Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab2
Bab Dua: Cattleya
Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...
Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.
Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.
Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.
Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...
Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.
“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.
Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.
“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.
Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.
- Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.
“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”
kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.
Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.
“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.
Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.
Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.
“Saito-san! Saito-san!”
Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.
“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”
Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.
Louise membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi dipotong oleh tatapan dari Eléonore. Louise tak bisa apa-apa dan duduk di kursinya seperti ana gadis yang baik. Saito terbelabak-ini kali pertama dia melihat Louise dalam keadaan begini. Dia terlihat sangat patuhs ecara alami di hadapan kakak perempuannya. Dia pasti seorang kakak perempuan yang menakutkan sehingga membuat Louise tampak begitu lemah.
“Oh, Louise sudah besar!”
“Dia tumbuh menjadis emakin dan makin cantik!”
Para penduduk tengah ngobrol di sekitar mereka.
“Sepertinya Nona Eléonore telah ditunangkan, ya kan?” tukas seseorang.
“SHHHH! Jangan berbicara soal itu!” sergah yang lain.
Alis Eléonore mulai mengernyit dan wajahnya menghitam. Suasana penginapan langsung menegang. Disini, jelas sudah bahwa topik pertunangan Eléonore adalah sesuatu yang harus dihindari.
Para jelata yang merasakan keinginan membunuh dari Eléonore tak berani berucap sepatah kata pun. Saito dan Siesta bertukar pandangan. Lalu Siesta dengan sunyi mendekati Saito lalu menggenggam tangannya. Dia ketakutan.
Louise tak menyadari perubahan kakak perempuannya, dan berbicara.
“Eléonore, Eléonore nee-sama...”
“Apa...”
“Selamat atas pertunanganmu!”
Wajah tiap orang jelata terjatuh, dan sebuah desahan dalam dikeluarkan mereka.
Sekali lagi, Louise telah salah membaca suasana dengan sempurna. Tiba-tiba, alis Eléonore naik bersamaan dengan dicubitnya pipi Louise olehnya.
“Ini syyyyaaaakiiit!! Waaahhhhh! Nee-shammaaa!! Meeengapaaa?! Ini syyaakiit Ini syyaakiit Ini syyaakiit!!!”
“kau tak tahu? Kau ngomong meski kau tahu seharusnya kau tidak!”
“Aku tak au pa eng au icalakeng!!”
“Pertunangannya dibatalkan!! B-A-T-A-L!”
“M-mengapa?”
“Siapa tahu> Mengapa kau tak tanya Earl Burgandi? Dia mengatakan soal mencapai batasnya...aku tak dapat mengerti mengapa.”
saito bersimpati penuh terhadap Earl Burgandi ini. Ya. Dapat dimengerti bahwa siapapun yang mendengarkan Eléonore akan segera mencapa “batas” mereka. Eléonore lebih galak dan kasar dibanding Louise. Earl pasti berpikir dia tak punya stamina yang cukup.
Pada akhirnya, karena kecewa dengan batalnya pernikahan, Eléonore lalu meledakkan seluruh amarahnya pada Louise...
Dan dengan itu, ceramah dimulai. Dia menghardik Louise karena menerbangkan atap kendaraan,. Pipi Louise yang ditarik menjadi sangat merah dan bengkak. Secara alami, Saito merasa kasihan pada Louise.
Namun, penghakiman tak berlangsung begitu lama, karena tiba-tiba pintu terbuka dan sealiran pink terbang masuk.
Seorang gadis yang mengenakan baju elegan di sekitar pinggangnya yang kurus dan sebuah topi lebar dengan bulu diatasnya masuk. Dibawah topi adalah sebungkus rambut pink blonde nan halus – persis sama dengan Louise.
Yang mengejutkan, sebentuk wajah manis menyembul dari bawah topi.
Meski dari pandangan pertama sudah jelas dia lebih dewasa, dia terlihat sangat manis. Bentuk wajah cantik itu tak dapat diuraikan. Warna dan cara matanya berbinar pun sama denagn Louise. Menyadari Eléonore, gadis itu menatapnya dengan mata terbelabak.
“Ah! Aku sangat senang bahwa aku menyadari kendaraan asing di luar dan datang kesini untuk menengok, Aku tak menyangka bakal bertemu denganmu! Eléonore nee-sama! Kau kembali?”
“Cattle...ya...” tukas Eléonore
Menyadari kehadiran tamu yang tiba-tiba, Louise menengadah. Melihat Louise, wajah Cattleya memancarkan kebahagiaan yang tercermin juga oleh wajah Louise.
“Kakak!” (sebenarnya lebih suka make bahasa daerah yang nunjuk kakak perempuan langsung, seperti teteh (sunda), uni(minang), dll. ganti aja klo ngerasa ga cocok)
“Louise! Tak mungkin! Kau bukan Louise kecilku lagi! Kau juga kembali!”
Louise bangkit dan melemparkan dirinya ke pelukan Cattleya.
“Sudah lama sekali, kakak!”
Saking tak bisa menahan keharuan, mereka berdua saling memeluk sambil menjerit.
Sepertinya Cattleya adalah kakak Lousie. Dia memiliki warna rambut dan mata yang sama – rasanya bagai melihat Louise yang lebih dewasa. namun wajah Cattleya tampak memiliki penampilan lebih tenang dan damai daripada milik Louise. Aura ketenangan dan kelembutan sempurna dari Cattleya membuat jantung Saito berdegup.
Dia bagai Louise dewasa dengan tambahan kelembutan. Lagipula, sosok cantik dan dadanya juga cocok dengan selera Saito.
Mulut Cattleya setengah menganga saat akhirnya dia menyadari kehadiran Saito.
“Ah, ah, ah , ahah!”
Selama saito berpikir-pikir soal apa maksud “Ah” ini, Cattleya menghampirinya dan menerawangi wajahnya.
“A-A-Apa yang salah?” tanya Saito dengan tegang.
cattleya mulai mengelus wajah Saito dengan lembut. Saito hampir pingsan karena rasanya.
“Kau adalah...kekasih Louise, kan?”
“Huh?!”
Siesta yang berdiri di sebelah saito tiba-tiba membeku. Dia menginjak keras kaki saito. Sekuat tenaga. Saito loncat.
Louise memerah seketika.
“Dia hanya familiarku! Bukan kekasih!”
“Ah...begitu, ya?”
Cattleya tertawa kecil dan membengkokkan kepalanya sambil tersenyum manis.
“Maaf, aku salah. Jangan khawatir soal itu.”
Semuanya menaiki kendaraan Cattleya untuk sisa perjalanan ke kediaman La Vallière. Tentu saja Eléonore tidak mau duduk dengan seorang jelata dan familiar. Tapi saat Cattleya sambil bercanda bilang,” Lebih banyak lebih meriah, kan?” Eléonore dengan enggan setuju meski tetap tak mau mengeluarkan sepatah kata pun.
Namun...bukan hanya Saito dkk yang menumpang di kendaraan besar tersebut.
Raasanyas eperti kebun binatang didalamnya.
Di depan kursi ada harimau yang berbaring telungkup di lantai dan menguap. Louise duduk di bawah di sebelah seekor beruang. Berbagai macam anjing dan kucing betebaran disini dan disana. Seekor ular besar yang terjuntai dari atap muncul tepat di hadapan wajah Siesta dan membuatnya pingsan. Saito berucap ”Kendaraan yang luar biasa...” sambil merawat Siesta yang pingsan.
“Kakak mencintai binatang,” kata Louise.
Meski dia pikir bahwa cinta sejenis ini keterlaluan, Saito tak berucap sepatah kata pun.
“Aku baru saja mendapatkan seekor thrush.”
kata Catteya dengan nada gembira.
“Tunjukkan padaku! Tunjukkan padaku!” Louise melompat-lompat seperti anak kecil.
Eléonore dan yang lainnya bersama-sama mendesah dalam-dalam.
Inilah kehidupan dari 3 kakak beradik perempuan La Vallière yang cantik. Saito membungkuk dalam-dalam penuh simpati pada kakak-kakak Louise.
Louise dan Cattleya terus mengobrol.
Sepertinya Kakak kedua, yang mengenakan pakaian nan manis itu, berteman baik dengan Louise. saat kau melihat dua orang berhubungan baik seperti ini, bahkan perjalanan membosankan seperti ini tak terasa tawar. Siesta sudah tidur lelap di pangkuannya. Di sebelah kiri kendaraan, bukit-bukit membentang. Di kanan – ladang-ladang pertanian terhampar. Karena panen raya tengah berakhir, jerami menggunung disini dan disana. Saat dia menerawangi pemandangan indah ini, mustahil baginya untuk percaya sebuah perang tengah berlangsung. Sambil bersandar di rangka jendela, dia menyesuaikan posisi Derflinger di punggungnya, dan menguap lebar-lebar.
Di Malam nan pekat.
Eléonore mengeluarkan jam saku dari kantongnya dan memastikan waktu.
Sebangun Banteng memasuki sudut pandang, tepat di belakang bukit. Karena tidak ada apa-apa di sekitarnya, ia terlihat lebih besar dari Istana Kerajaan Tristain.
“Apa itu-“ bisik Saito. Louise mengangguk.
Ia terlihat seperti Benteng lainnya. Dikelilingi tembok-tembok nan tinggi dan kali yang dalam. Menara-menara menjulang tinggi di atas tembok. Ini benar-ebnar benteng yang besar dan bagus yang sebenarnya.
Siesta yang terlelap hingga sekarang, terbangun, dan saat menyadari kehadiran benteng, menatapnya dengan mata terbelabak.
“Wow! Luar biasa!”
Pada saat itu, seekor burung hantu raksasa masuk melalui jendela dan mendarat di kepala Saito.
“Selamat datang, Eleonore-sama, Cattleya-sama, Louise-sama.” Burung hantu itu membungkuk untuk menyambut mereka.
“B-B-Bu-burung hantunya ngomong dan membungkuk! M-membungkuk!”. Siesta pingsan lagi. Meski datang dari dunia yang berbeda, Saito tampaknya tak terkejut oleh burung hantu yang berbicara dan tak bergerak. Saito tak terkejut oleh hal-hal semacam ini lagi.
Cattleya tersenyum.
“Dan dimana Ibu?”
“Nyonya tengah menunggu kalian semua di ruang makan.”
“Bagaimana dengan Ayah?”
tanya Louise, tegang.
“Tuan belum kembali.”
Karena anggota paling penting tak ada, Louise bermuka masam tanda tak senang. datang kesini untuk mendapatkan izin ayahnya untuk bergabung dalam perang tiada gunanya tanpa dia.
Disini dapat terlihat pintu gerbang dibelakang kali.
Saat kereta berhenti, suara-suara dari rantai pemegang jembatan gantung dilepaskan dapat terdengar dari kedua patung raksasa berbentuk pos gerbang.
Tiap patung batu paling tidak setinggi 20 kaki. Meski golem-golem ini diciptakan hanya sebagai hiasan gerbang, mereka membuat keseluruhan jembatan gantung terlihat spektakuler.
Begitu jembatan gantungs elesai diturunkan, kereta mulai bergerak lagi, kini menyebrangi jembatan gantung dan menuju bagian dalam.
Keterkejutan Saito soal kemegahan keluarga Louise diperbaharui lagi. Ini benteng raksasa bangsawan.
Saito dkk tiba di ruang makan yang dihiasi begitu mewah dengan mebel-mebel mewah. Meski Siesta langsung menuju tempat para pelayan. Saito diperbolehkan menemani mereka selama makan malam sebagai familiar Louise.
Namun, dia dipaksa menunggu dibelakang kursi Louise. Jadi Saito berdiri sigap di belakang Louise, melihat-lihat meja yang panjangnya 30 kaki.
Meski hanya ada 4 orang yang duduk di kursi selama jamuan, 20 pelayan mengelilingi meja.
dan, meski kini tengah malam, ibu Louise, Duchess de La Vallière, menunggu putri-putrinya untuk tiba di meja makan.
Sang Duchess, yang duduk di meja teratas, memandangi putri-putrinya yang hadir.
Saito bergidik dari tekanan itu. Meski Eléonore memiliki aura kasar dan tinggi yang membuat bulu kuduknya berdiri, ibu Louise ternyata sama juga.
Dan ini hanya kehangatan Ibu terhadap putri-putrinya.
Dia tampak berumur 50-an. Namun, perkiraan ini dibuat dengan menghitung umur kakak tertua. Sebenarnya, dia tak terlihat lebih dari 40. Dia memiliki penampilan nan tajam. warna rambut pink Louise dan Cattleya sepertinya diturunkan dari ibu mereka. Sang duchess mengikat rambut pinknya yang menarik di atas kepa. Dia mengenakan aura memerintah disekitarnya, Saito merasa tertekan.
Louise, meski bertemu lagi dengan ibunya setelah sekian lama, berlaku tegang. Sepertinya Louise hanya mempercayai Cattleya.
“Ibu, kami baru saja kembali.” kata Eléonore; Duchess de La Vallière mengangguk.
Saat ketiga putrinya duduk. Para pelayan membawa hidangan dan makan malam pun dimulai.
Bagi Saito yang berdiri di belakang, waktu berjalan sangat lamban. Tiada kata terucap. Hidangan yang disajikan disini jauh lebih mewah dari bahkan makan malam resmi di akademi. Suara dari ruang makan hanyalah suara dari pisau dan garpu perak.
Louise berucap untuk memecah keheningan ini.
“M-Mama-sama.”
Sang Duchess tak menjawab. Eléonore yang melakukannya.
“Mama-sama! Bilang pada Louise! Anak bodoh ini mengatakan dia hendak pergi ke medan perang!”
Bam! – Louise bangkit sambil memukul meja.
“AKu tidak bodoh! Apa aku terlihat bodoh ketika melamar menjadi kekuatan militer Paduka?”
“Bukankah kau seorang gadis?! Perang adalah urusan lelaki!”
“Itu cara berpikir yang sangat kuno! Kini adalah era dimana lelaki dan wanita diberikan kedudukan yang sama! Jika kedudukan hanya diberikan pada para lelaki di Akademi, bahkan kau, kakak, takkan bisa menjadi ketua peneliti di Akademi!”
Eléonore menggelengkan kepalanya keheranan.
“Apa kau tahu tempat maca apa medan perang itu? Itu bukan tempat dimana wanita dan anak-anak sepertimu bisa pergi.”
“Tapi Yang Mulia mempercayaiku...”
“Kau dipercaya? Kau – Si ‘Zero’?!”
Louise menggigit bibirnya. Henrietta membawaku ke medan perang karena aku dibutuhkan. Aku seorang pengguna “Void”. Namun aku tak bisa mengatakan itu pada keluargaku. Pada akhirnya, Louise tak bisa mengatakan apapun dan terdiam.
Eléonore mencoba untuk terus menceramahi, tapi dipotong oleh duchess yang selama ini diam. Dia memerintah dengan suara tegas,
“Makanlah, Eléonore.”
“T-tapi, Mama-sama...”
“Kita akan bicarakan soal Louise besok, saat bapak kembali.”
Dengan begitu diskusi pun berakhir
Saito tengah berbaring di kasur di ruangan yang dipersiapkan untuknya dan tengah memandangi langit-langit.
Di gudang ini, sebatang sapu bersender pada tembok dan selembar lap berada di kasur. Saito baru saja belajar lagi soal perbedaan antara statusnya dengan Louise. Akhir-akhir ini, mereka tidur di kasur yang sama, hidup di loteng yang sama dan makan dari meja yang sama, namun dia tak dapat merasakan perbedaaan status apapun...
Tapi saat dia bertemu keluarganya, semuanya terasa bagaikan impian tak berdasar.
Louise cantik, kaya. Seorang ningrat, itulah dia.
Saito juga teringat bahwa mereka tak berbicara dengan Louise begitu mereka meninggalkan sekolah. Louise kehilangan keberaniannya karena Eléonore dan tak berbicara terlalu banyak.
Bahkan, dia menerima seluruh ceramah dari keluarganya, seperti seorang pelayan dari tuannya, tanpa mengeluh. Entah mengapa, dia menyembunyikan dirnya yang sebenarnya. Saito merasa kasihan padanya.
Dia bukan siapa-siapa, dia tak punya apapun dengan sistem sosial dunia ini.
Tapi setelah melihat makan malam semacam itu di benteng ini – kau tak bisa tidak membayangkan soal ini, kan? Pikirnya.
Dia merasa dia mempelajari jurang lebar antara dia dan kedudukan Louise.
Dia merasa sedikit galau karenanya...
Tiba-tiba ada ketukan di pintu.
Siapa yang bakal datang ke gudang ini? Pikirnya sambil membuka pintu, hanya untuk disambut senyum malu Siesta yang berdisi di sana.
“Siesta?”
“Y-Yah...Aku tak bisa tidur, jadi aku datang kesini.”
“Eh? Eeeh?”
Saat Saito tengah panik, Siesta memasuki ruangan.
“Meski begitu...bagaimana kau tahu tempatku?”
“Aku menanyai para pelayan soal itu.”
“Begitu ya...”
Siesta duduk di kasur, dan leyeh-leyeh mengayunkan kaki. Entah mengapa wajahnya merah. Saat Saito mencoba berlalu darinya, Siesta mencengkram lengannya menariknya kebawah untuk duduk disampingnya. Lalu dia menyenderkan kepalanya pada bahu Saito, tepat seperti di dalam kereta beberapa waktu yang lalu.
“Siesta?”
Mendengar Saito bertanya, Siesta memandangnya dengan wajah tak berdosa.
“Ini adalah kali pertama aku datang ke Benteng yang begitu megah. Benteng ini benar-benar berliku-liku.”
“Itu hebat.”
“Seorang teman di akademi terus menceritakan soal keluarga La Vallière sebagai salah satu dari lima keluarga paling terpandang di Tristain. Hidup dalamIstana semacam ini, kekayaan, da wajah rupawan...Nona Vallière hanya bisa diiri.”
“Apakah begitu?”
“Ya. Hidupnya sangat nyaman. Dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkan orang, seperti...”
LaluSiesta menatap dalam-dalam wajah Saito.
“...Saito-san.”
“A-Aku bukan miliknya. Aku familiarnya...”
“Aku mengerti.”
Siesta mengatakannya perlahan.
“Eh?”