Editing
Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab9
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===Bab Sembilan : Mengalah=== Ini hari kesepuluh festival Advent, dan semua terlihat berjalan seperti biasa. Karena salju yang terus menerus, kota berubah menjadi dunia penuh perak. Sepasang tentara Tristain tengah berpatroli di kota, Dan kini salah seorang memanggil yang lain. “Hei, bukankah mereka dari Unit patroli Rossa?” “Memang. Tapi apa yang mereka lakukan disini?” Salah satu grup patroli mereka tengah berdiri di depan sebuah penginapan dan melakukan sesuatu yang bersifat mencurigakan “Hei!” panggil salah seorang. Namun, tiada jawaban. Mereka terus bekerja dalam diam. “Bukankah itu satu tas mesiu?” Ucap seseorang dengan suara tertahan. Dan memang ada beberapa sak mesiu yang diletakkan disana. Unit patroli Rossa tengah membawa sak-sak itu menuju penginapan. “Hei! Itu sebuah hotel bukan gudang. Unit Navarre tinggal disana. Terlalu berbahaya membawa sesuatu yang mudah meledak ke dalam.” Dia menghampiri dan menepuk pundak tentara tersebut. Tapi wajah yang berputar memandanginya mengejutkan. Wajah yang tanpa emosi dan ekspresis. Merasakan ada yang jahat di wajah tersebut, sang penjaga menghunus tombaknya. “Hei! Letakkan sak itu! Letak…” Saat itu, tentara lain menarik pistol dari sabuknya dan menembak mati penjaga tersebut. Penjaga yang lain mencoba melarikan diri sambil berteriak. Tapi sebuah pisau yang dilempar tentara yang pertama tadi menembus punggungnya. Sang penjaga jatuh gedabruk ke tanah. Lalu mereka kembali menempatkan sak-sak ke dalam hotel dalam diam. Lalu sebuah sumbu dimasukkan dan dinyalakan dengan korek. Setelah beberapa detik, sebuah suara ledakan nan besar terdengar dan seluruh penginapan beserta tentara disana tersapu habis. Di sebuah blok premium kota, di lantai dua dari gabungan penginapan, pemimpin-pemimpin kekuatan sekutu tengah merapatkan strategi lanjutan invasi. ‘Gencatan berakhir besok. Pemindahan pasokan isi ulang harus selesai malam ini.” Lapor Ketua staf umum Staff Wimpffen sambil melihat perkamen di meja. “Itu bakal tepat waktu. Tapi kupikir Albion akan mencoba serangan kejut selama gencatan…” “Kau pikir mereka tak memiliki masalah yang sama? Mereka perlu waktu karena persiapan musuh belum lengkap. Itulah mengapa mereka setuju gencatan senjata dengan mudahnya…” Ucap Marquis handenburg dengan murung. Wimpffen mentapnya tajam. De Poiters menyela mereka. Sebagai komandan utama, dia mengerti perlunya meredam konflik jenderal-jenderal bawahannya. Tapi lalu…seseorang mengetuk pintu. “Siapa? Kami tengah rapat militer.” kata Wimpffen. “Sebuah kiriman dari keluarga kerajaan. Baru datang pagi ini.” Kiriman itu berupa punnet cantik dengan ukiran lambang kerajaan. Sebuah surat dengan cap menkeu tertera padanya. Begitu dia melihatnya, wajah De Poiters berubah. Dia mulai membaca surat itu dengan ganasnya. Setelah selesai membaca, De Poiters berucap gembira. “Menkeu menyelamati dengan sebuah promosi!” De Poiters dengan gembiranya membuka bagian atas kotak. Wimpffen dan Handenburg juga memperhatikannya. Begitu melihat apa yang ada di dalam, mata mereka berdua terbelabak. “Oooooh! Sebuah cane marshal lapangan!” Memang, itu adalah cane marshal lapangan yang diukir dari ebony dengan lambang emas keluarga kerajaan. Menatap bayangannya sendiri di cane itu, De Poiters bersorak gembira. “Biasanya, ada prosedur resmi untuk lolos. ‘Cane ini adalah pengingat berhasilnya kemenangan dibawah kepemimpinanmu.’ Dengan nota selamat dari Menkeu. Meski Perang belum berakhir, Kekuatan sekutu telah memiliki seri kemenangan beruntun. Tentara musuh telah menutup diri dalam ibukota dan takkan keluar. Mengelilingi dan memenangkan sebuah kemenangan akhir hanya masalah waktu. Pertempuran akhir yang menentukan dan tertulis, dan dikonfirmasi oleh tanda tangan Menkeu, bahwa aku akan memimpin dengan cane marshal lapangan.” “Selamat, Pak.” Handenburg dan Wimpffen berjabat tangan dengannya. “Ya…dengan semua yang telah tertulis, semuanya ada dalam genggamanku. Kita tak bisa lengah sekarang. Tiada kelengahan!” Ucap De Poiters, tapi tak bisa menyembunyikan seringai lebar di wajahnya. Bum! Bum! Saat itulah, suara-suara ledakan nan keras bergetar dari jendela. “Apa yang terjadi?” Dengan wajah curiga, De Poiters mendekati jendela sambil tetap menggenggam cane marshal lapangan. Jendela itu mengarah ke plaza. Disana para prajurit berlarian sambil menunjuk sesuatu. Dia menyadari emblem di baret mereka. “Bukankah mereka dari unit La Shien?” Ini adalah blok timur, namun unit patroli ini bertanggung jawab untuk sisi kiri kota. Mengapa mereka disini? Terlebih lagi, mereka bersenjata lengkap… Marquis Handenburg lalu melangkah ke samping De Poiters. “Mereka juga pasti bukan prajurit dari tentaraku. Saya tak memberi perintah untuk ke…” Lalu keduanya saling menatap… Para prajurit telah memutar senpi mereka mengarah ke kedua orang yang berdiri di jendela. Lalu sebuah lentingan tiba-tiba datang. Hal terakhir yang dilihat De Poiters adalah pemandangan cane marshal lapangan yang dimakan peluru, memecahkannya menjadi serpihan-serpihan. Terpana saking terkejutnya, Wimpffen menonton De Poiters dan Marquis Handenburg yang berdiri dekat jendela, terjatuh. Dia tak bisa mengerti apa yang tengah terjadi. Sesaat kemudian para petugas melompat masuk ruangan. “Pemberontakan! Pemberontakan dimulai!” “Pemberontakan?” “Unit Rossa, La Shien dan sebagian tentara Germania yang ditempatkan di kecamatan Sai penyebabnya! Bentrokan mereka dengan tentara kita terjadi di banyak tempat! Terlalu berbahaya untuk berdiam disini!” Lalu para petugas melihat serpihan-serpihan kaca dan tubuh De Poiters beserta Marquis Handenburg yang terbaring di lantai, dan kemudian berdiri tegak di hadapan Wimpffen. “P-Perintah anda, Komandan Tertinggi!” Runtuhnya kekuatan Sekutu di Saxe-Gotha terjadi cepat sekali. Para pemimpin terkejut dnegan pemberontakan yang tiba-tiba. Atau bisa dikatakan bahwa penyebab pemberontakan yang membingungkan mereka. Apalagi tiada laporan mengenai desas-desus tak puas maupun kekacauan dari para prajurit. Seakan-akan pemberontakan terjadi dari kenihilan. Para prajurit juga kebingungan. Para sahabat seia sekata, dimana mereka bertarung dan merayakan kemenangan bersana hingga kemarin kini menyerang mereka dengan wajah kosong dan senjata di tangan. “Tembak!” Meski para komandan meneriakkan begitu, para musketeer tak bisa menarik pelatuk, pemanah tak bisa memanah, penombak tak bisa melempar tombak. “…Kami t-tak bisa menembak, Pak!” “Tidak! Tolol! Pemberontak itu bagian dari tentara raja musuh!” Meski sang komandan mencoba mengucapkan mantra kepada para prajurit berwajah kosong yang perlahan mendekat…dia melihat seorang komandan di garis depan dan menggelengkan kepalanya. “Marco! Ini aku! Maurice! Apa yang kau lakukan?! Mengapa kau mengarahkan tongkatmu pada kami?!” Satu-satunya jawaban adalah sebuah peluru yang menghantam tanah di kakinya, dan sang komandan memerintahkan untuk mundur. “Sial! Mundur! Mundur sekarang!” “M-mundur kemana…? “Kayak aku tahu saja! Pokoknya mundur!” Pagi harinya, garis pertahanan dirusak oleh tentara raja. Dan…akhirnya, sebuah lapiran dari Redoutable yang dibawa ksatria naga pengintai. Tertulis bahwa tentara utama Albion dari Londinium mulai bergerak dan mengarah lurus ke kota Saxe-Gotha. Di perbatasan Markas sementara kota, Wimpffen membuat sebuah keputusan. Terang saja, sebab kini dialah pemimpin utama semua operasi. “Kita mundur ke Rosais. Tiada gunanya tetap disini.” Dan perintah mundur pun diberikan kepada seluruh tentara dibawah komandonya. Tentara yang bergembira atas kemenangan dan melangkah maju kini kembali sebagai tentara yang kalah, berkurang menjadi 30.000 berkat pemberontakan. Seluruh wajah tampak lelah dan rasa putus asa bergentayangan. Jenderal De Poiters merupakan seorang pengkhianat dan merumuskan pemberontakan, tidak, sang jenderal dibunuh, mereka semua dimanipulasi sihir yang tak diketahui dan dibuat membunuh – didalam tentara yang kalah, kebenaran tercampur dengan pelbagai isu. Namun bagi petugas yang memimpin maupun prajurit, isu semacam itu membantu mereka untuk bertahan. Hanya insting bertahan ala hewan yang bergelora dalam kepala manusia yang melarikan diri. Kebingungan makin membesar saat nyata bahwa tentara utama Albion bergabung dengan pemberontak dalam pengejaran. Kesatuan-kesatuan kekuatan sekutu dalam barisan panjang nan tipis mundur melalui jalan besar ke Rosais. Di antara mereka, tentu saja ada Louise dan Saito. Dengan pedang di bahunya, Saito memanggil Louise yang berjalan di sampingnya. Dia tak pernah ngobrol dengan Louise sejak pagi kedua Festival Advent saat dia kembali ke kamar mereka. Tapi meski mereka belum saling berbicara selama hampir 10 hari…hanya kata-kata panas yang keluar. “Jadi diaman kehormatan ini dalam perang?” Louise menunduk. “Lihat sekelilingmu.” Sekelompok petugas mengendarai kuda melewati mereka dengan kecepatan penuh sambil berteriak.” Menyingkir! Menyingkir!” unit infantri yang terkejut berdiri di sisi jalan. Namun para musketeer dan penombak tak berekasi. Semua membuang senjata mereka yang berat-berat karena mereka melarikan diri. Kini mereka tak berfikir mereka bisa selamat. Kemarin mereka semua berteriak ‘Hidup kemenangan milter raja! Kita harus menang untuk keadilan mutlak bagi kehormatan para prajurit yang gugur!’, dan kini mereka marah pada rekan mereka sendiri? “kuharap Guiche dan Rene baik-baik saja…” Ucap Saito sambil menerawang Saito dibangunkan sahutan “Pemberontakan!Pemberontakan!”. Dia pergi ke markas pimpinan sementara…yang sudah menghilang. Seluruh anggotanya telah melarikan diri. Setelah kurir datang dengan perintah mundur, mereka langsung meninggalkan senjata mereka. Saito membalikkan badan. Scarron, Jessica, Siesta dan seluruh gadis dari Penginapan ‘Peri-peri Menawan’ mengikuti mereka. Mengapa ada kerusuhan semacam itu dan mengapa ada perintah mundur? Dia berlari mengejar Siesta dan orang-orang lain dari penginapan mengikutinya. “Tentu saja aku Prajurit Kerajaan yang terhormat. Aku harus menyemangati orang-orang untuk melarikan diri meninggalkanku, itu adalah kehormatan tertinggi.” Louise terus berjalan. “”Apa kini kau mengerti dimana letak kehormatan sebenarnya? Apa kini kau mengerti arti di balik kata-kata guru? Mereka semua mengerti…mereka hanya ingin hidup, itulah mengapa mereka berusaha keras untuk kabur.” Hujam Saito dengan udara superioritas. Sebagian besar karena dia merasa terlalu hancur untuk membicarakan yang lain. “Memalukan.” Louise akhirnya membuka mulut. “Memalukan? Aku suka hal tiu. Kehormatan kemenangan! Keadilan! Bersuara keras-keras tapi pada akhirnya sifat asli menunjukkan diri dan membuat mereka jujur.” Kekuatan sekutu, termasuk Wimpffen yang sampai pertama kali di Rosais, meminta izin kembali ke negara mereka. Jawaban dari pemerintahan monarki yang tak bisa menelan keadaan pendek saja: “Izin mundur tak diberikan. Jelaskan keadaan lebih rinci.” Setengah Kekuatan sekutugugur atau berbalik, De Poiters tewas? Fakta-fakta ini gila. Mereka tampak ragu apakah itu laporan yang benar. Apa itu palsu? Wimpffen tak dapat menyalahkan pemerintahan mereka untuk itu. “mungkin, bahkan aku takkan mempercayainya begitu saja setelah mendengar laporan semacam itu dan mampu langsung memberikan izin mundur.” Tentara yang kalah terpusat dalam Rosais. Wimpffen mulai bernegosiasi dengan negerinya sendiri. Dia bersikeras berulang-ulang bahwa dengan mempertimbangkan kemana situasi berjalan, mereka menuju kehancuran. Dengan usaha keras, akhirnya dia memperoleh izin mundur…setelah setengah hari; setengah hari yang sangat berharga. Setengah hari yang bisa jadi sangat telak bagi kekuatan sekutu. Saat tentara yang kalah mulai berdatangan…mereka menerima lebih banyak berita buruk dari ksatria naga pengintai. Tentara utama Albion dari Londinium bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan. Dengan kondisi begini… “Pada besok subuh, tentara utama musuh akan menyerbu masuk Rosais.” Dia melihat peta dan menanyai bawahannya. “Berapa waktu yang diperlukan tentara kita untuk berangkat seluruhnya?” Staf logistik menjawab. Hingga pagi lusa. Meski Rosais memiliki fasilitas pelabuhan raksasa untuk kapal-kapal, di tanah, hanya bisa ada tentara dalam jumlah terbatas di waktu yang sama.” Wimpffen khawatir. Jika kau memikirkannya – dia perlu memulai persiapan mundur sebelum diizinkan. Namun, Wimpffen takut dirinya bakal kena dan tak mau digantung di sebuah pengadilan perang. “Pertama-tama, adalah perlu untuk menghentikan laju tentara musuh.” “40.000…tidak, tidak, dengan para pemberontak, jumalhnya lebih besar. Dimana kita bisa mendapatkan tentara untuk menahannya?” Apalagi, bombardir dari udara akan menarik garis mundur ke kloter. Lagipula, peluru kapal takkan membantu mengerem barisan musuh. Terlebih lagi, untuk mendapatkan waktu yang lebih banyak, para prajurit yang melarikan diri dengan kecepatan penuh kehilangan seluruh baju besi berat mereka. Wimpffen berpikir. Dan…tiba-tiba dia memiliki sebuah ide… “..Ya…Kita gunakan ‘itu’.” “Itu?” “Kartu As! Kartu As tentaraku! Kini saatnya untuk menggunakan dia! Kurir!” Si kurir datang kepada Louise dimana dia menunggu untuk naik mundur dalam tenda. Waktu menunjukkan sore. “Aku?” Si Prajurit tua tampak sangat terburu-buru, Seakan-akan dia perwujudan seluruh Kekuatan Sekutu – Selalu terburu-buru. “Nona Vallière! Komdan Wimpffen memanggil!” Baru saat itulah Louise menyadari Jenderal De Poiters dan Marquis Handenburg dibunuh. Kebingungan diantara Kekuatan Sekutu sangat besar. Louise pergi menghadap komandan, sedangkan Saito menunggu di luar. Saito memiliki firasat buruk. Setelah mendapatkan perintah, Louise keluar dari tenda Komandan dengan wajah seputih Hantu. “ Ada apa? Apa perintahnya?” Meski dia bertanya, Louise tak menjawab. Louise memandang lurus kedepan…dan mulai berjalan ke ujung lain dari Rosais. Tapi tidak menuju tenda kloter. Dia pergi ke kuil di sisi kota…dan menerima seekor kuda dari penjaga kuda. Si penjaga lalu membungkuk kepada Louise yang hendak pergi. Saito mencengkram tangan Louise. :Hei! Mau kemana?! Tidak aman untuk meninggalkan kota!” “Lepaskan.” Ucap Louise dengan suara kosong. Merasa ada yang tak beres, Saito meneriaki Louise. “Bicaralah! Apa perintah yang diberikan padamu?! Hei!” Louise tak menjawab. Dia hanya terus menggigit bibirnya. Dengan tangannya yang lain, Saito mengambil perkamen perintah dari Louise. Karena dia tak bisa membaca hurufnya, yang bisa dia mengerti hanyalah sebuah peta. “Aku tak bisa membacanya. Apa yang tertulis disini?” Lagi-lagi Louise menggigit bibirnya. “Ngomong dong! Apa yang tertulis disini?!” Bukan Louise, namun Derfling yang tersimpan di bahunya yang membacanya. “Aaah, sebuah dapar. Tak terlalu terhormat.” “Dapar?” “Huhu, bikin waktu supaya kekuatan utama bisa melarikan diri. Sendirian menghadapi 70.000 tentara musuh. Luar biasa sekali, kan? Saito menjadi pucat. Dia berucap kosong. “Apa?” “Perintah yang cukup rinci sebenarnya. Hoho, tunggu di bukit 50 liga di sebelah kiri ini dengan mantra void yang siap tembak. Menghadap ke rute darat untuk memantau musuh dan terus menyihir hingga sihirmu habis. Kabur maupun menyerah tak diizinkan. Haah, dengan kata lain, ini sebuah perintah ‘bertahan hingga akhie’. Singkatnya –bertempur dengan musuh hingga tewas. Inilah perintah itu.” “…Hei, apa itu – lelucon bukan?” Ucap Saito sambil menggenggam bahu Louise. “Tiada yang bercanda. Itu kenyataannya.” “Benarkah? Apa kau tolol banget? Kau akan mati hanya karena jenderal-jenderal kita memerintahkanmu? Mereka memperlakukanmu seperti alat, tidak-tidak, seperti alat cadangan. Jangan lakukan itu! Jangan!” “Berhentilah terburu-buru.” Saito terkejut. “Aaah, sinar matanya ini…aku ingat.” Louise tak berubah dari hari mereka pertamakali bertemu. Louise tetap ingin diakui. Dia memasuki perang ini melawan kehendak orang tua karena…dia ingin diakui. Dia diejek sebagai “Louise si Nol”, Louise tolol. Sejak itu…Louise berharap diakui orang tua dan teman-teman sekelasnya. Itulah mengapa dia melamar Pencarian Foquet. Namun…sekali kekuatan elemen Void legendaris terbangun dalm dirinya, semua berubah. Dia ingin diakui lebih dari cuma sebagai itu. Saito tak bisa benar-benar mengerti ha itu, begitupun juga dengan Louise. Makanya dia mencoba membujuk Louise. “Ayolah, berfikirlah baik-baik. Untuk harga diri? Lihat ya, penginapan ini tak aman, dan kau akan tewas disini...Kau mengerti? Hentikan ya? Kau hebat, aku tahu itu, tapi ayo kabur dong? Abaikan perintah semacam itu dan pergi saja ya?” “Kemana kau akan lari? Ini daerah musuh.” “Berhentilah menjunjung tinggi-tinggi harga dirimu itu!” Louise menatap lurus Saito dan berkata dengan jelas, “Ini bukan karena kebanggan. Apa yang akan terjadi bila aku kabur? Sekutu kita akan dihabisi, pembantumu, semua daripenginapan’Peri Menawan’…Guiche, Rene p semuanya. Mereka mungkin dibunuh atau dipermalukan.” Saito bermuka masam karena menyadari hal itu juga. Alasan mengapa Louise sangat bersikeras…bukan hanya karena harga dirinya. “Aku tak ingin mati, tapi aku juga tak ingin teman-temanku mati. Itulah…arti sebenarnya kata ‘Kehormatan’. Hey Saito, kau tetta mengatakan bahwa kehormatan itu bodoh tapi kehormatan mana yang kau bicarakan? Seseorang mati demi yang lainnya bukan karena kehormatannya. Ini berbeda.” Jelasnya. Tapi Saito terus berusaha mati-matian untuk membujuknya. “ Maka, apa aku juga mati? Sepertimu? Apa kau akan mengorbanku demi menyelamatkan semua orang?” “Sumpah familiar pasti berbeda dengan ini!” Louise menatap Saito dengan sedih untuk sesaat…lalu menggelengkan kepalanya. “ Kau kabur saja. Jangan mengikutiku.” “Apa?” “Kemballilah pada ‘Varsenda’ dan ambil mesin terbangmu. Lalu kau dan pelayanmu bisa terbang ke timur.” Mata Louise mulai berkaca-kaca. Suara Louise terdengar seperti hendak menangis. “Kau…baru-baru ini menanyai apa kau hanya alat bagiku. Jangan bodoh. Jika kau berpikir aku merasa kau hanya sebuah alat maka kau salah paham. Kau adalah kau. Seorang pemuda bebas dari dunia lain dimana dia harus pulangkepadanya. Bagiku, Kau bukanlah alat.” Louise…” Saito membuang muka lalu berkata dengan suara nan teguh. “Aku mengerti. Aku takkan lagi menghentikanmu. Namun, aku memiliki satu permintaan sebelum kau pergi.” “Eh?” “Di duniaku, ada tradisi untuk minum dan bersulang sebelum berpisah. Kau masih ada waktu sebelum pergi, kan? “Ya, sedikit…” Saito memandang sekeliling mereka dan di sampineg kuil dia menyadari ada kotak perbekalan. Itu pasti salah satu perbekalan yang seharusnya dikirim ke kota Saxe-Gotha tapi akhirnya tertinggal. Itu berupa sekotak anggur. Dia langsung teringat keluhan Scarron soal bir Albion. Saito mengeluarkan sebotol. “Ia akan dicuri musuh juga sih.” Sementara itu Louise memandangi kuil di dekat mereka. Lalu, dia berbalik pada Saito. Pipinya tiba-tina berubah merah. “Apa?” “karena kita akan bersulang, aku juga punya satu permintaan.” “Ceritakanlah, mintalah apapun yang kau harap.” Tapi permintaan Louise…melebihi semua perkiraan Saito. “Nikahilah aku.” “Huh?” Louise, kini merah dari kepala hinga jari kaki, berteriak. J-jangan slah paham! Bukannya aku mencintaimu atau apapun itu! Namun… mati sebelum menikah tidak baik, aku hanya ingin menikah.” Ia merupakan kuil kosong - tiada orang di dalam. Saat Kekuatan sekutu menguasainya, seluruh pendeta didalam kabur. Meninggalkan kuda terikat di pagar. Dua orang memasukinya. Ia bersih dan disapu dengan baik. Matahari yang terbenam tercermin dari gelas berwarna, menciptakan suasana suci. Dikelilingi keheningan menenangkan ini, Louise berdiri di depan altar. “Kau tak ingin menikah di Albion?: Louise mengernyitkan alis. “Ia hanya membawa kenangan tak sedap.” Kau telah melakukan ini, kan?” Louise mengangguk. “Ya. Namun, saat itu, aku tak memberi sumpahku.” “Oh, begitu.” Louise menatap menengadah pada Gambar Pendiri. Dikelulingi suasana suci, dia berlutut di hadapan itu dan memberikan doa dalam diam. Louise berpikir selama berdoa. Mengapa aku memikirkan pernikahan di saat seperti ini?” “Apa aku menginginkannya?” “Hanya di antara aku dan Saito, tanpa yang lain…” “Apalagi, aku tak memberi jawaban pasti pada pengakuan Saito, dan tiada waktu untuk menjabnya.” “Karena ini akhirnya, aku tak takut lagi menunjukkan perasaanku.” “Tapi apa rasaku dan mengapa aku tiba-tiba berpikir soal pernikahan…” “Pikirannya terasa kacau dan dia tak mampu menemukan jawabannya. Saat dia menyudahi doa dan membuka mata…Saito berdiri disana dengan segelas anggur. “Darimana gelas ini?” “Hiasan altar. Dan kupikir Tuhan takkan marah bila aku meminjamnya untuk saaat seperti ini.” Louise tersenyum, sambil mengambil gelas. “Itu yang kedua.” Ucap Saito. “Apa?” “Kau terseyum padaku. Kini dan waktu kita pergi belanja, ini menjadikannya 2 kali, kan? Meski kau tak benar-benar ingin menikahiku.” Louise merasa bahagia. Saito ternyata menghitung senyumnya, “Itu benar.” Namun, dia tak bisa terbuka mengungkapkannya. Kata-kata jujur tak begitu mudah baginya. Ini membuatnya frustasi. Tapi Louise hari ini berbeda. Louise menyamakan gelasnya dengan Saito. “Aku minta maaf kita tak bisa mencari cara untuk kembali ke duniamu bersama-sama.” “Jangan khawatir.” Keduanya meneguk anggur mereka.” Karena alkohol dan rasa malu, pipi Louise bersemu merah. “Jadi bagaimana kita menikah? “Aku tak tahu juga.” Apa ini bisa? Ini takkan dilakukan dengan benar.” “Tak apa-apa.Toh ini dengamu” Tak tahu apa yang harus dilakukan, Louise menggenggam tangan Saito. “Kini, berikan sebuah sumpah.” “Tapi tiada pendeta.” “Hentikan keluhanmu. Atau apa harus aku yang melakukannya untukmu.” Saito menatap lurus Louise dan berucap.” “Aku mencintaimu Louise.” “A..A-aapa..tolol. Tak bisa begitu bila kau tak bersumpah.” Dibilang “Aku mencintaimu” tiba-tiba, Louise bersemu merah terang. Tubuhnya gemetaran dipenuhi kebahagiaan. “Aku tak bohong. Aku senang bisa bertemu denganmu. Sumpah.” Louise menundukkan pandangannya. “Aku harus mengatakannya, sekarang atau tidak sama sekali.” Pikirnya. “A-aku juga…” Namun, saat dia hendak mengatakan itu… kantuk tiba-tiba menyerangnya. “I-itu? Aku…” Tiba-tiba kantuk itu menguat. Dia tak bisa melihat apa-apa. “kau, anggurnya…” Dia tak bisa menyelesaikannya. Kekuatan dan pikiran meninggalkan tubuh Louise. Saito menangkap Louise yang terjatuh. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari kantongnya. Itu obat tidur magis yang diberikan Siesta padanya kemarin-kemarin.” “Persis sesuai harapan. Sihir itu kuat.” Ucapnya, melangkah keluar sambil menggendong Louise. Matahari sore selesai terbenam dan sekeliling menjadi gelap. “Dingin…” ucap sebuah suara yang dekat. “Aah, Familiar-kun.” Disamping gerbang kuil ada pemuda menawan dengan rambut blonde hampir putih yang berdiri bersandar pada tembok dengan lengan terlipat. Mata birunya bersinar mencerminkan matahari terbenam.” Dia pendeta Romalia dan ksatria naga Julio. “Kau mengintai kami lagi. Kau punya Hobi jelek.” ‘Tidak, aku hanya kesini untuk berdoa. Begini-begini aku pendeta.” Jawab Julio, yang terus tersenyum. “Baiklah, ini, jagalah Louise.” Dia tengah berhati-hati memeluk Louise di dadanya dengan kedua tangan, seakan dia barang yang mudah pecah, dan berucap pada Julio.” “Pergilah. Dan kembalilah dengan aman ke kapal.” Saito menempatkannya di naga Julio. “Makasih, baiklah.” Julio memanggil Saito untuk berhenti. “Kemana kau?” Saito menjawab asal. “Aku melarikan diri.” “Kau ke arah yang salah. Tentara Albion dia arah sana.” “Aku tahu.” Saito asal melompat ke kuda, tapi Julio memanggilnya untuk berhenti lagi. “Hanya ada satu hal yang ingin kuketahui.” Saito berteriak. “Apa?” “Mengapa kau kesana? Pastinya kau tak tolol untuk gugur demi kehormatan, kan?” Saito berpkir untuk sesaat… lalu mengernyitkan alis, merasa lega dan menggeleng-geleng. “Karena…” “ya?” “Karena “Cinta”.” Julio lalu tertawa keras. “Ahahaha, kau terdengar seperti seorang Romalian asli!” Dengan bermuka masam, Saito menyilangkan lengannya. “Tidak, ini bukan karena cinta pada seorang wanita, tapi karena perasaan terdalamku bilang begitu.” “Mohon ajari aku artinya bila kau bisa.” Saito menatap lurus ke depan dan mengatakan. “Tak bisa, menjadikannya kata-kata sudah jadi dusta. Kata-kata selalu bisa berdusta. Hanya perasaanku tak bisa berdusta soal itu.” Julio membuat sebuah tanda lucu dengan jarinya. “Apa aku mengatakan hal aneh?” “Kau bukan seorang ningrat, sama sepertiku, kan?” “Ya.” “Namun kau berpikir seperti mereka.” “Apa kau ingin bertengkar?” Saito mengambil tali kekang di tangannya, menggenggam erat mereka, lalu menendang samping badan kuda. Dan berkuda menuju jalan yang makin gelap. Sambil memandangi punggungnya, Julio tersenyum dan berucap perlahan, “Kau sangat kikuk, Gandálfr.”
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information