Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Penginapan "Charming Fairies"[edit]

Bagian 1[edit]

"Baiklah, besok adalah awal liburan musim panas." kata Louise, sambil menunduk memandangi familiarnya.

"Memang Iya."

Saito menempel pada tanah, mendongak pada tuannya.

"Bagaimana kalau kita semingguan bersenang-senang?"

Mereka ada di Plaza Austri. Seperti biasa, Saito tengah diinjak Louise, dan dia, sekali lagi harus menjelaskan alasan mengapa dia tengah diinjak oleh Louise.

"Yah, Siesta bilang dia bakal berkelana ke desa Tarbes, Bukankah tak apa-apa jika aku singgah sebentar lalu kembali ke daerahmu? Terkadang tak buruk bila kau hanya dengan keluargamu tanpa siapa-siapa, kan?"

Tapi, dari wajah Louise, sepertinya bujukan itu ditolak lagi. Gerbang depan yang dipenuhi murid-murid yang hendak pulang dapat terlihat dari plaza. Para murid, yang telah menunggu berhari-hari untuk pulang, akan naik kereta. Mereka akan pulang ke kota asal mereka, yang lalu disemangati orang tua mereka untuk kembali ke ibukota Tristania. Akademi Sihir Tristania akan masuk liburan musim panas nan panjang mulai besok, sekitar dua setengah bulan.

"K-kau tahu, Nona Vallière. Kupikir Saito-san juga perlu istirahat."

Kata seorang Siesta yang salah tingkah pada Louise yang tengah menyakiti Saito. Sebagai persiapan pulang, Siesta tak mengenakan seragam pelayannya yan biasa, tapi pakaian biasa, terdiri dari kaos hijau gelap dan rok coklat. Louise melemparkan tatapan padanya. Tapi...Ini bukan Siesta yang dulu. Dengan jiwa bersaing seorang gadis dalam cinta, dia balik menatap Louise.

"Se-sebuah istirahat juga penting, kan? K-Kau selalu mempekerjakannya sesukamu..., itu buruk sekali."

"Orang ini baik-baik saja. Itu karena dia familiarku."

Siesta tampaknya mencium sesuatu dalam sikap itu.

"Familiar ya? hmm, apa hanya itu alasannya...?" gumam Siesta. Matanya berseri-seri, bagaikan tengah menyiapkan perangkap untuk menangkap seekor kelinci. Gadis yang jatuh cinta sensitif pada lawan.

"Wh? Apa artinya itu?"

"T-tak ada?" gumam Siesta pura-pura tak tahu.

"Katakan!"

"Hanya saja akhir-akhir ini, caramu memandangi Saito sedikit mencurigakan. Itu yang kupikirkan." ucapSiesta, menyelesaikannya dengan melihat ke samping. Louise menatapnya dengan panas.

Bahkan seorang pelayan mempermainkanku. Ini salah Saito. Meski dia seorang jelata, dia lakukan semua hal-hal aneh. Bahkan jelata-jelata di akademi mulai mejadi kepedean. Louise telah mendengar isu-isu semacam ini sebelumnya, tapi ini toh kenyatannya. Kuasa kerajaan. Kuasa bangsawan. Hmph, itu semua tiada artinya, yang penting kuasaku!

Louise berguncang sambil berdebar-debar. Siesta, yang menyipitkan matanya karena cahaya matahri yang gahar mendesah "fuuh", memaparkan dadanya, dan mengusap keringatnya menggunakan saputangan.

"Benar-benar deh...musim panas ini sangat panas."

Bagaikan sebuah bunga yang mekar di alam liar, banyak rasa yang tertuang keluar darinya. Luar biasa saat dilepaskan, jurang dari kedua bukit terlukis kedalam matanya. Louise jadi "Ha-!" dan memandangi wajah Saito. Dari bawah kakinya, si familiar dengan sekuat tenaga mencoba melihat celah dari baju Siesta yang terbuka. Louise hampir saja meledak tapi dia menahannya.

Memangnya aku bakal kalah! Ya benar, aku seorang ningrat. Jika aku diam saja, kebangsawanan akan tumpah dari celah bajuku.

Louise menirunya, Dia bergumam : Fuuh, panas ya." dan mengendurkan kancing kemejanya, Lalu dia mengusap keringatnya dengan sebuah sapu tangan, Tapi...Yang ada disana bukanlah sebuah jurang, tapi tapi sebuah hamparan menyegarkan yang terbentang kemanapun. Saito tampaknya lebih memilih dataran dengan puncak dan lembah dan tak memindahkan pandangannya. Melihat hasil pertarungan, Siesta melepaskan sebuah tawa renyah, membuat Louise meledak.

"A-Apa! Kau tertawa sekarang!"

"Apa? Tak mungkin aku bakal tertawa. Tak mungkin, kan? Bagiku untuk memandangi seorang ningrat dan tertawa..." kata Siesta, menenangkan Louise dengan sebuah wajah yang berseri. Lalu duia membuang muka dan berucap. "...Dengan tubuh anak-anak begitu, seorang ningrat?...Heeh."

"Kaha," tumpah dari mulut Louise sbagai hembusan, "Apa yang baru saja kau katakan?! Hei!"

"..Siapa tahu,...tak ada. Bagaimanapun, ini panas. Panas, panas. Aah, panas ya?"

Louise berguncang sekujur tubuhnya. Saito berbisik, "Hei, tuanku."

"Apa?"

"Apa

tak apa-apa bagiku untuk pergi ke Tarbes?"

"Kauha," Louise mendesah terpuruk, dan mulai menghantam Saito dengan sekuat tenaga, berfikir - Berapa kali seih kau akan bertanya?

Siesta berkata, "Tenanglah! Nona Vallière! Mohon tenanglah!" dan mencengkram punggungnya. Saat kerusuhan yang biasa bakal dimulai...*flak**flak* begitu seekor burung hantu muncul.

"Nn?"

Si burung hantu berhenti di bahu Louise dan memukul kepala Louise dengan sayapnya.

"Apa-apaan sih burung hantu ini?"

Burung hantu itu menggigit sebuah surat. Louise mengambilnya. Mengenali cap yang ada padanya, Louise kembali berwajah serius.

"Apa burung hantu ini?"

Siesta memandanginya. Saat Louise jadi serius, Saito berkata, "Apa itu?"

Memeriksa isinya, Louise memindai sepotong kertas tunggal itu, Lalu Louise berkata, "Pulang ke rumah dibatalkan."

"Apa maksudmu dibatalkan? Siesta bahkan mengundangku...Aku benar-benar kecewa, tahu." kata Saito, melihat Louise kembali ke kamarnya dan memeriksa bawaannya yang telah dibungkusnya untuk kembali pulang.

Louise menunjukkan surat yang baru saja dibawa si burung hantu pada Saito. "Tidak, aku ga bisa baca huruf sini."

Louise duduk tegak di kasurnya dan mulai bicara. "Setelah perkara sebelumnya...kau tahu Putri-sama terpuruk, kan?"

Saito mengangguk. Itu kejadian yang tragis. Cintanya yang telah tewas...dibangkitkan musuhnya dan mencoba menculiknya. Sudah pasti dia bakal terpuruk.

"Aku bersedih untuknya...tapi sepertinya dia tak bisa terus tenggelam dalam palung kesedihan untuk selamanya."

"Apa maksudmu?"

Louise menjelaskan apa yang tertulis dalam surat itu.

Albion menyerah untuk menyerbu secara layak hingga angkatan udara mereka terbangun kembali, jadi mereka mencoba bertempur dengan cara lain - Adalah apa yang diperkirakan kabinet, dengan Mazarin sebagai penariknya. Mereka tak bisa secara pengecut menyerang Tristain dari dalam dengan menyalakan pemberontakan dan kerusuhan yang merajalela. Karena Henrietta dan orang-orangnya takut akan konspirasi semacam ini, dia tengah menguatkan pemeliharaan ketertiban umum...

"Tak apa-apa kan untuk menguatkan ketertiban umum, tapi apa yang ingin dia mau kau lakukan?"

"Sebuah misi pengumpulan data melibatkan penyembunyiin diriku. Apa ada aksi tak patut tengah terjadi? Isu macam apa yang tengah disebarkan diantara jelata?"

"Uwah, seorang mata-mata!"

"Mata-mata?"

"Di duniaku, pekerjaan mengumpulkan informasi semacam itu disebut begitu."

"Huunn...apapunlah, pada dasarnya, ia memata-matai, kan..."

Untuk beberapa alasan, Louise tampak tak puas.

"Ada apa?"

"Yaa...bukankah ini datar?"

"Tidak, buaknkah info itu penting? Kakekku bilang Jepang dulu kalah perang gara-gara mereka terus mengabaikan info."

"Apa?"

"Bukan apa-apa. Ini tak terlalu penting..."

Dalam surat Henrietta, ada petunjuk untuk berdiam di sebuah penginapan di Tristania, menyembunyikan identitas mereka dan mengerjakan sesuatu seperti menjual bunga, dan mengumpulkan segala jenis info yang dipertukarkan diantara jelata. Sebuah catatan untuk membayar kembali biaya untuk misi ini terlampir.

"Oh, begitu."

"Itulah mengapa aku menyusun kembali bawaanku. Aku tak bisa membawa begitu banyak pakaian."

Louise menunjuk bawaannya yang telah meringan sekitar sekantong penuh.

"Jadi aku harus bekerja meski kini liburan musim panas..." gumam Saito sedih.

"Berhentilah mengeluh. Ayo, kita pergi sekarang!"


Setelah ini semua kejadian. keduanya pergi menuju Tristania. Untuk menyembunyikan status sosial mereka. mereka tak bisa menggunakan kereta. Kuda-kuda di akademi adalah milik akademi, jadi mereka tak bisa menggunakannya. Pada akhirnya, mereka berjalan. Louise dan Saito berjalan di jalan dibawah matahari yang membara, menuju Tristania. Perlu dua hari untuk sampai.

Melihat matahari dengan sikap mencela, Saito berbisik, "Sial...meski seharusnya aku di rumah Siesta meminum air dingin sekarang..."

"Jangan mengeluh! Ayolah! Jalan!" teriak Louise, yang mendpaati familiarnya membawa seluruh bawaan, marah

Setelah tiba di kota, keduanya pertama-tama mengunjungi kantor usrusan keuangan untuk menukarkan catatan dengan koin-koin emas. enam ratus dalam koin emas baru. empat ratus écus. Saito teringat uang dari Henrietta dalam kantong yang terikat pada ikat pinggangnya. Ada sisa 400 koin emas baru. Jadi sekitar 207 écus. Saito pertama-tama menemui seorang penjahit dan membelikan pakaian tawar untuk Louise. Louise tak menyukainya, tapi memakai mantel dengan sebuah pentagram bakal membuka jatidirinya sebagai seorang ningrat. Adalah mustahil bercampur dengan jelata dan mengumpulkan info. Tiada artinya berjalan kesini.

Tapi Louise, yang dipaksa memakai pakaian tawar, tampak tak puas.

"Ada apa?"

"Ini tak cukup."

"Apanya?"

"Uang kita untuk misi ini. Dengan hanya 400 écus, kita bakal bangkrut setelah membeli seekor kuda."


"Kita tak perlu kuda. Tertulis disana bagimu untuk menyembunyikan status sosialmu, kan? Dengan kata lain, kau seharusnya berlaku sebagai seorang jelata. Ayo jalan. Kau punya kaki."

""Aku akan bersikap sebagaimana seorang jelata, tapi aku tak bisa mendapatkan pelayanan memuaskan tanpa seekor kuda."

"Seekor kuda murah tak apa, kan? Kompromilah disini."

"Kuda-kuda jenis itu tak guna saat kita benar-benar membutuhkan mereka! Kita juga perlu pelana. Dan juga...kita takkan bisa tinggal di penginapan aneh. Dengan uang sejumlah ini, ia akan habis setelah tinggal selama hanya 2,5 bulan!"

Penginapan macam apa yang bisa menghabiskan 600 koin emas?

"Sebuah penginapan murah tak apa, kan?"

"Tak mungkin! Aku tak bisa tidur baik dalam sebuah kamar murahan!"

Tepat seperti apa yang diharapkan dari seorang putri ningrat. Meski dia punya sebuah misi untuk bercampur dengan jelata dan mengumpulkan info, dia berencana tinggal di penginapan kelas atas.Saito membayangkan, Apa yang tengah dia pikirkan?

"Aku juga punya beberapa. Aku akan membagi beberapa denganmu."

"...Itu tetap tak cukup. Layanan memakan uang."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Bukankah ada caa untuk mendapatkan lebih banyak uang?"

Dan seperti itu, selama berdiskusi soal mendapatkan lebih banyak uang dan menemukan sebuah tempat murah, mereka masuks ebuah bar dimana Saito menemukan tempat berjudi didirikan di sebuah sudut bar. Disana, lelaki mabuk dan wanita mencurigakan tengah mengambil chip-chip dan mendapati chip-chip mereka diambil. Tanpa mempedulilam Louise yang mengernyitkan alis matanya oada mereka, Saito memandangi perjudian itu.

"Apa yang kau pandangi?"

"Ya...Aku hanya berfikir soal mendapatkan uang dengn ini. Bagaimana?"

"Bukankah itu berjudi? Yang kaya gitu!"

"Sekarang, lihat aku. Aku sering melakukannya sebelumnya dalam permainan."

Saito menukar 30 koin emas baru, 20 écus dengan chip-chip, lalu menuju meja dengan cakram berputar. Permukaan cakram itu dibagi jadi 37 bagian, tiap-tiapnya punya angka tersendiri dan berwarna merah atau hitam. ebuah bola besi berputar dalam cakram itu. Dan di dekat cakram itu, ada lelaki dan wanita dengan warna mati yang berganti menatapnya penuh harap. Itu sebuah rolet.

Saito mengamati tempat tebakan. Pertama, aku uji keberuntunganku dulu. Meniru tebakan pemenang, Saito menempatkan sebuah chip seharga sekitar 10 écus pada merah. Bola memasuki sebuah kantung merah.

"Lihat kan? Aku mendapatkannya! Aku luar biasa!"

Saito entah kenapa pelit, jadi dia menempatkan secara hati-hati dan menghasilkan chip-chip seharga 30 écus.

"Lihat kan? Uang yang kita punya untuk menyelesaikan misi meningkat! Yahm ini bedanya dengan seseorang yang hanya bisa mengeluh!" kata Saito sambil membusungkan dada. mata Louise berkilat.

"Minta sebagian!"

"Jangan. Mustahil bagimu."

"Apa katamu? Jika familiarnya menang, maka tuannya bakal menang 10x lipat jka dia mencoba."

Louise langsung menaruh apa yang Saito menangkan pada hitam. Tapi...dia meleset. Apa yang telah didapat Saito menguap dalam sesaat.

"Apa yang kau lakukan?! Padahal aku akhirnya bisa dapat!"

"Di-diam."

"Yah...Meski kau selalu bersikap bangga, kau tak bisa menghasilkan uang dengan baik. Belajarlah dari Siesta sedikit. Belajarlah memasak sesuatu. Lalu pergi bekerja sebagai koki di restoran manapun. Itulah kerja."

Sesuatu terpicu dalam diri Louise pada kalimat "Belajarlah dari Siesta".


"L-l-lihat saja aku. Siapa sih yang bakal kalah?"

"Louise?"

Saito gemetar mengamatinya.

_____________________________________


30 menit kemudian,..


Louise tengah menjatuhkan bahunya dan memandang benci pada papan. Chip-chip yang dia taruh sesaat sebelumnya menghilang dalam sunyi ke tangan bandar.



Bahu gadis blonde cantik jatuh selama beberapa saat, tapi lalu mengagkat kepalanya dengan bangga, dia mencoba menaruh semua chipnya pada satu titik. Saito, yang selama ini mengamati dari belakangnya, mencengkram bahu Louise.

"Louise..."

"Apa?" sahut Louise dengan nada kesal yang jelas.

Saito dengan datar berkata. "Ayo sudahi saja."

"Aku akan menang nanti. Aku pasti menang."

"Pikirkan, berapa kali kau mengatakan itu?!"

Jeritan Saito bergaung, Para tamu yang tengah menaruh chip berbalik dan tersenyum pahit. Ini adegan yang terjadi setiap hari.

"Kau bahkan belum menang sekalipun."

Saito mengacungkan jarinya di depan hidung Louise. Ini pertama kalinya Saito melihat seseorang yang begitu buruk dalam dalam berjudi. Louise sudah kehilangan 400 écus...kebanyakan uang yang diperlukan untuk misi. Jika mereka menukar chip-chip Louise yang tersisa menjadi uang, mereka takkan dapat lebih dari 30 écus. Jika mereka kehilangan ini, mereka akan bangkrut.

"Tak apa-apa. Berikutnya, Aku akan mengeluarkan metode pasti menang."

"Ceritakan padaku soal itu."

"Hingga kini, aku bertaruh pada merah atau hitam, kan?"

"Ya. Untuk meleset 15x bertaruh pada merah atau hitam...Kau lebih baik mati."

"Di-diam. Dengarkan? Jika begitu, jika aku menang, aku hanya dapat 2 kalinya, tapi..."

"Tapi apa?"

Saito berguncang. Louise berbicara seakan dirasuki sesuatu.

"Jika aku menang dengan angka, aku akan dapat 35xnya taruhanku. Aku bisa mendapatkan lagi apa yang kita kehilangan dan lebih lagi. Aku seharusnya melakukan ini sejak tadi!"

"Itu metode pasti menangmu?"

Louise mengangguk jelas sekali. Saito dengan diam mencengkram lengan Louise dan menariknya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Peluang kau menang 1 berbanding 37!"

"Terus kenapa?! Aku sudah kalah 15x. Tak peduli apa yang kau pikirkan soal itu, aku akan menang nanti. Akan aneh jika aku tidak. Jika aku akan menang, Aku juga mengejar kemenangan besar!"

Mata coklat kemerahan Louise berkerlip-kerlip. Ini mengaingatkannya pada mata pamannya yang gagal di saham dan melarikan diri malam-malam. Dia punya mata seperti itu saat terakhir kali Saito melihatnya. Di hari itu, saham yang kata dia bakal naik tinggi malah turun drastis.

"Tenanglah. Ayo tukar chipmu dengan uang dan gunakan itu untuk mencari sebuah tempat untuk menginap, OK?"

"Tidak, jika kau pergi saat sedang kalah, Nama La Vallière akan menangis."

"Memangnya yang kaya gitu bakal nangis!"

Saat dia meneriakkan itu, dia ditendang tepat pada daerah antara kaki dan bergulingan di lantai.

"Hoaaaaaaaaaaa....Apa kau punya dendam pada daerahku yang menyedihkan?"

Setelah menyingkirkan familiarnya yang mengganggu, Louise kembali menuju cakram rolet. Sang pelempar hendak melempar bola ke roda. Dia masih bisa bertaruh. Louise menaruh seluruh chipnya yang tersisa pada angka yang ada di kepalanya sejak sesaat lalu. Lalu dia menatap pada roda dan bola dengan mata yang tak bisa lebih serius dari itu.

Bersuara klip-klop, bola akdir memasuki sebuah kantong. Wajah Louise bersinar penuh harapan untuk sesaat, tapi ia berubah jadi putus asa seketika. Kantong itu berada tepat di sebelah angka taruhan Louise. Sambil mengusap daerah bawahnya, Saito bangkit dan menarik Louise. "Ayo pergi."

"Apa kau bilang?"

"Heh?"

"itu kantong tetanggku. Berikutnya, ia akan mengunjungi rumahku."

"Kita tak punya uang lagi untuk bertaruh, kan?!"

"Uang do kantongmu akan membantu."

"Tolol! Ini uangku!"

Saito Saito melindungi kantongnya. Dia tak bisa mendapati ini dipertaruhkan. Jika ya, bahkan dia bakal bangkrut.

"kau tahu? Barang familiar adalah barang tuannya. Itu sudah jelas."

"Jangan bercanda."

Tapi dibandingkan Siesta. itu tak mencapai telinga Louise, yang fikirannya terbakar demam judinya. Dia mencoba menendang daerah bawah Saito dengan kecepatan kilat. TapiSaito berbeda dari biasanya. Dia dengan cepat menutup kedua kakinya dan menangkisnya. Lalu dia mencengkram kaki Louise yang terangkat.

"Ga mungkin aku membiarkanmu menendangku lagi!"

Louise bergumam dengansuara dfingin. "Vasra."

Alat sihir penahan menyelimuti badan Saito dan mengeluarkan arus listrik. Kejang-kejang luar biasa, Saito berguliangan kembali di lantai.

"...Oh begitu, aku tak mewaspadai itu." kata Saito lemah sambil mengutuk kepenasarannya. Aah, jika aku tak tertarik tempat judi ini, yang seperti ini takkan...

Louise merogoh kantong Saito, mengambil seluruh koin emas yang tersisa, dan dengan cepat menukar mereka dengan chip-chip. Saito agak lega. Bahkan bila itu seseorang seperti Louise yang punya bakat nol untuk berjudi, dia takkan kehilangan seluruh chip itu sebelum tubuhnya sembuh dari mati rasa ini. Setelah mati rasa ini pergi, dia akan menutup mulut Louise dan meninggalkan tempat ini tanpa membiarkan Louise berkata apapun. Itu keputusan Saito.

"Bertaruh pada satu tempat sepertnya tak jalan. Aku akan kembali ke dasar."

"Itu benar...Merah dan hitam, Hanay sejumlah kecil pada merah atau hitam. Setidaknya lakukan itu..."

"Untuk menunjukkan hormatku pada familiarku yang setia, aku akan bertaruh pada warna rambut dan mata itu."

"Hitam?"

"Itu benar." Sambil mengangguk, Louise menaruh koinnya pada hitam. Semuanya...chip-chip seharga 270 écus, seluruhnya. Saito hampir bocor. "H! E! N! T! I! K! A! N!"

Louise tersenyum cerah pada Saito. "Bodoh. Bahkan jika bayarannya ganda, uang adalah uang. Jika aku menang, kita akan mendapat kembali apa yang telah terambil dan lebih. Apalagi, hanya sekali. Kita hanya perlu menang sekali."

"K! U! M! O! H! O! N!"

"Aku seharusnya lakukan ini dari tadi."

Sang pelempar memutar roletnya. Bola kecil mulai berputar, membawa takdir sang tuan dan familiarnya bersamanya.

Membuat sebuah suara kering, si bola berputar di atas roda. Putaran dengan perlahan menurun kecepatannya, dan seakan membagi takdir. mengarah pada kantong kanan. Louise telah bertaruh jumlah yang besar pada hitam, jadi tamu lain bertaruh pada merah. Satu-satunya yang bertaruh pada hitam hanyalah Louise. Ia masuk merah, meninggalkannya, lalu masuk hitam, meninggalkannya...Louise berkata seakan sedang terkena demam.

"Aku seorang legenda. Aku takkan pernah kalah, ya!, di tempat seperti ini."

Lalu bola masuk sebuah kantung...dan berhenti. Louise menutup matanya tanpa pikir lagi. Di sekelilingnya, desahan sedih terdengar menggema.

"...Eh?"

Semuanya, selain Louise, bertaruh merah. Desahan datang dari mereka. Dengan kata lain, yang beratruh merah kalah. Yang berarti...

"Aku benar-benar seorang pengguna "Zero"!" meneriakkan itu, Louise membuka matanya. Tepat setelahnya, mulutnya menganga lebar. Bolanya...tak masuk hitam atau merah, tapi kantung hijau satu-satunya. Di tengah-tengah kantung tersebut..., bagaikan memberikan berkah pada Louise, angka "0" berkilauan disana. _____________________________

Saito dan Louise tengah duduk lemas di sudut plaza pusat kota sewaktu matahari terbenam. Lonceng gereja Saint Rémy berdentang enam kali saat petang. Mereka kecapean dan lapar tapi tak punya tempat untuk dituju.

Louise memakai baju terusan coklat tawar yang tadi dibelikan Saito. Di kakinya ada sepatu kayu kasar. Mantel dan tongkatnya disimpan didalam tas yang dibawa Saito. dari bajunya saja, dia terlihat seperti gadis desa lainnya, tapi berkat wajah kelas atas dan rambut blonde pinknya, dia memberikan semacam perasaan tak cocok, semacam rasa pada gadis yang tak terbiasa berakting pada sebuah adegan.

Saito memakai pakaiannya yang biasa, tapi dia tak bisa berkeliaran di kota dengan pedang terhunus, jadi dia bungkus Derflinger dengan kain dan membawanya di punggung. Louise bergumam pelan, menunjukkan bahwa dia baru saja menyadari seberapa besar dosa yang telah dilakukannya. "A-apa yang harus kita lakukan?"

Saito menatap Louise. "Aku takkan pernah membiarkanmu membawa uang lagi."

"Uuu..." Louise mendengung sedih sambil memeluk lututnya.

"Yah, apa ya yang harus kita lakukan. Uang. Jika kita tak bisa menemukan sebiah penginapa untuk tinggal, kita takkan bisa makan. Bagaimana dengan misi? Oh wahai wanita senat dari paduka, mohon ajari familiar nan rendah ini. Kumohon?' kata Saito penuh sindiram. Bahkan uangnya dipakai. Dia akan membuat Louise membayar kembali suatu hari nanti, tapi kini, masalahnya adalah penginapan dan makanan.

"Aku memikirkan soal itu sekarang." kata Louise dengan wajah kesal.

"Mari dengan penuh kerendahan menundukkan kepala kita pada Putri-sama dan meminta uang lebih."

"Itu mustahil. Putri-sama memberikanku misi rahasia ini menurut dirinya sendiri. Kabinet mungkin tak membiarkan anggaran dipakai. Dia kemungkinan tak bisa menggunakan lebih dari apa yang bebas dimilikinya. Mungkin, itu sudah yang terbaik yang dia bisa."

"Kau membuang uang itu dalam 30 menit. Apa sih yang kau pikirkan?"

"Itu karena aku tak bisa mendapatkan pelayanan memuaskan hanya dengan 400!"

"Itu karena kau selalu ingin kemewahan!"

"Mereka diperlukan!"

"Lalu. bagaimana dengan ini? Hubungi rumahmu. Ya, hei, Duke-sama."

"Tak mungkin. Ini misi rahasia. Aku juga tak bisa bilang-bilang keluargaku."

Sambil memeluk lututnya, Louise menaruh dagunya padanya. Dia benar-benar seorang nona muda yang abai terhadap aliran dunia...Dia bahkan tak bisa berbelanja dengan baik. Bahkan Saito, yang datang dari dunia lain, bisa menangani lebih baik. Takkan ada yang selesai bila dia yang melakukannya. Tapi Saito tak bisa memikirkan sebuah ide bagus. Dia menerawangi air mancur plaza sambil termenung, tapi...

"Nn?"

Dia menadari orang-orang yang lewat memandang kagum pada Louise. Bahkan jika dia tak menginginkannya, pesona dan keningratan Louise menarik perhatian. Terutama jika dia tengah memeluk lututnya, terlihat sebagai seorang gadis desa. Orang-orang melirik Louise dengan mata yang berkata " Dia mungkin melarikan diri dari sebuah rumah bordir." Saito bangkit secepat kilat.

Louise terkejut. "Adaapa?"

Mengabaikan kata-kata Louise, Saito menghadap orang-orang di jalan dan mulai mengumumkan. :Eeh, Hadirin dan hadirat!"

Orang-orang yang berlalu berhenti, mengira-ngira apa yang tengah berlangsung.

"Eeh- Gadis ini adalah seekor gadis-serigala yang kabur dari sirkus."

"Apa?"

Apaan sih yang dikatakan orang ini?

"Dibesarkan serigala, dia melolong dan menyalak! Ini benar-benar mengganggu! Tapi yang paling mengagumkan adalah bahwa dia bisa menggaruk lehernya dengan kakinya! Kini bersiaplah! Dia akan menggaruk leher dengan kakinya sekarang!"

Saito berbisik pelan pada Louise. "Yah, garuk lehermu dengan kakimu. Ayolah."

Saito mengejeknya dengan dagunya. Louise menginjak wajah itu dengan telapak kakinya. Saito berguling-guling di tanah.

"Apaan sih yang kau pikirkan?! K-k-kau ingin aku berlaku sebagai bintang?!"

Saito juga bangkit, menarik lengan Louise, dan berteriak. :kita tak punya pilihan selain tampil, kan?! Apa ada cara lain untuk menghasilkan uang?! Aah?!"

Mengayunkan rambutnya dengan ganas, Louise mulai bertengkar dengan Saito. "Dia benar-benar seekor gadis serigala."

Anehnya, hadirin terpuaskan. Tapi setelah menyadari segra bahwa ini hanya pertengkaran. hadirin dengan cepat menjadi bosan dan pergi. Mereka tak mendapatkan apapun. Tenaganya menguap dan Saito terbaring di tanah. Louise juga cape dan dengan cepat kehabisa tenaga fisiknya, jadi dia duduk di punggung Saito.

"Aku lapar..."

"Aku juga..."

Kepada keduanya yang tengah duduk seperti ini, seseorang melemparkan sebuah koin tembaga. Saito loangsung loncat dan mengambilnya. Louise bangkit dengan sebuah suara beramarah. "Siapa?! Keluar sekarang!"

Setelah mengatakan itu, seorang pria aneh keluar dari kerumunan.

"Oh tidak, kukira kalian pengemis..."

Anehnya, dia ngomong dengan cara wanita.

"Haah? Jelaskan dirimu? Kau tahu, aku, sangat mengagumkan, berasal dari keluarga Duke..."

Saat dia mencoba mengatakan itu, Saito bangkit dan menutup mulut Louise.

"Keluarga Duke?"

"Bukan apa-apa! Ya! Otaknya memang sedikit begitulah. Ya."

Tersinggung, Louise meronta-ronta, tapi Saito mengabaikannya dan terus menutup mulutnya. Jika mereka membuka diri, bukan misi rahasia lagi namanya.

Pria tersebut memandang Saito dan Louise penuh ketertarikan. Dia mengenakan pakaian yang mencolok. Pakaian Guiche juga mencolok, tapi arahnya beda. Rambut hitam yang dilapisi minyak, sebuah kemeja satin-tanah ungu yang berkilau dengan bagian dada membuka dengan rambut dada tak tersukur menyembul. Di bawah hidungnya ada dagu yang terbelah sempurna dan kumis bergaya, Sebuah bau parfum yang kuat menyentuh hidung Saito.

"Lalu mengapa kalian tidur di tanah?"

"Yah, kami tak punya tempat tidur dan makan..."

"Tapi kami bukan pengemis." kata Louise terbuka. Pria tersebut memandang dalam wajah Louise.

"Oh begitu, Klo begitu, datanglah ke tempatku, Namaku Scarron. Aku menjalankan sebuah penginapan. Aku akan menyiapkan sebuah kamar," kata pria tersebut sambil tersenyum. Cara dia bicara dan berpakaian menjijikkan, tapi dia sepertinya orang baik.

Wajah Saito bersinar. "Benarkah?!"

"Aku akan melakukan apapun."

"Aku mengurus sebuah toko di antai pertama. Gadis ini akan membantu. Itu kesepakatannya. OK?"

Louise tampak enggan, tapi dia dengan patuh mengangguk saat Saito menatapnya.

"Très bien."

Scarron mengumpulkan tangannya dan menempatkan mereka pada pada pipinya, menyempitkan bibirnya, tersenyum. Dia bertingkah seperti seorang gay. Sebenarnya, dia bukan apapun selain seorang gay. Menjijikkan. Ada gay di dunia lain juga...Dan ada "Très bien." itu...Saito anehnya jadi terpuruk.

"Putus sudah. Ikut aku."

Pria tersebut mulai berjalan. Mengayunkan pinggangnya secara berirama. Saito dnegan enggan meraih tangan Louise dan mengikuti.

"Sepertinya aku tak mau. Dia aneh."

Saito memandangi Louise dengan amarah membara di matanya. "Kau pikir kau dalam posisi untuk memilih?"

Bagian 2[edit]

"Kalimat Baik" Para peri!" kata Scarron begitu dia menggerakkan pinggnya sambil mengamati sekeliling toko.

"Ya! Pak Scarron!" Sambut para gadis yang terbunglus pakaian yang mencolok.

Salaaaaaaaaaahh!" Teriak Scarron dengan menggerakkan pinggangnya secara berlebihan kesana kemari saat mendengar sambutan para gadis.

"Bukan pak, tapi panggil saya sebagai Mi Mademoiselle, ya?"

"Ya! Mi Mademoiselle!"

"Très bien."

Scarron berguncang senang sambilo mengger-gerakkan pinggangny. Melihat proa setengah baya yang mengajaknya kesini, Saito merasa sakit. Tapi para gadis di toko sudah terbiasa dengan kebiasaan ini, dan tak menunjukkan perubahan pada wajah mereka.

"Baiklah, kita akan mulai dengan pengumuman menyedihkan dari Mi Mademoiselle. Akhir-akhir ini, pendapatan penginapan "Peri-Peri Memesona" menurun. Sebuah toko bernama sebuah "kafe" yang menyediakan "teh" yang baru saja diimpor dari timur kini mencuri pelanggan-pelanggan kita...Sniff..."

"Jangan menangis! Mi Mademoiselle!"

"Kalian benar. Jika kita kalah dari "teh" ini, kalimat "Peri-peri Memesona" bakal menangis."

"Ya! Mi Mademoiselle!"

Scarron meloncat ke atas meja dan berpose semarak. "Sumpah Peri-Peri Memesona! Un~~"

"Melayani dengan snyum ceria!"

"Sumpah Peri-Peri Memesona! Deux~~"

"Dalaman toko yang bersih nan berkilat!"

""Sumpah Peri-Peri Memesona! Trois~~"

"Menerima banyak tips!"

"Très bien."

Scarron tersenyum puas. Lalu dia membengkokkan pingganya dan berpose. Isi lambung naik ke tenggorokannya, tapi Saito sekuat tenaga menelannya kembali.

"Baiklah, aku punya pengumuman bagus untuk kalian, para peri. Kita dapat teman baru hari ini."

Para gadis bersorak.

"Maka, biarkan aku memperkenalkannya! Louise-chan! Kesini!"

Dikelilingi oleh sorakan, Louise muncul, merah sempurna di wajah dari malu dan marah.

Saito menelan napas. Perias toko telah memermak rambut blonde-pink Louise dan membuat rambut di kiri-kanan menjadi jalinan kecil. Dia juga memakai camisole pendek nan menggoda, menempel padanya bagaikan sebuah korset dan membuat garis badannya lebih jelas. Ia terbuka di punggung, menguapkan pesona yang jelas. Penampilan yang sangat seperti peri tercinta.

"Louise-chan hendak dijual pada sirkus, tapi tepat di detik terakhirkabur dengan saudaranya, Dia gadis yang sangat manis tapi patut dikasihani."

Desahan simpati datang dari para gadis. Itu sebuah dusta yang dibuat Saito di sepanjang jalan ke toko. Sekuat tenaga, dia memutuskan untuk menjadi kakak Louise. Mereka tak terlihat bersaudara tak peduli bagaimana orang melihat, tapi Scarron tak peduli di situ. Sepertinya itu tak terlalu bermasalah.

"Baiklah, Louise-chan. Salami peri-peri yang bakal jadi teman kerjamu." Louise berguncang. Sepertinya dia marah. Dalam. Kuat. Seorang bangsawan berharga diri tinggi seperti Louise tengah disuruh menundukkan kepalanya pada jelata dalam baju itu. Saito takut dia bakal jadi gila dan melepaskan "Ledakan" berulang.

tapi...Rasa tanggung jawab yang menyuruhnya menyelesaikan tugas menahan amarah Louise. Pikirkanlah, isu-isu biasanya berkumpul di bar-bar. Ini sempurna unuk mengumpulkan info. Tambahan lagi, mereka bangkrut. Sambil mengatakan ini sebuah misi pada dirinya, Louise membungkuk dengan senyum yang dipaksakan.

"A-a-a-aku Louise. Se-se-senang bertemu kalian."

"Ok, bersorak!" teriak Scarron. Sebuah sorakan hebat menggema ke seluruh Toko. Scarron melihat Jam di dinding. Akhirnya kini waktunya toko buka. Dia menjentikkan jari. Meresponnya, boneka-boneka yang terbuat dari sihir di sudut toko mulai memainkan musik nan ramai. Ini irama untuk berbaris. Scarron berucap dengan nada bergairah. "Sekarang! waktunya buka!"

Pintu sayap terbuka dengan sebuah "bam" begitu pelanggan yang menunggu mengerumuni toko. Penginapan "Peri-peri memesona" yang ditinggali Loise dan Saito terlihat sebagai bar, namun sebenarnya adalah toko terkenal dimana gadis-gadis manis dengan pakaian menggoda membawakan pelanggan minuman mereka. Scarron menyadari kecantikan dan pesona Louise dan membawanya kesini untuk bekerja sebagai pelayan.

Dengan sebuah apron dimana ada tanda toko padanya, Saito diberikan tugas mencuci piring. Selama dia tinggal di penginapan, dia harus melakukan beberapa pekerjaan. Toko tengah penuh, jadi pegunungan peralatan makan dikirimkan padanya. Sepertinya tak peduli dimanapun seseorang berada, bahkan di dunia lain, mencuci piring adalah tugas untuk pendatang baru. Saito tak ingin mencuci piring dari toko gay itu, tapi dia menahannya.

Ini demi tugas Louise. Dia tak bisa apa-apa, egois, keras hati, dan seorang gadis kecil arogan yang tak pernah mendengarkan apa yang dikatakannya, tapi ini tak bisa diapa-apakan karena dia tertangkap olehnya. Meski selalu mengeluh, sepertinya kali ini dia berusaha keras untuk berhasil dalam mengumpulkan info. Dan juga, wajah sedih Henrietta yang dilihatnya di tepian Danau Ragdorian...

Dia ingin melakukan sesuatu untuk putri yang menyedihkan itu. Jika dia bisa membantu orang yag dia suka dengan melakukan apa yang dia bisa, dia tak segan-segan menunda pencarian jalan kembali ke dunianya. Melalui setumpuk masalah, kesederhanaannya membuatnya berpikir begitu.

Saito bergelut dengan piring-piring. Tapi semua punya hal yang disebut "batas". Setelah beberapa sat, dia tak bisa lagi menggerakkan tangannya yanmg kecapean. Tapi meski dia kelelahan, jumlah piring yang harus dicucinya takkan menghilang dan mulai menumpuk.

Seorang gadis berpenampilan mencolok muncul didekat Saito, yang tengah menatap hampa gunungan piring dan kecapaian mati rasa didepan tempat cuci piring, Gadis manis ini punya rambut hitam panjang lurus. Alis tebalnya menguapkan aura hidup. Sepertinya dia dekat dengan Saito dalam hal umur. Saito cepat-cepat tersentak saat matanya penuh oleh belahan dadanya yang muncul dari baju terusan hijaunya yang membuka di bagian dada.

"Hei! Kita tak punya piring tersisa!" teriaknya, berkacak pinggang.

"A-aku minta maaf! Langsung!"

Terbiasa diperintah gadis-gadis manis, Saito langsung loncat dan secara refleks mulai mencucui piring-piring. Melihat gerakan tangan amatirannya, gadis berambut hitam membengkokkan kepalanya.

"Biarkan aku lihat itu." Mengatakan itu, dia mengambil kain yang digunakan untuk mencuci piring dari tangan Saito dan mulai menggosok dengan cara berpengalaman. Dengan gerakan halus yang tak menyampah, piring-piring perlahan tercuci. Saito menyadari bahwa ada rahasia dam mencuci piring.

"Butuh waktu kan untuk mencuci satu sisi dalam satu waktu? Kau bisa menaruh kain diantara dua sisi dan menggosok keras-keras."

"Luar biasa," kata Saito. Melihat dia benar-benar kagum, gadis itu tersenyum.

"Aku Jessica. Kau saudara gadis baru itu, kan? Nama?"

"Saito. Hiraga Saito.

"Itu nama yang aneh."

"Biar saja."

Saito mulai memcuci piring-piring bersa,a Jessica. Setelah melihat sekelilingnya, dia berbisik pada Saito dengan suara pelan. "Hei, hal itu tentang kau bersaudara dengan Louise adalah dusta, kan?"

"Tidak. 100% kakak lelaki asli dan adik perempuan." kata Saito kaku.

"Warna rambut, warna mata , dan bentuk wajah kalian berdua jauh berbeda. Takkan ada yang akan mempercayaimu."

Saito tak bisa berkata apa-apa.

"Meski itu bukan masalah. Gadis-gadis disini baik-baik saja dengan alasan apapun. Tiada orang disini yang akan mengorek masa lalu seseorang. Tenang saja."

"O-oh begitu..."

Jessica menatap kedalam mata Saito. Untuk sesaat, dia kaget.

"Tapi bisakah kau diam-diam menceritakannya saja padaku? Apa sih hubungan diantara kalian berdua? Apa kalian kabur dari suatu tempat?"

Sepertinya terkadang Jessica cenderung sepenasaran Saito. Dia melihat Saito dengan bergairah. tapi tak mungki Saito bisa mengatakan yang sebenarnya. Saito melirik pakaian Jessica yang mencolok. Dia mungkin salah satu dari pelayan "peri". Korekan tak perlu mengganggu, jadi Saito mengibaskan tangannya untuk membuatnya pergi.

"Apa tak apa-apa bagimu untuk malas-malasan disini? Kau punya kerjaanmu sendiri untuk dibereskan. Pergi dan bawalah beberapa anggur atau bandrek. Manajer Scarron akan marah padamu."

"Tak apa-apa bagiku."

"Mengapa?"

"Karena aku putri Scarron."

Saito menjatuhkan sebuah piring. Membuat suara pecah, Piring itu pecah berkeping-keping.

"Ah! Apa yang kau pecahkan?! Kau akan membayar dari gajimu!"

"Putri?"

"Itu benar."

Untuk putri semanis ini terlahir dari manajer toko gay itu...Saito membayangkan gen macam apa yang direkayasa mereka.

"Ayolah! Jangan hanya ngomong dan mulai gerakkan tanganmu! Toko akan semakin sibuk dari sekarang!"

Saito punya beberapa kesulitan, tapi Louise menderita lebih buruk.

"...I-ini pesanan kalian."

Sekuat tenaga berusaha tersenyum...dia meninggalkan sebotol anggur dan sebuah gelas keramik di meja. Di hadapannya, seorang lelaki tengah memandangi Louise sambil tersenyum vulgar. "Gadis kecil, tuangkan aku sedikit."

Aku menuangkan alkohol untuk seorang jelata, seorang jelata, seorang jelata? Seorang bangsawan sepertiku? Seorang bangsawan sepertiku? Seorang bangsawan sepertiku?

Pikiran-pikiran terhina semacam itu berkeliaran dalam kepalanya.

"Anh? Ada apa? Bukankah aku menyuruhmu untuk cepat-cepat dan menuangkan aku sedikit?"

Louise menghembus dan mencoba menenangkan dirinya.

Ini sebuah misi. Ini sebuah misi. Pengumpulan info sambil menyamar sebagai jelata, Pengumpulan info...

Menggumamkan itu bagai sebuah mantra, dia entah bagaimana dapat tersenyum. "Ba-baiklah, aku akan menuangkan beberapa untukmu."

"Huun..."

Louise mengambil botol dan mulai perlahan menuangkan anggur kedalam gelas lelaki tersebut. Tapi...Karena dia gemetaran dari amarah, dai meleset dan menumpahkan anggur pada baju lelaki tersebut.

"Uwah! Kau menumpahkannya!"

"A-aku minta ma...af."

"Memangnya sebuah permintaan maaf bakal membantu!"

Lalu lelaki itu mulai menatap Louise. "Kau...tak punya dada, tapi kau sangat cantik."

Rasa darah meninggalkan wajah Louise.

"Aku mulai menyukaimu. Mungkin jika kau menyuapku dari mulut ke mulut, aku akan memaafkanmu! Gahaha!"

Lousie mengambil botol, meminum anggur kedalam mulutnya, dan memuntahkannya kembali pada wajah lelaki itu.

"Apa yang kau lakukan, bocah?!"

"Bam!"

Dengan satu kaki di meja, Louise menatap ke bawah pada lelaki yang duduk. Untuk sesaat, lelaki itu meringis pada aura yang dilepaskan gadis kecil ini.

"R-r-r-rendaham. K-Ka-ka-kau pikira aku siapa?"

"A-apa?"

"U-u-untuk infomu, d-d-d...duk..."

Tepat saat dia hendak mengatakan "keluarga duke". Louise diterbangkan dari belakang.

"Aku~~minta~~ maaf~~!"

Itu Scarron. Duduk di samping lelaki itu, dia mulai mengusap kemejanya dengan kain piring di tangannya.

"A-ada apa dengamu, gay sialan...Aku tak memerlukanmu..."

"Ini tak bisa! Ia basah kuyup dengan anggur! Hei, Louise-chan! Bawa beberapa anggur baru! Selama dia membawanya, mi mademoiselle akan menemanimu!"

Scarron bersender mendekari lelaki tersebut. Lelaki itu tampak hendak menangis, tapi Scarron menahannya dengan kekuatan manusia super sehingga dia tak bisa bergerak.

"Y-ya!" kata Louise, akhirnya terhubung kembali dengan kenyataan, dan lari masuk dapur.

"Eh-baiklah, terima kasih untuk kerja kerasnya!"

Saat toko tutup, langit mulai memutih, Saito dan Louise berdiri tak tegaj. Mereka sangat kecapaean, mereka merasa bahwa mereka akan mati. Mereka sangat cape melakukan sebuah pekerjaan yang merea tak terbiasa dengannya.

"Kalian semua bekerja sebaik-baiknya, spertinya begitu. Kita hijau bulan ini."

Scarron mulai menyerahkan gaji pada gadis-gadis yang bekerja di toko dan para koki dalam dapur, yang semuanya mengeluarkan teriakan kegembiraan. Sepertinya hari ini hari gajian.

"Ini, Louise-chan, Saito-kun."

Berpikir, "Kita dapat juga?", wajah Saito dan Louise menyala sesaat, tapi...yang ada hanyalah selembar kertas tipis.

"Apa ini?" tanya Saito.

Senyum menghilang dari wajah Scarron. "Sebuah tagihan. Saito-kun, berapa piring yang kau pecahkan? Louise-chan, berapa pelanggan yang kau buat marah?"

Louise dan saito saling bertatapan dan mendesah, "tak apa-apa. Semua membuat kesalahan di awal. Terus coba sebaik kalian mulai dari sekarang dan bayar tagihannya."


Dan...desahan tak berhenti sampai di situ. Kamar yang diberikan pada Louise dan Saito dicapai dengan mengikuti sebuah koridor yang diisi pintu kamar tamu...dan menggunakan sebuah tangga untuk mendaki dan mencapai loteng.

Tak peduli bagaimana kau melihatnya, ini bukanlah kamar yang dibuat untuk tempat orang tinggal. Berdebu dan remang-remang, sepertinya ia digunakan sebagai gudang. Rak dan kursi rusak, peti-peti yang menyimpan botol anggur, dan tong-tong...segala macam barang menumpuk. Sebuah tempat tidur kayu kasar telah ditempatkan disana. Saat Louise duduk, kakinya menyelusup sehingga dia jatuh ke samping kanan.

"Apa ini?!"

"Sebuah tempat tidur, kan?"

Sambil membersihkan sebuah sarang laba-laba, Saito membuka jendela kecil itu. Saat melakukannya, para kalong yang sepertinya hidup di loteng keluar sambil menjerit dan menggantung pada sebuah lampu."

"Apa itu?!"

"Mungkin teman sekamar kita." kata Saito dengan nada tenang

"Kau ingin bangsawan sepertiku tidur disini?! teriak Louise marah.

Saito dengan diam mengambil selimut di atas kasur dan membersihkan debunya. Dia lalu berbaring dan menyelimuti dirinya. "Ayolah, tidur saja. Scarron sudah mengatakannya. Ku bangun di siang hari dan menyiapkan toko, Kau akan membersihkan toko,"

"Mengapa kau baik-baik saja dengan ini?!"

"Ini tak begitu berbeda dengan cara seseorang biasa memperlakukanku." mengatakan itu, Saito, mungkin karena dia lelah, dengan cepat terlelap.

Louise mengerang "uu~" dan "mu~", tapi dia menyerah setelah beberapa saat dan meringkuk masuk bersama Saito. Menggeliat di sekitarnya, dia menaruh kepalanya di lengan Saito.

Ini jelas-jelas tempat yang mengerikan...tapi ada satu hal yang menyenagkannya...Pelayan itu tak disini.

Ya ampun, aku tak tahu, apa sih bagusnya familiar ini! Pelayan yang menyukai Saito itu tak ada disni. Ini sebenarnya luar biasa. Aku-tak benar-benar, suka-, ini, tapi...gumam Louise dalam rasa agak senang, mendekatkan pipinya pada Saito dan menutup matanya.

Dengan pipi memerah, dai berbisik," Aku akan mendapatimu memperlakukanku dengan lembut pada liburan musim panas ini."

Dan juga...mengambil isu-siu di kota dan memberikan laporan mendalam pada Putri-sama. Berfikir bahwa semua akan segera semakin sibuk, Louise terlelap.


Tapi...kebahagiaan kecil Louise diremukkan sempurna. Sebabnya adalah malam hari berikutnya, Penginapan "Peri-Peri memesona" ramai juga pada hari itu. Louise dengan sibuk membawa makanan atau minuman keluar seperti hari sebelumnya. Lelaki-lelaki yang mabuk punya dua jenis reaksi saat melihat Louise.

Pertama adalah orang yang memandangi Louise, yang kecil dalam berbagai bagian tubuhnya, dan berkata"Toko ini menggunakan anak-anak?" denagn marah, Pada pelanggan-pelanggan ini, Lousie melayani mereka dengan banyak anggur, dia juga mendapati mereka meminum botolnya.

Di sisi lain, ada pelanggan-pelanggan yang punya ketertarikan khusus.

Hanya penampilan luar Louise yang begitu manis, jadi sebaliknya, ia adalah hal terindah bagi orang dengan jalan pikiran ini. Orang-orang ini meremehkan Louise karena dia terlihat patuh saat diam dan mengulurkan tangan mereka pada pantat atau paha kecinya. Pada orang-orang ini, Louise memutuskan untuk memberikan mereka telapaknya. Dia memberikan itu pada kedua pipi, dan sewaktu-waktu, bahkan di hidungnya.

Tak bisa bersikap santun sama sekali, dengan begitu saja, Louise akhirnya tak menerima tips sedikitpun dan disuruh "Diam disini dan amati apa yang dilakukan gadis lainnya" oleh Scarron dan dipaksa berdiri di sudut. Ya, gadis lainnya sangat ahli. Mereka tersenyum cerah dan tak marah tak peduli apa yang dikatakan maupun dilakukan orang. Mereka dengan halus bercakap dan memuji para lelaki...

Dan saat para lelaki mencoba menyentuh mereka, mereka dengan lembut mencengkram tangan itu dan mencegahnya menyentuh. Denagn begitu, para lelaki mencoba memenangkan perhaian si gadis dan menumphakan tips. Tak mungkin aku melakukan itu, Louise masam. Keluarga dimana aku lahir di dunia ini keluarga Vallière, yang merupakan ningrat dan penyihir. Terlebih lagi, mereka adalah keluarga duke!

Jika aku kembali pada tanahku, aku adalah seorang putri! adalah apa yang dipikirkan Louise. Bahkan jka kau mengatakan padaku dunia akan berakhir besok, aku tak bisa berlaku sopan pada mereka. Apalagi, dalam pakaian memalukan ini...Pakaian?

Louise menyadarinya pada saat itu. Dia dalam pakaian camisole yang sama dengan kemarin. Meski dia pikir dalam dirinya tak manis, tapi dia merupakan sesuatu di luar. Dia mencari-cari da menemukan sebuah cermin dalam toko. Dia membuat berbagai macam pose di hadapan cermin. Dia mencoba memegang jempol dalam mulutnya dan menggelisah.

Yep, pakaian ini memalukan, tapi aku manis, Seorang ningrat meski aku membusuk. Tiada gadis disini yang bisa menyamai keningratan aku pancarkan. Benar. Pasti. Mungkin.

Mungkin Saito tersihir oleh penampilanku, pikirnya, dan menjadi senang. Apa, bodoh? Kau telat untuk menyadari pesonaku. Pasti dia bakal "aah, Louise manis, luar biasa, gadis semanis itu pernah disampingku...Aku tak menyadarinya...Tapi aku malah terpikat denagns eorang pelayan...Membuatnya memakai pakaian pelaut dan berputar-putar...aku menyesalinya...anjing tolol ini menyesalinya.

Hmph. Apa kau seorang idiot? Pasti perlu waktu lama bagimu untuk menyadari pesona tuanmu. Tapi kau hanya seorang familiar, jadi jangan memandangi tuanmu dengan cara kasar itu. Pergi dan semir sepatuku atau apalah! Apa? kau tak bisa, Kau tak bisa menyentuh tuanmu. Untuk seorang anjing, mana yang kau sentuh? Tapi jika kau berjanji melayaniku seumur hidupmu, akan kubiarkan kau melakukannya sedikit.

Tapi sebagai byayarannya, berlututlah di tanah. Berlututlah di tanah dan minta ampunlah pada seluruh waktu dimana kau mengabaikanku. Mengerti? Berfantasi sebegitu jauh, Louise menutup mulutnya dan emnahan tawanya. lalu melihat ke samping...dia mencuri lirikan pada dapur, berpikir bahwa Saito tersihir olehnya sekarang.

Disana! Anjing tolol itu mencuci piring dengan mata bodoh itu!...Eh!

Memang, Saito dengan penuh mengamati tempat dimana Louise berada sambil dengan pikiran-kosong mencuci piring-piring. Tapi...Dia tak sedang memandangi Louise. Louise mengikuti pandangannya. Apa yang ada disana adalah seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang tengah mengumbar tawa dengan seorang pelanggan. Itu Jessica.

Rambut blonde pink Louise mulai menggelombang. Lagi-lagi, kau dan itu. Rambut hitam itu.

Mengamati Jessica lebih jauh, dia mengikuti pandangan Saito dalam mili-unit. Jessica tengah mengenakan terusan yang membuka pada buah dada besarnya. Sudut pandang Saito mengejar kedalam belahan yang menyembul dari baju terusannya.

Dadanya. Apa kau benar-benar suka barang mirip apel sampai sebegitunya? Mengapa anjing-anjing suka dada semacam itu? Huh?!

"Hou~" Saito melepaskan desahan sedih. Dengan wajah tersihir, dia menggambarkan lingkaran dengan kedua tangannya seakan mengukur keliling dada Jessica. Sesuatu berderik dalam pikiran Louise, jadi untuk sekarang, dia memutuskan untuk melempar gelas didekatnya dengan sekuat tenaga. Langsung kena di sekitar keningnya, Saito jatuh didepan tempat cuci piring.

"Apa yang kau lakukan?!"

Lelaki yang gelasnya dilempar bangkit dan mencoba mencengkram bahu Louise. Louise mengangkat tubuhnya dangan mencegkram meja dan melayangkan telapak kedua sepatunya pada wajah pria tersebut. Ini pelayanan khusus, isi berganda. Melihat kebelakang pada Scarron yang ber"Louise-chan" dan buru-buru kesana, Louise dengsn erat menggenggam kepalannya sambil berguncang ke seluruh tubuh.

"Familiar itu...Lihat saja. Aku akan memberikanmu pelayanan yang seharusnya!"


Saat Saito bangun...apa yang ada disana adalah dada besar Jessica. Berpikir "Apa ini!", mulutnya terbuka menganga.

"Wah, kau akhirnya sadar?"

Melihat sekeliling, dia menyadari dia berbaring pada sebuah kasur. "Dimana ini?"

"Kamarku."

Duduk pada kursi dengan cara seakan memeluk punggung kursi, Jessica tersenyum.

"mengapa?"

"Kau pingsan saat sebuah gelas terbang ke kepalamu."

"Oh begitu...Apaan gelas itu...?"

Tapi sepertinya Jessica tak punya rasa tertarik pada gelas itu.

"Hei, hei, aku tahu sekarang."

"Apa?"

"Louise. Dia seorang ningrat, kan?"

Saito mulai batuk-batuk keras.

"Kau tak usah berpura-pura. Papa telah mempercayakanku urusan gadis-gadis toko. Kemampuanku membedakan gadis-gadis cukup bagus. Ya ampun, Louise itu bahkan tak tahu bagaimana cara membawa piring. Tak hanya itu, harga dirinya tinggi sekali. Dam kelakuan itu...ningrat sekali."

Saito memegangi kepalanya. Dia bahkan membuat Louise memakai baju terusan nan tawar...Ia jelas sekali, ya kan? Apaan tuyh "sembunyikan status sosialmu"? Tiada samaran sama sekali. "Hah! Dia seorang ningrat? Tak mungkin! Dia sangat kasar, keras, dan tak punya keanggunan sama sekali..."

"Tak apa-apa. Aku takkan bilang siapapun. Kau punya alasan tertentu, kan?"

Melihat Saito tetap diam, Jessica tersenyum. Orang semacam ini cenderung menjadi sasaran kepenasaran...Dia ingin menanyai Saito, jadi dia sengaja jauh-jauh membawanya kesini.

"Lebih baik jika kau tak menempatkan hidungmu di ini." kata Saito dengan nada rendah. Dia ingin menakuti Jessica dan membuatnya tak menanyainya lebih jauh, Tapi ini tak bekerja untuk Jessica.

"Eh-! Apa itu? Sesuatu buruk terlibat? Bukankah itu menarik?"

Menyenderkan tubuhnya lebih jauh, dia membawa wajah...dadanya mendekat. Mengapa belahannya sangat menekan, alasannya adalah karena pakaiannya lebih berani dibandingkand engan Siesta karena dia seorang gadis kota, dan wajah Saito mulai memerah, disaat itulah Jessica menyunggingkan senyum penuh makna.

"Hei."

"Ada apa?"

"Kau belum pernah kencan dengan seorang gadis sebelumnya, kan?"

"A-apa? Itu, kau tak bisa meremehkanku atau..."

Kena. Dia sangat tajam dalam berbagai hal...Lalu keringat dingin mulai mengucur.

"Aku mengerti. Aku seorang gadis kota yang agak tajam, tentu saja. Sangat mudah untuk menebak apa yang ada dalam kepala orang-orang desa."

Dikatakan sebagai orang desa, Saito sedikit menderik. kau tahu, di Tokyo, tak peduli tentang Tristania ini, bukanlah struktur murahan. Kau akan menangis bila kau melihat Menara Tokyo. Memeikirkan itu, dia membalas, "Siapa yang orang desa? Aku tak ingin dikatakan begitu oleh seorang putri gay."

"Itu jahat. Meski dia seperti itu, dia seorang ayah yang lembut. Saat ibuku meninggal, dia berkata, 'Baiklah, papa juga akan bekerja di tempat mama...' "

"Très bien itu?"

Jessica mengangguk. "yah, kita bisa mengenyampingkan soal papa. Hei, apa yang kau rencanakan bersama gadis ningrat itu? Kau bukan seorang bangsawan, kan? Pengiringnya?"

"Aku bukan pengiringnya."

Karena Saito berkata dengan sikap agak kesal, Jessica tertawa sepuasnya dan mencengkram tangan Saito.

"A-apa?"

"Apa kau ingin aku mengajarimu soal wanita?"

"Apa?"

Langsung mematung, Saito menatap Jessica tanpa berkedip. Gadis bar ini yang tahu agak baik soal bagaimana menggunakan pesonanya tak melewatkan perubahan tiba-tiba Saito.

"Tapi, sebagai balasannya, ceritakan padaku yang sebenarnya, OK? Tentang apa yang kalian berdua rencanakan..."

Jessica mengambil tangan Saito yang dicengkramnya dan membawanya pada belahannya. Saito lumpuh. Bersama seorang gadis dari bar. Bukankah ini juga cara yang bagus untuk mengumpulkan info? Segala macam pelanggan mengunjungi bar. Isu-isu juga terkumpul disini. Orang-orang yang merencanakan sesuatu mungkin menurunkan kewaspadaan pada gadis-gadis dan menceritakan rahasia mereka.

Membuat Jessica sebagai teman disini mungkin akan menjadi nilai tambah untuk kegiatan ini dari sekarang. Berpikir begitu, tepat saat dia rasa kulit yang hangat mencapai jarinya...Pintu kamar Jessica diterbangkan. Saito bangkit. Louise, gemetaran sambil mengenakan camisole putih murninya, berdiri disana. "Apa yang kau lakuakn?"

Saito melihat tangannya dan menariknya kembali sembari panik. "Pe-pengumpulan info."

"Info siapa dan dimana yang kau kumpulkan?"

Selama Saito panik, Louise berjalan cepat-cepat kedalam kamar dan menendang bagian bawah Saito dari depan. Saito bergulingan. Dicengkram pada mata kaki, saat dia hendak diseret pergi...

Jessica memanggil dan menghentikan Louise. "Tunggu sebentra, Louise."

"Apa?"

"Apa yang terjadi dengan melayani pelanggan? Bukankah kau tengah bekerja?"

Dipanggil dengan sikap biasa oleh seorang gadis kota biasa, Louise mulai berguncang, tapi itu tak bisa dicegah sekarang.

'Tutup mulutmu! Setelah aku mendisiplinkan Fa-fa...kakak tolol ini, Aku akans egra kembali!"

Saito telah menjadi saudara Louise disini.

"Apa kau punya begitu banyak waktu luang? Meski kau bahkan tak bisa mendapatkan satu tip dengan baik..."

"I-itu tak ada hubungannya."

"Itu sangat berhubungan. Ini karena aku dibebani urusan soal para gadis. Gadis sepertimu adalah pengganggu. kau membuat marah pelanggan setia, tak menerima perintah, melempar gelas kemana-mana, dan mengajak tengkar."

Louise mulai terlihat tak senang.

"Yah, aku rasa itu tak bisa diubah, Bocah sepertimu tak bisa bekerja sebagai peri bar." kata Jessica bosan.

"Aku bukan seorang bocah. Aku 16."

"Eh? Kau seumuran denganku?"

Jessica memandang Lousie dengan terkejut yang tak dibuat-buat. Lalu dia melihat dada Louise lalu miliknya sendiri. Lalu dia menutup mulutnya setelah membuat sebuah suara tawa cepat.

"Semoga beruntung kalau begitu. Meski aku tak mengharapkan apa-apa. tapi jika kau mengacaukan lebih jauh, kau dipecat, mengerti/"

Louise menderik pada sikap Jessica. "A-apa...Wanita bodoh dengan dada besar mereka...memanggil orang bocah, atau seorang anak, atau seorang lemah..."

Saito, masih di lantai, menyela. "Tidak, tiada yang berkata lemah..."

Louise menginjak-injak rata wajah itu. Saito mengerang dan terdiam.

"Aku akan mengumpulkan tips yang cukup untuk membanguns ebuah benteng."

"Eh~, benarkah? Aku benar-benar bahagia!"

"Karena jika aku melakukan sebaik yang kubisa, aku luar biasa. Para pria itu bakal berbalik padaku."

"Kau mengatakannya, huh?"

"Aku mengatakannya. Siapa yang bakal kalah pada orang sepertimu?" kata Lousie sambil menatap benci dada Jessica. Si anjing tolol melihat padanya. Si anjing tolol menggosokkan tangannya disana!

"Pas sekali waktunya. Ada lomba tip minggu nanti."

"Lomba tip?"

"Ya benar. Ini lomba dimana para gadis toko bersaing untuk melihat seberapa banyak tip yang bisa mereka dapat. Ada juga sebuah hadiah yang disiapkan bagi pemenang."

"Bukankah itu terdengar menarik?"

"Berusahalah sebaikmu. Jika kau mengalahkanku dalam lomba tip itu, aku takkan pernah memanggilmu bocah lagi."

Bagian 3[edit]

"Para peri! Akhirnya, minggu yang dinanti-nanti tiba!"

"Ya, Mi mademoiselle!"

"Mari kita mulai lomba tip dengan penuh antusias!"

Sorakan dan sambutan menggema seisi toko.

"Sekarang, sebagaimana yang diketahui semua...Pendirian penginapa "Peri-Peri Memesona" ini terjadi 400 tahun lalu, selama masa Yang Mulia, Henry III, dikenal sebagai Raja Atraksi Tristain. Yang Mulia Henry III, dikenal sebagai lelaki tampan tiada tanding, disebut-sebut sebagai jelmaan seorang peri."

Scarron mulai berbicara dalam sikap menyelami cerita. "Suatu hari, raja itu mengunjungi kota secara diam-diam. Dan, anehnya, dia menginjakkan kakinya di bar yang belum dibuka ini. Pada saat itu, nama toko ini adalah 'Kasur Belut', yang tak punya sedikitpun daya tarik atau apapun. Disana, sang raja, Luar biasa! Jatuh cinta dengan seorang gadis pelayan yang ditemuainya disana!"

Lalu Scarron menggelengkan kepalanya sedih. "tapi seorang raja tak seharusnya jatuh cinta dengan seorang gadis dari bar...Pada akhirnya, sang raja menyerah dari cinta ini. Lalu...sang raja menyiapkan sebuah bustier dan mengirimnya pada si gadis sebagai pengingat cinta mereka. Leluhurku sangat terkesan dnegan cinta itu dan mengubah nama toko, mendasarkannya pada bustier tersebut. Oh, cerita nan indah..."

"Cerita yang sangat indah! Mi Mademoiselle!"

"Inilah bustier 'Peri-Peri Memesona'!"

Dengan tegas, Scarron melepaskan garmen luar dan celananya, Kali ini, Saito, yang menonton dari jauh, ber'Ouue' dan muntah. Ini karena Scarron memakan bustier hitam pendek nan seksi yang memuat tubuh Scarron secara sempurna.

"Bustier 'Peri-Peri Memesona' yang dikirimlan raja pada gadis yang dicintainya 400 tahun lalu adalah pusaka keluargaku! Bustier ini memiliki sihir yang membuatnya dapat merubah ukuran sesuai ukuran pemakainya dan juga sihir "Daya tarik" terpasanga padanya."

"Ini luar biasa! Mi Mademoiselle!"

"Nnnn~! Très bien!" Scarron berpose dengan suara bergairah.

Saat itu...Anehnya, perasaan "ini tak terlalu buruk" bangkit dalam diri Saito. Keinginan baik terhadap Scarron...perasaan seperti itu. Meski penampilannya menjijikkan, bukankah ini baik dalam caranya sendiri? mulai dirasa Saito...Saito lalu menyadarinya. Ini adalah identitas dari sihir "Daya tarik"! Tapi penampilan Scarron terlalu minus, jadi efeknya hanya bisa sampai "Ini pas...begitulah".

Oh begitu. Karena pemakainya Scarron, aku hanya berpikir sampai segitu. Jika seorang gadis biasa memakainya...Aku mungkin melihatnya sebagai si cantik tiada tanding. Sihir benar-benar menakutkan, angguk Saito.

Sambil tetap berpose, Scarron melanjutkan pidatonya. "Peri yang memenangkan lomba tip yang dimulai minggu ini akan diberikan hak memakai bustier 'Peri-Peri Memesona' selama sehari! Ya ampun! Aku membayangkan berapa besar sih tip yang bakal didapat pada hari dia memakainya! Aku jadi bersemangat hanya dengan memikirkannya! Dan karena itulah semuanya harus berusaha sebaik-baiknya!"

"Ya! Mi Mademoiselle!"

"Bagus sekali! Baiklah, semuanya! Pegang gelas kalian!"

Para gadis mengangkat gelas mereka seketika.

"Untuk kesuksesan lomba tip dan bisnis, kesejahteraan dan..."

Disitu, Scarron memotong kalimatnya dan berdiri tegak dnegan wajah serius setelah membersihkan tenggorokannya. Setelahnya, tidak dalam bahasa femininnya yang biasa, tapi dengan suara pria berusia setengah baya, dia berkata, "Sebuah doa pada Kesehatan Yang Mulia Ratu. Bersorak."

Dan mengangkat gelas anggurnya.


Sekarang, lomba tip dimulai seperti ini, tapi...

Karena dia berpikir dengan keadaan seperti ini, dia takkan mendapatkan tip berapapun, Louise memutuskan untuk berhenti berbicara. Louise menyadari dia bakal membuat pelanggan marah kapapnpun dia buka mulut. Itulah mengpa dia memutuskan diam sebisa mungkin. Dengan begitu, dia menuangkan anggur untuk seorang pelanggan tertentu saat dia berbicara pada Louise. Sukses. Ini kesempatan untuk mendapatkan tip.

"Hei, kau, sebentar. Tunjukkan tanganmu."

Louise mengulurkan tangannya. "Aku mengerjakan ramalan, jadi aku akan meramalmu."

Pelanggan itu memandangi telapak tangan Louise dan berkata begini. "Berdasarkan ramalanku, kau...dilahirkan sebagai penumbuk tepung. Apa aku benar?"

Berani-beraninya kau membandingkan penumbuk tepung dengan seorang ningrat sepertiku, keterlaluan.

Pria itu meramal lebih lanjut. "Oh! Kau seperti itu kan? Punya seseorang yang kau suka?"

Dia memikirkan wajah familiarnya. Dia tak bisa memaafkan dirinya sendiri karena berfikir begitu. Aku tak punya satupun. Louise menggelengkan kepalanya.

"Tidak? kau punya, kan?! Maka aku akan meramal kecocokanmu dnegannya...Wah! Aku terkejut!"

Pria itu dengan sedih menggelengkan kepalanya. "Terburuk."

Aku tahu itu bahkan bila kau tak memberitahuku. Aku tahu itu terlalu baik. Lagipula, pertama-tama, aku juga tak suka dia...Tersinggung, Louise memberikan terima kasihnya atas ramalan itu dengan kakinya, Bagi Louise, orang berupa lawan jenis yang terdekat adalah Saito. Kebiasaannya memperlakukan Saito tak sengaja keluar. Kebiasaan itu menakutkan.

"A-ada apa denganmu?! Kau bocah!"

Aku bukan seorang bocah. aku 16. Dia ingin merespon, tapid engantegas tetap diam. Aku memutuskan untuk dia beberapa saat yang lalu, kan?

"Katakan sesuatu, kau bau kencur!"

Aku hanya lambat tumbuh. Kejam sekali perkataanmu...Berpikir untuk mengatakan baik-baik soal umurnya pada pelanggan, Louise menendang wajah pelanggan itu 16 kali. Tamunya langsung rata. Yah, selalu saja begini, jadi Louise tak mendapat tip berapapun hari itu.

Louise ngeri karena sebagai hasil mencoba diam, jumlah telapak kakinya terbang meningkat sebagai ganti bahasa kasarnya. Sepertinya perasaan yang tak bisa diungkapkan keras-keras malah dikatakan telapak kakinya. Pagi berikutnya, Louise berdiskusi dengan Saito tentang apa yang harusdilakukan. Saito mengusulkan, untuk mencegah telapak kakinya kemana-mana, Louise seharusnya melepas celana dalamnya dan bekerja, dan dia dihantam.


Hari kedua.

Louise sangat hati-hati agar tak membiarkan kakinya terbang.

Untuk membuatnya tersenyum tak peduli apa kata orang, dia menempatkan kawat di mulutnya dan membuat wajahnya tersenyum. Pelayan Louise yang siap sempurna tak pernah berhenti tersenyum. Tapi...Dia tak pernah menerima tip. Dia menahan dan menjaga ujung kakinya terbang, dan dia menahan senyumnya. Tapi kemudian...

Wow, masalahnya datang dari tangannya. Seorang pelanggan tertarik pada Louise yang melayani. Sepertinya dia menyukai wajahnya. "Oh, kau, agak manis, ya? Tuang untukku."

Pria itu puas dnegan wajah Louise, tapi kemudian dia menyadari suatu kesalahan nan pasti. Dada Louise. Apa ini. Datar smpurna. Tanpa sadar, kata-kata godaan keluar.

"Ada apa denganmu? Jangan katakan kau seorang lelaki? Yah, toh wajahmu mendinganlah...Dengarkan, biarkan aku mengajarimu sebuah muslihat. Setidaknya sumpal beberapa kain dan semacamnya disitu. Jika kau melakukannya, kau akan jadi yang pertma disini! Gahaha! Sekarang tuang beberapa untukku."

Dengan kata-kata pria itu, otot wajah Louise mulai berdenyut-denyut, tapi senyumnya tetap muncul berkata kawatnya. Disini, seharusnya semuanya berjalan baik berkat kawat itu... Tapi tidak begitu yang kejadian....Louise telah menuangkan anggur pada kepala pria itu.

"Apaan sih kau?!"

Pria itu bangkit. Louise, merasakan bahayapada tubuhnya, menghantamkan botol anggur pada kepalanya. Pria itu runtuh ke lantai sehingga Louise tak harus menuang untuknya lagi, tapi dia tak mendapatkan tip berapapun. Seperti ini, Louise terkejut bahwa tiapkali seseorang menghina ukuran dadanya, tanganya bergerak sendiri dan membuat kepala pelanggan meminum anggur.

Pagi berikutnya, Louise berdiskusi dengan Saito. Saito mengusulkan, bahwa untuk menjaga dirinya dari membuat kepala pelanggan meminum anggur, dia seharusnya menaruh botol angur diantara dadanya dan menuang. Botol anggur takkan secara fisik mencapai kepala pelanggan jika tangannya berada pada dadanya. Apalagi, pose ini sangat menyenangkan bagi pelanggan.

Tapi Louise, berfikir bahwa dia mengatakan seseuatu yang buruk soal ukuran dadanya, dan memukul Saito.


Hari ketiga.

Louise berhati-hati untuk menjaga tangannya dari bergerak. Setelah dia menaruh anggur di atas meja, dia menaruh tangannya dibelakang dan tersenyum cerah. Bahkan saat dia disuruh untuk menuangkan sesuatu, yang dilakukannya hanyalah tersenyum.

"Tuangkan aku sebagian."

Dia tersenyum cerah.

"Aku bilang tuangkan aku sebagian!"

Dia tersenyum cerah.

"Ada apa denganmu?!"

Tak mungkin baginya mendapatkan tip satupun. Saat dia berdiskusi dengan Saito, dia bilang untuk memegangnya di mulut saat Louise menuangkannya. mulut Louise kecil. Sebuah botol anggur tak muat disitu. kalau dilihat lebih dekat, Saito terlihat dia mengantuk. Hanya karena kau mengantuk tak berarti kau bisa berkata serampangan. Dan Louise menghantam Saito.


Hari keempat.

Lomba sudah setengah jalan. Jumlah tip sampai saat ini adalah nol. Sebagaimana diduga, Louise mulai putus asa. Louise melayani sambil berhati-hati pada telapak kakinya, posisi dia menuangkan anggur, dan kata-katanya,

"Kau tampak tak ahli, tapi anehnya sikapmu anggun, kau bisa mendapatkan ini."

Mungkin karena usahanya, Louise mendapatkan sebuah koin emas dari seseorang yang tampaknya adalah pelanggan bangsawan pertama yang dilayaninya.

"Be-benarkah? Bisakah aku memiliki ini?"

"Aah, Ambil saja."

"Waai!"

Melompat tinggi saking bahagianya, dia membalikkan sebuah piring dan menumpahkan makanan ke baju pelanggan.

"A-aku minta maaf..." Louise minta maaf, tapi pelanggan ningrat itu tak bisa memaafkannya.

"Kau...Baju ini adalah pertama dari sutra yang gajimu takkan pernah bisa membayarnya, Apa yang akan kau lakukan tentangnya?"

"Aku benar-benar minta maaf...Auu..."

"Baiklah, apa yang bakal kau lakukan untuk ini?"

"A-aku akan membayar untuk itu..."

"Hmph, klo gitu, mari kita lakukan ini. Kau harus mebayar ini dengan sesuatu yang bisa kau lakukan."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Tak seberapa, hanya datang ke kamarku pada tengah malam."

"Terus...?"

"Kau akan mengerti apa yang akan terjadi setelahnya, kan? Kau bukan seorang bocah, kan? Seorang bocah."

"A-apa maksudnya?"

"Maksudku kau harus membayar agak banyak dengan tubuhmu. Itulah maksudku. Muhoho!"

Darah naik ke kepala Louise. E. e-e, meski kau seorang ningrat, apaan ini! Putri ketiga dari keluarga duke menjadi marah. Jangan menempatkan para ningrat dekat keasusilaan. Sebagai wakil Yang Mulia, aku harus memutus dan menghukum noda hitam keningratan ini.

"Kau memalukan! Karena orang-orang sepertimu ada! Ototritas Kerajaan! Ototritas! dan juga otoritasku!"

"A-apa yang kau lakukan? Uwah! Hentikan! Hentikan, kataku!"

Kakinya, ucapannya, dan anggur, semuanya terbang seketika.

"Kukembalikan ini padamu!"

Dia melemparkan tip yang didapatnya pada wajah si pelanggan. Louise dipanggil Scarron dan disuruh untuk mencuci piring seharian besok sebagai hukuman. Louise sangat kesal dan memutuskan untuk memukul Saito.


Hari kelima...Saat Louise tengah mencuci piring bersama Saito, Jessica mendatangi mereka.

"Bagaimana kabarmu? Ojou-sama, aku telah mengumpulkan 120 écus sejauh ini."

"Bukankah itu luar biasa?" jawab Louise pundung.

"Kau takkan mendapatkan tip apapun sambilo mencuci piring."

"Kutahu itu." kata Louise sambil mencucui piring sekenanya.

"Sheesh. Kau bahkan tak bisa mencucui sebuah piring dengan benar?"

"...Aku mencuci piring dengan benar, kau tahu."

"Lihat, ini masih ada minyak tersisa. Kau tak bisa menyebut ini tercuci."

Jessica mengambil piring dari Louise dan mencucuinya dalam gerakan tangan nan cepat. Louise menontonnya, merasa tersinggung.

"Hei."Jessica menatap Louise.

"Apa?"

"Seseorang mengajarimu. Apaan sikap itu?"

"...Uu..."

Saito menonton keduanya bertukar pandang dengan wajah terkejut.

"Saat seseoran mengajarimu seseuatu, kau mengucap 'terima kasih' kan? Ini dasar, dasar."

"Te-terima kasih."

"Ya ampun, adalah karena kau berwajah seperti itu kau tak mendapat tip apapun. Esok hari terakhir, ya kan? Berbenahlah, Ojou-sama."Meninggalkan ucapan itu, Jessica menghilang, kembali ke bar. Louise menggantung kepalanya merasa terhina.


Begitu hari menuju pagi...Louise, setelah mencuci piring sepanjang malam, melihat tangannya sendiri dan mendesah. Jari-jari Louise yang tak pernah mencuci apapun sebelumnya menjadi merah terang karena kerja dapur yang dia tak terbiasa dan sakit berkat air dingin dan sabun.

Mengapa aku harus melakukan sesuatu seperti ini? pikirnya. Meski dia sendiri adalah seorang ningrat, dia harus mencuci piring...Mendapati dirinya melayani semua jelata itu...Tambahan lagi, seorang gadis bar berbicara kurang ajar padaku...

"Tak lagi." gumam Louise. Apa itu mengumpulkan info atau apapun, ini bukanlah tugasku, Aku seorang legenda, Aku pengguna Void, kau tahu. Namun mengapa aku harus menjadi pelayan di sebuah bar? Bukankah, misalnya, sebuah misi yang lebih bergengsi tengah menunggu aku?

Berpikir seperti itu, air mata mulai berjatuhan karena sedih. Membuka sebuah papan lantai, Saito menyembulkan kepalanya dari tangga sehingga Louise merangkak meuju kasur. Dia tak ingin Saito melihatnya menangis.

"Ini ada makanan." Saito memanggil Louise, menaruh sebuah piring berisi rebusan di meja.Tapi Louise hanya menjawab lelah dari dalam kasur. "aku tak memerlukannya."

"Tak mungkin kau tak memerlukannya. kau takkan bertahan bila kau tak makan."

"Ia tak enak."

'Meski kau berkata ini tak enak, tiada lagi yang bisa dimakan jadi tak bisa diapa-apakan."

Meski begitu, Louise menyelimuti dirinyadan tak keluar dari kasur. Saito menghampiri tempat tidur dan menarik lepas selimutnya. Louise tengah meringkuk dalam futon denga piyamanya.

"Makanlah. Badanmu akan roboh."

"Tanganku sakit. Aku tak bisa memegang sendok."

Louise mengeluh seperti anak kecil. Melihat ini tiada gunanya, Saito menyendok rebusan dan membawanya ke mulut Louise.

"Kalau begitu, sini, aku akan menyuapmu. Makanlah. ya?"

Louise akhirnya menelannya, Airmata bercucuran dari matanya. "Aku tak menginginkan ini lagi. Aku aka kembali ke akademi."

"Bagaimana dengan tugasnya?"

"Tak peduli, Ini bukan tugasku."

Saito menarik balik sendok dan menatap Louise. "Kau tahu."

"Apa?"

"Apa kau mempunyai motivasi meski sedikit?"\

"Aku punya."

"Putri-sama mempercayakanmu pekerjaan ini karena dia percaya padamu, kan? Bercampur dengan para jelata dan mengumpulkan info. Karena jika dia memakai seseorang dari senat kerajaan, dia akan ditolak...Dia tak bisa bergantung pada siapapun jadi dia bergantung padamu, kan?"

"Itu benar."

"Dan lihat dirimu sekarang. Kehilangan seluruh uang kita di arena judi karena kau tersinggung, dan kau seret harga diri ningratmu kesini dan tak dapat tip satupun. Kau juga membuat pelanggan marah. tak dekat sama sekali dengan pengumpulan info."

"Tutup mulutlah kau. Tapi apa hubungannya tugas itu dnegan melayani dan mencucui piring bodoh itu? Aku ingin tugas yang lebih besar. Tiada lagi dari ini. Mengapa seorang ningrat sepertiku..."

Saito mencengkram bahu Louise dan membuat Louise menghadapnya.

"Apa?!"

"Tebak apa, Ojou-sama? Semuanya kerja. Mereka berusaha sebaik mereka di pekerjaan ini yang kau bilang bodoh dan makan makanan ini. Hanya kalian para ningrat yang bermain kesana-kemari dan membuat orang-orang menyuap kalian." kata Saito dengan nada serius. Louise, karena takutnya, menunduk tanpa pikir panjang.

"Aku tak bisa mengatakan banyak omomgkosong karena aku dibesarkan mirip denganmu, tapi setelah datang kesini, aku menderita dalam banyak cara dan mengerti. Bahwa adalah agak bermasalah hanya untuk hidup."

Entah mengapa tak bisa membalas, Louise tetap diam. Sato melanjutkan kata-katanya. "Aku tak terlalu mengerti, tapi mungkin orang-orang begitu yang sibuk dengan harga diri bodoh mereka tak bisa melakukan pekerjaan besar? Yah, aku berpikir begitu sih. Ya...jika kau menyuruhku berhenti, aku berhenti. Aku tak peduli juga sih. Karena ini memang bukan pekerjaanku."

Louise menutup mulutnya, terdiam.

"Kau tak lagi menginginkannya?" tanya Saito sambil mengulurkan sendok, Louise melompat dari kasur, mengambil sendok dari Saito, dan mulai menghabiskan rebusan. Saito mengembangkan tangannya, memutar kepalanya, dan mengambil sesuatu. Ia sebuah kotak keramik kecil.

"...Apa itu?"

"Krim yang bekerja pada kulit yang tergerus air, Jessica memberikannya padaku."

Saito kemudian menyuruh Louise untuk menjulurkan tangannya. Louise melakukannya dengan patuh. Louise melihat muka Saito rasa bersalah selama dia mengoleskan krimnya, tapi...sesaat kemudian dia bergumam dengan nada kecil. "Hei..."

"Apa?"

"Aku akan melayani, Aku akan mencuci piring. Apa itu OK?"

"Ya, itu OK." kata Saito dengan nada lega.

"Tapi apa kau tak apa-apa?"

"Soal apa?"

"Apa ini OK?"

Pipi Louise memerah dan berkata dengan nada tak senang. "Melayani sih OK. Aku bahkan akan mengatakan kata-kata anggun. Tapi..."

"Tapi apa?"

"A-apa tak apa-apa jika para pelanggan menyentuh-nyentuh tuanmu?"

Saito langsung terdiam tak mampu berkata apa-apa.

"Hei. Bagaimana dnegan itu? Jangan berkata hal-hal yang memeningkan diri sendiri dan jawablah dengan baik jika ia baik atau borok."

Saito mulai memakan rebusan dengan diam.

"Aku bilang hei. Yang mana? katakan." Tanya Louise sambil menarik telinga Saito.

Melihat terengah-engah pada rebusan, Saito bergumam "...Ji-jika kau memperbolehkan sentuhan semacam itu, aku akan menampar mereka."

"Siapa yang bakal kau tampar?"

"...Kau."

Louise menatap tajam kedalam mata Saito. "Mengapa? Si tuan ini bakal ditampar familiarnya, coba jelaskan alasannya."

Hening menyapa...Sambil membuang muka ke samping, Saito berucap tak jelas "Meski A-aku akan memaafkan pegangan tangan."

"Apaan itu?"

Louise menerbangkan Saito. "Apaan tuh 'Aku akan memaafkan berpegangan'?! Aku menyaimu alasan menampurku! Tolol!"

"Ka-karena..."

"Lagipula, apa maksudmu 'memaafkan? Berakting begitu bangga. Soal aku berpegangan tangan atau lainnya tak diputuskan olehmu. Itu semua oleh aku, aku! Hmph!"

Louise menyisir rambut pink blondenya dan memasang sikap tegas. Dia melipat lengannya. "Baiklah. Bukankah itu Bustier 'Peri-peri memesona'? Aku akan memakainya dan membuat seluruh peanggan terpesona. yah, demi tip. Aku akan memaafkan. Tak hanya tanganku..."

Saito bangkit loncat dan berteriak pada Louise. "Jangan bercanda!"

Louise membuang muka dan mernagkak kembali ke kasur. Beberapa saat setelahnya, Saito berhasil menguasai diri dan menggelengkan kepalanya. "Yah, bustier 'Peri-Peri Memesona' itu mustahil. itu hadiah pemenang. Kini, kau mungkin yang terakhir dalam lomba tip."

Louise tak menjawab.

Menjadi khawatir, Saito bertanya "...Apa kau benar-benar akan memaafkan mereka? Mengenyampingkan kemenangan lomba tip, apa kau benar-benar sudah teguh? Bukankah itu sedikit keterlaluan? Ayolah."

Louise tak membalas.

"Hei, apa kau benar-benar akan melakukannya?"

Dengan suara yang hampir menangis, Saito terus menanyai Louise. Tapi, Louise berteriak "Diamlah! Aku hendak tidur!"...dan Saito dengan berat hati merangkak kedalam kasur.

Bagian 4[edit]

Hari terakhir lomba tips telah datang. Pada sorenya, Scarron mengumumkan hasil sejauh ini. "Kini aku akan mengumumkan tiga teratas terkini! Pertama adalah tempat ketiga! Marlene-chan! 84 écus, 52 sous, dan 6 deniers!"

Sambutan bergema. Gadis blonde bernama Marlene membungkuk dengan anggunnya.

"Kedua! Jeanne-chan! 96 écus, 65 sous, dan 3 deniers!"

Sambutan bergema lagi. Gadis berambut chestnut bernama Jeanne tersenyum dan mengangguk.

"Kemudian...Yang pertama!"

Scarron pelan-pelan meninjau seluruh gadis dan mengangguk berulang-ulang. "Tanpa tanding, putriku! Jessica! 160 écus, 70 sous, and 8 deniers!"

"Waaaahhhh!" Begitu sorakan kegembiraan membahana. Jessica, yang memakai pakaian yang menggoda dengan celah besar yang disiapkan untuk hari ini, membungkuk.

"Sekarang! Entah kau menangis atau tertawa, hari ini adalah hari terakhir! Tapi hari ini adalah hari daeg dari minggu teuz! Karena ini akhir bulan, banyak pelanggan bakal datang! Jika kau berusaha keras, kau mungkin dapat banyak tip. Tempat teratas masih berada dalam jangkauan!"

"Ya! Mi mademoiselle!:

Saito mencolek Louise yang berwajah serius. Louise menampakkan wajah semacam itu bia dia berkeinginginan keras untuk sesuatu. "Berapa yang kau punya?"

Tanpa menjawab, Louise membuka kepalannya yang erat. Disana...ada beberapa koin tembaga yang berkilauan. Saito mengelus dada. Dengan itu, kemenangan mustahil bahkan jika Louise berusaha sekeras-kerasnya. Kata-kata Louise "Jika aku mendapatkan Bustier 'Peri-Peri Memesona;, aku akan membuat pelanggan terpesona dan memaafkan apapun" masih mengganggunya hingga kini.

Apaan tuh "Memaafkan semuanya"?!" Apa maksudmu?! Meski, a...aku belum melakukan apapun! Meski bukan berarti aku punya hak untuk itu. Tapi tak begitu juga sih. Ah, apalah aku ini, hanya seorang familiar belaka.

'Aku ingin dia berusaha sebaik-baiknya, tapi tidak hingga tingkat itu' adalah jenis emosi yang berlarian di pikiran Saito.

Scarron berteriak dengan sebuah suara keras. "Maka, ayo lakukan ini dengan penuh semangat!"

Sorakan membahana dengan seluruh macam perasaan bergema mengisi toko. ___________

Kemudian sekarang....Louise sedikit berbeda hari ini. Dia melepas kawat yang menahan senyumnya dan menampakkan sebuah senyum alami. Dia akan tersenyum cerah lalu menyentuhkan jari dengan gelisah sambil malu-malu. Dengan begitu, pelanggan akan bertanya, "Apa ada sesuatu yang salah?"

Louise akan memainkan jempolnya dan terus gelisah. Dan lalu, seakan mengatakan sesuatu yang sulit diucapkan, Dia akan berusaha dan mengucapkan "Ya..., Pelanggan, karena kau sangat luar biasa...".

Tapi si pelanggan sendiri tampak sudah terbiasa dengan tingkat pujian segitu. Tanpa bergerak, dia mengacungkan gelas anggurnya. Disini, Louise akan melepaskan gerakan pamungkasnya. Memegang ujung hem camisolenya, dia membungkuk dengan anggun. Persis seperti yang diharapkan dari keluarga duke. Bungkukan ini, yang dilakukan sekaan berada de depan raja, berisi ruh seorang ningrat. Tiada gadis lain yang bisa meniru sikap ini.

Dengan itu, si pelanggan akan menjadi tertarik pada latar Louise. Oh begitu. Bila aku melihat lebih jelas, ciri-cirinya agak mirip dengan seorang ningrat. "Kau lahir dari kelas atas, kan?"

Meski begitu, Louise tak berhenti menunjukkan malu-malunya. Lalu dengan penuh kesedihan dan penuh kenangan, dia menerawang keluar. Pria itu menjadi semakin terpikat pada kelakuan Louise yang anggun. Sambil membungkukkan dirinya kedepan, dia menyuarakan harapannya. "Apa kau melayani rumah ningrat tertentu? Mereka mengajarimu etika luhur disana, kan?

Louise terus terenyum cerah. Angan-angan si pelanggan membumbung tinggi seiring dengan kesenangannya.

"Jika seorang gadis manis dan pendiam sepertimu melayani mereka, mungkin akhirnya tak disitu saja. Tak hanya etika, tapi juga begini dan begitu...juga dipaksakan masuk padamu, kan?"

Louise memberikan bungkukan anggun. Senjata Louise hanyalah senyum dan bungkukannya itu.

"Kuh! Cerita yang menyedihkan! Seorang gadis manis sepertimu...Tapi bagaimana seorang pelayan sepertimu datang untuk bekerja di toko ini...Oh begitu! Aku tahu! Kau tak tahan dengan tuanmu yang memaksa membuatmu mengerjakan begini dan begitu, lalu kau kabur dari kediamannya, kan? tapi utang yang ditinggalkan ortumu tetap ada. Untuk melunasinya, kau bekerja sekuat tenaga. Seperti itu, kan?!"

Louise tersenyum sambil memandangi pelanggan. Dipandangi oleh mata Louise yang coklat merah bagaikan permata, si pelanggan, seakan tersihir mantra, ingin melonggarkan tali dompetnya.

"Kasihan anak ini. Hmm, gunakan ini untuk melunasi hutangmu. Ngomong-ngomong, yah, hal-hal semacam ini dan itu...itu apa ya? Tolong ceritakan padaku, OK?"

Si pelanggan, yang tengah terbang dalam khayalannya sendiri karena sikap Louise, akan memberikan Louise koin emas dan perak. Tepat saat dia mendapatkannya, dia berlari secepat-cepatnya ke dapur, berjongkok, dan melepaskan napas terburu-buru. Memaksakan dirinya bersikap anggun dan bertingkah yang menarik simpati orang bagai leprosy, jadi Louise memutuskan memukul Saito, yang tengah mencuci piring, untuk sekarang. Dengan begitu, dia merasa sedikit tersegarkan. Lalu dia buru-buru kembali ke meja.

Setelahnya, ini waktunya ber"tugas". Itu mengumpulkan info yang dipercayakan padanya oleh Putri-sama. Dia tak ingin kalah di lomba tip, tapi tugas ini lebih penting. Duduk disamping si pelanggan, dia bertanya, "Ya ampun, mereka mengatakan ini sebuah perang. Kau akan lelah oleh ini..."

"Ya, begitulah. Mereka mengangkatnya sebagai "wanita suci", tapi bagaimana dengan pemerintahan!"

"Apa maksudnya itu?"

"Aku mengatakan putri yang abai itu tak bisa memerintah negara ini!"

Dia menghina Henrietta, tapi Louise dengan sekuat tenaga menahannya. Dia harus mendengar semua jenis cerita darinya.

"Seperti Pertempuran Tarbes...sepertinya kita menag karena beruntung! Aku tak terlalu yakin tentang yang selanjutnya!"

"Begitukah...?"

Dengan seperti itu, Louise perlahan mengumpulkan isu-siu di kota. para pemabuk suka berdiskusi soal keadaan dunia. Saat Louise mengangkar hal untuk menarik mereka, mereka akan mulai mengritisi pemerintahan seakan mereka menunggu Louise bertanya. Para pemabuk akan ngobrol soal pemerintahan seakan mereka menteri kabinet.

"Lagipula, akan lebih baik bagi negeri ini bila Albion yang memerintah kita, kan?"

Jika opini yang begitu kelewatan keluar,

"Aku mengatakan kita seharusnya cepat-cepat dan menyerang Albion!" sebuah opini nan berani bakal menyembul.

Seseorang berkata, "Ada isu bahwa tentara akan diperkuat! Pajak-pajak akan ditingkatkan lagi! mereka pasti bercanda!"

lalu. "Bisakah tentara yangs ekarang melindungi negara ini? Kuberharap mereka cepat-cepat dan mengatur armada!" sebuah opini yang sangat bertolak belakang terangkat.

Bagaimanapun juga...disambung-sambungkan, keterkenalan henrietta dari mengalahkan Albion di pertempuran tarbes mulai menurun.

'Perang tetap belum beres...Sepertinya depresi akan berlanjut. Henrietta masih muda. Bisakah dia membimbing negara ini dengan baik dari sekarang?' adalah ketegangan yang dirasakan semuanya. Mungkin ini cerita nan menyakitkan bagi Henrietta, tapi aku harus melaporkan yang sebenarnya padanya...pikir Louise. Seperti itu, Louise mulai mengumpulkan tip dan info tapi...Pengumpulan tip Jessica begitu tak tertandingi.

Bagaimanapun juga, Jessica ahli dalam membuat para pelanggan berpikir "Dia telah jatuh cinta padaku." Louise mulai mengamati bagaimana Jessica melakukannya, jika kau tak tahu musuhmu, kau tak bisa memenangkan pertarungannya. Jessica pertama-tama bersikap dingin pada pelanggan sasarannya.

Dia menaruh makanan didepan pelanggan sambil terlihat marah. si pelanggan terkejut dengan sikap itu. "hei, apaan ini, Jessica? Apa hatimu sedang tak enak?"

Jessica menatap tajam pelanggan dengan mata dingin. "Tadi kau bicara kepada siapa?"

Entah kau menyebutnya keahlian atau yang lainnya, keiriannya sangat dewa. Bagaimanapun juga, kelihatannya dia benar-benar iri. Pada saat itu, si pelanggan salah mengerti bahwa dia tengah jatuh cinta padanya dan kini sangat iri.

"A-apa...tersenyumlah."

"Bukan apa-apa...Kau suka gadis itu, kan?"

"Bodoh! Yang paling kucintai adalah Kau! Ayolah..." Katanya dan mencoba menyerahkan sebuah tip. tapi Jessica menampik uang itu.

"Bukan uang! Yang kuinginkan adalah kata-kata manis! Apa yang kau katakan sebelumnya...Apa itu dusta belaka? Aku benar-benar serius! Apa?! Aku tak peduli lagi!"

"Tak mungkin itu dusta belaka."

"Ayo cerialah...Kaulah satu-satunya untukku. OK?"

"Kau mengatakan itu pada semua orang. Hanya karena kau sedikit terkenal diantara gadis-gadis..."

Tak peduli bagaimana kau melihatnya, pria itu tak mempunyai wajah yang terkenal. Biasanya, dia takkan percaya pujian semacam itu. Tapi kata-kata sihir tengah keluar dari mulut Jessica. Dengan cara bagaikan dia melakukannya tak sengaja. Pria itu tertipu sempurna.

"Aku tak terkenal! Beneran!"

"Kau benar, Satu-satunya yang akan berpikir untuk mencium bibirmu adalah aku."

"Itu benar...Sangat!"

"Hau... Tapi aku kelelahan."

"Ada apa?"

"Kau tahu, sekarang kami tengah mengadakan lomba bodoh ini yang disebut lomba tip. Aku tak terlalu pedulid engan tip tapi...Aku akan dihardik bila hanya mendapatkan jumlah kecil."

"Jika itu berupa tip, aku akan memberikanmu beberapa."

"Tak apa-apa! Kau memberikanku kata-kata lembut, jadi tak apa-apa! Sebagai gantinya, Aku akan marah bila kau mengatakan hal yang sama pada gadis lainnya, mengerti?"

Lalu dia memandanginya, Dengan begini, pria tersebut kalah telak.

"Hah...Tapi adalah benar-benar melelahkan untuk memberikan pujian demi tip...Karena mengungkapkan perasaanmu secara jujur pada orang yang kau cintai dan pujian berbeda..."

"Aku mengerti. Aku akan memberikanmu ini, jadi jangan pergi menyedot pada orang lain, ya?"

"Aku berkata ini tak apa-apa! Aku tak memerlukannya!"

"Ini perasaanku. Perasaanku."

Pria itu membuat Jessica yang menolak, mengambil tip. "Terima kasih" bisik Jessica malu-malu dan mengenggam tangan pria tersebut. Pria tersebut lalu mencoba membuat janji kencan dengan Jessica. "Kalau begitu, hari ini, saat toko tutup..."

"Ah! Ini tak bagus! Makanan akan hangus..."

Setelah dia mendapatkan apa yang diinginkannya, tiada lagi perlunya dia. Jessica bangkit.

"Ah, hey..."

"Ayo ngobrol lagi nanti! Jangan jelalatan melihat pada gadis lainnya!"

Menghadapkan punggungnya pada pria itu, Jessica menjulurkan lidahnya, Semuanya hanya pura-pura. Setelah Jessica pergo, si pelanggan menghadap teman-temannya dan ber"Iyah, jadi iri seperti itu..."

Louise terkagum-kagum. Teknik yang benar-benar mengerikan dari seorang gadis kota yang membuat Kirche terlihat seperti anak kecil. Kemampuan membujuknya, yang membuat orang-orang membayangkan tak peduli seberapa banyak cara dia menunjukkan keiriannya, membuatnya mapu mengumpulkan tip seakan menyapunya dengan sebuah sapu.

Jessica bukan seorang cantik yang begitu menonjol. Tapi...dia berada di tapal batas yang membuat pria berpikir 'Klo segini sih, mungkin bahkan kupun bisa ." Jenis-jenis gadis seperti ini cenderung lebih terkenal di dunia debandingkan dengan orang-orang yang cantik tiada tanding. Louise, yang tengah mengamati, bertemu mata dengan Jessica. Jessica menyeringai dan menunjukkan Louise dia yang menyimpan tip diantara belahannya.

Mungkin, bahkan jika dia tak berjudi, Saito tetap akan menjadi tak beruang, pikir Louise. Jika gadis kota itu tahu dia punya uang, tiada yang tahu apa yang bakal dilakukannya. Dan familiar bodoh itu...akan digulung dan dijemur dalam sesaat.

Dia memikirkan wajah Siesta, Dia memikirkan wajah Jessica. Dia memikirkan wajah Saito yang melihat pada belahan keduanya. Kayak aku bakal kalah. Louise dengan erat mengepalkan tangannya...membusungkan dada ratanya, dan dengan rusuh bangkit pada kedua kakinya.


Selagi para gadis berlomba untuk jumlah tip seperti itu...

Pintu bulu terbuka, dan sekelompok pelanggan baru muncul. Di depan ada pria setengah baya yang mengenakan sebuah mantel yang berarti dia seorang ningrat. Sepertinya dia menggemuk, dan rambut yang menipis tertempel pada dahi mulusnya. Yang bersamanya sepertinya ningrat dari kelas lebih rendah. Mereka memiliki tongkat sihir mirip rapier tergantung pada pinggang mereka, dan ada beberapa ningrat yang mengenakan seragam militer bersama mereka.

Saat para ningrat masuk, semua yang berada dalam toko hening. Scarron buru-buru ke tamu yang baru sambil menggosok kedua tangannya bersamaan. "Jika ini bukan Chulenne-sama, Selamat datang di penginapan 'Peri-peri memesona'."

Si bangsawan bernama Chulenne membengkokkan kumis mirip lelenya dan membengkokkannya ke belakang. "Hmm, ehem, Toko sepertinya tengah makmur ya, huh, manajer toko?"

"Tidak, tidak. Tak sama sekali. Ini hanya kebetlan saja hari ini. Biasanya, yang terjadi hanyalah suara tekukur. Aku tengah akan segera berdiskusi dengan putriku soal mengunjungi kuil besok untuk mendapatkan permisi untuk menyelamatkan leherku. ya."

"Apa, hari ini bukanlah hari kerja. kau tak harus membuat alasan begitu."

Meminta maaf, Scarron melanjutkan. "itu hanya perkataanku, Chulenne-sama, tapi sebagaimana yang kau lihat, hari ini, toko sudah penuh terisi..."

"Aku tak melihatnya begitu lho."

Saat Chulenne berlebihan seperti itu, para ningrat pengikutnya mengeluarkan tongkat mereka. Para pelanggan, ketakutan oleh ongkat sihir berkilau para bangsawan, bangun dari mabuk mereka, bangkitm dan menghilang dari pintu masuk dengan kecepatan penuh. Toko kosong seketika.

"Sepertinya perkataan soal tekukur benar juga adanya."

Dengan perut yang bergerak-gerak, kelompok Chulenne menduduki meja di tengah. saat Saito menyadarinya, Jessica disampingnya, melihat Chulenne dengan putus asa.

"Siapa orang itu?"

"Chulenne, pengumpul pajak disekitar sini. hanya dengan begini, dia datang ke toko-toko di bawah wewenangnya dan berkerumun di sekitar kami. Seorang yang buruk! Dia takkan membayar satu koin tembaga pun."

"Seperti itukah...?"

"Berlagak seperti itu hanya karena dia seorang ningrat. Jika kau membuatnya tak senang, dia akan membebani pajak berlebihan padamu dan membangkrutkan tokomu, jadi semuanya mendengarkan apa yang dikatakannya."

Sepertinya disetiap dunia, ada orang-orang yang menyalahgunakan kekuatan mereka dan memeras rakyat. Tiada yang datang melayaninya, jadi Chulenne jadi kesal. Setelahnya, dia mulai mengeluh. "Oh! Toko ini tampaknya untung agak besar! Bukankah ini anggur sebuah sake yang difermentasi begitu baik dari Gronyu? pakaian yang dikenakan gadis itu dijahit Gallia! Sepertinya aku harus melihat lagi tingkat pajak tahn ini."

Bangsawan yang mengelilinginya ber"itu benar" atau mengangguk setuju pada Chulenne.

"Apakah tiada gadis yang akan menungakan alkohol pada Pengumpul pajak Yang Mulia Ratu?! Toko ini setidaknya menjual itu, kan?!" teriak Chulenne. Tapi, tiada gadis toko yang menghampirinya.

"Siapa yang akan menuang untukmu, saat kau takkan pernah menyerahkan tip apapun tak peduli sebanyak berapapun kau menyentuh mereka?"

Saat Jessica menggumamkan itu mengejeknya....Sebuah bayangan kecil yang mengenakan camisole putih menghampirinya sambil membawa nampan dengan anggur. Itu Louise. Dia punya banyak kesalahan...salah satunya adalah "tak bisa membaca keadaan". Kepalanya penuh dengan "bekerja keras sebagai pelayan" sehingga dia tak terpikir untuk mengerti suasana diantara para pelanggan dan toko.

"Apa? Siapa kau?"

Chulenne memandang Louise curiga. Tersenyum, Louise meninggalkan anggur di hadapan Chulenne.

"Si-si bodoh itu..." Saito bergumam terkejut sambil memandangnya khawatir.

"Pak...anda melamun."

Bertingkah seakan mengikuti sebuah panduan, Louise, yang tak bisa membaca keadaan, memujinya, Tapi, sepertinya Chulenne tak menemukan Louise sesuai seleranya.

"Apa ini?! Toko ini menggunakan anak-anak?!"

Tanpa bergerak, Louise memegang camisolenya dan membungkuk. Hanya itulah yang bisa dilakukannya.

"Sekarang, Enyahlah, enyahlah. Aku tak perlu anak-anak. Pergilah kau."

Saito melihat dahi Louise mengernyit. Sepertinya dia marah. Saito berdoa. Louise, jangan meledak! Orang itu terlalu berbahaya!

"Oh, dilihat lebih dekat, kau bukanlah seorang anak-anak...hanya seorang gadis dnegan dada kecil."

Wajah Louise memucat. Kakinya mulai bergetar perlahan. Wajah Chulenne mulai terwarnai nafsu. dan lalu...menjulurkan tangannya pada dada kecil Louise.

"Sekarang, bagaimana kalau Chulenne-sama ini memeriksa dan melihat seberapa besar mereka."

Tepat saat itu...Sebuah telapak kaki meledak pada wajah Chulenne. masih di kursi, Chulenne berguling-guling ke belakang.

"Me-mengapa kau!"

Ningrat-ninrat sekeliling menghunus tongkat mereka seketika. Di hadapannya...ada bayangan seorang pemuda yang bahunya berguncang karena amarah.

"Saito."

Louise memandangi punggung Saito, yang bangkit melindunginya. Selama memandangi punggung itu...sesuatu yang hangat mengisi dadanya yang sedang berguncang karena amarah. Sebagaimana diduga, Saito tak bisa menahannya lagi. Louise mencoba sekuat tenaga, kan? Tuanku tak punya dada, tapi dia manis, kan? Louise yang itu mencoba keras memujmu, dan apa yang kau lakukan? Hanya mengeluh!

Yah, mengeluh itu tak apa-apa. Aku juga terkadang berkata-kata. Ini Louise, jadi itu tak bisa dicegah. Tapi...Tapi...Ada satu hal yang tak bisa kumaafkan.

"Hei, orang tua, sudah sajalah."

"Si-sialan kau...ke wajah seorang ningrat, kau..."

"Mau ningrat, pangeran, atau dewa...aku pasti takkan membiarkan mereka melakukannya. Ini hanya khusus untukku. Siapa peduli soal ningrat?! Yang bisa menyentuh Louise hanyalah aku!" teriak Saito.

Tanpa bisa dicegah, pipi Louise bersemu merah. Meski kau hanya seorang familiar, hal-hal congkak apa yang kau katakan?! Kau juga tak punya hak untuk itu! dia coba katakan, tapi...dengan alasan tertentu, kata-kata itu tak keluar. Otaknya mengosong, seakan direbus. Bahkan dengan keadaan seperti itu di sekelilingnya, Louise akhirnya melamun.

"Tahan orang-orang itu! Aku akan menggantung mereka!"

Bawahan Chulenne mengepung Saito.

Saito dengan perlahan mengamati sekelilingnya. "Siapa yang bakal menangkap siapa? Sungguh sial kalian, aku..."

"Sial kenapa?"

"Untung atau sial, aku menerima hal ini yang disebut kekuatan legendaris..."

Mengucapkan itu, dia menggerakkan tangannya ke punggungnya. Dan...menyadari Derflinger, yang seharusnya ada disana, tak disana.

"Eh?"

Merasa bermasalah, Saito menggaruk kepalanya.

"Itu benar...Aku meninggalkan si legenda di loteng...Toh, ia hanya akan jadi pengganggu selama mencuci piring."

"tahan dia dan gadis papan cuci itu!"

Para bangsawan itu menghunus tongkat mereka.

"Ku-Kup!"

Tapi tiada kup. Para ningrat yang marah melantunkan mantra mereka. Sebuah tali kecil nampak seperti topan, dan tepat saat ia mencoba mengitari Saito...Sebuah cahaya putih murni berkilat menembus toko dan menerbangkan para bangsawan bersenjata jauh hingga ake pintu masuk. setelah cahaya itu perlahan menghilang...Louise muncul, dengan mengangkat dirinya hingga titik tertinggi di atas meja. Serangan tadi merupakan mantra "Void" Louise, 'Ledakan'.

Sekujur tubuhnya berguncang karena marah, tongkat pusaka kesukaannya tengah berkilau di tangannya. Louise mengikatnya pada pahanya dan menyembunyikannya, untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi. Bingung, para ningrat menjadi panik. Louise berucap dengan nada kecil. "...Papan cuci tak perlu disebut, kan?"

Suasana hati senangnya yang jarang didapat diterbangkan dengan pernyataan tunggal itu. Dia teringat banyak dari masa lalu gelapnya dnegan kata tunggal "papan cuci" itu. Dia memikirkan belahan Jessica & Siesta dalam pikirannya. Ini keterlaluan. Untuk kau mengatakan sesuatu seperti itu saat seseorang pada akhirnya pergi melayanimu.

"Hii! Hiiiiiiii!"

Intensitas sang legenda...intensitas "Void" membuat bulu kuduk para bangsawan disana berdiri.

"Mengapa kau harus begitu jauh sampai mengatakan hal itu? Bukankah itu keterlaluan bagimu untuk memanggilku sebuah papan cuci saat aku datang untuk menuangkan kau beberapa alkohol? Kau sebaiknya bersiap-siap!"

Para bangsawan bergludak-gluduk untuk kabur. Tanpa bergerak, Louise mengayunkan tongkatnya. Permukaan didepan pintu masuk dihancurkan, menciptakan sebuah lubang besar. Seluruh ningrat terperangkap kedalamnya dnegan begitu mulusnya. Para ningrat itu bertumpuk satu sama lain dan menengadah ke atas. Louise perlahan muncul, dan dan para bangsawan mulai berguncang lebih keras.

"Si-siapa kau? Siapa kau? Dari kelompok sihir mana?!" Chulenne, sambil gemetaran, menanyai Louise. Dia tak pernah melihat maupun mendengar soal cahaya yang menerbangkan orang. Tanpa menjawab, Louise mengeluarkan surat izin yang didapatnya dari Henrietta dan menyodorkannya pada wajah Chulenne.

"...Su-su-surat izin Paduka?"

"Aku adalah wanita senat Paduka Ratu, dan dan putri ketiga dari keluarga terpandang yang memiliki sejarah luar biasa. Aku tak punya nama untuk diberikan pada pegawai rendahan sepertimu."

"A-Aku minta ampun!"

Chulenne membengkokkan tubuh gemuknya dan memaksa membungkuk dalam lubang. Para ningrat yang terdorong olehnya mengerang. Louise bangkit.

"Lepaskan aku! Setidaknya nyawaku!" Sambil mengatakan itu, Chulenne grusak-grusuk merogohi pakaiannya dan melemparkan seisi dompetnya pada Louise. Dia memohon pada ningrat di sekelilingnya, dan membuat mereka melakukan hal yang sama dan menyerahkan dompet mereka pada Louise.

"Dengan ini! Lupakan semua yang terjadi! Aku mohon!"

Tanpa melihat sedikitpun pada dompet-dompet yang terkumpul, Louise menyatakan. "Lupakan semua yang kalian dengar dan lihat hari ini. Kalau tidak, tak peduli berapa banyak nyawa yang kalian punya, ia takkan cukup."

"Ya! Aku bersumpah! Aku bersumpah pada Yang Mulia dan Sang Pendiri bahwa aku takkan menyingkap apa yang terjadi hari ini pada siapapun!" dengan meneriakkan itu, dia keluar dari lubang dengan berguling-guling, lalu Chulenne dan orang-orangnya menghilang di kegelapan malam. Louise dengan tegak kembali kedalam toko. Tepukan pemekak telinga menyerbu Louise.

"Itu luar biasa! Louise-chan!"

"Tak tahan dengan wajah Chulenne tadi!"

":Aku merasa tersegarkan! Itu tadi hebat!"

Scarron, Jessica, dan para gadis toko langsung mengelilingi Louise. Disitu, Louise kembali tersadar, pikiran "Kini aku melakukannya...", dan kepalanya tergantung malu. Dia lepas kendali saat dia dipanggil sebuah papan cuci. Saito hendak tertangkap, jadi dia melantunkan mantranya tanpa pikir panjang.

Saito menghampirinya dan berbisik padanya. "...Bodoh! Kau seharusnya tak memakai sihir, kan?!"

"Uu...Tapi..."

"Sheesh...Hah, baguslah...Kini kita harus mulai lagi dari nol..."

Scarron menepuk pundak Louise dan Saito. "Tak apa."

"Heh?"

"Aku tahu Louise-chan adalah seorang ningrat sebelum ini."

Saito menatap tajam Jessica. Panik, Jessica mengibaskan tangannya di depan wajahnya, memberitahu Saito "Aku tak mengatakan apapun."

"Ba-bagaimana?" Tanya Louise sambil terpana.

"Karena, ya.., itu..."

Para gadis toko mengambil alih dari Scarron. "Itu sangat jelas dari kelakuan dan sikapmu!"

Uu, jadi itu...pikir Louise, merasa lemas hati.

"kau pikir kami sudah berapa lama menjalankan bar ini? Mataku untuk membedakan orang adalah kelas atas. Tapi kau punya alasan tertentu, kan? tenanglah, tiada seorang pun gadis disini yang akan menyingkap rahasia masa lalu temen sekerja."

Seluruh gadis mengangguk sekaligus.

Jadi begitu. Pikir Saito. Bukan hanya Jessica yang tajam disini.

"Seluruh gadis disini pada nrimo. Itulah mengapa kau bisa tenang...Terus dapetin tip dari sekarang, OK?"

Louise mengangguk. Saito merasa lega. Menepuk kedua tangannya bersama, Scarron berkata dengan nada ceria. "Kini! Seluruh pelanggan telah pulang , jadi aku akan mengumumkan hasil lomba tip."

Suara sorakan membahana.

"Yah, perhitungan tak perlu, kan?" kata Scarron setelah melihat gundukan dompet yang ditinggalkan Chulenne dan orang-orangnya di tanah. Melihat dompet-dompet itu, Louise menyadari maksud Scarron, Di dalamnya...uang segunung ada disana.

"Eh? Ini..."

"Tip, kan?" kata Scarron sambil mengedipkan sebelah mata. Lalu dia mencengkram tangan Louise dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Pemenang! Louise-chan!"

Tepuk tangan bergemuruh seisi Toko. __________________

Sore hari berikutnya...Louise tak keluar dari kasurnya.

"hei, ayo pergi bertugas."

"Aku beristirahat hari ini."

"Heh?"

Saito memandang hampa padanya. lalu dia berpikir kembali. Yah, sudah agak lama dia tak menggunakan sihir, jadi dia mungkin kelelahan. Sepertinya tak apa-apa bila dia beristirahat hari ini."

"Baiklah. Bilang padaku bila kau merasa tak enak."

Hadiah pemenang, Bustier "Peri-Peri Memesona", digantung di dinding. Meski itu merupakan hadiah...dia hanya bisa mengenakannya hari ini. Yah, bagaimanapun juga, ini sebuah pusaka. ______________

Menuruni tangga, Scarron naik mendatanginya.

"Oh? Apa yang terjadi dengan Louise-chan?"

"Sepertinya dia berencana untuk beristirahat seharian ini."

"Oh..tak mungkin, sia-sia saja atuh..."

"Mengapa begitu?"

"Karena, dia hanya bisa mengenakannya hari ini. Aku akan memintanya mengembalikannya besok."

"Sepertinya begitu."

"Jika kau mengenakan itu, kau bisa mendapatkan tip sebanyak yang kau mau...benar-benar sia-sia, sungguh." menggumamkan itu, Scarron menghilang kedalam toko, yang mulai menjadi riuh. __________

Saito pergi ke cuci-piringnya, tak bisa mengerti apa yang tegah terjadi. Setelah bekerja keras dan menyelesaikan tugasnya, Saito kembali ke loteng. Menengadah dari koridor...cahay tampak menembus papan-papan lantai kamar. Sepertinya Lousie masih bangun. Ada apa dengannya...Meski dia bilang dia tengah kelelahan dan akan beristirahat, dia tak tidur sama sekali. Dia seharusnya mengenakan bustier itu dan menghasilkan beberapa uang kalau begini.

Mendorong papan lantai loteng ke atas, Saito menyembulkan kepalanya. Dan langsung terpana. Kamar telah disapu bersih, dan sepertinya sebuah lap debu digunakan karena tiada debu sedikitpun betebaran. Sampah yang menggunung telah terkumpul di satu titik, dan akamr telah ditata sehingga sepertinya seseorang bisa hidup layak disitu.

"Apa...yang terjadi?"

"Aku yang melakukannya, Menjijikkan untuk hidup terus-menerus di tempat kotor."

Menghadapi suara Louise, Saito semakin terpana. Makanan dan anggur telah ditata di atas meja...dan sebuah lilin meneranginya. Dan cahaya itu...juga menyinari pemilik Saito yang berpakaian sangat indah. Saito menelan ludah. Kelelahan dari pekerjaan harian mulai terbang jauh.

Louise tengah duduk di kursi di sebelah meja. Menyilangkan kaki, ramutnya telah ia rias dengans ebuah barette seperti dulu. &...penampilan anggunnya juga memasukkan Bustier "Peri-Peri Memesona". Bustier hitam itu membuat kecantikan Louise lebih gemerlap. Hanya bisa menganga, Saito terus menatapnya.

"Seberapa lama kau hendak memasang ekspresi bodoh itu? Ayo, mari makan." kata Lousie dengan nada tak biasa. Sebuah hidangan telah dibariskan di meja."

"Apa ini?!"

"Aku membuatnya."

Saito menatap Louise, yang tampak malu. "benarkah?"

"Aku mendapat Jessica mengajariku."

Memandangi Louise, yang bersemu merah dan mengatakan itu, Degup jantung Saito makin kencang. Garis pusat bagian atas Louise menjadis ebuah mesh, membuat kulit putihnya nampak. Bustier hitam memuatnya sempurna, membuat garis-garis tubuhnya makin menonjol. Pannier yang agak pendek terputar ke belakang pada pinggangnya pada tingkat yang bisa dimaafkan. Ini terlihat lebih erotik daripada Louise dalam keadaan telanjang.

Saito tanpa sadar membuang pandangannya. Dia merasa dia bakal jadi gila bila terus menatap. Entah dia bakal jadi gila karena dia sudah jatuh cinta padanya, ataukah karena sihir "Susuk" yang dimantrakan pada bustier, itu tak diketahui Saito, tapi...ada satu hal yang pasti.

Ia memesona.

Tapi, tanpa bisa mengatakan itu, Saito bicara dengan nada marah. "...Bukankah kau akan mengenakan itu dan melayani pelanggan sepuas hatimu?"

"Jika aku memperbolehkan mereka menyentuh, kau akan menamparku, kan?" balas Louise dengan sikap mencibir.

"Ya sudah, ayo makan."

Saito mengangguk, dan mulai melahap makanan buatan Louise. Tapi...darah telah membanjiri kepalanya dan mencegahnya dari merasakan rasa. Ini mungkin buruk. Tapi, bagaimanapun, ini tak apa-apa. Louise membuatnya. Itu sebuah kemajuan.

"Bagaimana rasanya?" tanya Louise.

"Bu-bukankah ini lezat?" jawab Saito dalam sikap untuk menghindari poin utama.

"Aku membersihkan kamar. bagaimana?"

"Whew, Ini sesuatu..."

"Tapi, bagaimana tentang, aku?"

Bersender pada sikunya, Louise bersender dan menatap Saito. Cahaya pagi merekah merajai pagi. Sinarnya menyelimuti loteng, meneranginya. Dia telah menutup mulutnya dengan lugas hingga kini, tapi Saito akhirnya memikirkan beberapa kata. "Très bien."

"...Setidaknya puji aku dengan kata yang berbeda."

Louise mendesah. Benarkah sihir susuk dimantrakan pada ini? Apa? Meski aku berpikir untuk mendapatinya memperlakukanku dengan lembut. Kelakuannya masih sama seperti dulu. Seakan dia marah, seakan dia terganggu, tingkah semacam itu.

Membosankan. Kupikir dia akan akan menjunjungku tinggi-tinggi bagaikan seorang tolol jika aku mengenakan ini. Lalu aku akan memperlakukannya sedingin mungkin. Terlalu telat sekarang untuk menyadari seberapa memesonanya tuanmu ini! Apa, tolol? Jangan menyentuhku. Tapi, ya...saat kau bilang "Yang bisa menyentuh Louise hanya aku!", aku sedikit bahagia karena alasan tertentu, jadi aku akan memperbolehkannya sedikit, tapi hanya sedikit. hanya sedikit, mengerti?

Meski dia membayangkan itu, meki dia sudah menghabiskan seharian untuk bersiap-siap, Saito hanya melihat ke arah lain...Betapa membosankan pikir Louise kesal...Pada akhirnya, Louise tak pernah menyadarinya...Saito sudah menggila cintanya padanya sedari dulu...jadi sihir "susuk" itu sudah tak berarti.