Seri Monogatari:Jilid1/Kepiting Hitagi 006

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Kota kami berada di pinggir dari pinggiran kota.

Pada malam hari sangat gelap. Gelap gulita. Bangunan terbengkalai yang jauh dari cahaya siang hari itu nampak sama dari luar maupun dalam.

Aku dilahirkan dan dibesarkan disini, jadi itu takkan menjadi hal yang aneh, tidak terlihat aneh bagaimanapun -- kenyataannya, itu adalah sesuatu yang normal, cara alami dari dunia -- tapi Oshino telah melakukan perjalanan yang luas dan jauh, dan Ia mengatakan perbedaan adalah akar dari semua masalah.

Bagus memiliki akar, sehingga mudah ditemukan.

Menurutnya, barangkali.

Bagaimanapun.

Saat itu setelah tengah malam.

Aku dan Senjougahara bersepeda kembali ke bangunan sekolah yang terbengkalai. Dia membawa bantal dan meletakkannya di bangku belakang sepeda.

Kita tidak makan apa-apa. Dan kami lapar.

Aku memarkirkan sepedah di tempat yang sama, dan kami menyelinap lewat celah pagar. Oshino menunggu kita di luar pintu.

Seolah-olah dia berada disana sepanjang waktu.

"...eh?"

Pakaian Oshino sepertinya mengejutkan Senjougahara

Dia mengenakan jubah putih suci -- wow. Dia bahkan menyisir rambutnya; Dia terlihat seperti orang yang berbeda. Tak terlihat begitu jorok.

Pakaian mencerminkan orangnya.

Mengapa Dia tampak menakutkan seperti ini?

"Oshino-san ... kau seorang pendeta?"

"Tidak, tidak sama sekali?" katanya. "Bukan seorang pendeta ataupun biksu. Pergi ke sekolah untuk itu, tapi tak pernah mendapatkan pekerjaan. Itu membingungkan."

"Membingungkan?"

"Alasan pribadi. Memperpendek itu memuakkan. Bajunya memberi fungsi sama seperti bajumu. Aku hanya tidak punya baju lain yang bersih. Kita akan bertemu dengan Dewa, jadi aku harus membersihkan semua, sama sepertimu. Menepatkan warna. Warna itu penting. Ketika aku melawan Araragi-kun, aku punya salib di salah satu tangan, dan banyak bawang menggantung pada diriku, dan beberapa Air Suci. Menyocokkan dengan situasi. Aku mungkin tak banyak punya kesopanan, tapi aku tau apa yang aku lakukan disini. kamu tidak akan melihatku mengayunkan tombak dan menaburkan garam di kepalamu."

"B-Baik." Kata Senjougahara.

Sangat mengejutkan melihatnya seperti itu, tapi reaksinya terlihat sedikit kuat. Kenapa?

"Kau terlihat menarik dan suci. Bagus. Hanya memastikan, kamu tidak memakai make-up?"

"Aku berpikir itu bukan ide bagus, jadi tidak."

"Bagus. Keputusan tepat. Kamu juga mandi, Araragi-kun?"

"Yah, tak ada masalah."

Itu adalah langkah penting saat masuk ke suatu masalah. Aku menghindari menyebutkan bahwa Senjougahara mencoba mengintipku di kamar mandi.

"Namun kamu terlihat sama."

"Yah, yah."

Karena aku hanya pengamat, aku tak berganti baju sama sekali. Tentunya aku terlihat sama.

"Mari kita selesaikan, aku mempersiapkan ruang diatas"

"Ruang?"

"Ya."

Oshino menghilang dalam kegelapan. Meskipun berpakaian putih, dia hilang seketika. Sekali lagi, aku menuntun tangan Senjougahara, dan membimbing kepadanya.

"'Mari kita selesaikan?' tak begitu terlihat serius, kelihatannya?" Aku bertanya.

"Apa maksudnya? Aku menyeret dua anak muda ke tempat sepi di tengah malam. Itu tanggung jawabku untuk mengembalikanmu ke rumah dan kamarmu secepat yang aku bisa."

"Aku hanya membayangkan jika kita bisa menghajar kepiting ini secepatnya."

"Proporsi yang kasar, Araragi-kun, apakah terjadi sesuatu yang bagus?" kata Oshino, tanpa memandang ke belakang. "Tidak seperti kamu dan Shinobu-chan, atau ketua kelas-chan dan kucing mesum. Dan jangan lupa. Aku pecinta damai. Aku menghindari kekerasan bagaimanapun. Kamu dan ketua kelas-chan keduanya ditarget secara terlarang, tapi itu tidak berlaku pada kepiting ini."

"Tidak berlaku?"

Jika ada korban, tidakkah itu mengandung kebencian, mengandung permusuhan?

"Seperti yang kubilang, kita berhadapan dengan Dewa. Dewa sudah ada disana. Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya sekedar ada. Seperti saat kamu pulang sekolah. Itu kesalahannya sehingga semua ini terjadi."

Tidak berbahaya. Tidak menyerang.

Tidak menguasai.

'Kesalahannya' bukan cara yang bagus untuk menyebutnya, tapi Senjougahara tidak berkata apapun. Antara itu masuk akal baginya, atau dia menguatkan dirinya untuk menerima apa yang Dia katakan, berpikir keras untuk apa yang akan kita lakukan.

"Jadi kita tidak akan melenyapkan atau menghajarnya, Araragi-kun. Jauhkan itu dari pikiranmu. Kita akan meminta sesuatu. Meminta pengampunannya."

"Memintanya...?"

"Ya."

"Akankah dia setuju? Akankah dia akan mengembalikan berat Senjougahara?"

"Tidak bisa mengatakannya dengan pasti, tapi mungkin. Bukan seperti berdoa di kuil saat tahun baru. Mereka tidak terlalu perduli akan permohonan sungguh-sungguh mereka. Dewa selalu melihat ke gambar yang besar. Dewa Jepang salah satu diantaranya. Mereka peduli atas kemanusiaan, mungkin, tapi bagi pribadi? Mereka tak sungguh-sungguh mengakui kita. Kita tidak terlalu penting. Mereka tidak bisa membedakan aku mebedakan kamu membedakan Shinobu-chan. Umur, jenis kelamin, berat badan -- tidak penting. Kita hanya 'Manusia'. Kita sama."

Sesuatu yang sama.

Tidak hanya mirip. Sama.

"Hmm. Sangat berbeda dari kutukan."

"Jadi," Kata Senjougahara, seakan dia mencoba memberanikan diri untuk meminta. "Apakah kepitingnya ada... dekat?"

"Yah. Dekat sini, dekat dengan semua. Tapi untuk membuatnya datang kesini, kita perlu melakukan beberapa hal."

Kami sampai di lantai ketiga.

Dan kami masuk ke ruang kelas.

Seluruh ruangan dipenuhi tali suci Shinto. Semua meja dan kursi dikeluarkan, dan di depan papan tulis ada sebuah altar. Persembahan diletakkan diatasnya. Tak terlihat semua itu buru-buru dikeluarkan ketika kami pergi. Lampu diletakkan di pojok, cahaya redup memenuhi semua ruangan.

"Sebuah penghalang, pada dasarnya. Mewakili tanah suci. Tak ada yang mencolok. Kamu bisa tenang," katanya, melihat Senjougahara.

"Aku sudah...tenang."

"Bagus." Kami melangkah kedalam. "Kamu berdua -- rendahkan tatapanmu, dan tetaplah merunduk."

"Eh?"

"Kamu bertemu dengan Dewa."

Kita berada di depan altar.

Sangat berbeda saat kami berurusan denganku, atau dengan Hanekawa. Hanya aku yang tidak bisa tenang. Suasana udara -- sangat tegang bisa membuat seseorang menjadi gila.

Aku merunduk.

Bersiap untuk semuanya.

Aku tak begitu religius; seperti orang lain sebayaku, aku tak begitu bisa membedakan antara Shinto dan Ajaran Budha, tapi ada bagian dari diriku, secara insting atau sejenisnya, yang bereaksi untuk saat seperti ini.

Untuk saat ini.

Dan tempat ini.

"Um, Oshino..."

"Ada apa, Araragi-kun?"

"Aku berpikir...melihat situasi dan ruang yang kau buat ini..apakah seharusnya aku disini? Sepertinya aku hanya akan mengganggu saja."

"Tidak akan mengganggu. Aku ragu nanti akan ada masalah, tapi jika ada... kamu harus berpikir skenario kemungkinan yang akan terjadi. Kamu perlu melindunginya."

"Aku akan melakukannya?"

"Apa gunanya tubuh abadi itu?"

"..............."

Itu adalah perkataan yang bagus, tapi aku yakin tidak untuk itu.

Dan aku bukan makhluk abadi lagi.

"Araragi-kun," Kata Senjougahara. "Kamu akan melindungiku, bukan?"

"Sejak kapan kamu menjadi putri?!"

"Oh, ayolah. Lagipula kamu berencana membunuh dirimu sendiri besok."

"Itu tidak akan bertahan lama."

Itu adalah sesuatu yang tidak akan kau ucapkan di belakang seseorang, tapi dia mengatakannya di depanku. Aku mungkin harus berpikir serius untuk mengetahui dosa buruk yang telah aku lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga menerima dendam mendalam seperti ini.

"Aku tidak memintamu untuk melakukannya secara gratis."

"Apa yang akan kau berikan untukku?"

"Kau mau hadiah materi? Dangkal sekali. Aku tidak berlebihan saat aku mengatakan bahwa satu pertanyaan mewakili semua kegagalanmu sebagai manusia."

"...jadi apa yang akan kau lakukan untukku?"

"Mari kita lihat...Aku seharusnya akan meninggalkan rencanaku untuk menyebarkan rumor bahwa kamu mengerikan saat menggunakan Nera dengan baju budak saat kamu memainkan Dragon Quest V."

"Aku tidak pernah melakukannya!"

Dan dia merencanakan untuk mengatakannya pada semua orang?

Sangat kejam.

"Akan sangat jelas jika kamu tidak bisa mengenakan itu padanya. Bahkan monyetpun tahu. Tidak, seharusnya dalam kasusmu akan jadi 'Bahkan Anjing', bukan?"

"Tunggu dulu! Kamu bisa beranggapan bahwa kamu mengatakan hal yang cemerlang, tapi apakah ada satu penjelasan tentang aku selama ini yang menyarankan aku menyerupai seekor anjing di suatu sisi?"

"Benar," Senjougahara tertawa. "Itu tak adil bagi anjingnya."

"...............!!"

Bahkan sesedikit apapun kata-kata itu akan bisa menjadi efektif jika digunakan di saat waktu yang tepat. Wanita sungguh ahli menghina.

"Sangat bagus. Jadilah penakut, lari dengan ekor diantara kakimu. Pulang dan lakukan apa yang biasa kamu lakukan: duduk sendiri dan berpura-pura ditaklukkan.

"Masalalu buruk macam apa itu?!"

Berapa rumor buruk yang akan direncanakannya?

"Saat kau mencapai tingkatanku, orang sepertimu tak ada harapan untuk menyembunyikan sesuatu. Aku tau semua rahasia paling terburukmu."

"Kamu menggunakan kata yang salah dan entah bagaimana kau memperburuknya?! Apa kamu memeras alam semesta?!"

Aku tak akan melewatinya.

Aku tentunya memilih mempunyai rahasia gelap daripada yang buruk.

"Ngomong-ngomong, Oshino, selain menggunakan aku, kau bisa menggunakan vampire...Shinobu. Seperti yang kita lakukan pada Hanekawa."

"Shinobu sudah tidur," kata Oshino.

"..............."

Seorang vampir tidur di malam hari.

Sungguh menyedihkan.

Oshino mengambil persembahan Sake dari altar, dan memberikannya kepada Senjougahara.

"Um..apa yang aku lakukan...?" Ia tergagap-gagap.

"Meminum alkohol mengurangi jarak antara kita dan Dewa. Itu akan membuatmu sedikit tenang, bagaimanapun."

"...Aku di bawah umur."

"Tidak perlu banyak meminumnya, cukup mencicipi."

".............."

Dia memandangnya lama, dan kemudian mengambil minumannya. Dia mengambil cawan itu dari tangannya, dan meletakkannya kembali di altar.

"Oke. Pertama, tenangkan diri kita."

Memandang ke depan...

Punggungnya menghadap Senjougahara, Oshino berkata.

"Kita mulai dengan tetap tenang. Suasana hati sangat penting. Jika kita membuat jarang yang benar, ritualnya tidak akan menjadi masalah -- itu semua akan merasuk ke dalam apa yang kamu rasakan.

"Apa yang aku rasakan...?"

"Tenang, kurangi kewaspadaanmu. Ini tempatmu. Tempat dimana kamu seharusnya berada. Rundukkan kepalamu, tutup matamu dan berhitung. Satu. Dua. Tiga."

Mungkin...

Aku tidak perlu melakukannya tapi aku melakukannya. Aku memejamkan mataku, dan berhitung dengannya. Saat aku lakukan, aku menyadari...

Ini semua tergantung suasananya.

Baju Oshino, talinya, altar, mandi -- semua diatur untuk membuat kepentingan cara berpikir Senjougahara.

Sugesti yang menghipnotis.

Pada dasarnya Ia menghipnotisnya.

Menjauhkan kesadarannya, menenangkan kewaspadaannya, dan meyakinkan untuk mempercayainya -- pendekatannya berbeda, tapi dia harus melewati proses yang sama denganku dan dengan Hanekawa. Bantuan adalah untuk dia yang percaya -- dengan kata lain, langkah awal adalah membuat Senjougahara bisa menerima sesuatu.

Senjougahara sudah berkata...

Dia tak sepenuhnya percaya padanya.

Tapi...

Itu tidak cukup.

Dia butuh lebih.

Kepercayaan itu penting.

Ini yang dimaksud Oshino ketika Ia berkata Ia tak akan menyelamatkannya, tapi dia sendiri.

Kubuka mataku.

Melihat sekeliling.

Obor-obor.

Kerlap-kerlip di pojok ruangan.

Angin berhembus dari jendela.

Cahaya berkerlap-kerlip, siap akan hilang dengan hembusan yang kuat.

Tapi tidak.

"Apa kita sudah tenang?"

"Ya."

"Saatnya untuk beberapa pertanyaan. Jawab pertnyaan yang kuberikan. Siapa namamu?"

"Senjougahara Hitagi."

"Sekolahmu?"

"SMA Naoetsu."

"Ulang tahunmu?"

"Juli tanngal 7."

Pertanyaannya tidak jelas, isinya tidak berarti.


Pertanyaan demi pertanyaan.

Alurnya tidak berubah.

Oshino kembali padanya.

Mata Senjougahara terpejam, kepalanya merunduk.

Wajahnya menghadap lantai.

Ruangan sangat sunyi sehingga kamu bisa mendengar kami bernafas, hampir bisa mendengar detak jantung kami.

"Penulis favoritmu?"

"Yumeno Kyosaku."

"Kesalahat yang kau perbuat saat kecil?"

"Aku tidak mau menjawabnya."

"Lagu lama yang kamu sukai?"

"Aku tidak mendengarkan musik."

"Apa yang kamu rasakan saat lulus SD?"

"Hanya berpindah ke sekolah yang berbeda. Sekolah umum ke sekolah umum lainnya."

"Seperti apa orang yang pertama kau sukai?"

"Aku tidak mau menjawabnya."

"Momen paling menyakitkan apa," kata Oshino, nadanya tak pernah berubah, "yang ada di hidupmu?"

"..............."

Senjougahara gagal menjawabnya.

Dia tidak menolaknya. Dia hanya diam. Aku bisa mengetahui ini karena pertanyaan yang mempengaruhinya.

"Ada apa? Hal yang paling menyakitkan yang kau ingat."

"..Ibu.."

Jelas, dia tidak bisa tetap diam.

Dia tidak bisa menolak untuk menjawab.

Ruangan ini tidak mengijinkannya.

Dia dibawa kesini untuk menjwabnya.

"Ibuku..."

"Ibumu?"

"Bergabung dengan kultus pemuja."

Dan terutama yang terburuk...

Dia memberitahuku sebelumnya.

..bagaimana ibunya menguras tabungannya, berhutang, membawanya ke dalam kebangkrutan. Bahkan setelah perceraian, ayahnya lembur setiap hari, jarang tidur, berusaha mebayar hutangnya.

Apakah itu memori menyakitkannya?

Lebih buruk daripada berat badannya.

Tentu saja.

Tentu saja itu yang terburuk.

Tapi..itu..

Itu...

"Itu saja?"

"..semua?"

"Tak sebanyak itu. Hukum Jepang untuk bebas beragama. Kebebasan untuk mempercayai yang kau mau adalah hak paling mendasar bagi manusia. Apapun yang ibu kamu percayai, apapun yang Ia sembah, perbedaanya berada di metode."

".............."

"Dengan kata lain, itu tidak cukup," Oshino memaksa. "katakan padaku yang terjadi."

"Apa yang...ibuku..padaku. Ia bergabung dengan kultus pemuja, mereka menipunya.."

"Apa yang terjadi setelah ibumu bergabung dengan kultus pemuja?"

Setelah.

Senjougahara menggigit bibirnya.

"D-dia membawa laki-laki dari kultus pemuja kerumah bersamanya."

"S-sebuah ritual pensucian, katanya."

"Pensucian? menyucikan apa?"

"Dia berkata dia...harus menyucikanku." Dia hampir tidak bisa berkata. "Ke-kemudian mereka menyerangku."

"Diserang. Secara kasar? Atau...secara seksual?"

"...secara seksual. Or-orang itu..." Senjougahara memaksakan diri untuk mengatakannya. "Dia mencoba memperkosaku."

"...begitu ya," Oshino mengangguk.

Cara Senjougahara...

...secara aneh melindungi dirinya sendiri.

Tidak mempercayai siapapun.

Defensif dan agresif.

Ini menjelaskan itu semua.

Dan cara dia bereaksi seperti itu ketika dia melihat Oshino dalam jubah itu.

Di matanya, itu tak ada bedanya dengan apa yang dipakai oleh para kultus pemuja.

"Meskipun dia adalah pendet."

"Itu adalah cara pandang Budha. Ada agama yang membolehkan pembunuhan, diantara anggota keluarga. Kepercayaan tidak universal. Tapi kamu bilang 'mencoba' -- apakah dia tidak berhasil?"

"Aku mengambil hak sepatuku, dan memukulnya."

"...sungguh berani."

"Dia mulai berdarah. Meraung kesakitan."

"Dan kau selamat?"

"Aku selamat."

"Bagus."

"Tapi ibuku tidak menyelamatkanku."

Dia melihat semuanya.

Suara Senjougahara tak gentar.

Tidak tergagap.

"Ia berteriak padaku."

"Hanya itu?"

"Tidak. Karena aku menyakiti lelaki itu...ibuku..."

"...telah dihukum?" Oshino memotongnya.

Bahkan aku tidak bisa menebak jawabannya, tapi...itu berguna untuk Senjougahara.

"Ya," katanya, mengangguk pelan.

"Anaknya menyakiti seorang pembesar agama. Tidak mengagetkan."

"Benar. Itulah mengapa...semua uang kami. Rumah kami. Barang-barang kami. Semua hutang. Dia menghancurkan keluarga kami. Menelantarkan semua, menelantarkan semuanya, tapi dia tetap menghancurkan semuanya. Dia masih melakukannya."

"Diamana Dia sekarang?"

"Aku tidak tahu."

"Kamu harus tahu."

"Aku yakin...Ia masih bersama mereka."

"Dia masih percaya."

"Dia tidak pernah belajar. Dia tak tahu malu."

"Menyakitkan?"

"Ya, menyakitkan?"

"Mengapa menyakitkan? Dia bukan ibumu lagi."

"Aku tetapberpikir. Jika aku...Jika aku tidak melawan. Kemudian...Semua itu tidak akan terjadi."

Keluarganya akan masih bersama.

Mereka tidak akan pernah terpisah.

"Kamu berpikir demikian?"

"Ya...aku memikirkannya."

"Sungguh?"

"...Iya."

"Dengan demikian...yang kau pikirkan," kata Oshino. "Berapapun berat bebannya, kau harus memikulnya. Kau tidak bisa membuat orang lain memikulnya."

"Membuat orang lain...?"

"Jaga matamu agar tetap tenang. Buka matamu...dan lihat."

Dan...

Oshino membuka matanya.

Senjougahara melakukan hal yang sama.

Obor-obor di pojokan.

Apinya berkedip.

Bayangan kita...

...bayangan kita bergoyang.

Bergoyang.

Berputar.

"Ahhhhhhhhhhhhhhhhh!"

Senjougahara berteriak.

Kepalanya masih merunduk, baru saja; matanya terbuka lebar seakan tidak percaya. Tubuhnya gemetar. Keringat bercucuran di wajahnya.

Dia panik.

Senjougahara panik.

"Apakah kamu...melihat sesuatu?" kata Oshino.

"Ya aku melihatnya, sama persis...kepiting besar. Aku melihat kepiting."

"Baiklah, aku tidak melihatnya," katanya, memutar badannya dan menatapku. "Apa kau bisa melihatnya, Araragi-kun?"

"...tidak."

Yang kulihat...

Adalah cahaya yang berkedip.

Dan bayangan yang bergoyang.

Sama seperti tidak melihat apapun.

Aku tidak bisa berusaha melihatnya.

"Aku tidak bisa...melihat banyak."

"Begitu ya?" Oshino menghadap kembali ke Senjougahara. "Kau melihat kepiting, bukan?"

"Ya aku melihatnya, dengan jelas. Aku bisa melihatnya."

"Sebuah trik pikiran."

"Tidak, Dia disini."

"Baiklah, dan..."

Dia mengikuti pandangannya.

Seakan disana ada sesuatu.

Seakan disana ada sesuatu.

"Jika ada sesuatu yang perlu kau katakan."

"Dikatakan...?"

Kemudian...

Dia harusnya tidak perlu berpikir.

Itu bukan pilihan yang bisa dipikir, aku yakin.

Tapi Senjougahara menengadah.

ku berpikir...

Ini semua terlalu berlebihan untuknya.

Hanya sebuah kesalahan.

Tapi alasannya tidak bermasalah.

Alasan manusia tidak bermasalah.

Dia dengan segera menengadah, Senjougahara melayang ke belakang.

Dia terhempas kebelakang.

Seperti ia tak berbobot, kakinya tak pernah menyentuh lantai, sangat cepat. Sampai ia terhempas ke papan tulis jauh di pinggir ruangan.

Terhempas ke sana...

...dan tetap disana.

Tidak jatuh.

Tertancap di dinding.

Tersalib.

"S-Senjougahara!"

"Tch. Aku sudah mengatakan kepadamu untuk melindunginya Araragi-kun. Kau selalu terpeleset saat kau dibutuhkan. Untuk apa kamu berdiri disini?"

Dia terlihat kecewa. Itu semua terjadi seketika, aku tak pantas menerimanya.

Senjougahara menempel di papan tulis seakan-akan gravitasi berubah arah.

Tubuhnya menekan dinding.

Retakan terjadi di dinding sekitarnya.

Seakan Ia dihancurkan ke dinding itu.

Dia menggeram, tak mampu berteriak.

Dalam kesakitan.

Tapi aku masih tidak bisa melihat apapun.

Dia hanya terlihat menempel pada dinding, tertahan disana oleh sesuatu. Tapi dia bisa melihatnya.

Seekor kepiting.

Kepiting besar.

Kepiting beban.

"Oh baiklah, dasar Dewa pilih kasih. Tak memberi sambutan apapun. Baik sekali. Apa sesuatu yang baik terjadi?"

"Uh...Oshino..."

"Ya, ya. Perubahan rencana. Tak bisa tertolong. Di sisi lain berguna bagiku. Selalu."

Dia mengeluh dan terseret menghampirinya.

Meluhat ke atas.

Kemudian menggapai...

...dan menarik udara beberapa inci dari wajahnya.

Dan menyentakkannya.

"Baiklah," Ia bergumam, dan membanting apapun itu ke lantai, keras, seperti lemparan Judo. Tak ada suara. Hanya debu bertebaran. Tapi dia menghempaskannya ke lantai sekeras yang Senjougahara alami -- mungkin lebih keras. Dan tanpa menghela nafas, Ia melompat kearahnya.

Menginjak seorang Dewa.

Secara kasar.

Tidak sopan dan tidak suci.

Pecinta damai ini tidak kagum pada seorang Dewapun.

"..........."

Di tempat aku berdiri, sepertinya Oshino sedang berpantomim. Dengan cara yang gila. Berdiri dengan satu kaki, menjaga keseimbangannya secara sempurna. Tapi bagi Senjougahara...

Pasti itu pemandangan yang mengejutkan.

Matanya hapir lepas dari kepalanya.

Apapun yang menahannya di tembok sepertinya sudah hilang, karena ia terjatuh ke lantai. Tak jauh jatuhnya, dan dia tidak terbebani apapun, jadi tak banyak dampak yang berarti terjadi padanya, tapi itu dialaminya secara tiba-tiba, dan dia terjatuh secara aneh.

"Kamu baik-baik saja?" Oshino memanggil, dengan masih memandang kakinya.

Matanya menyempit, seakan mengukur sesuatu.

"Kepitin. Seberapapun besarnya -- pastinya, lebih besar lebih baik -- disaat kamu membaliknya, mereka tak berkutik. Tubuh rata dibuat untuk diinjak, jika kamu bertanya padaku. Apa yang akan kamu katakan padaku, Araragi-kun?" Ia bertanya. "Kita bisa memulainya. Mungkin butuh waktu. Mungkin bisa cepat untukku menghancurkannya."

"Menghancurkannya? Baik...yang dilakukannya adalah mengangkat kepalanya sebentar."

"Itu sudah cukup, bahkan. Lebih dari cukup. Kita dibimbing oleh perasaan, disini. Jika kita tidak bisa memohon dengan baik, kita harus memainkan permainan yang lebih berbahaya. Seperti yang kita lakukan pada iblis dan kucing. Jika kata-kata tak berguna, kita harus berkelahi.Seperti yang pemerintah lakukan. Jika aku menghancurkannya, baiklah, masalah selesai. Secara teknis. Tak bisa merekomendasikannya; akar dari permasalahan akan tetap ada. Menyembuhkan penyakitnya. Seperti memotong rumput daripada menggalinya. Tapi mungkin itu sudah cukup..."

"Mungkin?"

"Kau tau, Araragi-kun," kata Oshino, menyeringai."Aku sangat benci kepiting."

Terlalu keras untuk dimakan.

Ia bersandar kedepan.

Bertumpu kepadanya.

"Tunggu."

Sebuah suara dibelakangnya.

Itu suara Senjougahara.

Menepuk lututnya, dia berdiri.

"Tunggu. Kumohon, Sohino-san."

"Tunggu?" Katanya, melihat kembali padanya.

Dia masih tersenyum.

"Tunggu untuk apa?"

"Aku hanya kaget," katanya. "Tapi aku bisa melakukannya. Aku bisa mengatasinya."

"Hunh."

Dia tak mengankat kakinya.

Tetap menahan kepiting itu.

Tapi dia tidak menghancurkannya.

"Lanjutkanlah."

Dan Senjougahara...

Melakukan sesuatu yang tak bisa kupercayai. Dia berlutut, meluruskan punggungnya, meletakkan tangannya di lantai, dan perlahan, dengan hormat yang dalam...merunduk pada sesuatu dibawah kaki Oshino.

Kepalanya hampir menyentuhlantai.

Senjougahara Hitagi dengan sukarela merendahkan diri padanya.

Tanpa seorangpun menyuruhnya.

"Maafkan aku."

Pertama, dia meminta maaf.

"Dan...terimakasih."

"Tapi...itu sudah lama pergi. Ini perasaanku. Angan-anganku. Ingatanku. Aku akan mengambilnya kembali. Aku tak seharusnya kehilangan itu semua."

Dan akhirnya...

"Kumohon. Kumohon. Kembalikan berat badanku. Bebanku.

Kata-kata terakhirnya adalah doanya, permohonannya.

"Kembalikan ibuku padaku"

Dengan keras, kaki Oshino menghantam lantai.

BUkan karena Ia menginjaknya.

Hanya karena disitu sudh tidak ada apa-apa.

Seakan tidak pernah ada disitu.

Sesuatu itu sudah pergi.

Oshino Meme tidak mengatakan apapun. Hanya berdiri disitu.

Meskipun dia tau bahwa sesuatu itu sudah pergi, Senjougahara Hitagi tidak berdiri. Dia tiba-tiba menangis. Yang Araragi Koyomi bisa lakukan hanya melihat.

Dan berpikir apakah Senjougahara apa benar-benar, benar-benar, benar-benar seorang Tsundere.