Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4 : Hari Familiar[edit]

Seminggu telah berlalu sejak Saito memulai hidupnya sebagai Familiar Louise di Tristain Magic Academy. Jika ada yang bisa menerangkan apa itu hari biasa bagi Saito, maka akan menjadi seperti ini.

Satu, seperti kebanyakan manusia dan hewan di Tristain, dia bangun pagi. Tempat tidurnya, seperti biasa, lantai, meski dibandingkan hari pertama sudah ada peningkatan. Tahu badannya bakal sakit sepanjang malam bila tidur di lantai yang keras. Saito meminta Siesta beberapa dedak yang diberikan pada Kuda dan menyusunnya di pojok kamar. Saito tidur di tumpukan dedak, dan hal pertama yang dilakukan Saito tiap pagi adalah membangunkan Louise, seperti ayam. [mungkin lebih cocok menggunakan istilah jerami daripada dedak]

Tapi dia harus melakukannya, karena akan jadi masalah kalau Louise yang bangun pertama. [Louise yang bangun lebih dulu]

“Familiar bodoh yang harus dibangunkan tuannya mesti dihukum.” Louise tak pernah lupa mengingatkannya.

Jika Saito ketiduran, dia bakal melewatkan sarapan.

Begitu bangun, Louise ganti pakaian. Dia memakai pakaian dalamnya sendiri, tapi menyuruh Saito memakaikan seragamnya. Ini sudah dijelaskan sebelumnya.

Dengan penampilannya yang menawan, Saito sesak setiap kali melihat Louise dengan pakaian dalamnya.

Mereka bilang kau akan biasa dengan cinta cantikmu dalam 3 hari, tapi sepertinya Saito takkan terbiasa dengan Louise dalam waktu dekat.

Mungkin karena dia familiarnya, bukan cintanya. Meski dengan selalu bersama Louise, dia sejatinya ia. Perbedaannya hanyalah sikap dan perlakuan Louise padanya. [daripada istilah cinta cantik mungkin lebih baik menggunakan kekasih cantik]

Dapat melihat Louise setiap hari tak begitu buruk. Tetapi itu merupakan luka abadi di harga dirinya. Saat membantu memakaikan sepatu Louise misalnya, dia tak bisa menyembunyikan perasaan tertusuk dari wajahnya.[perasaan kesal?]

Setidaknya itu masih bisa diterima, tapi jika Saito mulai berceloteh untuk memanasi Louise, segalanya menjadi berantakan.

“Seorang familiar kasar yang menyusahkan tuannya pagi-pagi begini perlu dihukum,” merupakan moto lain Louise.

Jika Saito menggoda Louise mengenai ukuran dadanya, atau jadi menyebalkan dan mengatakan sesuatu seperti, “Kancing saja sendiri.” Dia bakal melewatkan sarapan.

Setelah memakai seragamnya, yang berupa jubah hitam, blus putih dan rok abu-abu yang dipleat. Louise lalu mencuci muka dan menggosok gigi. Kamar itu tak memiliki air terpasang, jadi Saito harus ke mata air dan mengambil air untuk keperluan Louise dalam ember. Dan tentu saja, Louise tidak mencuci muka sendiri, Saito yang melakukannya.

Suatu pagi, Saat Saito mengelap wajah louise dengan handuk, dia menggores wajah Louise pelan-pelan dengan sepotong batu bara yang ditemukannya.

Melihat karyanya di wajah Louise, Saito menahan tawa. Kemudian dengan kesopanan palsu, dia dengan santun membungkukkan badannya pada Louise.

“Putri, Kaulah pemimpin kecantikan hari ini.”

Karena tekanan darah rendah, Louise hanya bisa memberikan jawaban dalam kantuknya.

“…Merencanakan sesuatu?”

“Aku? Aku hanyalah familiar yang melayani putrid. Aku takkan berkonspirasi!”

Louise curiga akan kesantunan Saito yang tiba-tiba dan sangat santun, namun karena hamper terlambat untuk kelas, dia tak menanyainya Saito lebih lanjut.

Dengan pipi yang merah mawar, mata kaca yang menawan, dan bibir yang seolah terpahat dari koral terbaik, Louise tahu dia tak harus berdandan. Dengan kata lain, dia tak perlu berkaca sering-sering. Hasilnya: dia tak tahu sama sekali riasan yang dikenakan Saito padanya.”

Louise menuju kelas dalam keadaan itu. Pada waktu itu, dia tak bertemu siapa-siapa di lorong maupun tangga.

Louise membuka pintu kelas sambil terengah-engah. Serentak seluruh teman sekelasnya memandangi Louise dan meledak dalam tawa.

“Hey, terlihat baik, Louise!”

“Ya Tuhan! Ini sangat lo!”

Setelahnya, saat Mister Colbert memuji halus kacamata bergaya dan kumis yang disketsa di wajahnya, Louise mengamuk. Dia keluar ke lorong dimana Saito memegang perutnya dan berguling-guling di lantai dalam tawa nan histeris, Menaboknya berulang kali, dan memotong jatah makannya untuk sehari.

Menurut Louise, familiar yang memperlakukan tuannya seperti kanvas adalah setan yang dulu melawan Brimir sang pendiri dan dew-dewaa temannya, dan setan seperti ini tak pantas mendapatkan roti dan sup yang diberkahi Sang Ratu.


* * *


Setelah sarapan, Saito membersihkan kamar Louise. Ini termasuk menyapu lantai dengan sapu dan mengelap meja serta jendela dengan lap.

Dan tentunya ada cucian nan nikmat. Dia membawa cucian ke bawah ke pancuran dan menggosoknya bersih dengan papan cuci. Tioada air hangat, hanya air sedingin es yang menggigit ganas jarinya. Pakaian dalam Louise terlihat merupakan potongan mahal dengan frill . Dia bakal kehilangan satu jatah makan bila merusak satu, jadi dia harus mencucinya dengan lembut. Ini merupakan kerja yang menyakitkan. Cape dengan semua ini, suatu hari dia meninggalkan satu dengan karet yang agak robek di gunungan. Beberapa hari kemudian, Louise keluar dengan mengenakan potongan itu, saat akhirnya karetnya putus. CDnya meluncur ke lututnya, menngikat kaki Louise bagaikan jebakan.

Kejadiannya di puncak tangga, sehingga dia terjatuh secara spekatkuler ke bawah.

Untungnya, tidak ada siapapun disana sehingga tiada yang melihatnya berguling ke bawah dengan bagian bawah badannya terbuka, jadi setidaknya reputasinya terselamatkan. Mengetahui ini bakal jadi Pembantaianm Saito berhati-hati untuk tidak mengintip roknya saat dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh ke Louise, yang pingsan di Lantai bawah. Dia tak bermaksud candaannya menjadi seperti ini. Malah, dia mengharapkan itu terjadi itu terjadi di lorong untuk malu maksimum.

Saat Louise sadar dan menyadari apa yang terjadi, dia melemparkan potongan yang robek kepada Saito yang duduk manis di sisi tempat tidur.

"Ada yang robek.”

“Benar sekali Putri.”

Suara Louise bergetar karena amarah

“Jelaskan.”

“Pasti karena air pancuran, Putri. Kenapa? Karena ia dingin sehingga membekukan jari-jari. Aku percaya karetnya tak tahan itu.”

Saito menjawab pelan.

“Jadi kau katakana ini kesalahan karetnya?"

“Aku mengatakan itu kesalahan airnya. Airnya jelek, Aku yakin ada kutukan padanya sehingga ia dingin dan bisa mempengaruhi karet.”

“Kalau begitu, aku seharusnya tak menyajikan sup dari air jelek itu untuk familiarku yang setia.”

“Sangat murah hatimu, oh Putri.”

“Kupikir perlu 3 hari untuk airnya kembali seperti sediakala.”

Saito mendapati jatahnya dipotong 3 hari.


* * *


Meski begitu, Saito baik-baik saja selama 3 hari itu. Dia hanya berpura-pyra mondar-mandir dan mampir ke dapur di belakang Aula Alviss, dimana Siesta yang bersemangat dan manis akan menyajikannya makanan seperti sup, dan daging tulang. Dia kesana meski jatahnya tak dipotong. Sup yang dikatakan Louise “Berkah yang tersebar dari Yang Mulia, Sang Ratu” tak pernah cukup untuk sebuah berkah mengenyangkannya.

Biasanya, dia merahasiakan kunjungannya ke dapur dari Louise. Louise begitu terobsesi untuk tidak memberinya lebih hingga kelakuannya diperbaiki, jadi akan menjadi masalah bila Louise tahu tentang daging dan sup yang diberikan Siesta. Louise pasti melarang dia berkunjung demi “mendidik” familiarnya.

Namun untuk sekarang, dia sama sekali tak tahu, Saito lebih memilih Siesta dan dapur seratus kali dbandingkan dengan Sang Ratu dan Brimir sang Pendiri yang tak pernah ditemuinya.


* * *


Suatu pagi, setelah meminum habis supnya di depan Louise, dia pergi ke dapur. Saito yang telah mengalahkan Guiche di Vestri Court, sangat terkenal disana.

“Pedang kita hadir disini!”

Yang berteriak adalah Marteau, Koki kepala, pria gemuk di 40-1nnya. Sejatinya, dia seorang jelata, tapi dengan posisinya sebagai Koki kepala akademi, dia memperoleh posisi ningrat rendah, fakta yang bisa dibanggakannya.

Berpakaian sederhana tapi rapi, dia memerintahkan seisi dapur dengan lambaian dan ayunan tangannya.

Meski posisinya terhormat sebagai koki kepala dari akademi sihir untuk ningrat, Marteau sama sekali tak arogan, dan yang mengejutkannya, membenci baik sihir maupun ningrat.

Dia menyebut Saito, yang menggunakan pedang untuk mengalahkan Guiche, dengan sebutan “Pedang kami” dan memperlakukannya bagai raja. Berkat dia, dapur serasa oasis untuk Saito.

Saito duduk di kursinya, dan dengan senyum, Siesta menyajikan semangkuk sup dan roti putih yang lembut dengan hangat.

“Makasih.”

“Sup hari ini sangat istimewa,”

Kata Siesta, terlihat bahagia. Saito dengan penasaran memasukkan sesendok ke mulut dan wajahnya langsung menyala.

"Wow, ini lezat! Dunianya lain dengan serpihan yang kudapat!”

Tepat saat itu, Marteau menghampiri meja dengan pisau dapur di sebelah tangannya.

“Tentu saja. Sup itu sama dengan apa yang kami sajikan ke anak-anak ningrat.”

“Ku tak percaya ini yang mereka makan setiap hari…”

Marteau mendengus mendengar komen Saito.

"Hmph! Benar mereka bisa sihir. Membuat pot dan panci dari debu, memunculkan permata nan indah, bahkan mengendalikan naga – terus apa! Dari yang kulihat, menciptakan sajian seluar biasa ini sendiri merupakan sihir. Kau setuju kan, Saito?

Saito mengangguk.

“Jelas.”

“Teman yang baik! Kau ramah!”

Dia menaruh lengannya di bahu Saito.

“Sini, “Pedang kami”! Biarkan aku mengecup keningmu! Ayolah! Aku mohon!”

“Sebaiknya jangan. Dan berhenti memanggiku begitu,” kata Saito.

“Mengapa?”

“Itu…aneh”

Dia melepaskan Saito dan melebarkan tangannya untuk membantah.

“Tapi kau mebelah golem penyihir berkeping-keping! Masih tak mengerti?”

“Memang sih.”

“Katakana, di mana kau belajar menggunakan pedang? Ceritakan padaku dimana aku bisa pergi untuk mengayunkan pedang seperti itu.”

Marteau menatap lekat-lekat Saito. Dia terus menanyakan hal yang sama saat Saito datang untuk makan, dan jawaban Saito selalu sama.

“Aku tak tahu. Aku tak pernah memegang pedang sebelumnya. Badanku bergerak sendiri.”

“Kalian semua dengar itu!?”

Dia berteriak, suaranya bergema ke seluruh dapur.

Koki-koki muda dan murid-murid menyahut balik.

“Kami mendengarmu, Boss!”

“Inilah seorang ahli sebenarnya! Mereka tak pernah menyombongkan keahliannya! Lihat dan pelajari!

Para koki mengobrol dengan antusias.

“Seorang ahli yang benar tak pernah menyombong.”

Kemudian Marteau berputar dan menoleh pada Saito.

“Kau tahu, “Pedang Kami.” Aku semakin tergila-gila padamu. Terus bagaimana?”

“Ym, tentang apa…?”

Dia selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi Marteau pikir dia hanya merendahkan diri. Ini membuat frustasi. Dia merasa mempermainkan orang baik. Pandangan Saito beralih pada Tanda di tangan kirinya.”

Sejak hari itu. Ia tak pernah bersinar. Itu apan sih?...Bahkan saat Saito mencoba menjelaskan dengan menatap tandanya, Marteau berpikir dia sedang merendah.

Sang koki menoleh pada Siesta.

"Siesta!"

"Ya?"

Siesta, yang dengan gembira menonton keduanya akrab, menjawab dengan jelas.

“Bawakan pahlawan kita beberapa dari yang terbaik di Albion.”

Senyumnya melebar, lalu mengambil sebotol anggur yang diminta dari rak, kemudian dituangkannya sebagian ke gelas Saito. Siesta terserap wajah Saito yang semakin merah seiring tegukan anggur. Kejadian ini berulang terus, hampir selalu:.

Saito mengunjungi dapur. Marteau semakin dekat dengan Saito, dan respek Siesta padanya semain mendalam.


* * *


Meski pada hari itu…ada bayangan merah mengintai Saito dari jendela Dapur. Salah satu koki menyadarinya.

“Hey, ada sesuatu diluar sana.”

Bayangan itu bersuara ‘kyuru kyuru’ dan pergi menjauh.


* * *


Lalu setelah sarapan, bebersih dan cucian, dia menemani Louise ke kelas. Biasanya, dia dibuat duduk di lantai, tapi setelah Louise menyadari dia mengintip isi rok gadis lainnya, akhirnya dia dipersilahkan duduk di kursi. Dan dibuat jelas bahwa begitu Saito memalingkan perhatiannya terlalu jauh dari papan tulis, jatah makan siangnya hangus.

Awal-awalnya pelajarannya begitu memukau Saito,: merubah air jadi anggur, mencampur berbagai reagen menjadi potion khusus, memunculkan bola api dari ketiadaan, mengapungkan kotak, tongkat, dan bola keluar dari jendela kelas untuk ditangkap familiar-familiar, dll… tetapi setelah beberapa saat, semuanya jadi biasa.

Jadi dia tidur saja. Profesor dan Louise selalu menatapnya penuh benci setiap beberapa saat, tapi tiada aturan yang melarang familiar tidur selama pelajaran. Dan melihat sekeliling kelas, seluruh familiar malam mendengkur, bahkan burung hantu seseorang. Bahkan, bila mereka membangunkan Saito, itu sama saja mengakui dia adalah manusia. Louise menggigit bibirnya dari keinginan terpendamnya untuk memberi Saito fikirannya, tapi tak bisa karena melakukan itu berarti membohongi dirinya sendiri bahwa dia tidak lebih dari sekedar familiar.


* * *


Pada hari yang sama, bermandikan sinar matahari, Saito tertidur nyenyak selama pelajaran lain.

Anggur yang diminumnya pagi itu sedang bekerja, dan Saito bermimpi.

Merupakan mimpi yang sukar dipercaya tentu saja.

Sebuah mimpi dimana Louise merangkak menuju tumpukan jeraminya saat malam di kala dia tidur.

“Ada yang salah Louise…?”

Mendengar namanya dipanggil, Louise menoleh pada Saito.

“Kau tak bisa tidur? Oh, baiklah…selalu saja. Munya~”

Oh, dia hanya menggigau dalam tidurnya,

Pikirnya, dan dia kembali menghadap ke depan.

“…Munya. Hei, jangan memelukku tiba-tiba.”

Pandangan Louise kembali terarah pada Saito. Murid lain mulai menyadari situasi dan membuka telinga mereka lebar-lebar.

“…Yah, untuk penindas budak selama siang, kau adalah hal termanis dan terlucu di tempat tidur.”

Saito ngacai dari bagian pinggir mulutnya dan mimpinya pun terus berlanjut.

Louise mencengkeram bahunya dan mengguncangnya keras-keras.

"Hey! Mimpi macam apa kau ini?!”

Teman sekelasnya meledak dalam tawa. Malicorne sang Windward memberi komen.

"Oi oi, Louise! Apa itu yang kau lakukan dengan familiarmu saat malam? Aku terkejut!”

Para murid wanita saling berbisik.

“Hai!itu hanya igauan tidur bodoh! Ah, grrr! Ayo bangunlah!”

“Louise,Louise, kayak kucing aja; berhenti menjilatiku seperti itu…”

Pada titik ini, Tawa meledak memenuhi ruangan hingga ke atap.

Louise menendang Saito dari kursi, secara kasar dikembalikannya alam nyata dari mimpi indah nan lembutnya.

“Ta-Tadi itu untuk apa?!”

“Sejak kapan aku pernah menyelinap ke tumpukan jeramimu?!”

“Louise,Louise, kayak kucing aja; berhenti menjilatiku seperti itu…”

Louise menyilangkan tangannya dan menatap tajam ke bawah pada Saito.

Saito menggeleng-gelengkan kepalanya tak sadar, hanya untuk mengejutkan kelas lebih jauh lagi.

“Saito, jelaskan pada orang-orang yang rada-rada kasar ini bahwa aku tak pernah melangkah satu kaki pun dari tempat tidurku saat malam.”

“Ya. Kalian semua, yang dikatakannya benar. Aku hanya bermimpi yang keterlaluan saat ini. Louise takkan pernah melakukan sesuatu seperti itu.”

Para murid berbalik menjauh dengan agak kecewa.

"Bukankah itu sudah pasti? Kayak aku bakal melakukan hal seperti itu! Dengan INI, tak mungkin! Dengan INI! Bahkan untuk berpikir aku bakal seselimut dengan bentuk hidup nan rendah ini sudah sangat kelewatan, bahkan untuk lelucon sekalipun!”

Louise mengangguk-angguk meyakinkan diri, sambil mengalihkan pandangannya ke atas.

“Tapi, kadang mimpiku menjadi nyata.”

Saito memanasi lagi.

“Tentu saja! Kita tahu mimpi memiliki kekuatan untuk mengatakan masa depan!” Seseorang di ruangan menyokong dengan persetujuan.

“Tuanku di sini, dengan kepribadiannya, kemungkinan takkan pernah menemukan cintanya.”

Kebanyakan murid menangguk, Louise menatap Saito suatu pandangan tajam nan menusuk, tapi itu sudah terlambat. Panggung sepenuhnya di bawah kuasa Saito.

“Tuanku yang sial ini terkadang frustasi sebagai akibatnya, dan mengalihkannya dengan cara menyelinap ke tumpukan jerami Familiar yang sederhana ini.”

Louise berkacak pinggang dan langsung menutup “pertunjukan” Saito hari itu.

"Cukup! Tutup mulut kotormu sekarang juga!”

Itu juga tak bisa menghentikan Saito.

“Saat dia lakukan itu, aku harus menyayanginya sedikit…”

Pada titik ini, dia sudah keterlaluan. Bahu Louise mulai bergetar dengan amarah.

“Dan kataku padanya,’Ini bukanlah tempatmu untuk tidur.’”

Kelas memberikan applaus. Saito menirukan sebuah gerakan membungkuk nan elegan dan duduk kembali.

Louise menendangnya jauh-jauh, mengirimnya berguling-guling melewati lantai.

“Jangan menendangku!”

Tapi Louise sudah terlihat siap meledak. Pandangannya terarah lurus ke depan, dan, seperti biasa, bahunya bergetar dengan amarah yang siap menyembur.

Sekali lagi,ada bayangan merah yang menonton Saito.

Ternyata Salamander Kirche. Dengan perut menyentuh tanah, ia menatap Saito melalui celah di antara barisan kursi.

"Hm?"

Menyadari hal ini, Saito melambaikan tangan padanya

“Kau Salamander Kirche kan? Aku tahu kau punya nama. Apa ya…Ohya, namamu Flame. Flame~”

Saito menyuruhnya mendekat, Tapi si Salamander mengibaskan ekornya dan menyemburkan beberapa lidah api sebelum berlari menuju tuannya kembali.

“Mengapa seekor kadal sangat tertarik padaku?”

Saito membenggokkan kepalanya dalam kebingungan.


* * *


Dan selama Saito kontes tatap-tatapan dengan seekor salamander selama kelas…

Di Kantor Kepsek, Miss Longueville sang sekretaris sedang sibuk menulis sesuatu.

Dia berhenti menulis untuk sesaat dan menatap ke meja sequoia dimana Sir Osmond sedang sibuk terlelap.

Dari pinggir bibir mawar Miss Longueville, tersungging sebuah senyum tipis, sebuah ekspresi yang belum pernah ditunjukkannya kepada siapapun.

Dia bangkit dari mejanya.

Dengan suara rendah, diucapkannya mantra untuk “Spell of Tranquility”. Dengan menjinjitkan kakinya agar tak membangunkan Osmond, dia menyelinap keluar dari kantor.

Tujuannya adalah tempat Harta, yang berada di lantai yang tepat berada dibawah kantor kepsek.

Turun dari tangga, dihadapinya pintu besi nan besar. Mereka dikunci dengan mekanisme bolt tebal, yang diamankan dengan Padlock yang juga besar.

Tempat ini merupakan tempat penyimpanan artifak yang bahkan ada yang berasal dari zaman sebelum akademi didirikan. Setelah dengan hati-hati memeriksa tempat itu, Miss Longueville mengeluarkan tongkatnya dari kantong. Panjangnya sepensil, tetapi dengan sekali sentakan dari pergelangan, ia memanjang hingga sebaton konduktor, yang sangat mahir digunakannya.

Miss Longueville mengucapkan lagi mantra.

Setelah pembacaan selesai, dia menunjuk tongkatnya pada padlock.

Namun…Tidak ada yang terjadi.

“Yah, bukan berarti aku harap “Spell of Unbinding” untuk bekerja juga sih.”

Tersenyum nakal, dia mulai membacakan kata-kata dari salah satu mantra keahliannya.

Ia merupakan sihir transmutasi. Mengucapkannya keras dan jelas, diayunkannya tongkat ke Kunci yang berat itu. Sihirnya menyelimutinya…Tapi setelah menunggu cukup lama, tidak ada perubahan yang terlihat.

“Sepertinya ia diperkuat secara sihir oleh penyihir kelas segi-4,” gumamnya.

“Spell of Reinforcement” merupakan sihir yang mencegah oksidasi dan penguraian materi. Apapun yang dikenai sihir ini akan dilindungi dari setiap reaksi kimia, dan menjadikannnya terus dalam keadaan yang ajeg. Bahkan sihir transmutasi pun takkan berefek pada sesuatu yang dilindungi seperti ini. Hanya jika keahlian sihir seseorang melampaui yang menyihir benda tersebut, sihir tersebut akan dipatahkan.

Dari yang terlihat, penyihir yang memantrai pintu ini sepertinya penyihir yang sangat kuat, mengingat Miss Longueville, seorang ahli sihir bumi dan transmutasi, tak bisa mempengaruhi pintu itu.

Mencopot kacamatanya, dipandanginya sekali lagi pintu itu. Pada titik ini, dia mendengar langkah kaki menaiki tangga. Dikecilkannya tongkat dan dimasukkannnya lagi ke kantongnya.

Orang yang muncul ternyata Colbert.

“Salam, Miss Longueville. Apa yang kau lakukan disini?”

“Mr. Colbert, aku hendak mengatalogkan isi dari tempat harta, tetapi…”

“Wah, itu nampaknya berat. Mungkin perlu seharian untuk pergi ke semua dan tiap benda. Ada banyak sampah tercampur dengan mereka, dan ruangan tempat mereka disusun juga agak sesak.”

“Betul itu.”

“Kenapa tak kau pinjam saja kunci dari Osmond tua?”

Si Wanita tersenyum.

“Yah…aku tak ingin mengganggu tidurnya. Bagaimanapun juga, aku tidak diburu untuk menyelesaikan catalog…”

“Oh, begitu, Tidur, kau bilang. Si orang tua itu, maksudku, Osmond tua, sepertinya seorang yang tidur lelap. Sepertinya aku harus mengunjunginya di lain waktu.”

Mr. Colbert mulai pergi menjauh, tapi berhenti sejenak, dan memutar balik.

“Err… Miss Longueville?”

“Ada masalah?”

Colbert terlihat malu-malu ketika mulai membuka mulutnya untuk bicara.

“Bagaimana kalau kau, jika kau bisa,…bersamaku makan siang?”

Dia perlu waktu untuk berpikir, kemudian tersenyum cerah saaat menerima tawaran tersebut.

“Tentu, dengan senang hati.”

Keduanya lalu menuruni tangga.

"Hey, Mister Colbert."

Dengan nada yang agak formal, Miss Longueville memulai lagi pembicaraaan.

“Y-Ya? Ada apa?”

Agak terkejut bagaimana undangannya diterima, Colbert merespon agak cepat.

“Apa ada sesuatu yang penting di dalam ruang harta?”

"Ada.”

“Terus, apa kau tahu tentang 'Staff of Destruction'?"

“Ah, itu benda yang berbentuk menarik tentu saja.”

Matanya berkilat.

“Bentuknya…bagaimana?”

“Sulit sekali untuk dijelaskan, kecuali aneh, ya, begitulah. Tapi ga usah dipikirkanlah, apa ada yang mau kau makan? Menu hari ini adalah flounder yang dipanggang dalam herba…tapi aku berhubungan cukup baik dengan Marteau sang koki kepala, jadi aku bisa memeintanya membuat makanan terbaik se—“

"Ahem."

Miss Longueville memotong pembicaraan Colbert.

“Y-ya?”

“Harus kukatakan, ruang harta dibangun dengan sangat luar biasa. Tidak peduli sihir apapun yang dicoba, ia mustahil dibuka, ya kan?”

“Ya, itu benar, Mustahil untuk satu penyihir. Karena ia dibangun sekelompok penyihir kelas segi-4 untuk menahan seluruh sihir.”

Aku sangat terkesan kau sangat tahu dalam hal ini Mr Colbert.”

Dia memberinya ekspresi yang menyenangkan.

“Eh? Ya…Haha, aku hanya kebetulan melewati berbagai dokumen yang menjelaskan lantai ini, itu saja kok…Aku menyukainya sebagai bagian dari penelitianku, Haha. Dan terima kasih untuk itu, karena kau masih sendiri pada usia segini…ya.”

“Kuyakin wanita yang kau temukan akan menjadi bahagia denganmu. Kau bisa mengajarinya begitu banyak tentang hal-hal yang tak diketahui orang lain sih…”

Miss Longueville menyorotnya dengan pandangan terkagum.

“Ah, tidak! Jangan menggodaku seperti itu!”

Colbert tersipu-sipu saat dilapnya keringat dari dahi botaknya. Lalu, dengan ketenangan yang kembali, dia menghadapi Miss Longueville, serius.

“Miss Longueville, apa kau dengar “Ball of Frigg” yang dilaksanakan pada Hari Yule?”

“Tidak, belum.”

“Haha, kukira itu karena kau baru di Tristain selama dua bulan. Ya, ia tak istimewa sih, hanya pesta biasa. Meski begitu, katanya pasangan yang menari bersama di pesta ini ditakdirkan untuk bersama atau sesuatu seperti itu. Hanya legenda murahan tentu saja!”

“Jadi?”

Tersenyum, dipaksanya dia untuk melanjutkan.

“Jadi…kalau bisa, aku berharap kau berdansa denganku, yah, begitu.”

“Aku sebenarnya ingin. Meski pesta seperti itu sangat berarti, aku lebih tertarik dengan harta sekarang ini. Aku tertarik dengan benda-benda sakti, kau tahu.”

Karena ingin membuat kagum Miss Longueville lebih jauh, Colbert memutar otak. Dia bilang harta, harta,…”

Mengingat sesuatu yang mungkin mernarik bagi Miss Longueville, dia mulai berbicara sesuatu yang dianggapnya penting.”

“Oh ya, ada satu hal yang bisa kubilang padamu. Meski, ia tak terlalu penting…”

“Dengan segala hormat, mohon dikatakan.”

“Tentu saja, ruangan itu tak bisa ditembus serangan sihir, tapi kupercaya ia memiliki satu kelemahan mendasar.”

"Oh, itu sangat menggoda.”

“Kelemahan itu adalah…kekuatan fisik.”

“Kekuatan fisik?”

“Ya! Sebagai contoh, meski tak mewakili, tapi golem raksasa bisa—“

“Sebuah golem raksasa?”

Colbert menuangkan opininya dengan bangga kepada Miss Longueville. Dan begitu dia selesai bicara, Miss Longueville tak bisa menyembunyikan senyum puasnya.

“Itu merupakan hal yang paling menark, Mr Colbert.”


Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 5