A Simple Survey (Indonesia):Jilid 2 Arena06

From Baka-Tsuki
Revision as of 12:33, 2 October 2016 by Properparadox (talk | contribs) (Created page with "==Arena 06: Grand Slam Home Run== Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku adalah tipe orang yang bisa melakukan apapun kalau aku memfokuskan diriku padanya. ''Batting a...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Arena 06: Grand Slam Home Run[edit]

Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku adalah tipe orang yang bisa melakukan apapun kalau aku memfokuskan diriku padanya.

Batting average[1]-ku mencapai .31. Aku bisa memukul dengan tangan kanan dan tangan kiri, keunggulan yang lumayan memberi tekanan pada pitcher lawan.

Tapi baseball adalah permainan tim.

Beberapa pemain idiot yang kesal karena selalu dicadangkan mabuk-mabukan dan mengamuk di tengah pertandingan, dan membuat kami kehilangan kesempatan bermain di kejuaraan nasional. Kalau bukan karena itu, aku yakin aku akan mendapatkan kesempatan sempurna untuk menarik perhatian para pencari bakat.

Apakah menurutmu aku harus menerima hukuman itu dan menunggu kesempatan di tahun berikutnya?

Awalnya, aku juga berpikiran seperti itu.

Tapi kesabaranku habis ketika salah satu dari pemain cadangan idiot itu tertawa terbahak-bahak dan berkata padaku:

“Heh heh. Tak usah berharap banyak. Aku akan kembali membuat masalah di tahun depan untuk mengacaukan kesempatan kalian. Dan aku akan kembali melakukannya di tahun-tahun berikutnya, selama aku bisa. Melihatmu menggertakkan gigi seperti itu benar-benar membuatku bahagia.”

Lalu aku memukulnya, lagi dan lagi, dengan pemukul logam.

Ternyata, memukul kepala orang bunyinya tidak sama dengan memukul bola.

Kupikir isi kepalanya kosong melompong, tapi rupanya aku salah.

Jadi, akan seperti apa menurutmu, 50 pukulan ke seluruh tubuhnya?

Jujur saja, kupikir aku masih belum cukup banyak melakukannya. Aku selalu menyesal aku berhenti disitu saja.

“Baiklah, ayo kita mulai permainannya.”

Aku ada di dalam suatu stadion berkubah.

Seorang gadis kelinci berdiri di tempat pitcher.

Aku yang dulu pasti akan langsung mengejarnya sambil mengayunkan pemukulku ketika aku melihat seorang amatiran berdiri di sana tanpa memakai sepatu yang sesuai.

“Kita akan memakai ini!” si gadis kelinci menepuk-nepuk mesin besar yang ada di sisinya. “Jeng jeng! Ini adalah mesin pelontar bola. Mesin ini adalah salah satu model yang paling baru. Ia mampu melemparkan bola fastball[2] dengan kecepatan maksimum hingga 180 km/jam, dan mesin ini juga dapat melakukan curveball[3], forkball[4], sinkers[5], dan sliders[6].”

“…”

“Aku akan melemparkan 10 bola. Kalau kau dapat melakukan setidaknya satu home run[7], kau akan memenangkan permainan ini. Sebagai hadiahnya, kau akan diberikan hak untuk bermain di turnamen baseball umum nonprofesional. Dari sana kau bisa berusaha untuk menarik perhatian pencari bakat dari 12 tim baseball profesional.”

Seorang pemukul dapat membalikkan keadaan dengan satu pukulan.

Meskipun ia sudah mendapat dua strike dan terus-menerus mengalami foul[8], ia akan menjadi pahlawan kalau ia bisa memukul satu kali home run.

Permainan ini juga seperti itu.

Tentu saja, kesempatan bagus seperti itu tak akan datang tanpa risiko.

Lagipula, aku adalah orang yang dicari-cari polisi.

“Kalau kau gagal mendapat satu home run dalam 10 kesempatan itu, siku kanan dan lutut kirimu akan dihancurkan dengan palu. Tentu saja, tanpa anestesi. Tapi biasanya kami membunuh pemain yang gagal, jadi itu sebenarnya bisa dibilang guyonan kami saja.”

“Penasaran saja, kenapa kalian tak menggunakan hukuman yang biasanya?”

“Karena yang ini lebih menyenangkan,” kata si gadis kelinci, tersenyum.

Seleranya benar-benar menjijikkan.

Dengan pemukul logam di tangan, aku melangkah ke batter’s box[9].

Hidupku sebagai pemain baseball dipertaruhkan di permainan ini.

Tapi hidupku juga akan berakhir kalau aku menolak mengikuti permainan ini. Aku hanya ingin bermain satu kali lagi. Aku tak peduli betapa absurdnya penyelenggara permainan ini; aku ingin mempertaruhkan hidupku pada satu permainan yang benar-benar serius dan memaksaku melakukan yang terbaik.

“Ini adalah Stadion Kubah Rakyat yang baru saja selesai dibangun. Para pemain pro akan senang bermain di sini. Seperti apa rasanya berdiri di panggung impianmu?”

“Aku akan berdiri di sini lagi, untuk permainan yang sebenarnya, suatu hari nanti. Dan aku akan mencapainya tanpa bantuan orang lain.”

Jarak ke batas luar lapangan sekitar 100 meter di sisi kiri dan kanan, sedangkan jarak ke batas lapangan di tengah sejauh 115 meter.

Ini adalah stadion berkubah, jadi aku tak perlu khawatir tentang angin.

Si gadis kelinci sudah mengatakan bahwa mesin pelempar itu adalah model yang paling baru, dan bisa melempar dengan gaya yang berbeda-beda, tapi aku tak khawatir tentang itu.

Mesin pelempar mempunyai satu kelemahan tertentu.

Yang perlu kuperhatikan adalah…

“Oh, kalau lemparannya keluar dari zona strike hingga dianggap ball, lemparan itu tak dihitung[10]. Silahkan biarkan saja kalau terjadi ball.”

“Ya, tapi aku tak ingin badanku terkena bola dari mesin itu terus-menerus.”

“Begini saja, kalau bola lemparan mesin ini mengenai badanmu tiga kali secara berurutan, aku sendiri akan melemparnya. ...Tapi jangan mengenakan badanmu ke bola dengan sengaja, oke?”

Suara yang muncul dari mesin itu jauh lebih keras daripada yang kuduga.

Aku bisa mendengar bola baseball dimasukkan ke tabung dari mesin pelempar itu.

Gulungan tebal yang menempel di dua sisi bola itu memberikan energi kinetik yang besar sehingga bola bisa terlempar dengan kecepatan yang tinggi.

Ah…!!!???

Aku mendengar suara yang keras dan tajam.

Aku berusaha untuk mengayun tongkat pemukul sekuat mungkin, sesuai dengan arah datangnya bola, tapi tiba-tiba pergelangan tanganku terasa nyeri. Bukannya melaju ke depan, namun bola yang kupukul terbang melenceng ke belakang, membentur jaring di belakangku.

“Baiklah, lemparan pertama gagal.”

“Gh…”

Si gadis kelinci tidak menggunakan trik curang atau mengubah waktu lemparan.

Yang barusan tadi adalah fastball lurus dengan kecepatan maksimum yang bisa dilepaskan mesin itu.

180 km/jam.

Kekuatan mesin yang luar biasa menghasilkan lemparan yang tak bisa ditiru pitcher manusia dengan mudah. Bahkan di Major League, pitcher yang dapat melempar hingga kecepatan 160 km/jam sudah dianggap sangat hebat. Ia bisa menebakku dengan begitu mudah.

“Wow. Kau berhasil memukul bola dengan kecepatan maksimal. Bolanya memang sedikit melenceng karena kekuatannya terlalu besar. Tapi pukulanmu nyaris saja tidak menyentuh bolanya.”

“…”

“Oh? Apakah si pemain jenius mulai khawatir?”

“…Tidak.”

Aku tersenyum. Sedikit, memang, tapi aku masih bisa tersenyum.

Tanganku yang terasa perih kukepalkan dan kubuka beberapa kali, lalu kugenggam erat-erat tongkat pemukul sekali lagi.

“Aku sudah mendapat informasi yang bagus untuk memulai permainan ini.”

Aku tak perlu panik. Entah berapa kalipun aku gagal, aku akan menang kalau berhasil memukul home run di lemparan terakhir.

Lemparan optimum.

Setiap lemparan sebelumnya hanya sekedar persiapan untuk itu. Bahkan di pertandingan sebenarnya, dengan tiga ball dan dua strike, lemparan terakhir dapat mengubah segalanya. Dan lemparan pertama tadi adalah pelajaran yang baik buatku.

“Baiklah, waktunya lemparan kedua. Bersiaplah.”

Si gadis kelinci yang tersenyum menekan beberapa tombol untuk memberikan instruksi ke mesin pelempar. Dengan suara mesin, "leher" yang akan memuntahkan bola berputar.

Lemparan kali ini akan berbeda.

Mesin pelempar itu adalah mesin yang menembakkan bola menggunakan dua roller yang berkecepatan tinggi. Beberapa jenis lemparan dapat memberikan putaran ke bola sehingga menghasilkan lemparan yang arahnya melengkung.

Dengan kata lain…

Cara terbaik untuk melakukan beberapa jenis lemparan adalah dengan mengatur posisi kedua roller itu. Itulah mengapa bagian "leher" dapat bergerak.

Jadi…

Tidak seperti pitcher sesungguhnya, aku bisa mengetahui jenis lemparan yang akan dilakukan dengan mudah!

Forkball!?”

Bola berputar terlalu cepat, mataku tak dapat mengikuti gerakannya setelah bolanya dilemparkan.

Dari apa yang kulihat di mesin pelempar itu, kuturunkan pandanganku, kujejakkan sepatuku dalam-dalam, dan kuputar pinggangku. Sembari mengatur gerakan tongkatku, hati-hati kugeser berat badanku. Jalur setengah lingkaran dari tongkatku dan lintasan melengkung yang dibuat bola saling berpotongan.

Benturan yang keras terasa di tanganku yang menggenggam tongkat besi.

Pukulan telak.

Kulanjutkan ayunanku.

Sesaat setelahnya, suara dentingan khas tongkat besi terdengar dengan nada yang lebih tinggi dari lonceng.

Bolanya terbang melengkung.

Lengkungannya terlihat mendekati base ketiga, tapi tidak terlalu dekat dan aku tak perlu khawatir akan menjadi foul.

Sesuai kebiasaan, kulepaskan tongkatku dan berlari menuju base pertama, tapi kemudian aku teringat kalau aku sedang ada di tengah permainan homerun.

Apakah ini akhirnya?

Apakah aku berhasil melakukannya?

Tidak!!

“Ahh. Sayang sekali. Bola pukulanmu mencapai garis 85 meter. Lima belas meter lagi!! Lima belas meter dan kau akan mendapat homerun!!”

“…”

Entah 15 meter atau 1,5 milimeter, bola yang tidak mencapai kursi penonton tidak ada artinya di permainan ini.

Tapi aku sudah mulai memahami permainan ini.

Selama bola yang dilempar bukan fastball konyol seperti tadi, aku bisa menangani lemparan mesin itu.

Aku punya delapan lemparan lagi.

Aku masih bisa menang!!


Tapi meski aku sudah yakin dengan diriku sendiri, nyatanya kelima pukulanku berikutnya gagal.

“Bangsat…”

Tapi bukan karena aku gagal memukul lemparan-lemparan yang arahnya melebar dari zona strike. Dan juga bukan karena gadis kelinci itu dengan jahatnya memberikan lima fastball secara berturut-turut.

Aku bisa memukul kelima bola lemparan itu.

Aku memukul bola-bola itu dengan telak. Aku memukul kelimanya dengan ujung tongkatku untuk menghasilkan energi kinetik yang terbesar.

Semuanya terjadi seperti yang telah kuperkirakan.

Kecuali…

“Oh, sayang sekali. Lagi-lagi 90 meter. Tambah kekuatanmu sedikit lagi, dan kau akan mencapai 100 meter.”

“Kau…”

Aku juga sudah memikirkan hal yang sama sebelumnya.

Tapi setelah gagal berkali-kali, jelas sekali ada sesuatu yang tak wajar disini.

Kuayun-ayunkan tongkat di tangan kananku.

Berat dan kekerasannya sepertinya normal. Bisa saja ada sesuatu di dalamnya yang diubah, tapi sepertinya kemungkinannya kecil. Perubahan yang ada di tongkat pasti akan terasa ketika aku memegang dan mengayunkannya.

Yang berarti…

“Kau melakukan sesuatu pada bolanya, kan?! Kau membuatnya lebih lembut dan lebih menyerap energi dibandingkan bola standar baseball SMA!!”

Baik liga baseball profesional atau tingkat SMA, apa yang disebut sebagai bola "standar" bisa berubah sesuai dengan perubahan peraturan. Sedikit perubahan dari material bola dapat mempengaruhi batting average seorang pemain.

Tapi si gadis kelinci hanya tersenyum dan memiringkan kepalanya.

“Oh? Aku tak ingat mengatakan sesuatu tentang bola standar. Bahkan, kalau kita bermain dengan semua aturan aslinya, mesin pelempar ini tak akan dipakai. Kau juga takkan mendapat 10 kesempatan.”

“…”

“Kalau kau ingin menyerah, silakan saja. Tapi itu akan dianggap sebagai kekalahan. Hidupmu sebagai pemain baseball akan berakhir.”

Bangsat.

Apapun yang terjadi, kesempatan ini adalah pilihanku satu-satunya.

Aku tak punya pilihan lain selain bermain dengan aturan gadis kelinci ini. Aku tak yakin ada cara lain untuk menang, tapi aku harus menemukan jalan lain untuk membalikkan anggapan itu.

Apakah ada cara lain yang bisa kupakai?

Aku perlu homerun untuk memenangkan permainan ini.

Tapi aku tak bisa mencapai garis 100 meter di sisi terluar lapangan dengan bola-bola itu.

Aku butuh sesuatu untuk menaklukkan fakta itu.

Kalau aku hanya berusaha memukul bola yang dilemparkan mesin itu seperti biasa, bolanya takkan bisa melewati dinding terluar. Aku harus mendapatkan homerun tanpa melewati garis 100 meter itu. Apakah ada celah seperti itu di aturannya?

Kuingat-ingat lagi pukulan-pukulanku sebelumnya. Kubayangkan jalur yang dilalui bola-bola yang kupukul. Tidak ada bola yang sia-sia di baseball. Hasil dari setiap lemparan membuat permainan mengalir. Ada begitu banyak informasi yang tersembunyi di baliknya. Aku tak bisa menyerah sekarang. Aku harus bisa menyelesaikannya. Tidak ada informasi lain yang lebih penting untuk seorang batter.

“…Tunggu.”

Mataku menatap lurus ke depan.

Ada sesuatu.

Tempat ini mengingatkanku pada sesuatu.

Bukan suatu situasi yang hanya muncul dalam teori dan aturan. Aku pernah mendengar pemukul profesional melakukannya di masa lalu, sesuatu yang menimbulkan perdebatan dengan wasit.

“Bagaimana? Apakah kau akan menyerah?”

“Tidak.”

Aku menatap ke depan sekali lagi, ke arah si gadis kelinci. Kuangkat tongkatku ke arahnya.

Kuangkat hingga ia bisa melihat ujung tongkatku.

Bahkan anak SD juga tahu apa maksudnya. Apa maksud dari yang kulakukan.

“Aku akan terus bermain.”

“Bagus.”

Aku punya tiga kesempatan lagi.

Aku akan mengubah caraku dari yang sebelumnya. Apakah aku masih sanggup melakukannya dalam tiga lemparan berikutnya?

Lemparan kedelapan datang.

Lemparan curveball yang berputar ke ujung dalam, nyaris mengenai badan atasku. Gerakanku menjadi kacau. Dengan buru-buru aku mengayunkan tongkat, tapi pukulanku sedikit meleset.

Bolanya terbang ke atas, membentur atap stadion, dan jatuh di belakangku.

“Si catcher akan bisa menangkapnya dengan mudah.”

“…”

Bisakah aku melakukannya?

Kalau dilihat dari jaraknya saja, ini akan jauh lebih mudah, tapi kenyataannya tidak semudah itu.

Tapi aku tak bisa mundur lagi.

Aku sudah mengubah taktik.

Aku harus melakukan segalanya untuk kesempatan yang tersisa!

“Bersiaplah.”

Lemparan kesembilan.

Sebuah slider. Kali ini pukulanku tepat. Caranya adalah dengan memukulnya dari arah bawah. Suara bola yang membentur tongkat berdenting keras dan bolanya terbang tinggi ke langit.

Kesempatanku tinggal satu lagi.

Satu kesempatan lagi!!

“Hmm. Sepertinya kau sudah kelelahan,” kata si gadis kelinci dengan nada kecewa. “Kau bahkan tak berusaha memukulnya ke arah luar sekarang. Apakah kau begitu gugup hingga tak sanggup lagi melakukannya?”

“…”

“Tak penting buatku. Baiklah, mari kita putuskan nasibmu dengan fastball lurus yang hebat!!”

Kau benar-benar jahat!!

Kujejakkan kakiku dalam-dalam. Kuputar pinggangku. Kukumpulkan segala kekuatanku yang tersisa untuk menggerakkan ujung tongkat.

Bolanya datang.

Ini kesempatan terakhirku.

Ini satu-satunya harapanku.

Melihat sudut dari mesin pelempar itu memberikan petunjuk jenis lemparan apa yang diberikan dan seperti apa jalur yang akan dilalui, jadi aku takkan salah pukul. Selama aku punya kekuatan untuk mengatasi kekuatan dari bola berkecepatan 180 km/jam, aku bisa melakukannya.

Dan…

Tongkat logam bertumbukan dengan bola putih.

Suara berdenting terdengar begitu keras.

Bolanya terbang jauh dari yang seharusnya. Bolanya terbang tinggi dan semakin tinggi ke atas.

Si gadis kelinci meletakkan tangannya di atas mata dan melihat ke arah atap.

“Oh, sayang sekali. Sepertinya kau gagal lagi.”

“Jangan begitu percaya diri.”

“…?”

Si gadis kelinci melihat ke arahku, sedikit kebingungan, lalu ia semakin kebingungan.

Ini adalah lemparan terakhir.

Bolanya tidak terbang keluar lapangan, tapi aku sama sekali tak menunjukkan keputusasaan.

Aku tak perlu berputusasa.

Pada akhirnya, aku berhasil, bangsat.

“Bolanya tak jatuh ke bawah,” kataku.

“Eh? Oh… Maksudmu!!”

“Apa yang terjadi jika bolanya tidak jatuh ke bawah? Aku yakin ada aturan khusus untuk stadion berkubah. Aturan yang menjelaskan apa yang terjadi apabila bola membentur lampu atau tersangkut di rangka atap. Ini Stadion Kubah Rakyat, kan? Apa yang dikatakan peraturan stadion ini?”

Jarak terdekat ke sisi luar lapangan adalah 100 meter. Namun, titik tertinggi dari atap kubah ini hanya 50 meter. Perubahan arah dari horizontal ke vertikal memang memberikan sedikit perbedaan, tapi jika dilihat dari jaraknya saja, atap stadion adalah target yang lebih baik.

Dan yang lebih penting…

Pemukul yang kuat (terutama pemukul asing) cukup sering memukul bola hingga membentur atap stadion berkubah.

“Jadi itu berarti…Eh? Kau pasti bercanda…”

Homerun. Aku menang.”


Catatan Penerjemah[edit]

  1. Batting average adalah istilah statistik dalam baseball, yang menyatakan rasio antara jumlah pukulan yang berhasil dilakukan seorang batter terhadap total gilirannya berhadapan dengan pitcher. Pada permainan baseball modern, nilai batting average diatas .30 dianggap sangat baik.
  2. Lemparan bola lurus dengan kecepatan tinggi.
  3. Lemparan bola yang arahnya melengkung dari atas ke bawah dengan perubahan arah yang drastis.
  4. Lemparan bola yang menurun secara bertahap.
  5. Lemparan bola yang cepat, lurus dan mengarah ke tanah.
  6. Lemparan yang cepat namun arahnya melengkung menjauh dari batter/pemukul.
  7. Pukulan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga pemukul dapat langsung masuk ke semua base dan kembali ke home dalam satu pukulan. Umumnya terjadi ketika bola dipukul hingga keluar lapangan.
  8. Pukulan foul tidak dihitung, jadi meski seorang pemukul hanya mendapat 3 kesempatan memukul, ia bisa mendapat foul dalam jumlah yang tak terbatas.
  9. Kotak tempat batter memukul.
  10. Pada permainan sesungguhnya, ball dibatasi hingga 4 kali. Jika lebih dari itu, batter mendapat free pass, dan dapat berjalan ke base berikutnya tanpa memukul.