Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab7"
m |
m |
||
Line 1: | Line 1: | ||
+ | ==Bab 7 : Fouquet si Crumbling Earth== |
||
+ | |||
Di Tristain, ada pencuri penyihir bernama “Tanah yang ambruk,” yang membuat setiap ningrat di negeri ini berada dalam ketakutan. Nama lengkapnya Fouquet sang Tanah ambruk. |
Di Tristain, ada pencuri penyihir bernama “Tanah yang ambruk,” yang membuat setiap ningrat di negeri ini berada dalam ketakutan. Nama lengkapnya Fouquet sang Tanah ambruk. |
||
Line 386: | Line 388: | ||
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
||
|- |
|- |
||
− | | [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab6| |
+ | | Mundur ke [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab6|Bab 6]] |
− | | [[Zero_no_Tsukaima |
+ | | Kembali ke [[Zero_no_Tsukaima ~ Indonesian Version|Halaman Utama]] |
− | | [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab8| |
+ | | Maju ke [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab8|Bab 8]] |
|- |
|- |
||
|} |
|} |
Latest revision as of 11:57, 5 September 2012
Bab 7 : Fouquet si Crumbling Earth[edit]
Di Tristain, ada pencuri penyihir bernama “Tanah yang ambruk,” yang membuat setiap ningrat di negeri ini berada dalam ketakutan. Nama lengkapnya Fouquet sang Tanah ambruk.
Saat Fouquet mendengar ada ningrat di utara yang memiliki mahkota bertahtakan permata, dia bakal pergi kesana untuk mencurinya. Saat Fouquet mendengar bangsawan di selatan memiliki sebuah tongkat yang dihadiahkan oleh raja sebagai harta keluarganya, dia mendobrak dinding untuk mencurinya. Di Timur, tiada cincin mutiara terbaik dari seniman kepulauan Putih yang tersisa di Mansion manapun. Fouquet juga tanpa pandang bulu mengambil botol tak ternilai berisi anggur berumur tua dari pabrik anggur di barat. Sang pencuri ada dimana-mana.
Taktik Fouquet macam-macam, dari penyusupan tak terlacak sampai mendobrak langsung. Bank nasional diserang pas siang bolong, dan rumah-rumah dimasuki diam-diam dalam kegelapan malam. Pada semua kejadian, Taktik Fouquet sesederhana meninggalkan para penjaga dengan debu. Fouquet diidentifikasi hanya dari penggunaan alkemi untuk memasuki kamar sasaran, merubah pintu dan dinding jadi tanah dan pasir, kemudian masuk lewat lubang yang menganga. Para ningrat tidaklah bodo, tentu saja mereka telah berusaha “mengeraskan” apapun diantara harta mereka secara sihir untuk menghentikan alkemi, tapi sihir Fouquet terlampau kuat, dan merubah segalanya, yang dijaga maupun tidak, jadi tanah.
Jika Fouquet memutuskan untuk mendobrak masuk, sebuah golem tanah setingi 30 mail digunakan. Menghantam kesamping penjaga sihir dan meruntuhkan dinding benteng, membuatnya mampu secara terang-terangan mengambil hadiahnya pada siang bolong.
Tiada seorangpun yang pernah melihat Fouquet dari dekat. Tiada yang tahu apakah dia lelaki atau perempuan. Yang mereka tahu hanyalah Fouquet adalah penyihir tanah dari , paling tidak, kelas segitiga, bahwa dia meninggalkan catatan-catatan yang menghinakan, seperti”Aku dapatkan hartamu.~ Fouquet sang Tanah Ambruk” pada setiap TKP, dan di menyukai harta dan artifak dengan kekuatan sihir yang besar.
Dua bulan besar menyinari jalan-jalan pada dinding-dinding diluar lantai ke-5 akademi sihir, yang melindungi sebuah kamar harta. Cahaya menarik sebuah bayangan, yang berdiri tegak pada dinding. Fouquet sang Tanah Ambruk.
Rambut Fouquet yang hijau panjang berkibar karena diterpa angin, dan Fouquet berdiri tegak, menunjukkan dirinya sebagai orang yang telah menusukkan ketakuutan pada seluruh ningrat negeri ini.
Dengan menekan satu kaki pada dinding, Fouquet merasakan kekuatan dinding dan tak bisa untuk tidak mengaguminya. Menara utama Akademi sekuat keliahatannya...apa hanya serangan fisik kelemahannya? Aku tak bisa mendobrak melalui sesuatu setebal ini tanpa menarik perhatian. Bukan sesuatu yang sulit untuk ahli sihir bumi seperti Fouquet untuk memeriksa ketebalan suatu dinding dengan kaki mereka, tapi mendobraknya adalah hal yang lain. Sepertinya mereka hanya menggunakan mantra pengeras, tapi bahkan akupun tak bisa mendobraknya dengan seekor golem. Mntra pengerasnya sangat kuat...alkemiku takkan berbuat banyak.
“Sial...dan aku sudah jauh-jauh sampai ini.” Gigi si pencuri digigitkan keras dalam frustasinya.”Aku takkan pergi meninggalkan “ Staff of Destruction”, apapun yang terjadi.”Fouquet menyilangkan tangannya dan tenggelam dalam pikiranya sendiri.
Sementara Fouquet memikirkan dinding, kamar Louise tengah Chaos. Louise dan Kirche saling menatap dengan marah, dan Saito, di tempat tidur jeraminya, dengan bersemangat mempelajari pedang yang baru saja diberikan Kirche. Tabitha acuh tak acuh dan terus membaca di kasur Louise.
Louise berkacak pinggang.”Apa maksud dari ini, Zerbst?” Louise menatap lawannya.
Kirche menonton kekaguman saito,”Sudah kukatakan padamu, aku dapatkan apa yang Saito mau, jadi aku kesini untuk memberikan itu padanya.”
“Ah, sia-sia saja. Aku sudah mendapatkan senjata untuk familiarku. Benar kan Saito?”
Berlawanan dengan itu, Saito tak bisa melepaskan pemberian Kirche. Dia melepaskan sarung pedang dan menatapnya. Saat dia memegang pedang itu, tanda di tangan kirinya bersinar, sementara badannya menjadi seringan bulu. Dia ingin mengayun-ayunkannya, tapi dia di kamar. Dia tetap tak bisa menemukan ada apa dengan tangan kirinya. Yang dia tahu hanyalah bahwa ia bersinar bila dia memegang pedang.
Tapi perhatiannya kini tertuju pada Pedang yang dihiasi dengan indah ini.
“Ini luar biasa…Aku masih lebih menyukai yang ini…dan ia bersinar!”
Louise menendangnya ke udara.
“Apa yang kau lakukan?!” teriak Saito.
“Balikkan itu. Bukankah kau sudah punya pedang berbicara?”
“Uh…bener sih…menarik juga bila pedang bias bicara, tapi tetap saja…”Ia sangat berkarat, tua dan rusak. Jika seorang ksatria hendak menggunakan sesuatu, harusnya sesuatu yang berkilat dan keren, kan? Lagipula, Kirche memberikannya gratis…
“Vallière, kata-kata dengki tidaklah sopan!” Sela Kirche, keras.
“Iri? Siapa yang iri?”
“Bukannya kau? Aku, Kirche, dengan mudahnya mendapatkan Pedang yang paling diinginkan Saito sebagai hadiah. Kau tak bias bilang kau iri, kan?”
“Iri gimana sih! Selain itu, aku takkan bias nerima bahkan sedikit dari kemurahan hati seorang Zerbst! Itu saja!!”
Kirche memandang saito, yang menatap dengan enggan pada pedang yang terhiasi di tangan Louise.
‘Kau lihat itu? Saito menyukai pedang ini, tahu? Pedang ini yang diciptakan alkemis dari Germania sendiri, Lord Shupei!”Kirche melemparkan pandangan menggoda pada saito.”Dengarlah…Apa yang baik dibawah matahari, mau pedang ataupun wanita, hanya bias dating dari Germania! Wanita Tristainian, seperti Louise, semuanya pengiri, tak sabaran, sombong, ga bias apa-apa yang ekstrim, dan tidak ada yang bias mengubah mereka!”
Louise menatap Kirche. “Apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” “Oh,...Sangat…mengagumkan. Perempuan sepertimu adalah orang-orang yang kepalanya hanya disisi hal-hal romantic saja! Apa kau nyambung dengan terlalu banyak lelaki di Germania, membuat semuanya tak percaya padamu, dan berakhir dengan pengusiran dan melarikan diri kesini, ke Tristania?” serang Louise sambil tertawa dingin dan tak mengenakkan, ditambah amarah yang menggigilkan tubuhnya.
“Kau sangat berani Vallière…” Wajah Kirche menjadi gelap.
“Apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” Timpal Louise yang merasa menang.
Secara bersamaan, keduanya mengeluarkan tongkat mereka, tapi…
Tabitha menggerakkan tongkatnya lebih cepat dari keduanya, menerbangkan kedua tongkat mereka dengan sebuah topan.
“Dalam ruangan,” katanya kaku.
Mungkin bermakna berbahaya kalau bertarung disini.
Louise sambil marah-marah bergumam,”Dan siapa ini? Dia sudah duduk di kasurku selama-“
“Dia temanku,” balas Kirche
"Dan mengapa temanmu di kamarku?"
Kirche menatapnya,”Ada yang salah dengan itu?”
“Hmmmph.”
Saito mencoba ngobrol dengan Tabitha, tapi dia tak pernah membalas, dia terus saja membaca bukunya, sepertinya percakapan tak menyenangkan buatnya.
Sementara itu, Louise dan Kirche saling menatap.
Kircghe mengalihkan pandangannya,”Bagaimana kalau Saito yang memutuskan?”
“Aku? Memutuskan?” Saito langsung merasa tertekan disaat diarah seperti ini.
“Ya. Ini soal pedang pilihanmu.” Louise juga memandangnya.
Saito tiba-tiba merasa sial. Dia lebih menyukai pemberian Kirche tentu saja. Tapi Louise takkan pernah membiarkanku memilih itu, atau aku takkan mendapat makan malam selama seminggu, meski aku bisa dapat makan dari Siesta, tetep aja…
Dia memandang Louise, yang menatapnya. Louise mungkin ingin menang sendiri, sombong, dan tak tahu terima kasih, tapi dia merawatku selama aku pingsan berhari-hari…dan dia tipe yang membuatku tertarik…
Lalu…Kirchememebelikanku pedang yang sangat mahal ini. Dan dari segalanya, seorang cantik sepertinya menembakku. Sebelumnya, tiada jalan bagiku untuk mendaratkan seseorang seperti ini sebuah tembakan…
OK, itu hanya membuat ini semakin sulit. Sekarang malah seperti memilih diantara keduanya daripada memilih diantara kedua pedang.
“Yah? Yang mana?” Kirche dan Louise menatapnya.
“Emm…apa boleh dua-duanya? Saito membengkokkan kepalanya dan mencoba terlihat lucu.
Tak mempan. Dia meluncur ke udara oleh tendangan kombinasi, membuatnya terhempas ke kasur jeraminya. “Hei.” Kirghe menghadap Louise sekarang.
“Apa?”
“Sepertinya ini harus diselesaikan sekarang.”
“Hmm…kau benar.”
“Kau tahu? Aku benar-benar membencimu.”
“sama-sama.”
“Kiata berpikiran sama nih.” Kirche tersenyum dan mengangkat alisnya.
Louise, juga mengangkat dagunya.
“Ayo berduel!” Mereka berteriak satu suara.
‘Ampun deh…itu tak perlu…” Saito terkejut. Keduanya saling menatap seolah tak mendengarnya.
“Tapi tentu saja, kita harus melakukannya dengan sihir!” Kirche mengatakannya bersemangat.
Louise menggigit bibir atasnya, dan mengangguk” OK, tempat?”
“Benarkah? Kau yakin? Oh, Louise si Zero. Kau yakin ingin bertarung denganku dalam duel sihir?” Kirche mengejek.
Louise menunduk. Yakinkah aku? Tentu saja…tidak. Tapi ini tantangan dari seorang Zerbst, jadi dia harus meladeninya.”Tentu saja! Aku takkan kalah darimu!”
Sementara itu, Fouquet yang tengah berdiri di tembok menara pusat akademi merasakan langkah-langkah kaki. Dia melompat ke tanah, dan tepat saat akan mendarat, dibisiknya “Mantra Melayang”, mendarat bagaikan bulu, menyerap momentumnya. Fouquet lalu menghilang diantara semak-semak.
Louise, Kirche, Tabitha dan Saito memasuki halaman.
“Baiklah, ayo mulai.” Kata Kirche.
“Apa kalian benar-benar hendak bertarung?” Saito bertanya, penasaran.
“Ya, kami akan.” Jawab Louise percaya diri.
“Bukankah itu sedikit…berbahaya? Mari kita hentikan ini dan sudahan saja, ayolah.”
“Itu benar, jadi siapapun yang mendapat luka adalah yang bodoh,” kata Kirche.
“Yap,” Angguk Louise.
Tabitha menghampiri Kirche, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. kemudian dia menunjuk Saito.
"Hmm...itu ide yang bagus!" Kirche tersenyum kecil
Kirche kemudian membisikkan sesuatu pada Louise.
"Ah...tak buruk." Louise mengangguk.
Keduanya kini menatap Saito. Dia langsung merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Hey...Apa kalian serius?" Mohon Saito, tapi tiada yang peduli.
Dia digantung di udara, terikat tali pada menara utama. Yep...seharusnya aku pilih salah satu dan menyudahi
ini. Di tanah yang terlihat sangat, sangat jauh, dia bisa melihat bayang-bayang Kirche dan Louise. Meski tengah
malam, kedua bulan membuat segalanya terang. Dia bahkan bisa melihat Tabitha di Naga anginnya. Ia memegang dua
pedang di mulutnya.
Kedua bulan menyinari Saito dengan hangatnya.
Kirche dan Louise menengadah, melihatnya, yang tengah berayun-ayun dan memberontak di udara.
Kirche melipat lengan bajunya," ini atuaran mainnya...Yang pertama memutuskan tali dan membuat Saito jatuh
menang. Kemudian pedang pemenang di ke-Saito-kan. Jelas?"
"Mengerti." Louise mengangguk dengan wajah hampa.
"Tiada batas pada jenis mantrayang digunakan. Kau boleh jadi yang pertama...ku traktir kau."
"Baiklah."
"OK...Semoga berhasil."
Louise mengeluarkan tongkatnya. Di udara, Tabitha mulai menggoyangkan tali, membuat saito terayun ke kiri dan
kanan. Mantra seperti bola api memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan selama sasaran tak bergerak, pasti
kena. tetapi Louise memiliki masalah yang lebih besar dari itu - pertama-tama, mantranya harus bisa jadi.
Louise berpikir keras. apa yang bisa? Angin? Api? Air dan tanah tak bisa...mereka tak punya banyak mantra yang
bisa memotong tali. Mantra api adalah pilihan terbaik...dan Louise tahu itu adalah keahlian Kirche.
Bola api Kirche bisa memotong tali itu dengan sangat mudah. Aku tak bisa gagal disini.
Dia pilih bola api pada akhirnya. Membidik pada yang kecil sebagai sasaran, dia mengucapkan mantra pendek. Jika
dia gagal, Saito mendapatkan pedang Kirche, dan untuk seseorang yang seperti Louise, ini sangat tak bisa
diterima. Dia selesai berucap, dan dengan konsentrasinya yang paling penuh, menyentakkan tongkatnya. Jika
berhasil, sebuah bola api seharusnya keluar dari ujung.
Tapi tiada yang keluar dari si tongkat. sedetik kemudian, tembok dibelakang Saito meledak. Gelombang getarannya
menggoyang Saito lebih keras."Ada apa ini?! Ingin membunuhku ya?!" Saito berteriak marah pada mereka.
Tali tetap tersambung. Jika dia pikir bisa menggunakan Gelombang getara untuk memutuskan tali, dia tak
berpikir. Sebuah celah besar muncul di dinding.
Kirche kolaps dalam tawa. "Zero! Zero Louise! kau hancurkan tembok,bukan talinya! itulah Kemampuanmu!"
Louise tertunduk.
"Benar-benar deh, apa sih yang kau lakukan untuk membuatnya meledak seperti itu?! Ya Tuhan...pinggangku
sakit..."
Louise memegang kepalannya dan bersimpuh di tanah karena frustasinya.
"Selanjutnya giliranku." Kirche mnyasar tali bagai Pemburu ke buruannya. Tabitha menggoyangkan tali, jadi bakal
sulit membidik. Meski begitu, Kirche tersenyum tak peduli. Membaca sebuah mantra pendek, Kirche mengayunkan
tongkatnya, mantra api memang keahliannya sih.
Dari tongkatnya, muncul bola api sebesar melon, yang terbang menuju saito, menghantam tali, dan membakarnya
dalam sekejap. saito mulai jatuh ke tanah, tapi Tabitha mengayunkan tongkatnya dari atap, menmbacakan mantra
melayang padanya, membuatnya mendarat lambat ke tanah.
"Aku menang, Vallière!” Kirche mengumumkan kemenangannya.
Louise terduduk, menarik rumput dengan tangannya dalam keputusasaan.
smentara itu, Fouquet menonton mereka dari semak-semak. si pencuri melihat celah di dinding dari tembakan
Louise. Sihir macam apa itu? Dia menmbca mantra bola api, tapi tiada yang keluar dari tongkatnya, dan
dindingnya meledak seperti itu. Aku tak pernah mendengar ada mantra yang bisa membuat sesuatu meledak seperti
ini. Fouquet menggelengkan kepalanya. Lebih penting lagi, dia tak bisa melewatkan kesempatan ini. Fouquet mulai
membaca sebuah mantra panjang, mengayunkan toangkatnya ke tanah. Saat selesai, senyum tipis terbentuk di
wajahnya. Mengikuti suara Fouquet, sebuah gundukan terbentuk di tanah. Fouquet si Tanah Ambruk tengah
menunjukkan kemampuannya.
"Memalukan sekali, Vallière!” Kirche tertawa.
Dia telah kalah bertarung, dalam kesedihan dan kehampaannya, dadanya bergetar. Saito melihatnya dengan emosi
yang rumit di wajahnya."...Mengapa kau...tak...melepaskanku dulu?" suaranya keluar dengan nada rendah. Dia tak
bisa bergerak dengan tali yang membungkusnya berlapis-lapis.
Kirche tersenyum," Oh, tentu saja, dengan senang hati!"
Tiba-tiba, Kirche merasakan sesuatu di belakangnya. Dia menoleh. Dia tak bisa mempercayai matanya.
"Apa...apa-apaan ini?!" Mulutnya menganga. Apa yang dilihat adalah golem tanah raksasa yang menuju mereka.
“Kyaaaaaaaaaa!!!!!” Kirche melarikan diri sambil berteriak.
Saito berteriak di belakangnya,"Hoi! Hoi! jangan tinggalkan aku disini!" dia panik. Ya, dia memang tak pernah
melihat golem yang sebegitu besar sebelumnya, dan itu sedang menuju ke tempatnya."a-apa-apaan ini>! gede
banget!" Saito ingin lari, tapi tali membuatnya tetap di tanah.
Louise tersadar dan berlari ke arahnya.
"Kau...mengapa kau terikat seperti ini?!"
"Bukannya ini idemu?!"
Diatas mereka, si golem mengangkat kakinya.
Saito kehilangan harapan."Louise, pergi dari sini!" teriaknya.
"Sial...Tali ini..." Louise tetap berusaha untuk melepaskan ikatannya.
Kaki golem jatuh. Saito menutup matanya.
Tepat saat itu, Naga angin Tabitha menukik dari langit dan mencengkram mereka dengan talonnya dan menarik
mereka dari bawah kaki dengan hanya seinci dari kaki, sebelum ia jatuh dan meremukkan segala dibawahnya dalam
sedetak jantung.Sambil tergantung di bawah naga angin, Saito dan Louise menonton si golem. Saito yang gemetaran
bertanya"A-A-Apaan itu?"
Aku tak yakin...tapi itu golem tanah raksasa! Seseorang pasti memanggilnya!"
"Yang segede itu?!"
"...Siapapun yang memanggilnya pasti setidaknya sekelas penyihir segitiga."
Saito menggigit bibirnya, dan berpikir tentang Louise, yang mencoba melepaskannya meski berbahaya."disamping
itu..mengapa kau tak lari?"
"Tiada tuan yang terhormat yang akan meninggalkan familiarnya seperti itu."Jawabnya tegas.
Saito menontonnya diam-diam. Untuk alasan tertentu, dia melihatnya sangat menarik...saat ini.
Fouquet yang berdiri di bahu golem, tersenyumn dan tak menaruh perhatian pada naga angin atau Kirche yang
melarikan diri. Sebuah jubah gelap menyelimutinya dari kepala sampai ujung kaki sehingga mereka tak bisa tahu
wajahnya. Fouquet mengubah kepalan golemnya menjadi logam, dan memerintahkannya untuk meninju tembok. Sebuah
suara menggelegar begitu kepalan logam menghantam dan merobohkan dinding. Di bawah Jubah yang gelap, Fouquet
menyeringai.
Si golem memindahkan Fouquet ke dalam dengan tangannya, dan si pencuri masuk melalui lubang dan menuju bagian
harta. Ia menyimpan berbagai barang yang berharga, tapi Fouquet hanya menyasar satu.
"Staff of Destruction".
Sebaris tongkat dari berbagai jenis tergantung di dinding, tapi ada satu yang oleh Fouquet sama sekali tak
tampak seperti sebuah tongkat. panjangnya semail, dan terbuat dari semacam logam yang tak pernah dia lihat
sebelumnya. Dia melihat pelat logam di bawahnya, tertulis,"Tongkat kehancuran, jangan dipindahkan." Senyumnya
berubah jadi tawa kecil.
Fouquet mengambil "Staff of Destruction", dan terkejut karena ringannya. Ini terbuat dari apa sih? Dia tak
punya waktu untuk bingung dan berlari kembali ke bahu golem.
Fouquet membakar sebuah pesan ke dinding sebelum pergi""Aku dapatkan 'Staff of Destruction'.-Fouquet si Tanah
Ambruk."
Dengan pemanggil berjubah duduk di bahunya, si golem melompati tembok akademi, mendarat dengan dentuman yang
keras, lalu bergerak ke padang rumput dan terus menjauh.
Diatas golem, si Naga angin berputar-putar. Tabitha yang duduk di Naga angin, mengayunkan tongkatnya untuk
mantra melayang, yang menggerakkan Saito dan Louise ke punggung naga. Dia mengayun lagi, dan angin disekitar
saito bresonansi menjadi gelombang pemotong, memutuskan tali yang mengikat menjadi tercerai-berai.
"Terima kasih," katanya pada Tabitha.
Wajahnya tetap kosong, hanya mengangguk.
Saito menonton golem tanah raksasa, dan bertanya pada Louise,"Penyihir itu...memecahkan tembok. Tapi untuk
apa?"
"Bagian harta." jawab Tabitha.
"Dia memegang sesuatu saat keluar dari lubang itu."
"Itu sebuah pencurian. Tapi itu...sangat 'tabrak langsung'."
Mereka menonton hingga golem raksasa tiba-tiba ambruk saat tengah berlari, menjadi gundukan tanah yang besar.
Mereka turun ke tanah.
Diterangi kedua bulan, tidak ada apapun selain segunung tanah. Hanya dengan itu saja, penyihir yang memanggilnya telah menghilang di kegelapan malam.
Mundur ke Bab 6 | Kembali ke Halaman Utama | Maju ke Bab 8 |