Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume4 Bab3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3 : Baju Pelaut dan Kecemburuan Louise[edit]

Sinar matahari bersinar terang di plaza Austri. Saito tengah berguling-guling di tanah dan gemetaran hebat. Kemudia dia

mengangkat wajahnya, memandangi karya seni yang dihasilkannya, dan sekali lagi menggila karena kegairahannya.

""Hah, hah, hah..." napasnya memanas.

Detak jantungnya mencapai puncaknya berulangkali dan membawa hati Saito pada utopia.

"Bergetarlah, detak jantungku,"

"Berdeguplah, hatiku yang penuh rindu."

"Bergetarlah lebih dan lebih panas, berkahilah kejeniusanku..."

"Kata sang malaikat. Katanya disini. Aku bersyukur aku hidup...."

Saito menggenggam era-erat rumput yang tumbuh di tanah dan berteraik keras.

"UooooooooooOOOOOOH! Aku yang terheBAAAAAAAAT!"

Kemudian dia menunjuk pada malikat dihadapannya.

"Siesta juga yang terheBAAAAAAAT!!"

Siesta, yang terheran-heran, menonton seluruh tingkah Saito karena kegairahan dan kesenangannya.

Saito-san...aneh....

Dia bergumam tak sadar. Itu benar-benar menunjukkan seaneh apa Saito berlaku.

"T-tapi, pakaian ini....."

"A-Apa? Ada yang salah? Apa ada yang kurang?!"

Saito terbang denagn ringannya menuju Siesta.

"Y-yah...maksudku, ini seragam militer kan? Bahkan jika aku mengenakannya, takkan terlihat bagus..."

"Jangan berkata bodoh!"

Sikap mengancam Saito membuat Siesta "Hii..." dan mundur.

"Di DuNIAAAA iiiiNIIIII! yakin itu pasti pakaian untuk prajurit angkatan laut! taPIIIIIIIIII! di duniAAAAAAAkUUUUUUU!

Gadis-gadis usimu memakainya dan pergi ke sekolah! perGIIIIIIIIIIIIIIIIIII dalam bentuk kemajuan masa kini!"

"Y-Ya..."

Aah, Saito san benar-benar aneh....

Lalu Sairo berteriak setengah menangis. "Ia disebut seragam pelaut di duniaku! MaaaaaaaaaaaaaF aku terlaHIIIIIIIIIIIIIIr!"

Siesta pikir, jadi ini toh....Ini pakaian dari tempat kelahiran Saito....Kemarin malam, Saito mendatanginya dan menyerahkan

seragam pelaut dengan wajah kaku, Saat Saito berkata "Aku akan memermak pakaian ini sehingga bisa kau pakai." Dia dengan

jujur pikir Saito telah kehilangan akal sehatnya, Meski begitu, Saito dengan jujur merasa senang bahwa Saito membelikan

pakaian untuknya, Dan kini, kepada Saito yang senang karena memakaikannya pakaian dari tempat kelahirannya, dia merasa malu.

Jika saat ini Saito normal, menarik diri darinya adalah satu-satunya yang mungkin dilakukan, tapi untuk alasan itu, wajah

Siesta memerah.

"Pertamanya kukira Saito san jadi gila, tapi dia punya alasan seperti itu...."

Aku mengerti! Siesta mengangguk dan berbalik untuk menghadap Saito dengan serius. "Apa yang harus kulakukan untuk

menyenangkanmu lebih lanjut?"

Saito, sekali lagi, memandangi penampilan Siesta dari atas sampai bawah. Pertama, bagian atas. Ia Permata indah yang terbuat

dari baju pelaut Albion, Lengan putih panjang dengan mulut hita, Kerah dan syal biru gelap. Tiga garis putih mengitari kerah.

Dan kemudian, Saito mengembunkan kejeniusannya kedalam "panjang". Saito, dengan segenap kemampuannya, memerintahkan Siesta

untuk membuat bagian perut pendek. Dengan memendekkan panjang bagian atas. Ia hanya mencapai ujung atas rok. Karenanya,

kapanpun Siesta membengkokkan tubuhnya, dia bisa melihat perut Siesta. Saito memang benar-benar.

Kini, rok, Dia seharusnya tak melakukannya, tapi dia curi seragam cadangan Louise. Ia punya lipatan, jadi dia membuatnya

terpakai, Ini, juga, dipendekkan hingga yang terpendek yang dia bisa. Hasilnya, Sepertinya rok pertama di dunia lain ini yang

berukuran 15 cm diatas lutut tercipta. Dan lalu kaos kaki, Mereka hasil dari gabungan antara keinginan Saito dan kenyataan.

Saito denagn hati-hati memilih dan menyusun kaos kaki biru gelap.

Sepatunya. Mereka boot berenda tinggi yang selalu dipakai Siesta. Ia satu-satunya goresan dalam karya seni yang berkilau ini.

Dia benar-benar mengingikan sepatu berhak disini. Sedihnya, itu tak ada di dunia ini. Bagaimanapun juga, Ini semuanya

diperiksa dan disusun oleh Saito. Dada besarnya, yang biasanya tertutupi dan disembunyikan apron, terangkat oleh seragam

pelaut buatan tangan. Kakinya yang kurus, dan sehat bagaikan kepunyaan serow, tersedot kedalam rok yang berada 15 cm diatas

lutut. Siesta biasanya tak memakai rok yang pendek begitu, jadi campuran nostalgia dan kesegaran membuatnya lebih dan lebih

tergerak secara emosional.

"Bilang padaku! Saito-san! Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu mendekat pada tempat kelahiranmu?!"

Saito berpikir. Dengan serius tentu saja, mempertaruhkan nyawanya. Dia mengingat seluruh jenis pola. Seperti kalkulator nan

canggih, kepala Saito berputar. Suara hatinya berbisik. Saito, HANYA ITU YANG BISA, Benar, Hanya itu...Hanya itu...Dengan

suara yang hampir tersengak, dia meremasnya keluar. "Berputarlah."

"Eh?"

"Berputar-putar, seperti itu, Lalu, setelahnya, katakan 'Maaf membuatmu menunggu!' penuh keceriaan padaku."

Siesta melangkah mundur. Saito sejenis lelaki yang ibunya bilang padanya agar tak didekati saat dia masih kecil. Tetap saja

Siesta ingin menyenangkannya. Bagaikan menyiapkan dirinya, "Y-ya..." Dia mengangguk, dan Siesta pun berputar. Syal dan roknya

tersibak dengan ringan ke udara.

"Ma-maaf membuatmu menunggu."

"Salaaaaaaah!"

"Hii!"

"Di akhir, kau mengankat satu jari dan bilang "ne". Penuh keceriaan. Sekali lagi."

Sambil mengangguk, Siesta mengulangi sebagaimana diperintahkan. Melihat ini, Saito beretriak. "Terima kasih untuk

k-k-k-keberaniamu."

Apa ini ga papa, Siesta? Benarkah...untuk orang ini? Dia agak merasakannya dari bagian dirinya yang lebih sadar, tapi Siesta

menutupnya dengan penolakan. -Tiap orang punya hobi dan kesukaan yang tak bisa mereka katakan pada orang lain. Saito-san

bukan kekecualian. Yah, itu saja... Ya, itu! Dia mengataknnya pada dirinyas endiri dengan cerah dan tersenyum. Siesta ini

kuat.

"Apa yang harus kulakukan selanjutnya?"

"Um, selanhjutnya..."

Saat Saito melipat lengannya dan mulai bingung soal ini, Dua orang berjalan mendekati mereka dengan sikap aneh. Itu Guiche

dan Malicorne si gemuk. Sebuah duo yang tak biasa. Seperti keduanya telah menonton Siesta dari tempat tertentu.

"ehem:, Guiche berdehem untuk menarik perhatian.

"Itu...apa? Apa-apan pakaian itu?!"

Untuk alasan tertentu, Guiche bergairah saat memandanginya seakan dia hendak menangis. Malicorne juga menunjuk Siesta sambil

gemetaran.

"Lu-Luar biasa! Mutlak Luarbiasa! Bukankah begitu?! Guiche!"

"Aah, ini! Tak pernah kulihat pakaian seluarbiasa ini sebelumnya! I-I-itu!"

"Ia langsung menyerang pikiran!"

Mata keduanya berkemilauan dengan sangat, dan menatap Siesta seakan hendak memakannya. Waaan, kepusingannya berlipat ganda,

Siesta merasa agak gimana, tapi keduanya ningrat. Karena dia harus, Siesta memaksa tersenyum. Senyum dan seragam pelaut

tampaknya merusak Malicorne dan Guiche secara sempurna, karena mereka mulai mendekat dengan tingkah terkagum-kagum bagaikah

seorang yang jalan sambil tidur. Siesta, yang merasakan bahaya pada tubuhnya, berkata "Yah, aku akan kembali bekerja!" dan

melarikan diri.

"Sangat manis..." guam Guiche degan nada melamun saat melihat Siesta melarikan diri.

"Benar sekali..." Malicorne juga bergumam, tampaknya terikat mantra.

"Kalian kesini untuk apa?!"

Saat Saito berteriak, keduanya akhirnya sadar, Lalu, Guiche memeluk bahu Saito.

"H-Hei kau, Dimana kaubeli pakaian itu?"

"Apa yang hendak kau lakukan dengan menanyakan itu?"

Guiche berkata dengan nada malu-malu. "A-Ada seseorang yang hendak keberikan pakaian itu sebagai hadiah."

"Putri?"

"Bodoh! Terlalu! Itu keterlaluan! Paduka Putri kini adalah Paduka Ratu! Aah, dia telah pergi ke tempat nan tinggi yang tak

dapat kujangkau...Lebih baik saat dulu dia masih putri, tapi kini sebagai Ratu..."

Tempat tinggi apa? Kau tak pernah punya kesempatan sejak awal. Pikir Saito, tapi dia memutuskan untuk tetap diam dan

mendengarkan.

"Nah, aku akhirnya ingat. Dia selalu di sampingku, terus menontonku dengan mata manisnya...Rambut blonde indah, senyum manis

bagai parfum..."

Ah, mantan pacarnya. Saito menyadarinya. "Monmon?"

" Bukan Monmon! Ia Montmorency!"

"Oh, begitu. Kau ingin mendekatinya lagi. Kau tahu, kau memang tak punya keutuhan."

"AKu tak ingin dikatai begitu olehmu. Kini, bilang padaku. Dimana pakaian itu dijual?"

"Hmph, Seakan kau bisa pernah mengerti seni." Sahut Saito. Dia tak ingin seseorang seperti Guiche mempermalukan ingatan

tempat kelahirannya.

"Mau bagaimana lagi? Aku takkan hanya melaporkan kejadian hari ini, tapi juga menanyakan Louise."

Itu adalah kata sihir yang paling pasti.

"Aku masih punya dua lagi. Gunakan mereka sesukamu."

Ia menarik penyerahan diri maksimum Saito seketika.

"Tetap saja. apaan sih pakaian ini? Kupikir aku pernah melihatnya dimana...gitu. Bukankah pelaut memakai pakaian itu? Untuk,

hmmm, seorang gadis memakainya dan memberi daya tarik yang begitu kuat! Misterius sekali."

Sambil melipat lengannya, Saito membusungkan dada dengan bangga. "Tentu saja. Ia memiliki sihir penarik dari tempat

kelahiranku terpasang padanya."


Kini, di malam hari itu. Montmorency, yang bangga dengan rambut emas bergelombang panjang dan mata biru jernihnya, tengah

meracik sebuah ramuan dalam kamar di asrama, Sambil menyenderkan tubuh tingginya di kursi, dia tengah serius meracik ramuan

rahasia dalam sebuah pot dengan alu kayu. Montmorency si "Harum". seorang penyihir dari elemen "air", memiliki hobo pada obat

sihir...membuat ramuan. Dan tepat seperti yang nama keduanya bilang, keahliannya adalah membuat pengharum. pengharum

buatannya dikenal memancarkan harum yang khas dan manis, dan dia sangat terkenal diantara para gadis dan wanita kota.

Hari ini, Montmorency dengan bersemangat menracik sebuah ramuan tertentu. Ia bukan ramuan biasa. Pastilah, sebab ini adalah

ramuan yang terlarang. Oleh proklamasi negeri, ia merupakan barang terlarang untuk diciptakan ataupun digunakan. Montmorency

menjual pewangi yang dibuatnya ke kota, dan perlahan mengumpukan uang. Lalu, hari ini, dia menghabiskan uang yang ditabungnya

dan mendapatkan bahan-bahan untuk ramuan terlarang, juga obat rahasai mahal yang diperlukan untuk meracik. Di toko sihir

hitam. Hobi menang atas moral. Karena kenyang soal membuat ramuan biasa, Montmorency ingin membuat sesuatu yang dilarang

meski denda besar bakal ditimpakan padanya bila dia ketahuan.

Bersama kayu wangi sulfur naga, dan mandragora yang digejrot, akhirnya, tinggal menuangkan obat rahasia nan

essensial...cairan yang dibayar dengan uang yang begitu banyak untuk didapatkan. Dia meraih botol kecil disampingnya. Jumlah

yang kecil...Untuk jumlah cairan yang begitu sedikit dalam botol parfum ini, Monmorency menghabiskan begitu banyak uang yang

telah ditabungnya, 700 ecu koin emas. Jumlah uang yang seorang jelata bisa gunakan ntuk hidup selama 5-6 tahun. Saat dia

memiringkan botol kecil pada pot, dia berhati-hati agar tiada yang tumpah...seseorang mengetuk pintu, menyebabkan Montmorecy

bangkit.

"Si-siapa...? Saat begini..."

Dia menaruh bahan-bahan dan peralatan yang tadinya di meja kedalam lemari. Setelahnya, dia menuju pintu sambil menyisir

rambutnya keatas.

"Siapa?"

"Ini aku! Guiche! Pelayan abadimu! Bukakan pintu ini untukku!"

"Pelayan abadi apaan". gumam Montmorency. Dia tahu sifat ketidaksetiannya dengan cukup baik. Saat mereka jalan bersama di

kota, dia akan tertarik dan melihat sekeliling mencari wanita cantik tanpa lelah. Saat mereka minum anggur di bar, Dia akan

mencoba menggaet pelayan kapanpun dia meninggalkan kursinya sebentar.Terakhir, dia akan melupakan janji kencan dan memetik

kembang untuk seorang gadis di tempat lain. Adalah menggusarkan mendengarnya mengucapkan 'abadi'.

Montmorency berbicara dengan nada gusar. "Mengapa kau datang kesini? Aku sudah putus denganmu."

"Aku sama sekali tak berpikir seperti itu. Tapi jika kau berpikir seperti itu, maka itu salahku...Bagaimanapun jua, aku

mencintai hal-hal yang indah. Dengan kata lain, aku hamba keindahan...Seperti yang sudah kau ketahui, sni, benar sekali,

seni! Aku terlalu lemah terhadap hal-hal indah..."

Kau mencintai seni? Untuk seseorang dengan selera buruk, beraninya kau mengatakan itu. Pikirnya. Warna kemeja yang dipakain

Guiche saat kencan adalah ungu gingira, dan dia pening sewaktu Guiche datang memakai syal merah dan hijau.

"Tapi aku sudah meyakinkan diri untuk tidak lagi menerima seni apapun selain kau. Bagaimanapun jua, kau sepertinya yang

paling bersni. Um, seperti rambut blondemu."

Apa kau seorang tolol?

"Enyahlah, aku sibuk."

Saat Montmorency dengan dingin mengatakan itu. Sunyi datang menyergap sebentar. Setelahnya, Guiche yang menangis dan meratap

dapat terdengar dari koridor.

"Aku mengerti...Dikatai begitu, aku hanya bisa hancur di sini. Jika aku dibenci olehmu, yang kucintai, sampai sebegitunya,

maka tiada harganya sama sekali hidup ini."

"Lakukanlah apa yang kau mau."

Lelaki seperti Guiche takkan mati hanya karena ditolak. Montmorency terus memasang sikap dinginnya.

"Saat ini, Aku ingin, setidaknya...di pintu kamar dimana kau hidup, memahat bukti bahwa aku telah hidup...bahwa aku telah

mencintaimu."

"A-Apa yang hendak kau lakukan?! Hentikan itu!"

Suara sesuatu yang keras dapat terdengar menggaruk-garuk pintu.

"Lelaki yang mengorbankan dirinya untuk cinta, Guiche de Gramont, Hancur oleh cinta abadi, dia mati disini...sekian."

"Bukan 'sekian'! ampuuun!"

Montmorency membuka pintu. Guiche berdiri disana dengan senyum sempurna di wajahnya.

"Montmorency! Aku mencintaimu! Aku benar-benar mencintaimu! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!"

Lalu, dia memeluknya erat. Montmorency membeku untuk sesaat. Lagipula, Guiche terus mengatakan "Aku mencintaimu". Itu karena

dia kekurangan kosakata, tapi tak peduli berapa kali dia mengatakannya, Montmorency tak merasa buruk. Lalu Guiche menyerahkan

bungkusan yang dipegangnya pada Montmorency.

"...Apa ini?"

"Bukalah, Itu sebuah hadiah untukmu."

Montmorency membuka bungkusan itu. Isinya seragam pelaut. Saito telah meminta Siesta untuk memermak seragam itu agar pas

dengan tubuh Montmorency. Guiche selalu mengingat ukuran gadis-gadis yang dipcarinya.

"Pakaian yang aneh..."

Montmorency mengernyitkan alis.

"Bagaimana kalau kau mengenakannya? Ia pasti pas denganmu. Kesucianmu akan meningkat berlipat ganda, Ayolah. Cepat. Apa, aku

menghadap arah lain."

Sambil menghadap kebelakang, Guiche mulai menggigit-gigit kukunya terus-terusan. Melihat ini tak terhindarkan, Montmorency

melepas kemejanya dan memakai pakaian tadi.

"Sudah."

Saat berbalik, wajah Guiche mencerah penuh energi. "Aah, Montmorency~...Kau benar-benar suci...Montmorencyku yang manis~..."

Sambil menggumamkan itu, Guiche mencoba menciumnya. Montmorency langsung menahannya.

"Monmon..."

Wajah Guiche tampa kusut sedih.

"Jangan salah paham. Aku membuka pintu ke kamarku, tapi aku tak membuka pintu ini. Aku belum memutuskan untuk berbaikan

denganmu. Dan, siapa yang kau panggil Monmon?"

Hanya dengan itu, Guiche girang. Masih ada harapan tersisa. "Montmorencyku~! Kau merasa untuk mempertimbangkannya,

begitukah!"

"Jika kau mengerti, enyahlah! Aku tengah mengerjakan sesuatu!"

Sambil berkata "Ya, Ya, tentu saja aku akan pergi, Jika kau bilang begitu, aku akan pergi kapan saja." Guiche meninggalkan

kamar sambil berjingkrak-jingkrak.

Montmorency bercermin di kaca. "Apaan ini...Tak mungkin aku mengenakan sessuatu yang pendek nan memalukan!"

Tanpa sadar wajahnya memerah . Bila melihat lebih dekat, pakaian ini agak manis. Guiche dengan sengaja menyiapkan pakaian ini

untuknya,

Umumumu...

Yah, dibilang "Aku mencintaimu" seperti itu, hatinya tengah melambung. Mereka asalnya jadian, jadi dia tak membencinya.

"harus bagiamana ? Memaafkannya?"

Tapi, dia teringat bagaimana Guiche mencurnaginya di masa lalu. Bahkan jika aku jadian dengannya lagi, bukankah semuanya akan

berulang lagi. Dia sudah mau muntah karena khawatir akan kecurangannya. Apa yang seharusnya kulakukan? Selama memikirkan itu,

dia teringat ramuan yang diraciknya. Dia membuka lemari. Dia melihat obat rahasia didalam botol pewangi yang disembunyikannya

tadi. Montmorency memiringkan kepalanya dan mulai berfikir.

Un, ini penawaran yang bagus...aku juga bisa menguji kemangkusannya. Bagaimana kalau aku uji ramuan ini sedikit setelah ia

diselesaikan? pikir Montmorency.


Hari berikutnya, perhatian seluruhnya terus-menerus tertuju pada Montmorency saat dia memasuki kelas. Mengapa? dia muncul

dengan memakai seragam pelaut itu. Siswa-siswa pria dengan cepat bereaksi. Pakaian pelaut dan gadis....Merasakan kerapihan

segar pada penggabungan ini yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, mereka mulai menatap Montmorency dengan sangat.

Menyadari cara para pria bereaksi, para siswa wanita denagn cepat merasa iri, dan mereka mentapnya juga. Montmorency berhasip

memonopoli tatapan semua orang dalam kelas, sehingga dia merasa sangat senang. Sambil berkacak pinggang, dia memandang ke

atas dan dewngan bangga menaruh di udara, kemudian menuju kursinya. Louise juga menatap Monmorency sambil melongo. Kalau tak

salah, itu kan pakaian pelaut tentara Albion yang Saito beli di kota kan?

Louise menepuk Saito, yang berada disampingnya dan tengah gemetaran karena alasan tertentu. "Hei, bukankah itu pakaian yang

kau beli? Mengapa Montmorency memakainya?"

"Ah, aah...yah, ah, Guiche bilang untuk memberikan itu pada dia..."

Louise ingat Guiche dan Montmorency berpacaran.

'mengapa kau memberikannya pada Guiche?"

Saito mulai gemetar yang lebih hebat.

"Eh? karena, dia bilang dia menginginkannya..."

Louise merasa sesuatu yang mencurigakan dari sikap Saito. "Hooi, apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Dia menatapnya dengan mata tajam.

"Eh? Eeeeh> Aku tak menyembunyikan apapun! Ayolah..."

Saito merasakan keringat dingin nan lembab mengalir di tengkuknya. Tak terpikir plehnya bahwa Montmorency akan memakainya ke

kelas.

Sial, Jika Louise tahu itu hadaih untuk Siesta...Louise pasti jadi marah, Sepertinya gadis ini bakal bosan jika aku,

familiarnya, bersama gadis lain. Meski dia tak mencintai atau sejenisnya, dia tak bisa memaafkannya. Itu pasti, tepat seperti

yang selalu dikatakan Louise, "mengabaikan tuanmu dan bersama gadis lain" menggusarkannya.

Apa-apaan ini? Bagaimanapun juga, keinginannya adalah untuk memonopoli familiarnya, menurut Saito. Dia menjadi marah padanya

karena anjing piaraannya lebih terikat pada orang lain daripada dengannya. Tak pernah dalam mimpi terliarnya sekalipun Saito

pikir Louise punya rasa padanya. Ini sangat-Saito, Cara berfikir yang sangat memutar untuk salahpaham. Aah, saat dia tahu aku

mandi bersama Siesta beberapa saat yang lalu, setelahnya mengerikan. Dengan penuh sesal, Saito melihat alat penahan yang

dipasang sekali lagi padanya. Perkara itu...jika Louise tahu dia memakaikan pakaian pelaut pada Siesta dan menikmati putaran

roknya....Wajahnya membeku dalam ketakutan.

Digantung di langit-langit, dan disetrum berulang-ulang....Terakhir, rasa serangan "Void"...Berceceran bagai helaian

jerami...Aku mungkin mati...

Saito mulai bergetar dengan sangat. Jangan gemetaran, ini mencurigakan! Semakin dia memikirkannya, semakin gemetaran dia.

Akhirnya, apa harusnya aku mempersembahkan seragam pelaut itu pada Lousie untuk pertama kali? Tidak. Louise yang harga

dirinya tinggi takkan pernah memakainya. Lagipula, Siesta lebih pas dengan seragam pelaut itu. Rambutnya hitam, dan dia 1/8

jepang. Rambut blonde-pink Louise takkan pas dengan seragam pelaut itu. Tubuhnya juga terlalu kecuali, jadi nanti

kelonggaran.

Apa?...I-Itu! Sial, Itu bisa agak bagus juga. I-tu bisa juga jadi bagus. Sial! Kesalahan perhitungan! Apa yang telah

kulakukan........?

Saito menggelengkan kepalanya untuk mengusir keluar delusi-delusi itu. Bagaimnapun juga, yang kuinginkan adalah menikmati

suasana dari tempat kelahiranku. Tiada yang harus dirasakan bersalah, Ini dusta, tapi tidak. Wajahnya biru pucat, dia

gemetaran hebat, dan dia bergumam dengan napas berat, jadi bukan hanya Louise yang menilainya mencurigakan.

Hoi. Apa yang kau sembunyikan? Aku takkan memaafkanmu bila kau menyembunyikan sesuatu dariku." Mata Louise melotot.

"A-Aku tak menyembunyikan apapun."

Terlalu mencurigakan. Louise mencoba menanyainya lagi, tapi dia harus menyerah saat guru memasuki ruang kelas. Saat sekolah

selesai, Saito meninggalkan alasan mustahil soal "Aku harus memberi makan merpati-merpati" dan menghilang dari ruangan kelas.

"Kapan dia dapat merpati?" gumam Louise dengan wajah sangat ngambek. Untuk alasan tertentu, suatu firasat busuk dapat

diraskan


Saito berlari ke dapur. Dia tak bisa berbicara dengan Siesta untuk saat ini karena Siesta tampak sibuk selama makan siang dan

pengamatan Louise yang ketat. Melihat Saito yang terengah-engah saat tiba, wajah Siesta bersinar cerah. "Waah! Saito-san!"

Kepala Koki, Marteau si tua, juga mendatanginya dan melingkarkan lengan tebalnya di leher Saito.

"Hoi! Pedang kami! Lama tak jumpa!"

"Ha-halo..."

"Yey! Akhir-akhir ini, kau tak datang kesini! Siesta selalu kesepian, kau tahu!"

"Wahahaha" Suara tawa memenuhi seisi dapur. Memerah wajahnya, Siesta, yang berada di wastafel, memeluk sebuah pelat erat.

Siesta dengan cepat mendekatkan mulutnya ke telinga Siesta. "Siesta."

"Y-ya..."

"Tentang pakaian itu...Saat kau selesai dengan pekerjaanmu, bisakah kau membawa mereka denganmu?"

"Eh?"

"Hmm, lihatlah...Tempat dimana tiada orang yang bisa melihatn kita sepertinya bagus....di plaza Vestri, ada tangga menuju

menara kan? Bawa mereka kesana."

Wajah Siesta memerah kagum. Setelahnya, Saito berlari pergi dan menghilang.

"Aah...aku..."

"Ada apa, Siesta. Janji untuk bertemu/"

Siulan menggema, tapi itu tak lagi memasuki telinga Siesta. Wajahnya memerah sempurna, Siesta berbisik kosong. "Apa yang

harus kulakukan? Aah, aku akan direnggut pergi..."



Kini, di sisi lain, Louise tengah berjalan keliling sekolah dan mencari familiarnya. Sejak dia bilang dia hendak memberi

makan merpatinya, Saito tak menunjukkan diri. Dia pergi ke menara api, dan mengintip kedalam lab Pak Colbert. Meski namanya

lab, ia hanya gubug yang hampir rubuh. kapanpun Colbert punya waktu luang, dia biasanya disana/ Tapi, Saito tak disana.

Colbert sendiri tengah mengerjakan sesuatu dengan ributnya pada baju Naga yang ditinggalkan didepan labnya.

Louise menanyai Colbert. "pak Colbert, apa anda melihat saito?'

"Kutak tahu...dia tak kesini untuk 2-3 hari."

Louise memandangi Zero fighter dan terkaget-kaget. Bagian mesin dari hidungnya telah dicopot dari badannya dan ditempatkan di

tanah, dan ia dengan tragis telah dicopot-copoti.

"Oh, ini! Aku tertarik dengan strukturnya. Aku tak dapat izin dari saito-kun, tapi ini hanya pencopotan ringan. Ia rumit,

tapi secara teoritis, ia tak begitu jauh berbeda dari "Ular Senang' yang kurancang. Tetap saja, ini agak mudah rusak. Jika ia

terbang sekali, ia harus dengan tepat dicopoti dan bagian-bagiannya dirawat. Kalau tidak, tidak hanya ia bakal gagal

menjalankan kesangkilan aslinya, tapi juag ada kemungkinan ia hancur..."

Colbert akhirnya mulai berbicara soal struktur mesin dan perawatannya.

"Ha, hah...Kalau begitu, Punten."

Louise tak benar-benar tertarik dengan percakapan semacam itu, jadi dia menundukkan kepalanya dan mulai berlari lagi. Colbert

berteriak pada punggungnya."Nona! Jika kau bertemu saito-kun, bilang ini padanya! Aku telah menempatkan senjata baru yang

mengejutkan pada "Baju Naga' ini!"

Tempat selanjutnya yang dikunjungi Louise adalah menara angin. Di Akademi Sihir, Menara tersusun dalam pentagram dengan

menara utama di tengah, Menara angin adalah salh-satunya. Ia lebih sering dipakai untuk kelas-kelas. Hanya ada satu pintu

masuk. Louise melihat bayangan mencurigakan seseorang yang menghilang melalui pintu kedalam menara. Baju putih,,,sebuah kerah

besar, Jelas sekali, itu pakaian pelaut yang diapakai Montmorency tadi. Siapa itu? Jika itu Montmorency, maka rambutnya pasti

blonde...Orang yang tadi masuk berambut hitam. Louise diam-diam mengikuti orang itu.

Setelah membuka pintu ke menara angin, dia berlari lurus melewati koridor yang memiliki ruangan semisirkular yang tersusun

kiri-kanan. Setelah mendorong membuka pintu, dia mendengat suara jejak langkah yang dengan pasti mendaki tangga. Setelah

Louise sebentar mengambil napas pada lantai pertama, dia mengejar orang itu, Dia mendengar suara pintu yang membuka-menutup

di lantai kedua, Agar tidak langkah kakinya tak terdengar, Louise dengan hati-hati mendekati pintu itu. Disana, Louise

menyenderkan badannya didekatnya. Ini kan gudang. Apa sih yang direncanakan orang yang mengenakan pakaian pelaut itu disini?

Louise menyisirkan rambut blonde pinknya kebelakang dan menempatkan telinganya di pintu. Dia mendengar sebuah suara aneh dari

dalam. Suara yang kadang-kadang terhenti....

"Haah, Nn, Haahaa..."

Suara semacam itu. Alis mata Louise mengernyit. Karena kecilnya, dia tak bisa menebak siapa itu. Tapi itu punya lelaki. Di

tempat seperti ini, memanggil seseorang sambil memakai pakaian itu...Ornag yang bisa bersuara begitu... Louise memikirkan

delusi mengerikan dalam otaknya.

"Haa! Lu-lu, lucu..."

Lucu? Saat itu, sesuatu menggebrak kedalam kepala Louise. Baang! Dia membuka pintu dan menyerbu masuk ruangan.

"Apa yang sedang kau lakukan?!"

"Hiiiiii!"

Orang disana berbalik. Dia memakai pakaian pelaut, terlebih lagi, dengan rok di bawah. Sudah pasti, itu Malicorne si gemuk.

"Ma-Ma, Malicorne?"

"Louise!" Malicorne mencoba melarikan diri, tapi dia tak biasa dengan rok, sehingga kakinya terjerat oleh itu dan terjatuh.

"Ah! Nna! Ah! Fua! AAH!"

Malicorne berteriak sambil menggelepar di lantai. Dengan wajah ogre, Louise menginjak-injak punggung Malicorne. Dalam gudang

ada cermin tua. "Cermin Pembohong". Ia cermin yang memantulkan keindahan dari keburukan dan sebaliknya, tapi karena berbagai

alasan, ia hampir pecah, jadi ia disimpan disni. Sepertinya Malicorne mencari kepuasan sendiri dengan mencerminkan dirinya.

Kesenangan yang tak dapat dimengerti.

"Mengapa kau memakai itu?

"Tidak, ia begitu indah...Ta-tapi, aku tak punya siapa-siapa yang akan memakainya untukku..."

"Jadi kau memakainya sendiri?"

"I-itu benar! Apa itu salah? A-Aku harus memakainya sendiri! Guiche punya Montmorency dan familiarmu yang jelata itu punya

pelayan dari dapur! Tapi, aku tak punya pacaaaaaar!"

"Apa kau bilang? Ada apa antara Saito dan pelayan itu?"

Mata Louise membara.

"Eh? yah, dia membuat pelayan itu memakai pakaian ini dan berputar-putar...Aah, itu sangat menyentuh! Hanya dengan memikirkan

itu, hatiku terasa terbakar dari rasa yang sangat menggetarkan itu! Itulah kenapa aku harys setidaknya mencerminkan diriku di

cermin ini dengan memakai ini sebagai memento dari ingatan itu...aah, aku...Aku peri nan indah...AAAaaaaahh!" teriak

Malicorne/ Louise menginjak-injak wajah itu dengan kakinya.

"Diamlah."

"Ah! Aah! Ah! Louise! Ah! Louise! dIinjak-injak gadis cantik sepertimu...Kurasa aku kehilangan indraku! Bakarlah dosaku!

Biarkan aku menebusnya! Remukkan dosaku kehilangan kendali atas diriku yang berlaku bagai peri manis di tempat begini! Ada

sesuatu yang salah denganku! Ah! Ah! Nnnnaaaaaaaaa!"

Dengan begitu, Louise menginjak-inhaj wajah Malicorne dan menyebabkannya pingsan.

"Ya, pasti ada yangsalah denganmu." gumam Louise, yang bahunya naik-turun karena amarah,

"Begitu toh...Jadi ini artinya...Pelayan itu begitu baik...jadi dia begitu baik sehingga kau memberikannya pakaian nan indah

sebagai hadiah...Terlebih lagi kau bersenang-senang dengan membuatnya berputar-putar? Jangan becanda ya."

Sambil meremas telapaknya kedalam kepalan, Louise mendengus. "Familiar itu, meski dia menciumku."


Di sudut tempat yang ditentukan, plaza Vestri, Siesta datang naik tangga menara api setelaha malam tiba, Setelah tugasnya

berakhir, perlu waktu untuk bersih-bersih badan dengan mandi dana berdandan. Dia menuju landaian tangga, tapi Saito tak

disana, Hanya ada dua galon disana, Sekelilingnya remang-remang. Siesta dengan pandangan khawatir mulai melihat

sekelilingnya.

"Saito-san."

Setelah takut-takut mengutarakan itu,tutup galon membuka dengan suara, Siesta langsung mundur, tapi Saito menyembul darinya.

"Siesta."

"Wah! Saito-san! Kenapa kau disana?!"

"Yah, ada beberapa alasan...tung-. eh?"

Saito memandangi penampilan Siesta dan matanya terbelabak. Dia memakai pakaian apelaut buatan tangan itu.

"K-kau datang sambil memakainaya?"

"Eh, ya...Karena kupikir Saito-san akan alebih bahagia bila aku mengenakan ini."

Sial. AAku seharusnya bilang "kembalikan", bukan "bawakan". Tak mungkin akau bilang supaya ia melepasnya disni. Saat Saito

panik begitu, Siesta berputar dan mengacungkan jari didepan wajahnya. Roknya terangkat dengan anggun.

"Un, um...Terima kasih telah menunggu."

Kemudian Siesta tersenyum cerah. Ma-manis. Tanpa sadar, wajah Saito memerah. Tepat saat itu juga, terdengar suara galon

bergetar dibelakang mereka. Siesta jadi "Kayaa!" dan memeluk Saito. "Nyaa, nyaa", terdenagr suara kucing. Saito mengelus

adadanya tanda lega.

"Oh, cuma seekor kucing.."

Tapi,masalahnya bukan kucing. Siesta tengah menekankan dadanya pada Saito. Mereka terimpit dada Saito, dan pakaian pelaut

buatan tangan telah aadengan bebas berubaha bentuk. Wajah Saito amemucat. Raa-ra-ra sa ini adalah...

"S-Siesta, um..."

"Ada apa?"

"Kau tak mengenakan bra?"

Siesta menatapanya kosong. 'Bra itu apa?"

"Eh? Eeeeehhh? itu lho, untuk dada, seperti ini, melindunginya..."

Tapi, Siesta tetap menatapnya kosong. Sepertinya atiada bra di dunia ini.

"Tapi, Aku memang mengenakan pakaian dalam dan sebuah korset dibawah kemejaku saat aku dalam pakaian pelayanku..."

Kemudian wajahnya memerah."Tapi, aku tak mengenakan apapun saat ini. Pakaian dalam akan kelihatan jika aku mengenakannya

bersama rok pendek ini..."

"Apa itu pakaian dalam?"

"Eh, Um. semacam celana pendek.'

Aah, itu lho yang seperti spat panjang. Haah, jadi payudaranya seperti ini kalau dia tak memakai korset. Pikir Saito sambil

menerawangi langit. Dia pikir dia akan mimisan bila dia tak begitu. Terlebih lagi, tiada bra? begitu toh. Jika aku

memikirkannya, saat aku mencuci pakaian dalam Louise, aku ingat mencucui celana dala, chemise dan korset, tapi tiada bra.

Kupikir itu karena dia tak punya payudara, tapi sepertinya bra itu sendiri tak ada. Apalagi, kalau gadis ningrat mengenakan

pakaian dalam berenda, gadis biasa seperti Siesta takkan begitu kan? Eh? Dia tak mengenakan apapun saat ini?...Berarti....

"Kau jahat Saito-san...Aku tak punya pakaian dalam berenda seperti para ningrat...Tapi kau malah membuatku mengenkan rok yang

begitu pendek..."

Dengan kata Lain, Dia tak mengenakannya.

MEMANG!

Dalam kepalanya, bermunculan irama-irama seperti banbakabaanbanbonbanbanbakabaan.

Tempat pertama. Siesta-san, tempat pertama.

Siesta dengan erat menyandarkan badannya pada Saito. Memeluk bahunya. Perlahan, Siesta mendekatkan bibirnya pada yang Saito.

"U, um... Apa, apa kita akan melakukannya disini?"

"Eh?"

"Ya, aku seorang gadis desa, jadi aku tak pilih-pilih tempat, tapi, um..."

"Siesta?"

"Tempat yang lebih bersih yang takkan didatangi orang akan lebih baik. Ah, tapi ini hanya harapan saja! Jika Saito-san bilang

tempat ini baik, maka aku juga ok dengan itu. Aah, aku takut. Bagaimanapun juga, ini kali pertamaku. Ibu, maafkan aku, aku

akhirnya akan terenggut disini."

Sepertinya dia benar-benar salahpaham. Saito hanya ingin dia mengembalikan pakaian pelaut disini. Tapi Siesta pikir dia akan

direnggut. Saat dia pikir dia perlu menjelaskan...dibelakang mereka, tutup dari galon lainnya terbuka lurus keatas.

"A-Apa?!"

Saat Saito berbalik, tutup galon yang jatuh langsung menghantam kepalanya.

"Gyaa!"

Kemudian dari dalam galon, sebuah bayangan bangkit bersamaan dengan bergetarnya tanah. Sebenarnya, yang bergetar hanyalah

galonnya, tapi rasanya bagaikan tanah pun bergetar. Itu menunjukkan betapa marahnya orang didalam galon itu.

"L-Louise?" ucap Saito dengan nada bergetar. Siesta ketakutan oleh Louise, yang kepalanya menyenbul dari galon, dan

bersembunyi di bayang-bayang Saito.

"Me-mengapa kau ada didalam sebuah galon...?"

"Aku tengah membuntutimu dan melihatmu sembunyi didalam galon, Jadi aku mengikutimu dan bersembunyi di galon sebelahnya. Aku

berhati-hati agar tak bersuara. Tapi aku sedikit memukul galon karena marah. bagian 'nyaa, nyaa.'

Aah, suara kucing tadi adalah Louise, Terlebih lagi, dia, mendengarkan seluruh percakapan kami tadi. Wajah Louise pucat

saking marahnya. Matanya melotot, seluruh tubuhnya gemetaran bagai gempa. Dengan nada penuh getaran, Louise berucap. "Itu

merpati yang sangat bagus untuk engkau pelihara, a kan> Heeh. Sebuah pakaian indah sebagai hadiah, huh. baiklah. Aku baik,

jadi aku akan memaafkan hal semacam itu. Aku tak apa-apa kau mengabaikan tuanmu dan mengirimkan merpatimu hadiah."

"Louise, dengarkan."

"Tapi, merpati itu bilang begini.'Kau membuatku memakai rok yang begitu pendek'. Tanpa pakaian dalam apapun.'Kau membuatku

memakai rok yang begitu pendek'. Yang terbaik. itu lelucon terbaik abad ini."

"Louise! Dengarkan! Kumohon!"

"Tenanglah. Ia takkan sakit. Dengan "Void"ku, aku takkan menyisakan setitikpun daimu."

Menyiapkan "Buku Doa Sang Pendirinya", Louise mulai membacakan mantranya. Merasakan bahaya hidup, Saito refleks menggapai

Derflinger yang tergantung di punggungnya. Siesta menjadi ketakutan dan bersembunyi dalam perlindungan.

"Ada apa denganmu? Apa kau berencana melawan tuanmy? Bukankah itu menarik?"

Lousie yang mengucapkan itu menakutkan. Melebihi kapal perang, melebihi naga, melebihi iblis orc, melebihi Wardes...Louise

lebih menakutkan daripada yang sudah-sudah. Tubuh Saito gemetaran kaku. Apaan sih dengan ketegangan ini...I-ini "Void"...

"Rekan, menyerahlah." bisik Derflinger dengan sikap bosan.

Menunjukkan ketegaran seorang tolol, Saito menarik keluar pedangnya, "Vo-vo-vo-void bukanlah apa-apa! Ayo!"

Tanda di tangan kiri Saito bersinar... Louise mengayunkan tongkatnya

ke bawah saat pembacaannya belum selesai. Boom! Dan

tempat didepan Saito meledak. Tertelan oleh akilatan, Saito diterbangkan dari landaian dan menghantam tanah dibawah. Setelah

mengahantam tanah, wajah Saito tak karuan karena ketakutan, dan dia bangkit lalua kabur. Louise menengok dari landaian dan

berteriak. "Tunggu!"

Ga mungkin aku nunggu. Jika aku nunggu, aku tewas, Pasti tewas. Ketakutan primitif mengambil alih otak Saito. Saito, sambil

terjatuh-jatuh, lari sekuat-kuatnya. Louise mengejar setelahnya.


Guiche tengah mencoba sebaika mungkin dalamkamar Montmorency untuk menenangakan pacarnya. Tentanga bagaimna penampilan

Montmorency bagaikan mawar, bagai mawar liar, bagai mawar putih, bagaimana matanya bagaikan mawar biru, pokoknyam dia

menggunakan mawar-mawar dan memujinya, danlalu dia menyanjungnya menggunakan roh air sebagai perbandinagan. Montmorency, yang

bukan merupakan kekecualian diantara ningrat Tristain, sanagt bangga dan angkuh, jadi diataka membenci pujian. Namun

punggungnya menghadap aGuiche, dan dia bersikap menerawangi jendela. itu tanda "Puji aku lagi". Melihat ini, Guiche mengeruk

isi kepalanya lebih keras dan melepas kata-kata untuk menarik hatinya.

"Di hadapanmu, nukankah roh air akan melarikan diri? Lihatlah, rambut ini...ia bagai ladang rumput emas. Ia lautan bintang

yang berkerlip/ Aah, wanita apapun disampingmu takkan lagi masuk penglihatanku."

Guiche terus masuk-keluar kamar, dan dia sudah mengeluarkan kata-kata yang cukup untuk sebuah drama. Kurasa ini cukup pikir

Montmorency. Perlahan, sambil tetap membelkangi. dia dengan lembut mengeluarkan tangan kirinya pada Guiche. "aah" Guiche

mendesah, membayangkan apa yang terjadi, dan mencium tangan itu.

"Aah, Montmorencyku~..."

Guiche mencoba membawa bibirnya mendekati bibir Montmorency, tapi it dihentikan jarinya.

"Sebelum itu, mari kita minum beberapa tetes anggur. Kau kan cape-cape membawanya kesini."

"Te-tentu saja!"

Diatas meja, vas berisi bunga, sebotol anggur, dan dua gelas keramik ditaruh. Guiche mendatangi kamar Montmorency dengan

membawa itu. Guiche cepat-cepat menuangkan anggur kedalam gelas. Saat dia begitu, Montmorency tiba-tiba menunjuk keluar

jendela. "Oh? seorang putri telanjang tengah terbang di angkasa."

"Eh? Dimana? Dimana, dimana?"

Mata Guiche melotot dan melotot keluar jendela seakan-akan hendak memakannya. Apaan "Wanita lain selainmu takkan l;agi masuk

mataku", sepertinya aku harus menggunakan ini. Sambil memikirkan itu, Montmorency dengan sembunyi-sembunyi menuangkan isi

botol kecil yang disembunyikannya di lengan baju kedalam cangkir anggur Guiche. Cairan bening terlarut kedalam anggur.

Montmorency tersenyum manis. "Hanya main-main. Yah, ayo bersulang."

"Ayolah, jangan mengagetkanku seperti itu..." tepat saat Guich mengatakan itu, pintu membuka dengan sebuah bam dan sebuah

angin puyuh mengalir masuk. Guiche diterbangkan dan berguling di lantai. Itu Saito.

"Haa, haa, haa... Hi-hi-hi"

"Kenapa kau disini?!"

"Sembunyikan aku!" Sambil mengatakan itu, Saito loncat ke kasur Montmorency.

"Hei! Apa ada orang yang bakal loncat kedalam kasur Montmorency! Pergi! Kau!"

"Tunggu, apa yang kau lakukan?! Masuk kamar orang sesukamu..."

Saat Montmorency menyilangkan lengannya dan meneriaki Saito, angin puyuh lain mengalir masuk kamar. Montmorency diterbangkan

dan mendapati hidungnya terhantam parah ke lantai.

"Louise!" teriak Guiche. Mengapa, itu Louise yang kehilangan dirinya dalam marah.

"A-a-a-a-pa yang kalian berdua lakukan?!"

"Diamlah! Mana Saito!"

Ditekan oleh sikap mengancam Louise, Guiche dan Montmorency bertukar pandang dan menunjuk ke kasur. Ada gumpalan tebal dalam

futon, agak bergetar. Dengan nada rendah, Louise memerintah kearah kasur. "Saito, keluarlah."

Sebuah suara kaku keluar dari futon. "saito tak disni."

Louise mengambil gelas anggur dari meja. Montmorency ber "Ah!" dengan nada pelan, tapi terlambat, Louise menenggak semuanya

dalam satu tegukan. "Buhah! Aku haus dari lari-lari ini. Semuanya salahmu. Baiklah, aku yang bakal mendatangimu."

Louise menarik minggir futon kasur.

Saito disana gemetaran.

"Bersiaplah...Nna?"

Tepat saat dia memandangnya dan mengatakan itu, perasaan Louise berubah. Louise mengejar Saito karena dia tak bisa memaafkan

Saito yang memberikan hadiah pada wanita lain meski telah mencium dia. Jika kau mencium gadis seperti Louise, itu bakal jadi

masalah. Dengan kata lain, ini masalah harga diri. Tapi, kini. tepat saat dia melihat Saito, perasaannya pada Saito loncat

begitu saja. Hingga detik ini, yah, dia samar-samar menyukainya. Dia takkan menerimanya, tapi dia menyukainya. Itulah mungki

mengapa dia begitu cemburu...Di saat ini, dia mencintai tanpa hambatan apapun. Emosinya begitu besar, bahkan pikiran Louise

sendiri jadi liar. Tanpa berpikir, Louise menutupi pipinya dengan tangannya.

Oh...aku begitu mencintainya?....Aku mencintainya begitu....begitu....besar?

Ait mata mengalir deras dari mata Louise. Perasaan sedihnya lebih besar dari perasaan marahnya. Dia mencintainya begitu kuat,

jadi mengapa Saito tak memerhatikannya. ini begitu menyedihkan, Louise mulai terisak.

"Louise?"

Saito dengan curiga melihat Louise, yang sikapnya berubah 180 derajat, dan bangkit. Guiche juga melihat Louise, yang

tiba-tiba mulai menangis, dengan mata terkejut. Montmorency tengah memegangi kepalanya dan ber"oh, tidak". Obat yang hendak

diminumkannya pada Guiche telah diminum Louise.

"Hei, Louise..."

Louise memandangi Saito dan memeluk dadanya.

"Tolol!"

"Eh?"

"Tolol, tolol! Mengapa? Mengapa?"

Louise mulai dengan sangat berbeda. Saito panik.

"Mengapa kau tak memerhatikanku! Itu jahat banget! Uweeeee~h!"

Louise mengubur wajahnya kedalam dada Saito dan terisak-isak.