Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume7 Bab4: Difference between revisions

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Altux (talk | contribs)
No edit summary
Altux (talk | contribs)
No edit summary
Line 134: Line 134:
“Apa ada senjata sihir baru lainnya?”
“Apa ada senjata sihir baru lainnya?”
“Seperti di misi terbaru, yang digunakan di Dartenes untuk membingungkan musuh?”
“Seperti di misi terbaru, yang digunakan di Dartenes untuk membingungkan musuh?”
Mata para ksatria remaja berbinar-binar saat mengbrol dengan Saito. Ternyata, mereka pikir Louise dan Saito merupakan peneliti dari lab sihir. Memang, yang mengetahui soal Void Louise hanya beberapa Jenderal.
Meski mudah untuk meyakinkan massa di luar dewan bahwa itu semua adalah mukjizat perang, alasan yang sama tak benar-benar bisa diterima para ningrat. Jadi penjelasan yang palinjg masuk akal adalah “Senjata sihir baru Akademi.”
Louise, yang mendengarkan percakapan Saito, berhenti.
*Pon!* Saito juga berhenti. Semuanya berdiri tegak. Sehembus suasana tegang keluar dari Louise dan merasuki mereka. Apa lagi sih yang diharapkan dari Putri ketiga seorang adipati?
Louise, tanpa berbalik, berkata dengan nada jelas.
“Tak begitu juga, Aku bukan seorang peneliti Akademi. Aku adalah Wanita Dewan Paduka, dibawahi dia secara langsung.”
Saito Panik. Hei! Bodoh kau Louise! Vaoid seharusnya tetap dirahasiakan! Kemungkinan ini jadi masalah bila isunya sampai ke musuh! Mereka akan diburu! Pikirnya dengan buru-buru.
“Kami adalah anggota dari “Organisasi Zero’ yang bertanggung jawab untuk meneliti senjata baru, dibawah komando langsung Keluarga Kerajaan.”
Huh? Saito tak bisa menggerakkanmulutnya, Apa itu Organisasi Zero? Tak pernah kudengar.
“J-jadi begitukah?! Hebat!”
“Meski aku tak sepenuhnya mengerti, sepertinya itu organisasi yang sangat kuat!”
“benarkah? Organisasi rahasia? Karenanya kau tak bisa mengatakannya secara bebas? Jadi kau meneliti senjata sihir, tapi apa bedanya dengan penelitan akademi? Pasti ada hukuman mati untuk yang menyingkapnya.”
“B-benarkah?”
“Semuanya, bersumpahlah demi Sang Pendiri untuk tak membicarakannya!”
Semuanya, saking baiknya, bersumpah dengan sungguh-sungguh.
Kita bisa berpura-pura menjadi anggota Organisasi Zero yang meneliti senjata sihir baru. Dengan ini, musuh maupun teman takkan bisa menerka-nerka keberadaan Void.
Pikir Saito.
Jika seseorang mulai membantah isu itu, ia akan menyebabkan lebih banyak isu. Tapi jika seseorang bisa membuat isu “sebenarnya” yang masuk akal, untuk menghindari mata yang penasaran dari kebenaran.
Ini adalah hal yang tepat dilakukan demi memanipulasi informasi.
Dia berlari mendekati Louise dan berbisik.
“...Tapi kau tak mengatakan soal rencana ini, Tak banyak.”
“...Aku hanya berkata mengikuti perintah Putri. Bahkan teman pun tak seharusnya tahu soal Void, makanya aku terfikirkan soal alasan tersebut.”
“Kau! Kau tak memerhatikan kata-kataku, kau tak mendengarkan perkataanku sama sekali!”
“Tiada gunanya, karena kau tak bisa bertindak, bodoh.”
Dengan sebuah dengusan, Louise membuang muka dan mulai berjalan.
“Ada apa denganmu dan selirmu, kalian tampak marahan akhir-akhir ini.”
Ucap Rene.
Saito menjawab dengan siap biasa.
“Fuh, kau berimajinasi.” Mendengar perkataannya, Louise berbalik.
“Kau bersikap tak tenang sejak kita kembali dari melaporkan, kau bersikap kecewa dan marah, Itu tak biasa.”
“Aku tak marah,” ulang Saito.
Louise menatap Saito dingin.
“A-Apa...”
Dengan sehembus dengusan, Louise berbalik dan berjalan menjauh dalam sunyi. Saito, mengingat keputusannya untuk mengabaikan dia, juga membuang muka.
Namun, tujuan Louise bukanlah tenda Saito.
“Hei, kemana dia akan pergi?”
Dia melewati pos jaga dimana dua menara besi berbaris....melewati pembakaran peluru meriam....dan lapangan latihan di lapangan besar.
“Tidak ke korps kami.”
Kata Rene. Memang, ada tenda markas batalion ksatria naga, yang mereka kunjungi kemarin. Untuk akasan tertentu, dia melewati seluruh tenda dan berjalan sendirian, melihat sekeliling seakan-akan tengah mencari seseorang.
Ada sekitar 20 naga angin yang diikat ke tiang, meraung dan menyalak. Adalah berbahaya kesana, sehingga ia berada jauh dari unit lain.
Hanya ada satu orang yangmerawat mereka.
Ia adalah pendeta tampan dan tinggi dari Romalia...Julio.
Seakan tengah mencembui kekasih, Julio menepuk bagian samping leher naga angin. Dia tengah membicarakan sesuatu dengan si naga. Melihat Louise berjalan lurus menuju Julio membuat perasaan Saito semakin terbenam.
Dia berlari mengikuti Louise. Rene mengikutinya.
“Tuan Cesar.”
Saat Louise memanggilnya, sebuah senyum terbit di wajah Julio. Dia menghampiri Louise dengan sikap sangat berlebihan, mengambil tangan Louise lalu menciumnya.
“lain kali, Mohon beritahu aku melalui merpati atau burung hantu. Aku pasti akan mengantarkanmu.”
“Tidak, aku ada urusan denganmu dan naga anginmu.” Kata Louise.
“AKu dan naga anginku?”
“Jika kini kau bebas, aku ingin terbang bersamamu.”
Julio, tanapa menanyakan sebabnya, membungkuk dengan senyum memenuhi wajah.
“tak setiap hari seseorang mendapat kesempatan untuk menolong seorang wanita nan cantik sepertimu! Tak perlu dipertanyakan lagi! Ini benar-benar kegembiraan yang tak terduga!”
“Apa yang kau lakukan?! Berhentilah bermain-main!”
Gumam Saito dengan nada tak senang.
Memang begitulah orang Romalia.” Rene bermuka masam.
“Ngomong-ngomong, kemana aku harus menerbangkanmu?”
Saat Julio mengatakan itu, Saito langsung melupakan sumpahnya untuk mengabaikan Louise dan mencengkram bahu Louise.
“Hei Louise.”
“Apa? Kau menghalangi jalan. Minggir.”
Saito, setelah beberapa kali mengambil napas dalam-dalam, berkata,
“Jika kau ingin terbang, mengapa kau tak menggunakan Zero Fighter-ku? Mengapa si lembek...Tidak, mengapa kau memohon pada pendeta Romalia ini.”
*Huh* “Karena kau tak menyenangkan,” ucap Louise jelas.
“Huh?”
“Sikapnya baik, dia lembut dan pintar. Terlebih lagi, dia tak memiliki pemikiran aneh-aneh apapun. P-P-Pemikiran aneh-aneh itu. Siapapun lebih baik darimu.”
“Tapi itu tak berarti saat terbang!”
“Aku akan mengatakannya padamu dengan jelas. Saat menumpang di belakang seseorang, lebih baik menumpang dibelakang pemuda yang tampan.”
Begitu Louise mengatakan itu, tubuh Saito membeku.
“...A-A-Ap-p-pa?”
Kata Saito sambil bercucuran keringat dingin, hanya itu yang terpikir-Louise menunjuk pada Saito.
“Apa? Iri? Apa kau bodoh? Memangnya dengan siapa kau membandingkan dirimu? Bukankah pendeta Romalia nan ganteng dan berpakaian indah ini 3,4,5,6x lebih baik daripada si tikus-anjing ini; eh, masih berani-beraninya mengukur-ukur diri dengannya dan iri? Apa itu tidak lucu? Apa kau tolooool? Mengapa kau tak terbaring mati?”
“K-kau.”
Saito, seakan sesak napas, membuka tutup mulutnya beberapa kali. Nyala rasa iri berkobar dengan ganasnya, hampir membakar seisi badannya.

Revision as of 05:20, 20 August 2012

Bab 3 - Pendeta Shinto Priest Romalia

Tentara gabungan Tristain dan Germania mendarat di Kota Pelabuhan Rosais, yang terletak sekitar 300 liga dari selatan ibukota Albion Londonium.

Saat mendarat, tentara gabungan ini mengira akan ada serangan balik musuh. Ini karena unit darat membentuk lingkaran mengelilingi Rosais.

Namun...Albion tak menyerang.

Komandan tertinggi tentara gabungan, De Poitiers, kehilangan momentum untuk menyerbu. Strategi mereka mengasumsikan musuh akan menyerang setelah pendaratan. “Perang yang menentukan” diramalkan terjadi dekat Rosais, dimana disana mereka akan menghancurkan tentara besar musuh dalam satu pukulan dan bergerak menuju Londonium tanpa perlawanan.

Mereka merencanakan perang ini selesai dalam 3 minggu, saat baru masuk bulan Yara...tepatnya, sebelum Festival Advent Brimir Snag Pendiri, atau “hari Tahun Baru”. Dengan kata lain, mereka telah bersiap untuk pertempuran yang cepat dan menentukan.

Kegagalan strategi ini tak bisa diapa-apakan. Sejumlah besar makanan diperlukan untuk tentara raksasa yang terdiri dari 60.000 orang. Untuk melantunkan mantra nan kuat, obat khusus (terutama obat penyembuh dari elemen air) diperlukan, bersama barang-barnag perang seperti peluru, bubuk mesiu dan meriam. Dan semuanya harus dibawa dari negara mereka sendiri ke tentara di garda depan. Berperang dalam jangka panjang dalam daerah musuh tak lain akan menjadi mimpi buruk. Lagipula, ekonomi Tristain membuat perang dalam jangka panjang mustahil.

Tentara utama Albion sukses mundur dari Dartenes dan membarikade diri senderi di Ibukota Londinium. Tentara musuh menghindari pertempuran langsung. Setelah kekuatan udara Albion menerima kerusakan di luar batas, dan kehilangan kontrol udara, tentara Albion mungkin meninggalkan taktik serangan balasan. Tentara gabungan bersiap untuk serangan Albion. Tapi karena harapan luruh dan kerusakan fisik tak terjadi, pemyiapan posisi dan bersiap untuk perang yang menentukan menjadi tiada artinya. Tentara gabungan membuang makanan selama satu setengah minggu.

Tentara gabungan tak bisa merencanakan apapun selain pertempuran cepat nan menentukan, jadi mereka hanya membawa suplai perbekalan untuk 6 minggu. Tapi kini mereka perlu mendatangkan makanan dan bubuk mesiu dari negeri mereka sendiri dengan kapal. Untuk kedua negara yang mengorganisasikan tentara penakluk dengan keuangan yang terbatas, situasi mini mengkhawatirkan. 8 hari setelah mendarat, suasana tegang menghantui rencana penyerbuan selanjutnya.

Bandar udara di Rosais berdiri sebagai Markas besar Kerajaan Albion sebelum dirubah menjadi Mabes Angkatan Udara Republik Suci Albion, dan akhirnya menjadi Markas Komando Tentara bela diri Gabungan Tristain-Germania. Tembok dari bata merah ini telah berganti tuan tiga kali dalam setahun ini. Sebuah ruangan besar di lantai kedua adalah tempat sejarah dibuat. Komandan tertinggi dari pasukan koalisi, Jenderal de Poitiers, duduk di meja bundar di kursi tengah, Dia mendengarkan dua opini yang saling berlawanan.

Yang pertama datang dari Jenderal Germania Marquis Handenburg, yang bersikeras, sambil menggerakkan kepalan dan kumis putihnya, menginginkan perang cepat nan menentukan. “Mari bergerak! Maju! Maju! Kita hanya punya makanan untuk empat setengah minggu. Berbelok di Benteng saat perjalanan dan Maju langsung ke Istana! Pokoknya, mari kita tuju Londonium. Beruntungnya, kita mengendalikan udara. Kita harus mengakhiri perang sebelum Festival Advent Brimir Snag Pendiri, karena moral akan jatuh setelahnya!

Sepertinya Jenderal Germania bersikeras maju bagaikan api. “Mengakhiri ini sebelum Festival Advent boleh-boleh saha, tapi kok ga ada cerita perang yang singkat dalam sejarah Halkeginia?” Wimpffen, Pemimpin Staf, menolak dengan dingin sambil menatap melalui kacamatanya. “Maka, kita akan menjadi yang pertama,” ucap Marquis Handenburg sambil menatap tajam Wimpffen “Dengan mengepung Londinium, kita akan memperlihatkan punggung kita pada benteng-benteng mereka...Kita tak bisa bertindak tanpa strategi. Terlebi lagi, bila mulai bergerak, garis suplai akan tertinggal. Tanpa suplai kita akan mengalami keadaan buntu. Meski menyulitkan, kita harus maju selangkah demi selangkah. Kita harus maju dengan menaklukkan benteng-benteng dan istana-istana di perjalanan.”

“Menaklukkan benteng-benteng dan istana-istana akan menyebabkan kerugian yang terlalu besar! Perbekalan? Kita hanya perlu menaklukkan Londonium sebelum festival Advent!” “Sebagaimana yang dikatakan Marquis, kita mengendalikan langit, kan? Jadi kerugian saat penaklukkan akan dijaga seminimal mungkin. Londonium ditaklukkan sebelum Festival Advent? Itu mustahil!” Marquis Handenburg berucap dengan wajah penuh geholak,

“:..Inilah pemikiran elemen-Angin, angin yang menghindari rintangan dalam kepengecutannya.” “Memangnya pemikiran elemen-Api, yang terus saja membakar dirinya hingga jadi abu, lebih baik?” Keduanya saling bertatapan. “Keberanian adalah apa yang perlu diajarkan pada orang Tristain yang pengecut.” “tiada yang perlu dipelajari dari para barbar.”

Keduanya menghunus tongkat secara bersamaan. Jenderal tertinggi de Poitiers melangkah diantara mereka. “kalain terlalu banyak berdebat! Marquis! Tunjukkan keberanian Germania di medan perang! Wimpffen! Berhentilah mempermalukan dirimu!” Akhirnya, mereka menenangkan diri. “Untuk sekarang, kita harus mengakui rencana perta, menghajar kekuatan utama Albion dan bergerak menuju Londinium, mendapatkan kepala Cromwell, dan mengibarkan bendera Lili putih di Ruang Putih, telah gagal, namun menyelesaikan perang menurut rencana masih mungkin.”

Setelah menjatuhkan pemerintahan revolusi Albion, mereka akan memerintah atas nama Henrietta. Tentu saja, sebagian wilayah akan dibagikan pada Germania. Setelahnya, keluarga kerajaan Albion yang selamat akan dicari dan ditempatkan di tahta di wilayah dibawah kuasa Tristain, sehingga monarki pun dibangkitkan lagi. Untuk Menghindari kemungkinan revolusi lanjutan, mereka menutuskan untuk mencari anggota keluarga kerajaan Albion yang selamat. Begitu ningrat dengan darah kerajaan yang cocok ditemukan, tahta akan diserahkan padanya.

De Poitiers menggelengkan klepalanya, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran ini. Kini bukan waktunya memikirkan itu, Kini mereka perlu berpikir bagaimana cara menghancurkan musuh.

De Poitiers menggigit bibirnya. Promosiku bergantung pada ini. Jika dia bisa memenangkan pernag ini, dia akan dipromosikan menjadi Marshal Lapangan. Semuanya bisa dengan mudah terjadi dengan satu pertempuran yang menentukan...De Poitiers mendendam pada Tentara Albion. Mengapa Cromwell mengurung dirinya sendiri di Londonium? Bagaimana dengan musuh yang menduduki negeri?

Bagaimana dengan menghadapi opini menteri, ningrat dan masyarakat? Apa yang dia perhitungkan? Sesaat terlarut dalam lamunan, dia menyadari Jenderal aliansi dan kepala stafnya memandanginya dengan khawatir, dia lalu mengumumkan strategi barnua sendirian.

“...Tiada pertempuran menentukan lagi, tapi rencana harus terus dilaksanakan. Kita harus mengambil alih Londinium dan Istana Kaisar, Havilland, dan mengibarkan Panji Paduka disana. Kini, adalah terlalu berbahaya untuk menyerang Londinium secara langsung. Dan menaklukkan benteng demi benteng akan memakan puluhan tahunan.”

Marquis dan Kepala Staf mengangguk dan bermuka masam. De Poitiers menunjukkan peta yang telah dibentangkan di meja dan menunjukkan tempat-tempat diantara Rosais dan Londinium.

“Kota Saxe-Gotha. Sebuah kota kuno, titik kesukaan wisatawan. Kita akan mengambil alih ini dan membuatnya pusat penaklukkan Londinium. Kita tinggalkan 5000 prajurit di Rosais ini untuk mengamankan jalan suplai dan mundur.

Prajurit yang tersisa akan ikut dalam penaklukkan dengan bantuan angkatan udara kita. Jika Tentara utama musuh keluar, kita tentu saja akan menyelesaikannya dengan sebuah pertempuran yang menentukan.”

Marquis dan Kepala Staf mengangguk. Usulan ini adalah kompromi, dan meski merupakan strategi yang tak “pakem”, ia tak buruk.

Saxe-Gotha adalah kota besar. Persimpangan seluruh jalan. Jika ia diambil alih, kemungkinan besar ia sangat berpengaruh terhadap penaklukan kota dan benteng lainnya. Meski perang belum berakhir saat Festival Advent, lebih mudah untuk bertahan lebih lama karena ini kota besar.

Saat mereka berdebat soal strategi, seseorang mengetuk pintu. “Siapa?” tanya seorang penjaga. “AKu. Wanita Dewan Paduka, La Vallière.”

De Poitiers memberi tanda agar penjaga mempersilahkannya masuk, meski dia tak terlalu ingin membiarkan gadis itu ambil bagian dalam urusan tentara. Tapi dia tak bisa memperlakukannya dengan tak sopan sebab dia adalah Wanita Dewan Paduka dan pengguna Void nan legendaris. Dia tetap mungkin mengganggu.

De Poitiers melihat Louise tak lebih sebagai “alat”. “Aah, Nona Void. Kami telah menyiapkan tenda yang mewah untukmu. Serahkan semua persoalan pada pelayan dan beristirahatlah. Aku akan memanggilmu bila kau diperlukan.”

Louise tegang karena lingkungan yang hebat. Namun, dia tak bisa melakukan apa yang dia putuskan untuk dilakukan bila dia bertindak sebagi pengecut. Jadi, dia mengumpulkan keberaniannya dan berbicara, “Y-yah...”

“Apa? Oh, kau tak dihargai untuk kerjamu di Dartenes. Sebagaimana yang diharapkan dari Void. Kau melakukannya dengan baik. Tuan-tuan! Tepuk tangan!” Tepuk tangan tak bersemangat bergema di ruang konferensi

“Aku akan meminta pada Keluarga kerajaan untuk pernghargaan.” “B-bukan itu...” “Apa? kau masih disini?”

Nada De Poitiers tercampur rasa tak senang. Apa penghargaan tunggal tak cukup? Si kecil rakus ini! Manusia itu rakus, ia salah satu sifat dasar manusia. De Poitiers merasa tak dihargai karena setelah memujinya, Louise meminta lebih.

“bukan itu. Umm, aku tak kesini untuk penghargaan, ini tentang ksatria naga yang kembali hidup-hidup...” Untuk sesaat, para Jenderal tak dapat mengerti apa yang dia bicarakan....Tapi kemudian mereka ingat unit ksatria naga yang kembali hidup-hidup dan mengangguk.

“Aah, ada apa soal itu?” “Ya...itu bagus, tapi apa kau tidak pikir itu aneh? Seminggu penuh berlalu setelah bentrok dan mereka kembali dengan selamat sentosa, dan selama itu mereka tak mengingat apapun diantara selang waktu itu?” “Memang.”

Jenderal-jenderal yang terganggu mulai mendengarkannya. Bagaimana efeknya pada tentara? Mereka hendak mengatakan soal itu, ketika Louise berkata. “tempatnya dekat Saxe-Gotha. Aku pikir ini harus diperiksa.” Saat Louise mengatakan itu, Sang Jenderal melambaikan tangan.

“Oh, OK. Dekat jalur gerak. Sebuah ekspedisi pencari akan dibentuk untuk memeriksa misteri ini,” katanya dengan nada datar yang tak mendukung ekspedisi semacam ini. “Apa mereka dipukul kepalanya dan melihat semacam hantu?” “...mereka melaporkan ada peri.” “Seorang peri yang baik!”

Kata seseorang, dan ruang konferensi dipenuhi suara tawa. Tak peduli siapa yang dia tanya, ke-10 ksatria yang selamat hanya salah satu mukjizat perang dan mereka takkan memeriksainya bahkan meski otak para ksatria beres. “tak mungkin! Bagaimana jika di belakang ini ada rahasia penting?! Sesuatu yang mungkin bisa mengubah arah perang!”

“Nona, meski ini jelas sekali kejadian misterius, ia seperttinya takkan mengubah situasi sulit ini. Kita tak punya waktu untuk memperhatikan urusan remeh seperti ini.” “tapi...” Kemudian, seakan baru saja dapat ide, De Poitiers menambahkan. “baiklah, Aku ingin kau pergi memeriksanya. Apa kau bisa?”

Louise meninggalkan pusat komando berbata merah seakan diusir. Saito dan Rene, yang tengah menunggu di jalan masuk, berlari mendekatinya. “bagaimana?”

Fuun, Louise berjalan melewati mereka sambil melihat ke arah lain.

Saito menghembus napas. Dia hampir tak bicara dengan Louise sejak kemarin. Setelah meninggalkan Louise di depan tenda skuad ksatria naga,hubungan pasangan ini sedang berada dalam keadaan buruk.

Saito berjalan di belakang Saito.

“Haah, putri dan pelayannya.” Ucap Rene secara sarkastis. Lalu dia merendahkan suaranya dan berbisik ke telinga saito. “Ini hanya diantara kita...Apa kalian peneliti Akademi?” “Akademi?” Saito memandangi Rene dengan wajah terkejut. Ksatria-ksatria naga yang penasaran disekitarnya.

“AKu pikir mesin terbang itu dibuat oleh akademi.” “Apa ada senjata sihir baru lainnya?” “Seperti di misi terbaru, yang digunakan di Dartenes untuk membingungkan musuh?”

Mata para ksatria remaja berbinar-binar saat mengbrol dengan Saito. Ternyata, mereka pikir Louise dan Saito merupakan peneliti dari lab sihir. Memang, yang mengetahui soal Void Louise hanya beberapa Jenderal. Meski mudah untuk meyakinkan massa di luar dewan bahwa itu semua adalah mukjizat perang, alasan yang sama tak benar-benar bisa diterima para ningrat. Jadi penjelasan yang palinjg masuk akal adalah “Senjata sihir baru Akademi.” Louise, yang mendengarkan percakapan Saito, berhenti.

  • Pon!* Saito juga berhenti. Semuanya berdiri tegak. Sehembus suasana tegang keluar dari Louise dan merasuki mereka. Apa lagi sih yang diharapkan dari Putri ketiga seorang adipati?

Louise, tanpa berbalik, berkata dengan nada jelas. “Tak begitu juga, Aku bukan seorang peneliti Akademi. Aku adalah Wanita Dewan Paduka, dibawahi dia secara langsung.”

Saito Panik. Hei! Bodoh kau Louise! Vaoid seharusnya tetap dirahasiakan! Kemungkinan ini jadi masalah bila isunya sampai ke musuh! Mereka akan diburu! Pikirnya dengan buru-buru. “Kami adalah anggota dari “Organisasi Zero’ yang bertanggung jawab untuk meneliti senjata baru, dibawah komando langsung Keluarga Kerajaan.”

Huh? Saito tak bisa menggerakkanmulutnya, Apa itu Organisasi Zero? Tak pernah kudengar. “J-jadi begitukah?! Hebat!” “Meski aku tak sepenuhnya mengerti, sepertinya itu organisasi yang sangat kuat!”

“benarkah? Organisasi rahasia? Karenanya kau tak bisa mengatakannya secara bebas? Jadi kau meneliti senjata sihir, tapi apa bedanya dengan penelitan akademi? Pasti ada hukuman mati untuk yang menyingkapnya.” “B-benarkah?” “Semuanya, bersumpahlah demi Sang Pendiri untuk tak membicarakannya!” Semuanya, saking baiknya, bersumpah dengan sungguh-sungguh.

Kita bisa berpura-pura menjadi anggota Organisasi Zero yang meneliti senjata sihir baru. Dengan ini, musuh maupun teman takkan bisa menerka-nerka keberadaan Void. Pikir Saito.

Jika seseorang mulai membantah isu itu, ia akan menyebabkan lebih banyak isu. Tapi jika seseorang bisa membuat isu “sebenarnya” yang masuk akal, untuk menghindari mata yang penasaran dari kebenaran. Ini adalah hal yang tepat dilakukan demi memanipulasi informasi. Dia berlari mendekati Louise dan berbisik. “...Tapi kau tak mengatakan soal rencana ini, Tak banyak.”

“...Aku hanya berkata mengikuti perintah Putri. Bahkan teman pun tak seharusnya tahu soal Void, makanya aku terfikirkan soal alasan tersebut.” “Kau! Kau tak memerhatikan kata-kataku, kau tak mendengarkan perkataanku sama sekali!” “Tiada gunanya, karena kau tak bisa bertindak, bodoh.”

Dengan sebuah dengusan, Louise membuang muka dan mulai berjalan. “Ada apa denganmu dan selirmu, kalian tampak marahan akhir-akhir ini.” Ucap Rene. Saito menjawab dengan siap biasa. “Fuh, kau berimajinasi.” Mendengar perkataannya, Louise berbalik. “Kau bersikap tak tenang sejak kita kembali dari melaporkan, kau bersikap kecewa dan marah, Itu tak biasa.”

“Aku tak marah,” ulang Saito. Louise menatap Saito dingin. “A-Apa...” Dengan sehembus dengusan, Louise berbalik dan berjalan menjauh dalam sunyi. Saito, mengingat keputusannya untuk mengabaikan dia, juga membuang muka.

Namun, tujuan Louise bukanlah tenda Saito. “Hei, kemana dia akan pergi?” Dia melewati pos jaga dimana dua menara besi berbaris....melewati pembakaran peluru meriam....dan lapangan latihan di lapangan besar. “Tidak ke korps kami.”

Kata Rene. Memang, ada tenda markas batalion ksatria naga, yang mereka kunjungi kemarin. Untuk akasan tertentu, dia melewati seluruh tenda dan berjalan sendirian, melihat sekeliling seakan-akan tengah mencari seseorang. Ada sekitar 20 naga angin yang diikat ke tiang, meraung dan menyalak. Adalah berbahaya kesana, sehingga ia berada jauh dari unit lain. Hanya ada satu orang yangmerawat mereka.

Ia adalah pendeta tampan dan tinggi dari Romalia...Julio. Seakan tengah mencembui kekasih, Julio menepuk bagian samping leher naga angin. Dia tengah membicarakan sesuatu dengan si naga. Melihat Louise berjalan lurus menuju Julio membuat perasaan Saito semakin terbenam.

Dia berlari mengikuti Louise. Rene mengikutinya. “Tuan Cesar.” Saat Louise memanggilnya, sebuah senyum terbit di wajah Julio. Dia menghampiri Louise dengan sikap sangat berlebihan, mengambil tangan Louise lalu menciumnya.

“lain kali, Mohon beritahu aku melalui merpati atau burung hantu. Aku pasti akan mengantarkanmu.” “Tidak, aku ada urusan denganmu dan naga anginmu.” Kata Louise. “AKu dan naga anginku?” “Jika kini kau bebas, aku ingin terbang bersamamu.” Julio, tanapa menanyakan sebabnya, membungkuk dengan senyum memenuhi wajah.

“tak setiap hari seseorang mendapat kesempatan untuk menolong seorang wanita nan cantik sepertimu! Tak perlu dipertanyakan lagi! Ini benar-benar kegembiraan yang tak terduga!” “Apa yang kau lakukan?! Berhentilah bermain-main!” Gumam Saito dengan nada tak senang. Memang begitulah orang Romalia.” Rene bermuka masam.

“Ngomong-ngomong, kemana aku harus menerbangkanmu?” Saat Julio mengatakan itu, Saito langsung melupakan sumpahnya untuk mengabaikan Louise dan mencengkram bahu Louise. “Hei Louise.”

“Apa? Kau menghalangi jalan. Minggir.” Saito, setelah beberapa kali mengambil napas dalam-dalam, berkata, “Jika kau ingin terbang, mengapa kau tak menggunakan Zero Fighter-ku? Mengapa si lembek...Tidak, mengapa kau memohon pada pendeta Romalia ini.”

  • Huh* “Karena kau tak menyenangkan,” ucap Louise jelas.

“Huh?” “Sikapnya baik, dia lembut dan pintar. Terlebih lagi, dia tak memiliki pemikiran aneh-aneh apapun. P-P-Pemikiran aneh-aneh itu. Siapapun lebih baik darimu.” “Tapi itu tak berarti saat terbang!”

“Aku akan mengatakannya padamu dengan jelas. Saat menumpang di belakang seseorang, lebih baik menumpang dibelakang pemuda yang tampan.” Begitu Louise mengatakan itu, tubuh Saito membeku. “...A-A-Ap-p-pa?” Kata Saito sambil bercucuran keringat dingin, hanya itu yang terpikir-Louise menunjuk pada Saito.

“Apa? Iri? Apa kau bodoh? Memangnya dengan siapa kau membandingkan dirimu? Bukankah pendeta Romalia nan ganteng dan berpakaian indah ini 3,4,5,6x lebih baik daripada si tikus-anjing ini; eh, masih berani-beraninya mengukur-ukur diri dengannya dan iri? Apa itu tidak lucu? Apa kau tolooool? Mengapa kau tak terbaring mati?” “K-kau.” Saito, seakan sesak napas, membuka tutup mulutnya beberapa kali. Nyala rasa iri berkobar dengan ganasnya, hampir membakar seisi badannya.