Editing
Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab3
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===Bagian 4=== Subuh tengah mencerah, pagi pun tiba. Di Plaza pusat, lonceng kuil Confucius Santo Rémy didentangkan. Sekarang tepat jam 11. Sebuah kereta tunggal berheti di depan Teater Tanaijiiru kerajaan. Richmon melangkah keluar darinya. Dia menatap sekeliling teater dengan rasa bangga, Pesuruh yang duduk di kotak pengendara, hendak turun dan mengikutinya. “Tak apa-apa. Tunggu saja di kereta.” Ricmon menggelengkan kepalanya dan memasuki teater, Penjual tiket membungkuk begitu dia menyadari kehadirannya. Richmon terus maju, tidak membeli tiket dulu. Karena inspeksi pertunjukan merupakan salah satu tugasnya sebagai direktur sensor, tempat ini bagaikan villa pribadinya. Pengunjung teater yang hanya berupa wanita muda telah mulai berdatangan sejak enam menit yang lalu. Pada awalnya, pertunjukan ini sangat terkenal, tapi karena akting yang buruk, kritik pedas pun diterima. Sepertinya ia sudah kehilangan pangsa pasar sebagai imbalannya. Richmon duduk di kursi pribadinya dan diam menunggu tirai diangkat. Agnes dan Louise telah tiba didepan teater beberapa saat yang lalu. Louise tak dapat mengerti mengapa mereka harus selalu mengendap-endap di gang dekat teater saat ini. Agnes baru mengizinkan mereka meninggalkan persembunyian setelah suatu kereta tertentu muncul. Louise capek dan merasa habis. Dia tak tidur tadi malam. Lagipula, Agnes tak menjelaskan apa-apa. Dia mengatakan ini perburuan tikus, itu OK, tapi kapanpun dia bertanya siapa tikus itu...Agnes terdiam dan berhenti berbicara. Didepan mata Louise, yang dengan sabar menunggu di depan teater, lewat beberapa orang yang sangat dikenalnya. Mereka adalah Henrietta yang ditemani Saito, yang memiliki kantung di bawah matanya disebabkan kurang tidur. Meski Henrietta mengenakan sehelai jubah dan pakaian jelata yang dibeli Louise dulu, dan mengikat rambutnya dengan cara wanita kota...Louise yakin dia tak salah. Agnes mengenali kedua orang lebih dulu karena dia telah mengirimkan laporan dengan kurir burung hantu dan terus membuka mata untuk menyambut kedatangan mereka. “...Putri, Saito.!” Apa yang dimulai sebagai gumaman kecil berubah jadi teriakan keras begitu dia berlati menuju pasangan tersebut. “Louise...” Henrietta memeluk tubuh kecil Louise erat-erat. Aku sangat khawatir! Kemana anda menghilang?” “Aku meminjam Familiar-san yang lembut ini...dan bersembunyi dalam kota. Maafkan karena aku tak biloang padamu. Aku tak ingin menyeretmu dalam hal ini. Jadi ketika saya diberitahu Agnes pagi ini bahwa kalian bertindak bersama-sama, saya terkejut. Namun, kau adalah teman terbaikku, jadi sepertinya kita memeang ditakdirkan untuk bertemu entah cepat atau lambat.” Lalu, Agnes yang yang berdiri dalam diam di dekat mereka kemudian berlutut. “Semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah.” “Terima kasih. Kau benar-benar melakukannya dengan baik.” Dan penonton terakhir yang tiba di depan teater.... adalah Korps Manticore, Garda Penyihir. Semua yang menonton terkejut begitu komandan mereka, yang memiliki simbol binatang khayalan berkepala naga dan bertubuh ular pada baju besinya, menghampiri mereka dengan marah-marah. “Hei! Agnes-dono, Apa-apaan ini?! Aku kesini dengan terbang seusai menerima suratmu, tapi Paduka tak disini!” Lalu, komandan Manticore menyadari kehadiran Henrietta dan berlari menuju dia dengan panik. “Yang Mulia! Kami sangat khawatir! Engkau ada dimana? Kami semalaman mencari anda!” Dengan air mata yang hendak tertumpah, sang komandan meninggikan suaranya. Ada apa dengan unit garda sihir ini? Penonton mulai mengerumuni mereka sambil bertanya-tanya. Karena keributan ini, Henrietta menutup wajahnya dengan kerudung jubahnya. “Aku minta maaf karena menyebabkan ketegangan ini. Nanti, Aku akan menjelaskannya. Untuk sekarang, ikuti saja perintahku, komandan.” “Apa perintah anda?” “dengan korps yang kau bawahi, mohon kepung Teater Tanaijiiru kerajaan. Jangan biarkan bahkan seekor semut pun keluar.” sang KOmandan langsung membungkuk meski memasang wajah curiga. “Sebagaimana keinginanmu.” “Kalau begitu, aku akan masuk.” “Saya ikut.” teriak Louise, Namun, Henrietta menggelengkan kepala. “Tidak, kau mesti menunggu disini. Ini adalah sesuatu yang harus kuselesaikan sendiri.” “Tapi-.“ “Ini perintah.” Louise langsung membungkuk, meski dengan sikap tak sempurna, begitu mendengar kata-kata putus tersebut. Hensrietta menghilang kedalam teater, sendirian. Agnes yang memiliki hal rahasia lainnya untuk dilakukan, segera menaiki kudanya dan pergi entah kemana. Jadi...kini hanya dua orang, Saito dan Louise, yang tinggal. Louise menarik lengan baju Saito, yang tengah menonton kepergian Henrietta dengan pipi memerah. “Hei.” “Apa?” “Apa, apa yang terjadi?” “AKu diceritakan bahwa ini merupakan perburuan rubah.” “yang kudengar ini perburuan tikus.” “Toh, sma-sama aja.” Setelah itu, mereka berdua saling menatap dengan pandangan kosong. “Entah apa, itu adalah tugas...” “Yap.” “Spertinya kita hanya pemeran pembantu disini.” Saito mengangguk. Louise tiba-tiba menyadari ada bau tertentu dan mendekatkan hidungnya pada tubuh Saito. “A-apa-.” Dengan wajah garang, Louise mulai membaui bau tubuh Saito dengan hidungnya. *sniff snif* “H-Hei, apa-apaan-“ “Bau ini...ini bau parfum putri!” “Eh?” Saito terkejut. “Kau..kau tak melakukan yang aneh-aneh pada Putri, kan?” Louise memandangi Saito dengan mata mengancam. Saito langsung pucat. Tentu saja dia tak bisa bilang soal ciuman itu. Dia tak bisa mengkhianati Henrietta. Demi kehormatan Putri, dia tak boleh menceritakan hal ini. Lagipula, meski dia cerita, Louise juga takkan percaya. “Bo-bodoh! Aku tak melakukan apa-apa!” “Benarkah?” Louie terus memandangi Saito. “Ini pasti kena ketika bersama-sama kesini, tadi.” Louise mencengkram telinga saito dan menariknya medekat. Lalu dia mengubur hidungnya di permukaan leher Saito. “Snif, snif, snif, snif. Lalu mengapa baunya ada di tempat seperti ini? Mengapa ada parfum di permukaan lehermu hanya dari menemani? Parfum macam apa itu?!” “Tidak, itu....itu pasti dari bolak-balik di kasur saat tidur. Wajah kami mungkin mendekat. Tak ada hal lain.” Tak apa-apa. Aku akan mendengar semuanya dari tubuhmu!” Louise, masih memegangi telinga saito, menyeretnya ke gang sebelah. Jeritan Saito bergema ke jalan yang kosong. Tirai diangkat dan....pertunjukan dimulai. Karena pertunjukannya hanya untuk wanita, penontonnya hanyalah wanita muda. Dengan dikelilingi sorakan yang riuh rendah, para aktor yang berpakaian sangat mewah mulai mementaskan cerita cinta nan sedih di atas panggung. Itu pementasan yang pernah ditonton Louise sebelumnya...’Liburan Tristania.’ Richmon mengernyitkan alisnya. Bukan karena tawa atau gaya para aktor, bukan pula karena sorakan tak sopan maupun melingking para wanita muda, tapi karena tamu yang diharapkan tak muncul pada waktu yang dijanjikan. Di dalam kepalanya, beragam pertanyaan mulai berseliweran. Apa menghilangnya ratu merupakan plot Albion yang tak diberitahukan padaku? Jika ya, apa lasannya? Jika tidak, apa mungkin ada kekuatan ketiga dalam Tristania yang tak dia tahu? Kedua-duanya memusingkan – gumam Richmon pada dirinya sendiri. lalu...seorang penonton duduk disebelahnya. Apa dia tamu ayng diharapkan? Dia mencuri pandang sekilas. Bukan dia. Ini seorang wanita muda dengan kerudung menutupi kepala. Richmon berbisik. “Punten. Kursi ini sudah dipesan. Mohon duduk di tempat lain.” Namun, wanita itu tak berusaha bangkit. Wanita muda ini...Dengan wajah marah, Richmon memutar untuk menghadapnya. “Mademoiselle, Apa kau tak mendengarku?” “Richmon-dono, Penonton seharusnya menonton pertunjukan.” Mata Richmon terbelabak saat dia mengenali wajah wanita berkerudung itu. Ia orang yang dia yakin telah menghilang...Henrietta. Henrietta yang memandang lurus ke panggung, menanyai Richmon. “Ini adalah pertunjukan untuk wanita. Apa kau menontonnya dengan senang?” Richmon menenangkan diri, menyusun lagi sikapnya dan menyenderkan dirinya ke belakang. “AKu memperhatikan pertunjukan semacam ini hanya karena tugas. Lagipula, Yang Mulia, ada isu bahwa kau telah menyembunyikan dirinya...Apa itu untuk keselamatanmu?” “Tentu. Aku berhati-hati dengan orang-orangku. Ini adalah tempat yang bagus untuk bertemu dengan selirku, kan?” Richmon tertawa. namun, Henrietta tidak. Dia menyipitkan mata bagaikan seorang pemburu. “Jika seseorang bisa mendapatkan semuanya, adalah sia-sia untuk menunggu. AKu berdiri mengantri tiket. Kau pergi menonton pertunjukan tanpa membeli tiket, ini adalah pelanggaran aturan. Aku ingan Istana Kerajaan mengadili mengikuti aturan yang ada.” “Ho! Sejak kapan penjualan tiker menjadi kewenangan Keluarga Kerajaan?” Henrietta mendesah, memutuskan benang ketegangan. “Ayolah, marti hentikan omong kosong in sekarang. Kurir rahasia Albion, yang kau hubungi hari ini, ditahan kemarin malam. Dia menceritakan semuanya. Kini dia ada di penjara Chernobog.” Henrietta menyudutkan Richmon. Namun, seakan tahu bahwa hal ini akan terjadi, Richmon tak kehilangan ketenangannya. Dia tersenyum lebar dengan sikap tak takut. “Hoho! Hubunganku tersembunyi dengan baik, kau tak bisa mengalahkan strategiku!” “itu benar, Hakim istana kerajaan.” “Aku takkan menari di telapak tangan Yang Mulia!” “Aku benar-benar tak ingin semua...Menjadi seperti ini.” Richmon tak pernah menunjukkan niat jahat dalam senyumnya. Dia tak pernah menunjukkan sikap buruk, ingat Henrietta dengan hati tak enak. “Ketika aku menghilang, kau memutuskan untuk berhubungan dengan kurir rahasia. ‘Sang ratu ditangkap tangan lain, selain yang kita.’ Bagimu, ini hanyalah sebuah adegan. Kau tenang dan tak panik. Seekor rubah yang berkepala dingin, yang tak menunjukkan ekornya...” “Yah, sejak kapan kau mulai curiga?” “AKu tak yakin. Selain kau, ada banyak tersangka lain. Namun, orang yang memberitahukan aku menghilang malam itu, pasti adalah penjahatnya. Dan orang itu adalah KAU.” Henrietta meneruskan dengan nada sedih nan lelah. “Aku tak ingin mempercayainya. Kau merupakan...Hakim Istana Kerajaan, orang yang seharusnya mempertahankan kekuasaan dan kebaikan Kerajaan, malah membantu rencana pengkhianatan semacam ini. Selama masa kecilku, kaulah yang selalu menyayangiku...dan kini menjualku pada musuh.” “Yang Mulia, bagiku, kau tetaplah seorang gadis yang tak tahu apapun. Diperintah oleh Albion masih lebih daripada gadis pengabai di tahta.” “Apa cintamu padaku adalah kebohongan? Kau terlihat sepeti orang yang sangat lembut. Apa itu juga kebohongan?” “Kecintaan pada putri raja tak diturunkan pada seorang tuan tanah. Kau tak bisa mengerti itu. Karena kau begitu naif, aku melakukan hal ini.” Henrietta memejamkan matanya. Siapa yang harus kupercaya? Mengapa begitu sulit untuk dikhianati orang yang kau percaya? Tidak...aku tak dikhianati. Lelaki ini mencurangiku demi karirnya. Aku tak bisa mengerti hal semacam ini, sehingga, sebagaimana yang dikatakan Richmon, aku masih kanak-kanak. Tapi, aku tak bisa terus menjadi anak kecil. Aku harus mendapatkan...mata yang melihat kenyataan. Yang melihat kebenaran bagaimanapun suasana hati. Henrietta berkata dengan nada tegas. “Atas nama Sang Ratu, kau dicabut dari kedudukan hakim Istana Kerajaan. Menyerahlah dengan tenang.” Richmon sama sekali tak bergerak. Malah, dia menunjuk pada panggung dan berkata dengan nada seakan Henrietta hanyalah seorang tolol. “jangan berkata hal-hal tak pantas semacam itu. Biarkan pertunjukan berjalan terus. Ini baru saja dimulai. Pergi sebelum pertunjukan selesai adalah ketidak sopanan pada para aktor.” Henrietta menggelengkan kepalanya. “Saat ini, di luar, para garda sihir sudah mengepung bangunan. Kini tunjukkanlah keberanian seorang ningrat dan serahkan Canemu.” “Benar-benar...seorang anak bau kencur...Siapa yang kau pikir bakal kau tahan?” “Apa katamu?” “AKu hanya berkata kau masih kecepatan 100 tahun untuk menjebakku, itu saja.” “Pon” Richmon bertepuk tangan. Lalu, para aktor yang hingga saat ini memainkan adegan...sekitar 6 lelaki dan wanita, menghunus tongkat yang disembunyikan di celana atau jaket mereka, dan mengarahkannya pda Henrietta. Para wanita muda mulai ribut. “Diam! Tonton pertunjukannya dengan tenang!” Nada marah Richmon...yang menyingkap sifat aslinya, menggema di dalam teater. “Siapapun yang membuat suara akan dibunuh. Ini bukanlah pertunjukan.” Tiba-tiba, seisi gedung diliputi keheningan. “Kau benar-benar tak beruntung untuk datang kesini, Yang Mulia.” Henrietta...bergumam pelan. “Para aktor...ternyata adalah rekanmu.” “Ya. Ini bukanlah suatu bualan. Mereka adalah penyihir kelas satu.” “Dan aktor buruk sebagaimana yang kita lihat.” Richmon mencengkram tangan Henrietta. Henrietta menggigil karena sentuhan kasarnya. “Skenarioku melihat jauh kedepan. Paduka, Aku akan mengambilmu sebagai tawanan. Lalu, aku akan menyiapkan sebuah kapal ke Albion. Dirimu akan menjadi hadiah emigrasiku ke Albion. Tamat.” “Memang. Skenario pertunukan ini adalah milikmu. Panggungnya adalah Tristain dan aktornya adalah Albion...” “Dan kau akan jadi Putrinya. Jadi, ambillah bagian dalam komedi ini.” “Sayangnya, hanya Tragedi yang cocok dengans eleraku. Aku tak dapat mengambil bagian dalam pertunjukan monyet semacam ini.” “Sedihnya, dalam hidup ini, tiada yang bertindak melawan skenarioku.” Henrietta menggelengkan kepalanya. Matanya memancarkan rasa Pede. “Tidak, skenario pertunjukan hari ini adalah milikku.” Manajemenmu buruk. Sedihnya, sebagai ketua, aku tak dapat membiarkanmu menghancurkan pertunjukan.” Henrietta, dengan tetap pede...menunjukkan tongkatnya pada para penyihir, yang menyamar sebagai aktor. “Yang buruk adalah para aktor. Mereka aktor sampah. Tiada yang takkan menyadarinya.” “Jangan mengatakan hal-hal yang berlebihan. Cepat atau lambat mereka akan menjadi aktor yang dipuja-puja di Albion.” “Kini, tinggalkan panggung.” Para wanita yang ribut dan ketakutak hingga saat ini... setelah kata-kata Henrietta, mengubah penampakan mereka 180 derajat dan mengeluarkan pistol mereka secara bersamaan. Para penyihir bawahan Richmon yang tengah mengarahkan tongkat mereka pada Henrietta, terkejut oleh pemandangan ini, yang memperlambat reaksi mereka. Doon! Suara dari 10 tembakan pistol meleleh jadi satu suara keras. Karena dalam teater, suaranya meningkat beberapa kali, dan terasa bagaikan raungan petir. Saat asap hitam dan tebal menghilang...Para penyihir Albion yang menyamar sebagai aktor diterjang peluru, semuanya mati di panggung sebelum sempat melantunkan satu mantra pun. Seluruh penonton teater...merupakan anggora Musketeer. secara alami, bahkan Richmon yang penuh kewaspadaan tak dapat melihat ini. Seluruh Musketeer adaalh jelata muda...terlebih lagi...wanita. Henrietta menginfokan pada penonton tetangganya dengan nada es, “Mohon berdiri, Richmon. Pertunjukan sudah selesai.” Richmon berdiri dengan berat. Dia tetawa keras dan menghunus daggernya secara bersamaan. Sambil terus tertawa keras bagai orang gila dan tak menghiraukan pedang yang diarahkan padanya, Richmon naik ke atas panggung perlahan-lahan. Para Musketeer mengepungnya. Mereka bersiap menusuknya bila dia membuat bahkan satu gerakan yang mencurigakan. “Ketahui kapan saatnya menyerah! Richmon!” “Aku sanagt senang dengan sukses ini! Ini tak mungkin skenario luar biasa yang ditulis Yang Mulia! Sungguh terlalu untuk skenario pertunjukanku...” Richmon memandangi musketeer yang mengepungnya dengan sikap acuh tak acuh. “Yang Mulia...Ini nasihat terakhir dari seseorang yang telah melayani Yang Mulia sejak hari kelahiranmu.” “Bicaralah.” “Yang Mulia, Meski semuanya dimulai sejak dulu sekali,...” Saat Richmon berdiri di sudut panggung...dan *Don* dia menghentakkan lantai dengn kakinya. lalu, tepat seperti lubang jebakan, lantai terbuka. “Ia berakhir pendek disini.” Richmon langsung jatuh kedalamnya. Meski para musketeer berlari menujunya dengan waspada...lantainya terkunci dan tak terbuka meski mereka mendorong maupun menariknya. Sepertinya ini dikendalikan sihir. “Yang Mulia...” Sluruh anggota menatap Henrietta dengan tegang. Merasa terhina, setelah menggigit kuku jemarinya, Henrietta menengadah dan berteriak, “Cari dia di Gerbang depan! Semuanya, Bewrgerak!” Lubang itu terhubung ke jalan bawah tanah. Richmon membuat lubang tikus ini untuk hari berhujan. Untuk berhenti dari terus-terusan jatuh, Richmon menggunakan “melayang’ dan, dengan menggunakan manta cahaya pada tongkatnya, mulai menyusuri jalan bawah tanah sembari menerangi tanah sekitar di bawah kakinya. Terowongan ini menuju kediaman Richmon. Dia perlu kembali kesana. Da hendak kabur ke Albion setelah mengumpulkan uangnya. “tapi...Yang memimpin ini adalah Putri...” Di hari dia kabur, dia akan mengajukan satu regimen tentara pada Cromwell, lalu dia akan kembali lagi ke Tristain, menangkap Henrietta, dan setelah membayar berkali-kali untuk penghinaan hari ini, dia akan memperkosa dan membunuhnya. Saat sedang berjalan dan membayangkan hal-hal itu...dia melihat sebuah bayangan dalam cahaya. Sesaat berlalu. Wajah yang timbul dari kegelapan...adalah wajah Agnes, sang Musketeer. “Oh, engkau Richmon-dono. Mengambil jalur pulang alternatif?” kata Agnes sambil tersenyjm. Suaranya bergema di terowongan gelap, sempit dan suram tersebut. “Kau...” Richmon menjawab sambil tersenyum lega. Memang, mereka mungkin telah menemukan terowongan rahasia ini dan mungkin telah menyingkap rencana teaternya...tapi ini bukan seorang penyihir, hanya seorang pemedang yang menyerangnya, ini seharusnya tak sulit. Dia, seperti kebanyakan penyihir, memandang remeh para pemedang. “Menyingkirlah. Tiada waktu bermain denganmu. Terlalu menggangguku untuk membunuhmu di tempat seperti ini.” Setelah kata-kata Richmon, Agnes mengeluarkan pistolnya. “Skakmat. Akus udah mengucapkan mantra. Aku hanya perlu melepaskannya padamu. Peluru tak bisa menembus pelindung 20 lapisku. Kesetiaanmu pada Henrietta tak termasuk memberikan nyawamu. Karena kau seorang jelata.” Richmon meneruskan dengan nada bosan. “bayaran serangga tak pantas untuk mantra ningrat. Pergi.” Agnes memeras keluar kata-kata. “Aku akan membunuhny, bukan karena kesetiaan pada ratu, tapi untuk dendam pribadiku.” “Dendam pribadi?” “D'Angleterre.” Richmon tersenyum. kalau dipikir-pikir, dia hari itu, sebelum meninggalkan kediamanku...si ini menanyaiku soal ini. jad itu alasannya. Richmon yang akhirnya mengerti alasannya, tertawa. “Begitu toh! Jadi kau orang yang selamat!” “kau bertanggung jawab atas kejahatan itu...kota asalku dihancurkan, bahkan tanpa tahu kenapa.” Ucap Agnes sambil menggigit bibir. Sealiran darah menuruni bibirnya. “Pembelot Romalia. “Perburuan Protestan.’ Kau mengklaim ‘Protestanism’ sebagai pemberontakan dan menghancurkan kotaku. Berapa sih yangkau dapat dari agen agama Romalia sebagai balsannya, Richmon?” “Kau menanyakan jumlah uangnya? Kau ingin tahu? Aku ingin mengatakannya, tapi aku tak ingat jumlah sogokannya.” “Apakah hanya pada uang kau percaya? wahai orang tak beruntung.” “Caramu percaya Tuhan, begitulah kupercaya uangku, apa ada perbedaan? Caramu meratapi keluarga yang pergi, begitulah pengharapanku pada uang, apa ada perbedaan? Ceritakanlah padaku. Aku ingin tahu.” “Aku akan membunuhmu. Pergunakanlah tabunganmu di neraka.” “Meski adalah sia-sia untuk menggunakan sebuah mantra ningrat pada orang sepertimu...ini adalah takdir.” Richmon bergumam dan melepas mantranya, Sebuah bola api besar muncul di ujung tongkat sihir dan melesat menuju Agnes. Dia mengira Agnes bakal menembakkan pistol yang digenggam tangannya..tapi, dia malah membuangnya. “Apa?” Dia melingkupi dirinya dengan mantel dan menerima bola api tersebut. Meski mantel terbakar sesaat...kantong air di bawahnya menguap untuk menyerap daya bola api. Namun, dayanya tak menghilang seluruhnya. Ia memukul tubuh Agnes, dan menghantam baju rantainya, “Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” Namun, Agnes bertahan, ia tak jatuh, Sebuah kekuatan hati yang luar biasa. Sambil menahan sakit karena seluruh tibuhnya terbakar, dia berlari menjuju Richmon sambil menghunus pedangnya. Richmon buru-buru menembakkan mantra lainnya untuk menyerang balik. Bilah angin itu mengenai Agnes. Ia merobek baju rantai dan layar baju besi, yang mencegahnya menderita luka mematikan. Sambil menerima tebasan yang tak terhitung jumlahnya, Agnes terus melaju. Saat dimana Richmon mencoba melantunkan mantra lainnya, Agnes menabrak dadanya. “Uooo...” Bukan mantra yang keluar dari mulu Richmon...melainkan darah nan merah. Agnes menekan pegangan, memasukkan pedang lebih dalam ke dada Richmon. “Pe-penyihir kalah oleh jelata...seorang ningrat sepertiku...kalah dari pemedang sepertimu...” “,,,katakan padaku, apakahpedang dan pistol masih mainan bagimu?” Masih dengan tubuh yang terbakar dan tertebas, Agnes memutar pedangnya perlahan-lahan dan menarik keluar isi dada Richmon. “Mereka bukanlah mainan. Mereka adalah senjata. Tak seperti kalian, para ningrat, kami setidaknya mengasah taring kami. Matilah karena taring itu, Richmon.” *Gop* Richmon memuntahkan darah dalam jumlah sangat besar. Dan perlahan-lahan jatuh ke tanah, Keheningan kembali menyeruak. Agnes mengambil lentera yang dijatuhkannya tadi, dan dengan bersender pada tembk, dia perlahan berjalan tertatih-tatih. Tebasan diatas bagian yang terbakar begitu nyeri sehingga Agnes bisa jatuh setiap saat. Namun, Agnes terus berjalan. “...tak bisa mati disini. Aku masih...masih...harus membunuh.” perlahan, langkah demi langkah, dengan pedang sebgai penopangnya dan masih berdarah-darah, Agnes menuju jalan keluar. Jalan keluar terdekat dari terowongan rahasia di bawah tanah Tristania ini adalah...saluran air di Jalan Chicton. Begitu Agnes merangkak keluar dari sana dnegan menyeret badannya keluar, Penduduk kota langsung menjerit. Setelah menengadah memandangi matahari yang cemerlang...merasa beruntung karena bertahan hidup, Agnes pingsan. 3 hari kemudian... Di dapur, Saito tengah mencuci piring sebagaimana biasa. *Don* Louise menubruk punggungnya. Karena hampir menjatuhkan piring, saito mengeluh, “Lebih berhati-hatilah! jangan buat aku memecahkan piring!” Grr, Louise menatapnya tajam. Merasa lega, Saito memutar kepalanya. Sejak hari itu...Louise tak pernah bicara padanya. Louise mencelanya, sejak saito akhirnya menceritakan segala yang terjadi selama bersembunyi bersa Henrietta di penginapan murah itu. Kecuali satu hal...ciumannya. Dia hanya cemberut sekarang, tapi dia akan jdi serius kalau dia menyingkap soal ciuman itu. Lagipula, Keinginan Louise untuk memonopoli sangat kua. Dia mengamuk kapanpun Saito si familiar terpikat oleh gadis lain. Ciuman dengan Henrietta yang begitu dipujanya bakal lebih buruk lagi. Louise akan membunuhnya kalau dia tahu. Karenanya, tak peduli bagaimanapun jua, Saito harus berusaha agar dia tak tahu. “...J-Jangan marah begitu.” “Aku tak marah.” “Lalu mengapa kau tak bicara? Aku dan putri saling berpelukan karena tak ada pilihan lain. Kami tak ingin ditemukan...” “...Kau tak melakukan hal lain?” “T-tentu saja tidak!” Saito mulai bersiul-siul saat mencuci piring-piring. Meski dari sisi orang lain ini terlihat seperti pertengkaran antar pacar...mereka berdua berpikir sebaliknya. Saito melihat keirian Louise sebagai keinginan memonopoli familiarnya. Dan Louise sebagai Louise takkan mengakui perasaannya secara jujur. Jadi dengan begitu, hubungan keduanya masih berjalan di garis yang paralel. Apa ini akan terus begitu? Untuk saat ini, hubungan mereka masih berupa garis paralel. Lalu, di tempat dimana hubungan dua orang ini rumit sebagaimana biasanya, pintu terbuka dan dua tamu menunjukkan diri. Mereka mengenakan Tudung. “Hai. Ada yang bisa dibantu?” Saat saat Louise melangkah pergi untuk mengambil pesanan, Salah satu tamu dengan tenang mengangkat tudung dan menunjukkan wajahnya pada Louise. “Agnes!” Agnes berbisik pada Louise. “Mohon siapkan kamar di lantai dua.” “Jika ini kau, maka ..yang lain...” “..Adalah aku.” Suara Henrietta. Louise mengangguk dan menyiapkan kamar tamu di lantai dua. “Sekarang...Louise. Pertama-tama, izinkan aku menghatur terima kasihku padamu...” kata Henrietta sambil memandangi semuanya yang duduk di sekitar meja. Louise, Saito, Agnes... Meski Agnes luka parah, dengan bantuan mantra “Penyembuhan“ Henrietta, yang merupakan pengguna air, dia hampir sembuh seperti sedia kala. Namun, dia masih belum bisa mengenakan pelindung. Oleh karena itu, hari ini dia mengenbakan Kaos dalam yang dilapis dan celana tawar dengan sepatu laras. “Info yang kau kumpulkan benar-benar berguna.” “A-apa itu semua berguna bagimu?” Bukan hanya isu politik yang ada di gosip-gosip kota. Ada juga opini dan kritik warga. Meski dia tak bisa memikirkan soal itu semua, ternyata itu semua berguna bagi Henrietta... “Dengan begini aku dapat melihat tanpa berpura-pura bagaiaman aku dipandang orang lain. Aku ingin mendengar kenyataan yang sesungguhnya. Meski mereka sakit bagi telinga...” Dari situ, ada banyak kritik mengenai Henrietta. Meski Louise tak setuju, dia melaporkan segalanya apa adanya. Itulah mengapa Henrietta senang. “AKu masih bau kencur, karenanya aku harus menerima kritik ini, karena ia penting untuk perkembangan masa depan.” Louise membungkuk. “AKu juga perlu minta maaf. Aku minta maaf karena meminjam familiar sanmu tanpa izin dan tak menjelaskan situasinya.” “memang, jahat sekali kau mengabaikanku.” kata Louise datar. “Aku tak ingin kau terlibat terlalu dalam. Aku harus melakukan pekerjaan kotor menyebarkan jebakannya...untuk si pengkhianat...” “Hakin Istana Kerajaan adalah si Pengkhianat...” Meski Henrietta mencoba merahasiakannya...Rahasia itu sudah bocor kemana-mana. Berita Richmon yang jadi mata-mata Albion sudah jadi isu terkenal di kota. Louise memundurkan kepalanya. “Namun, aku bukan anak-anak lagi. Aku bisa menyimpan rahasia Putri-sama. Dari mulai saat ini, mohon selalu beritahu aku.” Henrietta menganggu, “Baiklah. Mari kita lakukan itu. Lagipula, orang-orang yang bisa kupercaya dari dasar lubuk hatiku...hanyalah orang-orang di ruangan ini.” “familiar juga?” Louise berfikir. Mata Henrietta dan Saito bertemu untuk sesaat. Setelah itu, warna merah nan semu nampak di pipi keduanya, dan bersama-sama mereka menundukkan pandangan. “Y-ya...Sudah pasti begitu. Ah! Itu Benar! Kita masih belum berkenalan secara resmi!” Henrietta mencoba mengubah topik, dan mengulurkan tangannya pada Agnes. “Ini adalah Komandan Musketeerku yang terpercaya, Agnes Chevalier de Milan. Meski dia seorang wanita, dia menggunakan pedang dan pistol seahli lelaki. Dia juga menghukum tegas si pengkhianat yang mencoba kabur. dia berdiri tanpa takut melawan seorang penyihir hanya dengan sebilah pedang...seorang pahlawan.” “AKu bukanlah pahlawan.” Agnes menepis pernyataan itu dan mengembalikan wajah cerianya lagi. Lalu dia berkata dengan nada halus. “Yang Mulia, kita tak perlu perkenalan. Aku sudah mengadakan hubungan semalam dengan Nona Vallière.” Pipi Louise memerah, mengingat ciuman itu. “Itu bukan seperti yang kalian kira!” “Itu adalah malam tak terlupakan, ya, kan, Nona Vallière?” kata Agnes sambil tertawa. Ini membuat pipi Louise makin memerah. “Malan yang tak terlupakan?” tanya Henrietta. “Bukan apa-apa, untuk menipu mata musuh, kami berpura-pura menjadi kekasih. Kami berciuman! Itu sangat lucu! Ahahahaha!” Agnes tertawa senang. Pipi Louise makin memerah saja. Dia mengira Saito akan mulai mempermainkannya soal dia dicium oleh wanita. Tetapi, dia tak tertawa. Entah mengapa, dengan aneh dia membuang pandangannya. Louise menatap lurus henrietta. Dia juga tengah mempermainkan jemarinya tak terkendali. Apalagi, ketika mata mereka bertemu tadi, mereka menundukkan wajah mereka. Sbuah ragu nan aneh...menyelinap ke hati Louise. “Y-yah, ada beberapa hal lain yang harus dilakukan, kita harus bersiap pergi, Agnes.” Henrietta bangkit. “Eh? Kupikir kita bakal minum-minum semalaman?” “Aku mengkhawatirkan lukamu..baiklah, Louise, aku minta kau untuk lanjut saja.” Henrietta buru-buru keluar kamar. Agnes, yang tampak kehilangan pegangan, mengikutinya. saito juga bangkit dan mencoba keluar. “Tidak perlu terburu-buru.” Louise menahannya. Merasakan firasat buruk. wajah Saito memucat. “Tidah, ini, mencuci piring...” kata Saito sambil menatap lurus kedepan. suaranya bergetar, Louise tersenyjm, namun. “Mm, duudklah, tak apa-apa. Tinggallah disini hingga pagi.” Dia menunjuk ke kasur. Saito duduk pelan-pelan. Apa yang tengah terjadi, apa dia tahu? Ciuman Putri..Tidak, pasti tisdak...Dia tak bisa begitu tenang, kan?” I-itu benar. Jika dia tahu, Louise takkan bersikap begini. Dia akan menginjak wajah Saito berulang kali sambil berkata. “Kau mencium Putri, kan?” namun dia tersenyjm. Mungkin dia benar-benar, tanpa modus tersembunyi, menunjukkan penghargaan pada kesialan Saito. “A-ada apa? Kau begitu lembut secara aneh.” “Tidak, Terima kasih untuk kerja kerasmu akhir-akhir ini. Aku hanya ingin mewujudkan rasa terima kasihku. Itu saja.” Louise memberikan saito sebuah cangkir dan menungakan anggur. “T-terima kasih.” “Dengar, aku...hanya kecewa Putri tak membutuhkanku. Lalu 2-3 hari aku dalam suasana hati yang tak enak...soal ini dan itu. Tapi kini aku bersemangat lagi! Semuanya baik-baik saja!” Melihat itu, saito merasa lega. Aaah, dia khawatir yang berlebihan...aku senang...Sepertinya dia benar-benar telah memancarkan lagi humor segarnya. .”Apa sulit untuk menjaga Sang Putri?” Louise menggenggam tangan Saito. “Hingga tingkat tertentu.” Mengapa Louise begitu lembut? Ah, apa peduliku, aku tak pernah merasa begitu baik selama ini. “Sebagaimana yang diharapkan dari Familiarku! Aku sangat bangga!” Saito mulai membusungkan dada “I-itu...gampang saja. Kami melakukannya bersama-sama...” “Tetap saja itu hebat. Caramu hingga tiada yang bisa menemukanmu, kau pastinya menipu para pengejar, kan?” “I-itu benar.” “Minum-minumlah yang banyak. Aku yang bertugas menjadi Majikan penyayang hari ini. Aku akan jadi pelayannya.” Setelah mengatakan itu, dia mengisi ulang gelas dengan Anggur. Dipuji Louise begitu, kepercayaan diri Saito perlahan tumbuh. “Saito sangat hebat! Saat dia ditemui tiba-tiba, di dengan cepat, dengan kehendaknya sendiri, berpura-pura jadi sepasang kekasih dan menipu mereka, kan? Kau seharusnya jadi aktor saja! Kau bisa jadi Pemain Utama Teater Kerajaan TanaiJiiru!” “Itu benar! Kemenangan mudah!” Louise melanjutkan dengan cara yang sama. “Saito sangat luar biasa! Apa dia mencium Sang Putri?” “Itu benar1” Tepat saat itu, susana membeku. Saito menyadari bahwa dia ditipu mentah-mentah. Jika kau ingin menarik keluar sesuatu dari rekanmu, pertama-tama, kau perlu membuatnya merasa tenang. Teknik yang Louise dapat di bar! Dia memakainya! Loui8se memakainya tiap hari, jadi keahliannya berkembang. “L-Louise, ini...K-kau...itu...” Ketegangan dalam kamar meningkat. Louise lalu bangkit dan mengunci pintu. Membalikkan badan, Louise berkata dengan nada cerah yang sama. “Hei, anjing.” Anjing. Dalam satu tarikan napas, rasa mabuk dari anggur menguap. Saito mulai gemetaran. Mengapa aura gelap itu memancar dari bahu Louise? Apa-apaan aura gelap ini? “Anjing, ada yang salah? Jawab aku!” “W-woof!” Malam ini, “Anjing’ terdengar sangat berbeda. Ini berbeda. Bayangan neraka menusuk tiap tubuh Saito yang lumpuh. Rasa putus asa nan asam memenuhi mulutnya. “Punten. Sihir atau kaki, mau yang mana?” “Dua-duanya tampak Ngeriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” “Maaf, tapi memang harus mengerikan. Sekarang, putuskanlah, ayo buruan.” Dan jadinya.....ini akan jadi malam nan panjang.... Sangat panjang. dan sebuah hari istirahat nan panjang juga. Bila. aku bisa bertahan malam ini. Dan aku harus mewaspadai semua gadis yang menyajikan alkohol mulai saat ini, pikir Saito.
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information