Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 3 Mimpi

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Aku baru saja bermimpi buruk.

Mimpi yang benar-benar buruk.

Meski begitu, aku tak bisa mengingatnya.

Meski begitu, aku tak bisa mengingat seberapa buruk mimpi itu.

Ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini, atau dengan kata lain, aku merasa bahwa aku telah melihat dan melupakan mimpi ini berulang kali. Aku tak pernah bisa mengingatnya kembali — mimpi yang meninggalkan rasa yang tidak enak, tapi juga seperti menggantung.

Rasa tidak enak yang berubah menjadi gumpalan lengket dan tajam yang menusuk-nusuk hatiku.

Ingin segera membuang segala gangguan yang tertahan seperti jarum di dalam dada, aku berusaha mengingat kembali mimpi itu.

Tapi seperti biasa, aku gagal.

Segala gangguan ini nantinya akan lenyap; sampai mimpi itu kembali menghantuiku, memberikan lagi rasa yang sama, hal ini akan terus berulang.

Ada apa dengan mimpi itu?

Aku tak tahu.

Tapi setiap kali aku memimpikannya-setiap kali aku terbangun dari mimpi itu-selalu saja ada satu hal yang terlintas di pikiranku:

Syukurlah, itu hanya mimpi.



Dulu, kami selalu pergi ke restoran makanan siap saji setelah aktivitas klub selesai.

Ia adalah sang pemain, aku adalah manajernya.

Ia adalah kakak kelasku, aku adalah adik kelasnya.

Tapi perbandingan itu tak sesuai untuk menjelaskan hubungan kami berdua. Kata-kata yang lebih tepat adalah—

Ia adalah laki-lakiku, dan aku adalah perempuannya.

Akulah yang mengambil kesempatan ini pertama kali. Jantungku berdegup kencang ketika kuminta dia menjadi pacarku; dan ketika dia menerimanya, rasanya seperti terbang di atas awan.

Sejak hari itu, hidupku menjadi penuh warna.

Aku suka bagaimana ia berlari di lapangan bola.

Aku suka bagaimana ia tertawa bersama teman-temannya.

Aku suka bagaimana ia memenuhi mulutnya dengan makanan.

Aku suka bagaimana ia mengelus kepalaku sembari memujiku.

Aku suka bagaimana ia menepuk kepalanya sendiri karena nilainya yang jelek.

Aku suka bagaimana ia menangis ketika kalah dalam suatu pertandingan.

Aku suka segalanya tentang ia, dan kupikir aku tak perlu apapun lagi selain dia.

Kedengarannya memang konyol, tapi, saat itu, aku memang berpikir seperti itu.

"Maukah kau jalan-jalan denganku selama akhir pekan ini?" tanyanya dengan sedikit malu-malu.

Itulah kali pertama ia mengajakku pergi menginap, dan diriku yang tak begitu polos mengerti apa yang ia maksud.

Aku juga tersadar bahwa inilah sebabnya selama seharian, ia begitu gelisah. Ia pasti terus menerus memikirkan bagaimana caranya mengajakku. Tidak, mungkin bahkan dia sudah berlatih semalaman untuk menanyakan pertanyaan itu padaku.

Ia terlihat lucu sekali, meskipun ia adalah kakak kelasku.

Aku juga suka dirinya yang seperti ini.

Aku mencintainya dengan segenap hatiku.

"Ada apa?"

"Mm, kupikir aku sedang benar-benar beruntung."

"Oh, ayolah."

"Kuharap kita akan seperti ini selamanya."

"Tentu saja! Aku janji."

"Mm."

Benar.

Kalau saja kami akan terus bersama selamanya—


M...Mimpi...?

Aku meihat ke atas, ke arah langit-langit yang buram.

Sudah tak ada jejaknya. Entah di depan mataku, atau dimanapun di dunia ini—

"Maya? Apakah kau sudah bangun?" kata ibuku yang mengetuk pintu kamarku.

Perhatiannya padaku sangat terasa dari suaranya, tapi bahkan kehangatan seorang ibu terasa sangat tak nyaman di waktu seperti ini.

"Ayo, makan dulu." ajaknya.

Tidak.

Terlalu lemas untuk mengucapkan satu kata, aku menjawabnya dengan keheningan, tapi apa yang kuinginkan sudah tersampaikan begitu kudengar langkah kakinya menjauh.

Tapi ibu bisa kembali lagi. Ibu bisa kembali lagi, kapanpun.

Tidak seperti dia—


Aku berada di tengah keramaian pusat kota. Aku sudah lelah dengan panggilan Ibu di depan kamarku yang terus berulang setiap jam. Aku ingin beliau meninggalkanku sendiri, tapi justru di hari-hari seperti inilah Ibu takkan meninggalkanku.

Aku sedang tidak bisa berhadapan dengan orang-orang yang dengan keras kepala menunjukkan bahwa "Lihatlah, aku hanya khawatir denganmu!" Tapi, aku juga tak bisa menyalahkan orang yang khawatir denganku.

Karena itulah, aku kabur dari rumah.

Bagaimana aku bisa menjadi begitu rasional...

Aku sendiri sedikit terkejut dengan perilakuku sendiri.

"Ah..."

Aku sedang berjalan tanpa tujuan yang jelas. Meski begitu, tiba-tiba saja, aku sudah berada di depan restoran makanan siap saji yang dulu sering kami kunjungi.

Mataku langsung tertuju pada kaca jendela restoran dimana kulihat seseorang murid SMA yang duduk di meja kami, seolah-olah menunggu seseorang.

"...Ada apa dengan diriku?"

Sejenak, anak itu terlihat seperti dia.

Tapi itu tak mungkin.

Aku segera berbalik dan bersiap untuk pergi. Namun, kakiku terhenti, badanku berbalik, dan mataku kembali tertuju ke anak itu, lalu kakiku membawaku ke pintu masuk restoran.

Tak mungkin. Ia tak mungkin ada di situ. Aku juga tahu. Tak perlu dipastikan lagi.

Namun begitu, langkahku semakin cepat menuju meja dimana kami biasa duduk.

"Shiga-senpai?"

"Eh? Bukan, kau salah orang."

Muka itu bukan mukanya.

Suara itu bukan suaranya.

Laki-laki itu bukan dia.

Harapanku hancur dalam sekejap.

Aku sudah tahu. Aku lebih tahu daripada siapapun. Tak perlu dipastikan lagi.

Meski begitu, setetes air keluar dari mataku, dan mengalir di pipi.

Demi Tuhan,

Jika tangisku bisa membawanya kembali, aku akan terus menangis sampai air mataku habis. Jadi, kumohon, kembalikan ia padaku.

Terkejut dengan tangisanku yang muncul tiba-tiba, anak itu segera menyingkir dan seorang pramusaji berlari ke arahku untuk menanyakan apa yang terjadi. Sembari ditenangkan oleh si pramusaji, aku tinggalkan restoran itu.

Aku tahu, menangis tak akan menyelesaikan apapun, dan air mata takkan mengembalikan siapapun dari alam baka.

Tetap saja, aku menangis seperti orang gila.

Seperti orang gila—tapi bukan berarti bahwa aku benar-benar menjadi gila. Kalaupun aku memang gila, maka segalanya akan menjadi lebih mudah. Untuk pertama kalinya, aku bisa memahami perasaan orang yang terjebak dalam pengaruh obat-obatan terlarang.

Apakah aku tak bisa membeli obat-obat itu di sekitar sini? Yang benar saja.

Kutinggalkan jalan utama, dan masuk ke gang-gang sempit, namun tak kutemukan siapapun disana, tentu saja, tak ada penjual narkoba.

Jelas, aku terlalu banyak menonton TV. Selain itu, sepertinya aku juga tersesat karena terlalu jauh berjalan tanpa arah.

Tak ada seorangpun di sekitar sini, dan suara keramaian kota terdengar sangat jauh. Seolah-olah aku tersesat ke dunia lain.

Apakah ini dunia setelah kita mati, atau mungkin suatu tempat di antaranya? Kuharap jawabannya adalah 'ya'.

Lagi-lagi aku berpikir hal-hal yang aneh...

Kuputuskan untuk masuk ke satu toko kecil yang tak jauh dariku untuk bertanya arah keluar.


"......?"

Aku melihat ke atas, ke arah langit-langit yang buram.

Tapi ini bukan langit-langit di kamarku, bahkan ini bukan tempat yang kukenal. Kugeser selimut dan duduk. Aku kesulitan mengingat-ingat dimana aku sekarang, tapi bukan karena masih mengantuk.

Kutinggalkan ruangan itu dan berjalan sedikit sampai aku menemukan ruangan yang besar.

Sepertinya aku ada di sebuah toko.

Berbagai jenis benda berserakan di etalase. Ada vas dan belas kaca yang indah, benda-benda perak, dan lukisan dari entah siapa. Ada juga kamera yang terlihat sangat tua, meskipun aku tak tahu berapah harganya. Etalase toko ini penuh dengan benda-benda yang dapat ditemukan di toko barang antik. Mungkin, toko ini memang toko barang antik.

Kenapa aku memasuki toko yang seperti ini...?

Tapi aku kembali teringat, bahwa aku sebenarnya ingin menanyakan arah jalan kepada penjaga toko ini, dan aku juga baru sadar bahwa aku tak ingat apa-apa setelah memasuki toko ini.

Apa yang terjadi setelah aku masuk ke toko ini?

"Kau sudah bangun?" seorang wanita yang umurnya sekitar akhir dua puluhan bertanya dengan suara yang jelas ketika ia muncul di depanku.

Ia begitu cantik, sampai-sampai aku mengira aku masih ada di dalam mimpi. Dengan gaun indah yang ia kenakan, aku sempat curiga bahwa wanita ini baru saja keluar dari lukisan yang ada di sana.

"Aku benar-benar terkejut! Kau pingsan begitu masuk toko ini."

"...Ah," gumamku, akhirnya menyadari mengapa ada jeda di ingatanku, "A-Aku minta maaf."

"Tak apa. Tapi, yang lebih penting, apakah kau baik-baik saja? Sepertinya kau kurang tidur akhir-akhir ini?"

"Tidak, bukan itu..."

Justru, aku sudah terlelap cukup lama, tapi entah berapa lama aku tidur, kelelahanku seperti tak mau pergi. Mungkin semua energi dan semangat hidup dalam diriku sudah semakin menipis.

"Benarkah? Kau merintih-rintih ketika kau tidur barusan, lho."

Begitu, jadi aku merintih dalam tidurku. Aku tak ingat apapun, tapi pasti aku sedang memimpikannya. Sayang sekali—sepertinya bukan mimpi yang bagus, tapi tak masalah buatku, asal aku bisa bertemu dirinya.

"Ah, ehm, ini toko apa, ya?" tanyaku tiba-tiba ketika kudapati mata si penjaga toko tertuju padaku.

Dia tidak merasa terganggu, dan menjawab, "Aku berurusan dengan Relik-relik yang ada disini."

"Barang-barang antik, maksudnya?"

Kupikir kesimpulanku barusan sudah masuk akal, tapi ia menggelengkan kepalanya pelan-pelan.

"Mungkin tadi yang kukatakan adalah 'Relik', tapi aku tidak membicarakan tentang barang antik dan benda-benda seni. 'Relik' adalah kata yang kita pakai untuk menyebut alat-alat yang dibuat oleh penyihir kuno, benda-benda yang telah menyerap dendam kesumat seseorang, atau benda-benda yang memiiki kekuatan spiritual secara alami.

Pasti kau pernah mendengarnya sebelumnya. Benda-benda seperti batu yang membawa keberuntungan, boneka voodoo, cermin-tiga yang menunjukkan kematianmu, dan sebagainya."

"Mm-hmm..."

Mungkin ia sedang berbicara tentang alat-alat yang ada di film-film. Setidaknya, itulah yang bisa kupahami dari kata-katanya, dan aku juga baru tahu bahwa ada yang menyebut benda-benda seperti itu sebagai Relik.

"Tapi, terlepas dari apa yang kujual di sini, apa yang bisa kubantu, sayang?"

Karena ia sudah repot-repot menjagaku ketika aku pingsan, tentu tak enak rasanya jika kukatakan bahwa sebenarnya aku hanya ingin menanyakan jalan. Tapi, aku uangku juga tak cukup untuk membeli barang antik yang mahal.

"Maaf. Aku tak menginginkan apa-apa."

Ya. Tak ada.

Satu hal yang paling kuinginkan adalah satu hal yang tak akan pernah kembali padaku.

Kecuali, mungkin... dalam mimpiku.

Ya. Hanya di mimpilah aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan.

Tapi aku tak peduli. Meskipun itu hanyalah mimpi. Selama aku bisa melihatnya lagi...

"Maukah kubantu kau dengan mimpimu?" tanyanya.

"—Eh?"

Seolah-olah ia bisa membaca pikiranku.

Tidak, ia tak perlu membaca pikiranku—tak perlu.

Pasti, ada sebuah rongga yang terbuka di hatiku. Sebuah rongga yang sangat lebar hingga semua orang dapat melihatnya.

"...Aku merindukannya." Bagian dalam dari hatiku yang berongga mulai bocor. Menetes, sedikit demi sedikit. "Aku merindukannya. Aku rindu dia. Aku ingin menemuinya. Meskipun hanya dalam mimpi!"

Entah dalam mimpi, atau ilusi, atau bahkan hantu. Apapun itu—aku hanya ingin menemuinya lagi.

Aku ingin bertemu dengannya.

"Kau yakin, mimpi saja sudah cukup?"

"...Ya."

Ia membalas dengan anggukan dan mengambil sesuatu dari salah satu rak.

"Ambillah."

Tsukumodo V3 183.jpg

Di tangannya ada sebuah wadah dupa, seperti yang digunakan untuk aromaterapi. Meski terlihat banyak bekas penggunaan, ada sesuatu dari mangkok itu yang memikat hatiku.

"Letakkan di sebelah tempat tidurmu dan nyalakan ketika kau tidur. Dupa apapun bisa kau gunakan untuk ini."

"?"

"Kalau kau melakukannya, kau akan bisa mengendalikan mimpimu," katanya.

"Mengendalikan mimpi?"

"Ya," balasnya meyakinkanku.

Kutanyakan satu hal yang segera muncul di pikiranku. Dengan suara gemetar.

"...Bisakah aku menemuinya juga?"

Ia mengangguk tanpa bersuara. "Tapi hati-hati, jangan sampai kau tak lagi bisa mengenali mana yang mimpi, dan mana yang nyata," ia memperingatkanku sebelum aku pergi.



"Selamat datang," kata Saki, tapi meskipun kata-katanya seperti penuh perhatian, aku hanya membalas seadanya.

Aku sedang tidak ingin bercanda, atau mengejeknya.

Namun, aku juga tak ingin menghabiskan waktu sendirian di rumah, dan akhirnya kuputuskan untuk datang ke Toko Barang Antik Tsukumodo meskipun aku sedang tidak bekerja.

Aku baru saja pulang dari pemakaman seorang teman sekelasku hari itu.

Ia menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Seorang pengemudi yang mabuk menabraknya dan ia meninggal nyaris seketika karena kepalanya terbentur cukup keras. Satu kematian yang mendadak dan cukup jauh dariku sehingga tak terlihat oleh Visionku.

"Kau baik-baik saja?" Saki bertanya padaku dengan nada khawatir, namun tiba-tiba meminta maaf. Karena bertanya atau karena tak bisa menghiburku dengan baik?

Meski begitu, ia tak perlu begitu khawatir denganku.

Tentu saja aku sedang murung dan sedih, tapi aku tak sesedih itu: aku tidak begitu kenal dengan sang korban. Kalau saja ia tidak sekelas denganku, kami tak akan saling mengenal. Ia tak lebih dari seseorang yang akan kusapa jika bertemu di koridor sekolah ketika kami berganti kelas.

Tapi tetap saja, kami telah menghabiskan waktu bersama.

Duduk di kelas yang sama, mengikuti pelajaran yang sama, bersantai di waktu istirahat, kadang-kadang berbicara bersama, kadang-kadang tertawa dengannya, kadang-kadang diomeli guru bersama-sama.

Tapi masa-masa dimana aku akan menghabiskan waktu dengannya, yang kupikir masih akan terjadi, ternyata sekarang sudah lenyap untuk selamanya.

Aku masih harus memikirkan bagaimana perasaanku tentang masa-masa itu.

Aku tak yakin bagaimana mengekspresikan perasaanku saat itu. Aku tak dapat menemukan kata-kata yang tepat. Kurang lebih, perasaan ini mirip dengan perasaan yang timbul ketika melihat kematian seseorang yang tak kukenal di televisi.

...Apakah aku sedih?


Satu kelas telah mulai menerima kematiannya.

Sedikit demi sedikit, aura suram telah menghilang, kami berhenti menyebutkan namanya bahkan tanpa perlu berusaha menghindarinya, dan ketiadaan namanya, "Shiga" dari panggilan absensi tak lagi meninggalkan perasaan aneh.

Tanpa ampun, hidup kami semua berlanjut, mengubah bentuknya, dan menyeret kami pergi begitu saja meskipun ada satu hal yang hilang.

Aku tak bermaksud mengatakan bahwa Shiga sudah tak lagi relevan dengan kelas kami; tapi memang hidup ini seperti itu. Begitulah.

"Permisi," kata penjaga sekolah kami ketika ia masuk ke kelas.

Pandangan kami semuanya tertuju padanya, dan ia sepertinya tahu kenapa. Tanpa melihat ke arah kami, bapak penjaga sekolah mendekati satu meja di belakang, dan tanpa berkata apa-apa membawanya keluar.

Meja itu adalah meja Shiga.

Keluarganya telah membawa barang-barang pribadi miliknya, dan kami telah diberitahu bahwa mejanya akan dikeluarkan hari ini. Beberapa murid merasa bahwa sebaiknya meja itu tetap di kelas hingga sekolah hari ini berakhir, tapi tak ada yang menolak ketika wali kelas kami memutuskan bahwa lebih baik meja itu dikeluarkan sekarang dan kami tetap melanjutkan hidup kami seperti biasa. Karenanya, tak seorangpun berkata apa-apa ketika melihat penjaga sekolah datang.

Sang penjaga sekolah berhenti sesaat, tak yakin apa yang harus dilakukan dengan bunga di mejanya, tapi dia tak sebodoh itu untuk membuangnya ke tempat sampah begitu saja. Ia membawanya keluar bersama dengan meja dan kursinya.

Bunga yang telah diganti dua kali karena layu, sekarang telah lenyap bersama dengan mejanya sebelum diganti lagi untuk ketiga kalinya.

Dengan ini, pikirku, tak akan ada lagi meja kosong yang membuat kami kembali memikirkannya.

Begitu meja itu dibawa keluar, murid-murid kembali melanjutkan istirahat mereka. Suasana yang sedikit mendung tiba-tiba saja menghilang.

"Semuanya berlalu begitu cepat," kata Shinjou yang duduk di depanku. "Manajer klub kami adalah teman dari pacar Shiga, dan menurutnya, sang pacar masih belum kembali ke sekolah."

Aku pernah mendengar dari Shinjou bahwa Shiga berpacaran dengan seorang adik kelas yang juga menjadi manajer klub atletiknya.

"Yah, tentu saja semua ini sangat mengejutkan baginya," komentarku.

"Aku pernah beberapa kali ngobrol dengannya; ia gadis yang ceria. Kuharap ia baik-baik saja..." katanya.

Kuharap akan tiba waktu dimana ia bisa berbicara tentangnya tanpa merasa sedih-sama seperti kami.

Meskipun aku tak tahu apakah itu benar atau tidak.


"Ck, dia pasti bercanda," keluhku sembari melihat ke memo, mencari-cari satu apartemen.

Setelah kelas berakhir, satu orang guru memintaku membantunya untuk mengerjakan beberapa hal. Namun, setelah aku selesai, Shinjou meneleponku. Ia memintaku untuk membawakan sesuatu yang ia tinggalkan di sekolah dan membawakannya ke tempat ia berada sekarang.

Jujur saja, biasanya aku takkan menolak permintaannya, dengan balasan traktiran makan siang atau semacamnya. Tapi kali ini, aku sama sekali tidak senang.

Aku harus membawa benda itu ke tempat pacar Shiga.

Shinjou pergi menemani manajer klubnya untuk mengunjungi pacar Shiga. Tak masalah, memang, jika mereka yang pergi, karena toh mereka saling mengenal. Tapi mengapa aku juga harus terlibat?

"Hah..."

Setelah aku mengabarinya kalau sudah sampai, Shinjou membukakan pintu.

"Maaf, Kurusu!" katanya sambil menangkupkan tangannya tanda minta maaf, lalu menarik lenganku. "Temani aku!"

"Apa?"

"Aku tak mau menemani mereka sendiri saja!"

"Hei, tunggu sebentar!"

Tak bisa melepaskan tanganku dari genggamannya, aku diseret masuk ke apartemen.

Hei, dia pasti benar-benar bercanda! Aku sedih pada gadis itu, tapi aku jelas-jelas tak ingin berada di dekat orang yang baru saja kehilangan Shiga...

"Eh?"

Tak seperti perkiraanku, suasana di kamar itu cukup gembira.

Salah seorang gadis duduk di kasurnya dan mengenakan piyama, tentu, tapi ia dan satu gadis lagi sedang mengobrol dengan nada senang.

Seolah-olah pacar Shiga baru saja sembuh dari demam, dan sekarang mengobrol dengan temannya untuk mengusir rasa bosan.

Curiga bahwa Shinjou mengerjaiku ketika ia berkata bahwa gadis berpiyama itu adalah pacar Shiga, aku melotot kepadanya, tapi ia juga terlihat sama bingungnya denganku, berusaha tersenyum, namun kelihatan aneh. Sepertinya, ia juga terkejut dengan suasana ini. Apakah ini berarti gadis itu telah menerima kepergian pacarnya?

Tapi, aku sekarang paham kenapa Shinjou merasa canggung, berada satu ruangan dengan dua gadis yang sedang mengobrol.

Pacar Shiga dan gadis satu lagi melihat ke arahku dan menyapa dengan anggukan. Aku balik mengangguk.

"Ini Kurusu, teman sekelasku."

"Oh, terima kasih sudah repot-repot membawakan barangnya untukku."

Pacar Shiga memperkenalkan dirinya padaku sebagai Maya Nanase, dan gadis satunya sebagai Sarina Akanuma.

Nanase memiliki rambut hitam yang panjang, yang terkepang dan menggantung di bahu kanannya, membuatnya terlihat cukup dewasa. Ia mengenakan cardigan diatas piyamanya, namun badannya terlihat ramping.

Akanuma, di sisi lain, punya rambut yang dikuncir dan sedikit digeser ke kanan, terlihat lebih bersemangat daripada Nanase. Tubuhnya yang pendek dan pembawaannya yang sedikit kekanak-kanakan membuatnya terlihat seperti adik kelas yang imut.

"Itu yang dia lupakan? Boleh kulihat?" tanya Nanase, sembari menunjuk ke amplop yang kubawa, yang dilupakan Shinjou dan ia tinggalkan di sekolah.

Tanpa berpikir dua kali, kuberikan amplop itu pada Nanase, yang dengan cepat membukanya dan mengambil—beberapa lembar foto.

Aku terkejut dengan foto pertama yang terlihat, dan melihat ke arah Shinjou. Tak hanya dia, namun juga Akanuma, yang sampai barusan terlihat ceria, melihat ke arah Nanase dengan muka yang sedikit tegang.

Respon mereka tak mengherankan: selain Shinjou, Nanase, dan Akanuma, di foto itu juga ada Shiga sendiri. Mereka berempat nampak tersenyum ke arah kamera, berpose di depan maskot hewan. Sepertinya foto itu diambil di suatu taman bermain.

Bahkan Shinjou tak akan berani memperlihatkan foto ini kepadanya—pasti Nanase yang memintanya membawakannya. Mungkin, Shinjou dengan sengaja melupakannya karena ia tak ingin memberikan foto-foto itu padanya.

Tak menghiraukan ketiga pasang mata yang tertuju padanya, Nanase tertawa gembira: "Ha! Lihat ini! Muka Shiga-senpai terlihat konyol sekali!" Lalu mukanya berpaling ke Shinjou. "Bolehkah aku minta foto yang ini, Shinjou-senpai?"

"Tentu. Foto-foto itu memang untukmu."

"Terima kasih. Tapi kau harus berhenti menggunakan kamera kuno itu! Kenapa tidak kaupakai kamera digital saja? Ah, kalau kau sudah punya kamera digital, ayo kita pergi ke kebun binatang!"

Dengan siapa?

Aku merasa Shinjou ingin menanyakan hal seperti itu. Tapi, ia mengeluarkan senyum pahit dan membalas, "Ya, pasti."

Mau tak mau, aku memperhatikan Nanase.

Dia jelas-jelas bersikap terlalu "normal" untuk seorang gadis yang baru saja kehilangan pacarnya dalam sebuah kecelakaan. Tidak saja ia terlihat seperti berpura-pura gembira, tapi ia juga tak tampak menerima kehilangan pacarnya; ia terlihat sama sekali normal. Kalaupun ada yang berusaha untuk gembira, orang itu adalah Shinjou dan Akanuma.

Aku bahkan sempat ragu apakah Nanase memang berpacaran dengan Shiga, tapi ketika melihat tingkah laku Shinjou, keraguan itu segera terbantahkan.

Katanya, perempuan dapat dengan cepat berlalu dari suatu hubungan yang berakhir, tapi...

"Hei Maya, kapan kau kembali ke sekolah lagi?" tanya Akanuma, dengan sedikit memaksa mengganti topik pembicaraan. Sepertinya ia merasa Nanase memaksakan dirinya sendiri.

"Sekolah? Hm...entahlah."

Nanase berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan barusan. Meskipun ia nampak sehat-sehat saja, yang mengganggu adalah masalah mental; kupikir ia segan kembali ke sekolah karena pasti banyak kenangan bersama Shiga disana.

"Tapi aku akan kehilangan waktuku tidur kalau begitu..." katanya, yang membuatku terkejut.

Hmm, mungkin kehilangan pacarnya membuatnya kesulitan untuk tidur?

Mencoba melihat sekeliling, aku menemukan satu kotak yang berisi tablet di rak di sisi tempat tidurnya. Dalam kondisi normal, kotak itu tak akan menarik perhatianku.

Dalam kondisi normal.

"Maya? Apakah kau minum obat tidur?"

Akanuma, yang juga melihat tablet itu, meraih kotaknya. Ia pasti juga punya kekhawatiran yang sama denganku—bunuh diri dengan obat tidur.

Tangannya menyenggol mangkok dari tanah liat yang ada di samping kotak obat; benda itu bergoyang dan menggelinding ke ujung rak.

Tiba-tiba, Nanase melompat dari tempat tidurnya, mendorong Akanuma, dan menangkap benda itu sebelum menyentuh lantai.

"Hati-hati!" teriaknya dengan nada yang membuat orang lain ragu apakah ia gadis yang baru saja tertawa.

"M-Maaf," Akanuma segera meminta maaf, dengan mata yang membelalak karena terkejut.

"Ah, ya. Aku juga minta maaf. Benda ini sangat berharga buatku," Nanase ikut meminta maaf juga, setelah kembali tenang. Ia duduk di tempat tidurnya lagi, masih memegang wadah yang terbuat dari tanah liat itu erat-erat.

Mungkin benda itu pemberian Shiga.

Karena suasana sudah menjadi agak tak nyaman, mataku kembali tertuju pada Shinjou. Ia mengerti apa yang kumaksud, karena ia berdiri dan berkata, "Baiklah, sepertinya sudah waktunya kita pulang."

"Sampai ketemu di sekolah," kata Akanuma sebelum meninggalkan kamar itu bersama kami.

Ketika kami beranjak pergi, kulirik Nanase yang melihat mangkok itu dengan tatapan penuh kelegaan.


Lalu saat itu suara yang memekikkan telinga masuk ke kepalaku—


Aku melihat kamar yang tampak biasa, dan terasa dingin.

Nanase sedang tertidur lelap di tempat tidurnya—begitu kelihatannya.

Meskipun tak ada yang nampak aneh, tapi tak jelas juga apa yang sedang terjadi.

Hanya ada Nanase yang diam tak bergerak, berbaring di atas tempat tidurnya.

Pemandangan yang begitu tenang—benar-benar tenang—kau mungkin akan mengira ini hanyalah gambar semata.

Begitu tenangnya kematian Nanase.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Shinjou padaku ketika kami sudah jauh dari rumah. Akanuma nampaknya juga berpikiran hal yang sama.

Tak perlu kutanyakan lagi apa yang ia maksud; sepertinya, bukan aku saja yang merasa ada sesuatu yang tak wajar. Mereka berdua yang lebih dekat dengan Nanase, pasti merasa lebih terusik dengan keadaan barusan.

"Jujur saja, Nanase sama sekali tidak terlihat seperti pacar Shiga," jawabku dengan sejujur-jujurnya.

Karena aku tak begitu dekat dengan Shiga, sikap Nanase tak bisa serta-merta kuanggap dingin dan tak berperasaan, namun meskipun aku tak tahu apa yang biasanya wajar bagi empat orang ini, Shinjou dan Akanuma jelas-jelas terlihat lebih sedih.

Shinjou dengan enggan membuka mulutnya lagi, khawatir dengan Akanuma yang berjalan di sebelahnya: "Jujur saja, aku tak begitu dekat dengan Shiga dan Nanase. Aku tak akan pergi dengan mereka kalau saja Akanuma tak mengajakku. Bahkan, aku tak mengenal Nanase sebelumnya. Tapi...melihat mereka berdua bersama, sudah dapat disimpulkan bahwa mereka berdua adalah pasangan yang serasi. Jadi, aku hanya..."

"Kau tak percaya bahwa ia begitu tenang?"

"Ya. Apakah menurutmu ia hanya berpura-pura, Kurusu?"

"Tidak."

"Mm..."

"Maya benar-benar depresi ketika ia mendengar kematian Shiga-senpai untuk pertama kalinya. Seakan-akan dunia telah kiamat. Ibunya mengatakan padaku bahwa ia terus-menerus mengunci dirinya sendiri di kamar dan tak mau makan apapun,," timpal Akanuma. Aku dapat merasakan kebingungan Akanuma akan sikap Nanase. Mungkin ia mengajak Shinjou menemaninya karena ia sendiri tak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan Nanase.

Tapi, kebalikan dengan apa yang ia khawatirkan, Nanase justru bersikap biasa saja.

Begitu terkejutnya ia melihat Nanase masih sehat dan baik-baik saja meskipun ia berniat untuk menghiburnya, pasti telah membuat Akanuma gelisah.

"Tapi aku mulai sadar ada yang aneh ketika Shinjou-senpai pergi untuk meneleponmu, Kurusu-senpai. Aku tak sengaja menanyakan padanya apakah ia memang baik-baik saja, dan ia menjawab ya," kata Akanuma, kembali mengingat-ingat percakapan mereka, "karena ia bisa menemui Shiga-senpai kapanpun di mimpinya, karena mangkok dupa itu."

"Mangkok dupa? Wadah kecil yang tadi nyaris kau jatuhkan itu?" tanyaku, dan ia mengangguk. "Menemuinya kapan saja di mimpinya...?"

Bisakah sesuatu yang seabstrak itu membuat seseorang menerima kematian orang lain begitu mudah? Mimpi hanyalah mimpi - sesuatu yang tak nyata. Sepertinya ia juga tidak melupakan kenyataan. Dia benar-benar terlihat normal.

Tapi rahasia apa yang ia sembunyikan di balik wajah riangnya?

Aku tak mengerti apa yang menyebabkan kematian yang ditunjukkan Vision padaku. Apakah karena sakit? Sebab alami? Atau...bunuh diri?

Tak pernah sebelumnya aku melihat kematian yang begitu tenang, pergeseran dari tidur ke mati yang sangat lembut.

"Akanuma-san," kataku sambil memberikan sesuatu. Tablet obat tidur, yang kupinjam ketika tadi sempat ada keributan mengenai mangkok dupa yang nyaris jatuh ke lantai. Tebakanku benar, sayangnya.

Akanuma terkejut, tidak karena tanganku yang begitu kecil, tapi karena ia memikirkan hal yang sama denganku.

"Kau berpikir mengenai untuk apa ia menyimpan obat tidur ini, kan?"

"Ya..."

"Kondisi ini dan obat-obat itu sepertinya tidak cocok..."

"Aku tak berpikir bahwa ia akan menggunakannya untuk itu, kok."

Ia tak ingin untuk memikirkan hal itu.

"Sebaiknya kau menelepon keluarganya dan memperingatkan mereka. Kalau-kalau hal buruk terjadi, tapi kau harus menelepon mereka."



Setelah Sarina dan yang lainnya pergi, kupakai lagi mangkok dupa milikku.

Kunyalakan dupa dan kuletakkan di dalam mangkoknya. Dupa apa saja bisa dipakai - dari batang sampai gulungan - tapi kuputuskan untuk memakai yang bentuknya kerucut.

Kudengar bahwa yang seharusnya dipakai adalah dupa serbuk, koh-tadon, gin-you, atau entah semacamnya, tapi aku sendiri tak begitu mengerti untuk masalah seperti ini.

Apapun yang bisa dipakai.

Aku tak ingin menikmati wangi dupa, atau relaksasi. Yang kuinginkan adalah tidur dengan lelap dan menemuinya.

Wangi jeruk segera memenuhi kamarku, dan dalam beberapa detik, rasa lelah segera merayapi tubuhku. Aku tak tahu sudah berapa jam aku tidur hari itu, tapi setiap kali aku membakar dupa, aku selalu merasa mengantuk.

Aku segera berbaring di atas tempat tidur. Pintu sudah kukunci, dan jam alarm sudah kumatikan — takkan kubiarkan siapapun mengganggu waktuku dengannya.


"Maya."

Kudengar suara Shiga-senpai. Ia melambaikan tanganku, seragam sekolah masih ia kenakan, tersenyum. Aku cepat-cepat berjalan ke arahnya.

"Apakah aku membuatmu menunggu?"

"Sama sekali tidak," balasnya.

Sayang sekali. Bukannya aku ingin terlambat, tapi aku ingin sekali mendengarnya mengatakan bahwa ia tak sabar menemuiku.

"Lihat, aku dapat ini ketika aku bertemu dengan Sarina dan Shinjou-senpai."

Oh? Dimana aku bertemu dengan mereka? Ah, tak penting.

Kutunjukkan padanya foto-foto ketika kami jalan-jalan ke taman bermain.

"Ah, dari beberapa hari yang lalu?"

"Iya. Lihat, mukamu konyol sekali!"

"Aku memang bukan orang yang fotogenik, sih."

Kupikir-pikir, ia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, dan di foto-foto yang kita ambil berdua, mukanya sering terlihat seperti ditekuk. Tapi tak sekalipun ia menolak untuk difoto. Ia selalu mendengarkan permintaanku, meskipun terkadang ia kesulitan memenuhinya.

"Apa?"

"Mmm, tak apa. Kita kan juga sudah berjanji untuk pergi ke kebun binatang kapan-kapan."

"Kebun binatang?"

"Ya."

"Tapi aku..." ia akan mengatakan sesuatu, tapi segera kutahan dengan menekan jari telunjukku di bibirnya. Tak kuijinkan ia mengatakannya lebih lanjut. Aku tak tahu apa yang akan ia katakan, tapi perasaanku mengatakan padaku untuk menghentikannya.

"Jangan khawatir," kataku tanpa mengetahui mengapa aku mengatakannya.

Lagipula, apa yang perlu dikhawatirkan?

"Hei kalian!"

Tak sempat aku berpikir lebih lanjut, Shinjou-senpai dan Sarina datang, mengenakan pakaian yang sama seperti di foto. Entah mengapa, kami juga tak lagi mengenakan seragam kami, dan telah berganti dengan pakaian yang kami beli ketika jalan-jalan setelah pergi ke taman bermain.

"Ayo, senpai!"

Tak perlu memusingkan diri dengan hal-hal yang tak kupahami dan membuat kencan kami gagal.

Aku berjalan menuju dua orang itu, sembari menarik senpai. Setelah kami berkumpul, ternyata kami telah berada di depan gerbang kebun binatang. Kami berempat masuk dan berjalan-jalan di dalam, kulihat selain kami, ada beberapa keluarga dan pasangan di sana-sini.

"Hewan apa yang ingin kau lihat, senpai?" Aku ingin melihat panda.

"Bagaimana kalau jerapah?"

Cih..bukannya aku tak suka jerapah, tapi aku ingin melihat panda. Sebenarnya tak harus panda juga; hanya saja aku kecewa ternyata perasaan kami tak selalu sama.

"Hm? Kau tak suka jerapah?"

"Tidak, tidak, tak apa-apa," kataku menjawab pertanyaan pacarku yang tak peka. "Ayo pergi ke kandang jerapah."

Aku buru-buru berjalan menuju tempat jerapah berada.

"Ah, apa yang ingin kau lihat, Maya?"

"Panda."

"Kalau begitu ayo pergi ke sana dulu."

"Terlambat."

Wajahnya terlihat kecewa karena kesalahan yang barusan ia buat, namun kelembutannya segera melenyapkan semua kekesalanku dalam beberapa detik saja.

Kujulurkan lidah dan berbalik.

"Tak masalah jika kita pergi kesana setelah melihat jerapah!"

Setelah aku mengatakannya, tanah tempat kemi berpijak mulai berguncang.

Tidak!

Ketika aku mulai menyadari apa yang terjadi, pandanganku mulai menjauh, seperti yang kualami ketika sedang sakit kepala, dan lalu semuanya menjadi gelap.


Mataku melihat ke langit-langit kamar.

Telingaku mendengar suara ketukan dari balik pintu.

Suaranya menyentakku, membangunkanku dari mimpi.

Dari mimpi ke kenyataan.

Dari dunia fana dimana ia berada, ke dunia nyata dimana ia tak ada.

Rasa sedih dan kecewa segera menyerbu. Kurentangkan lenganku di depan mata, membiarkan keduanya tetap berada dalam kegelapan — melindunginya dari kenyataan yang mengganggu.

"Maya? Maya? Kau baik-baik saja?" kudengar ibuku dari balik pintu. "Apakah kau sakit?"

Aku baik-baik saja sampai sekarang; karena kau!

"Aku tak apa-apa. Jangan mengganggu tidurku," balasku.

"Syukurlah...," desahnya lega.

Aku tak mengerti mengapa ia terus menerus mengetuk pintu, padahal biasanya ia akan menyerah jika tak ada reaksi dariku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Sarina-chan berpesan padaku untuk menjagamu karena sepertinya kamu sedang kurang sehat."

Sarina? Bukankah aku biasa-biasa saja ketika kami mengobrol tadi? Mungkin memang aku tak terlihat sesegar ketika aku masih masuk sekolah karena aku tidak keluar rumah akhir-akhir ini.

Tapi ia tak perlu khawatir seperti itu.

Bahkan sekarang Sarina juga mulai menggangguku?

Aku sangat gembira ketika mereka datang, tapi sebagian kecil hatiku menginginkan mereka segera pergi. Dan ketika kupikir akhirnya aku bisa menghabiskan waktu dengannya, aku kembali diseret ke kenyataan.

Kulihat mangkok dupaku. Dupanya telah terbakar habis, jadi kunyalakan satu lagi dan badanku kembali tertutup selimut.

Sekali lagi, rasa kantuk mulai memelukku. Namun, rasa kantuk itu hanya akan bertahan sampai aku benar-benar tertidur, dan tidurku akan semakin dangkal semakin sering aku melakukannya.

Meskipun aku tak ingin berada di dunia ini.

Meskipun aku ingin berada di dunia lain.

Meskipun aku ingin tetap tertidur selamanya.



"Hmm, benda itu pasti adalah sebuah Relik."

Ketika aku kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo, aku bertanya ke Towako-san mengenai mangkok dupa itu. Ketika kujelaskan bentuk dari mangkok itu dan kukatakan bahwa Nanase dapat bertemu dengan pacarnya yang sudah meninggal di dalam mimpinya, Towako-san memperkirakan bahwa mangkok dupa itu adalah sebuah Relik, kesimpulan yang sama dengan yang kupikirkan.

"Apa yang Relik itu bisa lakukan?"

"Ketika kau tertidur dengan dupa terbakar di mangkok itu, kau akan bisa mengendalikan mimpi sesuai keinginanmu."

"Mengendalikan mimpi?"

Ternyata, manfaatnya bukanlah menemui orang yang sudah mati di dalam mimpi; keinginan Nanase untuk bertemu Shiga-lah yang memberikan mimpi seperti itu.

"Ia pasti ingin bersama pacarnya, meskipun hanya dalam mimpi," kata Towako-san.

Meskipun hanya dalam mimpi...

"Lagipula, batas antara dunia mimpi dan dunia yang nyata begitu kabur."

"Masa?" aku tak mengerti mengapa ia mengatakannya, karena menurutku ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan kenyataan.

"Mimpi sama saja dengan kenyataan, selama kau tak menyadari bahwa itu adalah mimpi. Kau tak selalu tahu kau ada dalam mimpi ketika kau sedang bermimpi, kan?"

Betul juga: Ketika tertidur, kau akan ketakutan ketika mengalami mimpi buruk, dan bahagia ketika kau mengalami mimpi indah. Tak ada kelegaan atau kecewaan, hingga ketika kau terbangun dan sadar bahwa semua itu hanyalah mimpi.

"Apakah gadis itu tidak sadar bahwa ia hanya bermimpi?" Saki mengajukan pertanyaan yang telah berputar-putar di pikirannya.

"Seharusnya ia tahu, setidaknya ketika ia terbangun," kata Towako-san.

Hal itu sudah seharusnya jelas, karena ia sendiri yang berkata bahwa ia bisa menemuinya di dalam mimpi.

"Namun, mungkin saja ia tak sadar ketika ia sedang bermimpi."

Tentu — siapa yang akan ketagihan menggunakan mangkok dupa itu jika orang yang memakainya tahu bahwa semuanya palsu, bahkan ketika ia sedang bermimpi?

"Tapi dalam kasus ini, apakah laki-laki yang ia temui dalam mimpinya juga palsu?" tanyaku.

Semua orang yang muncul di mimpinya tak lebih dari karakter-karakter yang ada di mimpi; jelas, mereka bukanlah karakter yang nyata. Jika kemampuan mangkok dupa itu adalah mengendalikan mimpi, maka tak mungkin ia bisa membangkitkan yang telah mati.

"Itu pertanyaan yang sulit; ketika kau bermimpi, apakah kau tahu bahwa semua orang yang ada di dalamnya palsu?"

"...Tidak, sepertinya aku takkan menyadarinya."

"Nah, itu dia. Pasti ia merasa bahwa pacarnya itu hidup dan nyata ketika ia sedang tidur. Namun, ketika ia terbangun, ia akan sadar bahwa semuanya hanya mimpi — dan pacarnya, seperti yang kau bilang, 'palsu'."

Sebahagia apapun ia di dalam mimpinya, ia selalu disadarkan oleh kenyataan setiap kali ia terbangun. Bagaimana rasanya disadarkan seperti itu? Kalau ia tahu bahwa ia hanya menipu dirinya sendiri, seharusnya ia merasa hampa di dalam dirinya, bukan?

Mengapa ia terus menerus melakukannya?

Apakah kepastian bahwa ia akan selalu bisa menemui pacarnya di dalam mimpi membuatnya bisa menahan rasa hampa itu? Menghabiskan masa-masa penuh kebahagiaan di dalam mimpinya, hanya untuk merasakan kekecewaan yang luar biasa ketika ia terbangun, berharap bahwa ia akan bisa kembali menemui kekasihnya, lalu jatuh tertidur lagi.

Siklus seperti itu tak akan bertahan lama.

Cepat atau lambat, ia akan sadar bahwa apa yang ia lakukan tak ada gunanya.

Kalau memang begitu — mungkin kita biarkan saja ia tidur untuk sedikit lebih lama.

Sedikit saja.

Hingga ia menjadi seperti apa yang ditunjukkan Vision padaku.


Beberapa hari setelah aku mengunjungi Nanase, aku sedang bersiap-siap untuk pulang bersama Shinjou, yang hari itu sedang tak ada aktivitas klub, ketika kami berdua ditahan oleh Akanuma.

Di depan semua orang, ia menangis sesenggukan.

Anak-anak lain yang juga sedang bersiap-siap untuk pulang melihat dengan terheran-heran. Shinjou bertanya padanya apa yang terjadi, namun pertanyaannya dijawab dengan isakan.

Akhirnya kami putuskan untuk membawanya masuk ke kelas kami untuk sementara waktu, dan setelah ia sedikit tenang, kami utarakan kembali pertanyaan yang sama. Ia berkata bahwa Nanase tak akan terbangun lagi.

Tak mengerti maksud kata-katanya, kami minta ia untuk menjelaskan, dan setelahnya ia memberikan penjelasan dengan sedikit terisak.

Ia baru saja ditelepon oleh ibu Nanase.

Nanase jatuh tertidur dan tidak bangun lagi, tak bereaksi entah berapa kali ibunya memanggil namanya, entah berapa kali ibunya mengguncang-guncangkan tubuhnya.

Awalnya, sang ibu berpikir bahwa putrinya hanya tertidur lelap, tapi karena tak ada yang bisa membangunkannya, Nanase pasti berpura-pura tidur. Namun, karena tak ada reaksi apapun, kemungkinan itu juga dicoret.

Khawatir, ibunya memanggil dokter, yang tak bisa menjelaskan mengapa Nanase tertidur begitu lelap. Pada akhirnya, mereka putuskan untuk menunggu dan terus mengawasinya sebelum mengambil langkah berikutnya, karena kondisinya juga masih stabil.

"Jangan-jangan ia minum obat tidur itu... Aku, aku tak mengatakan pada ibunya tentang obat itu ketika aku meneleponnya tempo hari, yang kukatakan hanya bahwa Maya terlihat sedang kurang sehat. Mungkin, ia minum beberapa tablet dan..."

Ternyata, Akanuma mengikuti saranku untuk memberikan kabar pada ibu Nanase, tapi ia tak sanggup menceritakan tentang obat tidur pada sang ibu. Aku bisa mengerti kenapa meminta ibu dari temannya itu untuk mengawasi anaknya karena ada kemungkinan ia bunuh diri adalah hal yang benar-benar sulit. Lagipula, Akanuma sendiri pasti juga tak mau percaya bahwa temannya akan bunuh diri dengan cara seperti itu.

Memintanya untuk menjelaskan pada ibu Nanase tentang obat tidur itu adalah kesalahan besar. Seharusnya aku sendiri yang melakukannya, meskipun itu bukan urusanku.

"Maya... Maya... Aku, aku minta maaf...," Akanuma berusaha meminta maaf, isakannya terdengar semakin keras.

"Hei, ini bukan salahmu, Akanuma," dengan hati-hati Shinjou berusaha menenangkannya, tapi Akanuma terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.

"Shinjou benar, Akanuma. Dokter pasti juga akan tahu kalau memang Nanase tidur karena obat itu, kan? Pasti ada hal lain; mungkin sesuatu yang berhubungan dengan masalah kejiwaan."

Aku berbohong. Bukan tentang obat itu, namun mengenai asumsi bahwa semua ini terjadi karena masalah kejiwaan.

Masalahnya sudah cukup jelas.

Kemungkinan besar, mangkok dupa itu — sebuah Relik — adalah penyebabnya.



Aku buru-buru kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo dan menanyakan lagi tentang Relik itu pada Towako-san:

"Apakah mangkok dupa itu membuat penggunanya tetap tertidur dalam waktu yang lama?"

"Tidak, setahuku tak ada efek sampai sejauh itu," ia menolak kekhawatiranku.

"Tapi gadis itu tidak bangun lagi. Apakah kau tak pernah mendengar tentang efek samping yang muncul setelah penggunaan berkali-kali?"

"Sepertinya tidak."

Lalu, apakah ia akan terbangun dengan sendirinya setelah beberapa lama?

Aku tak bisa mempercayai harapan yang tak jelas seperti itu. Lagipula, ia sudah tertidur lebih dari sehari.

"Apakah ada durasi tidur tertentu yang diakibatkan oleh mangkok dupa itu?"

"Sekali kau sudah jatuh tertidur, tak masalah apakah dupanya masih terbakar atau tidak, dan kau bisa terbangun begitu saja karena jam tidurmu sendiri sebenarnya tetap normal."

Namun, tidurnya Nanase, bertahan lama.

Kelelahan karena terus-terusan begadang sampai pagi, mungkin saja seseorang tidur seharian penuh. Namun, jika seorang gadis yang terus menerus tidur, tidak terbangun meskipun berbagai usaha sudah dilakukan untuk membangunkannya, jelas-jelas itu bukan hal yang wajar.

Pasti ada hal yang lain.

"Mungkinkah ia sendiri menolak untuk terbangun?" saran Saki, yang dari tadi mendengarkan pembicaraan kami. "Aku takkan terkejut apabila ia ingin tetap tinggal disana setelah ia merasakan perubahan dari mimpi ke kenyataan berulang-ulang."

"Maksudmu, ia berharap dalam mimpinya untuk tetap tertidur?"

"Hm, kalau begitu, sepertinya cukup masuk akal jika ia ingin tetap tinggal disana," Towako-san setuju.

"Tapi, kalau begitu bagaimana kita membangunkannya?" tanyaku. Kalau hanya keinginannya sendiri yang bisa melepaskannya dari ikatan Relik itu, maka kami tak bisa apa-apa. Itu berarti kami harus menunggunya untuk berubah pikiran.

"Sebenarnya ada jalannya, tapi kusarankan kau tak melakukannya," kata Towako-san mewanti-wanti.

"Bisakah kau menjelaskannya?"

"Kau bisa masuk ke mimpinya dan membujuknya untuk bangun."

"Apakah itu mungkin terjadi?"

"Ya, tentu. Tapi, tentunya, kau juga harus menggunakan mangkok dupa itu untuk tertidur, dan kau harus menyentuh orang yang mimpinya ingin kau masuki."

"Sepertinya cukup mudah... Tapi kalau soal membujuk, sepertinya lebih baik meminta bantuan teman atau orang tuanya..."

"Tidak. Itu terlalu berbahaya. Kalau seseorang memasuki mimpinya tanpa pengalaman apapun dengan Relik, mereka akan terjebak disana. Singkatnya, mereka tak akan terbangun lagi."

Ternyata tak semudah yang kubayangkan. Namun, aku juga tak bisa membiarkan masalah ini berlalu begitu saja.

Kuingat-ingat lagi Nanase yang kulihat di Vision.

Aku tak tahu apakah rasa simpati atau kenyataan bahwa kematiannya bukan suatu hal yang mencolok yang membuatku membiarkan semuanya terjadi sampai sejauh ini, tapi aku merasa marah dengan diriku sendiri karena mengabaikan petunjuk yang sudah kulihat sendiri.

"Apakah kau akan melakukannya?" tanya Towako-san.

"Ya."

"Hati-hati. Dalam hal ini, kau akan jadi penyusup, bukan tuan rumahnya. Itu berarti bahwa dia yang memegang kendali. Kemungkinan terburuk, kau takkan bisa kembali lagi. Secara otomatis, kau akan mati."

Towako-san memberikan satu peringatan lagi.

"Jangan sampai kau terjebak di dalam mimpi!"



Hari ini, kami kembali ke kebun binatang karena kami harus membatalkan kunjungan kami minggu lalu.

...Eh? Kenapa kami membatalkannya minggu lalu? Apakah ada suatu masalah? Hujan? Apakah kebun binatangnya tutup waktu itu? Tapi aku ingat kalau kami akan pergi melihat panda...

Ya sudahlah.

Shiga-senpai sudah menungguku, melambaikan tangan dan tersenyum.

"Apakah aku membuatmu menunggu lama?"

"Ya, tentu saja! Aku tak sabar ingin bertemu denganmu!" katanya, membuatku tersipu. Untung saja ia tidak mengatakan sebaliknya — aku senang ia tak sabar untuk bertemu denganku.

"Yang lain harusnya akan datang sebentar lagi."

Baru saja kubilang begitu, Shinjou-senpai dan Sarina tiba. Setelah kami bertemu, tiba-tiba kami sudah berada di depan kebun binatang. Kami masuk dan berjalan-jalan di dalam, melihat beberapa keluarga dan pasangan disana-sini.

"Yang mana yang mau kau lihat dulu, Senpai?" Aku ingin sekali melihat panda.

"Bagaimana kalau panda?"

Hewan yang ingin ia lihat sama dengan yang ingin kulihat. Senang sekali rasanya apa yang kami suka ternyata sama.

"Sepertinya mereka ada di sana!" kataku, menunjuk ke suatu arah.

Tak lama setelah kami berjalan, kami sampai di kandang panda. Ada begitu banyak beruang berwarna hitam-putih yang mengunyah bambu dengan santai atau bermain-main dengan ban karet. Pemandangan ini mengingatkanku pada kunjungan terakhirku ke kebun binatang ini, ketika aku pergi kemari dengan keluargaku. Saat itu, sikap panda yang tak acuh dengan orang-orang yang melihatnya, serta begitu santainya hidup mereka, membuatku hewan-hewan ini terlihat seperti pemalas di mataku.

"Mereka ini memang pemalas, ya?" kata pacarku tertawa. "...Kenapa?"

"Aku tak mengira kita memikirkan hal yang sama."

Terakhir kali aku kesini, harapan-harapan masa kecilku akan hewan-hewan benar-benar terkhianati, mereka membuatku sangat bosan. Tapi setelah SMA, aku akhirnya bisa menikmati kebun binatang sepuasnya.

Tidak, kupikir aku bisa menikmati apapun selama aku bersama Shiga-senpai.

"Apa yang kau pikirkan sekarang?" tanyanya.

"Tentang betapa menyenangkannya bersamamu."

Aku suka melihat jerapah, sama seperti aku suka melihat gajah dan macan.

Aku senang Senpai ada di sisiku.

Jika aku kehilangan dirinya, aku pasti akan putus asa.

"..."

Seberkas kesedihan muncul di pikiranku untuk sesaat.

Aku tak boleh berpikir mengenai hal bodoh seperti itu. Tak mungkin hal seperti itu terjadi. Tak mungkin ia pergi meninggalkanku.

Kubuang jauh-jauh pikiran konyol itu dan menarik lengan Shiga-senpai. Lihat! Ia ada di sini. Ia takkan pergi kemana-mana. Kalau ia pergi, ia akan membawaku bersamanya. Kami akan selalu bersama selamanya!

"Hei, Senpai, kemana kita pergi beriku—" kata-kataku terputus ketika aku melihat seseorang berjalan menuju kami berdua. Ia berhenti tepat di depan kami. "Kalau aku tak salah, kau..."

Aku pernah bertemu orang ini satu kali sebelumnya, ketika...eh? Dimana, ya? Aku juga tak ingat namanya. Tapi sepertinya aku mengenal orang ini.

"Tak ingat aku? Kita pernah bertemu, tapi perlukah aku memperkenalkan diri lagi? Namaku Tokiya Kurusu, setahun di atasmu, dan satu kelas dengan Shinjou dan Shiga."

"...Maaf, tapi dimana kita pernah bertemu?"

"Di rumahmu."

Kulihat dirinya dengan penuh keterkejutan.

Hei, aku takkan membawa laki-laki yang tak kukenal ke rumah!

Ah, bukankah ia bilang ia satu kelas dengan Senpai? Kita pasti pernah bertemu ketika aku datang ke kelasnya, kalau begitu. Pantas saja aku samar-samar mengingatnya...

"Aku ikut bersama Shinjou ketika ia pergi membesukmu, apakah kau ingat?"

Membesuk? Siapa? Aku? Tapi aku tak sakit sama sekali.

"Maaf, tapi sepertinya aku memang bukan salah satu karakter yang ada di mimpimu," kata laki-laki itu.

Mimpi?

Apa..maksudnya..mimpi?

Di suatu tempat di dalam hatiku, suatu retakan muncul, yang lalu merambat dan memberikan suatu sensasi yang aneh. Sensasi yang kurasakan ketika aku tersadar bahwa aku sedang bermimpi.

Aku terbangun.

Kepalaku menjadi jernih dan semakin jernih.

Tidak! aku mencoba berteriak, tapi semuanya tak dapat dihentikan lagi.

Aku baru tersadar — bahwa semua ini hanya mimpi.



Menyelinap ke mimpi Nanase ternyata tak sesulit yang kuduga.

Karena orang tuanya sudah putus asa dan sibuk mencari dokter dan telah memasukkan anaknya ke rumah sakit, mudah sekali untuk tinggal berdua saja dengan Nanase. Selain itu, aku juga berpura-pura ketinggalan sesuatu barang di rumahnya untuk mengambil mangkok dupa yang ada di kamar Nanase.

Aku penasaran seperti apa dunia di dalam mimpinya. Namun yang menantiku disana, hanyalah sebuah kebun binatang yang dikelilingi oleh kegelapan, terlihat sama seperti lampu bohlam yang tergantung di tengah ruangan yang gelap gulita. Karena hanya itu yang ada disana, aku tak perlu khawatir akan tersesat.

Masuk ke kebun binatang, aku melihat Nanase dan Shiga, juga Shinjou dan Akanuma. Sepertinya mereka kemari untuk berekreasi bersama, seperti yang ada dalam foto yang ditunjukkan padaku tempo hari.

"Kalau aku tak salah, kau..." kata Nanase ketika aku berdiri di depan matanya.

"Tak ingat aku? Kita pernah bertemu, tapi perlukah aku memperkenalkan diri lagi? Namaku Tokiya Kurusu, setahun di atasmu, dan satu kelas dengan Shinjou dan Shiga."

"...Maaf, tapi dimana kita pernah bertemu?"

"Di rumahmu."

Ia menoleh ke arah Shiga.

Ya, tapi kita tak melakukan hal yang aneh, bukan?

"Aku ikut bersama Shinjou ketika ia pergi membesukmu, apakah kau ingat?" kataku mencoba menjelaskan, namun membuatnya semakin kebingungan.

Sepertinya ia tak begitu ingat apa yang terjadi di dunia nyata.

"Maaf, tapi sepertinya aku memang bukan salah satu karakter yang ada di mimpimu."

Ia terkejut mendengar kata mimpi.

Dari yang bisa kulihat, ia mampu membuat banyak orang, selain Shiga dan dirinya, muncul di mimpinya. Tapi aku jelas-jelas tidak ikut dimasukkan dalam dunia mimpi ini.

Lagipula, ia baru bertemu denganku setelah mengetahui kenyataan yang menyakitkan ini. Tentu, aku bukan karakter yang tepat untuk muncul di mimpi indahnya.

Tapi, ketika dia telah mengingatku, mau tak mau ia harus menerima kenyataan bahwa semua ini hanyalah mimpi.

Tentu saja, ia akan mampu mencari cara untuk menipu dirinya sendiri, tapi untuk melakukannya, ia harus berpikir, dan mau tak mau, ia akan sadar bahwa sekarang ia sedang berada dalam dunia mimpi juga.

Kau tak bisa terus bermimpi setelah kau sadar bahwa kau ada di dalam mimpi. Mimpi tetaplah mimpi selama kau belum sadar akan kenyataannya.

"...Bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanyanya padaku setelah ia menyadari semuanya.

"Kau bukan satu-satunya orang yang bisa bermimpi dengan menggunakan mangkok dupa itu, lho."

Matanya membelalak. "Kau tahu tentang mangkok dupa itu?"

"Ya. Membuatmu bisa mengendalikan mimpimu jika kau membakar dupa di dalamnya, kan? Terlebih lagi, kau bahkan juga bisa masuk ke mimpi orang lain."

"Bisakah kau tidak masuk ke mimpiku tanpa ijin dariku?"

Ia jelas-jelas sadar bahwa ia sedang tertidur, tapi ia masih belum terbangun.

"Tahukah kau apa yang terjadi di luar sana, sekarang?" tanyaku, membuat alisnya mengkerut. "Kau telah tertidur selama beberapa hari dan belum terbangun sama sekali."

"Beberapa hari?"

"Ya. Orang tuamu telah membawamu ke rumah sakit. Mereka khawatir denganmu. Tapi tak seorangpun tahu kenapa kau bisa tertidur selama itu, itulah mengapa orang tuamu sekarang sedang mencari dokter."

"..."

"Akanuma juga menyalahkan dirinya sendiri."

"Mengapa...?"

"Ia yakin bahwa semua ini terjadi karena obat tidur, dan ia tahu kau meminumnya. Meski begitu, ia tak mampu mengatakannya pada ibumu. Ia tak mencoba untuk menghentikanmu, dan sekarang ia menyalahkan dirinya sendiri."

"Tapi itu tidak benar..."

"Kenapa tak kau katakan sendiri padanya? Di dunia nyata," kataku, mengabaikan Akanuma versi dunia mimpi yang berdiri di sebelah Nanase. "Shinjou dan Akanuma sekarang ada di sekolah!"

Setelah itu, Shinjou dan Akanuma versi mimpi lenyap begitu saja.

Sepertinya, Nanase mulai tersadar bahwa mereka kedua temannya seharusnya tidak ada disini sekarang. Keberadaan mereka di dalam mimpi ternyata tak sekuat yang kukira.

Dunia mimpinya hancur sedikit demi sedikit seiring dengan semakin jernih pikirannya.

Kulihat Shiga, ia sudah berada di depan Nanase, seolah-olah ingin melindunginya, matanya melotot ke arahku. Ia benar-benar terlihat seperti Shiga yang asli. Begitu miripnya, aku akan menganggapnya nyata kalau saja ini bukan mimpi.

"Kau ingin Shiga melindungi dirimu? Atau kau berharap bahwa dia akan melindungi dirimu?" tanyaku dengan nada menantang.

"..."

"Aneh: Shiga yang kukenal adalah laki-laki yang tenang dan tidak akan berkelahi."

"Apa maksudmu?"

"Mungkin ia bukanlah Shiga yang sebenarnya, tapi hanya cerminan Shiga yang menurutmu ideal?"

"Itu tidak benar!" desisnya.

"Setiap keinginanmu mungkin akan menjadi kenyataan di dunia mimpi ini, tapi sama sekali tak ada yang nyata. Semua ini palsu." kutunjuk hewan yang ada di kandang di belakangnya. "Tidakkah kau tahu bahwa panda punya ekor putih?"

"Eh?"

Nanase berbalik melihat panda-panda itu. Ekor mereka hitam. Ketika ia menyadari kesalahan di ingatannya tentang panda, ekor-ekor itu berubah menjadi putih dalam sekedipan mata.

Jujur saja, aku sendiri tak tahu seperti apa warna ekor panda sebenarnya. Yang kuperlukan hanya mengubah sesuatu dengan kehendak Nanase sendiri.

"Aku benar, kan?" kataku. Ia kembali berbalik, menghadapku, merengut. "Aku tak tahu apa yang kau rasakan, dan menurutku silahkan saja kalau kau ingin menemuinya di dalam mimpi! Tapi jika kau memang harus menemuinya, bisakah kau lakukan di malam hari saja?"

"..."

"Kau tak bisa bergantung terlalu erat pada mimpi-mimpi itu sampai kau membuat keluarga dan teman-temanmu khawatir."

"...Rasanya...aku benar-benar tersiksa," Nanase berbisik lirih. "Bukannya aku tak ingin melepaskan semuanya, tapi aku benar-benar tak mampu. Awalnya, aku tak keberatan menemuinya hanya di dalam mimpi. Tapi setiap kali aku terbangun dan kembali ke dunia nyata, aku kembali disadarkan bahwa ia sudah tak ada di dunia ini lagi. Rasanya benar-benar menyakitkan."

"Dan itu mengapa kau ingin terus tertidur?"

Ia mengangguk tanpa suara.

Itulah alasan mengapa ia masih tak terbangun meskipun ia sadar bahwa ia sedang berada dalam dunia mimpi. Untuk mengakhirinya, mau tak mau aku harus mengubah pikirannya.

"Tapi tidakkah kau merasa hampa setelah kau tahu bahwa ini hanyalah mimpi?"

"Ya! Tapi dia ada disini. Mungkin aku merasa hampa, tapi tidak itu saja: aku juga merasa senang disini. Disini, aku bisa bahagia. Kenyataan, di sisi lain, terus-terusan menghancurkanku. Karena itu, bukankah lebih baik memilih mimpi, meskipun semuanya terasa hampa?"

"Kau benar-benar tak peduli jika semua ini palsu?" tanyaku sekali lagi.

"Semua ini tidaklah palsu. Semua yang kaulihat disini adalah nyata, selama kau berada dalam mimpi. Selama aku tetap tak mempedulikannya, semua ini adalah nyata. Kalau bukan karenamu, semuanya akan tetap sama seperti sebelumnya."

"Kau salah! Semua yang akan kau lihat disini adalah palsu. Shiga sudah tiada."

"Apa maksudmu? Kau bohong..."

"Aku tak berbohong."

"Kalau kau tak berbohong, pasti kau sedang bercanda!"

"Aku juga tidak bercanda."

"Jadi itu hanyalah omong kosong?"

"Dengar, Nanase. Shiga sudah—"

"Hentikan! Hentikan! Jangan kau katakan lagi!" teriaknya berusaha menyangkal sembari menutup mata dan menggelengkan kepala, ia tahu apa yang akan kukatakan.

Ia tahu apa pengaruh kata-kata yang kuucapkan.

Untuk sesaat, aku ragu; tapi meskipun aku tak ingin membuka luka lama, aku harus mengatakannya, untuk membangunkan Nanase.

"Shiga sudah tiada."

"Tak mungkin. Itu tak mungkin! Dia tak akan mati begitu—" ia berhenti di tengah kata-katanya sendiri.

"—Ya. Shiga sudah meninggal."

"Ah..."

Kenyataan pahit yang kukatakan mulai menghapus Shiga seperti hantu yang tembus pandang — sama seperti Shinjou dan Akanuma — seolah-olah kenyataan mulai mendekati Nanase.

Dengan teriakan "Tidak!" ia berusaha meraih kekasihnya yang telah tiada, namun tanpa berhasil menyentuhnya, ia terjatuh.

Shiga sudah lenyap, bahkan dari dunia mimpi.

Aku telah membuat ia kehilangan kekasihnya lagi; aku telah membuatnya menderita sekali lagi.

Namun, aku yakin inilah yang seharusnya kulakukan.

"Ada orang-orang yang menunggumu di dunia nyata. Ayo pulang."

Nanase mengepalkan tangannya, masih berlutut di tanah. "...Kau bilang kau tak tahu apa yang kurasakan, dan kau benar. Tolong jangan berbicara seperti itu kalau kau tak tahu apa-apa. Lagipula, kau akan melakukan yang sama kalau kau sendiri yang mengalaminya! Aku yakin itu!"

Nanase mengangkat kepalanya.

Pipinya merah, basah karena tangis, dan pandangan matanya terkunci padaku.

"Kau tak seharusnya ada disini. Pergi... Pergi kau dari sini!"


——!


Aku terbangun di bangsal rumah sakit, terbaring di lantai dengan mata tertuju ke atas.

"Tokiya," kudengar suara yang familiar. Sesaat kemudian, wajah Saki muncul di depan mukaku, menutupi langit-langit bangsal. Saat itulah aku merasa ada yang empuk di bawah kepalaku.

"Woah!" aku tersadar bahwa kepalaku sudah ada di pangkuannya dan terbangun. "A-Apa? Kenapa kau ada disini?"

"Towako-san memintaku untuk menyusulmu karena kau lama sekali."

Menurut jam, sekarang sudah jam tiga lewat. Aku menjadi berpikiran bahwa waktu telah berlalu lebih cepat ketika aku ada di mimpinya—yang menurutku cukup masuk akal karena itulah anggapanku tentang mimpi.

"Ah, benar...!" aku teringat kenapa aku ada disini, lalu melihat ke tempat tidur dimana ia sedang terbaring. Namun, ia masih bernafas dengan tenang seperti sebelumnya, dan tak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Kucoba untuk mengguncangkan tubuhnya, tapi tak ada gunanya.

"Tokiya, ayo pergi sebelum kita mendapat masalah."

Meskipun aku sudah mendapat izin dari orang tuanya, aku masih merasa tak enak untuk berlama-lama di bangsal rumah sakit bersama seorang gadis yang tak sadarkan diri, dan kuputuskan untuk mencoba membujuknya lagi lain kali. Mungkin, pikirku, aku harus mengajak Akanuma atau temannya yang lain untuk membantu.

Kuambil mangkok dupa dan pergi meninggalkan rumah sakit bersama Saki.

"Bagaimana, tadi?" tanyanya di perjalanan kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo.

"Gagal total. Kupikir cukup dengan membuatnya sadar bahwa ia ada di dalam mimpi, tapi ternyata tidak. Kita harus membuatnya mau untuk kembali, tapi usahaku tadi sepertinya sia-sia."

"Yah, kau sendiri kan tidak begitu mengenalnya."

"Tapi sepertinya ia tahu kalau ia hanya bermimpi. Mungkin tak ada cara lain selain meminta orang yang dekat dengannya untuk mengajaknya kembali..."

"Tapi apakah itu cara yang benar?" balas Saki.

"Apa maksudmu?"

"Apakah itu akan membuatnya bahagia?"

"...Entahlah. Tapi aku sendiri ada di pihak Shinjou, Akanuma, dan orang tuanya."

"Begitu."

"Ah," kataku ketika kuhentikan langkah.

"Ada apa?" tanyanya sembari berhenti di zebra cross.

"Ini tempat dimana Shiga ditabrak..." ...dan meninggal dunia.

Vas bunga telah diletakkan di atas mejanya selama beberapa hari setelah kecelakaan itu, namun mejanya sekarang bahkan sudah tak ada.

"Bagaimana ia...?" tanyanya.

"Seorang pengemudi yang mabuk menabraknya ketika ia sedang menyeberang jalan ini."

Meskipun sudah berkedip-kedip, namun para saksi menilai lampu pejalan kaki saat itu masih hijau. Ia tidak melompat ke tengah jalan begitu saja — yang ia lakukan tak lebih dari menyeberang jalan sesaat sebelum lampunya merah, seperti yang dilakukan pejalan kaki dimanapun setiap harinya.

Tapi ia justru ditabrak.

Tepat di tengah jalan dimana Saki berdiri sekarang.

"Tokiya, kita harus segera pergi."


Saat itulah suara yang memekakkan telinga memenuhi kepalaku—


Lampu mulai berkedip-kedip.

Sebuah mobil berjalan ke arah kami.

Aku berjalan di zebra cross, dan Saki kembali melangkah maju.

Mobil itu masih tetap melaju meski lampunya masih merah.

Pengemudinya tak menghentikan mobilnya, ia bahkan tak mencoba untuk mengerem.

Mobil itu melaju ke arah kami — menembus zebra cross.

Saki ada di sana.

Saki ada tepati di tengah zebra cross.

Saki menyeberang jalan ketika lampu penyeberang berwarna hijau, seperti yang dilakukan pejalan kaki dimanapun setiap harinya.

—Tubuhnya terlempar ke udara seperti boneka rusak.


Toko Barang Antik Tsukumodo tenang seperti biasanya, sunyi senyap, tanpa tanda-tanda kehidupan.

Tak ada seorangpun pelanggan yang datang.

Tak ada satupun senyuman.

Aku sendiri yang ada di toko.

Tapi itupun tak berarti apa-apa: tokonya tutup.

"Tokiya," kudengar suara memanggilku, dan kuangkat kepala.

Towako-san telah masuk ke toko tanpa sepengetahuanku. Ia mengenakan pakaian tradisional berwarna hitam, dan rambunya terikat rapi. Jarang-jarang, pikirku, lalu aku sadar bahwa aku sendiri juga mengenakan jas berwarna hitam.

Aneh sekali, kami semua memakai pakaian hitam di saat bersamaan. Tidak, yang benar-benar aneh adalah hilangnya satu orang gadis yang suka dengan warna hitam.

"Towako-san, dimana Saki?" tanyaku seperti seorang idiot.

"Tokiya..."

"Ah, ia pergi berbelanja, kan? Kalau begitu, ia akan kembali satu jam lagi. Apakah aku perlu membuka tokonya sekarang? Toh tak akan ada pelanggan yang datang."

"Tokiya."

"Maksudku, ia benar-benar suka dengan toko ini, seperti ia suka melayani pelanggan dan hal-hal semacamnya, bukan? Selalu berpikir bagamana ia dapat meningkatkan penjualan toko ini, namun selalu gagal... tapi ia terus melakukannya karena ia menyukai toko ini, jadi mungkin saja ia takkan kembali lagi jika kita tak membukanya, kan?"

"Tokiya!" jerit Towako-san ketika tangannya menampar wajahku. "Sadarlah. Saki-chan tak akan kembali lagi."

"..." kualihkan pandangan darinya dan berjalan ke arah pintu untuk membuka toko.

Namun, Towako-san memegang lenganku dan menarikku. Dengan genggaman tangan yang lebih erat dari yang kukira — begitu erat sampai terasa sakit.

Ia memegang kepalaku dan menatap mataku dalam-dalam. Dengan mata yang lebih serius dari yang kukira — begitu serius sampai terasa sakit.

Hentikan.

Hentikan.

Towako-san, kumohon, jangan kau katakan.

Aku tahu; jadi jangan katakan lagi.

Karena jika kau tak mengatakannya, aku bisa tetap berpura-pura tak tahu.

Jadi kumohon, jangan katakan—


"Saki-chan sudah mati."


Kenyataan yang pahit berhasil menangkap diriku.

Ya, kata kenyataan muncul di kepalaku dan segalanya menjadi jelas. Namun aku berusaha untuk menolaknya, dan pada akhirnya kubuang semuanya.

"Apa maksudmu? Kau tak boleh berbohong tentang hal-hal seperti..."

"Aku tak berbohong."

"Kalau begitu kau pasti sedang bercanda!"

"Aku juga tak bercanda."

"Jadi yang kau katakan barusan omong kosong?"

"Tokiya! Saki-chan sudah—"

"Tidak!" kupotong kata-katanya sebelum terlambat.

Itu tak benar.

Hal itu tak mungkin terjadi.


tak mungkin ia sudah mati.


Kututup mata dan kubuang muka.

Betapa bodohnya aku.

Tak seharusnya aku menutup mataku, karena aku bisa melihat Saki di balik kelopak mataku.

Ia terbang di udara seperti boneka dan jatuh begitu saja ke tanah, kaki dan tangannya melambai-lambai seperti boneka yang dilempar ke udara.

Tapi genangan berwarna merah yang ada di sekelilingnya menjadi bukti bahwa ia bukanlah boneka.

Betapa kerasnya aku menangis, betapa kasarnya kuguncang tubuhnya, ia tak bergerak sedikitpun.

Kematiannya tiba dengan begitu cepat.

Saki melayang di udara dan jatuh menghantam jalan, dan ia telah meninggal ketika kuhampiri. Kematiannya disebabkan karena benturan keras di kepala, entah ketika ditabrak mobil, atau ketika ia jatuh ke tanah. Menurut dokter, bahkan Saki sendiri mungkin tak sadar apa yang terjadi.

Dan aku masih tak bisa menerimanya.

Saki telah mati.

Meskipun kata-kata itu masuk akal, hati dan pikiranku tetap menolak untuk mengakuinya.

Semuanya terjadi begitu cepat.

Aku tahu, hal seperti ini bisa saja terjadi kepada siapapun, Itulah hidup. Tapi tidak untuk Saki; Saki adalah gadis yang dekat dan begitu berharga bagiku, dan aku sendiri seharusnya bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya.

Dan baru saja, Saki meninggal di depan mataku. Tepat di depan mataku, seperti Vision yang kulihat—

Tunggu.

Bukankah ini masih masa depan yang ditunjukkan oleh Vision?

"Benar. Aku hanya sedang melihat Vision sekarang ini!"

"Tokiya..."

Tepat, aku paham sekarang!

Aku sedang melihat masa depan melalui Vision.

Itu berarti aku masih bisa mengubah masa depan.

Aku akan mengubahnya.

"Cepat, aku harus kembali terbangun."

Kalau tidak, aku akan terlambat.

Semuanya terjadi di jalan pulang dari rumah sakit.

Di jalur penyeberangan.

Itulah tempat dimana Saki ditabrak.

Aku harus menghentikannya.

Entah itu dengan menghindari rumah sakit sejak awal.

Entah itu dengan tidak menyeberang jalan disitu.

Entah itu dengan melompat ke arah mobil itu bergerak untuk menggantikannya.

Aku harus mengubah masa depan entah bagaimana caranya.

"Aneh. Kenapa kali ini Vision begitu lama? Bawa aku kembali sekarang. Sudah cukup banyak yang kulihat. Waktunya hampir habis!"

Kubenturkan kepalaku ke dinding. Kupukul-pukul kepalaku. Tapi aku masih tak terbangun.

"Ayolah! Segera bangun! Cepat!"

Ini hanyalah Vision.

Dan aku akan menyelamatkannya.

Tentu saja itu yang akan terjadi.

Itulah yang harus terjadi.

Kupukul-pukul lagi kepalaku. Kujambak rambutku. Tapi aku masih tak terbangun. Aku tak bisa terbangun.

"Bangun!"

Kenapa Vision ini masih terus berlangsung? Rasanya seakan-akan — ini adalah kenyataan.

"Bangun... sekarang juga...!"

"Tokiya, cukup," kata Towako-san yang meletakkan tangannya di bahuku.

Hangat.

Kehangatan adalah sesuatu yang tak pernah kurasakan di Vision.

"Tapi semua ini tak mungkin terjadi, kan? Semua ini benar-benar absurd! Ia tak akan mati begitu saja di depan mataku. Seharusnya semua terjadi seperti yang lainnya: aku menerima Vision dari kematiannya, dan lalu aku menyelamatkannya. Seharusnya itulah yang terjadi!"

"Semua ini telah terjadi," balasnya dengan tenang, berusaha menjauhkan matanya dari pandangan mataku. Suaranya begitu tenang hingga kegusaranku sedikit mereda.

Aku akan menjadi gila kalau saja ia tak berteriak kepadaku; kenapa kali ini ia memperlakukanku seperti orang dewasa ketika seharusnya ia tak seperti ini?

Dengan begini, mau tak mau aku juga harus mengakui kenyataannya...

"Tokiya. Tahukah kau apa ini?" tanyanya padaku sambil menunjukkan sesuatu.

Mangkok dupa itu.

"Dengan ini kau bisa menemui Saki kapanpun. Namun, hanya di mimpimu."

"Ah..."

"Tapi sekali kau memakainya, kau tak akan bisa kembali. Kau akan terus tertidur."

"Eh?"

"Ingat gadis yang pernah memakai benda ini? Mangkok dupa ini menjadi terlalu kuat, setelah ia terus-menerus bergantung kepadanya."

Suatu mangkok dupa yang bisa membuatmu mengendalikan mimpimu.

Yang bisa membuatmu menemui orang yang sudah meninggal di mimpimu.

Tapi juga akan membuatmu mengabaikan kenyataan ketika kau memakainya.

"Aku takkan menghentikanmu. Semua tergantung pilihanmu," katanya berusaha meyakinkanku dengan senyuman pahit dan tangan yang menyodorkan Relik itu. "Ambillah kalau kau mau. Kalau tidak, aku akan menghancurkannya sekarang, untuk selamanya."

Kalau aku mengambilnya, aku harus berpisah dengan Towako-san, teman-temanku, dan keluargaku. Kalau aku tak mengambilnya, aku harus berpisah dengan Saki.

Apa yang harus kulakukan?

Mana yang harus kupilih?

Di dunia ini, aku tak bisa bertemu dengan Saki.

Di dunia lain, aku tak bisa bertemu yang lainnya.

Manapun yang kupilih, aku akan kehilangan sesuatu. Aku harus melepaskan salah satu diantaranya.

"Tapi aku..."

Aku tak bisa memilih. Tapi aku harus. Aku harus memilih sesuatu yang tak bisa kupilih.

"Aku...Aku..."

"Pertimbangkan baik-baik. Bayangkan juga dunia mimpi yang kauinginkan."

Kubayangkan dunia yang sesungguhnya.

Seperti biasa, aku pergi sekolah, dan bekerja di Toko Barang Antik Tsukumodo setelahnya. Aku disini, Towako-san disini, tapi tak ada Saki. Tak ada lagi desahan karena melihat pelayanan pelanggannya yang konyol, tak ada perdebatan yang tak jelas, tidak lagi membaca apa yang ada di balik wajahnya yang kaku itu.

Lalu kubayangkan dunia mimpi.

Aku menghabiskan waktu bersama Saki. Aku hanya berdua saja dengan Saki yang kubayangkan sendiri — tanpa teman-temanku, tanpa Towako-san... Benarkah begitu? Aku bisa membayangkan dunia ini semauku. Aku hanya perlu membayangkan mereka ada disini juga.

Dan membuat dunia dimana ada Towako-san, teman-temanku, keluargaku, dan Saki.

Tanganku meraih mangkok dupa itu — dan berhenti.

Apa kau yakin? Apa kau benar-benar yakin? Bisakah kau hidup di dunia fana seperti itu?

Lalu aku teringat apa yang pernah dikatakan Towako-san padaku.


Mimpi sama saja dengan kenyataan, selama kau tak menyadari bahwa itu adalah mimpi.


Dunia itu akan nyata selama aku terus-menerus menipu diriku sendiri.

Dusta akan berubah menjadi kenyataan.

Kalau begitu, kenapa aku tak pergi ke dunia mimpi saja kalau begitu?

Saki tak ada disini. Itu adalah fakta yang tak bisa dibantah lagi. Bisakah aku menerima kenyataan? Bisakah aku bertahan di dunia ini? Di dunia tanpa Saki? Di dunia dimana aku kehilangan sesuatu yang sangat penting untukku?

Namun, di dunia lain, aku bisa mendapatkan segalanya. Towako-san, teman-temanku, keluargaku, dan tentu saja Saki yang menungguku disana.

Towako-san sudah mengatakan bahwa aku takkan bisa kembali lagi; kalau aku tak perlu takut akan terbangun suatu saat nanti; maka aku juga tak perlu takut akan tersadar bahwa semua ini hanya mimpi. Aku bisa terus percaya bahwa dunia mimpi itu adalah dunia yang nyata.

Mimpi yang akan terbebas dari batas-batas mimpi.

Aku dapat membuat kenyataan yang ideal.

"Aku..."

Towako-san benci melihat orang-orang menggunakan Relik.

"Aku..."

Karena ia telah melihat begitu banyak orang menghancurkan hidupnya dengan Relik.

"Aku..."

Karena itu, ia terus berusaha mengumpulkannya sendiri dan menyimpannya.

Meski begitu, ia memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih.

Ia melawan prinsipnya sendiri demi diriku.

Ia rela melihatku pergi dengan senyuman, pergi menuju kehancuranku yang indah.

"Selamat tinggal."

"Ya."

Kuambil mangkok dupa yang ia sodorkan padaku.


Aku kembali tersadar dan sekarang sudah ada di depan Nanase.

Aku merasakan sesuatu yang aneh, seperti merasa baru bangun dari tidur.

"Mimpi?"

"Ya. Aku baru saja menunjukkan padamu sebuah mimpi dengan kekuatan yang kumiliki di dunia ini, sehingga kau bisa merasakan apa yang kurasakan," katanya ketika berdiri di depanku, lalu ia menunduk padaku, karena aku sedang berlutut. "Tapi aku tak tahu apa yang kau impikan. Aku juga tak tahu yang mana yang kau pilih."

Kami telah merasakan rasa sakit yang sama — dan kami telah menghadapi pilihan yang sama.

Nanase memaksaku memilih antara kenyataan Relik yang palsu atau kenyataan yang tak bisa diubah lagi dengan mengirimkanku ke dunia mimpi dan membuatku kehilangan seseorang yang dekat denganku.

"Jangan sampai kau terjebak di dalam mimpi!"

Peringatan dari Towako-san tiba-tiba terlintas di benakku.

"Yang mana yang kau pilih?" tanya Nanase dengan tenang.


"...mangkok dupa itu."


Aku sama sekali tak mencoba berbohong.

Nanase menatapku dalam-dalam. Aku hanya bisa membalas tatapannya sekali, tapi tak mampu menahan tatapannya, mataku kuputar ke arah lain.

"Aku ingin berterima kasih atas semua usahamu, tapi aku takkan kembali."

"..."

Kuputuskan bahwa aku tak bisa menolak kata-katanya, lalu aku berusaha berdiri lagi.

"Bisakah kau meminta maaf atas namaku ke... tidak, lupakan. Aku sendirilah yang harus menanggung derita telah mengabaikan mereka semua. Lagipula, kau bukan orang yang tepat untuk hal seperti itu," ia tertawa pahit dan mengutarakan satu permintaan: "Bisakah kau membuang mangkok dupa itu dan memastikan bahwa aku adalah orang bodoh terakhir yang menggunakannya?"

Shiga kembali berdiri di sisi Nanase.

Sebelum aku bisa mengangguk, keduanya telah menjauh dariku. Ia menghapus sisa-sisa kenyataan dan kembali ke mimpinya sekali lagi.

Ia tidak gila.

Ia tidak kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Ia tak dibutakan oleh keinginannya.

Ia telah memutuskan untuk memilih jalan menuju kehancurannya setelah ia memikirkan segala konsekuensinya.

Karenanya, aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, aku juga tak tahu harus berkata apa untuknya, lagipula aku tak punya hak untuk mengatakan apapun kepadanya. Kalaupun ada yang bisa kulakukan, itu tak lebih dari bersimpati karena kesialan yang menimpanya.

Tiba-tiba, aku merasakan sensasi terbangun dari tidur.

Dunia di sekitarku mulai runtuh, berganti menjadi hitam kelam, dan pada akhirnya meninggalkanku di kegelapan yang absolut. Disana, aku kembali mengingat-ingat ekspresi terakhir Nanase setelah ia tahu bahwa kami mengambil pilihan yang sama.

Di matanya aku tak menemukan kebencian kepadaku karena menyiksanya dengan kematian Shiga, dan aku juga tak menemukan pandangan mengejek karena aku telah mengambil langkah yang sama dengannya meskipun aku bersikap seperti orang yang sok tahu sebelumnya.

Yang ada hanyalah rasa iri.

Ia benar-benar iri kepadaku dan iri atas kelegaanku, bahwa semua hanya mimpi—



Aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku tak peduli; dunia tanpanya tak lebih berharga untukku, bahkan dibandingkan mimpi sekalipun.

Hingga kesadaran membuka mataku, aku terus menerus bergelut di dalam mimpi.

Sekali kesadaran membuka mataku, aku kembali ke mimpi-mimpiku.

Itulah jalan yang terus-menerus kulalui.

Mungkin, akan tiba suatu hari dimana aku tak tahan lagi dengan kehampaan dunia ini, dan kembali ke kenyataan.

Tapi untuk sekarang — sampai aku bisa menerima kejamnya kenyataan — aku ingin terus menenggelamkan diriku sendiri di dunia mimpi yang nyaman.

Maaf, semuanya.

Aku takkan melupakan kalian semua.

Aku akan bersama kalian di dunia ini.

Jadi, kumohon, maafkan keegoisanku.



Dengan hati yang berat, aku kembali ke Toko Barang Antik Tsukumodo.

Tadi itu hanya mimpi, pikirku, Aku yakin yang tadi itu hanyalah mimpi.

Namun, aku masih terus merasa gelisah, karena mimpi yang baru saja kurasakan, terasa benar-benar nyata.

Apakah yang tadi itu memang hanya mimpi? Apa yang menantiku di balik pintu ini? Apakah ia akan ada disana?

Kubuka pintu Toko Barang Antik Tsukumodo—

Seperti biasa, aku disambut dengan bel pintu toko.

Seperti biasa, aku disambut dengan toko yang hening.

Dan—

Tsukumodo V3 247.jpg

Seperti biasa, aku disambut dengan wajah yang kaku.

"Selamat datang kembali, Tokiya."

Saki ada disana.

Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, aku buru-buru melangkah ke arahnya, dan memeluknya erat-erat. Kupeluk ia begitu erat tanpa berpikir sedikitpun tentang tubuhnya yang lembut.

Wajah Nanase yang penuh rasa iri muncul di balik kelopak mataku, tapi aku takkan menukar semua ini dengannya. Tak akan kutukar dengan apapun; lupakan saja!

Aku terus memeluknya, terus menanti hingga rasa gelisah yang terus menerus menggangguku lenyap, dan aku bisa merasakan kehangatan dirinya, ketika ia membiarkanku terus memeluknya. Ia hanya berdiri disana seperti biasa, tanpa ekspresi.

Towako-san melihatku dengan penuh kebingungan, tapi meskipun semua ini terlihat konyol, aku tak pernah merasa begitu bersyukur seperti sekarang.

Dari hatiku yang paling dalam, yang bisa kurasakan hanya:

Syukurlah, itu hanya mimpi.






Mundur ke Boneka Kembali ke Halaman Utama Maju ke Putri Tidur