Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 7 Bab 8"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 587: Line 587:
 
Hayama berhenti.
 
Hayama berhenti.
   
  +
Aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan bahkan jika dia tidak berencana menyelesaikan kata-katanya. Apa yang ingin kukatakan sebagai balasannya sudah kusiapkan.
   
  +
“…Jika hubungan kalian memburuk hanya karena ini saja, kalau begitu hubunganmu mungkin bukanlah jenis hubungan yang kamu pikirkan itu.”
  +
  +
“Kamu mungkin benar. Tapi… hal-hal yang kamu hilangkan tidak akan kembali.”
  +
  +
Dia berbicara seakan dia sedang menceritakan pengalaman masa lalunya. Aku bukanlah tipe orang yang akan menanyakan tentang implikasi yang lebih dalam dibalik kalimatnya. Apapun yang terjadi pada Hayama di masa lalu, aku sepenuhnya tidak tertarik.
  +
  +
Hayama terlihat seperti dia tidak ingin membahas subjek itu lebih jauh lagi. Dia mencoba untuk menutupinya dengan tawa.
  +
  +
“Kami mungkin cukup bisa menganggap bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Toh kami cukup hebat dalam hal itu.”
  +
  +
“Itu tidak berarti semua yang telah terjadi akan lenyap.”
  +
  +
Aku dengan cepat membantah. Aku tidak menyadari bahwa kata-kataku begitu yakin kuucapkan.
  +
  +
Di dalam dunia ini, ada saat-saat dimana kamu tidak dapat melupakan tentang hal-hal yang kamu sesali.
  +
  +
Bahkan ada pepatah bahwa “nasi telah menjadi bubur”.
  +
  +
Kami sedang berbicara dengan normal satu sama lain kemarin tapi tiba-tiba, sebuah jarak yang tak terduga tumbuh di antara kami dan kami tidak pernah berbicara dengan satu sama lain lagi. Kami bahkan berhenti berSMS satu sama lain meski telah sering melakukannya.
  +
  +
Itu saja tidak masalah. Tidak hanya senyuman kita pada satu sama lain akan terlihat kaku, kami bahkan akan menaruh cukup kepercayadirian ke dalam senyumannya untuk menyampaikan “tidak ada yang salah, kita sedang bersikap seperti teman baik, bukan?” pada satu sama lain.
  +
  +
Meskipun begitu, hati nurani yang berdiam di sudut pikiran kita hanya tidak akan pergi lenyap, ada perasaan tertahan yang tidak dapat kita hilangkan.
  +
  +
Hayama memenjamkan matanya dan mulai berkata.
  +
  +
“Persis seperti yang kamu katakan. Aku yakin Hina mungkin memikirkan hal yang sama.”
  +
  +
“Jelas. Malah, ada sesuatu yang salah dengan kalian untuk ingin terus bersenang-senang di dalam sandiwara kalian.”
  +
  +
Aku dengan pelan menendang sebutir kerikil untuk melampiaskan sedikit amarahku. Kerikil yang kutendang melayang ke arah Hayama. Dia dengan perlahan memungutnya dan menatapnya. Seperti dia sedang mencoba menghindari melihat ke arahku.
  +
  +
“Heran… Aku tidak merasa seperti itu sama sekali. Hubungan kami sekarang yang kami miliki merupakan segalanya untukku sekarang ini.”
  +
  +
“Tidak, memang seperti itu. Jadi, apa yang dirasakan Tobe tentang ini? Dia sedang berusaha cukup keras kamu tahu. Apakah kamu sama sekali tidak lebih sedikit pengertian padanya?”
  +
  +
Aku menekan Hayama dengan kata-kataku dan dia meremas kerikil di tangannya itu.
  +
  +
“Aku sudah memberitahunya berkali-kali untuuk menyerah saja. Itu karena aku sama sekali tidak merasa Hina yang sekarang ini akan membuka hatinya pada Tobe… Even so, we can’t predict what’ll happen down the road. That’s why I didn’t want him to try to get everything over with so fast.”
  +
  +
Hayama faced the river and threw the pebble. The pebble bounced atop the water surface numerous times before finally sinking below.
  +
  +
“The things you don’t want to lose are more important than the things you can gain.”
  +
  +
Hayama gazed at the water’s surface as if he was trying to trace the whereabouts of the pebble that he threw. He kept looking despite knowing full well that he wouldn’t have been able to find it.
  +
  +
Ultimately, Hayama and I began discussing the things that you could lose. Hayama said several things.
  +
  +
He was well aware that you will lose things eventually. Regardless of the type of relationship, that, too, will end as well. If it was really important as you claimed it to be, then you would try your best to avoid losing it or so he said.
  +
  +
But, that was just sophistry.
  +
  +
“You sure like running your mouth. As far as I can see, you look like you’re doing everything for your own personal benefit.”
  +
  +
“Then!”
  +
  +
Hayama’s sharp voice reverberated. Hayama glared at me with a distinct look of anger. I returned his glare straight on.
  +
  +
When I did, Hayama looked like he tried to hold back the shame from getting overly excited and sighed deeply. He slowly began to talk.
  +
  +
“Then, what would you do? If it was you, what would you do?”
  +
  +
“Don’t try to shift the subject to me…”
  +
  +
If it was me, then… or not. Thinking about it was pointless. I was different from Hayama. Of course that included Tobe as well.
  +
  +
Pondering what I would do in his situation was nothing but wasted effort. That’s why I didn’t want to talk about it.
  +
  +
“So basically, you don’t want anything to change.”
  +
  +
“…Yes, that’s right.”
  +
  +
Hayama spat his words out. His voice was diluted with anguish and impatience which was something you wouldn’t expect from Hayama normally.
  +
  +
It’s just that.
  +
  +
That feeling of not wanting anything to change.
  +
  +
At the very least, I could understand it.
  +
  +
I mean, I had to.
  +
  +
When you wanted to get your thoughts across, it wasn’t always the correct choice to lay bare your entire life story.
  +
  +
A relationship where you couldn’t move forward. A relationship where you couldn’t forgive others for stepping over into your domain. A relationship where you couldn’t forgive the person for trampling all over you.
  +
  +
In dramas and manga, there was always a happy ending for those who crossed over that line. But reality wasn’t so kind. It was much more cruel and apathetic.
  +
  +
There wasn’t anything else important. The moment you lost the things that were irreplaceable was the moment you realize that you’ll never be able to obtain them ever again.
  +
  +
As I am now, I couldn’t call Hayama a coward, let alone make fun of him.
  +
  +
You could say his inability to move forward was the correct choice. If it was for the sake of his happiness, then it was fine.
  +
  +
The words that could deny the entirety of his answer wouldn’t come to me.
  +
  +
I couldn’t figure out what was wrong.
  +
  +
As I stood there without a counterargument or rebuttal, I heard a short and resigned sigh.
  +
  +
“You’re exactly right… This is just me being selfish.”
  +
  +
As Hayama Hayato said that, he made a lonely laugh.
  +
  +
That laugh rubbed me the wrong way.
  +
  +
“Don’t look down on me, Hayama. I’m not one to easily believe in the words of others.”
  +
  +
I was the type of guy who looked beyond what was said. The owner of that worthless personality was me.
  +
  +
“That’s why I don’t believe you for a second when you say you’re being selfish.”
  +
  +
“…Hikigaya.”
  +
  +
Hayama’s expression was full of shock. It wasn’t exactly anything to be shocked about.
  +
  +
I imagine there were other people like who wanted the same thing.
  +
  +
And that there were other people like me.
  +
  +
And girls who lie and put up a façade in order to protect something.
  +
  +
Hayama Hayato doesn’t want to hurt anyone. The reason why Hayama couldn’t act was because he knew someone was bound to be hurt.
  +
  +
The one step that he could take would ultimately hurt someone which would lead to something breaking.
  +
  +
Exactly who had the right to deny the justice of those who agonize over their decision to try to protect something?
  +
  +
All of us were living in this laughably narrow world with a limited amount of time.
  +
  +
It doesn’t need to be said that our time as high school student wouldn’t last forever.
  +
  +
Who had the right to criticize you for wanting to value the limited time you had left?
  +
  +
It was understandable wanting to not lose anything.
  +
  +
What I needed to do was already decided.
  +
  +
Hayama Hayato can't choose anything. There were too many things he had within his grasp that he held dear.
  +
  +
Hikigaya Hachiman tidak dapat memilih apapun. Malah, tidak ada alternatif karen hanya ada satu pilihan.
  +
  +
Seironik apapun itu, Hayama dan aku itu mirip dalam segi “tidak dapat memutuskan”, tapi semua hal-hal yang lain sepenuhnya paralel.
  +
  +
Hal-hal yang ingin dilindungi Hayama adalah hal-hal yang aku tidak dapat pahami.
  +
  +
Tapi lebih baik begitu. Itulah mengapa ada hal-hal yang hanya dapat kulakukan.
  +
  +
Hayama memanggilku selagi aku pergi dengan punggungku berpaling dari sungainya.
  +
  +
“Aku benar-benar tidak mau bergantung padamu untuk hal ini juga…”
  +
  +
The same goes for me too, you bastard.
  +
  +
Cinta dan pertemanan adalah hal-hal yang dikagumi oleh orang-orang. Tapi itu merupakan hak terbatas yang diberikan kepada para pemenang.
  +
  +
Teriakan para pecundangThe cries of the losers fell on deaf ears.
  +
  +
Kalau begitu,In that case, I will take them all in. I will sing out with all my might.
  +
  +
Ini adalah sebuah lagu ballad untuk mereka yang This was a ballad of those who agonized in silence.
  +
  +
Ini adalah sebuah lagu requiem bagi mereka yang hanya bisa menaruh tampang tegar bahkan ketika mereka terpesona dan tertarik pada seseorang.
 
<noinclude>
 
<noinclude>
   

Revision as of 07:20, 16 October 2014

Bab 8: Meskipun begitu, Hayama Hayato tidak memilih demi dirinya sendiri

Sudah pagi di hari ketiga karya wisatanya.

Hari ini adalah hari dimana semua orang bisa bergerak sesuka mereka. Karena kamu tidak dibatasi hanya dengan teman sekelas atau sekelompokmu, kamu bisa menghabiskan sepanjang hari dengan orang lain seperti dengan teman seklubmu. Pasangan bahkan juga bisa pergi bersama untuk menghabiskan waktu mereka saling bermesraan. Kelihatannya kamu juga boleh mengunjungi Osaka dan Nara yang berarti kamu tidak hanya dibatasi dengan Kyoto. Selama kami diberikan kebebasan otonom, semuanya tidak masalah. Sendirian juga tidak masalah.

Perasaan euforia ini membuatku cepat terlelap.

Di tengah tidurku, aku ingat Totsuka mencoba untuk membangunkanku, tapi memori kaburku sepertinya berisikan aku memberitahu Totsuka “Pergi saja dulu, aku akan menyusul.” Aku bahkan juga mengucapkannya dengan cara yang keren.

Alhasil, Hayama, Tobe dan Totsuka pergi menyantap sarapan bersama-sama dan aku memutuskan untuk menutupi kekurangan tidurku dalam sedikit waktu yang masih tersisa untukku.

Tapi, aku tidak bisa terus tertidur. Bukan masalah besar tidak pergi menyantap sarapanku, tapi faktanya adalah kami akan berganti tempat penginapan hari ini. Itu berarti aku harus mengepak barang-barangku dan meletakannya di lobi sehingga barangku bisa diangkut.

Aku mengucapkan salam perpisahanku pada futon kecil yang senang memanjakan kemalasanku dan setelah aku bangun, aku menyiapkan baju-bajuku. Setelah menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku mengganti bajuku sambil membereskan barang-barangku.

…Baiklah, setelah menyelesaikan ini, aku hanya perlu makan sarapan, kembali ke kamar, dan aku akan siap untuk pergi. Aku baru saja akan mengambil asupan harian pagiku jadi aku menguap selagi aku berjalan keluar kamarnya.

“Pagi, Hikki!”

“Yo.”

Otakku masih di tengah proses boot up[1] karena rasa kantukku, jadi aku tidak menanyakan alasan mengapa Yuigahama berada di pintunya.

“Oke, ayo kita pergi!”

Dia betul begitu energetik sepagi ini.

“Aah, aku perlu makanan… aku rasa makanannya di aula makan. Apa itu di lantai dua?”

“Tidak, tidak, aku membatalkan sarapan pagiku.”

“Membatalkan, huh… apa yang kamu bilang?”

Setelah mendengar kata-kata yang tidak familier denganku, aku akhirnya tersadar. Apa yang kamu maksud ketika kamu bilang kamu membatalkan sarapan pagi? Ini bukanlah sebuah game berkelahi hajar-mereka, jadi tidak mungkin aku akan jatuh tanpa perlawanan.

“Batal, kamu bilang? Kamu tahu, energi dalam satu hari itu datang dari sarapan. Melewatinya tidaklah begitu menyehatkan.”

“Kamu benar-benar serius tentang hal-hal teraneh…”

Yuigahama terlihat seperti dia menyerah berunding denganku. Malahan, dia menegakkan dirinya dan mulai mendorongku kembali ke dalam kamar.

“Ya, ya, cepatlah dan susunlah barang-barangmu jadi kita bisa pergi keluar.”

“Tunggu, aku masih bingung tentang apa yang sedang terjadi disini…”

Tapi, karena berkat keberuntunganku memiliki barang yang sedikit, aku sudah siap berkemas-kemas. Itu bukanlah masalah besar, tapi aku hanya melakukan hal yang disuruh dan kembali ke dalam kamarku untuk mengambil barangku.

“Oke, ayo kita pergi letakkan itu di lobi dan pergi keluar.”

“Tentu, ayo kita lakukan itu, tapi makanan…”

Aku menanyakannya tapi Yuigahama mulai bersenandung dan terlihat bersemangat untuk pergi berkeliaran di kota sementara tidak pernah mendengarkanku. Dia terus bersenandung dan pergi duluan.

Um… bagaimana dengan makananku…?


× × ×


Baru-baru ini, hotel sudah menjadi lebih nyaman, terutama di bagian atraksi turis. Mereka menawarkan jasa yang menyediakan pengangkutan barang ke lokasi penginapan lain. Sebuah jasa yang sama dimanfaatkan dalam karya wisata ini. Kami menggunakan jasa tersebut untuk mengirimkan barang-barang kami ke penginapan yang dipilih untuk hari ketiga.

Penginapannya berada di Arashiyama, distrik paling menonjol dan indah di Kyoto.

Karena sistem menabjubkan yang siap pakai ini, para murid riang ini bisa menikmati kebebasan mereka sebanyak yang mereka inginkan.

Aku harus menambahkan bahwa sekarang ini, perutku juga sepenuhnya bebas makanan; sebuah konsekuensi melewati sarapan pagi.

Setelah kami meninggalkan hotelnya, kami berjalan untuk beberapa saat. Sering dikatakan bahwa simpang-simpang jalan di Kyoto didesain mirip dengan garis-garis papan Go [2]. Memang, jalannya terbentang segaris lurus dan sudut di persimpangan jalan menuju jalan lainnya dibuat tepat. Ini mungkin alasannya mengapa Yuigahama bisa terus berjalan tanpa tersesat.

Sambil aku berjalan bersama Yuigahama, sebuah kedai kopi berwarna putih dapat terlihat diantara kedai-kedai di jalanan. Di samping kedai itu terdapat sebuah kedai bergaya Jepang tapi papan tandanya menunjukkan bahwa mereka itu merupakan satu kedai yang sama.

“Ah, pasti itu.”

“Apa…?”

“Tempat dimana kita akan menyantap sarapan pagi.”

“Eh, tidakkah kita dapat sarapan pagi di aula makan lantai dua?”

“Seperti yang kubilang, aku bertemu dengan gurunya dan membatalkannya.”

Selagi Yuigahama mengatakannya, dia memasuki bangunan yang kelihatannya merupakan sebuah kafé. Eh, kamu dibolehkan untuk membatalkan sesuatu? Maksudku, tentu, sekolah kami memang memberikan kami kebebasan untuk melakukan apa yang kami mau, tapi tidakkah ini sedikit kelewatan?

Bangunan bergaya Jepang ini memiliki sebuah halaman di dalamnya dan kami berjalan ke arah tempat duduk di teras. Di teras tersebut terdapat seorang gadis yang meminum kopinya dengan elegan, Yukinoshita.

“Oh, lamban sekali kalian?”

“Tunggu, apa? apa yang sedang terjadi disini?”

Ottakku masih mencoba untuk menalarkan situasinya dan satu-satunya hal yang dapat kupikirkan adalah bahwa Yukinoshita meminum kopi di teras begitu tak berartinya sesuai dengannya.

Morning untukmu.”

“Yah, ya, selamat pagi.”

Yukinoshita tetap kalem dan dengan acuh tak acuh mulai dengan sebuah tes kosa kata Inggris, tapi setidaknya aku tahu segitu banyak.

“Maksudku bukan itu. Aku sedang mengatakan tentang set pagi dan jasa pagi kafénya.”

“Aah, yang terkenal di Nagoya itu.”

Nagoya juga memiliki keahlian lokal lain seperti tensumu dan mountain. Orang-orang Nagoya rupanya mengakhiri kalimat mereka dengan “myaa—“ dan Yukinoshita berpikir itu sangat berhubungan dengan kucing, mungkin.

“…Yah, jika kamu tahu sebanyak itu, tidak ada masalah kalau begitu.”

“Aku rasa Kyoto juga punya banyak tempat bagus huh?”

“Uh huh. Aku dengar tempat ini juga super terkenal.”

Yuigahama memanggil pelayannya datang dan dengan cepat membuat pesanannya.

Itu benar, untuk sebuah kedai seperti ini memiliki penampilan yang sangat elok, maka tidak diragukan lagi tempatnya akan terkenal di kalangan para gadis. Oh, ini pastilah apa yang Yukinoshita maksudkan mencari rekomendasi tempat yang ditujukan pada para gadis.

“Tadi aku lihat Ebina pergi ke salah satu bangunan tua kota jadi mereka mungkin ada mampir kesini.”

“Ah, Aku rasa Tobecchi sudah pergi dengan rute itu, huh.”

Aku mengerti. Sekarang setelah aku mendengar sebanyak ini, aku akhirnya menyadari ide dibalik kerja keras ini. Kelihatannya apa yang Yukinoshita katakan kemarin tentang mengumpulkan data tentang tempat terkenal yang akan disukai para gadis ada hubungannya juga.

Lalu, dia memberikan informasi itu kepada Yuigahama yang meneruskannya kepada Tobe. Lalu pada gilirannya[3], dia lalu mengajak Ebina yang merupakan alasan mengapa mereka ada disini. Hmph, aku rasa dia mencoba cukup keras.

Selagi aku duduk disana menyusun potongan-potongannya menjadi satu, set pagi yang kupesan tadi akhirnya sudah tiba.

Setnya terdiri dari daging ham[4] dan roti, telur orak arik[5] yang dicampur dengan salad, dan kopi bersama jus jeruk. Menunya agak rada-rada standar tapi caranya dengan indah tersajikan menstimulasi nafsu makanku.

“Sekarang, kenapa tidak kita mengucapkan rasa terima kasih kita dulu?”

“Benar, terima kasih buat makanannya.”

“Terima kasih untuk makanannya.”

Kami menepuk tangan kami bersama-sama. Namun, ini masihlah penampilan yang jarang terlihat karena sarapan pagi ini sangat berala Barat.

Sambil kami makan, Yukinoshita menjelaskan apa rencana kami selanjutnya.

“Pertama, kita akan mulai dari Fushimi Inari Taisha.”

“Koridor tori itu, huh?”

“Oh, itu sering muncul di TV.”

Ketika Yuigahama menyahut, Yukinoshita mengangguk. Tidak hanya tempat itu terkenal, lengkungan vermillion yang memanjang terus menerus itu cukup megah. Yah, aku dapat mengerti mengapa tempat itu akan terkenal bagi para gadis.

“Selanjutnya adalah Vihara Tofukuji. Kita bisa mampir kesana ketika kita berjalan keluar dari Fushimi Inari.”

“Baru pertama kali kudengar tempat itu.”

Aku mendapatkan nol hasil pencarian dalam database sejarah Jepangku. Tempat itu kelihatannya juga bukan merupakan lokasi Warisan Dunia. Yukinoshita dengan lembut meletakkan cangkirnya ke atas meja dan meletakkan jarinya ke bibirnya selagi dia berpikir.

“Yah, itu tidak mengejutkan. Aku tidak merasa karya wisata sekolah sering memasukkan tempat itu ke dalam tempat tujuannya…”

Benar, dalam karya wisata, tempat-tempat yang kamu kunjungi biasanya sudah ditentukan sebelumnya. Vihara Kiyomizu merupakan pilihan jelas untuk hari pertama tapi seperti yang kalian duga, banyak pilihan-pilihan tempatnya dipilih berdasarkan seberapa banyak aspek Kyoto yang direpresetasikannya.

Entahkah itu lokasi terkenal ataupun bagian dari UNESCO, tempat-tempat itu sudah terduga. Untuk tempat-tempat lain yang berkaitan dengan karya wisata, maka relevansi pada sejarah jepang juga merupakan sebuah faktor. Melihat-lihat tempat yang terkait dengan Bakumatsu dan Shinsengumi akan menarik. Tapi, di sisi lain, Honnouji kelihatannya lebih menghasilkan kesan kekecewaan yang lebih kuat jadi penting untuk berhati-hati akan memilihnya.

“Apa yang membuat Vihara Tofukuji terkenal?”

“Kamu akan mengetahuinya ketika kita sampai disana.”

Yukinoshita tersenyum sedikit. Sangat sugestif, ya?

“Setelah itu adalah Kitano Tenman-gu.”

…Kamu benar-benar mengingatnya dari diskusi tidak penting itu?

“Maaf.”

“Itu untuk Komachi, bukan?”

“Apa, apa? Apa hubungannya dengan Komachi?”

Yuigahama bertanya sambil mengunyah rotinya.

“Kita akan mendoakan kesuksesan Komachi dalam ujiannya.”

“Itulah siscon…”

Tolong sebut itu perhatian saudara.


× × ×


Harinya cerah selagi kami melihat kota Kyoto dari atas di Yotsu-Tsuji dalam kuil Fushimi Inari. Kami berada dalam ampunan cuacanya selama tiga hari ini.

“Oooh, ini menabjubkan!”

Yuigahama menyuarakan kekaguman akan pemandangannya.

Di sisi lain, Yukinoshita, yang sedang duduk di bangku terdekat dan terlihat lemah lesu, menghela dengan dalamnya.

Yah, itu dapat dimengerti. Selagi kamu berjalan maju melalui gerbang torii di kuil Fushimi Inari-Taisha, kamu akan sadar bahwa kamu akan terus berjalan naik. Ketinggian dan momentum dalam setiap langkahmu di jalur bebatuan itu jujur saja hampir serupa dengan jalan di gunung.

Pemberhentian kami sekarang ini sebenarnya baru awalnya saja. Masih terdapat gerbang torii yang tidak terhitung banyaknya memanjang lebih jauh ke atas. Namun, orang yang hanya memiliki secuil motivasi untuk terus berjalan naik untuk melihat-lihat saja sudah cukup langka. Hanya berjalan sejauh ini saja sudah sangat hebat dan mereka akan akhirnya kembali turun ke bawah setelahnya.

Kami juga ada rencana setelah ini. Jadi itulah mengapa kami mungkin tiidak memiliki cukup waktu untuk terus berjalan lebih jauh lagi ke puncaknya.

Belum lagi disebut bahwa kami memiliki seorang individu yang kemungkinannya tidak memiliki cukup ketahanan untuk pergi lebih jauh lagi.

“Kenapa tidak kita beristirahat sejenak?”

“Baik…”

Aku duduk di atas bangkunya dan menyajikan diriku sedikit teh. Tubuhku agak sedikit panas setelah memanjat jadi ada perasaan menyegarkan ditiup oleh angin yang berhembus.

Selagi kami beristirahat sejenak, jumlah pengunjungnya dengan perlahan mulai meningkat.

Setelah memandang sekilas, Yukinoshita dengan perlahan membuka mulutnya.

“Kenapa tidak kita mulai turun saja?”

“Apa kamu baik-baik saja?”

“Aku sudah cukup istirahatnya jadi aku seharusnya baik-baik saja.”

Setelah dia mengucapkannya, kami berjalan menuruni lerengnya. Tidak mengejutkannya, menuruni lerengnya juga merupakan sebuah beban. Ketika hari sudah mendekati siang, kami menyaksikan peningkatan pengunjung karena kami berpapasan jalan dengan beberapa pengunjung selagi kami menuruni lereng.

Aku berpikir "akhirnya" ketika kami berhasil sampai ke dasarnya.

“Agak ramai disini…”

Yukinoshita mengatakannya dengan nada letih. Tidak seperti sewatu kami berjalan-jalan sebelumnya, dengan orang sebanyak ini berkeliaran, udaranya benar-benar mulai terasa pengap.

YahariLoveCom v7-225.jpg

“Aku rasa pemberhentian kita yang selanjutnya akan menjadi sesuatu semacam ini.”

“……”

Yukinoshita tidak mengatakan sepatah katapun tapi aku sudah dapat memahami dari ekspresi tidak puas Yukinoshita bahwa dia sudah mulai muak dengan situasinya. Aku mendapat firasat bahwa aku bisa mendapatkan sertifikat persetujuan dengan kasar dari Yukinoshita hari ini.

Entahkah memang seperti yang sudah terduga ataupun jelas, tempat selanjutnya yang kami kunjungi, Vihara Toufuku-ji, juga sudah padat dengan pengunjung.

Vihara Toufuku-ji merupakan salah satu dari tempat-tempat menonjol di Kyoto selama musim gugur.

Tidak usah dikatakan lagi bahwa tempat itu merupakan tujuan turis yang populer, tapi sayangnya, vihara ini terletak cukup jauh jaraknya dari pusat Kyoto jadi orang-orang yang dalam karya wisata akan kesusahan untuk mampir kesini.

Tempat ini tidak hanya terkenal dengan pemandangan musiman selama musim gugurnya, alasan lain mengapa tempat ini terkenal adalah karena jembatan Tsutenkyo.

Jembatannya menjembatani sebuah sungai kecil yang dapat kamu lihat dari atas dan jembatan itu menghubungkan viharana bersama-sama. Pemandangan akan jembatan ini akan memaksakan sebuah gambaran gradasi ke dalam matamu. Karena pemandangan menyantaikan itu, kamu tidak dapat tidak berpikir betapa elegan pemandangannya.

Karena tanggalnya sudah jauh lewat puncak musim gugurnya, sekarang mungkin bukanlah saat yang lebih cocok untuk melihat-lihat. Namun, masih terdapat banyak orang disini-sana terutama di jembatan itu.

“Ah, itu Tobecchi.”

Di dalam kerumunan orang-orang terdapat Tobe dan Ebina.

Mereka sedang mengambil foto secara berdampingan dengan pemandangan musim gugur sebagai latar belakangnya. Pria yang ditugaskan dengan kameranya adalah Hayama Hayato dan meskipun berada di dalam kerumunan orang-orang, dia masih terlihat semenyegarkan seperti biasanya. Selama sedetik, aku pikir ada kilatan cahaya yang datang dari giginya tapi itu hanyalah kilatan cahaya dari kameranya.

“Hayama dan yang lain juga bersama mereka…”

“Karena kita tidak berjumpa dengan mereka pagi tadi ketika kita sedang menyantap sarapan, mereka mungkin saja pergi berjalan-jalan bersama.

“Ya, yah, jika cuma mereka berdua saja, situasinya akan menjadi canggung, jadi di satu sisi, ada Hayato dan yang lain disana lebih melegakan.”

“…Tapi kalau begitu tidak ada yang berbeda dari biasanya.”

Satu-satunya hal yang berbeda disini adalah dimana mereka bereempat bersenang-senang. Jika sebuah elemen tidak jelas seperti aku masuk ke dalam kelompok itu dan Yuigahama yang bertindak seperti mak comblang, maka Yuigahama bisa sedikit banyak menggemparkan kelompok itu tapi…

“Tapi, kita tidak bisa benar-benar memisahkan mereka bukan?”

Kata-kata Yukinoshita memotong pemikiranku. Itu persis seperti yang dikatakan tuan putri kita.

“Kira-kira begitu. Agak buruk juga jika Ebina malah menjadi terlalu waswas akan situasinya.”

Ebina menjadi canggung bukan cuma satu-satunya masalah yang merepotkan. Kami juga tidak mau Ebina menjadi lebih waswas darinya sekarang ini. Kami ingin mengkhianati ekspektasinya tapi juga ingin memenuhinya. Sebuah dasar fundamental dari semua hiburan.

“Ketika seseorang berpikir tentang menyatakan cinta padamu, kamu bisa mengetahui kapan mereka akan melakukannya berdasarkan seberapa ributnya orang-orang di sekitarmu. Hanya ejekan dan tertawaan yang dapat kamu dengar. Itu terutama adalah faktor-faktor untuk dipanggil untuk dinyatakan cinta.”

“Pengalaman pribadi huh…”

Sekarang setelah kamu mengatakannya, walau dia mungkin terlihat seperti ini, gadis cantik Yukinoshita Yukino ini memang cukup populer.

“Namun perasaan itu sangat tidak tertahankan.”

“Ooh.”

“Itu terasa seperti dipermalukan di depan umum. Cukup menganggu.”

Yukinoshita meneruskan kata-katanya seakan untuk melepaskan ketidakpuasan yang terpendam di hatinya yang paling dalam.

Aku yakin Ebina juga memiliki pengalaman yang sama. Bagaimanapun juga, dia merupakan seorang gadis yang terlihat rapi dan cantik dengan rambut hitam yang akan membuat pria manapun jatuh cinta padanya. Kalau begitu, tidak aneh sama sekali baginya untuk begitu sensitif dengan pria lain.

“Tapi, kelihatannya kita tidak akan sampai ke manapun…”

Hm, bahkan jika kami berhasil menciptakan suasananya, Hayama dan yang lain juga ada disana…

Hayama dan kawan-kawan menyadari keberadaan kami dan melambaikan tangannya.

Yukinoshita dan aku mengabaikan tingka Hayama tapi Yuigahama melambai balik sambil mengatakan “heeei”.

Mereka berempat mendekati kami seakan lambaian tangannya merupakan sejenis isyarat

“Hei.”

Sapaan singkat Hayama kemungkinannya diarahkan pada Yukinoshita dan aku, tapi Yukinoshita dengan diam melihat ke arahku. Tunggu dulu disana, aku bukan seorang penerjemah, kamu tahu…

“Sungguh mengejutkan melihat kalian disini. Kalian rencananya pergi kemana?”

Ketika aku melontarkan sebuah pertanyaan dengan sedikit basa-basi, Tobe membuka suara mewakili Hayama.

“Kami sedang berpikir akan pergi ke Arashiyama.”

“Ah, begitu ya. Kami sendiri juga akan pergi ke sana setelah mampir ke sini sebentar.”

Yuigahama menjaga percakapannya terus berjalan dengan alami. Gadis ini… bukankah dia yang membuat rencana ini pada awalnya…? Kamu tidak boleh meremehkan kekuatan gadis.

Dibandingkan dengan suasana harmonis antara Hayama, Tobe dan Yuigahama. Di sektor lain terasa seperti musim dingin telah tiba semusim lebih awal.

“……”

“……”

Miura dan Yukinoshita saling bertatapan dalam keheningan. Mungkin saja itu imaginasiku tapi disana terasa seperti daun-daun yang berhamburan bertambah cepat.

Aku mau pulang, mereka menakutiku…

Ketika aku mengalihkan pandanganku, mataku bertemu dengan mata seseorang.

“Hikitani.”

Itu adalah suara yang melodis tapi pelan. Meskipun terdengar sepenuhnya tidak sesuai iramanya, suaranya juga terdengar riang. Akhirnya, aku menyadari itu adalah suara Ebina. Tidak, kamu dapat mengatakan aku mengetahui siapa itu karena caranya dia memanggilku dengan suara itu.

Jika itu adalah Ebina Hina yang biasa saja, aku tidak akan menyadarinya sama sekali, jangankan dirinya dengan mata suram itu.

Dia terus berjalan setelah dia memanggilku.

Dia kelihatannya berencana untuk menyebrangi jembatan Tsutenkyo menuju ke tamannya. Dia dengan gesit terus berjalan menembus keramaian orang tanpa melihat kebelakang seakan menghilang kedalam kejauhan.

Itu terlihat seperti dia memberitahuku untuk mengikutinya.

Kalau begitu, satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah menurutinya.

Tamannya dengan indah diwarnai warna musim gugur dan sekerumunan orang berhenti untuk mengambil foto pemandangan itu.

Bagi seseorang sepertiku yang memiliki jurus alamiah menghindari orang yang biasanya aktif, level keramaian begini bukanlah masalah besar. Hanya saja dengan memiliki jurus ini berarti aku tidak yakin apakah aku bisa atau tidak menemukan Ebina di dalam keramaian ini.

Dengan kata lain, dia juga memiliki kebiasaan yang sama seperti diriku.

Di akhir jalur dimana para turis akan lewat terlihat Ebina yang akan melihat-lihat dengan santai. Dia sedang menungguku dengan sebuah senyuman tertempel di wajahnya.

Ketika aku akhirnya berhasil mengejarnya, aku berdiri disampingnya dan mengikutinya memantau aliran kerumunan orang.

“Kamu tidak lupa tentang permintaanku bukan?”

Dia dengan pelan menutupi jarak diantara kami dengan satu langkah. Itu adalah sebuah langkah yang tidak memiliki kepura-puraan apapun.

Aku tidak dapat bereaksi jadi aku melangkah menjauh sedikit. Ebina tiba-tiba berbicara seakan dia tidak terlalu senang dengan keheningan diantara kami.

“Yah yah? Bagaimana keadaan kalian para laki-laki? Kalian super akur??”

Aah, tidak ada kesalahan akan ini. Itu adalah Ebina yang itu. Ebina yang aku kenal dan Ebina yang semua orang kenal.

“…Tentu, keadaan kami cukup bagus. Kami bermain Mahjong di malam hari dan lain-lain.”

Apa yang benar-benar ingin didengarnya dariku sepenuhnya berbeda tapi ak pikir aku cukup mengatakan itu. Dan pas di saat itu, Ebina merajuk di depanku.

“Tapi aku tidak menyaksikannya jadi bagaimana aku seharusnya menikmati itu!? Maksudku, seperti, kalian para laki-laki seharusnya berdekat-dekatan satu sama lain di tempat dimana aku bisa melihatnya!”

Cukup dari kata-kata itu saja, aku bisa menentukan apa persisnya yang ingin dikatakannya.

Dan alasan mengapa dia datang ke klub servis dengan sebuah permintaan adalah persis karena itu.

Namun, meskipun aku menyadari fakta itu, aku masih tidak memiliki sedikitpun ide akan apa yang harus kulakukan tentangnya. Setidaknya, masih belum.

“Yah, kami juga akan pergi ke Arashiyama, jadi mungkin disana…”

Aku mengatakannya dengan suatu cara untuk menghindarinya terdengar seperti aku sedang mengulur waktu. Paling tidak, apa yang kurencanakan untuk kulakukan akan ditentukan dalam beberapa jam selanjutnya.

“Aku akan berada dalam bantuanmu.”

Kata-kata yang ditinggalkan Ebina padaku terasa berat di dalam telingaku.


× × ×


Kelompok Hayama meninggalkan Vihara Tofuku-ji dan pergi menuju Arashiyama dulu sedangkan kami memutuskan untuk mengambil rute yang berbeda. Ini karena kami akan mampir ke Kitano Tenman-gu dalam perjalanan ke sana untuk alasan pribadiku.

Kami mengucapkan doa di Kitano Tenman-gu, membeli jimat dan menulis di atas plakat persembahannya [6].

Aku tahu secara pasti aku akan dipanggil siscon jika mereka melihatku menulis di atas plakatnya dan aku tidak berpikir aku akan bisa menyangkalnya, jadi aku meminta mereka untuk menungguku di tempat lain di dekatnya.

“Maaf membuat kalian menunggu.”

“Tidak sama sekali.”

“Kalau begitu mari kita berangkat ke Arashiyama?”

Arashiyama merupakan salah satu tempat terindah di Kyoto.

Disana merupakan sebuah tempat yang memamerkan kegemerlapan empat musim yang berbeda di Jepang; bunga sakura yang bermekaran di musim semi, warna hijau yang menyegarkan di musim panas, corak gugur di musim gugur, dan salju di musim dingin yang menyelimuti seluruh tempat itu dengan warna putih. Seharusnya, juga ada disebutkan tentang sebuah pemandian air panas tapi terlepas dari itupun, Arashiyama memang benar tempat yang melingkupi aspek-aspek bagus negara ini.

Kami menggunakan jalur kereta Keifuku untuk pergi ke Arashiyama. Eksterior unik tremnya membuatku merasakan sensasi sebuah perjalanan.

Kami mengganti jalur di Stasiun Katabiranotsuji dan menaiki kereta api sekali lagi.

Ketika kami keluar dari kereta api ke stasiunnya, pemandangan mosaik alami bercorak-musim gugur dan gradasi garis gunung terlihat dalam pandangan.

Oh, begitu ya. Jadi itulah mengapa orang-orang dewasa ingin datang kemari. Aku terkesiap kagum melihat pemandangannya.

“……”

Bahkan Yukinoshita begitu takjub dengan keindahannya.

Kami mengambil jalan memutar singkat menuju Jembatan Togetsukyo. Setelah kunjungan singkat ke Museum Orgel di sekitar situ, kami berjalan menuju arah Sagano.

Saat kami terus berjalan di jalanan, terlihat jalanannya hiruk pikuk aktivitas dengan becak-becak rickshaw berjalan kesana kemari. Jalan yang kami jalani ini terhubung dengan jalan lain dimana berbagai toko berbaris di sisinya.

Jalan itu terlihat agak mewah dan bersih dan jajarn toko-tokonya memberikan kesan sebagian besar menjual junk food. Ketika kami berjalan di sepanjang jalan tersbut, aroma baunya menarik perhatian kami.

Perhatian Yuigahama tepatnya.

Dia menjejali mulutnya dengan popia, ayam goreng, dan bakpau sapi. Y-Yah, dia belum memakan apapun sejak siang tadi jadi tidak ada yang bisa dilakukan. Mari coba anggap saja ini sebagai makan siang di sore harinya.

Yukinoshita melihat ke arah Yuigahama dengan wajah penuh ketakutan dan dia terlihat seperti dia ingin mengatakan sesuatu. Dia menghela pelan dan berkata.

“Kamu tidak akan bisa makan apapun sewaktu makan malam kamu tahu…”

Yukinoshita menegurnya seperti seorang ibu yang mengejutkan Yuigahama. Karena itu, Yuigahama menjulurkan beberapa makanannya kepadaku dengan malu-malu.

“Eh… kalau begitu aku akan memberikan ini padamu Hikki.”

“Tidak mau…”

Ada apa dengan gadis ini untuk mencoba memberikan sedikit potongan makanannya…? Jika diberi setidaknya setengah potong, maka aku tidak akan keberatan memakannya.

Yuigahama menatap pada popia dan bakpau di kedua tangannya dan melihat ke arah Yukinoshita dengan ekspresi susah.

“Umm, apa yang harus kulakukan dengan makanan ini, Yukinon??”

“Ha… Sedikit saja kalau begitu.”

Melihat Yukinoshita mengigit makanannya adalah seperti sesuatu yang hanya bisa kamu lihat setiap bulan purnama dan aku tidak bisa tidak terus terfokus melihatnya. Itu hampir mirip dengan perasaan menjinakkan tupai fox-squirrel yang tidak nyaman berada di dekat manusia.

Selagi aku melihatnya, Yukinoshita membalas menatap tajam.

“Kamu juga ikut bantu.”

“Ha, ada sesuatu yang bisa kumakan?”

“Ah. Kalau begitu yang ini.”

Yuigahama membagi bakpau sapinya menjadi dua dan memberikan separuhnya padaku. Hm, melakukannya dengan cara itu juga bagus. Aku menerimanya tanpa keluhan dan melemparkannya ke dalam mulutku. Selagi aku mengunyah makananku, Yuigahama menghela.

Setelah itu, Yuigahama sekali lagi membagi popianya menjadi dua dan memberikannya kepadaku terlihat percaya diri akan kesuksesan sebelumnya. Terasa seperti aku sedang diberi makan disini. Sebenarnya, ini sama sekali bukan perasaan yang buruk. Makanan yang didapat tanpa bekerja terasa enak.

Kami berjalan menuju jalan Arashiyama sambil makan.

Kami berjalan lurus tanpa berbelok ke jalan yang mengarah ke Vihara Tenryuu-ji.

Hembusan angin dapat terdengar sebentar dari sebelah kanan.

Ketika aku melihat ke atas, aku berjumpa dengan cabang bambu yang lebat dan hijau yang tumbuh melewati kepalaku. Dedaunan yang melekat padanya membuat suara barusan.

Aku sepenuhnya tidak tahu seberapa banyak cabang bambu yang tumbuh tapi jalur ini terlihat seperti sebuah terowongan bambu, terlihat terus tumbuh selamanya, membuat kami berjalan saling berdempetan.

Cahaya matahari yang menembus melalui celah pohon bambu yang tidak terhitung banyaknya ini memancarkan perasaan damai. Dengan suara penenang alami, keseluruhan jalur kecil ini terbenam dalam suasana menyantaikan.

Itu adalah jalur hutan bambu yang sering terlihat di panduan turis Arashiyama dan di televisi.

Perkembangan jalur ini tidak isa lebih sederhana lagi dan hutan bambu yang masih berlanjut ini terlihat seperti akan menyedot kami masuk ke dalamnya. Karena jalan keluarnya tidak terlihat, itu terasa seperti menatap ke kedalaman sebuah labirin.

“Wow, ini cukup menabjubkan…”

Yuigahama berhenti di langkahnya dan melihat ke atas. Cahaya mataharinya memanjang melalui celah kecil dedaunan bambunya ke jalurnya dan Yuigahama dengan perlahan menutup matanya.

“Memang. Coba lihat di bawahmu.”

Yukinoshita mendekati pagar semaknya. Ketika dia memasuki bayangan hutan bambunya, suara gemerisik dedaunan bambu dapat terdengar. Dia menunjuk ke area di sekitar kakinya.

“Lentera, huh?”

“Benar. Ketika sudah malam, seluruh jalur ini akan diteranginya.”

Hutan bambu yang hijau dan cahaya menghangatkan dari lentera. Karena kontras itu, Arashiyama di malam hari seharusnya merupakan sebuah pemandangan indah untuk dilihat. Ini membuatku mengingat pemandangan dari majalah perjalanan yang terkadang kulihat.

Yuigahama terlihat seperti dia memiliki kesan yang sama dan bergerak-gerak dengan penuh sukacita.

“Ini dia tempatnya! Aku rasa disini merupakan tempat yang cocok! Mungkin!”

“Untuk apa?”

Apalah yang sedang dikatakannya? Tidak hanya dia lupa untuk memasukkan subjeknya, dia juga bahkan menambahkan kata "mungkin" diakhir.

Ketika aku bertanya, Yuigahama tiba-tiba berhenti dan menundukkan kepalanya dengan malu-malu.

“S-Seperti untuk dinyatakan cinta.”

Mengapa dalam kalimat pasif…?

Yukinoshita tersenyum melihat tingkah lucu Yuigahama.

“Suasana disini cukup menabjubkan. Kalau soal tempatnya, tempat ini kelihatannya tempat yang sesuai.”

“A-Aku tahu bukan!”

“Jadi itu berarti Tobe seharusnya mencoba mengambil tantanganya disini, huh?”

Waktu malam sudah dekat. Jika apa yang dikatakan Yukinoshita itu benar, maka jalur ini seharusnya akan diterangi oleh cahaya dari banyak lentera yang melingkupi sepanjang jalurnya.

Sehembus angin musim gugur yang dingin bertiup di sepanjang hutan bambu itu.


× × ×


Setelah menghabiskan makan malam terakhir dalam karya wisata ini, aku pergi kembali ke kamarku.

Ternyata, lagi giliran kelasku untuk pergi berendam. Tapi waktu hutan bambu itu akan diterangi terbatas. Jadi jika kami ingin pergi ke sana, tindakan yang tepat adalah untuk melewati waktu berendam yang telah ditetapkan dan mengendap-endap keluar.

Tobe terlihat gugup di dalam kamar yang kami tinggali.

“Uaagh, sial. Lagi super gugup disini. Sial.”

Yamato menepuk punggung Tobe. Tobe terbatuk-batuk seakan dia entah bagaimana menerima syok yang berat. Yamato melihat padanya dengan ekspresi tegas dan berkata dengan suara parau.

“Kamu akan baik-baik saja.”

“Tobe dengan seorang pacar huh? Kita tidak akan bisa bermain-main seperti yang biasa kita lakukan lagi.”

Oooka memandang ke arah Tobe saat dia mengatakannya. Tobe merespon secara reflex.

“Itu tak benar. Terserahlah, sekarang bukan waktunya, sial.”

Dia meneruskan keadaan gugupnya sekali lagi. Yamato menepuk punggungnya untuk kedua kalinya.

“Kamu akan baik-baik saja.”

Jika begini terus, mereka akan masuk dalam lingkaran percakapan sama yang tak berujung. Meski orang-orang ini terlihat seperti mereka sedang sangat bersenang-senang.

“Aku juga mulai merasa agak gugup sekarang.”

Totsuka anak yang baik. Aku juga mulai merasa sedikit gugup dan aku merasa seperti aku bisa membunuh seekor nyamuk kapanpun sekarang ini.

Hayama, yang diam sepanjang waktu, dengan perlahan berdiri.

“…Hei, Tobe.”

“Ada apa, Hayato? Aku seperti sepenuhnya terpompa sekarang ini ente tahu?”

“Tidak, tidak jadi…”

Percakapan tidak jelas mereka mulai menjadi lebih riang.

“Ada apa men~?”

“Aku sedang akan memberitahumu untuk melakukan yang terbaik tapi setelah melihat mukamu, aku jadi tidak merasa ingin mengatakannya.”

“Tidakkah itu agak sedikit kejam!? Ah, tapi tunggu, Aku sudah tidak terlalu gugup lagi.”

Hayama menjaga ekspresi muramnya tidak terlihat oleh Tobe dan meninggalkan kamar.

…Tidak peduli apakah dia tetap disini atau tidak, sikap Hayama tidak akan berubah.

Selama karya wisata ini, mungkin saja jauh lebih awal lagi, sikap Hayama agak sedikit aneh. Hayama, yang selalu dengan sempurna menghindari memperburuk sesuatu, tidak mungkin tidak dapat menyadari abnormalitas dirinya. Tapi kali ini, dia sedang bertingkah terlalu jelas. Terlalu jelas sampai dapat disadari seseorang sepertiku.

Aku meninggalkan kamar ribut itu dan mengikuti Hayama.

Aku memanggil pada punggung pria yang sedang berjalan ke arah pinggir sungai. Memanggil dirimu secara harfiah merupakan sebuah servis dariku jadi kamu sebaiknya berterima kasih.

“Kamu sedang sangat tidak kooperatif.”

“Begitu ya?”

Hayama menjawab tanpa berpaling. Kelihatan seakan dia sedang mengharapkanku mengikutinya dan karena sikap santainya, aku sendiri mulai merasa jengkel.

“Itu benar. Terasa seperti kamu juga ingin menghalangi mereka.”

Setidaknya, Hayama Hayato yang kukenal adalah seorang manusia yang, tidak peduli waktu dan tempatnya, akan memilih pilihan yang hampir benar. Dia adalah seorang pria yang tetap berada di dalam area penalarannya sendiri terlalu sering sampai dia terikat dengannya. Atau begitulah yang kupikir.

Itulah mengapa aku merasa sesuatu yang janggal ketika Hayama memilih untuk menghindari pilihan menyoraki temannya.

“Itu sungguh bukan maksudku.”

Hayama tertawa tegang selagi dia berpaling. Dia begitu berani berbohong di depanku.

“Kemudian, kalau begitu apa yang ingin kamu lakukan?”

“…Aku bahagia dengan keadaan hal-halnya sekarang ini. Aku benar-benar suka waktu yang aku habiskan bersama Tobe, Hina dan semua yang lain.”

Hayama berbicara dengan gaya tabah tanpa sedikitpun tanda-tanda merasa malu.

“Itulah mengapa,”

Hayama berhenti.

Aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan bahkan jika dia tidak berencana menyelesaikan kata-katanya. Apa yang ingin kukatakan sebagai balasannya sudah kusiapkan.

“…Jika hubungan kalian memburuk hanya karena ini saja, kalau begitu hubunganmu mungkin bukanlah jenis hubungan yang kamu pikirkan itu.”

“Kamu mungkin benar. Tapi… hal-hal yang kamu hilangkan tidak akan kembali.”

Dia berbicara seakan dia sedang menceritakan pengalaman masa lalunya. Aku bukanlah tipe orang yang akan menanyakan tentang implikasi yang lebih dalam dibalik kalimatnya. Apapun yang terjadi pada Hayama di masa lalu, aku sepenuhnya tidak tertarik.

Hayama terlihat seperti dia tidak ingin membahas subjek itu lebih jauh lagi. Dia mencoba untuk menutupinya dengan tawa.

“Kami mungkin cukup bisa menganggap bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Toh kami cukup hebat dalam hal itu.”

“Itu tidak berarti semua yang telah terjadi akan lenyap.”

Aku dengan cepat membantah. Aku tidak menyadari bahwa kata-kataku begitu yakin kuucapkan.

Di dalam dunia ini, ada saat-saat dimana kamu tidak dapat melupakan tentang hal-hal yang kamu sesali.

Bahkan ada pepatah bahwa “nasi telah menjadi bubur”.

Kami sedang berbicara dengan normal satu sama lain kemarin tapi tiba-tiba, sebuah jarak yang tak terduga tumbuh di antara kami dan kami tidak pernah berbicara dengan satu sama lain lagi. Kami bahkan berhenti berSMS satu sama lain meski telah sering melakukannya.

Itu saja tidak masalah. Tidak hanya senyuman kita pada satu sama lain akan terlihat kaku, kami bahkan akan menaruh cukup kepercayadirian ke dalam senyumannya untuk menyampaikan “tidak ada yang salah, kita sedang bersikap seperti teman baik, bukan?” pada satu sama lain.

Meskipun begitu, hati nurani yang berdiam di sudut pikiran kita hanya tidak akan pergi lenyap, ada perasaan tertahan yang tidak dapat kita hilangkan.

Hayama memenjamkan matanya dan mulai berkata.

“Persis seperti yang kamu katakan. Aku yakin Hina mungkin memikirkan hal yang sama.”

“Jelas. Malah, ada sesuatu yang salah dengan kalian untuk ingin terus bersenang-senang di dalam sandiwara kalian.”

Aku dengan pelan menendang sebutir kerikil untuk melampiaskan sedikit amarahku. Kerikil yang kutendang melayang ke arah Hayama. Dia dengan perlahan memungutnya dan menatapnya. Seperti dia sedang mencoba menghindari melihat ke arahku.

“Heran… Aku tidak merasa seperti itu sama sekali. Hubungan kami sekarang yang kami miliki merupakan segalanya untukku sekarang ini.”

“Tidak, memang seperti itu. Jadi, apa yang dirasakan Tobe tentang ini? Dia sedang berusaha cukup keras kamu tahu. Apakah kamu sama sekali tidak lebih sedikit pengertian padanya?”

Aku menekan Hayama dengan kata-kataku dan dia meremas kerikil di tangannya itu.

“Aku sudah memberitahunya berkali-kali untuuk menyerah saja. Itu karena aku sama sekali tidak merasa Hina yang sekarang ini akan membuka hatinya pada Tobe… Even so, we can’t predict what’ll happen down the road. That’s why I didn’t want him to try to get everything over with so fast.”

Hayama faced the river and threw the pebble. The pebble bounced atop the water surface numerous times before finally sinking below.

“The things you don’t want to lose are more important than the things you can gain.”

Hayama gazed at the water’s surface as if he was trying to trace the whereabouts of the pebble that he threw. He kept looking despite knowing full well that he wouldn’t have been able to find it.

Ultimately, Hayama and I began discussing the things that you could lose. Hayama said several things.

He was well aware that you will lose things eventually. Regardless of the type of relationship, that, too, will end as well. If it was really important as you claimed it to be, then you would try your best to avoid losing it or so he said.

But, that was just sophistry.

“You sure like running your mouth. As far as I can see, you look like you’re doing everything for your own personal benefit.”

“Then!”

Hayama’s sharp voice reverberated. Hayama glared at me with a distinct look of anger. I returned his glare straight on.

When I did, Hayama looked like he tried to hold back the shame from getting overly excited and sighed deeply. He slowly began to talk.

“Then, what would you do? If it was you, what would you do?”

“Don’t try to shift the subject to me…”

If it was me, then… or not. Thinking about it was pointless. I was different from Hayama. Of course that included Tobe as well.

Pondering what I would do in his situation was nothing but wasted effort. That’s why I didn’t want to talk about it.

“So basically, you don’t want anything to change.”

“…Yes, that’s right.”

Hayama spat his words out. His voice was diluted with anguish and impatience which was something you wouldn’t expect from Hayama normally.

It’s just that.

That feeling of not wanting anything to change.

At the very least, I could understand it.

I mean, I had to.

When you wanted to get your thoughts across, it wasn’t always the correct choice to lay bare your entire life story.

A relationship where you couldn’t move forward. A relationship where you couldn’t forgive others for stepping over into your domain. A relationship where you couldn’t forgive the person for trampling all over you.

In dramas and manga, there was always a happy ending for those who crossed over that line. But reality wasn’t so kind. It was much more cruel and apathetic.

There wasn’t anything else important. The moment you lost the things that were irreplaceable was the moment you realize that you’ll never be able to obtain them ever again.

As I am now, I couldn’t call Hayama a coward, let alone make fun of him.

You could say his inability to move forward was the correct choice. If it was for the sake of his happiness, then it was fine.

The words that could deny the entirety of his answer wouldn’t come to me.

I couldn’t figure out what was wrong.

As I stood there without a counterargument or rebuttal, I heard a short and resigned sigh.

“You’re exactly right… This is just me being selfish.”

As Hayama Hayato said that, he made a lonely laugh.

That laugh rubbed me the wrong way.

“Don’t look down on me, Hayama. I’m not one to easily believe in the words of others.”

I was the type of guy who looked beyond what was said. The owner of that worthless personality was me.

“That’s why I don’t believe you for a second when you say you’re being selfish.”

“…Hikigaya.”

Hayama’s expression was full of shock. It wasn’t exactly anything to be shocked about.

I imagine there were other people like who wanted the same thing.

And that there were other people like me.

And girls who lie and put up a façade in order to protect something.

Hayama Hayato doesn’t want to hurt anyone. The reason why Hayama couldn’t act was because he knew someone was bound to be hurt.

The one step that he could take would ultimately hurt someone which would lead to something breaking.

Exactly who had the right to deny the justice of those who agonize over their decision to try to protect something?

All of us were living in this laughably narrow world with a limited amount of time.

It doesn’t need to be said that our time as high school student wouldn’t last forever.

Who had the right to criticize you for wanting to value the limited time you had left?

It was understandable wanting to not lose anything.

What I needed to do was already decided.

Hayama Hayato can't choose anything. There were too many things he had within his grasp that he held dear.

Hikigaya Hachiman tidak dapat memilih apapun. Malah, tidak ada alternatif karen hanya ada satu pilihan.

Seironik apapun itu, Hayama dan aku itu mirip dalam segi “tidak dapat memutuskan”, tapi semua hal-hal yang lain sepenuhnya paralel.

Hal-hal yang ingin dilindungi Hayama adalah hal-hal yang aku tidak dapat pahami.

Tapi lebih baik begitu. Itulah mengapa ada hal-hal yang hanya dapat kulakukan.

Hayama memanggilku selagi aku pergi dengan punggungku berpaling dari sungainya.

“Aku benar-benar tidak mau bergantung padamu untuk hal ini juga…”

The same goes for me too, you bastard.

Cinta dan pertemanan adalah hal-hal yang dikagumi oleh orang-orang. Tapi itu merupakan hak terbatas yang diberikan kepada para pemenang.

Teriakan para pecundangThe cries of the losers fell on deaf ears.

Kalau begitu,In that case, I will take them all in. I will sing out with all my might.

Ini adalah sebuah lagu ballad untuk mereka yang This was a ballad of those who agonized in silence.

Ini adalah sebuah lagu requiem bagi mereka yang hanya bisa menaruh tampang tegar bahkan ketika mereka terpesona dan tertarik pada seseorang.


Catatan Translasi

<references>

  1. Mengaktifkan kompi
  2. Catur Jepang
  3. With his head in the game. Terjemahan sementara sampai terpikir yang lebih cocok
  4. Non-halal
  5. Googlekan jika penasaran..wkwkw
  6. Ema