Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3 : Adipati de La Vallière

Di kala surya menjelang dalam taman istana, ada kandang raksasa dengan naga di tiap empat sudutnya.ang

Para pelayan telah berkumpul di sekelilingnya langsung melepas roda-roda dari kereta yang mirip kurungan itu. Para infantri menangkap para naga dan, setelah diberi kesempatan, paara pelayan membukakan pintu kereta. Selembar karpet merah dibentangkan seluas-luasnya hingga pintu masuk kurungan demi menerima ningrat berumur pertengahan ini.

Dia adalah Adipati de La Vallière. Dia lebih dari 50 tahun. Dia memiliki rambut blonde dan janggut yang keduanya memutih, dan dia berpakaian megah sebagaimana para raja. Dia mata kirinya terletak sebiji monokel, dan matanya memiliki pandangan nan tajam.

Para butler berjalan cepat menuju snag adipati, melepas topinya, menyisir rambutnya, dan meyakinkan bahwa jubahnya terlipat dengan baik.

Sang Adipati mengatakan dengan suara bariton nan pahit, “Apakah Louise telah kembali?”

Jerome, seorang butler yang telah melayani keluarga La Vallière selama bertahun-tahun, menunduk hormat.

“Dia kembali tadi malam,” Jawabnya.

“Panggil dia untuk sarapan!”

“Pasti!”

Suasana di keluarga La Vallière saat sarapan di balkon yang disinari matahri sama dengan biasanya. Meja dibawa keluar agar sarapan dibawah sinar matahari, semuanya duduk. Adipati de La Vallière duduk di kursi kehormatan dan disebelahnya ada istrinya. Dan ketiga kakak-beradik yang secara tak biasa fokus duduk berbaris berdasarkan umur. Badan Louise agak labil, karena dia menangis begitu keras kemarin malam. Meski seharusnya dia mendapatkan izin ayahnya untuk ikut perang...

Sepertinya sang adipati tengah tak enak hati.

“Sialan si otak burung tolol itu!”

Di awal pembicaraan, sang Adipati mencerca Sang kardinal.

“Ada Apa?”

Sambil mengubah ekspresi wajah, istri sang adipati menanyai suaminya. Setelah kata-kata pertama ayahnya, Louise tahu ini bukan saatnya meminta.

“Setelah memanggilku jauh-jauh ke Tristania, aku berpikir-pikir tentang apa yang akan dikatakannya padaku...’ Atur satu korps tentara,’ kayanya! Jangan bercanda denganku!”

“Apa kau setuju?”

“Mana mungkin! Aku sudah pensiun dari militer! Mengapa dia tak memerintahkan tentara yang menggantikanku dan membiarkanku tinggal bersama keluargaku! Terlebih lagi, aku tak setuju perang ini!”

“itu benar. Tapi, bukankah tak apa-apa? Bukankah para bawahan kardinal memberitahukan keadaan terkini dimana daratan telah beadalah rsatu untuk mengalahkan musuh kuat kita? Isu yang mengatakan keluarga La Vallière  pengkhianat akan tersebar, dan juga akan  mempengaruhi kehidupan sosial kita.”

Selama mengatakan hal tersebut, Istri sang adipati berwajah sangat dingin.

“Seharusnya kau tak memanggil seorang tolol berotak burung sepertinya sebagai “Kardinal’. Tolol lebih dari cukup. Terlebih lagi, mengambil kesempatan dari ratu yang begitu muda...”

Louise mendehem dan menyemburkan roti yang tengah dimakan. Eléonore menatap tajam Louise.

“Oh, ngerinya. Maaf membuat kalian mendengarkan kenyataan soal Burung layang dewan.”

“Mohon, merasa bebaslah untuk membuat kami mendengarkan apa yang kalian pikirkan.”

Louise yang diam hingga saat itu membuka bibirnya sambil gemetaran. “Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, Ayah.”

Sang adipati menatap Louise lekat-lekat.

“Tentu saja tak apa-apa, tapi sebelumnya, apa kau takkan memberikan kecupan kecil pada pada ayahmu ini, yang sudah lama tak kau lihat, Louise?”

Louise berdiri dan menghampiri ayahnya, dan setelahnya mengcup pipinya. Setelahnya, dia menatap langsung ayahnya dan bertanya:

“Mengapa ayah tak menyetujui keputusanku bergabung dalam perang?”

“Karena perang ini adalah kesalahan besar.”

“Ini adalah perang melawan Albion, yang menyerbu kita terlebih dulu. Apa yang salah bila kita menyerang mereka?”

“Menyerang mereka dari samping bukanlah sesuatu yang akan kusebut “Penyerbuan’. Lihat!”

Sang adipati mengutak-atik piring dan makanan dan mulai menjelaskan pada Louise.

“Hal yang kau sebut ‘penyerbuan’ adalah memiliki kekuatan militer yang jauh melampaui sehingga bisa sukses dari kali pertama. Tentara musuh sekitar 50 ribu. Tentara kita, dengan Germania, adalah 60 ribu.”

Sambil menggerakkan pisau dan garpu, dengan dibantu potongan-potongan daging, sang adipati menciptakan simulasi perang.

“Bukankah tentara kita memiliki kelebihan 10.000 orang?”

“Jika pasukan penyerang 3x lebih besar dari musuh yang bertahan, maka ia akan jadi kemenangan yang pasti. Tapi karena kekuatan udara mereka teratur dan posisi mereka bagus, dengan jumlah ini, pertempurannya akan sulit.”

“Tapi...”

Sang Adipati menatap wajah Louise.

“Persiapan kita bagus. Kita akan memblokir benua pengganggu itu dari udara dan tunggu saja hingga ia kehabisan sumber daya. Jika kita melakukan itu, pada akhirnya mereka akan datang meminta perdamaian. Kesimpulan perang akan datang seperti itu, tepat seperti mencampur hitam dan putih. Namun, apa yang akan kau lakukan bila penyerbuan gagal? Kemungkinannya tak kecil.”

Louise terdiam. Apapun yang dikatakan ayahnya merupakan alasan yang bagus.

“Karena kemenangan di Tarbes, kita menjadi takabur. Takabur mengarah pad apengabaian. Untuk memperburuk itu, mereka mengambil murid Akademi Sihir sebagai petugas. Aku hanya bisa bilang itu bodoh. Apa yang bisa dilakukan anak-anak? Dalam perang, kau tak bisa mengatakan kau cukup kuat hanya karena kau berjumlah lebih banyak. Menyerbu adalah tindakan dimana kau percaya diri mutlak bisa meraih kemenangan dari kali pertama. Tak mungkin aku mengizinkan putriku ikut perang semacam itu.”

‘Ayah...”

Setelah adipati selesai mengatakan itu, dia bangkit.

“Sekarang, sarapan selesai.”

Louise menggigit bibir dan terpaku di tempatnya berdiri selama sesaat.

“Louise. Mulai sekarang kau ditahan di rumah. Kau takkan diizinkan meninggalkan istana ini hingga perang berakhir.”

“Tunggu!” jerit Louise.”

“Louise...kau...”

Eleonore menarik ujung rok Louise. Cattleya memandang khawatir Louise.

“Untuk tuan Putri...tidak, untuk Paduka, aku diperlukan.”

“Apa maksudmu saat mengatakan dia membutuhkanmu? Kemampuan sihirmu...”

Louise tak bisa menceritakan bahwa dia adalah pemegang Void pada keluarganya.

“Kini. Kini, aku tak bisa bilang, tapi...aku...”

Louise enggan, tapi dia lalu memunculkan mimik wajah bersemangat.

“Aku bukan lagi diriku yang dulu!”

“Louise! Apa yang kau katakan pada Ayah?!”

Kata Eléonore dengan suara tinggi.

“Kakak, diamlah! Kini, aku yang berbicara!”

Seluruh anggota keluarga terkejut dengan sikap Louise. Louise yang dulu takkan pernah melawan kakaknya dengan sikap begini.

“Aku selalu diperlakukan sebagai seorang tolol. Aku selalu merasakan kecewa ketika dibandingkan dengan kakak-kakakku dan dibilang bahwa aku tak punya bakat sihir. Tapi kini, semuanya berbeda. Aku jelas-jelas dikatakan Diperlukan oleh Yang Mulia.”

Dengan kata-kata itu, warna mata sang adipati berubah. Dia berbalik pada Louise, berlutut lalu meamandang kedalam mata putrinya.

“...Kau akhirnya menyadari apa elemen utamamu?”

Louise mengangguk penuh percaya diri.

“Yang mana diantara yang empat?”

Louise berpikir sebentar. Tentu saja dia takkan berbicara soal Void. Tapi apakah OK untuk berbohong pada ayahnya sendiri? Untuk sesaat, Louise bimbang. Dan...sambil membuka bibirnya, dia mengucapkan sebuah kebohongan.

“...Api.”

“Api?”

Untuk sesaat adipati de La Vallière menerawangi wajah Louise, lalu dia perlahan mengagguk.

“Kau berelemen sama dengan kakekmu. Begitu ya, api, hmm...Kalau begitu, adalah alami bila kau tertarik pada perang. Ia merupakan elemen penuh dosa. Benar-benar sebuah elemen yang terbungkus dosa.

“Ayah...”

Sang Adipati menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jika aku ingat dengan benar, kau mengatakan Yang Mulai membutuhkan kekuatanmu, kan?”

“Ya.”

“Dengarkan, Louise. Ini adalah hal yang penting. Tak ada yang salah dengan itu. Saat tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, Yang Mulia mengatakan padamu bahwa kekuatanmu diperlukan olehnya, kan?”

Louise mengumumkan dengan jelas.

“Ya. Aku dibilang oleh Yang Mulia bahwa kekuatanku diperlukan olehnya.”

Sang adipati yang tua itu menggeleng-gelengkankan kepalanya.

“Ini sesuatu yang sangat mulia. SANGAT MULIA. Namun,...bagaimanapun, tak mungkin aku mengizinkan ini.”

“Ayah!”

“Manusia sangat mungkin melakukan kesalahan karena hal yang disebut kesetiaan ini. Aku sendiri yang akan melapor pada Yang Mulia. Jerome!”

“Ya.”

Si Butler melompat keluar dan berdiri di samping Adipat.

“Siapkan kertas dan bulpen.”

“Kau harus memilih seorang besan untukku,” katanya.

“Huh? Mengapa?”

“Aku tak bisa mengizinkan keiikutsertaanmu dalam perang. Aku mutlak tak bisa. Kau mungkin putus asa, karena Wardes si pengkhianat itu, kan? Itulah kenapa kau harus memilih besan untukku. Dan tenangkanlah hatimu? Kau sudah bilang padaku ingin pergi perang dua kali. Ini perintah. Tiada perubahan diizinkan.”

“Ayah!”:

Teriak Louise. Namun, sa adipati tua itu menggelengkan kepalanya.

“Jerome, jangan biarkan Louise keluar istana. Mengerti?”

“pasti!”

Si Butler mengangguk.

Sang Adipati lalu meninggalkan kursi sarapannya.

Istri dan para kakak yang ditinggalkan mengelilingi Louise.

Ibu dan kakak penyuruh mengritik Louise.

“Ayah sudah tak muda lagi. Jangan membuatnya terlalu khawatir.”

“karena kau membuat Ayah begitu khawatir, kini kau harus memilih besan.”

Kata Eléonore dingin.

“Mengapa aku harus?! Berdasarkan urutan, Eléonore-nee sama harusnya...”

Begitu dia bilang begitu, Eléonore langsung mencubit pipi Louise.

“M-aaang, ahu...a-i, uuku, i-a asi....(tapi, nikah masih...)”

“mengapa? Alasanmu apa? Kau punya cinta, kan?”

Dibilang begitu oleh ibunya, Louise menggelengkan kepalanya.

Tak punya. Tidak. Tiada yang begitu.”

Istri Adipati dan Eléonore tampaknya menyadari sesuatu karena ekspresi Louise. Keduanya bertukar pandangan.

“Sepertinya kau memikirkan seseorang.”

Tak ada yang seperti itu!”

‘Siapa? Dari keluarga ningrat apa?”

“?”

“Count? Baron?”

“Baron kehormatan? Tak mungkin kau...tak mungkin sekedar Chevalier, kan?”

Tubuh Louise membeku.

“Oh, tidak, gadis ini...begitu ya, Chevalier atau Gelar Kehormatan, Aku tak tahu, tapi...dia jatuh cinta dengan lelaki berstatus rendah.”

Wajah Eléonore menjadi masam. Sang Ibu menekan dahinya.

“Ooh, ini karena aku tak pernah memperhatikan gadis ini dengan baik...”

“A-Aku tak jatuh cinta pada seorang Chevalier.”

Louise mengatakannya dengan tertahan. Sebenarnya ia bahkan bukan seorang Chevalier, tapi jelata saja. Bahkan, seorang jelata dari dunia yang jauh berbeda...jika mereka tahu itu, sebuah maaf sederhana takkan cukup mendekati ampunan dari mereka. Meski dia selalu mengulangi pada dirinya sendiri bahwa dia tak menyukainya, kini kepalanya dipenuhi pikiran soal Saito.

Cattleya memandang Louise dengan khawatir.

“Tak peduli seberapa tua gadis ini, dia akan selalu mengkhawatirkan kita, kan? Tak hanya dia ingin ikut perang, tapi lebih buruk lagi, dia jatuh cinta dengan seorang Chevalier...”

“Kukatakan, aku belum...” dan, dia tertahan. Ibu dan kakaknya berteriak.

“Diamlah.”

Ini sikap mengancam yang biasa. Setelah Louise menggunakan seluruh keberanian untuk berkata balik pada ayahnya tadi, kini dia merasa hampa.

Tiba-tiba, merasa sedih, Louise melarikan diri.

“Hey! Tunggu disitu!”

Dia mendengarkan suara teriakan iu dan kakaknya yang penyuruh.

Siang datang. Karena Saito sudah tak mempunyai tugasm dia berbaring di kasur di gudang dan memandangi langit-langit. Begitu dia menerawangi sekeliling ruangan saat berbaring di kasur, dia menyadari beberapa lembaran putih kusam yang ditempatkan di kotak, yang ditinggalkan disana olehnya, dan dia merasa hatinya nyeri. Sejak dia datang ke Keluarga La Vallière, hanya itu harga keberadaannya. Sebuah keberadaan nan kecil dan tak berarti. Karena Siesta sudah kembali ke kamarnya, Saito kini sendirian.

Tepat ketika dia melamun memikirkan soal apa yang harus dia lakukan, dia menyadari dia belum sarapan dan dia takkan mendapatkan apa-apa kecuali dia pergi dan mengambil sesuatu sendiri...Saat itulah datang suara-suara pelayan-pelayan istana di sekitar koridor-koridor berlapis batu.

“Diamana? Sudah kau temukan?”

“yidak, bukan ke arah sini!” Suara-suara yang mengatakan sesuatu seperti itu. Sepertinya mereka mencari seseorang.

Tepat ketika dia berpikir siapa yang tengah mereka cari, pintu terbuka dengan segebyar bang. Beberapa pemuda melompat masuk, memegangi Saito ke tanah dan mulai mencari-cari di gudang.


“Apa-apaan yang kalian lakukan?!” teriak Saito. Sambil mengatakan, “Sepertinya tak disini,” dan mengabaikannya, orang-orang yang menahan Saito meninggalkan ruangan.

“Apa-apaan tadi?” begitu Saito mulai berpikir sendiri, kali ini ada ketukan di pintu.

“Tak dikunci,” katanya, tapi ketokan terus berlanjut.

Jika itu adalah Louise atau Siesta, mereka akan langsung masuk dengan rusuh begitu dia mengatakan itu. Mengingat seseorang yang, setelah dibilang dia boleh, tak membuka pintu sendiri tak mungkin orang jahat, saito membuka pintu.

Dan disana berdiri seorang wanita dengan rambut blonde pink dan mata coklat kemerahan.

Untuk sesaat dia berpikir “Louise?” tapi bukan. Dia lebih tinggi dari Louise. Dia memiliki mata nan teduh dan wajah berseri tanpa maksud jahat sedikitpun.

Itu Cattleya.

“U. ummm, itu...”

Dengan pipi memerah, saito memandanginya dengan mata kebingungan.

“Apa boleh aku masuk?”

“Y-ya! Silahkan!”

Dengan membungkuk penuh hormat, Saito mempersilahkannya masuk.ati Saito mulai berdegup.

‘Maaf mengganggu,” sambil mengatakan itu, Cattleya menjulurkan lidahnya pada Saito.

Dia begitu manis sehingga jantung saito mulai berdegup. Sebenarnya, dia lebih memilih Louise, Namun, karena sifatnya, tiada ekspresi yang muncul di wajahnya. Dia merasa bahwa kau benar-benar harus menyerahkannya pada kakak baik ini.

Dengan perasaan yang berbeda dengan yang terhadap Louise, dia memandangi Cattleya yang duduk di kasur dengan senyum iblis kecil mengambang di wajahnya.

Dia memberikan rasa yang berbeda dengan daya tarik “sehat” Siesta.

Ia juga berbeda dengan daya tarik Henrietta yang dibangun dari bahaya nan imbang dari fakta bahwa dia kelas atas.

Ia beda dengan daya tarik mengguncang dan kasar Kirche.

Tentu saja, ini juga beda dengan daya tarik Louise yang sulit ditaklukkan.

Dengan senyuman ringan, ini daya tarik yang terasa menyelimutimu.

Apakah Louise akan menjadi seperti ini saat dewasa nanti? Jika begitu, Louise adalah Pembelian yang bagus, “huuh, Selama pikiran itu masih mengambang dalam pikirannya, Cattleya tampak semakin mempesona.

“Saat Louise dewasa, dia takkan terlihat sepertiku, tahu.”

Karena dia tiba-tiba mengatakan itu sambil tertawa, Saito melompat.

“Huh? Tidak! Aku tidak!...Aku tidak sedang memikirkan hal seperti itu! Ya!”

“Begitukah? Tapi kau jelas-jelas tampak memikirkan apakah Louise akan menjadi sepertiku di masa mendatang...”

Wow, Wanita yang tajam.

“Louise pasti akan menjadi lebih memesona begitu dia dewasa, jadi tenanglah. Tapi dia mungkin takkan meninggi.”

Berpikir bahwa itu lebih dari cukup asalkan dia mirip kakaknya dia daerah dada, Saito terus-menerus buka-tutup bibir.

“Kau, siapa namamu?”

“Saito. Ya.”

“Oh, nama yang sangat indah, kan?”

Ini kali pertama namanya dipuji sejak datang kesini.

“Hei, orang mana kau? Kau bukan dari halkegenia, kan? Dibilang begitupun, sepertinya kau manusia yang benar-benar berbeda dari intimu. Siapa kau?”

Saito terkejut diperiksa seperti ini. Apa ini? Dia menemukan bahwa aku dari dunia yang berbeda? Atau, apa Louise bilang padanya?

“Fufu. Wajahmu bilang kau berfikir bagaimana aku bisa tahu. Tapi aku mengerti kamu. Ini karena aku tajam tak seperti yang lain.”

“Y-Ya...”

“Tapi hal seperti itu tak penting. Terima kasih banyak, Beneran.”

“Huh?”

“Terima kasih kau selalu membantu Louise yang egois itu. Tak mungkin gadis kecil itu akan mendapatkan pengakuan Yang Muia bila dia sendiri. Kau pasti menolongnya sepanjang jalan. Itu benar, kan?”

Bagaimana cara menjawab ini? Atau jelasnya, bagaimana aku bilang padanya? Melihat Saito khawatir begitu, Cattleya tertawa ringan.

“Ada hal-hal yang tak bisa kau ceritakan padaku, hmm, tak apa. Kini...ini patut disesali, tapi aku harus memberitaumu.”

“eh?”

“Pembicaraan Louise dengan Ayah tak berlangsung dengan baik. Karenanya, dia disuruh untuk segera mencari menantu. Lalu dia menghilang entah kemana.”

“Benarkah?”

Jadi para pelayan yang menyerbu masuk tadi tengah mencari Louise. Saito mengatakan, “Achaa...” dan menutupi wajahnya.

“Ayah ingin Louise menikah. Gadis itu juga terganggu. Dan setelah beberapa waktu lalu tunangannya ternyata pengkhianat, kini dia harus melakukan pertunangan lainnya. Meski dia masih begitu muda.”

Cattelya bergumam seakan dia tak punya hubungan apa-apa.

Saito gemetaran karena nyeri. Louise akan menikah? Setelah hal-hal dengan Wardes, kata-kata itu melukainya dalam-dalam. Itu adalah kata yang takkan dia mau dengar untuk kedua kali.

“Kau tak menyukainya, kan? Fakta bahwa Louise akan menikah.”

Gumam Cattleya dengan senyum malaikat.

Saito menggelengkan kepalanya.

“H-hal seperti itu...tak apa-apa. Dari dulu Aku tak bisa memikirkan Louise dengan baik. Karena Louise, tentangku...tentang aku yang buka bangsawan atau siapa-siapa, dia tak terlalu memikirkan soal aku, itulah mengapa...”

Sambil mengangkat tubuhnya, Cattleya menanyai Saito.

“Hei, apa kau tahu syarat untuk menjadi ningrat?”

“Ada apa dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini? Itu sudah jelas.

“Eh? Aku yakin, umm, mereka harus bisa menggunakan sihir...mereka harus kaya...”

“Itu hal-hal sampingan!”

“Tapi, di dunia ini, jika kau tak bisa sihir, maka kau bukan seorang ningrat, kan?”

“salah.”

Cattleya menggelengkan kepalanya.

“hanya da satu syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang ningrat. Yaitu bersumpah kau akan melindungi putri bahkan dengan bayaran nyawamu sendiri, itu saja. Leluhur kami diberikan tanah dan uang oleh raja karena mereka melindungi sang Putri, nyawa putrinya dengan taruhan jiwa mereka sendiri. Bukan karena mereka bisa menggunakan sihir.”

Cattleya menatap Saito dengan mata penuh kesungguhan.

“Anak itu ada di halaman belakang, jadi pergi cari dia. Di halaman belakang ada kolam...di kolam itu ada perahu kecil mengambang. Dia didalamnya. Sejak dia kecil, kapanpun saat-saat buruk datang, dia akan kesana dan bersembunyi. Setelah kau menjemput Louise dari sana, tinggalkan tanah istana. Di jalan utama ada kereta yang menunggumu. Pelayan yang kau bawa bersamamu akan mengendarainya, jadi pergilah.”

“Eh?”

“Aku tak suka perang. Aku membencinya. Jujur, aku tak ingin membiarkan Louise pergi. Tapi, jika gadis itu telah memutuskan apa yang ingin dilakukannya dan ada orang yang dia rasa perlu dia jaga...Jika begitu, kupikirt kami harus membiarkannya pergi. Ini bukan sesuatu yang bisa diputuskan kami.”

Cattleya memegangi wajah Saito dalam tangannya.

“Moga-moga Perlindungan Agung Sang Pendiri bersamamu dan Louise.”

Dan setelahnya, seakan dia berurusan dengan seorang ningrat, dia mencium dahi Saito.

“Aku tinggalkan adik kecil manisku padamu, Ksatria-dono.”

Louise tengah menangis di dalam perahu di halaman belakang.

Dia dapat mendengar suara langkah kaki dan suara para pelayan yang tengah mencarinya didalam istana. Tapi, tepat seperti ketika dia masih kecil, perahu di halaman belakang ini adalah tempat nan aman. Dengan penampakannya yang disembunyikan bayangan pulau kecilm ia menjadi titik buta saat dipandang dari dalam istana dan tak menonjol sama sekali.

Tepat seperti masa-masa kecil, dia meringkuk dan menyelimuti diri dengan selimut yang dia bawa bersamanya. Saat dia masih kecil dan melakukan itu...hatinya biasanya akan tenang kembali, tapi kali ini tak berjalan baik. Sepertinya perasaan yang telah jatuh begitu rendah tak bisa cerah begitu saja.

Langkah-langkah kecil yang menginjak tanah halaman belakang bergema.

Dia menahan napas dan diam berdiri saat suara-suara itu menjelma menjadi suara-suara keras langkah kaki yang menyebrangi jembatan kayu yang mencapai pulau kecil.

Berpikir, “ini buruk,” Dia menenggelamkan tubuhnya lebih dalam kedalam selimut yang menyelubunginya tadi.

Begitu dia melakukan itu...Byur! Suara dari pemilik langkah kaki yang meloncat ke kolam dapat terdengar dan dia menggenggam selimut.

Tanpa sadar dia dia membuka sebagian selubung dan mendengar namanya dipanggil

“Louise.”

“...Saito?”

“Ato pergi. Kakakmu telah menyiapkan kereta.”

“...Aku takkan pergi.”

“Mengapa?”

“Karena keluargaku belum mengizinkanku.”

“Itu mustahil. Keluargamu berada pada sisi yang bersebrangan. Kalian semua keras kepala.”

Saito mengulurkan tangannya. Namun, Louise langsung mengibaskannya.

“Apaan sih?”

“Aku sudah tak ingin lagi. Tak apa-apa.”

“Mengapa?”

“Karena tak peduli apapun yang kukatakan, tak peduli seberapa keras usahaku, aku tetap tak bisa berdiskusi dengan keluargaku. Siapa yang akan mengakuiku? Setelah aku memikirkan semua itu, aku akhirnya merasa benar-benar kesepian.”

Apa kau perhatian dengan hal-hal seperti itu? Pikirkan soal tadi. Gadis ini...begitu aku tak disekitarnya untuk sesaat, dia mulai berpikir normal.

Sambil Menaiki perahu, Saito menggenggam tangan Louise.

“Ya ampun. Aku akan mengakuimu. Aku akan melakukan itu, seluruh keberadaanmu, semuanya baik bagiku. Itulah mengapa kau harus bangkit. Ayolah.”

Setelah mendengar itu, pipi Louise memerah dan dia rasa hatinya menjadi hangat dan berdesir.

Tapi, dia pikir bahwa dia tak punya kepercayaan diri hanya bersandar dari kata-kata Saito.

Karena, Saito tak masalah dengannya.

Toh, Ukuran dadanya sama dengan anak-anak.

Gadis berambut hitam yang mendengarkan apapun yang dia katakan lebih baik, kan?

Dia merasa kesepian, karena dia tak bisa meyakinkan baik orang tuanya maupun saudaranya untuk mengerti dia. Kata-kata Siesta kemarin juga meninggalkan jejak. “Saito tak menyukai Louise sama sekali.” Kata-kata itu merusak kepercayaan diri dan keinginan Louise untuk berbuat secara serius. Louise tak mengakui kata-kata itu sebagai pikirannya sendiri, tapi dia terus teringat.

Karenanya, Louise mengatakan.

“Apa-apaan dengan ‘Aku akan mengakuimu?” Jangan Berdusta.”

“Ini bukan dusta.”

“Ia dusta. Bahkan dalam perang kali ini kau ingin berperang demi kehormatan Putri. Sama dengan Guiche.”

“A-Apa yang telah dilakukan Putri...”

Mengingat saat itu, Louise berkata dengan suara dingin.

“Kau menciumnya, kan?”

“ Apa kau bodoh? Itu karena keadaan membuat jadi begitu...”

“Apa kau berkata kau tersilap saat menciumnya? Hee....begitukah?”

Saito perlahan menjadi marah. Dalam marahnya, dia mencengkram bahu Louise dan memaksanya menghadapnya.

“A-ada apa?!”

“Apa kau bodoh?!”

“Siapa yang bodoh?!”

“Jangan langsung memutuskan siapa yang kusuka, hanya karena perasaanmu sednag tak enak, hai putri yang semaunya sendiri! Kau pikir karena kau tuanku dan aku familiarmu, kau bisa mengatakan siapa yang kusuka?!”

Saito menatap Louise dengan mata menyala, Semua yang kukatakan datang dari dasar hatiku. Mengapa gadis ini tak bisa mengerti? Pikirnya sendiri, mengutuk ketak berdayaannya.

“B-B-Berani-beraninya kau mengatakan itu?!”

“Ya, aku akan mengatakannya sebanyak yang perlu. Jujur, aku tak punya hubungan apa-apa dengan tugas dan pernag kalian, lebih baik aku mencari jalan pulang! Aku ingin kembali ke Jepan g Timur! AKu ingin!”

“Ya pergi saja!”

Teriak Louise. Apaan ini, pikirnya. Bukankah tak apa-apa untuk berteriak begitu keras? Berlakulah lebih lembut, perasaanku sedang turun sekarang.

Saito selalu begitu. Saat Louise ingin melakukan sesuatu, dia takkan mendengarkan sama-sekali padanya. Meski dia adalah familiarnya, dia tak mengerti apapun. Dia akan selalu berbalik menghadapinya.

Saito yang Louise teriaki, tengah bernapas dalam-dalam dengan bahu yang naik turun. Mungkin dia tengah memilah-milah kata untuk menjawab balik Louise. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Setelah kau mengatakan sesuatu, kau membuang muka, pikir Louise. Akumenebak-nebak apa yang akan dikeluarkannya padaku? Bagaimana dia akan menjawab balik padaku yang mengatakan padanya “Ya pergi saja”? “Ya, Aku mengerti! Aku akan pulang,” mungkin?

Namun, jawaban Saito menerbangkan seluruh perkiraan Louise.

Untuk alasan tertentu, wajah Saito....memerah.

“Aku mencintaimu !”

Udara membeku. Untuk sesaat, Louise tak menyadari apa yang baru saja dikatakan padanya.

Baru saja, apa katanya? Cinta? Seperti dalam, CInta itu? Ada apa ini?

“...Eh?”

“Aku mengatakan aku mencintaimu! Kapanpun aku menatapmu, jantungku berdegup kencang! Bukankah itu yang dikatakan cinta?! Itulah mengapa aku mencintaimu! Dan itulah mengapa jika kau ingin melindungi Kehormatan Putri, aku akan melakukannya bersamamu. Kau seharusnya pergi saja daripada mengeluh disini!”

“Eh? Eeh?

“Bagaimanapun, kini kau sama sekali tak manis! Ada apa dengan smua ini?! Apa kau tak memikirkan mengapa aku mempertaruhkan nyawa dan bertarung?! Itu karena aku mencintaimu! Jika tidak begitu aku akan diam di kamarku saja dan tidur!”

Saito mengatakan apa yang perlu dikatakannya dan mencoba berdiri, tapi lalu dia menyadari.

Louise menahannya dan menunggu dengan pipi memerah.

Tiba-tiba, Saito merasa sedikit menyesal. Aah, mengapa tadi aku mengatakan itu?! Tunggu sebentar, aku baru saja mengaku! Mengapa?! Jika aku memikirkan keadaan...Kini bukan waktunya mengaku...Aku tak mengerti.

Saito memegangi kepalanya di lantai.

Setelah beberapa waktu berlalu...Louise tersadar.

Dia bingung, karena dia tak mengerti apa yang terjadi. Namun, sepertinya dia “ditembak”. Jelas sekali tadi dia dikatakan “Aku mencintaimu”. Oleh Saito.

“Apa yang harus kulakukan?” Pikirnya.

Di saat yang bersamaan dengan itu, dia menyadari kemungkinan dia harus menceritakannya pada semua orang. Dan kekhawatiran menggelayuti pikirannya. Marah dan senang, dua perasaan yang berlawanan, menyembur dan memancar. Louise tak mengerti keadaan sepenuhnya, wajahnya memerah dan dia mengagk at wajah saito ke atas.

“Jika itu dusta, aku akan membunuhmu.”

Dia mengatakan itu dengan suara bergetar. Seberapa merah sih wajahnya sekarang? Seberapa dalam pipinya memerah? Bagaimanapun, ini panas sekali.

“Itu bukan dusta.!”

“Aku tak sungguh-sungguh menyukaimu.”

“Aku tahu itu.”

“karena, kau melompat dari satu gadis ke gadis lainnya secara serampangan.”

“Aku takkan. Aku takkan melakukannya lagi mulai sekarang.”

“Ini bukan pertanyaan soal apa kau akan atau tidak. Bagaimanapun, hanya setelah 1 tahun mengenalku, kau mengucapkan kata-kata itu dengan penuh percaya diri. Mungkin itu kepercayaan diri yang palsu.”

“T-Terima kasih.”

Karena Louise mengatakan itu semua dengan suara dari dasar hati sanubarinya, Saito malah berfikir bahwa Louise yang begini sangat manis. Pikirannya menerawang jauh, sehingga dia akhirnya ingin memeluknya dan membelai pipinya.

Tapi dia tak bisa mengatakan hal semacam itu. Louise sangat tinggi harga dirinya. Dan harga diri iru menyelubungi hati Louise, menciptakan pelindung tebal dimana perasaan sebenarnya sulit meluap keluar.

Louise mencengkram bahu Louise dan mengangkat pinggulnya. Lalu dia menatap dalam-dalam wajah Saito dengan mata serius.

Saat itu, kata-kata Kirche bergema di telinganya.

“Kau mungkin tak membiarkannya melakukan apapun, kan? Jika begitu kasusnya, bukankah tak mengherankan bila dia akan diambil gadis lain.”

Dia pikir Uu~, bukankah tak apa-apa untuk membiarnya melakukan sesuatu sedikit? Dan hal-hal yang mirip. Tapi, begitu dia memikirkannya, dia merasa sulit mencari rasa yang tepat. Bahkan membolehkannya sedikit terasa sulit.

Namun, satu-satunya yang tak bisa ditahan olehnya adalah melihatnya berpikir atau menyentuh gadis lainnya. Tak tertolong lagi, Louise memutuskan mengumpulkan sedikit keberanian yang nyata.

“H-Hey, kau tahu. Mmm...”

“Ya?”

“Karena saat kau mengatakan pada tuanmu bahwa kau menyukainya, secara praktek kau bersumpah setia padanya, sebuah h-h-hadiah diperlukan, kan?”

“Hadiah?”

“Ya benar. Putri selalu bilang padaku bahwa kesetiaan harus selalu diberi imbalan.”

“O-oh begitu...”

Saito tak bisa lagi menebak persis apa yang coba dilakukan Louise. Tapi saat dia mendengar kata-kata berikutnya dari Louise, darahnya naik hingga kepala.

“H-hanya satu tempat ya?”

D-di tubuh Tuanmu, hanya satu tempat, satu yang kau suka, boleh kau sentuh.”

Begitu dia selesai mengucapkan itu, Louise mengejapkan mata sambil masih menempatkan tangannya di bahu Saito.

Aku akan mati pikir Saito.

Jika aku disuruh hal seperti ini, aku akan mati. Taoi jika, sebelum aku mati, aku dengan Louise...jika tuan terlalu manis, maka.... Karena pikirannya semakin kacau dan kacau, dia memeluk Louise dan tiba-tiba mencuri ciuman.

Dan Louise,

“Ah...” melepaskan desahan.

Sebuah kecupan, hmJadi ini pilihanmu, hmm. Memang tak salah bahwa ini hanya satu tempat.

Tapi, sebuah ciuman? Apa itu yang paling penting? Entah mengapa, Louise akhirnya malah semakin merasa mencintai dan cinta Saito, yang memilih mencium pada saat seperti ini.

Namun, karena mereka berciuman, gairah Saito meningkat hingga batasnya. Sambil melupakan aturan “Hanya satu tempat”, tangannya meraih bawah rok Louise.

Louise menjadi bingung. “Ini buruk, sepertinya dia tak serius menanggapiku.

“To-tolol..., hanya satu tempat..., terlebih lagi, kau, tiba-tiba...,Hei, tunggu, hei, apa yang kau pikirkan, hei, tolol, wa-, kau, an, hal begituan, yan, tolol...”

“Suka.”

Saitu bergumam tak jelas, menggigit daun telinga Louise. Tenaga Louise meninggalkan raganya dan dia didorong terbaring dalam perahu. Muu, cinta yang sangat serius, “mana yang lebih penting,” pikirnya, dan di saat bersamaan Saito menekannya dengan energi tak berbatas.

I, itu, tunggu, hei..., tak bagus, dada, jangan dadanya. Tak mungkin, jangan disitu, jangan.”

Karena tangan yang berada di dalam rok dan tangan di sela-sela kemejanya, Louise perlahan-lahan dikalahkan keputusasaan.

“Suka, Sangat suka, Benar-benar suka.”

Bagaikan menggunakan pedang pusaka yang diwariskan turun temurun, Saito terus-menerus mengulang-ulang “Suka” dengan cepat. Seperti yang diharapkan dari kata-kata menyihir, ia meruntuhkan tembok hati Louise seakan listrik menjalari sekujur tubuhnya.

“...A-Apa kau benar-benar menyukaiku.”

Tanpa sadar dia menanyakan balik.

“Ya.”

“Benarkah, apa kau jujur?...Ah.”

Begitu dia mengatakan itu, bibir mereka tersambung.

Tunggu sedikit. Bahkan, meski kau menukaiku, buruk sekali untuk melakukannya tiba-tiba. Aku belum siap dan aku juga punya harga diriku.

Itu benar, aku adalah Louise Françoise Le Blanc de La Vallière.

Aku adalah putri ketiga keluarga seorang Adipati.

Aku, sebagaimana kau tahu, tak semudah wanita kota.

Mutlak tak mungkin akumelakukannya sekarang, aku tak bisa melakukannya sebelum aku menikah untuk setidaknya tiga bulan; selain itu, dimana sih familiar ini menyentuh tuannya. Aku takkan memperbolehkannya untuk beeeeeesaaaaar kepala. Sambil memikirkan itu, Louise mengangkat kepalannya ke atas kepala. Mengarah pada bagian bawah Saito, dia menghantamnya dengan kakinya.

Begitu dia melakukan itu, bibir mereka terpisah dan Saito berbisik dekat telinganya.

“Aku menyukaimu. Louise, Aku sangat menyukaimu.”

Dan dengan sebuah “AKu sangat menyukaimu”, maka jadilah. Louise tengah menurunkan kepalannya, tapi tiba-tiba dia kehilangan tenaga dan secara tak sadar balas memeluk Saito.

“Aah, kini tiada jalan keluar. Apa yang harus kulakukan, Ibu, aku mungkin akan diubah menjadi bintang oleh Louise.” Pada akhirnya, Sambil mengucapkan itu, Saito membayangkan wajah yang harus ia pasang saat ini. Karena Louise tak mulai-mulai menghajar, perlahan-lahan dia membuka matanya dan sebuah pemandangan indah terbentasng di hadapannya.

Para pekerja Istana telah berkumpul di sekeliling, mengepung seisi kolam.

Dengan wajah kaku, Eléonore berdiri disana.

Dengan wajah pucat seakan dia hendak pingsan, ibu Louise berdiri disana.

Dan diantara semua yang hadir, dengan wajah paling remuk redam dari semuanya, berdiri Ayah Louise.

Untuk sesaat, Louise berkeringat dingin dan lalu mendorong Saito jauh-jauh.

Dengan sepercik “byur,” Saito jatuh kedalam kolam.

“Apa-apaan ini?! Saito mulai berteriak dan disadari oleh hadirin didalam halaman.

Adipati La Vallière memerintahkan dengan penuh ketegasan.

“Hm~, tahan Louise dan kurung dia dalam menara. Dan juga, karena dia takkan menigggalkan tempat itu, setidaknya untuk setahun, mohon ganti rantainya dengan sesuatu yang lebih kuat.”

“Pasti!” jawab Jerome si Butler.

“Dan untuk anak itu. Si jelata itu. Hm~, pemasungan. Karena dia akan ditunjukkan selama sebulan, mohon buat stan yang baru.”

“Pasti!” jawab Jerome dengan nada sama.

Para pekerja secara serentak mulai mengeluarkan sapu, sabit, cangkul, tombak, pedang, dan menyerbu. Saito menggenggam pegangan Derflinger di punggungnya. Tanda di tangan kirinya bersinar.

“Rekan. Sudah berapa lama? AKu sedang membayangkan jikalau kau akan mati sendirian.”

“Maaf, bicaranya nanti saja!”

“Sepertinya begitu.”

Saito, tanpa banyak cingcong meloncat kedalam perahu, memeluk Louise lalu meletakkannya di bahu.

Dan setelahnya mulai berlari.

“S-Siapa orang ini?! Dia sangat cepat!”

“Bagaikan elf!”

Saito berlari bagaikan angin melalui koridor-koridor istana.

Kapapnpun salah seorang pekerja menghalangi jalannya, dengan sepatah “Maafkan aku,” dia meminta maaf dan dengan satu hantaman dari kakinya, memaksa penghalang rubuh ke tanah.

“Apa-paan yang kalian semua kerjakan?!”

Sambil mengatakan itu, adipati yang murka, yang telah melihat putri terkecilnya ditindih, menghunus tongkat sihirnya, namun Saito sudah di luar jangkauan mantra. Pikiran mereka, yang tak tahu kecepatan gerak Gandalfr, sepenuhnya kacau. Tetapi...para penjaga gerbang sudah dihubungi dan tengah menggunakan para golem untuk mengangkat jembatan gantung. Rantai-rantai yang menyangga jembatan gantung berderik saat ditarik.

Setelah melompat masuk taman depan, dimana gerbang berada, wajah Saito memucat. Sepertinya dia takkan bisa sampai. Sepertinya Saito yang tengah menggunakan kekuatan gandalfr takkan bisa melompati kali yang lebar itu.

Tepat saat dia berpikir “Kita sudah tersudut!,” rantai yang menyangga jembatan gantung berubah warna. Karena terkena “Alchemy”, rantai berubah menjadi tanah lunak dan mengeropos ke tanah. Jembatan yang kehilangan penyangga jatuh kembali.

Saito berlari di atas jembatan.

Saat dia menyebrang, sebuah kereta melompat keluar entah darimana. Yang mengherankan, keretaanya tak ditarik kuda tapi oleh naga.

Siesta yang gemetar ketakutan duduk di kursi pengendara.

“Cepatlah! Buruan naik!”

Setelah mendorong masuk Louise kedalam kereta, Saito juga melompat masuk.

“M-mengapa seekor naga?”

“Aku tak tahu! Tapi jika mereka kuda, bukankah mereka akan lari? Um, itu, Nona Cattleya bilang itu padaku! Kyaa! Kyaa, kyaa! Bagaimanapun, Naga itu menakutkan! Wajah mereka menakutkan!” Sambil menjeritkan itu, Siesta mengelus tali kekang sambil melamun.

“Ayo tukeran,” kata Saito, mengambil alih tali kekang dari Siesra dan duduk di kursi pengendara. Siesta tersenyum dan memeluk Saito. Di kursi belakang, Louise hendak meledak begitu dia melihat adegan itu, tapi dia tahan. Dia mengingat kata-kata Saito tadi. “Aku mencintaimu,” katanya. Berapa kali dia bilang itu ya....

Yah, aku akan menoleransi klo hanya segitu. Pokoknya, seorang ningrat yang merasa iri pada jelata adalah aneh. Dia tersenyum dan menjaga sikapnya, seakan dia tak peduli. Begitu Louise melakukan itu, Siesta cepat-cepat menyembulkan kepala dan menghadapnya.

“Um. Mohon maafkan kelancanganku, Nona....”

“Hm?”

“Sepertinya saat aku mabuk, aku mengatakan hal-hal yang tak pantas padamu...ini sebuah kebiasaan buruk. Sepertinya saat .....aku mabuk, kelakuanku berbeda dari biasanya. Ya. Pasti begitu”

Siesta memohon maaf atas sikap kasarnya.

“Ya, tak apa-apa. Mulai saat ini, cobalah menjaga sikapmu,” jawab Louise dengan ketenangan seorang wanita yang telah menang dalam cinta.

“AKu sangat berTerima kasih!”

Siesta perlahan menarik kepalanya menjauhi Louise. Setelahnya dia menggosok-gosokkan badannya pada saito.

Aaaah, mereka terlalu dekat. Tapi karena kita tadi lebih dekat, seharusnya tak apa-apa untuk saat ini. Hanya sedikit. Ini amal.

“Tapi...Saito-san, kau sungguh lelaki yang sopan.”

“Hm? Benarkah?”

“Itu benar! Karena meski aku begitu dekat denganmu...kau tak melakukan apapun.”

“I-itu...tentu saja aku takkan.”

Louise tersenyum. Tentu saja, itu karena kau sama sekali tak menarik. Meski kau bilang kepadaku bahwa aku sedatar papan. Ini aneh. Ini kemenangan si papan~. Dan karenanya ini kekalahan si pelayan tolol itu~.

“Erm, eh, Iya, kancing kemejaku lepas.”

Alis Louise terangkat.

“Eh? Yah, itu mungkin karena kau terlalu banyak gerak kemana-mana. Haahaa.”

“Itulah mengapa aku selalu bilang padamu....”

Kata Siesta dengan suara pelan sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Saito. Namun, suaranya tetap terdengar jelas oleh telinga Louise. Lagipula ini pukulan tipu Siesta.

“A-Apa?”

“Jika kau ingin lihat, bilang saja. Aku takkan menyembunyikan apa-apa. Tak perlu kau menahan dirimu sama sekali~”

Aah, Siesta. Perkataanmu itu....

Dari belakang. Suara keras dari udara yang bergetar sudah terdengar. Atau, bukan udara yang bergetar, melainkan Louise.

“Aku mengerti.”

“Familiarku melepas kancing pelayan, huh?”

“Familiarmu melepas kancing karena aku terlihat kesakitan.”

“Simpan penjelasanmu.”

“Tapi itu bukan sebuah penjelasan.”

“Nona! Tiada cara lain! Waktu itu, Saito-san khawatir! Dia khawatir karena dia menyukaiku!”

Aah, Siesta, jangan menyiramkan minyak bukannya air ke api yanhg membara.

Saito mulai membantah meski tahu itu tiada gunanya.

“Aku tak melakukan hal seperti itu.”

“Aku mengatakan itu, tapi kau melihat Chii-neesama juga.”

“Hanya sedikit.”

“Mau bagaimana lagi, memang pantas kau menerima perlakuan yang lebih buruk dari anjing.”

Kesopanan yang tak perlu. Suasana dimana dia berada berarti dia tak bisa melawan. Dengan itu, Saito tengah kelelahan karena dia menggunakan terlalu banyak kekuatan gandalfr. Seseorang bisa mengatakan bahwa Saito tahu persis dia tak bisa melawan tak peduli bagaimanapun jua.

Dengan telinga yang dijewer, Saito ditarik masuk kereta.

“Nona! Tenanglah! Nona Vallière!”

“Tak apa-apa. Semuanya akan segera berakhir. Bagaimana ya mengatakannya~, ini pasti takdir. Itu menurutku.”

Saito tersenyum dan menghilang kedalam.

Saito berguling di lantai. Louise mendatanginya.

“Pertama-tama, semua yang tadi kau dan aku katakan di perahu adalah kesalahan.”

“Ya. Aku mengerti.”

“Mulai hari ini, Aku pikir rem diperlukan. Dan kau?”

“Aku sangat berterima kasih karena hanya dibilang begitu.”

Namun, rem itu tak pernah datang.

Jeritan Saito dapat terdengar dalam jangka waktu panjang di daerah La Vallière.

Sambil menonton kereta yang menghilang di kejauhan, Cattleya tersenyum. Setelah itu dia tiba-tiba terbatuk-batuk. Dia telah menghabiskan tenaganya dengan mantra “Alkemi” yang tadi digunakannya.

Dalam sudut pandangnya, dia dapat melihat jembatan gantung di kejauhan. Karena dia menggunakan mantra dari jarak yang cukup jauh, cukup banyak kekuatan hatinya yang tersedot.

Didalam kamar ada trush yang bernyanyi.

Itu adalah burung kecil yang terluka, yang dia pungut dan perban tadi. Dia menerawangi trush dalam sangkar untuk sesaat lalu Cattleya pun tersenyum sayang.

Dia membuka tutup snagkar dan mengulurkan tangannya kedalam. Trush itu melompat ke tangannya. Setelah dia mengeluarkannya, dia membuka perbannya.

Dia membentangkan tangannya keluar melalui jendela. Trush di tangannya melirik kedalam wajah Cattleya lalu mendongakkan kepalanya ke sisi karena ragu.

Seakan dia menanyainya.

“Tak apa-apa. Kini akan baik-baik saja.”

Trush itu memandangi langit. Lalu dia mengepakkan sayap-sayapnya.

Cattleya memandangi trush yang terbang di langit.

Dalam diam, Cattleya menerawang untuk watu yang lama.