Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab2

From Baka-Tsuki
Revision as of 10:02, 16 January 2012 by Altux (talk | contribs) (Created page with "Bab Dua: Cattleya Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi... Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab Dua: Cattleya

Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...

Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.

Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.

Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...

Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.

“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.

Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.

“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.

Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.

Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.

“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”

kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.

Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.

“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.

Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.

Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.

“Saito-san! Saito-san!”

Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.

“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”

Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.