Editing
Kamisu Reina Indo:Jilid 1 Shizuka Wakui
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
==Bagian 2== "Dokter, aku pikir aku akan membatalkan sesi pertemuan kita." Dokter Mihara menatapku, sedikit keheranan, dan bertanya "Kenapa ?" "Aku cuma datang kesini karena membutuhkan bantuan saat itu, bukan begitu?" Dia memberiku anggukan kecil. "Jadi kamu tidak memerlukan bantuan lagi ?" "Ya, aku tidak perlu. Depresi rasa tak tenang yang dulu telah menghilang, dan begitu pula keenggananku untuk berbicara kepada orang lain," aku menjelaskan dan menambahkan hal yang aku alami tempo hari saat menunggu disini, "Dan aku tidak buru-buru keluar ruangan ini sambil berteriak." Beberapa kerutan kelihatan di kening dokter. "Siapa," dia berbicara setelah jeda sebentar "Yang kamu bicarakan ?" "Aku sedang membicarakan cowok yang sering datang kesini sebelum aku. Kalau aku ingat dengan benar, Dia mengenakan seragam dari sekolah kami. Dia menabrak ku waktu itu, bukankah begitu? Siapa tuh ya namanya?" "...Aku rasa aku tidak bisa berbicara denganmu tentang klienku yang lain." "Bahkan namanya saja? Terserahlah. Kalau dipikir, aku belum melihatnya belakangan ini." Sikapnya menggelap dengan jelas. "Dia tidak akan... Datang kembali." "Begitukah...?" "Iya," dia mengangguk. Aku ragu mereka menghentikan pengobatan mentalnya dalam keadaan seperti itu; apa sesuatu telah terjadi? Melihat bagaimana dia lari berteriak, pasti ada alasan kenapa dia tidak ingin datang kesini lagi. Tapi aku mempunyai firasat aneh tentang hal ini. Lagian, cowok itu adalah siswa SMA Shikura. Mengingat bahwa dia berada dalam pengobatan mental, itu lebih dari mungkin dia mempunyai alasan untuk bunuh diri, maka mungkin dia diantara ketiga korban bunuh diri. Menilai dari sikap dingin dokter Mihara, dia pasti tahu kebenarannya. Aku menahan diri kembali bertanya, bagaimanapun, karena kepribadiannya tak akan mengizinkannya menjawabku. "Singkatnya, kamu bilang kamu mau membatalkan sesi pertemuan kita?" Dia berujar, kembali ke topik, "Menurutku, terlalu dini untuk itu." "Aku tahu, dokter. Kalau lukaku belum sembuh; aku juga bukan aku yang dulu." "Bukan itu masalahnya," dia membantah. "Luka ini akan mengiringimu menjalani seluruh hidupmu, dan Kamu tidak bisa lagi kembali ke dirimu sebelumnya yang tak menderita luka.." "Terus dimana masalahnya?" Aku bertanya. "Aku tidak sepenuhnya percaya kalau kamu benar-benar sembuh dari goncangan." "Kalau memang seperti itu, tidak juga aku harus terus datang kesini sepanjang hidupku, ya kan?" Dokter berjeda untuk beberapa saat. "Tetap saja... Tetap saja itu terlalu dini." Aku sedikit berang; apakah dia menganggap kalau aku aneh? Oleh karena itu, aku memprotes: "Dokter, mari kita saling terus terang. Kami bukan keluarga kaya. Tagihan untuk terapi psikologi ini menguras cukup dalam uang kami!" "......" Dia terdiam selagi aku menyebut kondisi keuanganku. "Mungkin kamu benar aku belum sepenuhnya sembuh dari goncangan, tapi aku percaya diri bahwa dengan bantuan dari keluargaku dan beberapa teman yang aku punya-seperti Kazuaki-aku akan mampu menjadi lebih baik." "Aku tidak setuju. Bagaimanapun, aku merasa kamu masih membutuhkan seorang ahli sepertiku." "Kenapa?" Aku bertanya, agak jengkel. "... Baiklah, biarkan aku menjelaskan kekhawatiranku: aku merasa kalau kamu mempunyai kecenderungan ber-delusi." “…Kecenderungan delusi?” aku bertanya menanggapi kata-katanya yang tak terduga. Aku kesulitan melihat apa yang dia singgung. “Ya. Aku tidak tahu seberapa berkembangnya kecenderungan itu saat kamu pertama kali datang kesini karena kamu tidak membuka dirimu kepada orang lain… tapi aku pikir kalau kecenderungan delusi itu semakin menguat saat kamu memperoleh kembali vitalitasmu.” “Hah? Maksudmu aku membuang akal sehatku untuk berusaha menerimanya?” tanyaku. “Aku tak bisa memastikan. Aku menduga, entah bagaimana, bahwa untuk melindungi dirimu dari luka dalam yang kamu derita, kamu terpaksa untuk merubah berbagai hal yang bila tidak akan menyebabkan kerusakan lebih, termasuk rasa menilai sesuatu.” “…Dengan kata lain, kamu mau bilang kalau aku masih menutup diriku?” “Aku tidak sepenuhnya setuju dengan nuansa itu… tapi bisa di bilang begitu. Seperti yang aku bilang, bukan hal buruk untuk berubah. Masalahnya adalah arah perubahanmu. Tentu saja, aku pikir itu lebih baik daripada tetap terluka, tapi aku tidak menganggap itu sebuah solusi.” Setelah perlahan mencerna kata-katanya, aku memprotes: “Jangan bercanda.” “Wakui-san…” “Aku masih <i>aneh</i>, hah? Itu tidak benar! Aku sudah <i>normal</i> kembali!” aku berteriak, membangkitkan amarah yang mengalir. “Cukup! Aku Muak dan lelah! Ini terakhir kalinya kamu melihatku!” Bersama perkataan ini, aku berdiri dan berpaling darinya. “Wakui-san!” Mengabaikan perkataan yang dia ucapkan padaku, aku meninggalkan kantornya. Sudah tidak ada jalan kembali. Hari selanjutnya aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Daguku berada dimeja, aku dengan antusias menunggu bel berbunyi. Karena lambatnya gerakan jarum jam, aku berpikir kembali saat di sesi terapi kemarin. Aku pikir aku terlalu histeris. Aku minta maaf untuk dokter Mihara. Dia hanya mengatakan pendapat jujurnya, tidak lebih. <i>Begitu perkataannya</i>, aku bilang pada diriku sambil aku mengingat kembali kata-katanya kemarin. Berdelusi? Aku? Aku mengakui, pendapat tetapku tentang keberadaan energi-energi humanoid barangkali kelihatan delusi dari sudut pandang akal-sehat-yang terpengaruh sesuatu. Namun, aku telah secara seksama menjabarkan dasar logika untuk teori ini; aku benar. Apapun, aku sudah satu langkah didepan orang yang sepantar. Lagi pula, Tak apa begini: aku belum memberitahu dokter tentang energi-energi humanoid. Aku seorang pasien; seorang yang sakit mental. Karena aku sadar akibat yang ditanggung, aku sengaja menyimpan darinya sehingga dia tidak akan salah paham. Itu berarti kalau… dia memandang aku ber-delusi kendati tanpa bercerita tentang energi-energi humanoid tersebut? … Omong kosong. Aku normal. Tak peduli anggota badan manapun yang kamu lihat, aku terlihat sangat normal dan jauh-dari-tersiksa. Tapi, tapi! Kamu memperlakukan ku seperti seorang yang sakit mental! Kembali kesal, aku tendang Kazuaki yang duduk disebelah ku. “Auw!” Blo’on! Kenapa kamu menjerit…? Akibatnya, seluruh mata di kelas-termasuk guru-melihat ke Kazuaki. Berpura-pura tak tahu, aku melihat ke buku catatanku dan mulai menulis huruf sembarangan. “Untuk apa itu…?!” keluhnya lirih, cemberut padaku penuh malu, setelah perhatian semua orang kembali ke pelajaran. “Tak ada alasan.” “Jadi kamu tipe orang yang tidak perlu alasan untuk memukul seseorang, hah? Shizu-chan… Hiks, hiks.” “’Hiks, hiks’, ehh? Siapa yang cewek sih diantara kita?” Tiba-tiba, bel berbunyi dan mengakhiri percakapan lirih kami. Seperti rutinitas, kita berdiri, membungkuk ke guru, dan duduk. Beberapa saat kemudian, guru kelas kami memasuki ruang kelas dan mengakhiri homeroom dengan omong kosong. Urusanku di sekolah sudah selesai hari ini. Segera setelah aku berdiri dan bilang, “Dadah,” Kazuaki mendekati ku: “Shizuka, Ingin pulang bareng?” “Maaf, tapi ada sesuatu yang harus aku lakukan lagi.” Taman itu terletak di arah berlawanan dari stasiun kereta yang kami gunakan saat pulang kerumah. Terlihat patah semangat, Kazuaki bergumam,”…Ah Hah.” “…lagi-lagi, Kazuaki, aku sungguh tidak menghindarimu,” aku memastikan. “Aku tahu!” “lantas jangan memerengut.” “Tapi pertemuan itu lebih penting dari ku, bukan?” Terkejut, aku kehilangan kata-kata. “Yah…itu benar, tapi…” “Aah, erm, tak apa, tak apa. maaf menggerutu.” Memang, dia sedikit menggerutu. Tetap saja, aku berkata apa yang harus aku katakan: “…Maaf kalau aku tak bisa jalan bareng denganmu.” Itu cukup untuk menampilkan senyuman di wajahnya. Ya ampun, dia orang yang polos. “Sampai ketemu, Kazuaki,” aku berujar selagi aku melambaikan lambaian padanya. Dia balik melambai, tersenyum. Menuruni lorong. Aku menuju kearah loker sepatuku. Langkahku perlahan-lahan meningkat. Aku ingin kesana, dengan cepat, dan melihat dia. Apakah aku berharap melihatnya? Hmm? Setidaknya, terasa berbeda dari pergi berbelanja barang obral murah yang sudah lama ditunggu. kalau aku harus mengungkapkan perasaanku sekarang ini… mungkin seperti pergi untuk pertama kalinya ke tempat pacarmu? sekalipun kamu hanya merasakan perasaan negatif seperti gugup, takut dan malu, kamu tidak merasa buruk sedikitpun. Seperti itu. “Um-“ namun sebuah suara tiba-tiba menggangguku. Aku mendongak untuk memastikan suara siapa itu dan mengenali salah satu dari duo C2, Hozumi Shiiki, menuruni tangga. “Kalau tidak salah Hozumi-chan dari C2,” aku menanggapi. “…Apaan tuh ‘C2’?” “Nama grup cewek mu. Ah sudahlah, lupakan.” “Omong-omong,” aku meneruskan, “Ada perlu apa? aku sedang buru-buru.” “Aku, em…aku ingin berbicara sesuatu denganmu, tentang Toyoshina-Senpai.” Kazuaki Toyoshina. Cukup terlihat jelas dari sikap biasanya, Hozumi-chan-gadis yang pendek tapi montok (D cup, aku bertaruh!) jatuh hati pada Kazuaki. Seperti, Tergila-gila padanya. Kamu tak akan percaya kalau seorang cewek kalem kayak dia akan sangat agresif ketika menyangkut Kazuaki. Meskipun hanya ketika di dukung oleh orang lain di duo C2, Yoshino Mitsui. Hm, masalah ini cukup menarik untuk menghabiskan beberapa menit. Lagian aku belum mengatur waktu pertemuanku dengan dia. Aku tak yakin apakah konsep waktu ada untuk dia. “Oke, ayo kita berbincang.” “Terima kasih,” dia membalas. “Kita cari tempat yang lebih bagus untuk berbincang.” “Ok, bagaimana kalau kantin?” Hozumi-can mengangguk dan mengikutiku. Sambil menunggunya mulai bicara, aku meneguk dari gelas kertas dan menikmati rasa dari jus jeruk. Hozumi-chan belum berbicara satu kata pun sedari dia duduk meski dia yang memintaku kesini. Hm… Haruskah aku mengharapkan obrolan yang agak serius disini? Aku pikir dia tahu aku telah menyadari perasaannya pada Kazuaki, dan aku pikir dia juga tahu kalau aku tak bisa membantunya pada masalah itu. Aku yakin kalau dia berencana membicarakan tentang hal itu, tapi mungkinkah aku salah? Selagi aku mulai memandangnya lebih dekat, Hozumi-chan menurunkan pandangannya tersipu malu. Dia tidak sampai se-agresif seperti biasanya apakah karena Yoshino-chan tidak bersamanya? Ataukah dia agresif hanya untuk mencari perhatian Kazuaki? “…Emm…” dia akhirnya berbicara. “Hm?” “Apakah kamu, Wakui-san dan Toyoshina-senpai hanya teman masa kecil?” Sudah menduga pertanyaan seperti itu, aku tak bergerak. “Oh ya ampun, kamu kan bisa bertanya ke Kazuaki.” “Sudah.” “Hm? Ah, ya, dia lebih mudah di dekati dibanding aku, bukan? Apa yang dia bilang? Ah , tidak, tidak usah. Aku tahu. Tapi aku mengerti… jadi kamu menyadari bahwa kami mungkin saja memberi jawaban yang berbeda padamu dari pertanyaan itu.” “…” dia tetap diam. “Terlepas apa masalahnya, apakah kita terlihat sekedar teman masa kecil?” Hozumi-chan berpikir sejenak, “Tidak, kamu tidak…” Aku menggangguk menjawabnya. “Kamu benar. Teman masa kecil semata tidak akan memilih SMA yang sama hanya untuk tetap bersama, tidak juga akan memohon kepada gurunya untuk menempatkan mereka bersebelahan satu sama lain, tidak pula sangat senang saat saling memainkan rambut satu sama lain.” “…Dan siapa?” “Apa kamu sangat ingin tahu?” Hozumi-chan memalingkan matanya ke bawah dan terdiam kembali. Aku kembali meneguk jus jeruk ku, sengaja meminumnya pelan-pelan karena aku tidak tahu berapa lama dia akan terus terdiam. Sebelum aku menaruh gelas kertas yang kosong ke meja dia melanjutkan. “…Bagaimana aku harus bersikap?” Hozumi-chan berbisik patah semangat. “Apanya yang bagaimana? Apa kamu menahan diri untuk dia…? tidak, kamu sudah menyadari dari awal. Kamu menahan diri karena aku, ‘kan?” Setelah beberapa saat ragu, dia akhirnya mengangguk. “Tidak usah pikirkan aku,” aku berujar. Terkaget, Hozumi-chan mendongak padaku. “Apa-apaan wajah itu? Tidak menyangka aku berkata begitu?” “T-Tapi… kalian saling mencintai tak peduli bagaimana kamu melihatnya…” “<u>Tak peduli bagaimana kamu melihatnya</u>? Juga saat kamu melihat kami?” “Mungkin…” “Kamu tidak yakin? Meskipun kita sedang membicarakan tentang cowok yang selalu kamu pikirkan?” “…Ya,” dia menjawab dengan jujur. “Aku mengerti. Itu berarti bahwa kamu, Hozumi-chan, mempunyai pemikiran yang berbeda dibanding pemikiran orang lain yang melihat kita sebagai sepasang kekasih.” “Hah…?” “Aku tidak tahu pemikiran Kazuaki tentang hal ini, tapi menurutku aku tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungan kami.” “Kamu tidak…?” “Mm.” Hozumi-chan terdiam sebentar untuk berpikir tentang alasan kenapa aku mengatakannya seperti itu. Akhirnya, dia menjawab. “Apakah itu berarti kalau aku tidak harus menahan diriku demi kamu?” dia bertanya. Setelah berjeda sebentar, aku menjawab, “Tentu saja.” “Bagus…” dia berucap dengan senyuman yang jelas, yang dia coba sembunyikan, “Aku selalu merasa tak nyaman padamu.” “Aku tahu kalau kamu merasa seperti itu,” aku mengakui sambil aku memegang gelas kosong didepan bibirku, “Tapi jangan membenciku untuk hal itu. Aku tak bisa kan hanya bilang ke kamu ‘tuk mengabaikan aku dan menggodanya sepuas-puasnya, benar?” “…Ya,” Hozumi-chan berkata, wajahnya terlihat-suram kembali. “Ah, aku tidak bermaksud menyinggung, oke?... sebenarnya, aku lebih suka Kazuaki menemukan orang lain ketimbang aku.” Dia terlihat kaget oleh fakta itu. Ya ampun…Akankah wajahnya diam sebentar? “Aku tidak tahu apakah akan datang waktu dimana aku bisa menjawab perasaannya padaku. Mungkin tidak, dan aku akan selalu membuatnya menunggu. Oleh karena itu, aku berpikir demi dia aku meninggalkannya untuk cewek seperti kamu, Hozumi-chan,” aku menjelaskan dan dia mendengarkan. Sambil menaruh dan mengambil gelas tanpa alasan yang jelas, aku melanjutkan, “Dia mestinya tahu kalau aku bukan satu-satunya cewek yang ada. Karena dia… senantiasa memperhatikanku.” Hozumi-chan terdiam, wajahnya murung. Setelah beberapa saat, dia mendongak dan menatap dalam di mataku. “Aku tidak akan… menahan lagi!” dia berkata dengan suara tegas namun tetap tenang. Sedikit goyah oleh tatapan tegasnya, aku memalingkan mataku sedikit. “Dan aku baru saja memberitahumu kalau itu tak apa, bukan?” Aku menjawab-dengan suara lebih pelan dari yang sebelumnya. Masih terpaku pada wajahku, dia mengangguk,”…Aku mengerti.” Dia mengeluarkan desahan kecil. “Terima kasih atas waktunya. Sampai jumpa…” "Ya, sampai jumpa.” Hozumi-chan mengambil tasnya, dan setelah membungkuk, pergi tanpa menoleh kembali. Sambil aku memandang gelas kertasku yang kosong, aku bertanya pada diriku sendiri: …<i>Hei Shizuka, Apa kamu serius</i>? Aku bertanya-tanya? Aku memikirkan diriku. Aku pikir begitu...tapi entah bagaimana aku tidak sepenuhnya nyaman dengan apa yang sudah aku ucapkan. Aku merasa seperti aku sedang berusaha meyakini diriku apel yang terpetik memang yang benar. Aku menatap bangku di depan ku yang masih keluar dari meja. Hozumi-chan. Dia cewek yang baik. Tidak ada keraguan tentang itu. Bahkan aku harus mengakui kalau dia cantik. Setiap cowok normal akan terpikat seketika olehnya kalau dia mau. Terus memangnya kenapa? Dia cewek baik, terus kenapa? Dia cantik, terus kenapa? Apakah itu membuatnya cocok untuk Kazuaki? Aku mencoba membayangkan bukan aku melainkan dia yang berdiri disamping Kazuaki. …Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa membayangkan itu. Biarpun begitu… ada sesuatu yang aku syukuri darinya. Berterima kasih kepadanya aku bisa tetap tenang seperti ini-karena dia tidak menjajaki kedalam perasaanku yang sesungguhnya terhadap Kazuaki. Suatu sensasi kesemutan menjalar di kepalaku seperti kerumunan semut. Aku merasa mual padahal perutku sangat baik-baik saja. Aku – -meremukkan gelas kertas di tanganku. Obrolan dengan Hozumi-chan mempengaruhiku, serius, tapi tidak alasan untuk merubah rencanaku; aku menuju kepadanya. Aku tidak tahu kapan dan dimana dia menunggu, tapi aku tahu kalau dia <b>disana</b>. Energi-energi humanoid berkerlap-kerlip kembali, nekat mencoba merasuki tubuh seseorang. <i>{Tak bisa dimaafkan, tak bisa dimaafkan. Website baru mu tak bisa dimaafkan.} {Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, giant melawan Yakult} {Aku tahu rahasiamu! Kamu melepas celanamu saat pergi ke toilet!}</i> Bertambah lebih berbahaya – perkataan mereka mulai masuk akal di diriku. Aku perlahan mulai melihat perasaan asli dari pesan-pesan tersembunyi mereka. Suatu rasa sakit kesemutan menjalar di tubuhku. Aku secara alami menyadari bahwa berbahaya memahami bahasa <i>mereka</i>. Memahami mereka sama saja mampu berkomunikasi dengan mereka, dan saat berkomunikasi dengan mereka perlu membuka diriku kepada mereka untuk lamanya waktu percakapan. <i>Mereka</i> tidak akan melepaskan kesempatan itu. Aku berusaha mengabaikan <i>mereka</i> seperti aku akan menolak orang yang menyebarkan tisu gratis. Aku hanya perlu menghindari kontak dengan <i>mereka</i>, cuma itu. Aku cuma perlu menolak fakta kalau mereka tidak lagi berbentuk kasar seperti manusia lagi, melainkan siluet manusia sekarang. Mengabaikan <i>mereka</i> dengan sekuat tenaga, aku sampai di taman yang sama waktu itu. Dia duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya. Hal yang pertama aku tanyakan kepadanya, yang cantiknya tak terjangkau akal, adalah: “Hei, apa karena kamu aku sekarang bisa melihat bentuk energi-energi humanoid?” “’Kamu’”, katanya tidak menjawab pertanyaanku. Rupanya, dia tidak menanggapi ku, tapi mengulang kata yang biasa aku pergunakan untuk menyebutnya. “Panggil aku Reina. Sebagai balasannya, aku pun akan memanggilmu Shizuka. Oke?” “Aku tidak keberatan…” aku menjawab dengan hati-hati. “Jadi Shizuka, apa kamu mempertimbangkan tawaranku?” Hah, pertanyaan ku diabaikan. “<i>Tawaranmu</i>, hah...Tidakkah kamu pikir itu terlalu sepihak? Kamu mengatakan apa yang ingin kamu katakan dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Lagian, aku tak mengerti apa yang kamu maksud dengan, “Apakah kamu ingin ikut dengan ku?” “Serius…?” “Serius,” jawabku sambil menghela nafas. “Sekalipun kamu mempunyai semacam kemampuan?” dia bertanya dengan heran. “Ya, aku menduga kita memperoleh kemampuan dengan jalan yang berbeda. Saat kamu mendaki gunung dari jalan yang berbeda, kamu tetap sampai di tempat yang sama, bukan?” Reina berjeda sebentar dan akhirnya mengangguk. “Aku mengerti, itulah kenapa kamu memanggil mereka ‘energi humanoid.’” “Mengerti?” “Ya. sebab ada nama yang lebih mudah dan lebih mengena, bukan? ‘Roh’” “Aku akui kalau aku pun memikirkan nama itu saat pertama kali mengenali bentuk mereka. Namun, ada diskrepansi <u>(ketidak cocokan)</u> antara pendefinisian ku tentang kata ‘roh’ dan bagaimana aku mendefinisikan ‘energi humanoid,’ meskipun itu mungkin karena akal sehatku yang mengekangku. Aku tidak bisa memberi nama fenomena ini dengan nama membosankan seperti ‘Roh’. Sekarangpun, jujur saja, mereka akan tetap jadi energi humanoid untukku. Apa kamu mengerti?” “Aku mengerti. Tapi kamu mesti ingat kalau mereka bukan <i>energi humanoid</i> untuk orang lain. Tentu saja, Roh adalah jawaban untuk sejumlah orang juga.” Dia menjelaskan. “…Maaf, aku kebingungan.” “Dengan kata lain, istilah ‘energi humanoid’ mungkin caramu sendiri menyebut mereka, tapi <u>dengan menamai mereka seperti itu, mereka mengambil peran menjadi energi-energi humanoid.</u>” “…Kayak sebuah jeruk menjadi sebuah jeruk dengan kesadaran kita akan nama tersebut…? “Hmm, itu agak ribet, aku pikir, kamu mestinya mengambil contoh yang mudah dijelaskan. Seperti… Tuhan, apakah kamu percaya Tuhan, Shizuka?” “Aku, Aku kira tidak.” “Ok, itu berarti bahwa kamu mungkin berterima kasih pada keberuntunganmu sendiri saat kamu beruntung, benar? Tapi saat kita menciptakan istilah ‘Tuhan’, kamu akan berterima kasih bukan pada keberuntunganmu, tapi Tuhan yang mengawasimu – dan itu suatu pesan yang sepenuhnya berbeda, bukan?” “…Ya, aku pikir aku mengerti kemana arah pembicaraanmu, tapi itu bukan contoh yang bagus. Yang bagus misalnya, ‘udara’ hanya bisa eksis sebagai ‘udara’ jika kamu tahu namanya. Itu maksudmu, kan?” Lagian, kita tidak bisa <u>melihat</u> udara kecuali bila kita telah mendengarnya, sebab itu tidak dapat dilihat dan juga tidak jelas. “Aku terkesan, Shizuka. Kamu cepat tangkap!” “Tahan dulu pujiannya. Ngomong-omong, bolehkah aku menanyakan beberapa pertanyaan?” “Tentu, kalau aku bisa menjawabnya,” katanya, menerima permintaanku. “Bagus, dimulai dari – “ aku mengajukan pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan, “- Siapa kamu?” Kelihatan tak mampu menangkap maksud pertanyaanku, Reina memiringkan kepalanya. “Kenapa kamu bertanya?” “Kamu bukan manusia, tapi kamu bukan juga suatu energi humanoid.” “Tapi kamu sudah tahu namaku, bukan?” “…Reina Kamisu.” Sambil aku menyebut namanya, <u>aku mengerti apa yang dia maksudkan.</u> “Yap, aku Reina Kamisu. <u>Itu dan bukan yang lain.</u>” Benar, aku sudah <u>menamai inti dari fenomena ‘Reina Kamisu.’</u> “…Baiklah, aku tidak akan lagi menanyakan itu. Tapi… kenapa kamu berhubungan denganku?” “Sepertinya ada kesalahpahaman di sisimu. Kamu penggagas hubungan kita, bukan?” “…Benar. Lalu kenapa kamu membuat penawaran itu untukku?” “Karena kamu memiliki kekuatan, Shizuka.” “Kekuatan apa?” “Kamu memiliki kemampuan untuk merasakan ‘energi humanoid,’ meminjam penamaan kamu.” “Aku tahu itu. Apa yang aku tidak ketahui adalah kekuatan seperti apa dari kemampuan menerjemahkan ini.” Reina tetap terdiam sebentar, berpikir, hingga dia menjawabku dengan sebuah senyuman: “<u>Itu adalah kekuatan untuk menyelamatkan dunia.</u>” Terkejut, mataku melebar. Padahal, kecurigaan dasarku adalah bahwa keberadaan Reina menimbulkan ancaman bagi kedamaian, dan itulah kenapa aku berhubungan dengannya. Jika aku harus mempercayai perkataannya… “-Maka apa yang kamu lakukan – menggerakkan energi humanoid – adalah bagian dari menyelamatkan dunia?” “Ya.” “Aku tidak ingin mendengar kebohonganmu! Aku tahu bahwa perbuatanmu menghasilkan beberapa korban jiwa!” “<u>'Beberapa’</u>,” dia tersenyum. “<u>Apakah menyelamatkan beberapa orang sepadan dengan menyelamatkan dunia?</u>” “…Itu berarti maksudmu…?” “Kamu mungkin mengetahuinya.” Dengan kata lain, Reina <u>telah mengorbankan beberapa orang untuk menyelamatkan orang lain?</u>seperti rakyat dalam peperangan yang dimulai hanya untuk menangkap diktator tunggal? Seperti seekor gajah diantara kawanan hewan yang lapar dibunuh oleh yang lain untuk bertahan hidup? Selagi melawan kekalutan yang meningkat, Reina tersenyum kepadaku dan melanjutkan: “Aku tahu semuanya, Shizuka.” Perkataan dia selanjutnya menambah kekalutan dalam diriku. “<u>Kamu memperoleh kemampuan itu setelah <i>insiden itu</i>, bukan?</u>”
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information