Editing
Kamisu Reina Indo:Jilid 1 Atsushi Kogure
(section)
Jump to navigation
Jump to search
Warning:
You are not logged in. Your IP address will be publicly visible if you make any edits. If you
log in
or
create an account
, your edits will be attributed to your username, along with other benefits.
Anti-spam check. Do
not
fill this in!
===Bagian 4=== Aku tidak boleh membuat khawatir bibiku. Akan tetapi…aku sudah membolos sekolah untuk beberapa hari, tak mampu menggerakkan otot-ototku. Aku mati. Tak perlu dikatakan, itu adalah suatu perumpamaan; dari sudut pandang biologis, aku sangat hidup dan mampu berpikir. Namun – ada segores luka di dadaku yang terhubung ke masa lalu. Selama aku mempunyai luka ini, aku akan terus menerus mengingat kembali ke hari itu dan terluka oleh Reina Kamisu. Reina Kamisu akan tetap menghancurkan segala yang aku punya – kebahagian, kesedihan, kekhawatiran, impianku – menginjak-injak, meniadakannya. Hal yang tersisa untukku adalah perasaan dari insiden itu. Perasaan yang tidak akan memberiku ketenangan kemanapun aku pergi dan betapapun aku lama menunggu. Oleh karena itu, aku terbelenggu di satu tempat, tak boleh untuk melangkah ke masa depan. Dan karena itu, kehidupanku menuju pemberhentian. Maka, kamu bisa bilang kalau aku “mati”. …Bedebah. Aku sepenuhnya menderita karena Reina Kamisu. Bagaimana aku harus menjalani kehidupanku sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus melanjutkan hidup tahun demi tahun bersama dengan luka di dadaku? Bagaimana bisa aku menjawab itu? Tidak…tidak tepat. <u>Bagaimana bisa aku memutuskan mengenai hal itu?</u> Aku sedang berada dalam pusaran pemikiran tak berguna yang, meskipun tak berguna, berusaha memperdayaku. Namun, tiba-tiba : “Atsushi? Aku pulang!” sebuah suara terdengar dan menarikku kembali kedalam kenyataan. “Oke…” Setelah mendengar jawabanku, bibiku masuk ke kamar membawa nampan dengan semangkuk bubur diatasnya. Rasa bersalahku menguat. Aku berpura-pura sakit dan menyembunyikan alasan sebenarnya ketidakhadiranku; aku tidak ingin membuat khawatir bibiku dengan memberitahunya kalau ini benar-benar persoalan mental. “Apakah kepalamu masih sakit?” dia bertanya setelah menaruh nampannya diatas mejaku. “Ya…” Bisikan hatiku menusukku; aku berbohong kepadanya. …aku tak punya pilihan lain. Aku minta maaf, tapi aku tidak punya pilihan lain. “Apa kamu sungguh merasa baik-baik saja? Ini sudah 3 hari lebih. Apa kamu ingin aku menemanimu ke rumah sakit?” “Aku baik-baik saja.” Dia diam-diam memandang ke wajahku untuk beberapa saat, dan akhirnya mengangguk dengan sebuah senyuman lembut. Senyumannya melahirkan dugaan samar-samar dalam diriku : Mungkin dari awal dia sudah melihat kebohonganku, dan apakah dia berpura-pura tidak melihat karena dia tak berdaya? “Atsushi? Ini hari rabu, kamu ingat?” “Mm…ah.” “Apakah kamu ingin membatalkan sesi konsultasi mingguan dengan doktermu? Aku bisa menghubunginya jika kamu mau.” Biasanya, saat jam-jam seperti ini aku harus menghadiri konseling mental, tapi karena aku sedang berpura-pura sakit, aku tidak boleh ketahuan. “Ya, tolong. Bolehkah aku memintamu menghubunginya, ibu?” Sebelum aku selesai berbicara, matanya melebar. Terkejut oleh reaksinya, aku mengingat kembali perkataanku. Ah… aku baru saja memanggil bibiku “ibu.” Tidak yakin bagaimana mengatasi situasi canggung ini, aku tanpa kata memandangnya. Muka terkejutnya perlahan berubah kembali menjadi senyuman lembut yang familier. “Kamu akhirnya mengatakannya,” dia tersenyum dengan suatu isyarat kegembiraan. “Itu…itu hanya kekeliruan.” “Aku tak keberatan, Atsushi. Dalam hal ini, aku hanya akan menganggapnya kalau kamu begitu menyukaiku yang membuatmu seketika keliru antara aku dengan ibumu.” Apakah begitu…? Tentu saja, aku berterima kasih kepadanya – sungguh – tapi bukankah itu membuktikan kalau kita bukan keluarga asli? seandainya aku anak kandungnya, aku mungkin tidak akan berterima kasih. Aku akan menganggap cinta yang dia berikan kepadaku hal yang sangat natural. Aku hanya akan menerima cintanya dan tak melakukan apa-apa sebagai gantinya. Namun, jika aku memberitahu bibiku itu sekarang, aku hanya akan membuatnya sedih. Tak ingin dia mendengar pendapatku, malahan aku bertanya sesuatu lagi. “Lalu bolehkah aku memanggilmu ibu mulai sekarang?” “Tentu saja kamu boleh! Kamu adalah anak kami, Atsushi! Suamiku mungkin nampak dingin kepadamu, tapi perasaannya benar-benar melekat padamu, juga.” “Ya, aku tahu.” Aku seorang anak-anak. Pada dasarnya, aku menghabiskan banyak uang. Bahkan, aku akan lebih banyak menghabiskan setelah aku menyelesaikan pendidikan wajibku dan masuk SMA. Meskipun begitu, pamanku tidak pernah membuat satupun keluhan. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami bahkan ditetapkan sebagai orang tuamu oleh hukum.” “Ya…” “Bisakah kamu…bisakah kamu memanggilku lagi?” “Hah?” “Cepat!” Menahan rasa canggung, aku berucap, “Ibu.” Bibiku mengangguk dengan rasa bahagia. Ibu. Tentu saja, aku merasa tidak suka memanggilnya seperti itu. karena aku terbiasa memanggilnya bibi? Benar, tapi ada lebih rasa sungkan yang aku rasakan. Kenapa begitu? Kenapa? Padahal, aku sudah lama tahu kalau dia menginginkanku memanggilnya ibu, yang juga dia tidak menyukai kata bibi karena itu menempatkan suatu jarak antara kita. Aku selalu berterima kasih kepadanya, dan ingin membuatnya bahagia jika memungkinkan. <u>Jika aku bisa membuatnya bahagia dengan sesuatu yang sederhana seperti merubah caraku menyapanya, aku akan melakukan itu kapanpun tanpa pikir dua kali.</u> Lalu kenapa <u>aku terus memanggilnya bibi sampai hari ini</u>? “Aku punya satu pertanyaan, ibu.” “Ya?” “Apakah kamu – “ aku berhenti ditengah kalimat. Tidak ada jalan kembali setelah aku mengucapkan lanjutan perkataan ini. Tidak…aku sudah menyadarinya, maka aku bagaimanapun tidak boleh kembali. “ – Apakah kamu pernah mendengar Reina Kamisu?” Aku sedang duduk di sofa didalam ruangan Dr. Mihara. Sebagaimana tingginya keinginan untuk merahasiakan alasan sebenarnya aku membolos dalam daftar prioritasku, aku tak peduli lagi. Aku perlu berkonseling. Lebih tepatnya, aku harus mengobrol dengan Dr.Mihara. “Hai Atsushi-kun,” dia berbicara kepadaku selagi memasuki ruangan. “Hai,” aku menjawab. Dia duduk dikursi seberang dariku. “Jadi,” dia mengutip kata-kata yang sering dipakai, “Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?” “Banyak hal yang telah terjadi.” “Oh? Maukah kamu memberitahuku?” “Tentu, itulah alasan kenapa aku disini.” “Benar,” dia mengangguk. Karena dia seorang psikiater, sangat sulit membaca pemikiran aslinya dari ekspresinya, tapi aku bisa tahu kalau dia memperhatikan sesuatu pada diriku telah berubah. “Pertama-tama, aku mempunyai suatu mimpi.” “Oh? Mimpi seperti apa?” Dia sering memintaku untuk memberitahunya tentang mimpiku. Aku menduga dia berusaha menganalisa mimpu itu dan mencari kedalaman kesadaranku. “Suatu mimpi dimana aku terbunuh oleh Reina Kamisu.” Dr. Mihara mengamati dengan teliti wajahku selagi aku berbicara, ketika aku mengamatinya, berusaha memperhatikan setiap perubahan. “Yang berarti kalau didalam mimpi itu seorang gadis membunuhmu, benar? Dengan sebilah pisau dapur?” “Ya. Terus, dokter, <u>namanya adalah Reina Kamisu.</u>” Memandangku dengan teliti, dia menjawab, “Aku mengerti.” “Dokter.” “Ya?” “Aku telah memimpikan itu sementara waktu saat ini, iya kan?” Setelah berpikir sebentar, dia mengangguk, “Itu benar.” “Itu tak sulit untuk memahami kenapa aku akan bermimpi seperti itu: karena aku belum bisa menerima dengan kejadian itu. Benar?” Nampaknya kalau aku sudah agak mengejutkan langkahnya. Selama sepanjang tahun berkunjung kesini. Aku menyadari kalau dia tidak pernah memberiku jawaban. Dia hanya mendengarkanku. Dia berusaha menolongku menemukan jawaban diriku sendiri dengan mendengarkan. Semua itu yang sesungguhnya dia lakukan. Sudah beberapa kali aku terganggu oleh itu, tapi aku menduga itu cuma aturan bagaimana psikoterapi bekerja. Pasti merepotkan dari sudut pandangnya mendesak untuk mengungkapkan pemikirannya sendiri. “…Aku pikir begitu,” dia berucap, akan tetapi, setelah muncul kesimpulan kalau tidak ada ruginya mengucapkan itu. “Apakah itu semua?” aku bertanya. “…Semua?” “Apakah itu semua pandanganmu terhadap mimpi itu?” Dia secara mendalam menggerutu dan mengalihkan pandangannya dariku. Setelah terdiam seperti itu untuk beberapa saat, dia menatapku lagi dan membuka mulutnya. “Atsushi-kun, memang benar kalau aku membayangkan terhadap mimpimu dan membentuk opiniku sendiri. Artinya, bagaimanapun itu adalah pandangan pribadiku dan tentu saja tidak sempurna. Apakah kamu mengerti?” “Ya.” “Masalahnya adalah, Atsushi-kun, kalau dengan mengungkapkan opiniku, aku mungkin mempengaruhi opinimu sendiri. Kamu mungkin tanpa sadar mengelirukan jawabanku sebagai opinimu. Apakah kamu mengerti masalah yang coba aku tunjukkan? “Ya. Itu berarti kalau tidak masalah jika aku mengutarakan opiniku sendiri, benar kan?” “…Aku pikir begitu.” “Baiklah. Aku berpikir kalau mimpiku adalah hasil dari hasratku untuk ‘melarikan diri’.” “…” dia terdiam. “Izinkan aku mengganti topik sedikit. Aku ingin memberitahumu semua hal yang telah terjadi minggu ini.” “Silahkan.” “Aku bertemu Reina Kamisu lagi.” “…Aku mengerti. Hanya memastikan: kita disini tidak sedang membicarakan tentang mimpi lagi, benar? “Ya, <u>tentu saja bukan.</u> Kali ini kita tidak hanya berpapasan, kita juga mengobrol.” “…” “Bukankah kamu ingin tahu apa yang kita obrolkan?” “…Ya, katakan.” “Aku merasa perlu tahu alasan dia membunuh keluargaku. Dan itulah apa yang aku tanyakan kepadanya.” “Apa…apa dia menjawab?” “Dia memberitahuku kalau dia tidak tahu.” “Hm…” “Aku cukup yakin kalau dia tidak berbohong kepadaku. Reina kamisu mempunyai dorongan hati bersifat pembunuhan dan membunuh keluargaku. Namun, tidak ada alasan lebih dalam disamping dorongan hati itu. Pada akhirnya, itulah apa yang dia pikirkan.” Dr. Mihara terus terdiam, tidak yakin bagaimana bereaksi. “Aku ingin mengakhiri kejadian itu dengan mengetahui alasannya. Aku ingin memperoleh sesuatu yang bisa membantuku menerima kejadian itu. Tapi, harapanku terkhianati. Malahan, Aku saat ini akan selamanya terbelenggu oleh masa lalu. –Namun, ada sesuatu yang aku sadari sebelumnya. Meskipun, umpamanya, dia mempunyai alasan yang layak untuk pembunuhan yang dia lakukan, <u>aku tidak akan menerima alasan itu walau bagaimanapun</u>. Aku tidak berpeluang melawan Reina Kamisu dari awal. <u>Karena jelas tidak mungkin menenangkan perasaan dari seseorang yang keluarganya telah dibunuh</u>.” Dia tetap menatapku. Akhirnya, perlahan mulai berbicara. “Katakan, Atsushi-kun, dimana kamu berjumpa dengannya?” “Di McDonalds dekat stasiun. <u>Tentu saja, dalam dunia nyata</u>.” Dengan lengan dilipat, dia berubah terdiam lagi. Sudah mengatakan semua yang aku ingin katakan, aku juga tetap terdiam. Keheningan. Sementara waktu, hanya suara tanpa arti yang terdengar oleh telingaku, seperti suara lalu lintas dan suara jam berdetak. Aku menunggu perkataannya – apapun jawabannya. Akhirnya, dia membuka lipatan lengannya dan menatap dalam-dalam kedalam mataku. “Atsushi-kun…bolehkah aku bertanya padamu sebuah pertanyaan?” Dr.Mihara bertanya. “Tentu saja.” “Sebelumnya, kamu bilang kalau kamu melihat hasrat untuk melarikan diri didalam mimpi itu, benar?” “Benar.” “Lebih jauh lagi, kamu terus senantiasa menekankan kalau kamu bertemu dengannya di <i>kehidupan nyata</i>, benar?” “Benar.” “Kamu sudah tahu jawaban sebenarnya, bukan, Atsushi-kun? <u>Meskipun begitu, kamu bertanya padaku tentang itu</u>, apakah itu benar?” “…” “Oke, Atsushi-kun. Izinkan aku memastikan hal ini sekali lagi.” “…Memastikan apa?” “Pembunuh berdarah dingin yang membunuh keluargamu. Siapa namanya? Rehna Kamizu?” “Benar. Reina Kamisu. Reina Kamisu membantai keluargaku!” aku berkata dengan resah, sedikit membingungkan dokter. Akan tetapi dia tetap tenang, dan memberi jawaban kepadaku, “Namun – “ “Orang itu tak pernah ada.” Meskipun aku mengharapkan jawaban itu, tapi tetap sangat mengejutkan. Hipotesisku terbukti benar. Dan sebagaimana yang aku ketahui sebelumnya, <u>pada dasarnya itu akan memperburuk lukaku</u>. “Itu tak benar!” aku menyangkal. Aku harus. “Kenapa kamu tetap berkata seperti itu?! Kamu sedang melarikan diri! Kamu tahu itu salah!” “Tidak…itu tak benar! Aku tahu itu, aku sangat yakin kalau <u>dia ada</u>!” Itu tidak bohong. Paling tidak, aku tidak berpikir itu bohong. “Atsushi-kun…” “Reina Kamisu ada! Dia <b>disini</b> bersama kita!” aku berteriak. <i>Aku harus memastikan hal ini</i>. Meninggalkan Dr. Mihara kebingungan dibelakang, aku berbalik dan buru-buru keluar dari kantornya. Selagi aku meninggalkan ruangannya, aku menabrak seorang gadis yang sedang menunggu gilirannya, dan terjatuh. Biarpun begitu aku berdiri dengan cepat dan tanpa meminta maaf, aku menuju ke tempat dimana aku bisa memastikan keberadaan Reina Kamisu. Meskipun sebenarnya aku tidak pernah kesana, aku tahu alamatnya. Selagi aku tetap berlari menuju alamat itu, aku berusaha untuk tenang kembali. Aku akan memerlukannya untuk memastikan kebenaran yang aku cari, dan aku harus mampu, karena aku telah membuktikan diriku sendiri dengan menekan kemarahanku ketika berbicara dengan Reina Kamisu. Tenang. Pertama-tama, pelan sedikit. Berlari dengan kuat tidak akan merubah segalanya; nasibmu tetap sama. Akhirnya, secara kebetulan aku mampu untuk mendapat ketenanganku kembali – ketika aku baru saja sampai di tempat tujuanku. Aku membunyikan bel. “Siapa?” seseorang berkata setelah menunggu beberapa saat. “Umm…namaku Atsushi Kogure. Ah, ya…aku teman sekelas Kyouhei-kun.” Selagi aku menjelaskan siapa diriku, aku melihat papan nama disamping bel. Papan yang bertuliskan Kimura. Dengan ekspresi paling alim yang bisa aku perankan, aku berdoa di altar Kimura, karena aku telah mengatakan kepada ibunya tujuanku datang kesini adalah untuk hal itu. Aku harus membuatnya percaya kalau kita berteman baik. Dia tidak akan bercerita kecuali bila sebelumnya Kimura menceritakan secara lengkap tentangku. “Ini….sangat mengejutkan…,” aku menjelaskan kepadanya dengan muka sedih. Aku kemudian berlama-lama mengobrol tentang berapa besar kira-kira aku berduka cita dengan kematian Kimura. Ini tidak sulit: akutmelebih-lebihkan perasaanku sendiri, karena memang benar kalau aku, sebagai seorang teman sekelas, terkejut dengan kematiannya yang mendadak. Ibunya mengangguk pada perkataanku, tetesan air mata berada dimatanya. Perasaan cemas yang aku terima dengan segera hancur karena tujuanku. “Sebenarnya, Ibu Kimura, aku kesini hari ini dengan satu permintaaan,” aku berucap, akhirnya ke inti pembicaraan. “…Ya?” “Aku ingin tahu apa yang Kimura-kun pikirkan saat-saat terakhirnya, apa yang dia khawatirkan dan aku ingin mendengar, perkataan sebenarnya dari dia. Oleh karena itu, bolehkah aku – “ Beruntung untukku. Untuk satu hal, ada orang lain yang sudah melihatnya, jika tidak maka tidak akan ada rumor apapun, dan dia nampaknya tidak menyadari kalau aku menipunya. Aku tidak melihat alasan dia akan menolak. “-Bolehkah aku membaca catatan bunuh diri Kimura?”
Summary:
Please note that all contributions to Baka-Tsuki are considered to be released under the TLG Translation Common Agreement v.0.4.1 (see
Baka-Tsuki:Copyrights
for details). If you do not want your writing to be edited mercilessly and redistributed at will, then do not submit it here.
You are also promising us that you wrote this yourself, or copied it from a public domain or similar free resource.
Do not submit copyrighted work without permission!
To protect the wiki against automated edit spam, please solve the following captcha:
Cancel
Editing help
(opens in new window)
Navigation menu
Personal tools
English
Not logged in
Talk
Contributions
Create account
Log in
Namespaces
Page
Discussion
English
Views
Read
Edit
View history
More
Search
Navigation
Charter of Guidance
Project Presentation
Recent Changes
Categories
Quick Links
About Baka-Tsuki
Getting Started
Rules & Guidelines
IRC: #Baka-Tsuki
Discord server
Annex
MAIN PROJECTS
Alternative Languages
Teaser Projects
Web Novel Projects
Audio Novel Project
Network
Forum
Facebook
Twitter
IRC: #Baka-Tsuki
Discord
Youtube
Completed Series
Baka to test to shoukanjuu
Chrome Shelled Regios
Clash of Hexennacht
Cube × Cursed × Curious
Fate/Zero
Hello, Hello and Hello
Hikaru ga Chikyuu ni Itakoro......
Kamisama no Memochou
Kamisu Reina Series
Leviathan of the Covenant
Magika no Kenshi to Basileus
Masou Gakuen HxH
Maou na Ore to Fushihime no Yubiwa
Owari no Chronicle
Seirei Tsukai no Blade Dance
Silver Cross and Draculea
A Simple Survey
Ultimate Antihero
The Zashiki Warashi of Intellectual Village
One-shots
Amaryllis in the Ice Country
(The) Circumstances Leading to Waltraute's Marriage
Gekkou
Iris on Rainy Days
Mimizuku to Yoru no Ou
Tabi ni Deyou, Horobiyuku Sekai no Hate Made
Tada, Sore Dake de Yokattan Desu
The World God Only Knows
Tosho Meikyuu
Up-to-Date (Within 1 Volume)
Heavy Object
Hyouka
I'm a High School Boy and a Bestselling Light Novel author, strangled by my female classmate who is my junior and a voice actress
The Unexplored Summon://Blood-Sign
Toaru Majutsu no Index: Genesis Testament
Regularly Updated
City Series
Kyoukai Senjou no Horizon
Visual Novels
Anniversary no Kuni no Alice
Fate/Stay Night
Tomoyo After
White Album 2
Original Light Novels
Ancient Magic Arc
Dantega
Daybreak on Hyperion
The Longing Of Shiina Ryo
Mother of Learning
The Devil's Spice
Tools
What links here
Related changes
Special pages
Page information