Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
((belum disunting))
 
m (revisi)
Line 1: Line 1:
===Toko Swalayan di Ujung Dunia===
+
==Toko Swalayan di Ujung Dunia==
   
Dari jendela-jendela kereta yang terbuka hanya lima sentimeter, aroma laut mengalir masuk dengan lambat.
+
Meski jendela-jendela kereta dibuka hanya sekitar lima senti, aroma laut sudah mengalir masuk dengan lambat.
   
Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang lain di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung turun ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai dibuka. Karenanya, anak SMP mungkin satu-satunya yang liburan ke pantai saat libur musim semi...... termasuk aku.
+
Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP yang berlibur ke pantai di saat libur musim semi...... termasuk aku.
   
Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok gunung-gunung dan hutan bambu tiba-tiba menghilang di depan mataku, dan lingkup pandanganku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.
+
Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok pegunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap di depan mataku, dan lingkup pandangku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.
   
 
Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.
 
Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.
   
Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku bisa segera melihat sekumpulan abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.
+
Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku segera melihat kumpulan berwarna abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.
   
Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah itu berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke situ untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Sambil waktu berlalu tempat itu berubah menjadi sunyi yang aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat tertutup karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak bermaksud memberitahukannya pada siapapun.
+
Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah yag ada di sana, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke sana untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Setelah sejenak waktu berlalu, tempat itu berubah menjadi sunyi aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat terlindung karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah dulu terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak berniat memberitahukannya pada siapapun.
   
   
Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun ilham saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.
+
Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun inspirasi saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.
   
Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas belian, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku menggunakannya membongkar peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan untuk sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.
+
Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas berharga, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku sering membongkari peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.
   
 
Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.
 
Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.
Line 25: Line 25:
 
Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.
 
Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.
   
Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ketimbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.
+
Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ke timbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.
   
Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya sebelumnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?
+
Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?
   
Aku memanjat naik ke atap mobil terlantar, dan mulai mendaki ke atas kumpulan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Aku awalnya berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.
+
Aku memanjat naik ke atap mobil bekas, dan mulai mendaki tumpukan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Pad awalnya aku berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.
   
Aku melihat ke lembah sesudah mencapai puncak dari timbunan itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.
+
Aku melihat ke bawah sesudah mencapai puncak dari timbunan sampah itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.
   
Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya mengeluarkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.
+
Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya memantulkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.
   
Itu adalah seorang gadis.
+
Seorang gadis.
   
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara yang merasuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.
+
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.
   
<picture>
+
<!-- picture --!>
   
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
Line 49: Line 49:
 
Aku tidak bisa mengingat namanya. Dan untuk lagu yang dimainkannya, aku juga tidak bisa mengingatnya.
 
Aku tidak bisa mengingat namanya. Dan untuk lagu yang dimainkannya, aku juga tidak bisa mengingatnya.
   
Seharusnya tidak ada orang lain di sekitar sini juga, jadi jadi seharusnya aku hanya mendengar suara dari piano bersama dengan deburan ombak yang tersaring melalui hutan, jadi kenapa? Kenapa aku bisa mendengar suara orkestra?
+
Dan tidak ada orang lain di sekitar sini, jadi seharusnya aku hanya mendengar suara dari piano bersama dengan deburan ombak yang tersaring melalui hutan, jadi kenapa? Kenapa aku bisa mendengar suara orkestra?
   
 
Aku tiba-tiba menyadari kalau piano di bawahku mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dia memainkan nada rendah dengan paksaan. Bukan hanya itu, sepeda yang terkubur didalam reruntuhan di sana, kotak kaleng yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya – mereka semua beresonansi bersama dengan piano itu.
 
Aku tiba-tiba menyadari kalau piano di bawahku mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dia memainkan nada rendah dengan paksaan. Bukan hanya itu, sepeda yang terkubur didalam reruntuhan di sana, kotak kaleng yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya – mereka semua beresonansi bersama dengan piano itu.
Line 59: Line 59:
 
Itu hanyalah ilusi pendengaranku, namun terasa begitu nyata.
 
Itu hanyalah ilusi pendengaranku, namun terasa begitu nyata.
   
Aku tahu musik itu entah bagaimana, tapi apa tepatnya?
+
Entah bagaimana aku tahu musik itu, tapi apa judulnya?
   
Kenapa— ia menyetuh hatiku dengan sangat?
+
Kenapa— musik itu begitu menyentuh hati?
   
 
Barisan allegro terdengar seperti langkah kebingungan yang mengalir ke muara yang luas, dimana musik mencapai adaigo. Gelembung-gelembung kecil not-not yang tak terhitung jumlahnya mengalir naik dari dasar laut ke permukaan, dan berangsur-angsur menyebar keluar. Lalu, suara dari orkestra erdengar dari jauh lagi, dan saat ini ia seharusnya terus melaju dengan mantap—
 
Barisan allegro terdengar seperti langkah kebingungan yang mengalir ke muara yang luas, dimana musik mencapai adaigo. Gelembung-gelembung kecil not-not yang tak terhitung jumlahnya mengalir naik dari dasar laut ke permukaan, dan berangsur-angsur menyebar keluar. Lalu, suara dari orkestra erdengar dari jauh lagi, dan saat ini ia seharusnya terus melaju dengan mantap—
Line 71: Line 71:
 
Gadis itu berhenti memainkan piano, dan menatap ke arahku dengan pandangan yang sangat tegang.
 
Gadis itu berhenti memainkan piano, dan menatap ke arahku dengan pandangan yang sangat tegang.
   
Orkestra halusinasi, getaran dari piano dan bahakn suara angin berdesir melalui pepohonan – semuanya sudah menghilang, membuatku berfikir untuk sesaat kalau kiamat benar-benar datang.
+
Orkestra halusinasi, getaran dari piano dan bahkan suara angin berdesir melalui pepohonan – semuanya sudah menghilang, membuatku berfikir untuk sesaat kalau kiamat benar-benar datang.
   
 
“....... Sudah berapa lama kau berdiri di sana?”
 
“....... Sudah berapa lama kau berdiri di sana?”
   
Dia berkata. Suaranya jernih seperti gelas wine yang jatuh pecah mengenai lantai. Dia marah. Aku kehilangan pijakkanku, dan terpeleset dari lemari es yang menjadi pijakkanku.
+
Dia berkata. Suaranya jernih seperti gelas wine yang pecah karena jatuh ke lantai. Dia marah. Aku kehilangan pijakkanku, dan terpeleset dari lemari es yang menjadi pijakkanku.
   
 
“Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?”
 
“Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?”
Line 91: Line 91:
 
“Jadi kamu mendengarkan dari awal?”
 
“Jadi kamu mendengarkan dari awal?”
   
Aku tidak bisa menghindarinya, okey! Terus apa yang kau ingin aku lakukan? Menari tarian Indian sambil menjerit sekuat tenaga untuk dilihat olehmu? Sambil aku melihat wajahnya yang merah dan rambutnya yang berkibar, aku perlahan menenangkan diri. Aku tidak melakukan hal yang salah, itu hanya seseorang sampai lebih awal daripada aku kan?
+
Aku tidak bisa menghindarinya, okey! Terus apa yang kau ingin aku lakukan? Menari tarian Indian sambil menjerit sekuat tenaga untuk dilihat olehmu? Sambil melihat wajahnya yang merah dan rambutnya yang berkibar, aku perlahan menenangkan diri. Aku tidak melakukan hal yang salah, ia hanya seseorang datang lebih awal daripada aku kan?
   
 
“Sicko! Maniak!”
 
“Sicko! Maniak!”
   
“Bukan, tunggu sebentar!” Kenapa aku harus dituduh seperti itu?
+
“Bukan, tunggu sebentar!” Kenapa aku dituduh seperti itu?
   
 
“Kau benar-benar menguntitku sampai ke sini!”
 
“Kau benar-benar menguntitku sampai ke sini!”

Revision as of 14:13, 7 June 2013

Toko Swalayan di Ujung Dunia

Meski jendela-jendela kereta dibuka hanya sekitar lima senti, aroma laut sudah mengalir masuk dengan lambat.

Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP yang berlibur ke pantai di saat libur musim semi...... termasuk aku.

Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok pegunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap di depan mataku, dan lingkup pandangku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.

Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.

Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku segera melihat kumpulan berwarna abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.

Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah yag ada di sana, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke sana untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Setelah sejenak waktu berlalu, tempat itu berubah menjadi sunyi aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat terlindung karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah dulu terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak berniat memberitahukannya pada siapapun.


Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun inspirasi saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.

Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas berharga, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku sering membongkari peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.

Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.


Akan tetapi, aku bukan satu-satunya yang mengunjungi tempat pembuangan itu di hari itu.

Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.

Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ke timbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.

Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?

Aku memanjat naik ke atap mobil bekas, dan mulai mendaki tumpukan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Pad awalnya aku berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.

Aku melihat ke bawah sesudah mencapai puncak dari timbunan sampah itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.

Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya memantulkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.

Seorang gadis.

Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.