Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m (revisi)
Line 39: Line 39:
 
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.
 
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.
   
<!-- picture --!>
+
<-- picture --!>
   
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.

Revision as of 14:14, 7 June 2013

Toko Swalayan di Ujung Dunia

Meski jendela-jendela kereta dibuka hanya sekitar lima senti, aroma laut sudah mengalir masuk dengan lambat.

Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP yang berlibur ke pantai di saat libur musim semi...... termasuk aku.

Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok pegunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap di depan mataku, dan lingkup pandangku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.

Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.

Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku segera melihat kumpulan berwarna abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.

Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah yag ada di sana, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke sana untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Setelah sejenak waktu berlalu, tempat itu berubah menjadi sunyi aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat terlindung karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah dulu terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak berniat memberitahukannya pada siapapun.


Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun inspirasi saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.

Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas berharga, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku sering membongkari peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.

Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.


Akan tetapi, aku bukan satu-satunya yang mengunjungi tempat pembuangan itu di hari itu.

Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.

Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ke timbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.

Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?

Aku memanjat naik ke atap mobil bekas, dan mulai mendaki tumpukan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Pad awalnya aku berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.

Aku melihat ke bawah sesudah mencapai puncak dari timbunan sampah itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.

Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya memantulkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.

Seorang gadis.

Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.

<-- picture --!>

Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.

Wajahnya yang tegas dan putih pucat itu merupakan sesuatu yang tidak umum di dunia ini, dan dia sangat cantik sampai aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya; rambut merah tuanya berkilau seperti cahaya yang mencair di bawah sinar matahari.

Aku pernah melihatnya disuatu tempat, tapi...... kenapa?

Aku tidak bisa mengingat namanya. Dan untuk lagu yang dimainkannya, aku juga tidak bisa mengingatnya.

Dan tidak ada orang lain di sekitar sini, jadi seharusnya aku hanya mendengar suara dari piano bersama dengan deburan ombak yang tersaring melalui hutan, jadi kenapa? Kenapa aku bisa mendengar suara orkestra?

Aku tiba-tiba menyadari kalau piano di bawahku mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dia memainkan nada rendah dengan paksaan. Bukan hanya itu, sepeda yang terkubur didalam reruntuhan di sana, kotak kaleng yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya – mereka semua beresonansi bersama dengan piano itu.

Sampah-sampah yang terkubur di lembah sedang bernyanyi.

Tapi gema-gema itu menggerakkan ingatan-ingatanku akan orkestra yang mengikuti nada itu.

Itu hanyalah ilusi pendengaranku, namun terasa begitu nyata.

Entah bagaimana aku tahu musik itu, tapi apa judulnya?

Kenapa— musik itu begitu menyentuh hati?

Barisan allegro terdengar seperti langkah kebingungan yang mengalir ke muara yang luas, dimana musik mencapai adaigo. Gelembung-gelembung kecil not-not yang tak terhitung jumlahnya mengalir naik dari dasar laut ke permukaan, dan berangsur-angsur menyebar keluar. Lalu, suara dari orkestra erdengar dari jauh lagi, dan saat ini ia seharusnya terus melaju dengan mantap—

Tapi musik itu tiba-tiba berhenti.

Aku menahan nafasku, dan menatap turun ke arah piano, sambil terpaku di puncak kumpulan sampah seperti remis.

Gadis itu berhenti memainkan piano, dan menatap ke arahku dengan pandangan yang sangat tegang.

Orkestra halusinasi, getaran dari piano dan bahkan suara angin berdesir melalui pepohonan – semuanya sudah menghilang, membuatku berfikir untuk sesaat kalau kiamat benar-benar datang.

“....... Sudah berapa lama kau berdiri di sana?”

Dia berkata. Suaranya jernih seperti gelas wine yang pecah karena jatuh ke lantai. Dia marah. Aku kehilangan pijakkanku, dan terpeleset dari lemari es yang menjadi pijakkanku.

“Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?”

“Urm, yeah......”

Aku akhirnya bisa bernafas setelah memaksa suaraku keluar.

“...... Mungkin saat cadenza.”

“Cadenza di awal?”

Dia berdiri dengan cepat, dan rambut merah tuanya yang lembut jatuh dari pundaknya. Baru saat itulah aku menyadari kalau dia mengenakkan gaun terusan berwarna putih.

“Jadi kamu mendengarkan dari awal?”

Aku tidak bisa menghindarinya, okey! Terus apa yang kau ingin aku lakukan? Menari tarian Indian sambil menjerit sekuat tenaga untuk dilihat olehmu? Sambil melihat wajahnya yang merah dan rambutnya yang berkibar, aku perlahan menenangkan diri. Aku tidak melakukan hal yang salah, ia hanya seseorang datang lebih awal daripada aku kan?

“Sicko! Maniak!”

“Bukan, tunggu sebentar!” Kenapa aku dituduh seperti itu?

“Kau benar-benar menguntitku sampai ke sini!”

“Menguntit..... Oi! Aku ke sini cuma untuk mengumpulkan beberapa sampah!”

Sesaat segera setelah dia menutup tutup piano itu, ada sesuatu yang beresonansi bersamaan dengannya. Lalu, lemari es dimana aku berdiri bergetar hebat. Miring sedikit, dan aku meluncur ke bawah bersamanya.

Aku berguling menjauh dari lemari yang miring itu dan kap mobil rusak, menuju ke dasar lembah dimana piano berada. Pundakku menabrak kaki piano.

“...... Ouch!”

Tepat saat aku bermaksud berdiri, aku menyadari kalau wajahnya tepat di depanku, dan mata biru lautnya menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku terkejut, dan tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa menatap bibirnya, yang bergetar lembut seperti kelopak bunga kamelia:

“Kenapa kau ada di sini kalau bukan menguntitku?”

“Eh? Ah, tidak, kau tahu......”

Dia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang mengikatku sepertinya melemah seikit. Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mundur kebelakang sambil tetap duduk di tanah.

“Aku bilang aku di sini untuk mengambil beberapa komponen audio! Aku kadang-kadang memang datang ke sini. Bukannya aku menguntitmu.”

“...... Benarkah?”

Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis ini tahu kalau dia mungkin sedang diikuti seseoarang?

“bagaimanapun, segera tinggalkan temapat ini, dan jangan mengatakan pada siapapun tentang keberadaanku di sini. Kau juga harus menghapus ingatanmu tetang musik yang barusan kau dengar dari pikiranmu.”

“Bagaimana hal itu mungkin dilakukan......”

“Kau benar-benar. Tidak Boleh. Mengatakannya!” Matanya berkilau karena air mata, seolah bintang-bintang jatuh dari langit. Melihat hal itu, aku tidak bisa mengatakan hal yang lain.

“Aku mnegerti, aku cuma akan pergi, ok?”

Aku menaikkan tas punggungku ke pundak, dan mulai memanjat tumpukan sampah. Lalu suara aneh dari suatu mesin tiba-tiba datang dari belakangku, dan apa yang mengikutinya adalah teriakannya “Ah! YA!”.

Saat aku menoleh untuk melihatnya, aku melihat sebuah tape recorder seukuran genggaman tangan di piano, dan ia mengeluarkan suara aneh. Mungkinkah dia merekamnya selama ini......? Tap e di dalam sepertinya berputar ke depan dan ke belakang. Aku tidak tahan melihat pandangan khawatir di wajahnya saat dia menggenggam tape recorder itu. Aku berjalan ke sana dan menekan tombol perekam itu.

“...... Apa......Apa ini rusak?”

Dia bertanya dengan suara hampir menangis, sambil dengan hati-hati mengangkat tape recorder itu dan memegangnya seperti telur yang hampir menetas.

“Ah, jangan begitu. Kau tidak boleh langsung membukannya seperti itu.”

Dia segera menghentikan diri dari usaha membuka penutupnya. Aku meletakkan tas punggungku di piano, dan mengambil obeng. Matanya terbelalak melihat hal itu.

“......Apa kau membongkarnya?”

“Jangan khawatir. Aku akan memperbaikinya dengan hati-hati.”

Saat aku mengambil perekam itu dari tangannya, aku menyadari kalau itu bukan perekam biasa, tapi perekam dua sisi dan pemutar. Tidak hanya ia bisa memutar sisi A dan B dari kaset secara bersamaan, ia juga dapat merekam padanya secara bersamaan. Akan tetapi, label ada di sana tertulis dengan bahasa yang belum pernah aku lihat sebelumnya, dan sudah pasti bukan Bahasa Inggris.

“Bahasa apa ini?”

“Hunggarian,” dia menjawab dengan lembut. Barang dari Eropa huh. Bisakah aku memperbaikinya?

Setelah aku melepas sekrup dan membuka casing luarnya, yang muncul dihadapanku adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-benar bermanfaat.

“Bisakah itu...... diperbaiki?”

“Mungkin.”

Aku menurunkan penutup piano dan menggunakannya sebagai meja kerja, dan perlahan membongkar perekam itu. Seperti yang sudah kukira, pita magneticnya tertarik keluar dari kaset. Ia tumpah keluar dan mengumpul membentuk sebuah gumpalan, seperti bagaimana ketimun laut memuntahkan organnya, jadi membutuhkan cukup banyak waktu bagiku untuk melepas kaset itu.

“...... Hey, apa tape recorder ini memang dari awal sudah rusak?”

“Eh? Ah, mmm...... kasetnya tidak akan berhenti berputar meski setelah mencapai akhir, jadi ia akan menjadi semakin kusut kalau tombol stop tidak segera ditekan.”

Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah tidak berfungsi.

“Ka-karena kemunculanmu yang tiba-tiba, aku jadi lupa menekannya.”

Jadi salahku lagi? Beli yang baru sajalah.

“Apa perekam ini penting untukmu?” Karena dia masih tetap menggunakannya meski sudah rusak.

“Eh?” Dia menatapku dengan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dan berkata,”Mmm.”

Hungary huh. Gadis ini bukan orang Jepang kalau begitu, atau iya? Dari bentuk wajahnya, ia terlihat seperti berdarah campuran bagiku. Sambil memikirkan hal itu, aku menggali mencari komponen dari tumpukkan sampah, dan akhirnya menyelesaikan operasi perekam itu setelah menemukan komponen-komponen yang dibutuhkan. Tape recorder itu tidak akan hilang kendali lagi, baik saat memutar ulang kaset ataupun mempercepat.

“Dan sudah selesai.”

“Eh...... Ah, mmm.” Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. Aku hampir menekan tombol putar untuk memastikan perekam itu bekerja dengan normal, tapi dia tiba-tiba merengut perekam itu dariku.

“K-kau tidak boleh mendengarkan.” Dia merubah volumenya ke yang paling kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya bekerja dengan baik.

“...... M-Makasih.”

Dia memeluk tape recorder itu erat-erat, dan berterimakasih padaku dengan suara lemah sambil menggantungkan kepalanya ke bawah, dengan wajah bersemu merah. Karena suatu alasan yang tidak kuketahui, aku juga merasa malu, jadi aku berpaling dan mengangguk.

Saat aku selesai memberekan peralatanku memasukkannya ke dalam tas punggungku, dia tiba-tiba bertanya,”Kenapa kau membawa berbagai macam benda bersamamu?”

“Aku sudah bilang aku suka bermain dengan mesin-mesin, karena itulah aku di sini mencari komponen!”

“Lalu...... apa itu menyenangkan?”

Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku ragu bagaimana menjawabnya.

“Hmm...... Aku tidak terlalu yakin kalau memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semuanya terlihat sangat senang saat mereka dapat mendapatkan kembali apa yang mereka pikir sudah hilang.”

Saat kami bertukar pandang, wajahnya memerah kembali, jadi dia segera berpaling. Saat aku memandangi raut mukanya dari samping, ada sebuah dorongan tiba-tiba untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa kau ada di sini? Atau yang lebih penting...... siapa kamu? Apa judul lagu yang kau mainkan? Dan juga, aku ingin mendengar apa yang sudah dia rekam, kau tahu? Mungin orkestra yang aku dengar bukan benar-benar halusinasiku? Aku memikirkan semua hal ini, tapi dia mungin akan marah lagi kalau aku benar-benar menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.

Dia meletakkan kembali perekam itu ke piano, lalu duduk pada lemari sebagai pengganti kursi dan menatap ke arah kakinya. Aku ingin tetap berbincang dengannya, tapi suasananya sudah tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara. Lupakan, lagipula sepertinya dia menggangapku menggangu. Aku akan segera pulang saja untuk hari ini.

Aku mungkin tidak akan bertemu dengannya lagi pada kedatanganku berikutnya kan? Atau mungkin dia datang ke sini karena tidak ada piano di rumahnya? Aku memikirkan berbagai hal itu saat bersiap mendaki tumpukan sampah. Tepat pada saat itu, suaranya datang dari belakangku,

“Urm—“

Aku menoleh.

Dia Dia terlihat gelisah di samping piano. Dia tidak terlihat marah kali ini, tapi justru, dia memerah karena malu. “Apa rumahmu dekat dari sini?”

Aku memiringkan kepalaku.

“...... Gak. Kira-kira empat jam dengan kereta dari sini.”

“Jadi kau akan menuju stasiun sekarang?”

Dia segera menunjukkan ekspresi lega pada saat aku mengganggukan kepala. Dia menggantungkan perekam itu dekat dengan pinggangnya, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk dari sampah-sampah yang besar mengikutiku.

“Apa kau mau pulang? Jadi aku boleh tinggal di sini kan?”

“Tidak boleh! Jangan berhenti, teruskan!”

Apa maksudnya itu......

Aku bergerak melalui sekumpulan sampah bergelombang dengan perasaan tidak senang, dan perlahan berjalan kembali ke hutan dekat lembah. Dia mengeluh tentang bagaimana kakinya sakit dan bagaimana dia hampir jatuh, tapi dia masih tetap mengikutiku sepanjang jalan.

“Sebentar......”

Aku menoleh dan memanggilnya. Dia terkejut, dan terlihat gelisah sekitar tiga meter di belakangku.

“A-apa?”

“Apa mungkin kau lupa jalan pulang?”

Karena kulitnya lebih terang daripada orang Jepang pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika dia memerah. Meski dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku cuma bisa mendesah,

“Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini.”

Satu langkah keliru di arah yang salah saat di jalur dari pinggir laut ke stasiun cukup membuat seseorang tersesat.

“Ini bukan yang pertama. Aku mungkin sudah ke sini tiga kali.”

“Jadi kau masih tidak bisa mengingat jalurnya meski sudah ke sini tiga kali......”

“Sudah kubilang bukan begitu!”

“Kenapa kau tidak pulang sendiri kalau begitu.”

“Uh......”

Dia menggeretakkan giginya dan menatap padaku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti bertengkar dengannya dan berjalan keluar hutan dalam diam. Saat dalam perjalanan kami, aku melihat truk berwarna ungu melewati kami, mungkin ia berada di sini untuk membuang sampah. Hutan itu kembali sunyi setelah truk itu berjalan menjauh. Suara lemah truk, bersama dengan gesekan ranting pohon, membuatku mengingat kekayaan ensemble dari piano concerto itu.

Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang membuatku kehilangan nafas. Akan tetapi keajaiban itu mungkin tidak akan terjadi kalau gadis ini tidak memainkan piano di tempat spesial semacam itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.

Terus, kapan ya aku pernah melihatnya? Mungkinkan dia teman yang terlupakan olehku? Kenapa juga dia tanpa malu bersikap seperti itu di depanku?

Gak mungkin kan?

Kalau aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan kuat padaku seperti itu, aku tidak mungkin melupakannya.


Sesudah berjalan ke sebuah kota kecil di antara gunung dan lautyang dipenuhi jalur melandai dan lereng, kumpulan perumahan segera memasuki lingkup pandang bersamaan dengan stasiun kereta api. Hampir semua lampu penghias di jalan jalur atap lengkung pertokoan sudah tidak menyala, sementara di bangunan bertingkat empat, yang merupakan peninggalan dari jaman Shouwa, terpasang papan iklan Glico di atapnya. Begitu nostalgic. Di kiri, sebuah tanda dengan logo JR beserta nama stasiun digantung di atas sesuatu yang terlihat seperti rumah percetakan. Selain kami berdua, dan beberapa ekor kucing yang sedang mencuri makanan sisa, tidak ada makluk bergerak lain di depan toko soba ini.

“Kita sampai.”

“Aku tahu.”

Itu saja yang dia katakan, sebelum menyerbu ke pintu masuk stasiun.

Aku berdiri terpaku di tempat, dan menimbang apa yang seharusnya aku lakukan berikutnya, tapi aku bahkan tidak bisa memanggil namanya. Mau bagaimana lagi. Tadi adalah pertama kali aku bertemu dengannya, dan dia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.

Aku sebaiknya kembali untuk mengumpulkan beberapa sampah.

Aku berpaling darinya, dan saat aku hampir pergi, seseorang berkata,

“Hey kamu.”

Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya, yang berjalan keluar dari sebuah stasiun polisi kecil di seberang bundaran bus. Sepertinya bukan aku yang dia maksud sih. Gadis itu membatu, dan menoleh takut-takut. Polisi itu berjalan ke sana dan bertanya,”Eh, bukankah kamu nona Ebisawa?”

“...... Eh? Urm, yah.......”

Wajahnya berubah putih dari keterkejutan.

“Ahh, aku benar. Bahkan pakaianmu cocok dengan yang dideskripsikan. Keluargamu mencari kan? Sepertinya kau juga pergi ke suatu tempat sekitar sini terakhir kali kau kabur dari rumah. Bagaimanapun, ikut aku. Aku akan menelepon keluargamu.”

Seorang gadis yang kabur dari rumah huh...... Dan bukan pertama kali juga, jadi lebih baik aku tidak berhubungan dengannya. Saat aku akan kembali berjalan dan berlalu melewati polisi itu, aku bisa merasakan dia menatapku, meminta bantuan. Sial, pada akhirnya aku masih menyadarinya.

Tatapan penuh harap dan berair itu seolah berkata: Aku akan membencimu seumur hidup kalau kau tidak membantuku.

Berhentilah, diriku. Abaikan dia.

Tapi sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau aku memilih berjalan menjauh dalam diam sesudah melihat tatapannya.

“Urm......”

Melihat pada polisi yang bercucuran keringat, aku berkata. Dia sudah hampir membawa gadis itu ke pos polisi, dan ekspresi di wajahnya saat dia menoleh seperti menunjukkan kalau dia baru menyadari keberadaanku sekarang.

“Aku pikir kau salah orang. Gadis ini sedang dalam perjalanan denganku.”

“Huh?”

Ekspresi polisi itu menjadi terlihat lucu, seolah dia tanpa sengaja mengunyah bekicot atau semacamnya.

“Hey, cepat lepaskan. Kami harus menunggu untuk waktu yang lama kalau kami melewatkan kereta datang sebenatar lagi.”

“Ah, uh...... mmm.”

Dia berlari menjauh dengan cepat dari plisi itu saat aku mengangguk pada pak polisi, dan kami berdua dengan cepat berjalan menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah dia mengerti apa yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya terus berada di sana.

Sesudah membeli tiket dan melewati gerbang, kami melirik ke arah bundaran bus.

“Apakah berhasil...... Kau akan bekerja sama denganku kalau polisi itu menyusul kita kan?”

“A, Aku.......” gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat, dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. “Aku tidak meminta bantuanmu!”

“Baiklah, aku akan temui pak polisi itu kalau begitu. Berbohong itu tidak baik.”

Wajah gadis itu berubah merah, dan dia tidak mengucapkan apapun. Tapi dia menampar punggungku berkali-kali.

“Lain kali kau kabur dari rumah, pilih tempat dimana orang tuamu gak akan menemukanmu!”

“Bukan begitu! Bukan seperti yang kau pikirkan......”

Jadis sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan orang. Mungkinkah dia sebenarnya membenciku? Hey, aku menawarinya bantuan!

Dia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke arahku, lalu berjalan menuju peron yang berhubungan ke jalur Kudari. Belawanan arah denganku huh. Aku merasa sedikit lega, namun juga sedikit merasa sayang di saat bersamaan.

Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang menandakan kehadiran kereta. Musik yang sangat kukenal – Mozart <Dua Belas Variasi pada “Ah vous dirai-je, Maman”>.

“Ah......”

Lampu bohlam di kepalaku menyala tiba-tiba. Aku ingat! Aku ingat siapa dia. Yeah, bukankah pak polisi tadi bilang kalau nama keluarganya Ebisawa?

“Ebisawa...... Mafuyu?”

Dia hampir mengambil langkah kedua naik tangga, tapi dia sangat tekejut sampai berhenti di sana. Saat dia menoleh, wajahnya yang cerah berwarna merah, dan matanya terlihat seperti langit kelam berawan yang seakan segera menumpahkan hujan deras.

Tidak heran aku merasa dia tidak asing – aku pernah melihatnya di sampul CD sebelumnya, juga di TV. Dia adalah gadis piano berbakat yang menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano Internasional yang dilaksanakan di Eropa Timur, di umur yang masih muda dua belas tahun. Penampilannya juga disambut dengan tepuk tangan semua yang hadir. Ebisawa Mafuyu.

Gadis misterius ini sudah merilis beberapa jumlah album dua setengah tahun lalu, tapi dia menghilang dari dunia permusikan di umur lima belas.

Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di depanku , memegang pagar pengaman dengan ekspresi hampir menangis.

“...... Kau......tahu siapa aku.......?”

Suaranya yang tergagap nyaris tidak terdengar teredam persimpangan jalur kereta, tapi aku tetap menganggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu siapa dia, aku bahkan bisa mengingat semua judul lagu yang dirilis olehnya.

“Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD mu, dan......”

“Lupakan semuanya!”

“Eh?”

“Pokoknya, lupakan semuanya!”

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku hanya bisa menatapnya berlari naik tangga, rambutnya yang merah tua berkibar di belakangnya. Tepat saat itu, suara *ding ding ding* yang berasal dari penurunan pembatas di persimpangan mencapai telingaku. Untuk sesaat, aku cuma berdiri di satu tempat dalam keadaan linglung.

“—Hey!”

Sebuah suara manusia terdengar di sampingku. Aku menoleh, dan melihat sebuah siluet putih di peron berlawanan dariku. Kami bertukar pandang sejenak, dan kemudian dia,

Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan melemparkan sesuatu kemari.

Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati jalur. Aku mengangkat tanganku berusaha menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan tanganku dan jatuh di dekat kakiku. Itu adalah sekaleng Kola.

Kereta melaju di antara kami.

Dia memasukki kereta, dan kereta itu meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup, meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng Kola itu menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur, tapi aku segera mengambilnya sebelum terlambat. Masih dingin, jadi dia mungkin membelinya dari mesin penjual otomatis di sana. Apa dia bermaksud menganggapnya sebagai semacam hadiah terima kasih?

Ebisawa Mafuyu.

Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu saja aku tidak membelinya. Semuanya diberikan pada ayahku secara gratis, karena dia adalah kritikus musik. Koleksi musiknya bertambah sekitar beberapa ratus CD setiap bulan, tapi hasil karyanya (baca: Ebisawa) satu-satunya yang tidak akan pernah membuatku merasa bosan mendengarkannya. Sebenarnya, bahkan urutan lagunya meninggalkan kesan yang dalam padaku. Aku menikmati mencari sentimen hangat pada bagian yang tidak sengaja di tengah melodinya yang jelas, mantap dan tidak bernyawa.

Lalu aku memikirkan lagu yang dimainkannya di tempat pembuangan, lagu itu seharusnya tidak ada di CD nya kan? Kalau aku sudah mendengarnya dari CD, aku pasti sudah mengingatnya.

Apa yang sebenarnya dia hadapi dan temui?

Dia bukan seseorang yang memainkan lagu murung semacam itu.

Kata-katanya terus terngiang di telingaku,’Pokoknya, lupakan semuanya!’

Aku memengambil kaleng Kola itu, dan duduk di bangku. Piano concerto yang membangkitkan rasa ingin tahu dan suaranya terus bergema di kepalaku, sampai keretaku tiba.


Itulah apa yang terjadi padaku saat liburan musim semi sebelum memasukki SMA, sebuah kebetulan yang tidak bisa dipercaya.

Saat aku sampai rumah, aku terus mengulang <Dua Belas Variasi di “Ah vous dirai-je, Maman”> yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat aku mendengarkannya, aku mengingat kejadian di hari itu, dan mau tidak mau merasa heran apakah semuanya cuma mimpi. Karena tidak mungkin sampah-sampah itu bisa beresonasi dengan sebuah piano, dan juga tidak mungkin mereka mengeluarkan suara seperti sebuah orkestra.

Satu-satunya bukti yang bisa membuktikan kalau semuanya nyata adalah Kola yang dia berikan (?) padaku, yang menyembur mengenaiku saat aku membuka tutupnya. Ya ampun, kau benar-benar tidak boleh mengocok atau melempar minuman berkarbonasi. Sesudah mengelap lantai sampai kering dengan sepotong kain, seolah perasaan yang tersisa kalau itu kenyataan juga menghilang.

Meski dia tidak menginginkanku melupakan semuanya, aku mungkin juga akan melakukannya. Aku orang yang sibuk, dan aku bahkan tidak bisa mengingat mimpi-mimpiku dua hari lalu.

Pada saat itu, aku pasti tidak tahu kalau aku akan bertemu lagi dengan Mafuyu dalam situasi semacam itu.