Difference between revisions of "Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 1 Patung"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
Line 22: Line 22:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
   
Line 75: Line 75:
 
Dewa telah bersemayam di tangan kanannya—
 
Dewa telah bersemayam di tangan kanannya—
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   
Line 237: Line 237:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
 
"Bunuh dia!"
 
"Bunuh dia!"
Line 420: Line 420:
   
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   
Line 540: Line 540:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
   
Line 605: Line 605:
   
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   
Line 762: Line 762:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
   
Line 1,002: Line 1,002:
   
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   
Line 1,154: Line 1,154:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
   
Line 1,437: Line 1,437:
   
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   
Line 1,657: Line 1,657:
   
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
  +
<div style="font-family: Times New Roman, Times New Roman, Times, serif">
 
   
   
Line 1,780: Line 1,780:
   
   
  +
</div>
 
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
 
<div style="font-size:2em; text-align: center;">♦</div>
   

Revision as of 03:01, 20 June 2015

Sesuatu yang mengingkari harapanmu.

Sesuatu yang tidak sesuai keinginanmu.

Sesuatu yang membuatmu merasa kehilangan.

Kejadian-kejadian semacam itu tidaklah jarang.

Misalnya, kita lihat kejadian sehari-hari: seseorang membeli barang bermerek, lalu mendapati barang itu adalah barang palsu. Orang lain membeli suatu barang di Internet dan mendapatkan barang yang berbeda dari apa yang mereka harapkan. Cerita seperti itu sudah sering terdengar.

Semua orang mengalami hal-hal seperti itu setidaknya sekali atau dua kali, dan biasanya mereka hanya membiarkannya saja atau mengembalikan barang itu.

Tapi jika barang itu adalah sebuah 'Relik', tidak semudah itu.

Kalau memang benda itu adalah benda palsu, itu masih tidak apa-apa.

Tapi jika benda itu nyata, namun kekuatannya tidak seperti yang diharapkan, maka itu bukan untuk ditertawakan.

Jelas-jelas bukan untuk ditertawakan.



Seorang anak kecil terbaring di ranjang, nafasnya tersengal-sengal.

Belum sampai 10 tahun umurnya, tapi badannya sudah demam semenjak tiga hari lalu. Mukanya sampai memerah, dan butir-butir keringat terus muncul di dahinya sesering apapun ibunya mengelapnya. Kadangkala, ia terbatuk-batuk, lalu mendesah kesakitan, karena kepalanya sakit karena gerakan yang tiba-tiba.

Tidak ada dokter di desa itu. Pekerjaan yang ada hanyalah bertani.

Tidak ada obat-obatan disini. Meskipun terkadang penjual obat datang menginap di desa ini, warga desa ini tidak punya uang untuk membeli obat. Beberapa kali warga desa ini dapat menukar obat dengan tempat untuk menginap dan juga dengan sarapan pagi, tapi obat yang diperoleh tak pernah cukup.

Karena itu, istirahat adalah pilihan yang tersisa.

Maka dari itu, siapapun yang sakitnya menjadi lebih parah akan mati.

Kami mulai menyadari keadaan pelik ini di hari kami sampai di desa ini.

" Kumohon, selamatkan anak kami!"

Tidak mengherankan orang tua anak itu berharap kepada kami, dengan keadaaan di desa yang seperti ini. Karena kami dulu pernah menjadi semacam dokter.

Ya, bisa dibilang kami dulu adalah semacam dokter.

Tapi anggapan itu tidak sepenuhnya benar.

Nyatanya, kami tidak menggunakan obat apapun atau melakukan operasi apapun.

Sentuhan tangannya adalah satu-satunya cara.

Yang dibutuhkan adalah tangan tuanku yang menyentuh si sakit.

" Kalian tidak perlu khawatir," Beliau berbisik pelan dan menyentuh dahi si anak perempuan dengan tangan kanannya.

Beberapa saat kemudian—

Nafasnya memelan sedikit demi sedikit. Demam tinggi yang membuat pipinya merah dan membuat alisnya basah dengan keringat lama-lama lenyap. Batuk yang tadi terus berulang mulai menghilang dan si anak perempuan membuka matanya seakan-akan tak terjadi apa-apa.

"Mm? Ada apa ini?"

Itu adalah kata-kata pertamanya setelah tiga hari penuh ia habiskan dalam kondisi demam tinggi.

Tangis orang tuanya pecah ketika mereka sadar anaknya telah terselamatkan, dan memeluk anak itu.

Warga desa yang melihat tak berkata apa-apa saking takjubnya, lalu tak lama mereka menghujani kami dengan pujian dan ungkapan kekaguman.

Sentuhan tangannya akan menyembuhkan penyakit apapun saat itu juga.

Sentuhan tangannya akan menyembuhkan luka apapun saat itu juga.

Itu adalah sebuah keajaiban yang hampir tak mungkin muncul dari tangan seorang manusia.

Dewa telah bersemayam di tangan kanannya—


"Hai semuanya!"

Dengan memberikan sapaan santai, aku, Tokiya Kurusu, membuka pintu toko.

Bagian dalam toko dijejali dengan berbagai barang seperti aksesoris, botol-botol kaca, foto potret, dan berbagai barang lainnya. "Dijejali"—bukan "dipamerkan"—karena tempat ini lebih mirip gudang daripada toko. Meskipun beberapa gudang bahkan lebih rapi.

Dan di toko yang sepi ini, Toko Antik Tsukumodo (PALSU), adalah tempatku bekerja paruh waktu.

"Tak ada orang?"

Biasanya, gadis kaku yang berpakaian serba hitam akan berdiri disana di balik meja kasir, tapi sepertinya sekarang ia ada di sisi lain bangunan ini.

Kubuka pintu belakang dan masuk ke dalam. Toko ini terhubung langsung dengan tempat tinggal mereka berdua di dalam.

Ketika memasuki ruang tengah, bukannya menemukan orang yang kucari, aku menemukan benda aneh di atas meja.

"Apa ini?"

Benda itu adalah pot tanaman dan boneka anjing. Sejenis rumput-rumputan ditanam di pot itu dan diikat ke boneka anjing dengan suatu benang. Selain itu, ada jam di dinding pot itu yang menunjukkan waktu.

Kulihat lebih dekat, jam itu adalah jam alarm dan disetel untuk menyala jam 5.

Saat ini kebetulan adalah jam 5 kurang 1 menit. Boneka anjing itu membuka matanya dan mulai berjalan di atas meja, menarik rerumputan itu dari pot.

Sepertinya benda ini adalah semacam jam yang terhubung ke penggerak otomatis, meskipun aku tak tahu apa gunanya.

Ketika rumput itu ditarik, akar berwarna kecoklatan mulai kelihatan. Dari dekat, sebagian akar itu memiliki bentuk mirip kepala manusia dan membuatku merinding.

Meski begitu, aku tak kaget. Toh pemilik toko ini menyukai benda-benda aneh seperti ini.

Tapi, jam ini kelihatan menjijikkan sekali. Aku tak akan mau dibangunkan oleh benda ini setiap pagi.

Pikiran itu melintas di kepalaku, ketika anjing itu terus bergerak menjauh langkah demi langkah, menunjukkan akar mirip kepala itu lebih jelas.

Jam alarm itu mengingatkanku pada sesuatu.

Apa ya...

Bukankah ada suatu cerita atau legenda dimana anjing digunakan untuk menarik tanaman tertentu?

Apa ya namanya...? Mm...

"Ah. Tanaman mandrake."

Ketika akar mandrake ditarik keluar, tanaman itu akan berteriak dan teriakannya bisa membunuh siapapun yang mendengarnya, karena itu anjing dimanfaatkan untuk mengambil tanaman itu...

"...Oh tidak, jangan... "

Ketika jarum jam menunjukkan angka lima, dan boneka anjing itu menghentikan langkahnya, seketika itu juga aku merasakan pertanda buruk.

Akar-mirip-kepala itu terlepas dari pot dan mengeluarkan teriakan kencang sambil memasang muka seram mirip The Scream oleh Edvard Munch.

"KRYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!"

"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! HEI!"

Kupukul jam mandrake itu sampai jatuh dari meja.

Jam itu jatuh dan menggelinding di lantai dan terus merintih disana.

"Ck, ternyata barang palsu," kata seorang wanita ketika dia muncul seakan-akan telah melihat apa yang terjadi barusan.

Wanita itu adalah pemilik toko ini sekaligus orang yang mempekerjakanku, Towaku Setsutsu.

Dia lebih cocok disebut sebagai wanita yang cantik dan keren. Alis mata yang indah menghiasi wajahnya, sinar mata yang kuat memancar dari kedua bola matanya, dan rambut hitam mengkilap yang memanjang sampai ke pinggulnya. Badannya kurus dan sedikit lebih tinggi daripada aku, yang tingginya seperti anak SMA pada umumnya, membuat penampilannya menjadi makin menarik. Begitu juga dengan pakaiannya, ia mengenakan kemeja ketat dan celana bahan yang menunjukkan siluet kaki panjangnya.

Namun, kelakuannya sama sekali tidak seperti penampilannya.

Tidak hanya mengoleksi barang-barang aneh, tapi dia juga suka menjadikan aku sebagai bahan percobaannya.

Namun, ia tidak mengoleksi barang-barang aneh itu hanya untuk sekedar hobi.

Yang dia koleksi adalah Relik.

Bukan barang antik atau benda seni, tapi peralatan dengan kemampuan khusus yang dibuat oleh penguasa-penguasa atau penyihir kuno, atau benda yang telah menyerap dendam pemilknya atau menyerap kekuatan spiritual tertentu.

Dalam kisah-kisah dan legenda, sering disebutkan alat-alat yang memiliki kekuatan; misalnya, sebuah batu yang membawa keberuntungan, boneka yang rambutnya tumbuh di tiap malam, cermin yang menunjukkan wajahmu di masa depan, pedang yang membawa kehancuran kepada siapapun yang memakainya.

Semua orang pasti pernah mendengarnya.

Namun, orang-orang biasanya menganggap hal-hal semacam itu hanya khayalan karena mereka tak pernah melihatnya. Mereka tak akan menyadarinya meskipun benda itu ada di depan matanya, dan mereka lebih percaya akan adanya suatu kebetulan bila terjadi hal-hal yang misterius.

Sebagian orang tak peduli, dan sebagian lainnya yakin benda-benda semacam itu tak pernah ada.

Sayangnya, Relik justru ada dan lebih dekat daripada yang pernah kita bayangkan.

Hobinya adalah mengoleksi Relik-relik itu.

Yah, tapi seringkali, seperti kali ini, dia ditipu untuk membeli barang-barang palsu.

"Padahal aku mengeluarkan banyak uang untuk jam mandrake ini... " keluh Towako-san, setelah mematikan jam yang masih berteriak itu.

"Hanya penasaran: apa yang akan terjadi jika jam itu nyata?"

Tsukumodo V1 P093.jpg

" Kau akan mati."

"Gila, jam alarm macam apa itu!?"

"Ayolah, benda seperti ini tidak akan membuat dunia ini kiamat."

Tapi mungkin saja! Aku yakin aku barusan kehilangan beberapa tahun usiaku karena benda itu...

"Omong-omong, kapan kau sampai kesini?"

Dia baru saja pulang dari bepergian selama seminggu untuk membeli Relik.

"Mm, baru saja. Tokiya? Taruh ini di rak toko."

Towako-san memintaku meletakkan jam mandrake (PALSU) di toko. Dan bertambah lagi tumpukan barang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan barang antik.

"Dimana kau ingin aku meletakkannya?"

"Aku tak peduli."

"Kenapa kau tidak mencoba membuat suatu sistem, sekali-sekali?"

Aku kembali ke toko dan meletakkan jam itu di celah yang ada di sebelah kamera kuno. Kebetulan, kamera itu adalah (versi palsu dari) kamera yang dapat mengambil foto masa lalu dari orang yang kaupotret dengannya.

Towako-san ikut masuk ke dalam toko, dan membuka mesin kasir ketika lewat di depannya.

Ketika melihat cetakan hasil penjualan mingguan, mukanya berubah masam. Ternyata, dia juga sedikit peduli dengan minimnya hasil penjualan.

Aku harap dia tidak peduli, sih.

"Apa lagi yang kau beli?"

"Ah, sebenarnya aku menemukan barang bagus kali ini."

Dia buru-buru menghapus catatan penjualan dari pikirannya dan memamerkan padaku tentang hasil temuannya.

"Itu adalah patung yang diperoleh dari desa yang telah ditinggalkan seratus tahun lalu, lho. Tapi, benda itu bentuknya menjijikkan sekali, meskipun katanya ia bisa menyembuhkan penyakit apapun jika kau menyentuhnya."

"Benarkah begitu?"

"Sepertinya, tidak seorangpun pernah mencobanya."

"Kedengarannya seperti barang palsu kalau kau menanyakannya padaku."

"Aku tak akan membelinya jika ceritanya hanya sampai disitu, tapi justru nyatanya ada mitos lain mengenai benda ini dimana kau akan mati karena penyakit yang tak dapat disembuhkan jika kau menyentuh patung itu."

"Bukannya itu justru berlawanan dari fungsi awalnya?"

"Benar. Satu mitos mengatakan bahwa patung ini menyembuhkan penyakit apapun. Mitos lain menyatakan bahwa ia bisa membunuhmu karena penyakit tertentu. Bagaimana menurutmu? Apakah kau tidak tertarik mencari tahu kenapa ada dua mitos berlawanan mengenai satu patung yang sama?"

"Yah, aku tak bisa menolak, sih."

"Jadi aku mencari beberapa dokumen dan bahan-bahan penelitian, yang akan kupelajari mulai hari ini. Toko ini sekarang ada di tanganmu, " katanya sambil berbalik. "Ah, jangan lupa! " tiba-tiba dia menambahkan, "Pastikan kau tidak menyentuh patung itu secara langsung sampai kita tahu pasti apa efek dari patung itu! Kalau kau terpaksa menyentuhnya, gunakan sarung tangan. Jika tidak, aku tak akan bertanggung jawab kalau kau mati."

"Aku mengerti."

Aku mengangguk... dan terdiam.

Di depan mataku berdiri rekan kerjaku, Saki Maino, memegang satu patung aneh dengan tangan kosong.


"Bunuh dia!"

"Wanita itu adalah penyihir yang berwujud manusia"

"Dia telah membawa bencana ke desa kita!"

Ratusan teriakan penuh kemarahan terdengar dari luar kuil. Mungkin nyaris semua penduduk desa telah mengurung kuil ini. Kenapa hal seperti ini terjadi? Aku hanya ingin menyelamatkan mereka.

Kuangkat patung di tanganku ke depan wajahku.

Patung itu adalah patung yang akan menyembuhkan penyakit apapun. Patung itu diwariskan kepadaku oleh tuanku. Patung itu adalah patung yang penuh dengan kelembutannya... tapi...

—Beliau pasti telah meninggalkan suatu kutukan.

Kuingat kembali kata-kata warga desa. Benarkah? Benarkah semua ini adalah kutukan yang beliau tinggalkan?

Aku ingin percaya bahwa warga desa salah, bahwa ini semua bukanlah kutukan.

Aku ingin percaya bahwa beliau tidak akan melakukan hal semacam ini.

Tiba-tiba, aku merasa kuil ini menjadi lebih hangat. Saat ini sedang musim dingin, dan tak mungkin musim semi tiba-tiba datang. Di tengah kebingunganku, suhu di kuil ini semakin tinggi.

Suhu di dalam makin tinggi, dan aku mulai mendengar suara kayu yang berderak.

Saat itu aku langsung sadar bahwa bangunan kuil ini telah dibakar.

Tak lama, kehangatan mulai berubah menjadi rasa panas.

Aku harus melarikan diri.

Mencoba berdiri, aku justru jatuh terjerembap di tanah dan memuntahkan sesuatu yang sudah kutahan sedari tadi.

Terlihat jelas bahwa yang kumuntahkan barusan adalah darah.

Akhir-akhir ini, aku memang beberapa kali muntah darah, sampai-sampai aku menjadi sudah terbiasa. Aku juga, telah menjadi korban wabah penyakit ini.

Tapi yang lebih penting adalah patung yang ada di tanganku.

Jangan sampai patung ini ternodai oleh darahku.

Kuseka darah yang mungkin menempel di patung itu dengan lengan bajuku, dan setelahnya, kugenggam sekali lagi.

Namun, penyakitku tetap tak bisa sembuh.

Patung yang suatu kali bisa menyembuhkan penyakit apapun kini tak dapat menyembuhkan penyakit apapun.

Mana yang lebih dulu, mati karena penyakit atau karena terbakar?

Kesadaranku mulai menghilang dan makin mengabur karena panas yang mendera seluruh tubuhku.

Hari-hari yang telah berlalu muncul di ingatanku ketika kesadaranku menghilang.


Juan, namanya.

Meskipun umurnya baru tiga puluh lebih sedikit, seluruh rambutnya sudah berwarna putih. Namun, itu tak membuatnya nampak tua dan lemah, justru dengan kulitnya yang putih bersih, seperti menampakkan kesuciannya.

Saat ini, Juan-sama menghuni sebuah kuil yang ditinggalkan di kaki gunung. Tanpa mengikat dirinya sendiri pada agama apapun, dia dengan sepenuh hati memuja Buddha.

Di suatu waktu, dia pergi berdoa. Di waktu yang lain, ia memahat patung-patung Buddha. Dan di waktu lainnya—dia akan menyembuhkan orang sakit dengan tangan kanannya.

Orang-orang di desa sering datang ke kuilnya untuk disembuhkan dengan tangan kanannya.

Orang-orang ini miskin, dan tanah di desa ini tandus dan kering. Mereka hidup sederhana dari sedikit tanaman yang bisa hidup di tanah desa ini. Karena orang-orang ini tidak bisa membeli obat dan karena tak adanya dokter, siapapun yang sakit pergi kepadanya untuk mendapatkan berkah kesembuhan dari tangan kanannya.

Wabah yang melanda desa ini dimulai dengan batuk-batuk, dan dilanjutkan dengan demam tinggi, dimana penderitanya akan muntah darah. Berikutnya, si penderita akan lumpuh, metabolismenya melambat, dan lalu ia akan mati.

Tapi sejak tuanku—dan tangan kanan dewanya—datang ke desa ini, wabah ini tak lagi membawa korban.

Aku sendiri, juga telah menerima berkah dari tangan kanannya.

Orang tuaku meninggalkanku di gunung dan aku sudah hampir mati, entah itu disebabkan oleh kelaparan karena aku tak punya apapun untuk dimakan, atau mati karena hipotermia karena aku terkubur oleh salju, ketika aku diselamatkan oleh Juan-sama, yang sedang bepergian. Meskipun aku tak ingat apa yang terjadi ketika aku diselamatkan olehnya, aku tahu saat itu ada kehangatan yang mengisi tubuhku yang dingin dan menguatkan daya hidupku lagi.

Sejak saat itu, aku tinggal bersamanya dan mengurus pekerjaan rumah sehari-hari.

Aku bukan satu-satunya orang yang ingin tinggal bersama Juan-sama, tapi beliau selalu menolak orang lain yang ingin tinggal bersamanya. Meski begitu, tak ada alasan khusus kenapa hanya aku yang diperbolehkan untuk tinggal bersamanya. Kemungkinan, dia hanya kasihan kepadaku—gadis yang umurnya bahkan tak sampai setengah umurnya namun tanpa orang lain untuk bergantung.

Untuk membalas kebaikannya, aku membersihkan kuil ini dan menyiapkan makanan serta mencuci pakaian kami setiap hari tanpa terkecuali.

Benda yang dipuja di kuil ini adalah patung emas Buddha milik Juan-sama. Ia sendiri yang memahatnya dari kayu jati dan menyepuhnya dengan emas. Ukurannya tak lebih besar dari seekor kucing. Perbandingan ini hanya perbandingan kasar, tapi karena aku tak pernah sekolah, aku tak bisa membandingkannya dengan hal lain yang lebih sesuai.

Kembali ke patung itu. Juan-sama sangat menghargai patung itu, dan karena itu akupun juga.

Dia telah berhasil menyembuhkan orang-orang dengan patung itu tanpa sekalipun gagal. Ketika sedang menyembuhkan orang, ia selalu meletakkan patung itu di sisinya untuk meminjam kekuatannya.

Tugasku pertama-tama di pagi hari adalah membersihkan patung itu.

Setiap pagi aku selalu mengelapnya dengan handuk yang dibasahi air musim dingin.

"Maafkan aku karena harus membuatmu melakukannya."

Juan-sama sering mengucapkan rasa terima kasihnya ketika melihatku membersihkan patung itu atau mencuci dengan air yang sedingin es itu. Tapi tugas seperti itu sama sekali tidak terasa sulit buatku. Bagiku, tak ada bedanya apakah air yang kupakai sedingin es atau hangat-hangat kuku.

Satu alasannya, jelas, aku tak tega menolaknya, tapi sebenarnya lebih karena tanganku telah mati rasa dan kulitnya sudah sekeras batu. Sepertinya aku telah terkubur terlalu lama di bawah salju sebelum diselamatkan. Kedua tanganku menjadi setengah mati. Bahkan tangan kanan Juan-sama tidak mampu menyembuhkan bagian tubuh yang telah mati.

Meskipun tangan kanannya dapat menyembuhkan sakit atau cedera apapun, tapi ia tak dapat menghidupkan yang telah mati. Setali tiga uang, tangan kanannya tak dapat menyembuhkan organ tubuh yang telah mati.

Meskipun begitu, karena tangan kanannyalah, aku tidak sampai kehilangan seluruh bagian tanganku.

Aku tak dapat menggerakkan jemariku dengan bebas, tapi aku dapat menggerakkannya sedikit demi sedikit. Menahan sesuatu dengan lenganku juga tak sulit setelah terbiasa.

Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini.

Namun—

"Maafkan aku. Kalau saja aku bisa menemukanmu lebih awal…"

Kadang-kadang, beliau akan menangkupkan kedua tangannya di tanganku dan mengelusnya dengan lembut.


Hanya ketika itulah, aku berharap aku masih bisa merasakan sentuhan itu di tanganku.

Tsukumodo V1 P103.jpg

Sebelumnya kubilang bahwa tangan kanannya adalah tangan dewa, tapi sejatinya aku tak percaya akan adanya Tuhan.

Kalau Tuhan tak bisa menyelamatkan satu desa dari wabah atau menyelamatkan satu anak dari mati kelaparan di alam liar, maka tak penting apakah ia ada atau tidak. Dan jika keberadaannya tak penting, maka mungkin juga Tuhan itu tidak ada.

Dan bagiku, Juan-sama adalah Tuhan.

Kalau ia, orang yang menyelamatkan satu desa dari wabah dan menyelamatkan satu anak dari mati kelaparan di alam liar, bukanlah Tuhan, lalu dia itu apa?

Tapi ketika aku mengatakan hal ini kepadanya, dia menegurku dan berkata bahwa aku tak boleh mengatakan hal-hal semacam itu.

Dan sejak saat itu, aku tak pernah mengatakannya lagi, meski aku terus menerus memikirkannya.

Suatu hari, aku menanyakan bagaimana tangan kanannya bisa menyembuhkan orang sakit.

Ternyata, semuanya diawali dengan suatu mimpi.

Saat itu, tangannya terluka karena terkena paku berkarat, dan badannya demam tinggi setelahnya, membuatnya berada di ujung kematian selama beberapa hari. Tapi suatu ketika, Buddha muncul di mimpinya dan menyentuh pipinya dengan tangan kanannya.. Meski berada di dalam mimpi, tapi dia merasa badannya menjadi lebih dingin.

Akhirnya, sebelum pergi, Buddha menyentuh tangan kanannya dan berpesan padanya untuk menyelamatkan orang-orang.

Ketika ia terbangun di hari berikutnya, demamnya sudah menghilang.

Hal pertama yang dia lakukan setelah terbangun adalah menyentuh burung gereja yang sayapnya patah.

Semua orang yakin burung itu tak akan mampu terbang lagi, tapi seketika setelah dia menyentuhnya, burung itu langsung terbang tinggi ke udara.

Saat itulah dia tersadar bahwa Buddha telah memberikan kekuatan pada tangan kanannya.

Saat itu pula, dia memutuskan bahwa menyelamatkan orang adalah tujuan hidupnya.

Dia lalu bepergian dari satu tempat ke tempat lain, membuat keajaiban dan menyelamatkan banyak orang.

Tapi hidup tak berjalan seperti keinginannya.

Kekuatan misteriusnya tidak hanya membawa berkah, tapi membawa serta keraguan dan ketakutan.

Makin banyak orang yang ia selamatkan, makin banyak pula orang yang curiga bahwa kekuatannya juga mengandung suatu kutukan, dan sudah berkali-kali pula ia diusir dari suatu tempat karena orang-orang ketakutan, mengiranya adalah setan dengan samaran manusia. Kalaupun dia nanti diusir dari tempat ini, aku akan mengikutinya, seperti yang sudah kulakukan sebelum-sebelumnya. Aku sudah cukup senang berada bersamanya.

Keinginan untuk meninggalkannya sama sekali tidak terpikirkan olehku.

Tetap saja, kami masih mencari kedamaian.

Orang-orang disini menerima kami.

Aku berharap kami dapat bertahan di tempat ini untuk waktu yang lama.

Aku suka dengan kehidupan disini dan ingin untuk tetap seperti ini.

—Tapi ada satu hal yang membuatku khawatir.

Akhir-akhir ini, tuanku sering batuk-batuk.

Mirip dengan batuk-batuk yang dialami orang-orang desa yang datang untuk minta disembuhkan.

Ketika kukatakan padanya untuk menyembuhkan dirinya sendiri dengan tangan kanannya, ia hanya tertawa dan berkata bahwa aku benar.



Patung itu—satu kata tentangnya—mengerikan.

Cukup sulit mengira-ngira terbuat dari apa patung itu. Walau awalnya nampak seperti besi berkarat, tapi dari sisi lain mirip dengan tembaga yang sudah teroksidasi, atau bahkan tak beda jauh dengan kayu yang sudah lapuk. Warnanya merah tua, tingginya sekitar 50 centimeter, dan cukup tebal sampai-sampai ketika tanganku kutelungkupkan ke patung itu, aku tak bisa menyentuhkan jempolku pada jari-jari yang lain.

Namun, bentuknya adalah pertanyaan yang terbesar buatku. Bentuknya tidak mirip dengan Budha, tapi juga tak serupa dengan bentuk setan. Dengan penampilan yang abstrak, patung itu memberikan impresi yang menyeramkan, seperti melihat wajah di batang pohon atau di dinding. Untuk sementara, kami meletakkan patung itu, yang sangat cocok menjadi pajangan di ruangan seseorang, di kotak kaca di ruang tengah. Sedangkan Saki, yang telah menyentuh langsung patung itu meskipun sudah diperingatkan Towako-san:"Selamat-hachi. Ada yang bisa saya-hachi? Terima kasih-hachi!!"

Dia bekerja sesuai gilirannya, tapi ditambah dengan bersin-bersin, membuatnya nampak tak sehat. Omong-omong, orang yang tadi disambutnya baru sadar kalau dia salah masuk ketika dia membuka pintu, dan langsung membalikkan punggungnya. Durasi kunjungan pengunjung pertama hari itu adalah satu detik.

" Kau sakit?" Tanyaku ketika aku sedang tak melakukan apa-apa.

"Sepertinya begi-hachi. Aku sudah merasa kurang sehat sejak kema-hachi. Tapi sepertinya bukan sesuatu yang serius-hachi." Melihat wajah Saki yang biasanya kaku menjadi berubah-ubah—hanya karena bersin—cukup menghibur juga.

Ketika kita bicara tentang bersin, ada beberapa jenis tergantung dari suaranya. Ada yang ditahan seperti "chi" atau "chu", tapi ada juga yang bertenaga, seperti "Hah-ching!! ". Para ahli menyamakan jenis bersin yang terakhir itu dengan "Bang-sat!! ", tapi jenis bersin seperti itu hanya dilakukan oleh laki-laki, jadi tak perlu kita bahas lebih lanjut.

Tak ada yang peduli dengan cara bersinnya laki-laki, tapi para gadis bisa nampak lebih imut hanya dengan bersin. Omong-omong, cara bersin yang kusuka adalah "hachi".

Karena itu, sepertinya bersinnya Saki oke juga...

"......"

Ketika aku berhenti berpikir karena merasakan tatapan dingin, ternyata Saki memang meberikan tatapan dinginnya padaku.

"Apa?"

"Pasti kau berpikir yang aneh-aneh, kan?"

"Kau bisa menghapus bagian 'yang aneh-aneh' di kalimat itu."

Ternyata, setelah bekerja sama selama setahun ini, dia sudah dapat menebak apa yang kupikirkan.

Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada yang bisa kukerjakan, jadi aku hanya bisa memikirkan hal yang aneh-aneh. Oh…baru saja aku mengakui kalau yang tadi adalah hal yang aneh.

"Kalau Towako-san melihatmu-hachi, melamun-hachi, dia akan memotong gajimu-hachi-hachi!"

"Dia sedang mengurung diri di kamarnya, jadi tak ada masalah."

Sejak tiga hari lalu, Towako-san mengurung diri di kamarnya untuk mempelajari berbagai dokumen terkait dengan patung itu.

Menurut Towako-san, patung itu dapat menyembuhkan penyakit apapun, tapi melihat demam Saki tak sembuh, sepertinya tak ada harapan kesana. Sedangkan cerita lain menyebutkan bahwa patung itu membawa penyakit mematikan. Aku tak pernah dengar ada penyakit mematikan yang dimulai dengan bersin-bersin. Jadi tak ada harapan juga ke arah sana.

Meskipun Towako-san tak mau mengakuinya, semua bukti menunjukkan bahwa barang yang ia beli lagi-lagi palsu.

"Dunia ini masih utuh, kan?"

"Kenapa? Sudah masuk ke fase krisis paruh baya?"

Setelah beberapa lama, Towako-san merayap keluar dari kamarnya dan menepuk pundakku sembari meminum minuman vitamin dengan ekstrak wortel. Rambutnya dikuncir kuda, sepertinya supaya rambut panjangnya tidak mengganggu pekerjaanya, dan matanya setengah tertutup, pasti karena dia kurang tidur. Sepertinya tak lama lagi ia akan punya janggut di dagunya.

" Kau tak benar-benar bisa membicarakan hal lain, kan? Jadi, apa yang kau dapat?"

" Mm… Aku baru mulai membaca, jadi masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan, tapi aku telah menemukan beberapa hal baru."

" Misalnya?"

"Patung itu aslinya adalah benda pujaan di suatu kuil.oleh beberapa orang."

"Benda menjijikkan itu?"

"Patung-patung itu tidak harus berarti Buddha atau Bodhisatva, lho. Ada contoh terkenal dimana orang-orang memuja benda yang dipakai laki-laki di antara kedua kaki mereka itu, kan? Benda-benda itu punya artinya masing-masing, dan itu saja yang penting. "

"Lalu apa makna di balik benda ini?"

"Entah. Tapi ada cerita lain yang lebih menarik, dimana disebutkan bahwa ada pendeta dari kuil itu yang mempunyai kekuatan seperti dewa yang dapat menyembuhkan penyakit apapun dengan sentuhannya."

"Bukankah itu sama saja seperti patung itu?"

"Ada beberapa anekdot juga yang muncul. Suatu hari ada anak kecil yang demam tinggi, tapi langsung sembuh seketika setelah pendeta itu menyentuhnya, atau waktu seorang pria jatuh dari atap dan mematahkan kakinya sendiri. Tapi setelah pendeta itu menyentuhnya, tulangnya menyambung kembali dan ia dapat berjalan lagi. Ah, ya, ada juga yang agak menggelikan: suatu hari kuil itu memberikan sup jamur ke semua warga desa, tapi semua orang yang memakannya keracunan, karena memang jamur itu jamur beracun. Lalu, si pendeta mondar-mandir untuk menyentuh mereka semua, dimana setelahnya mereka kembali normal seperti tak pernah terjadi apa-apa."

"Kedengarannya mencurigakan, bukan? Mirip seperti sekte-sekte aneh itu."

"Ya, membuat seorang pendeta seolah-olah memiliki kekuatan tertentu adalah cara umum yang mereka gunakan untuk mencari anggota. Yang masih membuatku bingung adalah banyaknya anekdot-anekdot ini."

Mataku beranjak ke toko.

Sejauh ini, ketika aku melihat Saki, yang duduk di balik meja kasir, terbatuk-batuk, patung ini sepertinya memang palsu. Mungkin, beberapa hari lagi, akan ada barang baru yang ditambahkan di rak-rak berisi tumpukan barang antik itu.

"Saki, kau bisa istirahat sekarang," kataku, tapi tak ada jawaban dari balik meja kasir. "Saki?"

Ketika aku menepuk punggungnya, dia mengangkat wajahnya dan melihatku dengan mata yang sembab, terkejut. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti karena terbatuk-batuk.

Batuk? Bukannya dia hanya bersin-bersin tadi?

"Saki, kau tak apa-apa?"

"Tak apa," balasnya dengan datar, seperti biasa, tapi langsung terbatuk lagi setelahnya.

Sepertinya demam yang baru saja ia derita menjadi lebih parah.

"Sudahlah, aku ambil alih dari sini, kau istirahat saja di dalam."

Saki terdiam selama beberapa saat, tapi kemudian ia menggumam dengan suara yang sedikit serak, "Baik," lalu berdiri. Ia terhuyung-huyung dan bersandar kepadaku. Dahinya menekan ke dadaku, dan aku bisa merasakannya. Sedikit panas.

"Hei… apa sakitmu separah itu?"

"Cih, jangan bermesraan disini, kalian," kata Towako-san.

Dari tempatnya berdiri, kami pasti terlihat seperti dua orang yang berpelukan.

"Sepertinya demamnya benar-benar parah! Hei, jangan tertidur disini!"

Kutepuk-tepuk pipi Saki untuk membuatnya kembali tersadar. Dengan anggukkan lemah, dia beranjak ke ruang tengah.

"Siapa tahu? Mungkin itu 'penyakit yang tak tersembuhkan' dari patung itu?"

"Gak mungkin," guyonan Towako-san segera kubantah.

"Gak mungkin..."




Batuknya semakin parah akhir-akhir ini. Dahinya juga menjadi sangat panas ketika kusentuh. Beliau mulai menjatuhkan benda-benda yang dipegangnya.

Gejala-gejala yang sama dengan gejala penyakit yang melanda desa ini.

Wabah tahun ini menyebar dengan cepat dan orang-orang yang sakit mengantri di kuil kami sampai tak nampak ujungnya. Juan-sama sibuk menyembuhkan mereka.

Aku yakin Juan-sama lebih memprioritaskan merawat orang-orang itu daripada dirinya sendiri.

Berusaha untuk tetap hormat kepadanya, tak jarang aku memarahinya.

Siapa yang akan merawat orang-orang itu jika terjadi sesuatu padamu?

Semua ini hanya kebohongan buatku.

Aku tak peduli pada desa itu.

Aku hanya tak ingin melihat tuanku menderita.

Tapi Juan-sama benar-benar tak menyembuhkan dirinya sendiri.

Suatu hari, gejala-gejala penyakit yang sama muncul di diriku. Batuk-batuk di tahap pertama benar-benar membuatku tak bisa beristirahat, dan badanku juga demam tinggi. Tak lama kemudian seluruh badanku menjadi mati rasa.

"Kemarilah, aku akan menyembuhkan sakitmu."

Juan-sama memanggilku dan memberikan tangan kanannya.

Tapi, aku menolaknya.

Ia sedikit terkejut.

"Kumohon, tak usah pedulikan diriku ini."

"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?"

"Kumohon, sembuhkan diri tuan terlebih dahulu sebelum saya."

"Aku masih baik-baik saja."

"Baik-baik saja, tuan bilang? Bukankah tuan sendiri terbatuk-batuk? Bukankah badan tuan demam tinggi? Tuan tidak dapat bergerak bebas lagi. Apa tuan pikir saya tidak memperhatikannya?"

"Kau mungkin tak mempercayainya, tapi badanku ini cukup kuat. Sakit ini akan segera hilang. Aku tahu badanku sendiri. Aku lebih peduli kepadamu. Cepat, biarkan aku menyembuhkanmu."

"......"

"Tolong, jangan buat diriku khawatir."

Setelah mendengar kata-kata "khawatir", aku hampir saja segera menurut kepadanya. Aku sama sekali tak ingin membuat Juan-sama khawatir. Aku tak ingin melihatnya khawatir.

Namun, aku tetap menolaknya.

Kalau aku menerimanya, beliau hanya akan menunda penyembuhan dirinya sendiri. Mungkin beliau khawatir hanya bisa menggunakan tangan kanannya dalam jumlah terbatas, dan ragu-ragu untuk menggunakan satu kesempatan saja untuk dirinya sendiri.

Kalau memang benar begitu, maka mau tak mau, aku harus membuatnya menyembuhkan dirinya sendiri.

"Apapun yang tuan katakan, saya tidak akan memperbolehkan tuan merawat diri saya sebelum tuan menyembuhkan diri tuan sendiri."

Setelah menyadari bahwa keputusanku tidak dapat diubah lagi, akhirnya beliau mengatakannya padaku.

Bahwa beliau tak dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan tangan kanannya.



Tiga hari telah berlalu.

Tidak ada tanda-tanda keadaan Saki akan membaik.

Batuk-batuknya masih belum berhenti dan demamnya juga belum turun. Pikirannya juga agak terganggu, sampai-sampai ia tidak dapat mengganti pakaian dengan benar dan sering menjatuhkan sendoknya ketika makan.

"Mm…sepertinya agak gawat," keluh Towako-san ketika dia meninggalkan kamar Saki setelah membantunya mengganti pakaian.

"Dia masih belum sehat?"

"Mm? Ya, benar. Tapi aku khawatir dengan hal lainnya. Tidak ada lagi pakaian ganti…"

"Hah?"

"Ya, soalnya, aku biasanya meninggalkan semua pekerjaan rumah ke Saki. Baju-bajunya yang masih bersih sudah habis. Omong-omong, bajuku juga sudah tak ada lagi yang bersih."

"Kenapa kau belum mencucinya?"

"Aku tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti ini," katanya dengan bangga.

Aku hanya dapat menutup mukaku.

"Bisakah kuserahkan tugas itu kepadamu?"

"Aku menolak."

"Eeh? Jarang-jarang kau mendapat kesempatan mencuci pakaian dua orang wanita, lho. Apalagi disitu juga ada piyama dan pakaian dalam!"

"Aku tetap menolak."

"Sayang sekali..."

"Soal ini, kau tak bisa memaksaku."

"Hmph, terserah kau saja. Saki-chan baru saja bangun, jadi tengoklah sebentar. Tapi jangan tinggal disana terlalu lama, oke?"

Towako-san pergi dengan membawa pakaian kotor Saki, sementara aku masuk ke kamarnya.

Ini bukan pertama kalinya aku masuk ke kamarnya, tapi setiap kali aku masuk, rasanya selalu saja baru buatku. Dengan minimnya furnitur, kamar ini sangat berlawanan dengan toko yang sepertinya sudah terlalu penuh. Yang ada di kamar ini hanyalah sebuah meja, lemari pakaian, dan tempat tidur. Tanpa boneka, tanpa poster.

Dia selalu mengenakan pakaian berwarna hitam, tapi kamarnya dicat warna putih. Dengan keadaan sekarang, rasanya seperti ada dalam bangsal di rumah sakit.

"Kenapa kau melihat-lihat kamar ini seperti itu?" keluh Saki sembari memaksa setengah mukanya keluar dari balik selimut.

"Hanya kepikiran kalau kamarmu benar-benar polos. Apa kau mau kubawakan jam mandrake lain kali?"

"Aku tak butuh benda seperti itu."

"Tentu saja. Aku juga," kataku setelah duduk di kursi di samping tempat tidurnya, tempat dimana sepertinya Towako-san duduk tadi. "Bagaimana perasaanmu?"

"Parah."

"Itu yang kau dapat ketika kau memaksa bekerja meskipun kau sakit."

Suatu handuk pendingin diletakkan di atas dahinya untuk sedikit menurunkan demamnya. Aku sempat berpikir untuk menuliskan "Daging" di atasnya, tapi kubatalkan karena itu adalah lelucon yang sudah kadaluarsa.

Tapi, merasa ada bahaya yang mengancamnya karena tanganku berusaha menjangkaunya, Saki buru-buru merayap menjauh dariku.

"Aku tak akan melakukan yang macam-macam, kok."

"Bukan itu masalahnya."

Saki mengeluarkan mukanya dari balik selimut dan melihat ke arahku.

"Aku belum mandi," dia mengatakannya dengan suara yang sangat lemah aku hampir tak mendengarnya.

"Mm? Tapi sepertinya kau tidak ba…"

Hidungku langsung menghadapi pukulan telak ketika aku mencoba mencium baunya. Energi yang digunakan di pukulan itu jauh lebih besar dari yang kupikir dapat muncul dari orang yang sedang sakit.

"Maafkan aku."

"Untuk apa? Pukulan barusan?"

"Karena tidak bekerja. Aku sudah tidak bekerja selama tiga hari sejauh ini."

Mungkin karena demam membuatnya sedikit melunak, dia jadi bisa meminta maaf dengan cukup sopan.

"Tak perlu bilang begitu. Toh tak ada yang bisa dilakukan di toko."

"Towako-san akan marah kalau dia mendengarkanmu!"

"Tapi dia tidak mendengarku, jadi tak apa."

"Tapi aku bisa mendengarnya, lho."

Aku membalikkan badanku dan melihat Towako-san telah kembali ke kamar Saki tanpa aku mengetahuinya. Dia membawa sebotol air mineral. Setelah melemparkan botolnya padaku, dia berkata padaku untuk menemuinya setelah selesai dan lalu pergi.

"Apa yang kubilang… kau terlalu sembrono!"

Saki mencoba membuka botol plastik yang kuberikan padanya, tapi tak bisa membukanya setelah beberapa kali mencoba. Ternyata ia sama sekali tidak kuat membukanya. Kuambil lagi botol itu untuk membukanya dan lalu kuberikan lagi padanya.

Dia duduk dan menenggak air itu untuk menghilangkan rasa hausnya.

Lalu, aku menyadarinya, dan terkejut, ketika melihat pakaian yang ia kenakan.

"Apa?"

"Tidak, aku baru tahu kalau kau suka memakai pakaian seperti itu."

Saki sedang mengenakan piyama coklat yang terlihat seperti kostum. Kalau ia menarik tudung kepalanya ke atas kepalanya, ia akan nampak seperti tanuki betulan.

"Towako-san tidak punya yang lain… kenapa warnanya tidak hitam?"

"Kau mengeluh masalah warnanya?!"

"Apa lagi?"

"Yah, tapi tak ada tanuki berwarna hitam, kan? Lebih cocok penguin."

"Tidak, perut penguin warnanya putih."

Kenapa kau menolak? Lagipula, perut tanuki juga berwarna putih.

Tsukumodo V1 P119.jpg

Ketika kukatakan itu padanya, dia berkata, "Betul juga. Bodohnya aku."

Sebenarnya tak ada alasan baginya untuk merasa malu, tapi sepertinya keterikatannya dengan warna hitam sama sekali tidak bisa dikompromikan. …Sungguh suatu obrolan yang tidak berguna.

"Ehm, yah, tak usah kita bicarakan lagi piyamamu itu. Pokoknya, kau harus beristirahat! Seharusnya kau akan baik-baik saja besok, aku yakin itu."

"Mm."

Aku tak ingin membuatnya lelah karena aku tinggal terlalu lama, jadi aku putuskan untuk pergi.

"Ah, tunggu." Saki menyetopku.

"Mm? Ada apa lagi?"

" Tidak. Hanya...," ia berbisik ke arah lain dengan suara yang hampir tak bisa kudengar, "......makasih."

Pipinya memerah pasti karena demam.

Untuk menutupi rasa malunya, ia buru-buru menyambar botol air dan minum, tapi sedetik kemudian ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air di atas selimut.

"Tenang, tenang."

Kupikir air yang ia minum masuk ke tenggorokannya. Aku tertawa, namun sesaat setelahnya, sesuatu menyita perhatianku.

Ada bercak merah yang muncul di atas selimutnya.

"Eh?"

Secara refleks, mataku langsung terfokus padanya.

Sesuatu yang berwarna merah menempel di tangan yang menutupi mulutnya.




Juan-sama menceritakan padaku detail-detail mengenai tangan kanannya.

Aku baru tahu bahwa tangannya sebenarnya tidak dapat menyembuhkan penyakit dan cedera, tapi hanya menjadi perantara dimana beliau dapat memberikan daya hidupnya.

Dengan kata lain, jika daya hidup adalah air, maka tangan kanannya adalah gayung untuk mengambilnya.

Daya hidup yang beliau berikan ke orang yang beliau sentuh dapat berubah bentuk menjadi daya hidup orang yang disentuh, sehingga ia dapat sembuh dengan kekebalan alami dirinya sendiri.

Itulah mengapa beliau tidak dapat menghidupkan yang sudah mati, dan kenapa bagian tubuh yang telah mati karena luka bakar atau radang dingin tidak dapat disembuhkan.

Yang mati sudah tak punya daya hidup yang bisa ditiru.

Itulah mengapa Juan-sama tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri.

Besar daya hidupnya tidak akan dapat berubah dengan menuangkannya pada dirinya sendiri.

Saat itulah aku baru sadar bahwa usahanya untuk menyembuhkan orang lain sama saja dengan bunuh diri.

Juan-sama mengatakan padaku bahwa jumlah daya hidupnya terbatas dan hanya membutuhkan makan dan istirahat sehari untuk mendapatkannya kembali.

Beliau memberitahukan padaku bahwa menyembuhkan orang-orang tidaklah sama dengan bunuh diri.

Namun, melakukannya dengan badannya yang melemah tak ubahnya seperti mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.

Setelah aku mengetahui hal ini, aku mulai menolak warga desa yang mencari bantuan tangan kanan Juan-sama.

Aku ingin beliau menjadi sedikit lebih tenang.

Kujelaskan dengan sejelas mungkin keadaan sebenarnya kepada warga desa.

Bahwa Juan-sama terkena penyakit yang sama seperti mereka. Bahwa beliau tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri dengan tangan kanannya. Dan aku juga menjanjikan pada mereka bahwa mereka dapat menemui Juan-sama segera setelah beliau sembuh.

Awalnya, mereka setuju, tapi lama-kelamaan, mereka mulai curiga.

Menduga bahwa kami menahan kekuatan tangan kanan beliau untuk uang semata.

Menduga bahwa kami memprioritaskan orang-orang yang membayar uang dalam jumlah yang besar.

Mereka lupa apa yang telah Juan-sama lakukan pada mereka dan mulai menyebarkan rumor sesuka hati mereka.

Kuputuskan untuk semakin menjauhkan Juan-sama dari warga desa.

Beliaulah satu-satunya yang kupedulikan.

Tentu saja aku tak memberitahukan apapun padanya.

Kuberitahukan padanya bahwa wabah itu sudah lenyap dan warga desa telah sehat walafiat.

Hatiku sakit melihat wajahnya yang berseri ketika beliau mendengar berita itu, tapi kukuatkan diriku sendiri dan terus menerus berbohong kepadanya.

Meskipun beliau sudah lebih tenang, namun kondisi badannya tak kunjung membaik—batuknya tidak berhenti, demamnya juga tak menurun—dan akhirnya, beliau tak mampu makan atau berjalan sendiri.

Suatu hari, tiba-tiba Juan-sama melanjutkan memahat patung Budha dengan tangannya yang sudah sulit digerakkan.

Beliau mengelupas lapisan terluar dari patung yang ia sayangi dengan palu dan pahat.

Ketika aku bertanya mengapa beliau melakukannya, beliau berkata bahwa beliau ingin membuat patung itu semirip mungkin dengan Budha yang ditemuinya di dalam mimpi.

Juan-sama masih menganggap patung itu belum selesai meskipun di mataku, patung itu nampak sangat indah.

Hari demi hari, beliau terus menerus memahat hingga larut malam.

Seperti tak ingin menyia-nyiakan sehari, sejam, semenit, ataupun sedetik, beliau tetap bertahan memahat patung itu.

Beliau terus-menerus bekerja seperti sedang diburu oleh sesuatu.

Aku bahkan tak ingin memikirkan apa yang membuatnya terburu-buru seperti itu.

Beliau tak mendengarkan nasihatku untuk beristirahat.

Beliau terus menerus memaksa dirinya untuk bekerja.

Ada yang berkata bahwa memahat patung Budha adalah cara untuk menunjukkan rasa kepercayaan seseorang terhadap Budha.

Mungkin beliau ingin memohon belas kasih Budha dengan memahat patung Budha saat harapan hidupnya sendiri sudah makin menipis.

Beliau dapat menyelamatkan semua orang, namun tak ada satupun yang dapat menyelamatkannya.

Satu-satunya yang dapat menyelamatkannya adalah Budha.

Apa yang dilakukannya hanyalah suatu bentuk keimanan. Tiap pahatan adalah bukti imannya kepada Budha.

Namun, lama-kelamaan, aku melihat yang beliau lakukan hanyalah mengiris-iris patung Budha itu.

Sepertinya ada yang salah dengan mataku.


Beberapa hari kemudian.

Juan-sama telah menyelesaikan yang beliau kerjakan.

Air muka patung itu tenang, seperti suatu danau yang tak beriak, dan jernih, seperti langit yang tak berawan.

Sama sekali tak nampak terlihat bahwa patung ini dikerjakan dengan terburu-buru.

Hanya setelah melihat patung ini dalam bentuk akhirnyalah, aku baru bisa mengerti bahwa selama ini patung itu masih belum selesai.

Meskipun aku tak berpendidikan, aku juga dapat memahami betapa indahnya patung itu.

Tapi yang membuatku terpana adalah betapa miripnya patung itu dengan Juan-sama.

Juan-sama yang muncul di depan mukaku ketika aku membuka mata setelah nyaris mati kedinginan dan kelaparan.

Beliau pasti tak akan mengakuinya.

Tapi, patung itu, tak lain dan tak bukan, adalah penjelmaan dari Juan-sama sendiri.

Semua tentangnya ada di sana.

Patung itu adalah penjelmaan dirinya sendiri.

—Namun, begitu patung itu telah selesai, beliau sudah tak mampu meninggalkan tempat tidurnya lagi.

Beliau mulai mengeluarkan darah ketika batuk, dan tak jarang aku terkena cipratan darah ketika merawatnya.

Ketika itu terjadi, beliau akan minta maaf karena telah menodai pakaianku, dan berusaha mengelapnya dengan tangan kanannya.

Dengan tangan kanannya, yang terlihat sangat kurus seperti ranting kering.

Aku hanya bisa meneteskan air mata ketika melihatnya lemah tak berdaya.

Makin lama, aku makin tak kuasa melihatnya.

Aku tahu bagaimana menyelamatkan Juan-sama. Tapi aku tak mampu mengatakan sendiri padanya.

Suatu hari, beliau berkata padaku:


"Potonglah tangan kananku."


Aku—

Aku—tak dapat melukiskan kebahagiaanku dengan kata-kata.

Juan-sama memiliki ide yang sama denganku!

Aku sangat gembira, ternyata selama ini beliau memikirkan satu hal yang aku sendiri tak berani katakan.

Kuambil pahat yang beliau gunakan untuk memahat patung, dan kuayunkan ke lengan kanannya. Lagi dan lagi dan lagi dan lagi.

Satu-satunya yang kusyukuri dari penyakit beliau adalah beliau tak mampu merasa sakit lagi.

Setelah kuayunkan pahat itu berkali-kali, akhirnya aku berhasil melepaskan lengan kanannya.

Lalu kuambil potongan lengan itu dan kusentuh Juan-sama dengannya.

Kalau beliau tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri dengan tangan kanannya, aku hanya perlu memastikan bahwa tangan itu bukan miliknya lagi.

Kalau tangan itu bukan miliknya lagi, seharusnya ia dapat sembuh seperti orang lain.

Semoga daya hidupku dapat menggapainya melalui tangan kanan ini.

Selama beliau bisa sembuh, aku tak peduli apa yang akan terjadi padaku.

Setiap tetes hidupku harus menjadi miliknya.


—Namun Juan-sama tak sembuh dari sakitnya.


Kenapa?

Kenapa daya hidupku tak mencapainya?

Salah.

Tak mungkin.

Tangan kanannya seharusnya bisa menyelamatkannya begitu sudah dilepas dari tubuhnya.

Seharusnya tangan kanan ini dapat menyelamatkannya ketika sudah terlepas dari badannya.

Juan-sama melihatku.

Juan-sama mencoba mengatakan sesuatu.

"!!!"

Aku menjerit ketika melihatnya.

Darah mengucur dari bahunya. Daya hidupnya mengalir keluar.

Tergeletak tak berdaya di lantai dengan lengan yang putus dan berkubang dalam genangan darahnya sendiri, beliau melihatku.

Kenapa beliau kehilangan lengan kanannya?

—Karena kupotong lengannya sampai putus.

Kenapa beliau tergeletak tak berdaya di lantai?

—Karena kupotong lengannya sampai putus.

Kenapa beliau sudah tak bernyawa?

—Karena kupotong lengannya sampai putus.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!"

Ketakutan akan apa yang sudah kulakukan, aku bergegas keluar dari kuil.

Apa yang sudah kulakukan?!

Kupikir aku bisa menyelamatkan Juan-sama.

Hanya itu saja yang ada di kepalaku.


—Aku bahkan tak pernah memikirkan kemungkinan cara ini akan gagal.


Aku mencari bantuan dari warga desa.

Tapi karena aku telah menolak permohonan mereka sebelumnya, tak seorangpun mau membantuku.

Mereka justru berteriak ketakutan melihatku yang bersimbah darah. Namun, akhirnya ada satu nenek-nenek yang mau mendengarkan teriakanku. Ia adalah nenek dari anak yang Juan-sama selamatkan beberapa waktu lalu. Tak seperti yang lainnya, ia khawatir pada Juan-sama dan tidak mencurigai apapun ketika Juan-sama sakit dan tidak bisa memberikan bantuannya seperti biasa.

Kubawa ia ke kuil.

Nenek itu terhuyung-huyung melihat pemandangan yang mengerikan.

Di tengah genangan darahnya sendiri, tergeletak tubuh tak bernyawa Juan-sama.

Dan di sisinya, adalah patung Budha yang menjaganya.

Kudekati jasad tuanku dan kurangkul ia dengan lenganku.

Aku menemukan secarik kertas di balik kimononya[1].

Karena aku tak bisa membaca, kuminta nenek tua membacakan isi kertas tersebut.

Tahu bahwa apa yang beliau pikirkan sebenarnya tidak sama denganku, tangisku pecah.

Dan pada hari itulah, aku kehilangan penglihatanku.




"Batuk darah, demam tinggi, dan kesulitan bergerak... sangat mirip," kata Towako-san dengan mimik muka serius.

"Mirip dengan apa?"

"Mirip dengan wabah yang disebutkan di cerita-cerita mengenai patung itu."

"Jika patung itu adalah Relik yang menyebarkan penyakit ini, lalu bagaimana kita bisa menyembuhkan Saki?"

"Aku sendiri belum menemukan kasus dimana penyakit yang diceritakan di kisah patung itu dapat disembuhkan."

"Lalu bagaimana kalau...?" Sudahlah, akui saja. Benda itu bukanlah Relik palsu. Benda itulah yang menyebabkan semua orang yang menyentuhnya terkena penyakit yang tak dapat disembuhkan.

"Jangan menyerah dulu! Aku bilang 'belum'. Aku akan mendalami dokumen-dokumen itu lagi"

"Aku bantu."

Kalau aku tahu hal seperti ini akan terjadi, sudah aku baca habis dokumen-dokumen itu dari tadi.

Setelah berusaha menghilangkan kekhawatiran kalau-kalau kami tak berhasil menyelesaikannya tepat waktu, aku segera membaca dokumen-dokumen yang diberikan Towako-san padaku.

Dokumen-dokumen itu adalah rangkuman dari cerita-cerita dari desa yang ditinggalkan warganya, tempat dimana patung itu ditemukan.

Sepertinya dokumen ini adalah bagian dari penelitian orang yang penasaran dengan cerita dimana ada patung yang bisa menyembuhkan penyakit apapun, atau yang bisa membawa penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Aku mulai dengan satu dokumen yang cukup tua. Di dalamnya terdapat banyak catatan dimana seorang pendeta menyembuhkan warga desa melalui sentuhan tangannya. Meskipun si pendeta itu tidak sampai menghidupkan lagi orang mati, ada banyak sekali cerita omong kosong dimana ia berhasil menyembuhkan sakit ataupun luka. Diantara penyakit-penyakit yang diceritakan disana, ada beberapa kasus dimana penyakit yang disembuhkan memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang diderita Saki..

"Mm?"

Aku membaca beberapa catatan yang aneh.

Menurut catatan-catatan itu, si pendeta terkena penyakit itu dan pergi menyembuhkan dirinya sendiri. Kenapa seorang pendeta yang bisa menyembuhkan penyakit apapun bisa terkena satu penyakit dan harus pergi untuk menyembuhkan dirinya sendiri?

Dari dokumen berikutnya, bahkan si pendeta tidak disebut sama sekali. Ada yang bilang ia meninggal karena penyakit itu, yang lain berpendapat bahwa ia menghilang dari desa itu.

Yang disebut-sebut berikutnya adalah murid pendeta itu dan patung yang lalu menjadi objek yang dipuja di kuil itu.

Dokumen-dokumen ini menyebutkan bahwa kini si murid dengan patunglah yang bepergian menyembuhkan orang-orang.

Tapi di tulisan-tulisan berikutnya, dikabarkan bahwa banyak orang yang meninggal saat wabah itu terjadi karena menyentuh patung itu sudah tak memberikan apa-apa. Orang-orang sudah menganggap patung itu kehilangan kekuatannya.

Di tulisan selanjutnya, keadaannya berbalik, dan orang-orang sehat yang menyentuh patung itu terkena penyakit yang mematikan.

Dari sini, dokumen-dokumen yang tersisa sudah menjadi agak meragukan dan kacau. Isinya hanya tulisan-tulisan yang didasarkan dari cerita-cerita yang beredar di masyarakat saat itu.

Dari yang sudah kubaca sejauh ini, si pendeta tidak punya kekuatan apapun, tapi patung misterius itulah yang memiliki kekuatan, dan si pendeta sepertinya hanya membuat-buat seakan-akan dia bisa menyembuhkan orang-orang hanya dengan sentuhan tangannya.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan si pendeta, tapi muridnya lalu mewarisi patung itu. Sang murid lalu dengan mudahnya menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan mengijinkan mereka menyentuh patung itu..

Sejauh ini baik-baik saja. Masalahnya adalah apa yang terjadi berikutnya.

Kenapa patung itu tiba-tiba berhenti menyembuhkan orang-orang dan justru menularkan penyakit yang mematikan pada mereka?

Mungkin, sejak awal cerita tentang kemampuan patung itu untuk menyembuhkan orang memang cerita bohong?

Atau mungkin kekuatannya berubah?

Atau, jangan-jangan patung itu hanya bisa mengeluarkan kekuatan menyembuhkannya pada keadaan tertentu saja?

Tapi tak ada yang menyebutkan hal-hal seperti ini di dokumen-dokumen itu.

Sial, sedikit lagi Saki akan bisa diselamatkan...!

Salah satu dokumen menampilkan catatan penulis dimana si penulis mencoba menjelaskan masalah ini dengan pendapatnya sendiri. "Patung ini, menurut beberapa orang, memiliki bentuk yang aneh dan abstrak, dan dikatakan sebagai manifestasi dari kebencian dan kutukan. Bahkan, deskripsi ini sesuai dengan penampilan dari benda sesungguhnya. Namun, anehnya, beberapa orang yang lain mengaku bahwa patung ini adalah penggambaran dari Budha yang penuh ketenangan.

Mungkin, patung ini adalah semacam wadah yang berfungsi sebagai pengganti dari orang-orang yang bisa dikenai penyakit. Karenanya, dengan menyerap penyakit dan luka dari orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, patung itu terus menerus tercemar sampai akhirnya bentuknya berubah dari Buddha menjadi seperti setan. Apakah hanya aku sendiri yang berpendapat seperti ini?"

Atau mungkin, seluruh umat manusia berhutang pada patung ini? Mungkin kita hanya bisa mengembalikan keadaan patung itu jika jumlah orang yang mati sama dengan jumlah orang yang telah diselamatkan...?

Aku mendengar suara batuk yang tertahan dari kamar Saki.

Untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang, kumasuki kamarnya.

Gadis yang terbaring di atas tempat tidur nampak sangat pucat meskipun demam sedang melanda tubuhnya. Dia nampak tertidur, tapi kadang kala, badannya terguncang karena batuk-batuk.

Tanganku meraih selimutnya untuk kubetulkan posisinya, tapi tiba-tiba, sesuatu berusaha masuk ke kepalaku.

Penglihatanku nyaris hilang.

Aku tak ingin melihatnya. Aku tak ingin melihat masa depan yang akan muncul dari keadaan ini.

Tapi apa yang kuharapkan tak terjadi.

Aku tak bisa melawan ketika "Penglihatan" sudah aktif.


Suara yang nyaring dan menyakitkan masuk menyerbu kepalaku—


Saki, tergeletak di lantai, melihatku dengan mata penuh kesedihan.

Berharap aku bisa segera terbang ke sisinya, kuambil langkah panjang, namun kakiku nyaris terpeleset.

Di sebelah kakiku, kulihat patung terkutuk itu.

Kutendang patung itu jauh-jauh dan aku bergegas ke sisi Saki..

Matanya setengah tertutup dan nampak sulit difokuskan.

Meskipun matanya tertuju padaku, dia tak bisa melihatku dengan jelas.

Saki membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu.

Yang keluar dari mulutnya bukanlah suara, melainkan darah.

Tetap berusaha mengatakan sesuatu, dia kembali membuka mulutnya yang berdarah-darah.

Namun, kata-katanya tak mampu kudengar, dan dengan mulut yang gemetar, dia——


"Kau... melihat sesuatu?"

"!"

Aku kembali.

Tanpa kusadari, Saki telah terbangun dan matanya tertuju padaku.

Jantungku masih berdetak kencang.

Aku masih dapat menyelamatkannya. Di masa depan yang tadi kulihat, Saki tergeletak di lantai, tapi sekarang dia masih ada di tempat tidurnya. Di masa depan yang kulihat, mata Saki sudah tak fokus, tapi sekarang ia masih bisa melihatku. Matanya sekarang masih fokus. Ia dapat melihatku dengan jelas.

Masa depan bukanlah masa yang sekarang sedang berlangsung.

Masih ada waktu.

Aku tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Tapi tidak sekarang. Pasti tidak sekarang.

"...A-Apakah aku membuatmu terbangun?" Mengabaikan pertanyaannya, tanganku merapikan selimutnya.

"Jawab pertanyaanku. Apa kau melihat sesuatu?"

Aku mengangguk pada pertanyaan yang ia ulang.

"Ya... aku melihat mulutmu yang menganga dengan liur yang mengalir ketika kau tertidur barusan!" Kupaksakan diriku untuk tertawa. Terdengar seaneh mesin tua yang tak pernah dilumasi.

Setelah selesai merapikan selimutnya dan tak tahan berada di kamarnya lebih lama lagi, aku pergi, seakan-akan kabur dari sesuatu.

"Kau adalah pembohong terburuk yang pernah kukenal."

Suaranya yang lirih dan serak terdengar jelas di telingaku.




Aku tak punya waktu untuk berputus asa.

Aku harus meneruskan wasiatnya.

Patung yang telah beliau ukir hingga hari kematiannya.

Patung yang telah beliau titipkan kepadaku.

Patung yang telah mengambil alih kekuatan di tangan kanannya.

Patung yang telah menyatukan kami berdua.

Dengan patung itu, aku harus menyelamatkan orang-orang.

Kuambil patung itu dan pergi dari kuil di kaki gunung.

Aku mampu merasakan pandangan mereka yang penuh kecurigaan.

Tapi tak kuhiraukan pandangan-pandangan itu.

Kutanyakan apakah ada orang yang sakit di desa itu.

Lalu aku diberitahu bahwa ada orang tua yang sakit dan tak bisa beranjak dari tempat tidurnya dan kuputuskan untuk mengunjunginya. Sialnya, anak perempuannyalah yang justru mempersulit. Nampak jelas bahwa dia menyimpan dendam karena aku menolak permintaan bantuannya ketika ia datang ke kuil.

"Aku datang kemari untuk menyelamatkan ayahmu."

"Apa yang bisa kaulakukan? Mana Juan-sama? Panggil beliau!"

"Tenang saja. Patung ini akan menyelamatkan ayahmu. Beliau hanya perlu menyentuhnya saja."

Entah karena kata-kataku barusan membuatnya terpengaruh, atau karena ia merasa sudah tak punya pilihan lagi, ia langsung menyerah dan membawaku ke tempat tinggal mereka.

Suara batuk-batuk dari orang tua itu segera terdengar. Sepertinya ini penyakit yang disebabkan wabah itu juga.

Aku duduk di sisi orang tua itu dan menggenggam tangannya.

Di saat yang sama, batuk-batuknya bertambah keras. Aku bisa merasakan mukaku terciprat oleh sesuatu.

Tak salah lagi, barusan mukaku terciprat darah.

"Maafkan aku. Pasti rasanya sangat tidak mengenakkan. Tapi yakinlah bahwa patung ini akan dapat menyembuhkan anda"

Patung itu kutekankan ke tangannya.

Setelah aku melakukannya, batuk-batuk orang tua itu segera berhenti setelah beliau menarik napas dalam-dalam.

Beliau terduduk seakan-akan tak terjadi apa-apa, dan matanya terbelalak dengan keterkejutan.

Si anak perempuan dan beberapa warga desa yang ikut datang menyerbuku dengan kata-kata pujian dan terima kasih.

Rasanya tak jauh beda dengan ketika kami pertama kali tiba di desa ini, ketika kami menyelamatkan seorang anak kecil.

Tentu, rasanya akan sama.

Karena pada dasarnya hal yang sama kembali terulang.

"Anda telah baik-baik saja sekarang."

"Aah... Ah...!" Orang tua itu mengerang penuh keterkejutan dan beliau buru-buru mengelap darah yang muncrat ke arahku.

"Anda tak perlu mengkhawatirkannya," kuyakinkan beliau.

Beliau menggenggam tanganku dan menyampaikan rasa terima kasihnya lagi dan lagi.

Keheranan melanda warga desa yang datang.

"Apa yang terjadi?"

"Bagaimana ini bisa terjadi?"

"Rasanya nyaris seperti Juan-sama yang menyentuhnya!"

Aku berbalik ke arah mereka dan menjelaskannya:

"Patung ini adalah penjelmaan dari Juan-sama."


Mulai saat itulah aku mendapatkan kembali kepercayaan mereka, sedikit demi sedikit, dengan menyembuhkan orang-orang yang sakit di desa itu.

Aku harus menyembuhkan mereka satu per satu, seperti balasan karena menolak mereka di masa lalu. Berita segera menyebar keluar dari desa itu dan menarik orang-orang dari desa sekitar atau bahkan dari tempat yang lebih jauh lagi.

Tentu aku tak menolak mereka.

Aku menyembuhkan ratusan dan ribuan orang dari luka dan penyakit mereka.

Aku ingin menyelamatkan semua orang yang datang kepadaku.

Seperti yang telah dilakukan tuanku.

Seperti yang tertulis di wasiatnya.

"Tolong! Anakku! Badan anakku terkena demam!"

Hari itu, sekali lagi, seorang warga desa datang kepadaku dan mengetuk pintu kuil.

Anak yang ia gendong bernafas penuh kesakitan dan terbatuk-batuk. Dahi anak itu terasa panas ketika kusentuh.

"Tolong, selamatkan anakku dengan patung itu...!"

"Ikuti aku."

Kuizinkan wanita itu dan anaknya masuk.

Dengan penuh kelegaan, ia masuk ke dalam kuil.

"Patung itu! Dimana patung itu?" tanyanya padaku sembari mencari patung.

Setelah menemukan patung itu yang kuletakkan di atas altar, ia langsung berlari untuk mengambilnya.

"Tunggu!" teriakku.

Wanita itu berhenti dengan muka terkejut.

"Kau tak boleh menyentuhnya sembarangan. Hanya orang yang sakit dan aku yang boleh menyentuhnya."

Patung itu adalah patung yang ditinggalkan Juan-sama untukku.

Aku tak bisa membiarkan siapapun memecahkannya atau mencurinya. Meskipun itu adalah seorang ibu yang putus asa dengan hidup anaknya, aku tetap tak akan membiarkannya menyentuh patung itu sembarangan.

"Maafkan ketidaksopananku."

Kuambil patung itu dari altar dan kembali ke anak itu.

"Anak anda akan segera sehat kembali!"

Kubiarkan anak itu menyentuh patung.

Batuk-batuknya akan berhenti, demamnya akan turun, dan si sakit akan mampu berdiri dan berada dalam kondisi yang benar-benar sehat—seperti biasanya.

Namun, tiba-tiba anak itu terbatuk-batuk dengan keras.

"Gh! Ghh!.... Ghg! Ghgu!... Ugh!"

"?"

Apa yang terjadi?

Kenapa sakitnya tak berhenti?

Kupaksa anak itu menyentuh patungnya sekali lagi.

"...Ueh...uhh! ...Gh, Gh! ...Ghghugh!"

Batuk-batuknya semakin memburuk. Anak itu mulai menghentakkan lengan dan kakinya.

Tidak hanya batuknya semakin memburuk, anak itu mulai batuk berdarah. Aku bisa merasakan darah menempel di muka dan badanku.

"Apa yang terjadi? Ayo! Selamatkan anakku!!" wanita itu berteriak kepadaku.

Saat itu pula, batuk-batuknya berhenti dan begitu pula hentakan anak itu.

Ah, sakitnya sudah hilang.

Ketika aku baru saja berpikir seperti itu—

Wanita itu menangis meraung-raung.


Aku tak tahu apa yang terjadi.

Tapi gosip mulai tersebar di seluruh desa.

Rumor bahwa aku gagal menyelamatkan anak itu.

Tapi, tak semua orang langsung tidak mempercayaiku begitu saja.

Fakta bahwa aku telah menyelamatkan ratusan dan ribuan orang tidak dapat dibalikkan begitu saja dengan satu kegagalan. Tangan kanannya dan patungnya tidak dapat menghidupkan yang sudah mati, dan semua orang mengetahuinya.

Karena itu, dengan anggapan bahwa penyakit anak itu telah berlangsung terlalu jauh, dan anak itu sudah tak dapat tertolong lagi, kasus anak itu segera diabaikan. Atau begitu seharusnya.

Namun, keadannya semakin memburuk.

"Gh, ughhu! .... GH! Gh! Ugh! Geho! Gho!... Ughe!"

Lagi.

Lagi-lagi, seseorang yang menyentuh patung itu tidak sembuh, namun justru menunjukkan gejala yang lebih buruk dari sebelumnya. Ia akan terbatuk-batuk, lalu mengeluarkan darah dan akhirnya mati.

Aku mulai merasakan pandangan-pandangan penuh tanya yang ditujukan kepadaku.

Tapi aku tak mampu menjawab mereka.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada patung itu.

Apa yang mengubahnya?

"Bisakah anda menjelaskannya pada kami?"

Itulah yang pertama kali kudengar ketika menghadapi kepala desa karena panggilannya.

"Di antara orang-orang yang meninggal setelah menyentuh patung itu, memang beberapa sudah tak dapat diselamatkan lagi. Tapi apakah memang itu yang sebenarnya terjadi? Bukankah ada sebagian yang masih dapat diselamatkan?" tanyanya.

"Aku tak..."

Aku tak bisa menjawabnya. Aku hanya bisa terdiam.

"Sudah kukatakan padamu!"

Tiba-tiba, suara entah dari mana memecah keheningan.

Aku mendengar orang-orang bergeser, dan seseorang berdiri di sisiku.

Ia adalah nenek yang mengikutiku ke kuil di hari aku memotong tangan kanan Juan-sama.

"Aku melihatnya sendiri! Aku melihat Juan-sama meninggal! Tapi dia meninggal dengan tidak wajar. Dia dibunuh. Dimutilasi dengan sebuah pahat..."

"Cerita itu lagi? Jangan menyebarkan..."

"Aku tidak berbohong! Aku melihatnya dengan kedua mataku. Yah...? Tak seorangpun mempercayaiku."

Tentu, bagi nenek itu, terlihat jelas bahwa Juan-sama telah dibunuh dengan pahat. Dan ia tentu dengan mudah mengasumsikan bahwa akulah si pembunuh, karena melihat pakaianku yang penuh dengan noda darah.

Ia memberitahu warga desa mengenai hal ini, tapi tak seorangpun mempercayainya karena aku telah menyembuhkan banyak orang.

Tapi kali ini berbeda. Mereka mulai meragukan diriku.

Orang-orang yang berkerumun di belakangnya mulai menyalahkanku:

"Jadi ternyata selama ini nenek itu benar!", "Semua ini adalah kutukan Juan-sama!", "Beliau membalaskan dendamnya kepada kami karena kau membunuhnya!"

Namun, ada beberapa orang yang membelaku:

"Anak kami diselamatkan oleh patung itu!", "Juan-sama tidak akan pernah berpikiran untuk balas dendam!", "Mereka yang mati memang sudah tidak dapat tertolong lagi."

"Sepertinya ada perbedaan pendapat di antara warga desa. Aku sendiri juga ingin mempercayaimu. Tapi, saat ini sudah tak boleh ada keraguan lagi. Aku ingin meminta bukti darimu. Bukti bahwa patung itu memang memiliki kekuatan menyembuhkan. Bukti bahwa memang tidak ada orang yang mati karena patung itu."

"Apakah hidupku sendiri tidak membuktikannya?"

Kuangkat patung itu dengan kedua tanganku.

Kalau beliau memang meninggalkan kutukan, maka kutukannya pasti akan segera membunuhku.

Kalau patung ini memang bisa menghilangkan nyawa seseorang, maka aku akan mati sekarang juga.

Tapi itu tak terjadi.

Bukankah ini adalah bukti nyata bahwa aku sendiri tak mati karena menyentuh patung itu?

"Heh, aku berani bertaruh ada trik yang sengaja kausembunyikan," ejek nenek tua itu.

"Bukankah nenek sendiri juga membaca surat wasiat yang ditinggalkan Juan-sama?"

"Kau sendiri yang menulis surat itu dan menyembunyikannya di pakaian beliau, bukan?" Keraguannya tidak bisa digoyahkan lagi. "Juan-sama adalah orang yang hebat, jelas! Hanya Tuhan yang tahu berapa kali beliau menyelamatkan anak dan cucuku. Aku sempat berpikiran bahwa beliau tak lain dan tak bukan adalah Buddha sendiri!"

Aku pun berpikiran begitu. Tidak, aku bahkan lebih yakin daripada nenek itu.

"Tahukah kau mengenai kisah laki-laki... yang membunuh dewa?"

"?"

"Di suatu masa ketika dewa masih berkuasa di wilayah ini, ada seorang laki-laki yang membantai dewa itu. Pedang yang bersimbah darah dewa itu memperoleh kekuatan misterius, dan laki-laki itu, yang sebelumnya tak bisa menguasai pedang itu dengan baik, tiba-tiba mendapatkan kejayaannya dalam peperangan. Tapi suatu hari, seorang perampok masuk ke rumahnya. Laki-laki itu mengambil pedangnya untuk melindungi keluarganya, tapi pedang itu tidak dapat melukai si perampok. Meskipun di peperangan pedang itu dapat memotong berpuluh-puluh lawan, malam itu si perampok sama sekali tidak tergores kulitnya. Laki-laki itu dan keluarganya akhirnya dibantai oleh perampok itu.

Darah dewa memberikan kekuatan pada pedang itu. Namun dewa tak sedikitpun lupa akan kemarahannya terhadap laki-laki yang membantainya. Ia mendapatkan hukuman dari dewa. Saat dimana ia ingin melindungi orang-orang yang paling berharga baginya—saat dimana pedang itu seharusnya bisa menebas lebih baik dari biasanya—pedang itu mengkhianatinya dan kehilangan ketajamannya.

Tak tahukah kau makna dari kisah ini? Semua ini tak jauh berbeda denganmu!"

"Eh?"

"Kau membunuh Juan-sama dan mengusapkan darahnya ke patung itu, bukan? Apakah kau menginginkan kekuatannya dan ingin menirunya?"

"T-Tidak! Aku tak pernah..."

"Silakan saja kalau kau ingin membantah. Tapi ingat, semua orang yang mati karena patung itu telah membuktikan semuanya! Semua ini adalah kutukan Juan-sama. Tidak... ini adalah hukuman dari dewa! Juan-sama telah menghukummu!"

Nenek tua itu memukul jatuh patung yang sedang kupegang.

"A-Apa yang kau lakukan pada patung yang beliau tinggalkan?!"

"Heh, lihat patung itu. Apa yang dulunya dipahat dengan indah oleh Juan-sama, kini telah menjadi buruk rupa seperti setan! Buka mata, kalian semua. Mau sampai kapan kalian ditipu oleh gadis ini? Juan-sama akan menghukum kalian kalau kalian belum sadar!"

Aku merasakan ketakutan melanda warga desa dan mendengar mereka semua bergerak mundur, menjauh.

"Tolong, seseorang tolong ambilkan patung itu untukku!" Aku berteriak memohon pertolongan mereka, namun tak satupun bersedia mengambilnya.

Tujuh hari setelahnya nenek tua itu meninggal karena penyakit.

Hari itu jugalah aku kehilangan kepercayaan dari warga desa.



Ketika aku telah kembali ke ruang tengah, badanku roboh ke lantai.

Ketika aku menutup mataku, aku kembali mengingat masa depan yang ditunjukkan oleh Penglihatan padaku.

Penglihatan?

Jadi yang tadi itu adalah masa depan yang akan terjadi?!

Oh, tapi aku sendiripun bisa menebak apa yang akan terjadi padanya! Apa gunanya melihat masa depan itu sekarang?

Kenapa hal itu tidak ditunjukkan kepadaku sebelum Saki menyentuh patung itu?!

Pandangan mataku tertuju ke patung itu.

Patung terkutuk yang akan mengambil nyawa Saki.

Patung mengerikan itu hanya terduduk di dalam kotak kaca seakan-akan tak tahu apa yang telah terjadi karenanya.

Tanganku meraih kotak kaca itu.

Mungkin, aku akan melihat masa depan yang lain ketika aku menyentuhnya?

Mungkin, Penglihatan akan menunjukkan kepadaku bagaimana aku akan mati?

Atau, mungkin aku akan mendapatkan petunjuk bagaimana menyelamatkan Saki?

Aku baru saja akan mengenakan sarung tangan ketika tangan seseorang menghentikan tanganku. Towako-san berdiri di sisiku.

"Jangan coba-coba menyentuhnya langsung."

"Aku tak berniat menyentuhnya! Aku hanya berpura-pura, tahu...?"

"Kau bisa mati."

Alasan-alasan yang akan kukatakan berhenti di tenggorokanku ketika aku mulai bisa merasakan betapa beratnya kata-kata barusan. Aku tidak tahu apakah tanganku akan berhenti tanpa peringatan dari Towako-san atau Penglihatanku sendiri.

"Ada kemajuan dari catatan-catatan yang kau baca?" tanyaku.

Towako-san menggelengkan kepalanya.

Aku merasakan tubuhku semakin lemas.

"Tokiya... kenapa kau sampai nyaris melakukan hal bodoh seperti itu?"

Nada suaranya menajam setelah melihatku akan menyentuh patung itu.

"Karena jika aku tak melakukan sesuatu, ia akan..."

"Tapi tetap saja..."

"Karena, lihat, dia..."

Dia, apa? Memang, kami telah melalui berbagai hal, tapi kami baru bertemu tak lebih dari setahun. Sekarang ini kami hanyalah rekan kerja. Itu saja hubungan antara kami berdua.

Tapi perasaanku tidak menyetujuinya.

Aku merasa kami telah saling kenal jauh lebih lama.

Aku merasa bahwa ikatan antara kami berdua jauh lebih dalam.

Tak ada alasan lain.

Aku tak bisa menjelaskannya.

Pokoknya, aku tak pernah berpikir akan kehilangan Saki. Tidak, bukan begitu. Kehilangannya akan membuatku tak berdaya. Hanya memikirkannya saja, tubuhku nyaris rubuh ke tanah, terguncang dengan kehampaan yang tak tertahankan.

Aku tak tahu kenapa.

Tidak rasional, mungkin. Tapi itulah yang sedari tadi diteriakkan oleh perasaanku.

...Namun, aku tetap saja tak tahu harus melakukan apa.

"...Ngh!"

Kubanting patung itu bersama kotak kacanya.

Kotak kacanya pecah berantakan dan patung itu menggelinding di lantai. Lantai ruang tengah dipenuhi oleh pecahan kaca dan kepingan-kepingan kecil yang lepas dari patung itu.

"Jangan lampiaskan kemarahanmu pada Relik. Relik hanya sebuah barang. Ia tidak dapat disalahkan"

"Lalu siapa yang salah?! Saki, karena menyentuhnya?!"

"Tidak," Towako-san menggelengkan kepalanya lagi. "Aku yang salah. Karena akulah yang membawanya kemari."

"......!"

Tak bisa melawan pendapatnya, aku hanya bisa memandangi pecahan Relik di lantai.

"Kau sendiri juga tak mendapatkan apa-apa?" tanyanya.

Aku tak akan berdiam disini jika aku menemukan sesuatu.

"Awalnya yang ingin kucari tahu hanyalah mengenai cerita-cerita yang berlawanan itu...," kata Towako-san dengan nada sedih.

"...Kekuatannya berubah, mungkin?" kataku.

"Aku tak pernah mendengar ada Relik yang kekuatannya berubah. "

Kalau bukan kekuatannya, lalu apa yang berubah dari patung itu?

Kenapa tiba-tiba ia membunuh orang-orang ketika seharusnya menyelamatkannya?

"Apakah... ada masalah...?"

Saki muncul, bersandar pada pintu. Mungkin, dia kemari karena mendengar suara berisik.

Dia masih nampak pucat, dan jelas kesulitan berdiri. Tidak, kata "masih" hanya kata kosong. Jelas-jelas ia nampak lebih buruk daripada sebelumnya.

"Apa yang kau lakukan disini? Jadilah anak baik dan..."

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Saki jatuh terduduk. Ia batuk berkali-kali sembari memegangi dadanya. Aku mulai merasakan hal buruk yang akan terjadi.

Tubuh Saki kolaps ke lantai. Ia mengangkat mukanya dan melihatku dengan mata penuh kesedihan.

"Saki!"

Nyaris terbang, aku segera melompat ke sisinya, namun hampir terpeleset karena sesuatu.

Di sisi kakiku ada patung terkutuk itu.

Aku menendangnya jauh-jauh. Patung itu membentur tembok dan jatuh tepat di depan mata Saki.

"!"

Keringat dingin mengalir di keningku.

Ini semua tak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan "Penglihatan" padaku.

Dari apa yang kulihat, Saki terbaring lemah.

Dia melihatku dengan mata penuh kesedihan.

Aku nyaris terpeleset karena patung itu.

Aku menendang patung itu jauh-jauh.

Semuanya sudah lebih dari sekedar pertanda.

Sama saja. Tidak. Sama saja! Tidak!

Dua suara saling berlawanan muncul di kepalaku.

Aku menggelengkan kepala dan bergegas ke sisi Saki.

Ia terus berusaha untuk berdiri, namun ia masih terbatuk-batuk. Darah mengalir dari tangan yang ia gunakan untuk menutup mulutnya, dan darah itu menetes ke patung.

Sesaat berikutnya ia nyaris rubuh menimpa patung itu, namun aku buru-buru menangkapnya. Aku takut nyawanya akan segera berakhir begitu ia menyentuh patung itu sekali lagi.

Lagi, ia terbatuk, darahnya terciprat ke mukaku.

"...Aku...maaf..."

Saki mencoba menyingkir dariku, hampir jatuh lagi, namun kali ini Towako-san yang menahannya.

"...Segera bersihkan darah di mukamu...mungkin saja akan menular..."

Saki mencoba mengelap darah di mukaku dengan tangannya. Namun, tangannya sendiri sudah bersimbah darah.

"Aku hanya...membuatnya...lebih buruk."

Ia tiba-tiba menurunkan tangannya. Ketika tangannya sudah hampir menyentuh patung itu, Towako-san kembali menahan tangannya. Apakah orang-orang di masa lalu juga mati seperti ini?

Mencari bantuan, namun dikhianati?

Dan apakah orang-orang hanya bisa melihat dan tak berdaya ketika orang-orang yang mereka cintai meregang nyawa?

Saat aku mengangkat kakiku untuk menendang patung itu dari jangkauan Saki, aku melihat darah yang meresap ke patung itu.

"!"

Tidak, aku salah. Darahnya tidak meresap. Darahnya hanya membasahi permukaan patung itu. Hanya saja warna patung itu mirip dengan darah. Sesuatu menarik perhatianku.

"Tokiya?"

Kutinggalkan Saki pada Towako-san dan kuambil patung itu setelah mengenakan sarung tangan. Kuusap darah Saki di patung itu dengan jariku. Darah Saki tersebar merata di permukaan patung itu.

Kali ini warnanya sudah nyaris tak bisa dibedakan, dan bisa dibilang darah Saki sudah menempel ke permukaan patung itu.

Patung itu telah menyelamatkan ribuan nyawa.

Wabahnya dimulai dengan batuk-batuk, dan dilanjutkan dengan demam tinggi, dimana penderitanya akan muntah darah. Berikutnya, si penderita akan lumpuh, metabolismenya melambat, dan lalu ia akan mati.

Berapa kali patung itu disentuh oleh orang sakit yang meminta pertolongan?

"———!"

Towako-san bilang bahwa kekuatan Relik tidak berubah.

Karena itu, aku asumsikan satu dari dua mitos itu adalah bohong belaka.

Tapi bagaimana jika keduanya ternyata tidak salah?

Bagaimana jika kekuatan patung itu bukanlah menyembuhkan atau menimbulkan penyakit, namun sesuatu yang lain, yang membuat dua hal itu bisa terjadi sebagai efek sampingnya?

Jadi jika kekuatannya tidak berubah, lalu apa yang berubah?

Yang disebutkan di dokumen-dokumen adalah:

Patung ini, menurut beberapa orang, memiliki bentuk yang aneh dan abstrak, dan dikatakan sebagai manifestasi dari kebencian dan kutukan. Namun, anehnya, ada juga yang menyebutkan bahwa patung ini adalah penggambaran dari Budha yang penuh ketenangan.

Dengan kata lain:

Kekuatannya tidak berubah.

Penampilannyalah yang berubah.

Ternodai oleh darah yang terinfeksi dari ribuan orang yang terkena wabah penyakit.

Bantingan yang kulakukan pada patung itu telah membuka retakan di sana saini, dan juga membuat sebagian permukaan patung itu terkelupas. Apa yang terlihat di balik permukaan itu adalah—



"———......"

Aku kembali tersadar. Sepertinya, aku baru saja pingsan.

Aku mendengar suara batang kayu yang jatuh di dekatku.

Aku mendengar pilar penyangga yang ambruk dari kejauhan.

Suara-suara itu dan panas yang melanda mulai menandakan padaku bahwa api yang membakar kuil ini tak dapat dihentikan lagi.

Sepertinya mereka memutuskan untuk membakarku hidup-hidup.

Aku tak takut mati.

Justru sebaliknya, aku lebih senang bisa pergi ke tempat beliau berada.

Satu-satunya penyesalanku adalah bahwa aku tak bisa meneruskan wasiatnya.

Di surat yang beliau tinggalkan padaku, beliau memintaku menggantikan tangan kanannya dengan patung itu dan menyelamatkan orang-orang, menggantikannya.

Melakukan apa yang beliau minta, aku menyelamatkan sebanyak mungkin orang.

Tapi, akhirnya, aku tak dapat menyelamatkan mereka, dan justru berakhir mengkhianati beliau. Tidak, aku bahkan dicurigai telah membunuh orang-orang itu.

Aku masih tak mengetahui mengapa patung itu kehilangan kekuatannya, bahkan sampai saat-saat terakhirku.

Yang bisa kupikirkan adalah bahwa semua ini adalah hukuman yang datang dari surga.

Karena ketidakpercayaanku akan Tuhan ataupun Dewa.

Karena kenekatanku untuk menggantikan Juan-sama.

Tapi tetap saja, aku tak pernah berhenti menyelamatkan orang-orang.

Karena menghormati wasiat beliau adalah yang paling utama bagiku, meskipun itu berarti membuat Dewa menjadi musuhku.

Memaksa badanku yang nyaris lumpuh untuk bergerak, aku mencabut papan kayu dari lantai dan mulai menggali lubang.

Mengabaikan tanganku yang terluka, jariku yang berdarah, kuku-kukunya yang patah, aku tetap menggali dengan tanganku yang semakin kaku.

Aku hanya bisa menggali lubang yang kecil, tapi itu cukup untuk melindungi patung itu.

Aku ingin meletakkannya ke dalam suatu kotak atau sejenisnya, tapi sudah tak ada waktu lagi.

Dulu, aku selalu memoles patung ini setiap hari untuk menjaga kilapnya. Beliau selalu senang dengan hasil kerjaku.

Tapi kini patung itu sudah kotor karena tanah. Kotor karena darah yang terciprat kesana karena batukku. Tidak, patung itu telah ternoda jauh-jauh sebelumnya. Patung itu telah dinodai oleh darah-darah yang terciprat dari orang-orang yang sakit. Pasti patung itu telah bersimbah darah yang jumlahnya tak terkira banyaknya.

Tiba-tiba, sesuatu menghantam kepalaku.

Sebagian dari atap kuil telah runtuh. Tapi aku tak merasakan sakit. Justru, suatu sensasi yang aneh menyerangku.

Suatu gambar yang terdistorsi muncul di mataku yang seharusnya tak mampu melihat.

Apa yang aku lihat di gambar ini adalah pemandangan kuil yang terbakar.

Apakah ini adalah permainan nasib belaka?

Karena benturan yang terjadi pada kepalaku, penglihatanku—yang hilang bersamaan dengan meninggalnya tuanku hari itu—kembali untuk sementara waktu.

Jika mungkin, aku ingin penglihatanku tetap gelap, tak terlihat apa-apa.

Aku tak tahan melihat kuil dimana aku dan tuanku tinggal terbakar habis menjadi abu.

Aku tak ingin ini menjadi hal terakhir yang kulihat selama hidupku.

Aku mengalihkan pandanganku dari kuil yang terbakar dan melihat ke patung yang ada di tanganku.

Aku ingin menyimpan wajah patung ini yang mirip dengan wajah beliau ke dalam ingatanku—

—Pikiranku terhenti begitu saja.

Apa ini?

Patung yang ada di tanganku jauh dari patung yang selama ini aku tahu.

Patung yang menunjukkan ketenangan seperti danau yang tak beriak dan jernih seperti langit yang tak berawan telah berubah menjadi gumpalan berwarna merah yang menjijikkan.

Aku langsung tersadar bahwa itu adalah darah.

Darah dari ratusan dan ribuan orang yang diselamatkan, telah menempel di patung itu. Hal ini sebenarnya sudah kupikirkan dari dulu. Aku telah merasa bahwa patung ini akan ternodai oleh darah.

Karena itu, aku selalu memoles patung ini setiap hari sebaik mungkin yang aku bisa.

Tapi karena mataku yang buta dan tanganku yang sudah tak bisa merasakan apa-apa, aku tak bisa membersihkan darah dari patung itu seluruhnya. Darah dari ratusan dan ribuan orang menempel di patung itu entah berapa kali, sampai pada suatu hari, patung itu telah tertutup seluruhnya oleh darah.

Aku mengingat kembali kata-kata nenek tua itu.

Apa yang dulunya dipahat dengan indah oleh Juan-sama, kini telah menjadi buruk rupa seperti setan!

Saat itu, kupikir kata-katanya adalah bohong.

Tapi kini aku tahu bahwa seperti itulah kebenarannya.

Dan kini aku tahu mengapa patung itu berhenti menyelamatkan orang-orang.

Darah yang melingkupi patung itu telah mematikan kekuatan penyembuhannya. Tidak, lebih buruk lagi; darah itu justru menjadi turunan dari penyakit dan membawa kematian untuk orang-orang.

Tanganku kuangkat untuk menghancurkan patung yang menjijikkan itu.

—Tapi aku tak kuasa melakukannya.

Aku tak bisa menghancurkan patung yang beliau buat.

Jika mungkin, aku ingin menghilankan lapisan darah dari patung itu, tapi aku tak punya banyak waktu.

Darah yang menempel di patung itu memang menjijikkan, tapi juga menunjukkan betapa banyak orang yang diselamatkan dengannya.

Setelah mengucapkan syukur dan memohon ampun kepada patung itu dan Juan-sama, aku menguburkannya di lubang yang telah kugali—dengan harapan seseorang akan menemukannya dan mengembalikannya ke keadaan semula suatu hari nanti.

Betapa munafik.

Meskipun aku tak mempercayai Tuhan atau Dewa, aku tetap berharap.

Dan aku hanya bisa berdoa.

Berdoa bahwa seseorang akan meneruskan wasiat beliau dan menyelamatkan orang-orang sebanyak mungkin...



Patung itu—satu kata tentangnya—mengerikan.

Apa yang nampak seperti tembaga yang teroksidasi dan kayu busuk pada pandangan pertama, menyembunyikan kilau emas di baliknya. Yang sebelumnya memberikan impresi yang menyeramkan seperti melihat wajah di pohon atau dinding karena bentuknya yang aneh, ternyata benar-benar mencerminkan Budha di dalamnya.

Lapisan merah yang tersisa dapat dengan mudah dikelupas sedikit demi sedikit. Ketika aku selesai membersihkannya, apa yang nampak di depan mataku adalah sebuah patung yang dapat dijadikan benda pujaan di suatu kuil, meskipun kilapnya sudah sedikit hilang di sana sini.

Ternyata, yang melapisi patung emas itu adalah darah. Darah dalam jumlah yang banyak menempel di permukaan patung dan mengering. Kuasumsikan darah itu adalah darah dari ratusan dan ribuan orang yang menyentuh patung itu untuk menyembuhkan penyakitnya.

Kubawa patung yang telah bersih ke Saki.

Meskipun tak ada yang bisa menjamin kebenaran teoriku, kutekankan patung itu ke gadis yang terbaring lemah di depanku.

Tak lama setelahnya, demamnya turun, nafasnya menjadi lebih tenang, dan batuk-batuknya langsung berhenti.

Dengan menyentuh patung yang telah memberikannya penyakit, ia terbebas dari penyakit yang sama.

Sama seperti kisah-kisah awal mengenai patung itu—


Beberapa hari setelahnya, aku menanyakan padanya, "Jadi, sebenarnya apa kekuatan patung itu?"

"Yah, ini hanya pendapat pribadiku, jadi jangan percaya semudah itu, " katanya memulai penjelasan.

Menurut perkiraannya, bukannya menyembuhkan penyakit dan luka, patung itu menstimulasikan daya hidup seseorang dan kemampuan alami manusia untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Dengan kata lain, ketika patung itu terlapisi oleh darah, ia justru menyebarkan bakteri penyebab penyakit itu dan menginfeksi semua orang yang menyentuhnya, atau memperburuk penyakitnya yang sudah ada.

"Tapi kita tak pernah benar-benar bisa tahu, sih, " tutupnya.

Masih ada banyak pertanyaan yang muncul.

Mengapa sang pendeta dan muridnya tidak mengelap darah yang tersisa? Kemana si pendeta itu pergi? Dan kemana si murid pergi setelah meninggalkan patung ini?

Mungkin, dia kabur karena patung ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya lagi? Mungkin, ia sendiri mati karena patung itu?

Namun, dokumen-dokumen yang ada tidak menjelaskan masalah-masalah itu.

Karenanya, kita hanya bisa membayangkannya saja.

Satu hal yang dikatakan dokumen itu adalah bahwa desa yang diserang wabah penyakit itu sudah tak ada lagi.

Mungkin desa itu sudah ditakdirkan untuk musnah ketika patung itu kehilangan kekuatannya.

"Tapi kisah bahwa patung itu telah menyelamatkan banyak orang adalah fakta, " kata Saki sembari meraih patung yang nyaris saja merenggut nyawanya.

Suatu retakan muncul di patung emas itu, mungkin akibat dari benturan ketika patung itu kubanting.

Retakan yang lurus dan vertikal itu lebih mirip seperti ada celah disana sejak awalnya.

Tiba-tiba, dengan satu suara letupan, retakan itu terbuka makin lebar, makin lebar, dan dalam sesaat, patung itu terbelah dua.

Patung itu bagian dalamnya telah dilubangi dengan pahat atau semacamnya, dan meninggalkan sesuatu yang baru terlihat kali ini.

Ia telah mengkerut, seakan-akan semua daya hidupnya telah terserap—atau kegunaannya telah tercapai.

Lapuk seperti batang kayu yang sudah mati—

Di dalam patung itu terdapat—


Satu tangan kanan.


Catatan Penerjemah:

  1. Suatu pakaian tradisional Jepang.
Balik ke Kebetulan Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Ingatan dan Catatan