Editing
Kamisu Reina Indo:Jilid 1 Atsushi Kogure
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===Bagian 3=== Kecakapan perseptif dari seorang manusia memiliki kapasitas tertentu; otak kita seperti komputer dan hanya bisa memproses jumlah data tertentu. saat ada kelebihan informasi, mereka berhenti bekerja dengan benar dan mulai memunculkan pesan kesalahan. Penglihatan didepan mataku menghalangiku dari dorongan emosional apapun. Di situ ada mayat; mayat ibuku. Ada mayat; mayat ayahku. Di situ ada mayat; mayat adikku. Lantainya tertutupi oleh genangan darah. Woow, bagaimana aku harus berjalan dilantai yang begitu becek? Tidak, bukan itu masalah disini, 'kan? Woow-woow, mereka mati, bukan? Kamu pasti bercanda. Ini bukan serial TV. Kematian brutal seperti itu tidak terjadi disekitarku. Tapi, ini terlihat cukup nyata. Haha, hei, ini tidak terkendali. Aku tidak bisa percaya ini. Dan sedang apa gadis disana itu? Siapa gadis yang luar biasa cantiknya itu? Ada apa dengan pisau-bersimbah-darah-yang dia bawa itu? Woow-woow-wooow-wooow! Ini ulah KAMU? Meskipun kamu berwajah cantik? Tunggu sebentar! Jangan membuatku marah! Siapa yang mengijinkanmu membunuh keluargaku? Kamu siapa, lagian? Kamu siapa?! Kamu siapa sialan?! “Seperti yang kukira…” Apaan yang seperti kamu kira?! Aneh kamu! Gila Kamu! “Manusia mati ketika kamu menikam mereka.” Iya-lah. Semua anak kecil tahu itu. Semua orang tahu itu, <u>walaupun tidak ada seorang pun yang benar-benar membuktikan kebenarannya.</u> Benar. Keluargaku mati. Mati? Ya, mereka mati…kan? Mereka mati. Ya, mereka mati. M-A-T-I. “A…ah…” aku akhirnya mulai mengerang. Mereka terbaring dilantai. Ibuku, ayahku, adikku, mereka semua terbaring dilantai, tak bernyawa. aku sedang menonton TV sampai beberapa saat lalu. Aku naik keatas sebab mereka marah denganku karena aku menendang adik perempuanku. Apakah itu menjadi adegan yang tidak akan terjadi lagi? Apakah gadis itu telah mencurinya dariku? Apakah itu mungkin? Mampukah dia melakukan itu? “Apakah kamu mau mati, juga?” Dia mampu. Gadis itu mampu melakukannya. Tolong aku tolong aku tolong aku! TOLONG AKU, bu! Ah dia sudah mati! Seseorang! Seseorang tolong aku! Aku terjungkal dan merangkak mundur, membasahi celanaku. Tentu aku tidak bisa kabur kalau seperti ini, tapi aku tidak bisa berdiri juga. Dia mendekat. “H-Hentikan…” Namun, kata-kataku diabaikan. Mengarahkan pisaunya padaku, dia semakin mendekat. Lalu dia mengayunkannya. “Hentikan itu! BERHENTIIIII!” Kemudian aku terbangun sebagaimana biasanya. Aku mengeluh sembari meneguk sup misoku. “Oh, Atsuhi, kenapa kamu mengeluh ketika hari baru saja dimulai?” bibiku sedikit menegurku dengan sebuah senyuman dan menaruh sepiring telur goreng dihadapanku. “Aku bermimpi itu lagi…” aku jawab selagi aku menuang saus kecap diatas telurnya. “Aku mengerti. Semakin sering akhir-akhir ini.” “Ya.” “Ya ampun…kenapa gadis itu punya dendam kepadamu?” Suatu dendam. Jika motifnya sangat sederhana dan masuk akal, aku tidak akan serusak sekarang. “Mungkin kamu sedikit gelisah karena ujian penerimaan sudah dekat?” dia berkata dengan nada khawatir. Dia khawatir; dengan kata lain, aku membuatnya khawatir. Ini buruk. Aku tidak boleh membuatnya khawatir terlebih saat dia sudah khawatir tentang keberadaanku dalam perawatan mental. “Ahaha, tapi aku bahkan belum mulai belajar?” aku tertawa sambil aku <u>memegang dadaku.</u> “Kamu belum? Aku pikir itu cukup menimbulkan masalah, juga!” Ketika bibiku berkata begitu, aku bisa membaca kata-kata “melegakan ketakutanku tidak beralasan” dari wajahnya. Ketakutan yang tidak beralasan. Ya, ketakutannya seharusnya sudah tidak beralasan. Namun, itu suatu fakta kalau mimpinya terasa lebih mengganggu dari biasanya. Aku mulai bermimpi buruk setelah kejadian itu terjadi. Selama bulan pertama, aku tersiksa karena mimpi itu setiap malam, dan setiap kali aku, sangat terganggu dengan itu aku tidak bisa makan apapun. Tapi kamu akan terbiasa bermimpi buruk apapun seiring waktu; belakangan ini, aku hanya akan memikirkan itu sebagai suatu “Mimpi yang jelek.” Biarpun begitu, hari ini berbeda. Dia tidak hanya melukaiku didalam mimpiku, dia juga melukaiku dalam kenyataan pula. <u>Aku memegang dadaku.</u> Mimpi burukku telah bocor kedalam kenyataan dan sedang menyerangku dari situ. itu semua karena aku telah bertemu Reina Kamisu tempo hari. Mimpi buruk itu bukan sekedar mimpi buruk; itu adalah masa laluku yang tidak berhenti menyiksaku. Karena bertemu Reina Kamisu, mimpi burukku telah menjadi kenyataan. Dia menggunakannya sebagai pintu masuk untuk menyerangku. Bertubi-tubi, dia akan menyerangku. Sekarang, berapa lama hatiku mampu menahannya? Aku memasuki kelas, baru saja terkejut seperti kemarin. Ashizawa memotong habis rambutnya, menanggalkan rambut coklat dan panjangnya. Aku meragukan kalau salah satu guru BK memaksanya melakukan hal itu; mereka tidak akan berbuat sejauh itu. Itu pasti keinginan dia sendiri. Ashizawa patah semangat belakangan ini, yang, tak perlu dikatakan, karena dia menyalahkan dirinya sendiri untuk kematian Saito. Ketika dompet yang dia beri ke Mizuhara robek, dia marah kepada Saito yang membuatnya memojokkan dan mengintimidasi Saito. Aku hadir ketika itu terjadi dan mengamati mereka, berencana turun tangan seandainya dia menjadi kasar…tidak, aku tidak tahu apakah aku benar-benar berniat untuk campur tangan. Mungkin, aku hanya berdalih untuk mengkhawatirkan Saito. bagaimanapun, aku mengamati mereka tanpa melakukan apapun. Setelah melihat Ashizawa memotong rambut, hati nuraniku mulai diliputi rasa bersalah. Aku tidak tahu seberapa besar kejadian itu berperan dalam kematian Saito, tapi aku yakin kalau kejadian itu memang memiliki efek. Itu adalah aspek lain yang menggiring Saito melakukan bunuh diri. Namun Bagaimana jika disana ada seseorang yang berusaha menolong Saito ketika dia dikepung oleh Ashizawa dan teman-temannya? Bagaimana jika dia punya rekan yang tidak peduli akan tekanan yang diterapkan Ashizawa? Akankah hasilnya berbeda? Bukankah kita, orang yang bimbang untuk membela Saito, pendosa yang sebenarnya? “Rekan” itu bisa saja aku. Ashizawa telah mengenakan suatu hukuman nyata pada dirinya sendiri seperti seorang pendosa sesungguhnya. Mungkin merasa lalai dan tak beralasan dengan hukuman itu, dia membuat bukti penyesalannya. Lalu bagaimana dengan kita? Kita menyangkal tanggung jawab apapun dan mengurangi masalah dengan sedikit perasaan iba. Bukan Ashizawa atau Kimura atau Mizuhara yang memojokkan Saito, tapi kita yang berusaha menjauhinya sampai akhir. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan melintasi benakku. Kalau dipikir-pikir – <u>Bukankah Saito memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongan?</u> Pada jam makan siang diisi dengan topik Saito dan Kimura karena kepala botak Ashizawa sangat menarik perhatian. Karena rasa amat kasihan kepada Saito menyebar (mereka semua kelihatan merasa bersalah), Takatsuki dan teman-temannya dalam posisi canggung, menjadi orang-orang yang menyalahkan Saito. Aku sudah selesai memakan bekalku dan sedang mengamati kelasku, sikuku bertumpu di meja. Ashizawa terlihat seperti seorang biksu, dan grup Takatsuki tampak seperti kucing-kucing didalam rumah yang tidak dikenal.Ingin tahu apa yang sedang Mizuhara lakukan pada dirinya, aku memandanginya. Wajahnya yang cukup cantik bahkan terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Dia pasti sadar peran inti yang dia mainkan dalam kedua bunuh diri Saito dan Kimura. Selagi aku memandanginya, dia menoleh kepadaku dan kedua mata kami bertemu. Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku untuk pura-pura tak tahu, tapi pandangannya tetap kearahku. “Tak usah pikirkan aku!” aku teriak dalam pikiranku sembari memastikan kalau aku masih diawasi. Namun, teriakan bisuku tetap tidak terdengar; dia berdiri dan berjalan ke kursiku. “Kogure-kun.” Sekarang dia memanggil namaku. Dia memandangku nampaknya bukan suatu kebetulan atau karena dia memperhatikan pandanganku. “Jadi…Ada apa, Mizuhara?” aku bertanya saat menaikkan kepalaku, tampak terganggu. “Kamu pintar, bukan? Maksudku, kamu selalu peringkat satu di kelas ini dan kamu terbaik diantara kita pada tahun pelajaran kita, kan? “Kamu berbicara tentang nilaiku, tapi ada perbedaan antara pintar dan punya nilai bagus.” Mizuhara terdiam bingung untuk sesaat, tapi akhirnya berbicara lagi, “…Tapi kamu satu-satunya yang aku pikir dapat membicarakan hal ini. Bisakah kamu meluangkan waktu untukku sebentar, kumohon?” “Aku pikir ada orang lain yang bisa memberimu saran yang lebih baik.” “Mmm…aku tidak terlalu meminta saran. Kita jangan membicarakan ini disini – ayo kesana.” Mizuhara menarik lengan bajuku. Kelihatannya dia bersikeras ingin bercakap-cakap denganku. “Wow, berhenti, sekarang. Ashizawa akan marah saat melihat kita bersama.” “Dia tidak akan.” “Oh, benarkah? Maka dia pasti cukup pemaaf.” “Tidak, kita sudah...putus.” Terkejut, aku membeku seketika. “Ah…aku mengerti,” aku berucap dengan suara tenang tak memihak tapi ekspresiku baru saja menyerah. Sekarang kalau dipikir, tidak ada hal yang begitu mengejutkan. Ketika pengalaman cinta di masa SMA mungkin buta dan penuh ambisi, itu juga tidak bertahan lama. Ikatan mereka tidak cukup kuat untuk menahan aral yang menimpa mereka – begitulah semua. Dan ikatan itu membinasakan Kimura Sayang sekali. Mizuhara membawaku ke bordes tangga sebelum pintu menuju atap. Tangga ini hampir tidak digunakan, jadi mungkin tidak akan ada tamu tak diundang. Dia pasti sudah menggunakan tempat ini untuk diam-diam bertemu dengan Ashizawa. “Kami ke sini kadang-kadang. Toshiki dan aku.” Nah benar kan. “Kamu…kamu tahu tentang surat cinta palsu yang aku gunakan untuk mengusik Saito-san, kan?” dia bertanya. “Ya.” “Apa kamu pernah bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal itu?” “Tidak, sama sekali tidak? aku menduga kamu hanya gemas dengan Saito, dan aku pikir tidak ada alasan lain lagi untuk diketahui.” “Mungkin…itu benar…tapi aku, aku juga ingin membantu-“ “Aku tidak peduli. Simpan saja ceritamu itu.” Itu hanya alasan yang dia karang. “Tidak, dengarkan aku dulu sampai selesai! Aku akui…kami pernah melihat dia ketika kami bertemu disini.” “Benarkah…? Urusan apa yang Saito lakukan disini?” “Itu masalahnya…dia bergumam sesuatu ke dirinya sendiri.” “Ke dirinya sendiri?” “Iya, ke dirinya sendiri, tapi seolah-olah mengobrol dengan seseorang. Aku mencoba mengikuti lirikannya beberapa kali, tapi tidak ada orang disitu.” Itu bukan hal yang penting; Saito tidak punya teman yang bisa diajak bicara, maka itu masuk akal kalau dia melepas hasrat ingin berbicaranya saat dia sendirian. “Jadi kamu tahu itu menyeramkan, makanya kamu mengusik dia?” aku menyimpulkan. “Aku pikir itu menyeramkan, memang benar…” Aku mengerti. aku mengerti kalau Mizuhara ingin campur tangan setelah melihat adegan seperti itu. “Terus? Itu bukan alasan kenapa kamu membawaku kesini, kan?” “Iya, bukan…” dia ragu-ragu sebentar.” Kogure-kun…apakah kamu percaya hantu?” Percakapan berubah tiba-tiba. “Hantu? Tidak. Yah, aku pikir mereka mungkin ada, karena banyak orang mengklaim hal tersebut…” “Bagaimana dengan roh gentayangan?” “Omong kosong.” Tunggu, tunggu, kenapa Mizuhara bertanya hal seperti itu? Apa maksud dibalik pertanyaan absurd itu? –Woow-woow, apakah dia menyiratkan kalau Saito mengobrol dengan hantu? Waktunya untuk sadar, bukan? Aku hampir tidak berhasil menahan nalarku. …Tidak, jangan terburu-buru menyimpulkan. Mizuhara berkata dia sedih karena penglihatan terhadap Saito yang mengobrol ke dirinya sendiri. Dia tidak akan merasa kesal bila cerita-hantu itu adalah kesan pertamanya, tapi sesuatu seperti ketakutan atau bahkan mungkin kecemburuan, benar kan? Apakah itu berarti ada suatu hal yang membuat dia menyimpulkan kalau Saito telah mengobrol dengan hantu? “Kamu secara tidak langsung mengatakan kalau Saito mengobrol dengan hantu?” Mizuhara mengangguk. “Apa penyebab kamu sampai pada pemikiran seperti itu?” Mizuhara terdiam. Tampaknya dia merasa takut untuk menuangkan pemikirannya ke dalam kata-kata, dia akan membuat itu menjadi suatu hal yang pasti. Namun, dia akhirnya membuka mulutnya. “Karena…,” dia bergumam sesuatu, “…mati…” “Karena Saito mati? Bagaimana hal itu bisa menjelaskan segalanya? “Bukan!” Mizuhara menyanggah. “Apa? dia mengobrol dengan hantu dan itu alasan kenapa dia mati? Itu tidak – “ “Bukan begitu! Bukan karena Saito-san yang mati!” “Terus siapa – “ Aku berpikir. Tidak, tidak perlu berpikir. Hanya ada satu orang lain lagi yang dipertanyakan. “Bukan Saito-san, tapi karena Kimura-kun mati.” Aku harus mengakui kalau aku sedikit bingung. Ini tidak masuk akal. Bukan hanya dia berpendapat keberadaan sesuatu yang tak ilmiah seperti hantu, dia juga terus menerus bicara hal yang membingungkan. Aku dengan teliti memilah semuanya di dalam kepalaku, berpikir setiap poin secara logis, dan sampai pada kesimpulan dengan sangat cepat. “Jadi…kamu melihat dia, benar?” Dia mengangguk secara perlahan. “Kamu melihat Saito mengobrol sendirian dengan sesuatu itu, yang sederhananya karena sesuatu itu membuat dia seperti orang aneh. Tapi <u>kamu juga melihat Kimura melakukan hal yang sama.</u>” Mizuhara mengangguk. Aku berjeda sebentar dan melihat sekeliling. Kalau hantu benar-benar ada, maka aku tidak akan kaget bertemu dengannya disini. Pemikiran itu membuat bulu kudukku merinding, tapi tentu saja itu hanyalah khayalanku yang sedang mempengaruhiku. Namun, sebenarnya, seseorang mati disisi lain pintu ini. “Apa kamu…apa kamu pikir kebetulan seperti itu mungkin terjadi?” Mizuhara bertanya ragu-ragu. “Apa yang kamu sebut ‘kebetulan’…?” “Seperti yang kubilang…Saito-san dan Kimura-kun, mereka berdua mengobrol dengan sesosok hantu, mereka berdua melihat sesosok hantu, dan mereka berdua bunuh diri. Apakah menurutmu kebetulan seperti itu mungkin terjadi?” Suatu kebetulan. Dia benar; ini akan menjadi kebetulan yang aneh. Bagaimanapun, bukan hanya mereka mempunyai alasan yang layak untuk bunuh diri, mereka juga tidak ragu mengakhiri hidup mereka dari kehendak bebas (free will) [https://id.wikipedia.org/wiki/Kehendak_bebas] mereka sendiri. Semula, itu adalah hubungan sebab akibat diantara kematian mereka: Kimura tidak akan mati jika bukan untuk kematian Saito. Kematian mereka tidak disebabkan oleh suatu kebetulan. Tunggu dulu… Tidak ada tempat untuk suatu kebetulan disitu. Dengan kata lain, Ketidakhadiran suatu kebetulan ini yang membuat mencurigai makhluk apapun itu. “Kamu meragukannya juga, bukan, Kogure-kun?” Mizuhara menegaskan. Aku dengan cepat menyembunyikan ekspresiku. “Tahu tidak apa yang aku pikirkan?” dia bertanya, “Aku pikir sebenarnya tidak satupun dari mereka yang melakukan bunuh diri.” Mukanya pucat pasi. Akhirnya, aku menyadari kalau bukan perasaan bersalah yang telah sebegitu membuat lelah dia. Mizuhara ketakutan. Ketakutan dari apapun yang menggiring dua orang lain kedalam kematian yang membuat lelah dia. “Mereka telah dibunuh,” dia berkata dengan keyakinan takut, “Sesosok hantu mengutuk mereka sampai mati." Seperti kemarin, aku mulai mengawasi Reina Kamisu ketika meminum milkshake diskon di McDonalds. Namun, ketika mataku mengarah ke jendela, hampir semua sel sarafku terpakai untuk berpikir. Aku telah mengingat kembali diskusi dengan Mizuhara beberapa kali, berusaha menarik kesimpulanku sendiri. Aku tidak bisa mengetahui seperti apa apapun yang dia panggil “hantu”, tapi mentolerir kalau “fenomena” itu adalah kemampuan berkomunikasi, itu bisa mencampuri hubungan dengan orang lain dan karena itu mempengaruhi kehidupan mereka ke tingkatan tertentu. Pengaruh itu sudah membunuh dua orang? Dikutuk sampai mati. Yah, mungkin kamu bisa bilang itu sebuah “kutukan”. Tapi apakah begitu mudah untuk menuntun seseorang mati? Tidak mungkin. Tidak peduli betapa enteng kamu menafsirkan hidup dan mati, semua orang tahu bahwa kematian adalah penghabisan dan tak dapat dipulihkan. Kata-kata orang tidak membunuhmu; itu suaramu sendiri yang menuntunmu ke sana. Atau suatu dorongan hati yang tiba-tiba. Bagaimanapun, manusia tidak mati sebegitu mudah. Atau apakah makhluk, apapun itu, mempunyai kuasa untuk memanipulasi mekanisme ini dengan mudah? Disisi lain…mereka berdua memiliki alasan kuat untuk bunuh diri. Saat kata-kata tak berguna melawan orang yang setara denganmu, <u>mungkin bagus untuk memberi seseorang dengan dorongan terakhir naluri bunuh diri.</u> Namun, aku menggelengkan kepalaku. Aku mulai berpikir tidak realistis; aku harus memikirkannya lebih rasional. Pemikiran rasional. R-A-S-I-O-N-A-L. Mengerti? …Ya. Benar…pertama-tama, aku harus menganggap kemungkinan bahwa segala sesuatu yang Mizuhara katakan padaku hanyalah bentukan dari imajinasinya. Pendapatku, dia seorang gadis keras kepala. Dia tahu kalau dia membagi rasa bersalah untuk kematian Saito dan Kimura. Mungkin dia tak mampu mengakui rasa tercelanya dan oleh karena itu lari dengan membuat alasan Kimura berbicara dengan dirinya sendiri, yang terus menerus dia buat entah dari awal atau karena menyalahpahami suatu percakapan normal untuk kenyamanan dirinya sendiri. Dengan kata lain, sejak awal makhluk itu tidak ada. Kalau itu? Apakah membuat lebih masuk akal? …Cih. Sungguh usaha yang menyedihkan memaksakan alasan ke dalam masalah ini. Tidak yakin dengan nalarku sendiri. Aku mencoba fokus ke luar jendela dan akhirnya menakuti beberapa pejalan kaki dengan suatu tatapan tajam. “Apa yang sedang kamu cari dengan sefokus itu?” seseorang bertanya dari belakangku. Aku akan dengan senang hati menjelaskan kalau aku sedang mencari seseorang – –Tapi perkataanku tertahan didalam tenggorokanku dan memaksa kembali ke bawah hingga menghilang seluruhnya. Kulitku merinding. Sesuatu menetes dari ujung jariku selagi mulutku berubah terdiam dan bola mataku membelalak. “-Ah” Aku tahu… Aku tahu suara itu. Meskipun aku hanya mendengarnya beberapa kali, suaranya terukir dalam di otakku dan semenjak itu tidak akan menghilang dariku. “Ada apa? Kamu tidak mau memberitahuku apa yang sedang kamu cari?” Ini sakit. Luka di dadaku menyakitkan. Terbuka lagi seluruhnya, juga meluap dengan suatu cairan menyerupai darah – <u>seakan-akan bereaksi kepada penggoresnya.</u> Aku tidak boleh, kalah. Aku pegang dadaku dan menengok ke orang yang memanggilku dengan keinginan kuat. Sesuatu menembus melalui mataku selagi aku mengenali wajahnya, membuatku melawan dorongan untuk menutup mataku, untuk memalingkan mataku. Bagaimanapun, aku sudah menunggu kesempatan ini. Aku harus bertahan sekarang. “Aku sedang mencari kamu, Reina Kamisu, mencarimu!” Aku cemberut kepada Reina Kamisu. Semakin aku mempertajam tatapanku, semakin melemah rasa sakit yang aku derita di dadaku. “Oh benarkah?” dia tersenyum kepadaku dengan sebuah senyuman nan begitu sangat cantik yang nampak palsu.”Dan apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Balas dendam?” Balas dendam, berucap Reina Kamisu dengan masa bodoh. “Ya, aku ingin melakukan itu,” aku menjawab setenang sebisaku, ketika menekan nafsu amarah yang mendidih. “Jadi ada maksud lain jika kamu bicara seperti itu?” “Ya” “Aku menyimak?” “Mungkin kamu merasa insiden itu sekedar masa lalu dan tak ada yang berubah. Tapi tidak untukku. Aku masih menderita efeknya setiap hari. Kamu masih mengacaukan hidupku!” “Yah, aku mengira tak seorangpun yang menjadi korban insiden seperti itu bisa menerima hal itu dengan mudah” Reina Kamisu berkata dalam nada masa bodoh, memberiku dorongan untuk menyerang dan mencekiknya sampai mati. Tapi aku harus menahan melakukan itu; tanpanya aku tidak akan pernah mendapat jawaban yang aku cari. “Lalu? Apa yang kamu inginkan dariku?” Reina Kamisu tidak menunjukkan rasa bersalah. Apakah dia benar-benar blak-blakan atau dia sengaja berakting seperti itu? Aku sepertinya tidak bisa memutuskan antara dua kemungkinan itu. Sebelum kelewat batas, aku menghapus nafsu amarahku, yang mana hampir meledak;ya, aku tidak menahannya, aku menghapusnya. Jika tidak aku tak akan bertahan lebih lama. Aku mencoba menolak semua kesan yang aku punya terhadap Reina Kamisu. “-Aku ingin mengetahui kebenarannya,” aku mendesak “Kebenaran?” “Ya, alasan kenapa kamu membunuh keluargaku.” Memperoleh alasan itu adalah prioritas nomor satu bagiku. Aku ingin bangkit dari pandangan dasarku saat ini. tapi untuk melawan rasa sedih, takut, putus asa, dan marah yang kekal itu, aku harus mendobrak suatu dinding. Dinding pertanyaan. Setelah tersulut, kebencian tidak akan lenyap; harus menerima gangguan dan menghapusnya. Dalam proses melakukannya, entah bagaimana, pertanyaan yang dibiarkan tak terjawab membentuk suatu halangan yang besar. Aku mungkin mampu mentolerir masalah ini yang entah bagaimana memberi alasan atau sesuatu untuk memuaskan diriku, tapi sebenarnya, aku bahkan tidak punya cukup informasi untuk melengkapi diriku. Pertanyaanku hingga kini masih tak terjawab. Karena itu, aku tidak punya cara mencerna beragam perasaan kelam didalam diriku. Namun, tak mampu memahami keadaanku, Reina Kamisu memiringkan kepalanya : “Apakah penting mengetahui hal itu?” “Penting. Makanya aku bertanya.” “Begitukah…? Aku tidak lihat dimana pentingnya.” “Aku tidak meminta pendapat sialanmu! Aku sedang bertanya kepadamu sekarang! Apakah kamu bahkan punya sebersit ide berapa banyak ‘diriku’ telah kamu ambil dari tubuhku?! Kamu berhutang beberapa penjelasan kepadaku!” aku tak sengaja berteriak. Sial, aku gagal untuk meredam kemarahanku. Meski lubang terkecil dalam penjagaanku pun tidak akan diperhatikan oleh kemarahanku. Tahan, tahan, tahan. “Sikapmu berubah,” dia memperhatikan dengan tetap masa bodoh. “Dengar, aku tidak mencoba untuk mengusikmu. Aku akan senang hati memberimu sebuah jawaban, sungguh. Tapi sebesar apapun keinginanku untuk menjawabnya, aku tidak bisa.” “-Kenapa?!” “Karena tidak ada jawaban yang bisa memuaskanmu.” “Yah…mungkin itu benar. Keluargaku tidak akan kembali, dan aku tidak akan bahagia meski apapun yang kamu katakan. Tapi…bukan itu yang aku tanyakan. Aku sangat sadar akan hal itu!” “Bukan, bukan itu yang aku maksud.” “Lalu apa yang kamu maksud…?1” “Kamu ingin aku memberitahumu alasan kenapa aku melakukan apa yang sudah aku lakukan, benar kan?” “Ya.” “Hm…” “Percaya atau tidak, aku memahami kalau kamu mempunyai jalan pikiran yang sepenuhnya berbeda dariku. Itu tak bisa dihindari bila alasanmu tak masuk akal olehku. Aku tidak peduli. Tahu sedikit lebih baik daripada tidak tahu sama sekali.” Untuk pertama kali, Reina kamisu dengan seksama mendengarkan perkataanku. Dia menatapku, berusaha memahami keadaanku, berusaha memahami maksud dibalik perkataanku. Aku bernapas lega. Reina Kamisu tidak bodoh, tidak pula dia memendam dendam kepadaku. Oleh karena itu, tidak mengejutkan kalau aku mengharapkannya memberiku jawaban yang telah aku nanti. Namun – “Tapi masih…” dia mengeluh untuk suatu alasan. “…Apa?” “Aku masih tidak punya jawaban yang kamu inginkan.” Mataku melebar. “Sudah cukup! Jangan bilang kalau kamu tidak punya alasan untuk membunuh! Pasti ada semacam motif, tak peduli betapa sintingnya dirimu!” “Alasan? Ya, mungkin ada bila dilihat lebih teliti.” “…Penglihatan yang lebih teliti?” “Tapi aku benar-benar tidak pernah mengerti.” Dia…tidak mengerti? “Kamu tidak akan memperoleh penjelasan yang tepat untuk segala yang ada di dunia, begitu pula untuk pembunuhan yang aku lakukan; atau apakah itu sudah cukup membuatmu puas?” “T-Tentu saja tidak!” “Aku seharusnya tahu.” “Kamu tidak tahu alasannya? Aku tidak percaya! Atau apakah maksudmu kalau kamu membunuh orang hanya seperti…seperti meminum air?!” “Tentu saja tidak. dan asal kamu tahu: bukannya aku tidak ingat apa yang aku rasakan saat itu. Aku merasakan…suatu dorongan hati. Aku harus membunuh seseorang. Aku harus memastikan jika manusia benar-benar bisa mati di tanganku. <u>Aku tidak punya pilihan lain selain melakukan hal itu.</u> Aku tidak mengetahui, bagaimanapun juga, darimana dorongan hati itu muncul. Aku pikir akan ada suatu alasan bila dilihat lebih teliti, tapi pada akhirnya aku tidak menemukannya. Kenapa kita meminum air? Karena kita haus; karena jika tidak minum kita akan mati. Tapi…kenapa kita dirancang untuk mati jika dari awal kita tidak meminum air? Aku tidak tahu. Kenapa aku mendapat keinginan untuk membunuh? Aku tidak tahu.” Dengan kata lain…usahaku untuk memahami Reina Kamisu dan alasannya membunuh keluargaku mungkin tidak bisa berhasil – <u>karena dia pun tidak memahami dirinya sendiri.</u> Aku tidak akan mengetahui jawaban yang sedang aku cari dimanapun di dunia. “Menyakitkan hati untuk mengatakan ini, tapi seperti yang aku katakan sebelumnya…” “<u>Tidak penting mengetahui kebenarannya.</u>” Lukaku terbuka. Tidak, segores luka yang dari awal belum sembuh tidak “terbuka.” “Satu hal lagi,” dia berucap. Ini menyakitkan. “Kamu bilang kalau kamu tidak menganggap insiden itu sekedar masa lalu, iya kan?” Sialan, ini menyakitkan. “Aku rasa aku tahu kenapa begitu.” Ini menyakitkan, sial, ini menyakitkan! “Kamu tampaknya berpikir kalau aku hanya membunuh keluargamu, tapi itu salah.” Ah, aku mengerti. Itulah kenapa lukaku belum sembuh; karena dia sudah menghancurkan kemampuanku untuk beregenerasi. “Aku juga sudah membunuhmu!” Benar – aku sudah mati.
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information