Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab2

From Baka-Tsuki
Revision as of 17:44, 22 February 2012 by Altux (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search

Bab Dua: Cattleya

Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...

Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.

Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.

Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...

Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.

“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.

Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.

“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.

Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.

Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.

“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”

kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.

Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.

“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.

Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.

Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.

“Saito-san! Saito-san!”

Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.

“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”

Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.

Louise membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi dipotong oleh tatapan dari Eléonore. Louise tak bisa apa-apa dan duduk di kursinya seperti ana gadis yang baik. Saito terbelabak-ini kali pertama dia melihat Louise dalam keadaan begini. Dia terlihat sangat patuhs ecara alami di hadapan kakak perempuannya. Dia pasti seorang kakak perempuan yang menakutkan sehingga membuat Louise tampak begitu lemah.

“Oh, Louise sudah besar!”

“Dia tumbuh menjadis emakin dan makin cantik!”

Para penduduk tengah ngobrol di sekitar mereka.

“Sepertinya Nona Eléonore telah ditunangkan, ya kan?” tukas seseorang.

“SHHHH! Jangan berbicara soal itu!” sergah yang lain.

Alis Eléonore mulai mengernyit dan wajahnya menghitam. Suasana penginapan langsung menegang. Disini, jelas sudah bahwa topik pertunangan Eléonore adalah sesuatu yang harus dihindari.

Para jelata yang merasakan keinginan membunuh dari Eléonore tak berani berucap sepatah kata pun. Saito dan Siesta bertukar pandangan. Lalu Siesta dengan sunyi mendekati Saito lalu menggenggam tangannya. Dia ketakutan.

Louise tak menyadari perubahan kakak perempuannya, dan berbicara.

“Eléonore, Eléonore nee-sama...”

“Apa...”

“Selamat atas pertunanganmu!”

Wajah tiap orang jelata terjatuh, dan sebuah desahan dalam dikeluarkan mereka.

Sekali lagi, Louise telah salah membaca suasana dengan sempurna. Tiba-tiba, alis Eléonore naik bersamaan dengan dicubitnya pipi Louise olehnya.

“Ini syyyyaaaakiiit!! Waaahhhhh! Nee-shammaaa!! Meeengapaaa?! Ini syyaakiit Ini syyaakiit Ini syyaakiit!!!”

“kau tak tahu? Kau ngomong meski kau tahu seharusnya kau tidak!”

“Aku tak au pa eng au icalakeng!!”

“Pertunangannya dibatalkan!! B-A-T-A-L!”

“M-mengapa?”

“Siapa tahu> Mengapa kau tak tanya Earl Burgandi? Dia mengatakan soal mencapai batasnya...aku tak dapat mengerti mengapa.”

saito bersimpati penuh terhadap Earl Burgandi ini. Ya. Dapat dimengerti bahwa siapapun yang mendengarkan Eléonore akan segera mencapa “batas” mereka. Eléonore lebih galak dan kasar dibanding Louise. Earl pasti berpikir dia tak punya stamina yang cukup.

Pada akhirnya, karena kecewa dengan batalnya pernikahan, Eléonore lalu meledakkan seluruh amarahnya pada Louise...

Dan dengan itu, ceramah dimulai. Dia menghardik Louise karena menerbangkan atap kendaraan,. Pipi Louise yang ditarik menjadi sangat merah dan bengkak. Secara alami, Saito merasa kasihan pada Louise.

Namun, penghakiman tak berlangsung begitu lama, karena tiba-tiba pintu terbuka dan sealiran pink terbang masuk.

Seorang gadis yang mengenakan baju elegan di sekitar pinggangnya yang kurus dan sebuah topi lebar dengan bulu diatasnya masuk. Dibawah topi adalah sebungkus rambut pink blonde nan halus – persis sama dengan Louise.

Yang mengejutkan, sebentuk wajah manis menyembul dari bawah topi.

Meski dari pandangan pertama sudah jelas dia lebih dewasa, dia terlihat sangat manis. Bentuk wajah cantik itu tak dapat diuraikan. Warna dan cara matanya berbinar pun sama denagn Louise. Menyadari Eléonore, gadis itu menatapnya dengan mata terbelabak.

“Ah! Aku sangat senang bahwa aku menyadari kendaraan asing di luar dan datang kesini untuk menengok, Aku tak menyangka bakal bertemu denganmu! Eléonore nee-sama! Kau kembali?”

“Cattle...ya...” tukas Eléonore

Menyadari kehadiran tamu yang tiba-tiba, Louise menengadah. Melihat Louise, wajah Cattleya memancarkan kebahagiaan yang tercermin juga oleh wajah Louise.

“Kakak!” (sebenarnya lebih suka make bahasa daerah yang nunjuk kakak perempuan langsung, seperti teteh (sunda), uni(minang), dll. ganti aja klo ngerasa ga cocok)

“Louise! Tak mungkin! Kau bukan Louise kecilku lagi! Kau juga kembali!”

Louise bangkit dan melemparkan dirinya ke pelukan Cattleya.

“Sudah lama sekali, kakak!”

Saking tak bisa menahan keharuan, mereka berdua saling memeluk sambil menjerit.

Sepertinya Cattleya adalah kakak Lousie. Dia memiliki warna rambut dan mata yang sama – rasanya bagai melihat Louise yang lebih dewasa. namun wajah Cattleya tampak memiliki penampilan lebih tenang dan damai daripada milik Louise. Aura ketenangan dan kelembutan sempurna dari Cattleya membuat jantung Saito berdegup.

Dia bagai Louise dewasa dengan tambahan kelembutan. Lagipula, sosok cantik dan dadanya juga cocok dengan selera Saito.

Mulut Cattleya setengah menganga saat akhirnya dia menyadari kehadiran Saito.

“Ah, ah, ah , ahah!”

Selama saito berpikir-pikir soal apa maksud “Ah” ini, Cattleya menghampirinya dan menerawangi wajahnya.

“A-A-Apa yang salah?” tanya Saito dengan tegang.

cattleya mulai mengelus wajah Saito dengan lembut. Saito hampir pingsan karena rasanya.

“Kau adalah...kekasih Louise, kan?”

“Huh?!”

Siesta yang berdiri di sebelah saito tiba-tiba membeku. Dia menginjak keras kaki saito. Sekuat tenaga. Saito loncat.

Louise memerah seketika.

“Dia hanya familiarku! Bukan kekasih!”

“Ah...begitu, ya?”

Cattleya tertawa kecil dan membengkokkan kepalanya sambil tersenyum manis.

“Maaf, aku salah. Jangan khawatir soal itu.”

Semuanya menaiki kendaraan Cattleya untuk sisa perjalanan ke kediaman La Vallière. Tentu saja Eléonore tidak mau duduk dengan seorang jelata dan familiar. Tapi saat Cattleya sambil bercanda bilang,” Lebih banyak lebih meriah, kan?” Eléonore dengan enggan setuju meski tetap tak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Namun...bukan hanya Saito dkk yang menumpang di kendaraan besar tersebut.

Raasanyas eperti kebun binatang didalamnya.

Di depan kursi ada harimau yang berbaring telungkup di lantai dan menguap. Louise duduk di bawah di sebelah seekor beruang. Berbagai macam anjing dan kucing betebaran disini dan disana. Seekor ular besar yang terjuntai dari atap muncul tepat di hadapan wajah Siesta dan membuatnya pingsan. Saito berucap ”Kendaraan yang luar biasa...” sambil merawat Siesta yang pingsan.

“Kakak mencintai binatang,” kata Louise.

Meski dia pikir bahwa cinta sejenis ini keterlaluan, Saito tak berucap sepatah kata pun.

“Aku baru saja mendapatkan seekor thrush.”

kata Catteya dengan nada gembira.

“Tunjukkan padaku! Tunjukkan padaku!” Louise melompat-lompat seperti anak kecil.

Eléonore dan yang lainnya bersama-sama mendesah dalam-dalam.

Inilah kehidupan dari 3 kakak beradik perempuan La Vallière yang cantik. Saito membungkuk dalam-dalam penuh simpati pada kakak-kakak Louise.

Louise dan Cattleya terus mengobrol.

Sepertinya Kakak kedua, yang mengenakan pakaian nan manis itu, berteman baik dengan Louise. saat kau melihat dua orang berhubungan baik seperti ini, bahkan perjalanan membosankan seperti ini tak terasa tawar. Siesta sudah tidur lelap di pangkuannya. Di sebelah kiri kendaraan, bukit-bukit membentang. Di kanan – ladang-ladang pertanian terhampar. Karena panen raya tengah berakhir, jerami menggunung disini dan disana. Saat dia menerawangi pemandangan indah ini, mustahil baginya untuk percaya sebuah perang tengah berlangsung. Sambil bersandar di rangka jendela, dia menyesuaikan posisi Derflinger di punggungnya, dan menguap lebar-lebar.

Di Malam nan pekat.

Eléonore mengeluarkan jam saku dari kantongnya dan memastikan waktu.

Sebangun Banteng memasuki sudut pandang, tepat di belakang bukit. Karena tidak ada apa-apa di sekitarnya, ia terlihat lebih besar dari Istana Kerajaan Tristain.

“Apa itu-“ bisik Saito. Louise mengangguk.

Ia terlihat seperti Benteng lainnya. Dikelilingi tembok-tembok nan tinggi dan kali yang dalam. Menara-menara menjulang tinggi di atas tembok. Ini benar-ebnar benteng yang besar dan bagus yang sebenarnya.

Siesta yang terlelap hingga sekarang, terbangun, dan saat menyadari kehadiran benteng, menatapnya dengan mata terbelabak.

“Wow! Luar biasa!”

Pada saat itu, seekor burung hantu raksasa masuk melalui jendela dan mendarat di kepala Saito.

“Selamat datang, Eleonore-sama, Cattleya-sama, Louise-sama.” Burung hantu itu membungkuk untuk menyambut mereka.

“B-B-Bu-burung hantunya ngomong dan membungkuk! M-membungkuk!”. Siesta pingsan lagi. Meski datang dari dunia yang berbeda, Saito tampaknya tak terkejut oleh burung hantu yang berbicara dan tak bergerak. Saito tak terkejut oleh hal-hal semacam ini lagi.

Cattleya tersenyum.

“Dan dimana Ibu?”

“Nyonya tengah menunggu kalian semua di ruang makan.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

tanya Louise, tegang.

“Tuan belum kembali.”

Karena anggota paling penting tak ada, Louise bermuka masam tanda tak senang. datang kesini untuk mendapatkan izin ayahnya untuk bergabung dalam perang tiada gunanya tanpa dia.

Disini dapat terlihat pintu gerbang dibelakang kali.

Saat kereta berhenti, suara-suara dari rantai pemegang jembatan gantung dilepaskan dapat terdengar dari kedua patung raksasa berbentuk pos gerbang.

Tiap patung batu paling tidak setinggi 20 kaki. Meski golem-golem ini diciptakan hanya sebagai hiasan gerbang, mereka membuat keseluruhan jembatan gantung terlihat spektakuler.

Begitu jembatan gantungs elesai diturunkan, kereta mulai bergerak lagi, kini menyebrangi jembatan gantung dan menuju bagian dalam.

Keterkejutan Saito soal kemegahan keluarga Louise diperbaharui lagi. Ini benteng raksasa bangsawan.

Saito dkk tiba di ruang makan yang dihiasi begitu mewah dengan mebel-mebel mewah. Meski Siesta langsung menuju tempat para pelayan. Saito diperbolehkan menemani mereka selama makan malam sebagai familiar Louise.

Namun, dia dipaksa menunggu dibelakang kursi Louise. Jadi Saito berdiri sigap di belakang Louise, melihat-lihat meja yang panjangnya 30 kaki.

Meski hanya ada 4 orang yang duduk di kursi selama jamuan, 20 pelayan mengelilingi meja.

dan, meski kini tengah malam, ibu Louise, Duchess de La Vallière, menunggu putri-putrinya untuk tiba di meja makan.

Sang Duchess, yang duduk di meja teratas, memandangi putri-putrinya yang hadir.

Saito bergidik dari tekanan itu. Meski Eléonore memiliki aura kasar dan tinggi yang membuat bulu kuduknya berdiri, ibu Louise ternyata sama juga.

Dan ini hanya kehangatan Ibu terhadap putri-putrinya.

Dia tampak berumur 50-an. Namun, perkiraan ini dibuat dengan menghitung umur kakak tertua. Sebenarnya, dia tak terlihat lebih dari 40. Dia memiliki penampilan nan tajam. warna rambut pink Louise dan Cattleya sepertinya diturunkan dari ibu mereka. Sang duchess mengikat rambut pinknya yang menarik di atas kepa. Dia mengenakan aura memerintah disekitarnya, Saito merasa tertekan.

Louise, meski bertemu lagi dengan ibunya setelah sekian lama, berlaku tegang. Sepertinya Louise hanya mempercayai Cattleya.

“Ibu, kami baru saja kembali.” kata Eléonore; Duchess de La Vallière mengangguk.