Editing
Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 4
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===4-10=== Aku berpisah dari Totsuka dan Zaimokuza di depan palang tiket stasiun kereta. Pada toko ramen itu, Zaimokuza dikira sebagai kokinya oleh pelanggan yang lain, jadi mereka terus mencoba untuk memesan makanan darinya. Meskipun begitu, aku dapat memakan sejumlah ramen yang rasanya lezat dan mereka berdua juga terlihat puas. Saat aku meninggalkan stasiunnya, aku menghadap Hotel Royal Okura. Kali ini, aku akan bertemu dengan Yukinoshita dan Yuigahama disana, hanya mereka berdua saja. Ketika aku berdiri di depan hotelnya untuk yang kedua kalinya, aku sedikit merasa tabjub akan betapa besarnya hotel itu. Bahkan cahaya redup yang bersinar dari bangunan itu terlihat seperti sesuatu dari dunia lain. Jelas sebuah bangunan yang tidak sepatutnya dimasuki oleh murid SMA. Meski begitu, aku masuk ke dalam, jantungku berdetak dengan takut di dalam dadaku. Bahkan lantai di bawah kakiku terasa sepenuhnya berbeda. Sebuah karpet terbentang di depanku. Apa ini, ''Academy Awards''? Aku dapat melihat semua nona-nona dan tuan-tuan di ruang duduk sedang bertingkah dengan cara berlagak-lagak. Aku dapat melihat orang asing di sini-sana. Ini menakutkanku; benar-benar terlalu mirip dengan Kota Makuhari. Menurut pesan teks yang kuterima dari Yuigahama, kami seharusnya bertemu di depan lift hotel. Tidak seperti lift yang kukenal, pintunya disinari lampu-lampu. Dan pintunya juga lebar. Macam, kamu bisa memasukkan sebuah sofa ke dalam lift. Itu lebih besar daripada ruang tamuku. Ditambah lagi, sofanya begitu nyaman untuk diduduki – benar-benar empuk. Oh, dan ada juga vas dan sebagainya di sekitar sini. Sesaat setelah aku bersandar di sofa dan menguap, ponselku membuat suara beep. “Kami sudah sampai, u sudah disini??” Dia bilang dia sudah sampai tapi… Aku melihat ke sekelilingku dengan ragu. “M-maaf membuatmu menunggu…” kata seorang nona cantik dan berbau manis padaku. Sepotong gaun merah tua menelusuri garis melingkar di sekeliling garis lehernya, membuatnya terlihat seperti putri duyung. Rambutnya diikat menjadi ''bun'', dan selagi dia melirik padaku dia menelan ludah. “Benar-benar terlihat seakan aku sedang datang kemari untuk mengunjungi pertunjukkan piano…” “Oh, kamu, Yuigahama. Aku pikir kamu itu orang lain.” Aku akhirnya menyadari dia itu Yuigahama berkat cara bicara gadis remajanya, tapi aku mungkin tidak akan pernah mengenalinya jika dia kebetulan bertingkah kalem. “Bisakah kamu setidaknya berkata kamu sedang kemari untuk menghadiri upacara pernikahan? Seperti yang bisa diduga, bagaimanapun juga, perasaanku terbelah dua saat diberi tahu pakaian selevel ini adalah untuk mengunjungi pertunjukkan piano…” kata seorang gadis cantik dengan gaun hitam pekat yang baru saja muncul. Kain gaunnya menghasilkan suasana kecemerlangan yang tidak dipalsukan, menambah kecantikan kulit putihhnya, seputih salju segar. Roknya yang semakin melebar, yang memanjang sampai ke lututnya, menampilkan kakinya yang berbentuk. Dan apa yang lebih memikat lagi adalah rambutnya yang indah dan seperti sutera itu. Rambutnya diikat menjadi satu ''ponytail'' tunggal yang longgar dan jatuh sampai ke dadanya, terlihat seperti sebuah hiasan. [[Image:YahariLoveCom_v2-217.png|thumb|200px]] Tidak ada kesalahan sedikitpun. Dia itu Yukinoshita Yukino. “K-Kamu tahu, ini adalah yang pertama kalinya aku mengenakan pakaian seperti ini,” tegas Yuigahama. “Macam whoa, ''siapa'' kamu, Yukinon?!” “Sungguh berlebih-lebihan. Aku hanya memilikinya untuk berjaga-jaga kalau ada kesempatan untuk memakainya.” “Sebagian besar orang tidak akan pernah mendapat kesempatan itu,” ujarku. “Dan omong-omong, dimana mereka menjual pakaian-pakaian ini? Shimamura<ref>Sebuah toko pakaian murah di Jepang. </ref>?” “Shimamura? Itu yang pertama kalinya aku pernah mendengar merek itu…” jawabnya datar. Gadis ini bahkan tidak akan bisa mengenali perbedaan antara Shimamura dengan Uniqlo. “Baiklah kalau begitu, mari kita pergi?” Yukinoshita menekan tombol liftnya. Lampunya menyala dengan suara ding dan pintunya terbuka tanpa suara. Dari kaca liftnya aku bisa melihat satu sapuan pandang teluk Tokyo. Pemandangan malam hari Makuhari dibercakkan oleh cahaya yang gemilang: kapal pesiar sedang berlayar, mobil-mobil sedang berlari melintasi kota pinggir teluk dengan lampu belakang mereka menyala-nyala, serta bangunan tingkat tinggi. Ketika kami sampai ke lantai atas, pintunya terbuka sekali lagi. Cahaya yang lembut dan menenangkan terbentang di depan. Sebuah bar tersebar di depan kami, tersembunyi dalam kegelapan oleh karena pencahayaan lilin yang redup. “Hei… hei. Whoa. Ini…” Kami jelas-jelas masuk ke tempat yang tidak dimaksudkan untuk kami. Di atas sebuah panggung yang diterangi oleh lampu sorot, seorang nyonya berkulit-putih sedang memainkan lagu jazz dengan piano. Dia mungkin orang Amerika. Toh, orang asing = orang Amerika. Mungkin aku sebaiknya pulang ke rumah saja, pikirku, membuat kontak mata dengan Yuigahama. Dia mengangguk dengan tak sabaran seakan dia tidak bisa mengatakan cukup 'ya'. Semua yang diperlukan hanya seorang rakyat jelata seperti Yuigahama untuk membuatku merasa amat tenang di dalam ruangan ini. Tapi bagi Yukinoshita, anggota masyarakat kasta tinggi, tidak diperbolehkan merasa begitu. “Berhenti melongo.” Dia menginjakku dengan kuat dengan sepatu haknya. “Aw!” Aku berteriak tanpa berpikir banyak. Ada apa dengan sepatu hak tinggi itu? Benda itu menusukmu dengan begitu menyakitkan. Itu macam ikan pari atau semacamnya. “Berdiri lurus dan busungkan dadamu ke depan. Dorong dagumu ke dalam,” suara Yukinoshita menerjang telingaku selagi dia dengan diam-diam mencengkram siku kananku. Jari indah nan lentingnya mengait pada sikuku dengan ketat. “Er, uh… Yukinoshita-san? Ada suatu masalah?” “Jangan gugup. Yuigahama-san, lakukan hal yang sama.” “A-Apa?” Dengan sebuah tampang yang sepenuhnya tercengang di wajahnya, Yuigahama bertingkah seperti-orang dewasa yang didiktekan Yukinoshita. Untuk singkatnya, dia mencantelkan tangannya pada siku kiriku. “Lalu mari kita jalan,” ucap Yukinoshita padaku. Dengan itu, Yukinoshita, Yuigahama dan aku mulai berjalan dengan pelan dan seirama dengan satu sama lain. Ketika kami melalui pintu yang terbuka dan besar itu, kami langsung didekati oleh seorang pelayan pria, dan aku menundukkan kepalaku. “Berapa banyak orang?” “Apa anda merokok, tuan?” Aku tidak dapat menangkap satu katapun. Selagi dia terus berbicara terus menerus, pria itu menjaga jarak setengah langkah di depan kami, menuntun kami ke konter bar di depan tepi sebuah jendela kaca. Disana, yang sedang mengelap gelas-gelasnya secara menyeluruh adalah seorang pelayan bar wanita. Dia berdiri dengan pasti dan tegap serta sepenuhnya kalem. Ekspresi bisu dan mata kurang tidurnya sesuai dengan suasana bar bercahaya redup ini. …hei, bukankah ini Kawasaki? Dia menghasilkan kesan yang benar-benar berbeda dengan kesannya di sekolah. Rambut panjangnya diikat ''bun'', dia mengenakan pakaian seorang pelayan dan gerakannya elegan dan halus. Kelesuaannya sudah sirna. Tanpa menyadari siapa kami, Kawasaki tanpa suara meletakkan sebuah tatakan gelas dan penyegar di depan kami, menunggu dengan diam. Aku pikir sudah pasti dia akan meletakkan menu di depan kami dan menanyakan pesanan kami, tapi tentu saja tidak seperti itu adanya. “Kawasaki,” kataku padanya dengan pelan. Kawasaki membuat tampang sedikit cemas. “Maafkan aku. Siapa anda?” “Aku terkesan. Bahkan teman sekelas Hikigaya-kun sendiri tidak mengingat wajahnya,” kata Yukinoshita dengan tabjub selagi dia duduk diatas sebuah bangku. “Yah, kamu tahu. Pakaian kita hari ini berbeda, jadi itu bukan salahnya,” sela Yuigahama selagi dia juga duduk. Ada sebuah tempat duduk kosong di antara mereka. Jika ini Othello, aku pasti sudah kalah. Kalau ini Go… oh yah, aku bahkan tidak tahu peraturan permainan itu. “Kami menemukanmu, Kawasaki Saki-san,” ujar Yukinoshita. Mimik wajah Kawasaki berubah. “Yukinoshita…” Ekspresinya seperti seseorang bertemu dengan musuh bebuyutannya. Wajahnya terlihat jelas garang. Meski aku ragu mereka berdua pernah berinteraksi dengan satu sama lain, Yukinoshita itu wajah yang terkenal di sekolah kami. Aku rasa ada orang yang tidak begitu senang dengan Yukinoshita dari caranya muncul dan jenis kepribadiannya itu. “Selamat malam.” Entahpun dia sadar ataupun tidak pada perasaan Kawasaki, Yukinoshita mengutarakan sapaan standar pada malam hari dengan kalem. Mereka berdua saling bertukar pandang. Perbedaan mereka seperti siang dan malam. Aku mendapat perasaan ada percikan-percikan. Menakutkan. Mata Kawasaki menyipit dengan tajam selagi dia menuangkan minuman untuk Yuigahama. Bersama dengan Yukinoshita, seseorang dari sekolahnya, berarti mereka hanya bisa melihat menembus wujud transparan satu sama lain. “Yo, apa kabar…?” kata Yuigahama dengan lemah, seakan tidak tahan akan tekanannya. “Yuigahama… Aku tidak mengenalku untuk sesaat. Jadi apa pria ini juga orang SMA Soubu?” “Uh, ya,” kata Yuigahama. “Dia Hikki dari kelas kita. Hikigaya Hachiman.” Ketika aku menganggukan kepalaku untuk membenarkan, Kawasaki menghela dan tersenyum pasrah. “Begitu ya, jadi kalian memergokikku.” Dia mengangkat bahunya seakan dia tidak ada apapun yang perlu disembunyikan. Melipat lengannya, dia bersandar ke dinding. Tindakan itu menandakan bahwa mungkin perihal kedoknya terbongkar ini menganggunya lebih dari apa yang ditunjukkannya. Dia menghasilkan kesan lesu, persis seperti yang dilakukannya di sekolah, dan setelah dia menghela letih, dia memandang ke arah kami. “…kalian mau minum?” “Aku pesan Perrier,” kata Yukinoshita sebagai jawabannya. Aku bahkan tidak tahu sama sekali apa itu Perrier. “A-Aku pesan minuman yang sama dengannya!” Itu apa yang rencananya mau kukatakan, tapi Yuigahama mendahuluiku. Aku mengerang, merasa geram. Yang benar saja, apa yang sebaiknya kukatakan? Dom Pérignon atau Donpen atau semacamnya? (Omong-omong, Donpen itu adalah maskot sebuah klub kusam murahan. Jika kamu memesannya, dia mungkin tidak akan keluar.) “Hikigaya, benar? Bagaimana denganmu?” Perri-entahapa itu yang tadi merupakan sebuah minuman serta nama seorang perwira, huh… Aku tidak ada kewajiban khusus apapun untuk mengatakan sesuatu seperti Townsend Harris atau Ernest Mason Satow <ref> Ini semua adalah referensi pada orang Barat yang terkenal dalam sejarah Jepang. Perwira Perry memiliki bagian dalam pembukaan dermaga Jepang pada orang-orang Barat. Townsend Harris adalah Jendral Konsul Amerika pertama di Jepang. Ernest Mason Satow adalah figur diplomat penting pada tahun 1800an</ref>.. Namun, untuk sekarang, aku akan memesan minuman dengan nama orang di dalamnya… “Aku pesan MAX Co-” “Dia pesan ale jahe kering,” Yukinoshita memotongku di tengah kalimatku. Dengan senyum masam dan kata “Aku mengerti,” Kawasaki menyiapkan tiga gelas sampanye dan menuangkan minuman dengan mahirnya sebelum meletakkannya ke atas tatakan gelasnya. Entah mengapa, tanpa mengatakan sepatah katapun, kami akhirnya meletakkan gelasnya ke bibir kami pada saat yang sama dengan satu sama lain. Kemudian setelah berhenti sejenak, Yukinoshita berkata, seakan mengingat sesuatu, “Aku yakin mereka tidak menyediakan Kopi MAX disini.” “Yang benar saja?! Tapi ini Chiba.” Chiba tanpa Kopi MAX bukan lagi Chiba, oke? Bahkan ada Kopi MAX di pegunungan sana, seperti di perfektur Yamanashi. “…yah, kami ''ada'' menyajikannya,” gugam Kawasaki dengan malas, membuat Yukinoshita melihatnya dengan tajam. Jadi, um, omong-omong mengapa mereka berdua tidak akur dengan satu sama lain? Menakutkan. “Jadi untuk apa kalian datang kemari? Jangan beritahu aku kalian sedang berkencan dengan benda itu?” “Astaga tidak. Jika kamu sedang membicarakan tentang benda di sampingku ini, selera humormu begitu buruk.” “Um… ini argumen di antara kalian berdua, jadi bisakah kalian berbaik hati untuk tidak melemparkan ejekan ke arahku??” Aku benar-benar tidak terkesan disebut sebagai sebuah benda. Percakapan mereka berdua sepertinya tidak akan sampai kemanapun, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke intinya. “Aku dengar kamu pulang ke rumah begitu larut akhir-akhir ini. Apakah itu karena pekerjaan sampinganmu ini? Adik kecilmu sedang mengkhawatirkanmu.” Mendengar itu, Kawasaki tersenyum dengan tampang mengolok samar di wajahnya, namun itu ditutupi oleh kejengkelannya. “Kamu datang jauh-jauh kemari hanya untuk mengatakan itu? Kerja bagus. Kamu tahu, apa kamu benar-benar berpikir aku akan berhenti hanya karena ada pria yang tak kukenal ataupun perduli mengatakan itu padaku?” “Menabjubkan. Bahkan teman sekelas Hikki tidak mengenal atapun perduli padanya…” Yuigahama memilih saat yang aneh untuk menunjukkan ketabjubannya. Namun, aku juga tidak tahu apapun tentang Kawasaki, jadi kami seri. Kawasaki tiba-tiba berkata lagi. “Ooooh, jadi alasan kenapa aku merasa keadaan di sekitarku sudah mulai agak menjengkelkanku akhir-akhir ini itu karena kalian. Taishi mengatakan sesuatu pada kalian? Aku tidak tahu bagaimana dia mencoba mengarangnya, tapi aku akan berbicara padanya, jadi jangan khawatir.” Dia berhenti sejenak. “Kamu tahu, Taishi tidak ada hubungannya dengan ini.” Kawasaki terang-terangan menatap tajam padaku. Dia kurang lebih berkata jangan ikut campur dengan urusanku. Tapi Yukinoshita bukanlah jenis orang yang menyerah setelah menemui kesulitan. “Ada alasan bagimu untuk berhenti.” Yukinoshita memalingkan pandangannya dari Kawasaki ke arloji di tangan kirinya, melihat waktu. “10:40… jika kamu itu Cinderella, kamu hanya punya sisa satu jam lagi sebelum sihirmu habis.” “Jika sihirku sudah mau habis, hanya ada akhir bahagia yang menungguku, bukankah begitu?” “Aku tidak tahu tentang itu, Putri Duyung Kecilku. Aku yakin hanya ada akhir buruk yang menunggu di depanmu.” Pembawaan percakapan mereka membuat orang tidak berani memotong, seakan untuk mengimbangi suasana keseluruhan dalam bar itu. Mengulang kalimat menyindir serta menghina merupakan hobi orang golongan atas. Tapi serius, mengapa mereka berdua tidak bisa akur? Bukankah ini yang pertama kalinya mereka saling berbicara pada satu sama lain? Menakutkan. Seseorang menepuk bahuku terus menerus dan berbisik pada telingaku, mengalihkanku dari pemikiranku. “…hei, Hikki. Apa yang sedang mereka berdua bicarakan?” Oh, Yuigahama. Aku bisa benar-benar merasa tenang dengan seorang rakyat jelata sepertimu disini… UU Standar Ketenagakerjaan melarang anak di bawah umur untuk bekerja melewati jam sepuluh malam. Dengan bekerja bahkan pada jam ini, Kawasaki sedang memakai sihir yang dinamakan KTP ilegal. Dan sihir itu akan habis jika Yukinoshita membeberkannya keluar. Namun Kawasaki masih tak gentar seperti biasa. “Jadi kamu tidak ada keinginan untuk berhenti?” Yukinoshita menekannya. “Hm? Tidak,” kata Kawasaki dengan santai selagi dia mengelap sebuah botol sake dengan kain. Kemudian dia berhenti sejenak. “Yah, kalaupun aku memutuskan untuk berhenti bekerja di sini, aku selalu bisa mencari pekerjaan di tempat lain.” Yukinoshita mengaduk Perry-nya (…atau apa itu Harris?) dengan gelisah, seakan dia merasa sedikit kesal akan kelakuan Kawasaki. Dalam suasana meresahkan dan tidak ramah ini, Yuigahama membuka mulutnya dengan gugup. “Um, kamu tahu… Kawasaki-san, mengapa kamu harus bekerja di sini? Maksudku, seperti, aku juga mencari pekerjaan sampingan ketika aku tidak punya uang, tapi itu tidak seperti aku berbohong mengenai usiaku dan bekerja di malam hari…” “Tidak ada alasan… Aku hanya perlu uangnya.” Botol sake di atas meja itu membuat sedikit suara gesekan ketika dia meletakkannya ke atas meja. Yah, kurasa begitulah cara kerjanya, pikirku. Uang selalu menjadi alasan utama untuk bekerja. Ada orang yang melakukannya karena semua orang yang lain juga melakukannya atau karena mereka tidak bisa hidup tanpa bekerja, tapi aku tidak akan pernah mengerti tipe-tipe orang itu. “Oh, ya, Aku mengerti apa yang kamu maksud,” mulaiku dengan santai. Ekspresi Kawasaki langsung mengeras. “Tidak, kamu tidak mengerti… tidak ada orang yang menulis pilihan karir sebodoh itu yang bisa mengerti.” Kawasaki dan aku bertemu suatu ketika di atap. Dia telah melihat jawaban yang kutulis dalam Formulir Survei Tur Kerja Prospektif. Apa itu mengingatkanmu? “Tidak sebodoh itu…” “Huh, jika itu bukan bodoh, aku tidak tahu lagi apa itu. Kamu benar-benar memandang rendah kaum manusia.” Kawasaki menghantam kain yang dipakainya untuk mengelap botol sake itu pada konternya, menimbulkan suara thud, membuat langit-langitnya berguncang. “Kamu… tidak, tidak hanya kamu – Yukinoshita dan Yuigahama juga tidak mengerti. Ini bukan seperti aku sedang bekerja karna aku mau uang untuk dihambur-hamburkan. Jangan gabungkan aku bersama si bodoh di sana itu.” Kawasaki menatap tajam padaku dengan tekad baja di matanya. Jangan ikut campur urusanku, mata itu terlihat meraung keras. Tapi dia sedang menangis di dalam hati. Dan namun, yang terpenting adalah itu benar-benar merupakan sebuah tanda kekuatannya. Aku tidak dibuat untuk berpikir bahwa kata-kata pedasnya itu adalah suatu helaan tanda menyerah, menandakan bagaimana oh begitu disalah-pahaminya dia dan dia diam-diam ingin orang menyukainya. Ambil Yukinoshita, sebagai contoh. Dia selalu disalah pahami oleh semua orang, dan dia tidak pernah menyerah ataupun menangis. Tapi itu karena dia yakin akan kekuatan tekadnya sendiri. Atau ambil Yuigahama. Ketika dia mencoba untuk memahami seseorang, dia tidak menyerah atapun melarikan diri. Tidak peduli bagaimana hal-hal itu terlihat olehnya pada permukaannya, dia selalu akan terus mencoba untuk berhubungan dengan orang lain tersebut, berdoa bahwa sesuatu akan berubah. “Ya, tapi tidak akan ada yang berubah jika kamu tidak berbicara dengan kami, k'mu tahu? Itu mungkin bahkan, macam, membuatmu lebih kuat… hanya berbicara saja bisa menaikkan semangatmu, jadi ya…” suara Yuigahama menghilang di tengah kalimat. Tatapan dingin Kawasaki membungkamnya sebelum dia bisa mengutarakan apa-apa lagi. “Seperti yang kubilang, kalian pasti tidak mengerti. Membuat aku lebih kuat? Menaikkan semangatku? Oke, kalau begitu. Kalian bisa mencetakkan uang untukku. Bisakah kalian memikul beban yang tidak dapat dipikul orangtuaku?” Ya Tuhan! Kawasaki begitu menakutkanku. Kata-katanya membuat Yuigahama menundukkan kepalanya karena malu. “I-Itu…” gugamnya dengan susah payah. “Itu sudah cukup,” kata Yukinoshita dengan nada kaku. “Jika moncongmu mengoceh lagi…” Dia malah lebih mengesankan dengan memotong di tengah-tengah kalimat Yuigahama. Aku begitu takut sampai kulitku merinding. Sepertiku, Kawasaki mengernyit sejenak, tapi dia berpaling kembali pada Yukinoshita dengan suara tsk kecil. “Hei, bukankah ayahmu seorangg anggota parlemen perfektur? Tidak mungkin orang kaya angkuh sepertimu bisa memahamiku…” katanya dengan nada bisikan pelan. Ada tanda rasa kalah dalam suaranya. Segera setelah kawasaki mengutarakan kata-kata itu, terdengar suara dentang tajam saat sebuah gelas terjatuh. Ketika aku melihat ke samping, suatu genangan Perrier tersebar dari arah gelas sampanyenya yang jatuh menyamping itu. Yukinoshita sedang mengigit jarinya, pandangannya terarah ke bawah. Aku tidak pernah terbayang Yukinoshita terlihat seperti itu. Tidak mampu mengumpulkan pemikiran apapun, aku memandang ke bawah pada Yukinoshita dengan rasa syok. “…Yukinoshita?” Dia membuat reaksi. “Huh? O-oh, Aku minta maaf,” kata Yukinoshita dengan ekspresi biasa – tidak, bahkan dengan ekspresi kaku yang lebih tak berekspresi dari biasanya selagi dia dengan kalem mengelap mejanya dengan sebuah handuk tangan yang dibasahi. Aku rasa itu bagi Yukinoshita, reaksi tidak biasa itu adalah reaksi tabu. Dipikir-pikir lagi, itu bukan yang pertama kalinya aku pernah melihatnya membuat ekspresi seperti itu. Baru saja aku hampir mengingat di mana aku pernah melihatnya sebelumnya, aku mendengar suara seseorang menghantam meja konter. “Tunggu dulu! Keluarga Yukinon tidak ada hubungannya dengan ini!” Yuigahama berkata dengan tak biasanya keras selagi dia menatap tajam pada Kawasaki. Ini bukan lelucon atau usaha untuk akur – Yuigahama sedang geram. Jadi dia juga bisa membuat wajah sejelek itu juga ketika dia marah… Entahkah karena kontras dari sikap Yuigahama yang biasanya bercanda tawa mengejutkannya atau karena dia sendiri menyadari dia telah mengucapkan sesuatu yang menyakitkan hati, Kawasaki agak menurunkan nadanya. “…kalau begitu keluargaku juga tidak ada hubungannya dengan ini.” Dan itulah akhirnya. Yuigahama dan aku – dan, tentu saja, Yukinoshita – tidak ada hubungan dengannya. Jika, katakan saja, tindakan Kawasaki ini untuk sementara melanggar hukum, orangtua dan gurunya yang dipersalahkan atas hal ini dan dia akan akhirnya diadili oleh hukum. Tidak ada satu hal pun yang kami – yang bukan temannya ataupun sama sekali bukan apapun baginya – bisa lakukan untuknya. “Kamu mungkin benar tapi ini bukan masalahnya di sini! Yukinon itu-” “Yuigahama-san. Tolong tenangkan dirimu. Aku hanya menjatuhkan gelasku. Itu bukanlah sesuatu yang perlu kamu cemaskan, jadi jangan khawatir.” Yukinoshita dengan lembut menahan Yuigahama, yang seluruh badannya sedang dicondongkan sampai melewati konter. Dia menjaga suaranya lebih kalem dari biasanya dan itu memang terdengar sangat kaku. Meskipun sekarang sedang awal musim panas, suasananya begitu dingin dan mencekik. Itulah bagaimana keadaannya berjalan hari ini. Yukinoshita, Yuigahama dan juga Kawasaki berbicara dengan kalem dan berakhir seperti ini. Hanya ada beberapa hal yang kumengerti. Semua yang tersisa adalah melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi sekarang ini. “Ayo kita cepat pulang saja. Jujur saja, aku tidak bisa menjaga mataku tetap terbuka di sini. Sesaat setelah aku selesai meminum ini aku akan pulang.” Dipikir-pikir lagi, Cinderella masih memiliki setengah sisa waktunya. “Kamu…” Yukinoshita menghela dengan muak dan baru saja akan mengatakan sesuatu padaku sebelum Yuigahama menghentikannya. “Nah nah. Yukinon, mari kita pulang sekarang?” Ketika Yuigahama dan aku bertukar pandang, Yuigahama membuat anggukan kecil. Kelihatannya Yuigahama telah menyadari bahwa Yukinoshita sedang bertingkah berbeda dari dirinya yang biasa. “…baiklah, kalau begitu mari kita pulang.” Yang ajaibnya, Yukinoshita mengikuti kata-kataku, seakan dia sendiri sadar dia sedang bertindak aneh. Selagi dia dengan pelan meletakkan sejumlah uang tunai di atas meja bahkan tanpa memeriksa bonnya, dia berdiri. Yuigahama berdiri dari kursinya, mengikuti tindakan Yukinoshita. Aku memanggil ke arah punggungnyya. “Yuigahama, Aku akan mengirimkanmu SMS nanti.” “…huh? Oh, uh. Benar, um, oke.” Karena pencahayaan bar terarah padanya, aku bisa melihat wajah Yuigahama merah terang dan tangannya bergerak gelisah di depan dadanya. Itu adalah sebuah tindakan yang begitu aneh di tempat trendi ini, jadi aku harap dia menghentikannya. “Aku akan menunggunya, kalau begitu.” Setelah aku melihat mereka berdua pergi, aku mengayun-ayunkan gelasku dan berpaling pada Kawasaki. Setelah aku memuaskan sedikit rasa hausku, aku mulai berbicara. “Kawasaki. Berikan sedikit waktumu besok pagi. Aku akan berada di McDonalds jam setengah enam. Mengerti?” “Huh? Kenapa?” Tingkah Kawasaki bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Namun, aku percaya kata-kataku yang selanjutnya bisa mengubah tingkahnya. “Aku mau membicarakan sesuatu padamu mengenai Taishi.” “…apa?” Kawasaki menatapku dengan curiga – tidak, lebih mirip mata penuh kebencian. Untuk menghindari mata itu, aku menenggak semua sisa cairan dalam gelas sampanyeku dengan sekali teguk dan berdiri. “Kita akan membicarakan tentang itu besok. Sampai nanti.” “Tunggu dulu!” teriaknya padaku. Mengabaikannya, aku berjalan keluar dari tempat itu dengan cara berlagak yang keren yang cocok dengan kesan trendi toko itu. “Tunggu dulu! Tidak cukup uangnya!” …sialan, Yukinoshita. Dia tidak membayarkan bagianku. Tanpa suara, aku kembali ke konter dan menawarkan cuma selembar uang seribu yen hanya supaya sopan. Ketika aku melakukannya, aku menerima enam puluh yen sebagai kembaliannya. Aku mendapat perasaan aku tidak seharusnya bertanya padanya mengapa pada saat ini. Satu porsi ale jahe dihargai hampir seribu yen. Ini perampokan di siang bolong… <br /> <center>× × ×</center> <br />
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information