan wajah “lihat, benar-benar berantakan”. Lalu kau akan berkata “Tidak tidak, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu, karena aku berasal dari dunia lain, jadi aku tidak bisa membalas perasaanmu.” Tapi ketika kau berbicara, badanmu tidak bereaksi yang sama.

“Kamu, kamu.” Kepala Saito menjadi merah seperti tomat.

“Orang sepertimu benar-benar membuat mereka kesal, kau ingin mereka datang padamu dan menyerangmu.”

Saito melihat tinggi Tabitha dan membalas, “Kamu, kamu anak kecil, jangan berbicara penuh semangat seperti itu.”

Gadis itu lebih pendek dari pada Louise, tapi ekpresi Tabitha tetap tidak berubah dan menambah, “Siapa anak kecil? Kau yang sebenarnya anak kecil! Orang tak berotak sepertimu mencoba untuk masuk ke dalam dua kapal dengan satu langkah, kau sepuluh tahun lebih cepat!”

“Gya!”

Tiba-tiba melingkar seperi bola terbang dari naga angin. Ia sepertinya telah ditendang di bagian perut oleh Tabitha. Lalu Tabitha mengikuti dengan tendangan tepat di wajah Saito.

“Aku seharusnya memeliharamu sebagai binatang peliharaan.”

“Berhenti bercanda!”

“Apa yang kau katakan? Bukannya kau sangat senang? Kau menyukainya, bukan? Ketika seorang loli mendominasimu. Itu semua terlihat dari wajahmu!”

“Kau. Kau?”

Saito meloncat maju, menangkap bahu Tabitha. Lalu kedua saling memandangi. Pada kejadian itu, pipi Tabitha mulai memerah dan ia memalingkan wajahnya. Perubahannya membuat jantung Saito melompat.

“Bagaimana bisa kamu memperlihatkan emosi seperti itu?”

Tapi serangan Tabitha menjatuhkan Saito:

“Tolong...”

“Tolong?”

“Tolong, lembutlah padaku.”

Tolong, tolong lembut padaku?! Kamu, kamu, Saito terlihat seperti ikan mas yang tidak mendapat air dengan mulut yang membuka dan menutup.

Kemajuan berikutnya benar-benar menghancurkan komando utamanya.

“Ci.. Ci..”

“Ci?”

“Ciuman, ajari aku.”

Apa yang ia katakan? Saito benar-benar tidak bisa mengerti.

Tapi, tadi imut sekali.

Karena biasanya ia selalu tidak berekspresi, serangan kejutan seperti itu. Tapi, bukanlah kejutan yang tidak menyenangkan. Bisa di bilang kejutan menyenangkan. Terkejut, senang, dan menggairahkan hampir membuat Saito pingsan. Tidak, bukan “hampir”. Kalo memeriksa lebih dekat, Tabitha mempunyai kulit yang indah seputih salju. Matanya biru seperti permata. Danau biru, masih muda dan begitu mempesona, dan membuat jantung Saito berdetak. Seperti Louise, ia mempunyai kebangsawanan, elegan figur... Meskipun Saito tidak menyadari sebelumnya karena ia selalu berpikir Tabitha lebih muda, ia begitu cantik...

Apa yang aku pikirkan – ia masih kecil, pikirnya sambil menggelengkan kepala.

“Bo-Bodohnya, ayahmu bisa marah padaku jika ia tahu aku menciummu!”

Tak berkedip, Tabitha mendorong bibirnya.

“Kakak...”

Pelanggaran! Pada seekor naga angin, menggeliat di konflik besar, Saito mendengar gemuruh dari belakang. Ketika ia berbalik ke belakang, ia melihat pesawat zero terbang.

“Apa-!”

Di dalam kokpit ia bisa melihat wajah Louise dan Siesta.

“Bagaimana kamu tahu cara menerbangkannya!” serunya.

“Aku belajar dari kakekku!” teriak Siesta.

Saito bertanya-tanya bagaimana bisa ia mendengar suaranya lewat deru mesin dan kemudian tidak salah lagi, ia mendengar suara marah Louise.

“Bahkan kau mengejar anak kecil yang lebih kecil dibandingkanku! Kau menyukai siapa saja – besar atau kecil! Apapun akan kau lakukan! Kau rendahan!”

Don! Don! DoDo! Sayap pesawat zero bergema.

Bagaimana mereka bisa menembak duapuluh milimeter peluru ketika seharusnya mereka kehabisan peluru?

Pikirnya ketika sebotol anggur terbang padanya.

“Mari minum!” datang suara Siesta yang mabuk.

Ia mengendarai pesawat sambil mabuk, Saito benar-benar ketakutan.

“Tidak, terbangkan pesawat.”

Guman Saito, sebelum terkena botol. Aduh!

Teriak Saito tidak sabar.

“Tabitha, menghindar! Tambah kecepatan naga angin, kabur dari pesawat zero!”

“Tabitha? Aku Kirche, Sayang.”

Entah bagaimana Tabitha berubah menjadi Kirche. Apalagi, hanya beberapa karang yang menutupi bagian penting tubuhnya.

“Aah! Cepatlah, menjauh dariku! Kita bisa terbunuh! Terbanglah yang cepat!”

“Tidak bisa terbang.”

“Bukannya ini seekor naga angin?!”

“Bukan, salamanderku, Flame-chan.”

Tanpa disadari oleh Saito, itu benar-benar Flame, salamander milik Kirche.

“Apaa?!!”

Salamander terjatuh seperti batu. Saito mencoba memegang Deflinger. Gunakan kekuatan Gandalfr, aku meloncat ke pesawat Zero dan menolong diriku sendiri!

“Awa! Kenapa badanku tidak berasa ringan?!”

Melihat pada tangan kirinya, ia melihat rune menghilang.

“Wa! Uwa! Waah!”

Ia dengan cepat mendatangi tanah.

“Jatuh! Jatuh! N? Apa ini?!”

Ia melihat sesuatu.

Cahaya.

“.... bersinar. Emas?”

Di saat terjatuh, terpana, Saito diselumbungi oleh cahaya emas.

“Jatuh!”

Teriak Saito, terbangun.

Ia bernapas berat untuk beberapa saat, sebelum berguman pada dirinya sendiri.

“Mimpi...”

Pikirannya kabur, ia mereview drama yang ramai tadi.

Ia dikejar oleh Siesta dan Louise, dan didesak oleh Henrietta, Jessica, anjing-anjing dan Tabitha – keributan yang menggelikan dan berantakan.

Jika itu bukan mimpi, mengapa Louise dan Siesta dengan seragam sekolah dari Jepang atau Tabitha berpakaian pramugari? Tapi mengapa aku mempunyai mimpi seperti itu...

“Benar-benar nafsu yang kuat, aku...” dalam sesaat ia menggeliat dengan rasa malunya. Ia semakin mengkhawatirkan apabila seseorang melihatnya sekarang? Ia melihat ke sekitarnya dengan ketakutan.

“Uh.”

Benar saja, di sana ada penonton.

Di depan mata Saito, di sana ada wajah-wajah anak kecil yang menyaksikannya.

Ada berbagai macam wajah – besar dan kecil, cowok dan cewek, rambut emas, rambut merah, rambut coklat, ada juga warna rambut yang lain. Sebagian ragu-ragu, malu, lega, atau khawatir menonton sikap Saito yang mencurigakan. Walaupun pakaian anak-anaki kecil itu sedikit kotor, mata mereka berbinar-binar.

Seorang bocah laki-laki dengan rambut pirang, melompat medekati Saito dan melihat pada wajahnya pelan-pelan.

“Um... Apakah kamu melihatku tadi?” tanya Saito, untuk beberapa alasan bocah itu melompat mundur ketakutan.

“Orang aneh! Orang mencurigakan!” Ia melarikan diri sambil berteriak.

“H-hei... itu kesalahpahaman, kesalahpahaman!”

“Orang gila! Seseorang yang harus dihindari!”

Yang lainnya mengikuti.

“Tu-tunggu dulu! Aku bukan orang aneh!”

Tapi, penjelasan Saito tidak mencapai mereka dan semua anak kecil melarikan diri keluar dari kamar seperti kilat.

“Ap-apa... mereka. Sebelumnya, aku memiliki mimpi memalukan... Pokoknya, di mana aku?” Saito melihat ruangan di mana ia berada.

Ruangan yang lega. Sebuah jendela yang bersebelahan dengan kasur, dan pintu yang berlainan arah. Meja bulat yang kecil di tengah-tengah ruangan, dua kursi kayu di dekatnya.

Walaupun, kasur tempat Saito tidur kasar, tetap bersih dengan seprei putih dan selimut halus yang menutupinya.

“Mungkin salah satu penginapan... Tapi, kenapa aku di sini... kukira aku terluka berat...”

Saito dengan gelisah melihat tubuhnya. Ia dipenuhi dengan perban. Di saat yang sama, di medan tempur yang dahsyat, ia seharusnya terdorong hingga titik kematian.

Jadi.

Aku... membiarkan Louise dan yang lainnya kabur dan pergi melawan 70.000 seorang diri. Ia merinding mengingat pertempuran dahsyat itu.

Setelah, ia bertempur dengan 70.000 pasukan, mengikuti saran Derflinger ia mengarah pada komandan.

Ia menyerang beberapa penyihir tapi karena terkena mantra, ia mulai kehilangan kesadaran. Mulai sempoyongan, ia melihat kepungan penyihir dan ksatria dan menyerangnya. Kemudian, ia tidak ingat apapun...

“.... Pokoknya, aku selamat.”

Perasaan lega, Saito berbisik dengan suara tidak yakin.

Di saat bersamaan dengan perasaan lega, berbagai keraguan muncul.

Mantra panah dan bola api mengenainya, ada juga yang lain, tapi tidak ada luka berat. Lalu ledakan besar yang mengenainya dari jarak dekat, dan ia ingat tangan kirinya terbakar. Tidak ada apa-apa. Ia merasa darahnya keluar dari aliran tubuhnya. Ada luka menganga di tubuhnya. Tulangnya patah seperti tongkat kayu, dan organ dalamnya rusak. Dengan kata lain, ia dekat dengan kematian. Tapi, melihat tubuhnya sekarang.

Luka bakar di tangan kirinya hilang, kulit merah muda terlihat melalui celah diantara perban. Tubuhnya terluka tapi tidak separah sebelumnya.

Saito terlihat ragu.

Apa yang terjadi pada diriku?”

“Yah, inikan dunia sihir, pasti ada keajaiban yang terjadi...” mengeluarkan rasa optimis dalam dirinya, Saito berbicara pada dirinya sendiri.

Pokoknya sekarang, yang ia ketahui adalah “selamat” dan yang lainnya tidak begitu penting. Perasaan lega kembali, kemudian ia mengingat hal lainnya,

Benar, ada masalah yang lebih penting daripada tubuhku.


Pertempuranku dengan 70.000 pasukan...

Apakah pasukan musuh sudah cukup bingung?

Apakah cukup waktu bagi sekutu kami untuk melarikan diri?

Apakah Louise dan yang lain berhasil kabur dengan selamat?

“Uuuh... apa benar? Sekarang aku cemas. Aaah, aku tanya Derf.”

Saito melihat sekelilingnya, mencari Deflinger.

Akan tetapi, pedang bijaksana itu tidak terlihat di ruangan itu. Aku akan pergi mencarinya, aku tidak bisa mempelajari ssesuatu tanpanya, pikir Saito dan mencoba berdiri...

“Adaw!”

Suara seperti katak keluar dari tenggorokannya.

Rasa sakit kram kaku menjalar di seluruh tubuhnya, kaki, tangan, pergelangan, dan leher. Rasa sakit memenuhi seluruh tubuhnya dan tidak berhenti membuat Saito melihat hitam dan putih. Meskipun hidupnya selamat, ia masih terluka parah.

Pertempuran dahsyat itu seperti mimpi ketika ia bangun sekarang dengan cepat menyadari bahwa itu nyata. Saito terkejut dan mulai bergetar. Walaupun, ia mencoba menahannya, itu tidak berhenti.

Salah satu langkah dan ia bisa saja mati. Ia berhasil melewati kematian yang hanya tinggal sehelai rambut.

Hingga gemeterannya selesai, ia memutuskan kembali tidur di kasur.

“Tapi... aku masih mengantuk.”

Ia harus memastikan sesuatu.

Aku ingin tahu bagaimana persis caranya ia kembali hidup.

Karena itu, ia mencoba bangun beberapa kali.

Tch! Aduh! Ia berteriak. Setiap ia mencoba berdiri ia langsung dilingkup oleh rasa sakit...

“Kamu sebaiknya jangan bergerak dulu.”

Dari pintu di mana anak-anak kecil kabur...

Wangi yang halus dan dingin, suara yang manis.

Ah, ketika ia berpaling ke arah pintu, ia melihat seorang perempan, cantik, rambut seperti sungai yang mengalir, berdiri di sana.