Editing
Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 5
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===5-4=== Aku sedang linglung. Aku tidak sedang memikirkan hal khusus apapun. Aku duduk di undakan plaza kecil itu dan melihat pendaran cahaya yang berkerlap-kerlip pada pohon-pohon tersebut. Tubuhku semakin mendingin dan mendingin selagi aku duduk di sana dan aku akhirnya membuat keputusanku. Aku berdiri setelah membuat hembusan nafas yang putih. Ketika aku melihat arlojiku, belum banyak waktu berlalu sejak Yukinoshita pergi. Bagian depan stasiun itu diriuhkan oleh banyak orang yang pulang ke rumah, oleh orang-orang yang berbelanja serta oleh murid-murid yang sedang dalam perjalanan pulang mereka dari klub. Meski begitu, itu terasa anehnya senyap bagiku. Aku meninggalkan plaza tersebut dan melangkah ke dalam kerumunan orang-orang. Meski begitu, suara-suara di sekitarku dan lagu-lagu Natal tidak memasuki telingaku. Hanya helaan yang kubuat yang bisa kudengar dengan jelas. Aku dengan pelan melintasi trotoar. Kakiku tidak mau maju secepat yang kuinginkan yang mungkin karena menghantam pada gelombang orang-orang yang meninggalkan stasiun itu. Ada orang-orang yang berhenti di tempat serta mobil-mobil melintas yang berhenti di jalan. Itu mungkin karena mereka di sini untuk menjemput seseorang di stasiun atau itu semua adalah mobil-mobil yang lalu lalang dari tempat parkiran di dekat sini. Suatu mobil di antara mobil-mobil tersebut membunyikan klaksonnya. ''Jangan menglakson di tengah-tengah kota''… aku mengarahkan pandangan jengkel ke arahnya serta juga beberapa orang yang lain. Dan apa yang kulihat adalah suatu mobil sport hitam dengan bamper<!--front--> berbentuk oval yang akan jarang kamu lihat di tempat ini. Mobil itu perlahan melintas ke sampingku dan jendela di sisi kirinya terbuka. “Hikigaya, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Wajah di balik jendela itu adalah wajah Hiratsuka-sensei. “Haa, yah, aku sedang akan pulang ke rumah… Sensei juga, apa yang sedang anda lakukan di sini?” Aku bertemu orang yang tak terduga di tempat yang tak terduga. Ketika aku bertanya, Hiratsuka-sensei tiba-tiba menampilkan suatu senyuman. “Yah, hanya tinggal kira-kira seminggu lagi sampai acaranya, bukan? Aku pikir aku akan datang melihat bagaimana keadaan kalian, tapi itu sudah selesai pada saat aku sampai ke sana. Aku baru saja berpikir untuk juga pulang ke rumah sampai aku menemukanmu di antara kerumunan.” “Anda punya mata penglihat segala<!--all-seeing eye--> yang cukup hebat, huh?” “Ketika kamu dipaksa melakukan konseling murid, murid-murid yang mengenakan seragam mereka di tengah-tengah kota cenderung menarik matamu<!--one's eyes-->.” Hiratsuka-sensei menyeringai seakan sedang mengejek dirinya sendiri dan dia menggerakkan tangannya ke arah tempat duduk depan. “Pas sekali, aku akan mengantarmu pulang.” “Tidak, tidak perlu.” “Jangan berlagak<!--Don’t be a stuck up-->. Naiklah. Ada satu mobil yang datang dari belakang.” Hiratsuka-sensei terus mendesakku. Ketika aku melihatnya, ada satu mobil yang telah mendekat di belakangnya. Tapi sekarang setelah dia mengatakan itu, tidak mungkin aku tidak bisa masuk ke dalam mobilnya. Aku dengan enggan mencoba untuk masuk ke dalam mobil, tapi hanya ada satu pintu di sisi kiri. ''Mobil ini pastilah salah satu mobil bertempat duduk dua itu, huh?'' Aku tidak ada pilihan, selain berjalan mengelilinginya ke sisi kanan. ''Omong-omong, roda setirnya di sebelah kiri, huh…?'' Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di tempat duduknya. Aku memasangkan sabuk pengamannya dan ketika aku melihat ke dalam, tempat duduk dan dasborya terbuat dari kulit bagus dan spedometer serta sentuhan akhir di sekelilingnya itu terbuat dari aluminium dengan suatu kilauan metalik di sana. ''Apa-apaan ini, begitu keren.'' “Sensei, apa anda punya mobil seperti ini? Ini kelihatannya berbeda dari mobil yang sewaktu liburan musim panas…” ''Ketika dia mengantar kami ke Desa Chiba pada waktu itu, aku ingat itu adalah salah satu mobil minivan biasa…'' “Aah, itu mobil sewaan. Mobil tercintaku itu anak ini.” Selagi dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei dengan gembira menepuk roda setir mobilnya dengan tinjunya. Tampang kemenangannya itu sangat menyerupai seorang pria ganteng. ''Namun, bagi seorang wanita single untuk memiliki mobil sport bertempat duduk dua yang begitu terlihat mahal, huh…? Bagaimana sebaiknya aku mengatakannya? Baginya untuk menikmati hobi semacam ini membuatku berpikir ini adalah salah satu alasan kenapa dia tidak bisa menikah…'' Mobil tercinta Hiratsuka-sensei membuat suara mesin pelan dan mulai melaju. Ketika aku memberitahunya gambaran kasar dimana rumahku berada, Hiratsuka-sensei mengangguk dan memutar setirnya. Jika dari sini, rute tercepat pastilah dari jalan tol nasional. Tapi ketika aku melihat ke tempat lampunya menyorot, kami tidak sedang menuju jalan tol itu. Aku memalingkan pandanganku ke arah tempat duduk pengemudinya berpikir bahwa itu aneh dan Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokok dalam mulutnya selagi dia melihat ke depan dan berkata. “Apa kamu keberatan jika kita mampir ke suatu tempat?” “Haa.” Untuk diberikan tumpangan berarti aku tidak bisa benar-benar mengomplain. Aku tidak tahu ke mana kita akan mampir, tapi selama aku tiba pulang ke rumah pada akhirnya, aku tidak keberatan. Aku bersandar kembali ke tempat dudukku dan mengistirahatkan daguku pada tanganku di bingkai kacanya. Kelihatannya ada kabut yang sudah mulai muncul sedikit karena ada noda warna oranye yang tercampur dengan cahaya jalan raya yang terlihat dari dalam mobil. Pada kakiku terdapat udara hangat yang dengan lembut meniup keluar. Itu terasa enak pada tubuh dinginku yang menyebabkanku menguap beberapa kali. Hiratsuka-sensei tidak berkata-kata selagi dia memegangi roda setir di sampingku, tapi daripada itu dia sedang bersenandung dengan suara kecil. Nafas samar dan melodi lembut itu terdengar seperti suatu lagu nina bobo dan aku secara alamiah mulai memejamkan mataku. Dia menyetir mobilnya dengan begitu hati-hati meski itu adalah mobil sport sehingga getaran dari mobilnya terasa seperti sebuah ayunan. Ini adalah perjalanan malam ke tempat yang tak diketahui. Selagi aku sudah hampir akan jatuh tertidur, mobilnya perlahan-lahan berhenti.<!--pulled to a stop--> Ketika aku memandang sekilas, di sana hanya ada suatu jalan yang kosong di malam hari dan apa yang menonjol adalah lampu jalan yang memiliki jarak yang sama dan sorotan cahaya dari mobil yang melintas di jalan seberang. “Kita sudah di sini.” Hiratsuka-sensei berkata begitu dan keluar dari mobil. ''Di mana tepatnya “di sini” itu…?'' Selagi aku memikirkan itu, aku juga ikut keluar. Tiba-tiba hidungku diterjang oleh bau lautan. Dan kemudian, setelah melihat cahaya kota baru jauh di depanku, aku menebak-nebak lokasi ini. Di dekat sini ada Teluk Tokyo dan kami sekarang ini sedang berada di atas jembatan yang melayang sampai ke mulut Teluk tersebut. Bagi kami para murid SMA Sobu, ini adalah tempat di mana kami akan menggelar lari maraton <!--marathon rally-->pada bulan Februari yang ditandai sebagai suatu ''checkpoint''. Pada pegangan tangan jembatan itu terdapat coret-coretan para pasangan dan aku ingat sekali mencemooh itu. Ketika kami berjalan keluar ke trotoar, Hiratsuka-sensei melemparkanku sekaleng kopi. Aku hampir menjatuhkannya karena betapa gelapnya itu, tapi aku entah bagaimana berhasil menangkapnya. Kaleng yang kupegang masih hangat. Hiratsuka-sensei bersandar pada mobilnya dan selagi dia menghembuskan asap rokoknya, dia membuka kaleng kopi itu dengan satu tangan. Penampilannya itu anehnya sesuai dengannya.<!--oddly fitting.--> “Anda terlihat agak keren.” “Toh, aku sedang mencoba untuk terlihat keren.” Aku berkata begitu dengan niat untuk mengejek dia, tapi Hiratsuka-sensei balas menjawab dengan suatu senyuman skeptis. ''Oh tolonglah, aku benar-benar akan berpikir kamu itu keren jika kamu membuat senyuman seperti itu.'' Aku berpaling ke arah laut, mendapati itu memalukan untuk melihat ke arahnya lebih lama lagi. Lautan malam itu ditutupi<!--entrenched--> warna hitam. Aku dapat melihat goyangan permukaan air<!--sway-->nya berkat lautnya sedikit diterangi. Lautan itu terlihat begitu lembut sampai membuatku berpikir bahwa itu tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya setelah lautan itu telah tenang kembali. Sambil terus menerus melihat permukaan airnya, Hiratsuka-sensei memanggilku. “Jadi bagaimana situasinya?” Apa yang sedang dimaksudkannya? Aku tidak begitu yakin karena tidak ada konteks, tapi melihat musimnya, maka aku pikir itu mengenai acara Natalnya. “Situasinya terlihat lumayan buruk.” “…Fumu.” Hiratsuka-sensei berpaling untuk menghembuskan asap rokoknya dan kemudian berpaling kembali. “Apa yang buruk?” “Tergantung apa yang anda tanyakan…” “Yah, coba bicarakan saja.” “Haa, kalau begitu…” Selagi aku berpikir tentang dari mana sebaiknya kumulai, aku membuka mulutku. Pertama, masalah terbesar yang perlu kudiskusikan adalah waktunya. Aku tidak merasa itu memungkinkan untuk membalikkan situasinya dengan sisa seminggu lagi. Dan masalah lain yang mengikuti adalah sebab-sebab akan bagaimana kita kehilangan semua waktu tersebut. Ini menghalangi proses kami. Di satu sisi, Tamanawa tanpa keberatan mendengarkan pendapat orang lain. Di sisi lain, Isshiki terus mencari pendapat orang lain. Dengan mereka berdua di tengah-tengah semuanya, terlalu banyak waktu yang hilang. [[File:YahariLoveRom-v9-223.png|thumbnail|200px]] Untuk memperbaiki situasinya, kami bisa antara melemparkan tugas mereka berdua pada orang lain atau mungkin mengubah pola pikir mereka, tapi keduanya terlihat lumayan tidak memungkinkan. Untuk yang pertama, dari awalpun tidak ada orang yang terbiasa dengan posisi tersebut. Mereka yang hanya membantu bersikap segan berpikir mereka sebaiknya tidak pergi memimpin dan mengabaikan sang ketua OSIS. Bahkan anggota OSIS itu sendiri mungkin berpikir mereka sebaiknya tetap di bawah ketua. Kalau mengenai mengubah pola pikir Isshiki dan Tamanawa, hal tersebut juga sulit. Jangka waktu mereka berdua menjadi ketua OSIS itu masih cetek. Itulah kenapa kurangnya pengalaman mereka itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Masalahnya adalah sebagai pemimpin, mereka tidak memiliki sebuah visi. Mereka tidak bisa melihat sebuah visi untuk meraih kesuksesan. Tapi, malah, mereka bisa melihat visi dimana mereka gagal. Mereka menjadi ketua dan sekali mereka gagal dengan beban tugas besar untuk bekerja sama dengan sekolah lain dan untuk wilayah itu, habis sudah semuanya. Mereka mungkin takut akan itu. Ada banyak kejadian dimana kamu akan tersandung<!--trip over yourself--> di panggung besar. Hanya mereka yang mengatakan bahwa kegagalan merupakan bagian dari pengalaman itu orang luar, karena kegagalan itu tidak mengenakkan bagi orang itu sendiri. Orang-orang dari zona aman akan mengatakan hal-hal seperti “coba lebih keras lain kali” dan “setiap orang pasti gagal pada suatu saat tertentu”. Mereka akan mengatakan hal-hal seperti itu. Tapi ada saat-saat dimana itu tidak akan ada lain kali karena kegagalan pertama akan terus berlanjut pada kesempatan selanjutnya, mengubahnya juga menjadi suatu kegagalan. Kata-kata “tidak apa-apa untuk gagal” itu benar-benar kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dari kegagalan itu selalu merupakan sesuatu yang tidak berharga bagi orang yang gagal. Bagi mereka yang memiliki imajinasi yang lumayan besar, mereka akan dengan mudah mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak boleh mereka gagalkan. Kemungkinan bahwa baik Tamanawa dan Isshiki mampu membayangkan itu. Itulah kenapa mereka mencari pendapat orang serta menggabungkan pendapat itu semua. Semua demi membagi-bagi tanggung jawabnya ketika mereka gagal. Itu diragukan ada orang yang akan mengatakan “itu salahmu” secara langsung pada seseorang. Tapi lebih mungkin mereka akan melakukannya di dalam hati mereka untuk menghibur diri mereka sendiri. Tindakan melaporkan, menghubungi, berunding, berkompromi dan memastikan sesuatu adalah untuk menambah jumlah pihak-pihak yang terlibat, semua itu hanya untuk membagi tanggung jawab milik seseorang. Jika mereka bisa mengubah seluruh kegagalan itu menjadi tanggung jawab semua orang, mereka bisa mengurangi beban di dalam hari mereka satu per satu. Mereka tidak mampu memikul tanggung jawabnya sendiri yang merupakan sebab kenapa mereka mencoba untuk mendapatkan pendapat orang lain. Dan itulah alasan kenapa acara ini sedang tersendat sekarang ini. Siapa yang di atas atau siapa yang di bawah yang akan memikul bebannya? Dari awalpun, untuk hal itu tidak diputuskan merupakan suatu kesalahan. “Yah, kurang lebih seperti itu situasinya…” Aku tidak terlalu percaya diri bahwa aku bisa meletakkan semuanya dengan semestinya ke dalam kata-kata. Tapi aku mengucapkan isi pikiranku dengan panjang lebar. Hiratsuka-sensei mendengarkan dari awal sampai akhir dengan hening, tapi segera setelah aku selesai, dia membuat ekspresi yang pelik dan mengangguk. “…Kamu dapat memahaminya dengan cukup bagus. Kamu itu mengesankan jika mengenai membaca mentalitas seseorang.” Sama sekali bukan seperti itu. Itu semua hanyalah pemikiran egois yang akan kupikirkan jika aku berada pada posisi mereka. Aku mencoba untuk menyangkalnya, tapi Hiratsuka-sensei menyelaku dengan mengacungkan jari telunjuknya. Dia kemudian melihat ke arah mataku dan dengan perlahan berkata. “Namun, kamu tidak memahami perasaan mereka.” Nafasku berhenti. Suaraku, kata-kataku, dan bahkan satu helaanpun tidak mau keluar. itu terasa seakan dia mengenai jantung masalahnya. Aku kemudian menyadari identitas sebenarnya dibalik hal yang aku, hal yang Hikigaya Hachiman coba untuk memahaminya, tapi tidak mampu. Itu seharusnya adalah sesuatu yang dikatakan padaku dulu sekali<!--a long while back-->. “Kamu perlu lebih memikirkan bagaimana perasaan orang lain. Walaupun kamu memahami semua yang lain, kenapa kamu tidak bisa memahami itu?” Itu terasa seperti aku diberitahu hal itu. Tidak mampu menjawab, Hiratsuka-sensei berbicara selagi dia menghancurkan rokoknya di asbaknya. “Mentalitas dan perasaan seseorang itu tidak selalu serupa. Ada kadang kalanya kesimpulan yang kamu tarik itu sepenuhnya tidak rasional dan alasannya itu karena hal tersebut… Itulah kenapa, Yukinoshita, Yuigahama, dan juga kamu, muncul dengan jawaban-jawaban yang salah.” “…Tidak, sekarang ini mereka berdua tidak ada hubungannya dengan ini, bukan?” kataku. Aku tercengang oleh dua nama yang tiba-tiba diangkatnya. Sekarang ini, aku benar-benar tidak ingin membicarakan atau memikirkan mereka. Hiratsuka-sensei melemparkanku sebuah tatapan tajam. “Aku sedang menanyakan tentang mereka berdua dari awal.” Dia berkata begitu dengan nada tidak senang dan menyalakan satu rokok lagi. ''Itu benar, dia memang tidak mengatakan apa persisnya yang dia tanyakan tadi. Aku yang mulai membicarakan acara Natal tersebut.''<!--Semua yang kulakukan adalah sesukaku mulai mengoceh tentang acara Natal itu.--> “Tapi yang manapun itu, itu semua pada dasarnya satu hal yang sama. Akar dari kedua masalah tersebut hanya satu hal: yaitu hati manusia.” Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokoknya. Asap itu berubah menjadi bentuk yang samar dan segera menghilang. Hati. Perasaan. Pikiran. Aku mengikuti asap yang menghilang itu dengan mataku karena aku merasa aku masih bisa melihat sesuatu jika aku melakukannya. Namun, aku hanyalah bersikap angkuh. Pada akhirnya, aku sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. Aku pikir aku sedang memikirkan perasaan orang lain, tapi satu-satunya hal yang bisa kulihat adalah apa yang terlihat di mataku. Aku bertindak atas sesuatu yang merupakan kebenarannya meskipun itu tidak lebih dari sebuah asumsi. Persisnya se-berbeda apa itu dari kepuasan diri sendiri? Kalau begitu, aku mungkin tidak akan pernah bisa mengerti. “Tapi… apa itu benar-benar sesuatu yang bisa kamu pahami hanya dengan memikirkannya saja?” Keuntungan, kerugian, resiko, imbalan; jika itu semua adalah hal-hal ini maka aku paham. Aku bisa memahaminya. Hasrat dan melindungi-diri-sendiri, kebencian dari kecemburuan. Aku bisa menganalisa mentalitas dari tindakan-tindakan yang didasarkan pada perasaan-perasaan yang berlimpah dan memuakkan itu. Itu karena aku memiliki banyak perasaan jelek itu di dalam diriku. Itulah kenapa hal tersebut sederhana untuk dibayangkan. Jika itu semua hal-hal yang serupa, maka masih ada tempat untuk memahaminya. Aku bisa menjelaskannya menggunakan logika. Namun, jika tidak ada logikanya, maka itu terlalu sulit. Tanpa konsep untung dan rugi, itu sulit untuk membayangkan perasaan manusia yang berjalan di luar ranah logika dan teori. Aku memiliki terlalu sedikit kemampuan untuk meneruskannya dan di atas itu semua, aku telah melakukan terlalu banyak kesalahan sampai sekarang.<!--up until now--> Niat baik, pertemanan, atau bahkan cinta; itu semua adalah hal-hal yang sudah kusalah-pahami. Bahkan sekarang aku yakin bahwa aku masih salah memahami itu semua selagi aku memikirkan mengenai itu semua. Suatu pesan akan datang, tubuh kita akan bersentuhan secara tidak sengaja, kami akan tersenyum pada satu sama lain ketika mata kami bertemu di kelas, suatu rumor bahwa seseorang menyukaiku menyebar liar<!--run amok-->, kami akan banyak berbicara walaupun tempat duduk kami yang di samping satu sama lain hanya merupakan suatu kebetulan, kami akan selalu pulang ke rumah pada waktu yang sama; selama itu, aku keliru. Bahkan… Bahkan dalam sedikit peluang bahwa aku benar mengenai itu semua. Aku tidak memiliki kepercayaan diri bahwa aku bisa terus mempercayai itu. Aku bisa mengesampingkan semua faktor-faktor penilaian yang sesuai dan mengajukan setiap rintangan yang mungkin ada, tapi meskipun begitu, pemikiran semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa kusebut asli. Jika itu adalah sesuatu yang terus menerus berubah-ubah, maka jawaban yang benar tidak ada di sana. Aku pikir kamu pasti tidak akan mampu mengemukakan suatu jawaban. Hiratsuka-sensei mendengarkan kata-kataku dan membuat senyuman samar lalu setelah itu, dia berfokus pada diriku dengan tampang keras. “Tidak paham? Kalau begitu pikir lagi. Jika kamu hanya bisa berpikir dengan memperhitungkannya, maka terus lakukan itu sampai kamu tidak bisa lagi. Pikirkan semua jawaban yang kamu dapat dan hancurkan mereka satu per satu dengan proses eliminasi. Apapun yang tersisa adalah jawabanmu.” Tampangnya dipenuhi dengan emosi. Tapi apa yang sedang dikatakannya itu tidak rasional. Tidak, itu bahkan tidak ada logika di dalamnya. Bagi seseorang yang hanya bisa membuat dugaan lewat akal pikiran dan perhitungan, maka dia hanya harus memahami semua itu sampai dia tidak bisa melakukannya lagi. Dia sedang mengatakan untuk menyingkirkan semua kemungkinan yang ada satu per satu melalui proses eliminasi. Persisnya sebetapa tidak efisien dan tidak bergunanya itu? Ditambah lagi, tidak ada bukti bahwa akan ada jawaban. Aku merasa baik syok dan kaget sampai aku tidak bisa memunculkan kata-kata apapun. “…Namun, masih akan ada hal yang tidak bisa kamu pahami, bukan?” “Kalau begitu kamu itu antara salah menalarkan sesuatu atau kamu melewatkan sesuatu. Itu hanya berarti kamu salah memperhitungkan sesuatu atau kamu melewatkan sesuatu. Kelihatannya kamu harus mengubah pendekatanmu.” Hiratsuka-sensei dengan acuh tak acuh melempar suatu lelucon ke dalamnya. Dia menyatakannya begitu seakan itu sesuatu yang sangat jelas sampai aku membuat tawa kering<!--dry laugh-->. “Anda begitu konyol…” “Tolol. Jika kamu bisa menghitung perasaan, itu semua sudah akan terdigitisasi<!--maka kita sudah akan berada dalam era digital--> sekarang… Jawaban yang tersisa yang tidak dapat kamu hitung adalah apa yang mereka sebut perasaan manusia.” Nada yang dipakainya untuk mengucapkan kata-kata itu kasar, tapi baik hati. Seperti yang dikatakan Hiratsuka-sensei, aku rasa ada hal yang tidak bisa dihitung. Bahkan jika kamu mencobanya, ada hal seperti angka pi atau desimal berulang tak terhingga yang muncul. Namun, itu bukanlah sesuatu yang kamu pakai untuk membuang pemikiranmu. Persis karena kamu tidak memiliki jawabannyalah sehingga kamu terus berpikir. Itu jauh dari ketenangan, sebab itu lebih mirip dengan penyiksaan. Hanya membayangkannya membuat hawa dingin menjalari sumsumku. Tanpa kusadari, aku sedang merapikan kerah mantelku. Ketika aku melakukannya, Hiratsuka-sensei tergelak selagi dia melihat ke arahku. “Yah, aku juga cukup keliru sedikit dengan perhitunganku, jadi mungkin itulah kenapa aku tidak bisa menikah, huh… Baru saja kemarin, temanku mengadakan upacara pernikahan…” Selagi dia mengatakan itu, Hiratsuka sensei memasang suatu senyuman menyiksa-diri. Jika itu seperti biasanya, maka inilah saatnya aku akan mengejeknya dengan mengatakan sesuatu yang asal. Tapi aku tidak merasa ingin melakukan itu hari ini. “Tidak, hanya pasanganmu itu tidak punya mata yang bagus.” “Heh…? A-Ada apa denganmu tiba-tiba?” Hiratsuka-sensei terlihat kaget dan selagi dia bergugam dengan malu-malu, dia berpaling. Tapi itu tidak seperti aku sedang memujinya. Jika aku terlahir sepuluh tahun lebih awal dan bertemu dengannya sepuluh tahun lebih awal, maka aku rasa aku akan jatuh cinta padanya dari lubuk hatiku. Walaupun benar-benar tidak ada artinya di dalam pengandaian semacam itu. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum karena pikiranku sudah menggila. Hiratsuka-sensei juga tertawa geli. Setelah sejangka waktu tertawa, dia menggosongkan tenggorokannya. “Y-yah, baiklah. Aku akan memberimu sebuah petunjuk spesial sebagai ucapan terima kasih atas pujianmu.” Setelah mengatakan itu, dia berpaling padaku dengan ekspresi tulus tidak seperti ekspresi tersenyumnya tadi. Sebagai respon terhadap nada meyakinkannya<!--persuasive--> itu, aku meluruskan punggungku dan menghadap Hiratsuka-sensei. ketika aku melemparkan pandangan padanya menandakan aku sudah siap untuk mendengarnya, Hiratsuka-sensei dengan perlahan-lahan berkata. “Ketika kamu memikirkannya, jangan mengelirukan hal-hal yang harus kamu pikirkan.” “Haa…” Begitulah yang dikatakannya, tapi itu tidak terlihat ada hubungannya. Itu terlalu abstrak sampai itu lebih terasa seperti tidak ada petunjuk. Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya sambil merenung ketika dia melihat ke wajahku yang kelihatannya tidak mengerti. “Aku rasa… Contohnya, mari kita pikir tentang alasan kenapa kamu membantu Isshiki, tidak sebagai Klub Servis, tapi sebagai dirimu sendiri. Apa ini untuk Klub Servis, atau apa itu untuk Yukinoshita?” Di dalam contoh mendadak itu, nama mendadak yang diangkatnya mengagetkanku. Secara refleks, aku menghadap Hiratsuka-sensei dan dia membuat senyuman getir. “Aku bisa tahu dengan hanya melihatnya saja. Yukinoshita datang untuk memberitahuku mengenai masalah dengan Isshiki… Dia bukan tipe orang yang membicarakan mengenai dirinya sendiri, tapi menilai dari tingkah lakunya, aku pikir mungkin begitu keadaannya. Apa itu juga sama denganmu?” “Aah, aku tidak tahu soal itu…” Aku melemparkan beberapa kata selagi aku mencari-cari kata yang seharusnya kukatakan, tapi Hiratsuka-sensei tidak menunggu dan meneruskan. “Kalau kamu memegang pemikiran yang sama, maka kamu akan sampai pada suatu jawaban untuk menjaga jarakmu dari mereka supaya tidak melukai mereka… mungkin. Namun, itu hanya suatu contoh.” “…Yah, aku rasa begitu. Itu hanya suatu contoh.” Itu hanya suatu contoh. Aku diberitahu itu dan aku menjawab dengan itu. Itu hanyalah suatu studi kasus dan hal-hal yang dikatakan Hiratsuka-sensei bukan kebenarannya untuk bagaimana keadaanku sekarang ini. Hiratsuka-sensei kemudian mengangguk padaku untuk membenarkannya. “Tapi bukan itu apa yang seharusnya kamu pikirkan. Dalam kasus ini, apa yang seharusnya kamu pikirkan adalah tentang kenapa kamu tidak ingin melukai siapapun. Dan jawabannya seharusnya segera sampai padamu. ───Itu karena mereka berharga bagimu sehingga kamu tidak ingin melukai mereka.” Selagi dia melihat ke arah mataku, Hiratsuka-sensei menambahkan kata-kata terakhir itu. Itu seakan dia tidak akan mengizinkanku membuat suatu bantahan, jangankan memalingkan mataku. Wajah Hiratsuka-sensei yang diterangi oleh cahaya oranye dari lampu jalan dan sorotan lampu mobil itu terlihat kesepian entah di mana. Kemudian, dia berbisik dengan suara yang halus dan berhati hangat. “Tapi kamu harus paham, Hikigaya. Kamu tidak bisa mencegah untuk tidak melukai orang lain. Hanya dengan hidup saja pun manusia tanpa sadar melukai orang lain. Entahkah kamu hidup ataupun mati, kamu akan selalu melukai seseorang. Kamu melukai seseorang jika kamu memutuskan untuk terlibat dengan mereka, tapi pada saat yang sama, kamu masih akan berakhir melukai seseorang dengan memutuskan untuk tidak terlibat dengan mereka…” Setelah mengatakan itu, Hiratsuka-sensei mengeluarkan satu rokok lagi. Dia menatap pada rokok itu dan dia meneruskan lebih jauh lagi. “Tapi jika itu seseorang yang tidak kamu pedulikan, kamu bahkan tidak akan menyadarinya. Apa yang kamu perlukan adalah kesadaran. Persis karena kamu peduli dengan seseoranglah sehingga kamu merasa seakan kamu telah melukai mereka.” Setelah dia selesai, dia akhirnya meletakkan rokok itu ke dalam mulutnya. Suara snap dari batu korek yang menggesek satu sama lain datang dari pemantik itu dan pemantik itu dengan samar menerangi wajah Hiratsuka-sensei. Matanya terpejam seakan dia sedang tertidur dan itu adalah ekspresi yang sangat lembut. Dia kemudian membuat hembusan besar bersama dengan asap rokoknya dan menambahkan. “Untuk menyayangi seseorang berarti memiliki ketetapan hati untuk melukai mereka.” Apa yang sedang dilihatnya adalah langit. Aku melihat ke arah yang sama dengannya, ingin tahu apa yang sedang dipikirkannya pada saat ini. Apa yang ada di sana adalah sekilas sedikit cahaya bulan yang bersinar menembus celah dari awan yang mulai menghilang pada suatu waktu tertentu<!--clearing of clouds-->. “Sejauh itu saja yang akan kuberi padamu sebagai petunjuk.” Mengatakan itu, Hiratsuka-sensei berpindah dari mobil yang sedang disandarinya dan menunjukkanku senyuman menyeringai. Dia kemudian merenggangkan diri. “Itu karena kedua belah pihak memikirkan satu sama lain sehingga ada hal yang tidak bisa mereka dapatkan. Namun, itu bukanlah sesuatu yang perlu disedihkan. Itu bahkan mungkin sesuatu yang patut dibanggakan.” Itu sangat indah. Tapi hanya itu saja yang ada dari hal tersebut. Untuk memikirkan tentangnya namun tidak dapat memperolehnya, baginya untuk berada di depan dirimu tapi tanganmu tidak bisa meraihnya, itu sudah pasti menyakitkan. Kalau begitu kamu mungin bisa saja cukup berhenti memikirkannya dan berhenti melihatnya. Selagi aku memikirkan itu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “…Bukankah itu benar-benar menyakitkan?” “Uh huh. Itu menyakitkan.” Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei berjalan selangkah lebih dekat dan bersandar pada mobilnya lagi. “…Tapi itu mungkin. Toh, aku berhasil untuk melewatinya.” Hiratsuka-sensei berkata begitu dengan sebuah seringai, sebuah senyuman yang terlihat entah kenapa penuh tekad. Itu tidak seperti dia mau membicarakannya, tapi kelihatannya banyak yang terjadi di masa lalu baginya. Aku tidak yakin apa itu tidak masalah untuk menanyainya. Mungkinkah, saat aku sudah menjadi orang dewasa, dia akan membicarakan tentang itu padaku? Menyadari betapa aku menantikan itu, aku secara refleks memalingkan wajahku dan memberinya sebuah ejekan. “Anda bersikap agak angkuh untuk berpikir orang lain bisa apa yang bisa anda lakukan, anda tahu.” “…Sungguh anak yang tidak imut.” Ketika dia berkata begitu dengan jengkel, dia menggosok kepalaku dengan gaya cakar besi. Aku bisa merasakan rasa sakit pada tengkorakku dan selagi aku melawan, kekuatan itu tiba-tiba menghilang. Namun, tangannya masih di atas kepalaku. “…Aku akan jujur denganmu.” Nada suaranya lebih dalam dari nada yang dipakainya tadi untuk berbicara. Karena kepalaku ditahan di tempat, aku hanya bisa menggerakkan mataku untuk melihat pada Hiratsuka-sensei dan dia membuat senyuman yang sedikit sedih. “Itu benar-benar tidak harus kamu. Suatu hari nanti, Yukinoshita akan berubah dan dia bahkan mungkin bertemu seseorang yang dapat memahaminya. Di sana mungkin ada seseorang yang bisa menempuh langkah selanjutnya<!--extra--> itu untuknya. Hal yang sama bisa dikatakan untuk Yuigahama juga.” Persisnya kapan itu akan terjadi? Itu terlihat seperti sesuatu yang begitu jauh di masa depan sampai itu sama sekali tidak realistis, namun pada saat yang sama, itu terlihat begitu dekatnya sampai aku merasa itu teramat nyata. “Aku yakin bagi kalian, kalian merasa bahwa waktu kalian sekarang ini adalah segalanya. Tapi itu sama sekali tidak benar. Nantinya itu akan masuk akal bagi kalian. Toh, begitulah dunia ini dibuat.” Kata-kata itu mungkin benar. Suatu hari, entah di mana, seseorang pasti akan melangkahi batasan tersebut untuknya. Ketika aku berpikir tentang kebenaran yang goyah itu, aku mengingat kembali sedikit kepedihan di dalam diriku dan aku menggerakkan <!--twist-->tubuhku untuk menghilangkannya. Entah kapan, tangan di kepalaku sudah menghilang dan sekarang berada pada bahuku. Suara Hiratsuka sensei terdengar lebih dekat dari yang sebelumnya. “…Hanya saja aku harap kamu bisa menjadi si seseorang itu untuknya. Aku berharap bahwa Yuigahama dan kamu akan dapat melangkahi batasan tersebut untuk Yukinoshita.” “…Memberitahuku itu tidak akan–.” Persis saat aku mencoba untuk menjawab, Hiratsuka-sensei dengan lembut merangkul bahuku. Kehangatan samar dari jarak kami yang mendekat membuatku kehilangan kata-kataku. Mematung kaku karena gerakan tiba-tiba tersebut, Hiratsuka-sensei melihat pada wajahku selagi dia berkata. “Jangka waktu ini sekarang bukanlah segalanya… Tapi ada hal-hal yang hanya bisa kamu lakukan sekarang, hal-hal yang hanya ada di sini. Sekaranglah saatnya, Hikigaya… sekaranglah saatnya.” Aku tidak bisa memalingkan mataku dari mata berkaca-kacanya. Sekarang ini, aku tidak memiliki jawaban yang bisa menjawab hanya pada tatapan tulus itu. Itulah kenapa aku berdiri di sana, tidak mampu menjawab. Tangan Hiratsuka-sensei yang memegangi bahuku memiliki lebih banyak tenaga di dalamnya. “Memikirkannya, Memperjuangkannya, Tersandung karenanya, dan Menguatirkannya. ───Tanpa itu semua, hal tersebut tidaklah asli.” Ketika dia berkata begitu, Hiratsuka-sensei segera melepaskanku. Dan kemudian dia membuat senyuman keren dan menyegarkan biasanya itu yang menandakan bahwa ceramahnya sudah usai. Kekakuan pada tubuhku itu akhirnya sudah hilang. Hujanan kata-kata itu menghantamku dan yang tersarang di dalam dadaku ada banyak, banyak suara. Namun, aku tidak mau mengeluarakan itu semua. Ini mungkin sesuatu yang harus kupikirkan sendiri, memilahnya<!--filter-->, dan kemudian menelannya. Itulah kenapa aku akan mengatakan sesuatu yang berbeda dan yang menggantikan kata-kata terima kasih, adalah kata-kata yang kasar. “…Tapi kamu tidak bisa menyebutnya asli karena itu membuatmu menderita.” “Kamu benar-benar tidak imut sama sekali.” Hiratsuka-sensei tertawa geli dan memukul kepalaku dari belakang. “…Sekarang kalau begitu, mari kita pulang. Naiklah<!--Hop on board-->.” Setelah mengatakan itu, Hiratsuka-sensei duduk di tempat duduk pengemudi. Aku menjawab dengan sepatah “roger” dan kemudian berjalan mengelilinginya ke tempat duduk depan. Di tengah perjalananku, aku segera melihat ke atas langit. Bulan yang seharusnya sudah muncul keluar saat awannya menghilang itu sudah tersembunyi lagi. Lautan malam itu tidak melihat satu penerangan pun dan angin membekukan yang menusuk pipiku itu dingin. Meski begitu, mengejutkannya, itu tidak terasa sedingin yang seharusnya sebab suatu perasaan kehangatan masih tertinggal di dalam tubuhku. <noinclude> {| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |- | '''Mundur ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 4|Bab 4]] | '''Kembali ke''' [[Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteru (Indonesia)|Halaman Utama]] | '''Lanjut ke''' [[Oregairu (Indonesia):Jilid 9 Bab 6|Bab 6]] |- |}
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information