Tate no Yuusha Vol 1 Chapter 18 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Jam Pasir Naga[edit]

Keesokan harinya, kami berkunjung ke toko senjata.


“Ooh, siapa lagi kalau bukan nak yang satu ini”

“Bagaimana pesanan kami?”

“Sudah jadi! Aku menyelesaikannya sudah lama.”


Paman mengatakannya sambil membawa satu set baju pelindung dari belakang kasir.

Hasilnya sedikit kelihatan sangar dan berandal... satu set baju pelindung yang masih mentah; ada pesona liar terpancar darinya.

Kulit Usapirunya dijadikan bagian wol lembut di sekeliling lehernya, sementara di bagian dada dipasang lempengan baja.

Sendi-sendinya tidak disambung oleh baja, tapi dengan kulit landak. Begitu memasukkan tanganku, aku bisa merasakan bulu Pikyupikyu dikemas diantara lapisan kulit gandanya.


“... Aku akan memakai ini?”


Bagaimana aku mengatakannya ya, ini kelihatan seperti jenis baju pelindung yang pemimpin bandit akan kenakan.

Apa yang sebenarnya mereka pikirkan saat menamai baju ini ‘Baju Pelindung Barbar’. Aku akan terlihat seperti yankee kelas teri pada era 90an jika memakai ini.


“Ada apa, nak?”

“Tidak, aku hanya pikir ini kelihatan seperti baju pelindung seorang bandit kejam.”

“Apa maksudmu baru mengatakan hal seperti itu sekarang, nak?”


Ha?

Apa itu artinya dari awal aku memang sudah jadi seorang bandit kejam?

Memang aku membuat keputusan paling efisien kalau berhubungan dengan mendapatkan uang, tapi itu tidak berarti aku ini seorang penjahat, ‘kan.


“Kalau Naofumi-sama yang pakai, bajunya pasti akan cocok sekali!”

“Raphtalia... kau—“


Bukannya perkataanmu itu sama saja mengakui kalau aku ini sama seperti mereka.


“Pokoknya, coba dipakai dulu saja.”

“Ugh... Kalau bisa aku tidak ingin menggunakannya... tapi tidak ada pilihan lain karena kita sudah susah payah membuat baju pelindung ini.”


Aku langsung berganti pakaian setelah masuk ke kamar ganti.

... Aku bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskan kekagumanku soal betapa pas ukuran baju ini.

Memang hanya sesuatu yang bisa dibuat oleh Paman, pemilik toko senjata dan baju pelindung yang sebenarnya. Dia bisa tahu ukuran-ukuran badanku hanya dengan melihat.

Aku keluar dari kamar ganti dan memamerkannya ke Paman dan Raphtalia.


“Fumu... wajahmu mungkin tidak memberikan aura barbar, tapi aku bisa melihat sinar seorang berandal dari tatapanmu.”

“Hah? Apa kau mengatakan kalau aku punya tatapan yang kejam?”

“Nak, kau ini cepat sekali mengertinya kalau berhubungan dengan detil seperti itu.”


Sial, apa maksud perkataanmu itu?


“Naofumi-sama, cocok sekali untukmu dan kelihatan sangat keren!”


Ucap Raphtalia dengan sebuah senyuman.

Aku memicingkan mata pada Raphtalia sambil berdiam.

Dengan tatapan paling kejam dan paling menyakitkan mata...


... Tapi dia hanya berkata jujur dengan apa yang ada dihatinya.


Di lingkungan macam apa sebenarnya dia dibesarkan?

Ah, aku lupa kalau Raphtalia itu seorang demi-human. Mungkin karena dia memiliki selera pakaian yang berbeda denganku.

Aku pastikan dengan melihat statusku kalau pertahanan baju pelindung ini sebanding dengan chainmail itu. Sebaliknya, ternyata sedikit lebih tinggi.

Paman berkedip kepadaku. Ini bisa dianggap sebagai bonus yang Paman berikan kepada kami, ‘kan.


“Haah... Terima kasih.”


Sejujurnya, hal seperti ini bukan hobiku, tapi aku tidak bisa melakukan apapun karena aku harus bersiap-siap untuk serbuan yang akan datang.

Dengan alasan itu aku meyakinkan diriku.


“Nah sekarang, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku jadi ingat, suasana kota akhir-akhir ini terasa seperti menegangkan.”

“Serbuannya mungkin akan datang sebentar lagi, tapi dimana dan kapan munculnya?”

“Ha? Tidak ada yang memberitahumu, nak?”

“Memberitahu apa?”


Informasi yang Paman tahu tapi asing bagiku... itu pasti tentang penanggulangan terhadap serbuan yang negeri ini punya. Diam-diam aku mengutuk selagi mendengarkan apa yang Paman katakan.


“Kau mungkin sudah melihat menara jam besar yang terkenal kepunyaan negeri ini di alun-alun kota ‘kan?”

“Yah, cuma sekilas. Aku lebih sering berada di pinggiran kota.”

“Jam Pasir Naga berada di dalam bangunan itu. Ketika butir pasir terakhir dari jam pasir itu jatuh, para Pahlawan beserta kelompoknya akan diteleportasi ke tempat serbuan bencana terjadi.”

“Oh...”


Tidak salah lagi... raja sialan itu pasti memberi tahu informasi penting ini ke pahlawan lain dan rekan-rekan mereka sebelumnya.


“Kalau kau tidak tahu kapan serbuannya akan datang, kenapa tidak mampir dan lihat sendiri?”

“Ya... kurasa.”


Akan sangat merepotkan jika aku tidak tahu kapan aku akan diteleportasi.

Aku berencana untuk mampir ke tempat itu untuk jaga-jaga.


“Kalau begitu sudah dulu, Paman.”

“Ya, hati-hati.”

“Sampai jumpa lagi.”


Kami mengucapkan salam perpisahan dan mengarah ke menara jam.

Di seluruh kota, menara jam adalah bangunan tertinggi yang ada. Setidaknya bersaing dengan tinggi gedung-gedung modern kota jika dilihat dari dekat.

Entah kenapa, atap menara jam itu berbentuk kubah sama seperti gereja.

Sepertinya tidak ada tagihan untuk masuk; gerbangnya terbuka lebar, orang-orang juga datang dan pergi dari dalam.

Mengenakan pakaian yang sama seperti seorang biarawati, wanita yang ada di resepsionis memperhatikanku dengan curiga. Dia mungkin mengenali wajahku.


“Kau Pahlawan Perisai, bukan?”

“Ya, seperti yang kau bisa lihat aku datang karena batas waktunya akan tiba sebentar lagi.”

“Kalau begitu, lewat sini.”


Kemudian aku dituntun ke sebuah jam pasir yang diletakkan di tengah-tengah gereja itu.

Sebuah jam pasir raksasa dengan tinggi kurang lebih 7 meter.

Sudah dihias dengan indah, sehingga memberikan kesan yang amat suci.


... Apa ini? Tulang punggungku terasa dialiri listrik.

Hanya dengan melihat saja, naluriku muncul dan sebuah sensasi aneh mulai berputar-putar di dalam tubuhku.

Warna pasirnya... merah.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah pasir yang mengalir dengan tenang.

Langsung saja aku paham apa yang akan terjadi kalau butir terakhir jatuh.

Suara ‘piinn’ terdengar dari perisaiku dan segaris sinar muncul menuju ke tengah Jam Pasir Naga, mencapai permata yang ada didalamnya.

Kemudian sebuah jam digital muncul di sudut pandanganku.


20:12


Angka 12-nya berganti menjadi 11 setelah selang beberapa saat.

Aku mengerti, jadi sisa waktu yang ada diterjemahkan menjadi sepengetahuanku.

Dengan ini aku bisa bertindak dengan teratur.

Tetapi... yang bisa aku lakukan dalam 20 jam sangat terbatas. Setelah mempertimbangkan segala hal, pilihan terbaik adalah mengumpulkan tanaman obat sebanyak mungkin sepanjang hari.

Aku juga butuh untuk mempersiapkan beberapa obat-obatan.


“Hmm? Bukannya yang disana itu Naofumi?”


Sebuah suara menjijikan yang tidak ingin kudengar bergema dari belakangku.

Berjalan-jalan bersama harem wanita-wanitanya, si Pahlawan Tombak Motoyasu dengan santai mendekatiku.

Merepotkan, aku ingin langsung menendangnya jauh. Tapi mengingat tempat dan waktunya, aku menahan diriku untuk tidak melakukan itu.


“Apa kau juga datang kesini untuk persiapan menghadapi penyerbuannya?”


Pandangannya benar-benar membuatku muak. Ia menelitiku sekilas dengan sinis dari atas ke bawah.


“Apa-apaan kau ini. Kau berniat untuk bertarung dengan perlengkapan level ini?”


Lalu kenapa memangnya kalau iya?

Kau pikir, salah siapa nasibku sekarang seperti ini. Kau dan wanita jalang keparat dibelakangmu itu penyebabnya.

Perlengkapan Motoyasu sangat berbeda dari sebulan lalu, siapapun bisa tahu betapa tinggi level dirinya hanya dengan sekali lirik.

Bukan berbahan besi, tapi baju pelindungnya terbuat dari perak. Ia memakai kain dibawahnya yang memancarkan warna hijau terang, kemungkinan besar berkat efek tambahan dari pakaiannya sendiri. Tidak hanya itu, ada lagi satu lapis chainmail diantara kedua lapis itu; seolah-olah Motoyasu ingin menyombongkan pertahanan sempurnanya.

Senjata legendarisnya juga bukan dalam bentuk asli dan lemahnya. Dan walaupun menjengkelkan untuk mengakuinya, sejujurnya desain tombaknya begitu memukau.

Yah, setidaknya masih terlihat seperti sebuah tombak.


“…”


Berbicara dengan orang ini akan merepotkan.

Aku membalikkan punggungku kepada Motoyasu dan mengabaikannya lalu kembali mengarah ke pintu masuk menara jam.


“Hei, Motoyasu-sama berbicara kepadamu! Dengarkan dengan baik!”


Seseorang dari belakang Motoyasu mengatakannya dengan tatapan penuh nafsu membunuh.

Setelah itu datanglah ejekan yang biasa, mereka mulai memprovokasiku dengan menjulurkan lidah dan menertawakanku.

Wanita jalang itu, akan kubunuh dia satu hari nanti.


“Naofumi-sama? Siapa orang-orang ini…?”


Raphtalia memiringkan kepalanya dan menunjuk ke gerombolan Motoyasu.


“…”


Aku mencoba pergi, memutuskan untuk lebih baik cukup keluar dan tidak menjawabnya.

Di saat yang bersamaan, Itsuki datang dengan langkah ringan dari pintu masuk.


“Cih.”

“Ah, Motoyasu-san dan… Naofumi-san.”


Itsuki sepertinya tidak senang mendengarku mendecak kepadanya, tapi penampilan ‘anak baik-baik’-nya langsung kembali.


“…”


Ren juga masuk dan berjalan kearah kami dengan diam, mencoba bersikap keren. Tidak diragukan lagi, perlengkapannya jauh lebih kuat daripada saat pertama ia memulai petualangannya.

Lalu, kedua rekannya muncul satu per satu.

Jumlah orang di dalam menara jam bertambah dengan cepat.

4 + 12 + 1

Kami, keempat pahlawan terpilih, beserta dengan duabelas petualang yang dipilih oleh raja, dan yang seorang lagi adalah Raphtalia.

Jumlahnya sebanyak 17 orang, sangat mengecewakan untuk ukuran menghadapi ancaman yang akan datang.


“Anu…”

“Siapa gerangan gadis cantik ini. Begitu manis.”


Ucap Motoyasu sambil menunjuk Raphtalia.

Orang ini, dia menyukai siapa saja asalkan mereka itu perempuan?

Bahkan sampai seorang pahlawan juga bernafsu pada gadis kecil… negeri ini benar-benar sudah tamat riwayatnya.

Ditambah lagi, ia mendekati Raphtalia dengan niat kotor sembari mengenalkan dirinya dengan banyak gaya.


“Senang bertemu denganmu, nona. Aku dipanggil ke dunia ini sebagai salah satu dari empat pahlawan besar, tolong panggil aku Kitamura Motoyasu. Sebuah kehormatan bisa berkenalan denganmu.”

“Y-ya… ternyata salah satu dari para pahlawan kah.”


Raphtalia mengangguk takut-takut sambil menghindari tatapan matanya.


“Boleh aku mengetahui namamu?”

“Emm…”


Raphtalia yang kebingungan melirik kepadaku dan kembali menghadap Motoyasu.


“N-namaku Raphtalia. Senang berkenalan denganmu.”


Dia mungkin sudah menebak kalau aku sedikit jengkel. Aku tahu itu dari keringat dingin yang mengalir diwajahnya.

Gadis ini juga ingin menelantarkanku dan bergabung dengan kelompok Motoyasu, ‘kan.

Sial, aku sudah berusaha pergi dengan tenang dari sini, jadi kenapa orang-orang keparat ini masih harus mencoba mempermainkanku?


“Ada urusan apa kamu datang kemari? Orang seperti dirimu kenapa membawa pedang dan perlengkapan yang berbahaya?”

“Itu karena aku akan bertarung bersama dengan Naofumi-sama.”

“Eh? Untuk Naofumi?”


Motoyasu menoleh dan melihatku dengan tatapan penuh curiga.


“… Apa kau lihat-lihat.”

“Kau, kenapa kau membawa gadis semanis ini ke tempat yang berbahaya?”


Kata Motoyasu dengan tatapan merendahkan.


“Aku tidak perlu memberitahumu alasannya, keparat.”

“Dan kupikir kau akan menghadapi pertempuran ini sendirian… jadi pada akhirnya kau hanya memanfaatkan kebaikan hati Raphtalia.”

“Seenaknya berdelusi begitu, dasar bodoh.”


Ucapan sampah yang dilontarkan bajingan ini, yang percaya dengan wanita paling jalang dari dunia paralel ini daripada rekan pahlawannya, mulai benar-benar membuatku marah.

Aku mengarah ke Itsuki dan Ren supaya bisa pergi ke pintu keluar.

Kedua orang itu dan rekan-rekan mereka membuka jalan untukku.


“Mari bertemu lagi saat penyerbuan.”

“Jangan jadi beban untuk kami.”


Aku melewati mereka saat Itsuki memberiku tanggapan profesional, sedangkan Ren menjawab dengan perintah yang dingin layaknya pahlawan yang penyendiri.

Kaget karena aku terburu-buru, Raphtalia dengan cepat mengikuti disampingku sambil melihat-lihat tanpa henti.


“Kita pergi sekarang.”

“Ah, ya! Naofumi-sama!”


Setelah mendengar suaraku, akhirnya dia kembali ceria.

Ya ampun, tadi itu sungguh tidak mengenakan.

Setelah akhirnya keluar dari menara jam, aku langsung keluar dari kota dan berjalan cepat ke arah padang rumput, dengan perasaan kesal yang terus bertambah.


“Em, Naofumi-sama? Apa yang terjadi?”

“Bukan apa-apa…”

“Itu…”

“Apa?”

“Tidak…”


Menyadari suasana hatiku yang sedang buruk, Raphtalia menunduk sambil berjalan dibelakangku.

… Kemudian seekor Balon muncul.

Raphtalia segera mencabut pedangnya.


“Tunggu, biar aku saja yang menghadapi ini.”

“Eh… tapi—“

“Aku saja!”


Raphtalia meringkuk terkejut mendengar teriakanku yang tiba-tiba.

Balon itu muncul kehadapanku.


“Ora ora ora ora!”


Sial! Sial sial sial sial sial sial!

Melampiaskan kekesalanku dengan menghajar si Balon, aku akhirnya bisa sedikit tenang.

Aku melihat sisa waktu dari sudut pandanganku.


18:01


18 jam lagi.

Aku harus melakukan apa yang kubisa sampai waktunya tiba.

Setelah itu, aku berburu Balon dan mengumpulkan tanaman obat sepanjang jalan.

Aku masih harus meracik mereka menjadi obat yang benar untuk persiapan serbuan yang akan datang.

Kemudian senja tiba… setelah kembali ke penginapan untuk beristirahat, dengan nada menyesal Raphtalia berbicara kepadaku.


“Naofumi-sama.”

“… Apa?”

“Pagi ini, orang-orang itu adalah pahlawan seperti Naofumi-sama, ‘kan?”

“… Ugh.”


Dia mengingatkanku pada pengalaman mengerikan itu.

Padahal aku sudah susah payah melupakannya dengan pelampiasan-pelampiasan tadi.


“Apa… yang sebenarnya terjadi di antara kalian?”

“Aku tidak ingin membicarakannya. Jika kau ingin tahu pergi saja ke bar dan tanya pada orang-orang.”


Lagipula tidak ada yang akan percaya padaku saat aku mengatakan yang sebenarnya. Gadis ini juga paling sama saja dengan mereka.

Tetapi, yang membuat perbedaan terbesar adalah Raphtalia itu budakku.

Jika ia menolak perintahku, mencoba kabur, atau melawanku maka ia akan tersiksa oleh kutukannya.

Merasa ini adalah pilihan terbaik, Raphtalia tidak melanjutkan pertanyaannya karena toh aku tidak akan berbicara.

Bersiap-siap untuk besok, aku meracik obat-obatan sampai aku tertidur; aku terus menerus melakukannya untuk waktu yang lama.



Sebelumnya Chapter 17 – Baju Perang Bandit Kembali ke Halaman Awal Selanjutnya Chapter 19 – Ingatan tentang Monster Hitam