Anohana (Indonesia):Jilid 1 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 5 : Harapan Menma[edit]

Aku pulang kembali ke rumah dan mengecek: Menma tidak ada di sana.

Akankah dia menjadi lenyap seperti ini? Jika dia benar – benar lenyap, ini berarti dia telah memaafkanku, aku yang sekarang?

Tidak. Itu harusnya sangat berlawanan: dia ingin membuatku merasakan rasa sakit yang sangat.

Itu karena aku selalu ingin mengatakan ‘Menmaku tersayang’ itu aku lihat halusinasi Menma.

‘Aku yang sekarang’ adalah pengecut dan pemalu.

“Jinta, garam mandi apa yang kau mau? Kusatsu atau Abishiri?[1]

Suara ceroboh ayahku terdengar dari kamar mandi. Seperti biasa, aku berkata apapun itu baik – baik saja.

Ayah tidak memiliki banyak alasan untuk menegurku untuk tidak pergi ke sekolah. Dia hanya bertindak seperti biasa dan hidup dengan waktu luang. Namun, itu memang tidak wajar untuk dia untuk memperbolehkan putranya bersembunyi di rumah.

Dia bahkan membantuku untuk meletakan garam mandi setelah dia selesai mandi. Ini adalah rasa peduli, atau ini rasa simpati yang ditimbang terlalu banyak padaku.

Mandi dan beristirahat. Hal yang pertama ayahku lakukan bukanlah minum bir tetapi kopi buatan.

Lalu, dia juga meletakkan secangir di kuil ibu. Menyilangkan kakinya, dia duduk di depannya, dan minum pelan – pelan bersama dia.

“Touko, aku akan melakukan yang terbaik hari ini-untuk melakukan terbaik.”

Itu adalah perkataan ibu yang selalu di ulang.

Kondisi tubuh ibuku tidak baik semenjak dari awal. Semenjak aku dapat masuk ke kelas senior di sekolah dasar, dia telah tinggal di rumah sakit. Aku tidak suka pemandangan dari jendela bangsal, sebagai itu adalah sebuah pemandangan itu hanya akan berubah warna berdasarkan musim. Aku akan selalu menemukan alasan untuk menjauhkan diri untuk melihatnya.

Aku tidak ingin melihat wajah ibu berubah lebih cepat daripada pemandangan di luar jendela yang di dalam bangsal yang tidak berubah…Hanya satu hal… Aku tidak pernah mengira bahwa Menma meninggal lebih dulu dibanding akan ibu.

Hari itu, ayahku juga memberitahuku untuk tidak memberitahu ibu mengenai ini. Aku juga berencana untuk melakukan itu.

Namun rumor sangat cepat menyebar di kota ini, dan sampai di rumah sakit dengan cepat. Ketika ibuku mendengar ini, dia…

“Jinta, kamu harus melakukan yang terbaik-untuk melakukan yang terbaik.”

Dia tidak bertanya apapun padaku, dan hanya mengulang motto biasa miliknya, dengan ringannya memegangku dalam pelukannya.

Dadanya yang hangat dan pola detak jantungnya berirama meyakinkanku. Ketika aku masih bayi, ibu akan selalu melakukan ini ketika aku menangis. Tetapi di waktu itu, dada ibu tipis dan kurus, tulang selangkanya terlihat, bau yang kaya akan obat – obatan berlari menghampiri hidungku…mataku mulai menjadi suram-bendungan runtuh dan air mata yang berlebihan, di luar kendaliku.

Aku ingin melihat Menma-Aku benar – benar ingin. Aku ingin menangis dan terisak – isak di dada yang tipis itu.

“Apa yang aku lakukan…” Aku tidak bisa membantu tetapi berbisik. Kesempatan datang padaku, kesempatan yang langka itu aku bisa meminta maaf. Bahkan jika itu adalah sebuah halusinasi, masihkan itu sebuah kesempatan langka untuk aku bisa meminta maaf?

Aku sedang melamun dan tidak masuk kamar mandi sampai ayah pergi ke lantai atas.

Ketika indraku kembali, televisi sudah bermain kepingan salju. Aku tidak mematikannya tetapi menatap layar itu, hilang dalam abstraksi.

“Jin-Ta-Kun! Ayo-keluar-dan-bermain!”

Aku terbangun oleh suara polos, terisi dengan intonasi yang menakjubkan.

Ketika aku mengangkat kepalaku, sebuah rasa yang samar memberitahuku bahwa itu sudah pagi. Ayah sepertinya sudah pergi bekerja. Aku berdiri, begerak, tulang belikatku membuat suara berderit.

“Jin-Ta-Kun! Ayo-keluar-dan-bermain!”

Meskipun aku ingin mengabaikannya, aku tidak bisa melakukannya. Suara yang menjengkelkan itu memiliki nada yang sama dan ucapan yang berulang – ulang-ah, itu Hisakawa.

Dengan enggannya, aku membuka pintu. Hisakawa merubah penutup skuternya terbuka lebar di pagi hari yang cerah.

“Aku datang untuk bertemu kau, Jintan!”

“Hah? Untuk bertemu aku…”

“Kemarin malam, aku mendengar siaran radio “Berdoa seperti bintang” di tempat kerjaku. Aku merasa keinginan – keinginan itu adalah hal yang harus dipenuhi. Jadi aku memikirkan penuh atas itu!”

“Aku beritahu kamu. Tidak ada cara…”

“Ah. Tidak apa – apa! Aku sudah memanggil semuanya!”

“Haah?” Sangat terkejut bahkan suaraku bergidik. Menurut Hisakawa, dia telah menginformasikan semua anggota Super Peace Busters mengenai penampakkan Menma, dan semua setuju untuk bertemu.

“Semua menjadi serius ketika mereka memikirkan Menma. Ini adalah cinta!”

“…” Itu sangat mencurigakan.

Aku ingin menolak, tapi aku menolak ide ini dan pergi dengan melambai.

“Aku mengerti…Biarkan aku mengganti bajuku. Tunggu sebentar.”

“Oh! Aku akan menunggumu tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, partnerku!”

Sementara aku mengganti baju, aku berikir pada diriku sendiri. Hisakawa pasti tersaring dengan traumaku, halusinasiku dengan ‘Poppo mesin penyaring’ miliknya dan membesar – besarkannya. Aslinya aku didugai sakit, sekarang aku pasti berhadapan dengan sakit.

Aku teringat mata Yukiatsu ketika dia memandang rendah aku-jika aku tidak melihat mereka sekarang, kemungkinan besar aku akan tak henti – hentinya mengingat mata yang dia pakai.

Aku memakai baju yang paling bersih dan rapi aku merentangkan tanganku kepada topi nilon itu beberapa derajat dari pandangan mataku.

“Lupakan saja.”

Aku tidak ingin Yukiatsu untuk mengejekku lagi. Tidak, aku tidak ingin semuanya mengejekku. Bahkan jika aku berubah total, aku masih mempunyai beberapa harga diri…

…meskipun aku tahu harga diri itu hanya akan memperburuk situasi ini.


Translation Notes[edit]

  1. Tempat di Jepang
Back to Bab 4 Return to Halaman Utama Forward to Bab 6