Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 4 Bab 2"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m
m
Line 167: Line 167:
 
“Apa kamu sedang mengutip Sherry? Aku ingat itu dari Conan<ref> Komik Detektif Conan, dan aku tahu Vermouth yang mengucapkan "a secret makes a woman, woman" bukan Sherry a.k.a Haibara </ref>…”
 
“Apa kamu sedang mengutip Sherry? Aku ingat itu dari Conan<ref> Komik Detektif Conan, dan aku tahu Vermouth yang mengucapkan "a secret makes a woman, woman" bukan Sherry a.k.a Haibara </ref>…”
   
Ini cenderung terjadi di antara kakak-beradik ketika membicarakan tentang manga – terutama manga yang dibeli dan diarticularly manga bought and shared in elementary school. The trend was even more striking when it was a manga popular among both genders. Naturally, it was easy to get this sort of reference.
+
Ini cenderung terjadi di antara kakak-beradik ketika membicarakan tentang manga – terutama manga yang dibeli dan saling berbagi waktu SD. Tren ini makin marak<!--striking--> lagi kalau itu manga yang terkenal pada baik lelaki maupun perempuan. Tentu saja, itu gampang untuk memahami<!--get--> referensi semacam ini.
   
 
…yah, ketika aku sedang membaca, dia akan mengintip bacaanku, jadi ibuku akan melihat itu dan berkata hal-hal seperti, “Kasih Komachi baca.” Suatu waktu ini ketika aku sedang mendengar lewat earphoneku, dia mengatakan sesuatu seperti, “Kasih Komachi dengar lewat satu telinga.” Sungguh lawak. Apa dia pikir kami itu pasangan mesra atau semacamnya? Atau mungkin anak SMA laki-laki di kereta api sewaktu pulang. Kalau Ebina-san melihat itu, dia akan menggila…
 
…yah, ketika aku sedang membaca, dia akan mengintip bacaanku, jadi ibuku akan melihat itu dan berkata hal-hal seperti, “Kasih Komachi baca.” Suatu waktu ini ketika aku sedang mendengar lewat earphoneku, dia mengatakan sesuatu seperti, “Kasih Komachi dengar lewat satu telinga.” Sungguh lawak. Apa dia pikir kami itu pasangan mesra atau semacamnya? Atau mungkin anak SMA laki-laki di kereta api sewaktu pulang. Kalau Ebina-san melihat itu, dia akan menggila…
Line 213: Line 213:
 
“…menakutkan.”
 
“…menakutkan.”
   
Banjiran pesan-pesannya dan caranya untuk memastikan keselamatan seseorang itu mengerikanǃ Itu hampir mirip dengan modus operandi seorang penguntitǃ Aku sekarang mengerti menakutkannya dicintai orang. Aku tidak memerlukanmu, sayang. <ref> </ref>
+
Banjiran pesan-pesannya dan caranya untuk memastikan keselamatan seseorang itu mengerikanǃ Itu hampir mirip dengan modus operandi seorang penguntitǃ Aku sekarang mengerti menakutkannya dicintai orang. Aku tidak memerlukanmu, sayang. <ref> In the Japanese, he says, “愛なんていらねえよ、夏” (lit. I don’t need love, summer), which is a reference to a Japanese romantic drama. I changed this line to a lyric from the Kenny Rogers song “I don’t need you”. </ref>
   
 
“Jadi ada apa<!--So is something up-->? Aku akan pergi ke Chiba dengan adikku sekarang, jadi‐” kataku, membuat Hiratsuka-sensei berkedip beberapa kali karena terkejut.
 
“Jadi ada apa<!--So is something up-->? Aku akan pergi ke Chiba dengan adikku sekarang, jadi‐” kataku, membuat Hiratsuka-sensei berkedip beberapa kali karena terkejut.
   
“Apa, kamu masih belum membaca pesanku? Kita semua akan pergi ke Chiba sebagai bagian dari aktivitas Klub Servis..”
+
“Apa, kamu masih belum membaca pesanku? Kita semua akan pergi ke Chiba sebagai bagian dari aktivitas Klub Servis.”
   
 
“Huh?”
 
“Huh?”
   
  +
Apa sesuatu seperti itu ada di dalam pesan teks yang kudapat? Mula-mula aku membuka pesan-pesannya, tapi berkat pesan teksnya yang agak yandere, aku mematikan teleponku karena takut. Merasa bahwa aku sebaiknya melihatnya untuk berjaga-jaga, aku mengeluarkan ponselku.
  +
  +
Selagi aku melakukannya, suatu suara memanggilku dari belakang.
  +
  +
“Hikki! Kamu telat.”
  +
  +
Ketika aku berpaling ke belakang, Yuigahama sedang menenteng sekantong plastik toko swalayan, yang diisi sampai penuh. Dia mengenakan topi pelindung matahari berwarna pink terang, dengan kaos oblong berlengan pendek dan celana pendek yang pendek yang kira-kira sedang meneriakkan “Aku menderita defisiensi pakaian<!--I have a wardrobe deficiency-->”. Itu adalah pakaian yang tercipta hanya demi musim panas. Akhir-akhir ini, bahkan anak SD pun tidak memakai kaos lengan pendek dan celana pendek.
  +
  +
Yukinoshita berdiri di bayang-bayang Yuigahama, seakan sedang bersembunyi di sana. Untuk sekali ini dia mengenakan celana jeans untuk menyesuaikannya dengan kemeja kerah stand-up. Walaupun pakaiannya tidak banyak menampilkan kulitnya, penampilan rapi dan apiknya memang memancarkan suasana yang sejuk.
  +
  +
“Huh? Kenapa kalian ada di sini?” tanyaku.
  +
  +
“Kamu tanya kenapa? Tentu saja, karena aktivitas klub,” kata Yuigahama dengan acuh tak acuh. “Aku datang setelah aku meminta bantuan Komachi-chan.”
  +
  +
…wow, aku kurang lebih tahu keadaannya sekarang. Kamu tahu, Hiratsuka-sensei mencoba membujukku untuk mengikuti aktivitas klub, tapi setelah aku mengabaikannya berkali-kali, dia menghubungi Yuigahama, yang merasa berkewajiban untuk menghubungi Komachi.<!--in turn-->
  +
  +
Lontong sateǃ Mereka curangǃ<!--I call foul play--> Mereka memanfaatkan rasa cinta keabanganku – suatu rasa cinta yang mendorongku untuk pergi ke luar rumah dengan riang setiap kali diminta adikku<!--at my sister’s beck and call-->! Mereka benar-benar membuatku tertipuǃ<!--They really got me good!-->
  +
  +
Tapi pada kasus ini, kurasa penipu terbesar di antara mereka semua adalah Komachi, yang membawaku ke sini tanpa memberitahuku kebenarannya. Rasa benci terbesar muncul dari rasa cinta terbesar. Aku akan mendapat masalah besar jika aku mencintainya lebih dari cintaku yang sekarang.
  +
  +
Berbicara soal Komacho, dia dengan semangat menggebu-gebu mulai menyapa dengan riang dan antusias segera setelah dia melihat kedua gadis itu. “Yui‐san! Yahallo!”
  +
  +
“Yahallo, Komachi‐chan!”
  +
  +
Apa sapaan itu tren terbaru atau apa? Hentikan itu. Sel otakku bermatian di sini.<!--I’m losing brain cells here.-->
  +
  +
“Yukino‐san! Yahallo!”
  +
  +
“Ya…” Yukinoshita baru saja akan menjawab, tapi dia kelihatannya menghentikan dirinya dengan tepat waktu. “Selamat siang, Komachi‐san.”
  +
  +
Wajahnya berubah menjadi merah terang lebih cepat dari kamu bisa mengedip.
  +
  +
Komachi gripped Yuigahama’s hand very tightly. “I’m so happy you invited me too!”
  +
  +
“You should thank Yukinon,” Yuigahama chirped. “I got a call from Yukinon too, but it looks like Sensei was the one who wanted to invite you, Komachi‐chan.”
  +
  +
Hmph. So in other words, the order went like this: Hiratsuka‐sensei ‐> Yukinoshita ‐> Yuigahama ‐> Komachi ‐> Me.
  +
  +
When she heard that, Komachi leaped at Yukinoshita with a tackle hug. “So that’s how it happened! Thank you ever so much! I love you, Yukino‐san!” she declared with utter frankness.
  +
  +
Yukinoshita flinched for a moment at this open display of affection. She turned her face away from Komachi’s and coughed primly.
  +
  +
“…er, that is… I was of the opinion that someone was necessary to keep an eye on that thing.”
  +
  +
Yes, pleased to make your acquaintance. My name is ‘that thing’.
  +
  +
“That’s why my actions aren’t particularly worth mentioning,” Yukinoshita said after another pause. “You appreciated me precisely because that’s how you normally are.”
  +
  +
Yukinoshita blushed. When they saw that, Yuigahama and Komachi grinned adoringly at her.
  +
  +
Oh no, at this rate Komachi would fall under Yukinoshita’s evil influence. It was already too late for Yuigahama, but I wanted Komachi to be on the right path. I had to correct her course!
  +
  +
“Komachi, you don’t have to be grateful towards Yukinoshita. Since they judged it necessary for my own sister to watch over me, you should really be grateful to me for being worthless.”
  +
  +
Heh, couldn’t have said it any better. With that, there was no doubt my sister would show me the gratitude and respect and love a brother deserved.
  +
  +
“…”
  +
  +
“…”
  +
  +
“…”
  +
  +
Or so I thought. A drawn‐out silence greeted me in response. Only the roar of the high‐speed trains assailed my ears.
  +
  +
As everybody was lost for words, Yukinoshita smiled sweetly. I felt like it had been quite a long time since I had last seen her smile like that.
  +
  +
“Calling Komachi‐san was the right decision after all. Good luck handling that thing.”
  +
  +
“Honestly, I can’t wait to offload him to someone else, though!”
  +
  +
I was being abandoned by my own little sister.
  +
  +
In an effort to distract myself from the tears threatening to gush out of me, I looked up. Ouch, the blazing sun stung a little.
  +
  +
I called out to Hiratsuka‐sensei. “It’s hot, so can we please get this over with?”
  +
  +
“Not so fast. The last person’s coming now.”
  +
  +
Right then, someone was descending the station steps and coming towards us. When I saw how he searched his surroundings like a lost puppy, I understood who it was in a flash.
  +
  +
Before I knew it, I was raising my hand.
  +
  +
That caused him to notice me and run in my direction. “Hachiman!” Even as he was panting, Totsuka reserved a bright, cheery smile for me.
  +
  +
He was more shining and brilliant than the midsummer sun. But he had smiled at people other than me… when I thought of that, my chest tightened in pain. Something got caught in my throat, furthering my agony. The wounds in my heart were festering.
  +
  +
  +
  +
  +
42
  +
  +
2‐3
  +
  +
But when I looked at Totsuka’s adorable smile, I was cured in two seconds flat. In English, you could say his SMILE was PRETTY and a CURE4. Totsuka was so kawaii. He was Totsukawaii for short.
  +
  +
Komachi, who had been standing beside me, sprang into motion. “Yahallo, Totsuka‐san!” she greeted him.
  +
  +
“Oh. Yahallo!”
  +
  +
Damn, that was cute. We should make that the latest trend. “So you were invited too, Totsuka?”
  +
  +
“Yep, ‘cos there weren’t enough helpers. But… I wonder if I’m allowed to go?”
  +
  +
“Of course you are!” I declared.
  +
  +
Hang on, if we were just going to Chiba, that wasn’t something to get so worried about.
  +
  +
Still, Hiratsuka‐sensei had the good sense to invite Totsuka. G’job. And with that, everyone was here.
  +
  +
…everyone?
  +
  +
I looked around restlessly. “What about Zaimokuza?”
  +
  +
“…who’s that?” Yukinoshita tilted her head in puzzlement.
  +
  +
In response, Hiratsuka let out a grunt, as if remembering something. “I called him as well, but he said no, mentioning some fierce fight and a Comiket and a deadline or whatever,” she explained.
  +
  +
Wow, seriously, Zaimokuza? The only thing I was envious of was that he had the choice to refuse. He was probably having the time of his life mucking around with his arcade comrades about now… even so, how did a wannabe author like him have a deadline coming up?
  +
  +
  +
  +
  +
4 A reference to Smile Pretty Cure! a magical girl anime.
  +
  +
  +
  +
43
  +
  +
2‐3
  +
  +
“Now then, let’s get going,” Hiratsuka‐sensei said to us all.
  +
  +
We were poised to climb into the minivan. When we opened the door, there were seven seats: the driver’s seat, the passenger seat, three seats in the back and two in the middle.
  +
  +
“Yukinon, let’s snack on sweets.”
  +
  +
“Aren’t those meant to be eaten after we arrive?”
  +
  +
It seemed Yuigahama and Yukinoshita already planned to sit together.
  +
  +
Which meant that…
  +
  +
Oho. In other words, I would be sandwiched between Totsuka and Komachi – the Sword of Promised Victory5. Victory is mine! I was just about to climb triumphantly into the back seat when someone yanked me by the collar.
  +
  +
“Hikigaya, you’re in the passenger seat,” said Hiratsuka‐sensei.
  +
  +
“Huh? Wait, why?!” I kicked and fought as I was being dragged along.
  +
  +
Hiratsuka‐sensei covered her bright red face with one hand. “D‐don’t get the wrong idea! I‐it’s not as if I want to sit next to you or anything!”
  +
  +
Ohh, how tsundere‐ish. When you put her age aside, it was cute.
  +
  +
“It’s only because the passenger seat has the highest death rate!” she went on.
  +
  +
“You’re the worst!” I struggled in an attempt to escape from Hiratsuka‐sensei’s arms.
  +
  +
Hiratsuka‐sensei suddenly flashed a smile. “I’m joking,” she insisted. “It’s a long drive and I’d rather not get bored during it, you know? Just talking with you is fun.”
  +
  +
“I see…”
  +
  +
  +
  +
  +
5 The Sword of Promised Victory is the Excalibur in the Type Moon franchise.
  +
  +
  +
  +
44
  +
  +
2‐3
  +
  +
When she smiled at me so calmly and gently, I lost all capacity to resist. When I sat down on the passenger seat obediently, Hiratsuka‐sensei nodded in satisfaction.
  +
  +
Once we had confirmed that everyone was inside the car, Sensei and I tightened our seatbelts. Then Hiratsuka‐sensei turned on the ignition and stepped on the accelerator. The minivan started moving away from the familiar local station. If we were going to Chiba, then there was no time to waste getting out onto the National Route 14 from here.
  +
  +
But for some reason, the car Hiratsuka‐sensei was driving was headed towards the interchange. The car navigator could only be pointed towards the highway.
  +
  +
“Um, aren’t we going to Chiba…?” I asked.
  +
  +
Hiratsuka‐sensei grinned. “Let me ask you instead. Since when were you under the impression that we were going to Chiba Station…?”
  +
  +
“Er, it has nothing to do with impressions. Usually, when you say you’re going to Chiba, you mean Chiba Station‐”
  +
  +
“You expected Chiba Station? Too bad! It was Chiba Village!”
  +
  +
“Why are you hyping it up so much…?”
  +
  +
People who aren’t so good at social interactions would still interact with others from time to time, but when it’s been such a long while, the anticipation would skyrocket for some reason. This was a textbook example of how looking back the next day made you fall into self‐hatred, perhaps because of the passage of time. I hoped Hiratsuka‐sensei wouldn’t fall into depression tomorrow.
  +
  +
But anyway, so we were going to Chiba Village, huh…? I’d heard of it before… I wondered what it was like.
   
   

Revision as of 17:10, 23 November 2015

Bab 2: Coba saja Semampumu, Kamu tidak akan Pernah Bisa Melarikan Diri dari Hiratsuka Shizuka

2-1

Jangkrik-jangkrik sudah ribut segera setelah matahari mulai terbit.

Menurut televisi yang kutinggal menyala, gelombang panas hari ini akan menjadi gelombang panas terbesar pada musim panas atau semacamnya. Bukankah orang-orang itu mengatakan hal tersebut setiap hari? Ini mirip dengan idola-idola super bertalenta yang jenisnya hanya terlihat sekali dalam satu dasawarsa, dan namun, untuk beberapa alasan, muncul setiap tahunnya.

Suhu panasnya membuatku bersungut-sungut, jadi aku langsunɡ mematikan televisinya. Kemudian aku menghempaskan diriku ke atas sofa dan menghidupkan game konsolku. Hari ini aku bertekad untuk tidak pergi ke luar rumah namun untuk bermalas-malasan di rumah sepanjang hari. Kelihatannya Komachi sedang menutup dirinya di ruangannya untuk belajar, jadi aku sendirian di ruang tamu.

Sudah hampir mendekati dua minggu semenjak liburan musim panas dimulai.

Setiap liburan musim panas, gaya hidupku tetap sama. Aku akan tidur sampai siang, menonton Ensiklopedia Hewan Peliharaan dan Festival Anime Liburan Musim Panas Anak-Anak dan kemudian tiba-tiba ingat untuk pergi keluar ke toko buku. Pada sore hari, aku akan membaca atau bermain game dan kemudian belajar. Aku cukup menyukai gaya hidup ini.

Liburan musim panas – itu adalah zona kebebasan bagi para penyendiri. Itu bukan angel sanctuary. [1]

Kamu tidak akan menyusahkan siapapun meski kamu bermalas-malasan sepanjang hari. Atau begitulah yang akan dikira orang, tapi karena aku tidak ada hubungan apapun dengan orang, dari awalpun aku tidak pernah menyusahkan siapa-siapa. Aku anak yang terlampau baik.

Omong-omong, tidak ada siapapun yang mengekangku selama liburan musim panas. Memang, aku bebas. Dalam bahasa Inggris, kamu akan menyebutnya FREEDOM. Gundam [2]. Aku – tidak – kami adalah Gundam [3].

Aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Itu cukup enak. Aku puas dengan gaya hidupku ini. Hanya saja, itu tidak terlalu enak jika bos di tempat kerja memberitahumu, “Kamu tidak perlu melakukan apa-apa lagi.” Itu kejam, sebegitu kejamnya sampai-sampai aku berhenti.

Dipikir-pikir lagi, sudah cukup lama sekarang aku tidak bekerja paruh waktu.

Sebelum aku memasuki Klub Servis aku bekerja paruh waktu di sini-sana… sebagian besarnya, aku tidak bisa dekat dengan siapapun di akhir dari itu semua dan aku biasanya berhenti setelah sekitaran tiga bulan. Itu menjengkelkan untuk pergi kembali untuk mengembalikan seragamnya, jadi aku cukup mengeposkan selembar cek pada mereka.

Ketika aku memikirkan tentang itu, Klub Servis sudah menyedot lumayan banyak waktuku. Tapi tidak perlu menunjukkan wajahku di sana selama liburan musim panas. Muahahahahaha!

Selagi aku tertawa keras-keras, ponselku berbunyi. Aku heran apa itu email lain yang dikirim dari Amazon. Atau mungkin itu dikirim dari sebuah gudang di kota Ichikawa dalam prefektur Chiba. Selagi pemikiran itu melintasi kepalaku, aku memungut ponselnya dari atas meja.

Ketika aku melihat ke arah layarnya, sebuah pesan sedang menunggu di dalam kotak masukku.

Pengirimnya adalah Hiratsuka-sensei.

Aku menutup layar pesannya.

Heh, aku tahu persis apa yang mesti kulakukan… sekarang aku hanya perlu membalasnya pada larut malam dengan “maaaaaff, batereku habis” atau “rupanya aku tadi di luar servis area sebentar” atau semacamnya dan selesai.. Kalau kamu membalasnya seperti itu, pihak lain tidak bisa menyalahkanmu untuk itu. Sumberː diriku. Dulu sewaktu SMP, aku mengumpulkan keberanianku untuk mengirim pesan pada para gadis, empat puluh persennya hanya untuk mendapatkan balasan tersebut. Kebetulan, tiga puluh persennya aku tidak mendapat balasan, dan tiga puluh persennya lagi terdiri dari pesan teks dari orang asing yang bernama MAILER-DAEMON. Tidak ada gunanya berusaha keras.

Setelah aku menyelesaikan hal itu, aku kembali ke sofa, merasa cukup senang dengan diriku.

Aku memungut gameku (yang telah memasuki sleep mode) sekali lagi. Itu hebat bagaimana game konsol terbaru memiliki sleep mode. Kamu bear-benar bisa menggunakan waktumu dengan bijak. Masalahnya adalah ketika itu terlalu baru sekali, karena sejumlah fitur yang tidak bisa kupahami tak terelakkan lagi akan datang mengikutinya. Fitur komunikasinya itu salah satunya, tapi hal-hal seperti tombol sentuh belakangnya membuatku menggaruk-garuk kepalaku. Aku juga tidak bisa berhenti memikirkan yang tidak-tidak.

Ponselku berbunyi lagi.

Apa? Burger jenis apa yang murah hari ini? Pikirku, meraih ponselku, hanya bagi dia untuk mulai berbunyi untuk waktu yang luar biasa lama. Karena beberapa misteri tertentu, aku sedang mendapat panggilan. Menilai dari jumlah waktu yang berlalu semenjak aku mendapat pesan teks barusan itu, kemungkinannya panggilannya dari Hiratsuka-sensei.

Aku tidak mengenal banyak orang yang biasanya akan gembira karena mendapat panggilan dari gurunya, dan aku juga tidak ada bedanya.. Ditambah lagi, karena aku mengabaikannya persis sebelum mendapat panggilan itu, ada kemungkinan dia akan mengulitiku karenanya kalau aku menjawabnya sekarang, jadi sekali lagi aku memutuskan untuk membiarkannya. Sementara itu, ponselku tiba-tiba menjadi senyap, menandakan bahwa dia mungkin sudah menyerah.

Dan dalam jangka waktu tenang yang pendek itu, banjiran pesan teks sudah menerjang kotak masukku.

Apa-apaan-? Ini mengerikan. Apa dia seperti ini dengan pacarnya atau siapapun? Takut bahwa banjiran lain akan menerjang kotak masukku, aku melihat ke arah pesan-pesan teksnya dengan penuh waswas.

Aku membuka pesan teks teratas di dalam folder itu – dengan kata lain, pesan teks yang terbaru.

Pengirim: Hiratsuka Shizuka

Subjek: “Ini Hiratsuka Shizuka. Tolong hubungi aku setelah kamu melihat ini.”

Isi: “Hikigaya-kun, Aku ingin kamu menghubungiku segera mengenai aktivitas liburan musim panas Klub Servis. Tolong hubungi aku SEGERA. Apa mungkin, kamu masih tertidur? (Haha) Aku sudah mengirim pesan dan meneleponmu ribuan kali tadi. Apa sebenarnya kamu sedang membaca ini sekarang?

Hei, beritahu aku kamu sedang membaca ini.

Angkat teleponnya [4].”

Lontong sateǃ Aku hampir pipis di celanaǃ

Aku rasa aku menyaksikan salah satu alasan kenapa Hiratsuka-sensei tidak bisa menikah. Sialan, persisnya sesuka apa dia denganku? Mengerikan. Benar-benar mengerikan.

Ketika aku menggulir ke atas pesan-pesan tersebut, itu semua kira-kira sama saja. Singkatnya, itu berisi, “Berpartisipasi dalam aktivitas sukarela selama liburan.”

Tidak main-main. Ini adalah salah satu situasi dimana pura-pura tidak tahu itu diperlukan dengan segala cara.

Aku mematikan ponselku tanpa ragu-ragu. Pada saat-saat seperti ini, itu berguna bagaimana penyendiri itu tidak dihubungi oleh orang lainǃ


× × ×


2-2

Komachi menyeret kakinya ke lantai bawah dari ruangannya, telah akhirnya terbangun. Menilai dari penampilannya, dia jelas sekali sudah menghabiskan waktu tersebut untuk masuk dan keluar dari alam mimpi, dan satu-satunya pakaian yang dikenakannya di atas pakaian dalamnya adalah T-shirt bekasku.

“Lagi istirahat?” tanyaku.

“Yap, Aku sudah menyelesaikan kira-kira semuanya k'cuali resensi buku dan projek penelitiannya,” kicaunya.

“Kerja bagus. Ingin minum sesuatu? Kopi atau teh jelai atau Kopi MAX…?”

“Jadi kopi dan Kopi MAX itu berbeda sekarang… ‘ke, aku mau teh jelai.”

Kopi MAX bukan sekedar kopi. Itu wajar. Kopi susu [5] dan Kopi MAX itu berbeda seperti langit dan bumi. Dari sudut pandangku, yang pertama itu digolongkan sebagai kopi, sedangkan Kopi MAX digolongkan sebagai susu kental manis.

Anomali dalam dunia kopi – itulah Kopi MAX. Omong-omong, anomali dalam dunia novel ringan itu Gagaga Bunko [6].

Aku pergi ke dapur, mengeluarkan sebotol teh jelai yang didinginkan dengan baik dari kulkas dan menuangkan secangkir untuknya. “Mari.”

“Terima kasih.”

Komachi mengambil cangkirnya dengan kedua tangan dan meneguknya dengan nikmat. Membuat helaan puas yang dalam, dia meletakkannya ke atas meja.

“Kamu tahu tidak, onii-chan.” Komachi tiba-tiba menjadi serius. “Aku belajar sangat, sangat keras.”

“Tentu, kurasa. Tidak seperti kamu sudah selesai.”

Dia masih menyisakan resensi buku dan projek penelitiannya. Juga, ketika berbicara soal belajar untuk ujian seleksi masuk, tidak pernah berakhir adalah akhirnya – itulah Gold Experience Requiemku [7].

Namun, kamu bisa bilang dia telah bekerja keras untuk menyelesaikan hampir semua PRnya selama beberapa hari terakhir ini.

“Karena aku bekerja begitu keras, aku pikir itu bagus untuk memberi diriku sendiri hadiah.”

“Jadi kamu itu wanita karir?” Omong-omong, kata-kata “memberi diriku sendiri hadiah” itu benar-benar berbau seperti sesuatu yang akan dikatakan oleh seorang wanita jomblo. Selama sesaat, wajah Hiratsuka-sensei muncul di dalam otakku.

“Yang penting, aku perlu hadiah. Jadi itulah kenapa kamu harus ikut bersamaku ke Chiba, onii-chan.”

“Aku salut dengan logikamu. Lompatan topiknya begitu tinggi sampai kamu bisa menang Lomba Manusia Burung [8],” kataku.

Komachi menggembungkan pipinya dan cemberut. Entah kenapa, kelihatannya dia tidak akan menerima jawaban tidak.

“Oke, aku mengerti. Apa ada sesuatu yang kamu mau? Kalau terlalu mahal, aku mesti menolaknya. Aku cuma punya 400 yen dalam dompetku [9].”

“Murah pun barangnya, kamu juga harus menolaknya…” gugam Komachi. “Aku benar-benar tidak mau sesuatu yang bisa dibeli dengan uang,” tegasnya. “Cuma bepergian dengan onii-chanku saja sudah cukup. Ah, poin Komachi cukup tinggi barusan!”

“Kamu begitu menjengkelkan…”

Tapi kelihatannya dia benar-benar tidak menuntut dibelikan sesuatu. Intinya dia tiba-tiba merasa ingin berjalan-jalan denganku untuk bersenang-senang. Itu semua bagus jika dia melakukan itu dengan temannya, tapi, yah, aku tidak suka pemikiran akan seseorang mencoba untuk merayunya ketika dia berada di Chiba dengan gadis lain. Sebenarnya, ada sebuah tempat di dekat Stasiun Chiba yang menuju ke sebuah distrik hiburan, atau sebaliknya dikenal sebagai “Jalan Pria Hidung Belang”. Dulu, ada preman dan badung yang bertengger di dekat sana, dan sejak saat itu aku tidak pernah berada di dekat sana.

Lagipula, jika dia melakukan hal-hal yang aneh dengan lelaki untuk bersenang-senang, aku tidak ada pilihan selain melumuri tanganku dengan darah. Sebaiknya memberitahu Komachi hal itu.

“Aku tidak keberatan untuk bepergian, tapi ganti bajumu. Kalau kamu pergi ke luar dengan penampilan seperti itu, aku harus mengacungkan sinar laser untuk menghentikan tatapan mesum lelaki di jalan. Ah, apa poin Hachimanku tinggi barusan?”

“Tidak tahu ya… aksi siscon itu jujur saja menjijikan. Ditambah lagi, caramu begitu buruk.”

Adik kecil tercintaku mundur dua langkah penuh.

…oh, benarkah? Kupikir aku mendapat sekitaran 80.000 poin. Hanya untuk mata Hachiman – Aku diam-diam mengunci kritikannya di dalam hatiku. Sistem penilaian Komachi itu keras, itulah kenapa.

Saudara yang hidup di Chiba punya kemungkinan besar menjadi seorang siscon. Adik kecilku seimut ini, jadi aku tidak ada pilihan lain Cite error: Invalid <ref> tag; refs with no name must have content. Orang-orang sering bilang sesuatu seperti, “Aku punya adik kecil, tapi dia sama sekali tidak imut,” tapi kamu tahu bagaimana kebenarannya. Mereka hanya bilang adik mereka tidak imut karena mereka ada ikatan saudara.

“Aku tak tahu apa yang akan kita lakukan di Chiba, tapi aku tidak keberatan pergi ke sana, kurasa,” kataku.

“Oooh, terima kasih. ‘ke, kalau begitu, aku siap-siap dulu. Kamu sebaiknya ganti baju yang lebih mudah untuk bergerak, onii-chan.”

Baju yang mudah untuk bergerak. Kenapa, apa kita mau pergi mengebor atau apa? Mau menggali sesuatu? Itu terdengar cukup mirip dengan bowling.

Namun, ketika orang bilang ‘baju yang mudah untuk bergerak’, yang paling mudah untuk bergerak itu tidak memakai apa-apa, menurutku. Ada orang seperti itu di SD ketika kami lomba lari 50 meter. Mereka bilang, “Aku akan serius berlari,” selagi mereka berlari tanpa alas kaki. Dan waktu kubilang orang, maksudnya itu aku.

Melepas kaos oblongku dan memakai celana jeans, aku dengan malas memilih sepotong kaos untuk kukenakan. Aku baru saja memakai sepatuku ketika Komachi mulai mengacau balaukan rumah dan mengobrak-abriknya.

Sedang apa dia berkeliaran tak henti-hentinya? Dia sudah melakukannya selama beberapa saat sekarang. Namun, aku harus mengakui dia itu seperti seekor hewan mungil dan meteran keimutannya melonjak tinggi sekali.

Selagi aku menunggu-nunggu dengan menatap kosong ke arah langit-langit (salah satu kemampuan spesialku), Komachi juga sudah selesai berganti baju. Lagi-lagi, dia berganti baju di depanku seperti yang biasa dilakukannya, tapi kelihatannya dia benar-benar sedang mengabaikanku – begitu seperti biasanya.

Akhirnya, dia berpose di depan kaca cermin dengan tangan di atas dagunya. Ya, ya, dia imut sekali. Sekarang apa dia bisa lebih cepat sedikit?

Setelah lama menunggu, Komachi memakai topi lelaki penjual koran[10] pada kepalanya dan berpaling ke belakang untuk menghadapku. “’ke, ayo kita pergi!” ujarnya selagi dia menenteng tas bawaannya dengan kedua tangannya.

Ada dua tas. Tasnya diisi sampai penuh, jadi tasnya terlihat lumayan berat. Ketika aku tanpa berkata-kata mengulurkan tanganku, Komachi dengan agak riangnya menyerahkan salah satu tasnya padaku. Jangan begitu senang. Dia itu salah satu tokoh perempuan agak dungu yang lagi marak-maraknya belakangan ini.

Aku memastikan pintunya tertutup dengan aman sebelum kami pergi, dan kemudian kami berangkat ke stasiun.

“Ay'lah, ada apa dengan semua barang ini?” tanyaku pada Komachi, menunjuk ke arah tas yang sedang kupegang selagi kami berjalan beriringan. “Untuk apa aku membawa ini? Apa aku itu supir pribadimu?”

Sebagai balasannya, Komachi diam-diam meletakkan jari telunjuknya pada mulutnya. “Itu-ra-ha-si-a!” lantunnya, mengedipkan matanya selagi dia mengucapkannya.

“Kamu begitu menjengkelkan…”

“Heh, onii-chan. Rahasia-lah yang membuat wanita memang seorang wanita[11].”

“Apa kamu sedang mengutip Sherry? Aku ingat itu dari Conan[12]…”

Ini cenderung terjadi di antara kakak-beradik ketika membicarakan tentang manga – terutama manga yang dibeli dan saling berbagi waktu SD. Tren ini makin marak lagi kalau itu manga yang terkenal pada baik lelaki maupun perempuan. Tentu saja, itu gampang untuk memahami referensi semacam ini.

…yah, ketika aku sedang membaca, dia akan mengintip bacaanku, jadi ibuku akan melihat itu dan berkata hal-hal seperti, “Kasih Komachi baca.” Suatu waktu ini ketika aku sedang mendengar lewat earphoneku, dia mengatakan sesuatu seperti, “Kasih Komachi dengar lewat satu telinga.” Sungguh lawak. Apa dia pikir kami itu pasangan mesra atau semacamnya? Atau mungkin anak SMA laki-laki di kereta api sewaktu pulang. Kalau Ebina-san melihat itu, dia akan menggila…

Aku menuntun Komachi, yang sedang memainkan ponselnya selagi dia berjalan, menuju ke sisi trotoar dan kemudian memantau jalan raya yang senyap itu. Matahari bersinar terik di sepanjang jalan menuju ke stasiun, selagi kucing-kucing liar tidur dengan nyenyak di bawah bayang-bayang. Bau asap obat nyamuk bakar dari sebuah kebun entah dimana melayang ke arah kami, bersama dengan suara sebuah program televisi.

Selagi Komachi dan aku berjalan bersama-sama, sekumpulan anak SD menaiki sepeda gunung melintasi kami dari samping. Mereka kelihatannya sedang bersenang-senang. Entah untuk alasan apa, Komachi dan aku melihat mereka pergi sebelum mulai berjalan melintasi jalurnya lagi. Laju berjalanku sedikit lebih lamban dari biasanya, jadi aku mencocokkan kecepatanku dengan kecepatan Komachi sampai kami tiba ke stasiun.

Kami sampai di stasiun, dan aku baru saja akan pergi ke arah palang tiket ketika Komachi mulai menarik-narik lengan bajuku tanpa henti. “Onii-chan, ke sini! ke sini!”

“Huh? Kalau kita mau ke Chiba, maka kereta api…” sahutku, sambil berpaling ke belakang.

Sebagai balasannya, Komachi menarik lenganku dan menunjuk. “Sebelah sana!” Dia berakhir menyeretku sepanjang jalan sampai ke bundaran bus. Sebuah minivan yang tak kukenal terparkir di depanku.

Di depan pintu pengemudi berdiri sesosok gelap. Dari bentuk tubuh montok itu, aku bisa dengan jelas melihat bahwa dia adalah seorang wanita. Dia mengenakan celana denim pendek dan kaos hitam ketat dengan lengan bajunya tersingsing, dan kakinya memakai sepatu sneaker yang didesain seperti sepatu gunung. Rambut panjang hitamnya diikat rambut poni, dan dia mengenakan topi bewarna kuning kecoklatan. Karena dia mengenakan kacamata hitam pada matanya, aku tidak ada cara untuk melirik ekspresinya. Tapi ketika dia menghadapku, bibirnya meliuk masam.

Aku mendapat perasaan buruk soal ini.

2‐3

“Baiklah, sekarang… mari kita dengar kenapa kamu tidak mengangkat panggilanku – Hikigaya Hachiman.”

Orang yang mendorong kacamata hitamnya ke bawah dan melemparkan tatapan tajam ke arahku adalah – tanpa perlu disebut lagi – Hiratsuka‐sensei. Whoa, apa dia sedang marah besar…

“Uhh… koneksi kami tidak stabil. Kurasa ada beberapa hubungan antara berapa banyak rambut yang dimiliki dirutnya dan berapa banyak antena yang mereka punya. Itu seperti rambut antena Kitarou.[13] Serius, itu pastilah kelemahan yang berasal dari nama perusahaan mereka – itu semua salah SoftBankǃ Sebelum mereka kreatif soal penerbitan mereka, mereka seharusnya kreatif soal kestabilan koneksi mereka duluǃ Walaupun aku suka membaca buku-buku mereka[14]!”

“Onii‐chan, koneksimu akan dipotong… kamu ditahan atas nama keadilan…” Komachi memandangku dengan gugup dan kemudian berhenti.

Aku tidak apa-apa. Aku orang yang cukup baik.

…Aku tidak apa-apa, bukan? Dan juga, tolong kembalikan koneksi kami.

Hiratsuka‐sensei menghela. “Cukup. Dari awal pun aku tidak mengharapkan alasan yang masuk akal…”

Kalau begitu tolong jangan tanya alasanku… atau begitulah yang akan kukatakan, tapi aku tak bisa melakukannya karena Hiratsuka-sensei terus berbicara dengan senyuman di wajahnya.

“Kenapa? Aku cuma senang kamu tidak terlibat suatu kecelakaan. Setelah apa yang terjadi padamu sebelumnya, aku sedikit kuatir.”

Aku merasa sulit untuk berbicara selama sejenak. “Sensei.”

Dengan “apa yang terjadi padamu sebelumnya”, tidak diragukan lagi dia sedang mengacu pada kecelakaan lalu lintas sekali itu. Sebagai seorang guru, itu wajar dia akan tahu soal kecelakaan yang menimpa salah seorang muridnya. Apa yang bisa kukatakan…? Dia orang yang cukup berdedikasi dan berhati-baik.

“Aku memakai koneksiku dan menjalin hubungan dengan adikmu, jadi aku bisa bernafas lega.”

“…menakutkan.”

Banjiran pesan-pesannya dan caranya untuk memastikan keselamatan seseorang itu mengerikanǃ Itu hampir mirip dengan modus operandi seorang penguntitǃ Aku sekarang mengerti menakutkannya dicintai orang. Aku tidak memerlukanmu, sayang. [15]

“Jadi ada apa? Aku akan pergi ke Chiba dengan adikku sekarang, jadi‐” kataku, membuat Hiratsuka-sensei berkedip beberapa kali karena terkejut.

“Apa, kamu masih belum membaca pesanku? Kita semua akan pergi ke Chiba sebagai bagian dari aktivitas Klub Servis.”

“Huh?”

Apa sesuatu seperti itu ada di dalam pesan teks yang kudapat? Mula-mula aku membuka pesan-pesannya, tapi berkat pesan teksnya yang agak yandere, aku mematikan teleponku karena takut. Merasa bahwa aku sebaiknya melihatnya untuk berjaga-jaga, aku mengeluarkan ponselku.

Selagi aku melakukannya, suatu suara memanggilku dari belakang.

“Hikki! Kamu telat.”

Ketika aku berpaling ke belakang, Yuigahama sedang menenteng sekantong plastik toko swalayan, yang diisi sampai penuh. Dia mengenakan topi pelindung matahari berwarna pink terang, dengan kaos oblong berlengan pendek dan celana pendek yang pendek yang kira-kira sedang meneriakkan “Aku menderita defisiensi pakaian”. Itu adalah pakaian yang tercipta hanya demi musim panas. Akhir-akhir ini, bahkan anak SD pun tidak memakai kaos lengan pendek dan celana pendek.

Yukinoshita berdiri di bayang-bayang Yuigahama, seakan sedang bersembunyi di sana. Untuk sekali ini dia mengenakan celana jeans untuk menyesuaikannya dengan kemeja kerah stand-up. Walaupun pakaiannya tidak banyak menampilkan kulitnya, penampilan rapi dan apiknya memang memancarkan suasana yang sejuk.

“Huh? Kenapa kalian ada di sini?” tanyaku.

“Kamu tanya kenapa? Tentu saja, karena aktivitas klub,” kata Yuigahama dengan acuh tak acuh. “Aku datang setelah aku meminta bantuan Komachi-chan.”

…wow, aku kurang lebih tahu keadaannya sekarang. Kamu tahu, Hiratsuka-sensei mencoba membujukku untuk mengikuti aktivitas klub, tapi setelah aku mengabaikannya berkali-kali, dia menghubungi Yuigahama, yang merasa berkewajiban untuk menghubungi Komachi.

Lontong sateǃ Mereka curangǃ Mereka memanfaatkan rasa cinta keabanganku – suatu rasa cinta yang mendorongku untuk pergi ke luar rumah dengan riang setiap kali diminta adikku! Mereka benar-benar membuatku tertipuǃ

Tapi pada kasus ini, kurasa penipu terbesar di antara mereka semua adalah Komachi, yang membawaku ke sini tanpa memberitahuku kebenarannya. Rasa benci terbesar muncul dari rasa cinta terbesar. Aku akan mendapat masalah besar jika aku mencintainya lebih dari cintaku yang sekarang.

Berbicara soal Komacho, dia dengan semangat menggebu-gebu mulai menyapa dengan riang dan antusias segera setelah dia melihat kedua gadis itu. “Yui‐san! Yahallo!”

“Yahallo, Komachi‐chan!”

Apa sapaan itu tren terbaru atau apa? Hentikan itu. Sel otakku bermatian di sini.

“Yukino‐san! Yahallo!”

“Ya…” Yukinoshita baru saja akan menjawab, tapi dia kelihatannya menghentikan dirinya dengan tepat waktu. “Selamat siang, Komachi‐san.”

Wajahnya berubah menjadi merah terang lebih cepat dari kamu bisa mengedip.

Komachi gripped Yuigahama’s hand very tightly. “I’m so happy you invited me too!”

“You should thank Yukinon,” Yuigahama chirped. “I got a call from Yukinon too, but it looks like Sensei was the one who wanted to invite you, Komachi‐chan.”

Hmph. So in other words, the order went like this: Hiratsuka‐sensei ‐> Yukinoshita ‐> Yuigahama ‐> Komachi ‐> Me.

When she heard that, Komachi leaped at Yukinoshita with a tackle hug. “So that’s how it happened! Thank you ever so much! I love you, Yukino‐san!” she declared with utter frankness.

Yukinoshita flinched for a moment at this open display of affection. She turned her face away from Komachi’s and coughed primly.

“…er, that is… I was of the opinion that someone was necessary to keep an eye on that thing.”

Yes, pleased to make your acquaintance. My name is ‘that thing’.

“That’s why my actions aren’t particularly worth mentioning,” Yukinoshita said after another pause. “You appreciated me precisely because that’s how you normally are.”

Yukinoshita blushed. When they saw that, Yuigahama and Komachi grinned adoringly at her.

Oh no, at this rate Komachi would fall under Yukinoshita’s evil influence. It was already too late for Yuigahama, but I wanted Komachi to be on the right path. I had to correct her course!

“Komachi, you don’t have to be grateful towards Yukinoshita. Since they judged it necessary for my own sister to watch over me, you should really be grateful to me for being worthless.”

Heh, couldn’t have said it any better. With that, there was no doubt my sister would show me the gratitude and respect and love a brother deserved.

“…”

“…”

“…”

Or so I thought. A drawn‐out silence greeted me in response. Only the roar of the high‐speed trains assailed my ears.

As everybody was lost for words, Yukinoshita smiled sweetly. I felt like it had been quite a long time since I had last seen her smile like that.

“Calling Komachi‐san was the right decision after all. Good luck handling that thing.”

“Honestly, I can’t wait to offload him to someone else, though!”

I was being abandoned by my own little sister.

In an effort to distract myself from the tears threatening to gush out of me, I looked up. Ouch, the blazing sun stung a little.

I called out to Hiratsuka‐sensei. “It’s hot, so can we please get this over with?”

“Not so fast. The last person’s coming now.”

Right then, someone was descending the station steps and coming towards us. When I saw how he searched his surroundings like a lost puppy, I understood who it was in a flash.

Before I knew it, I was raising my hand.

That caused him to notice me and run in my direction. “Hachiman!” Even as he was panting, Totsuka reserved a bright, cheery smile for me.

He was more shining and brilliant than the midsummer sun. But he had smiled at people other than me… when I thought of that, my chest tightened in pain. Something got caught in my throat, furthering my agony. The wounds in my heart were festering.



42

2‐3

But when I looked at Totsuka’s adorable smile, I was cured in two seconds flat. In English, you could say his SMILE was PRETTY and a CURE4. Totsuka was so kawaii. He was Totsukawaii for short.

Komachi, who had been standing beside me, sprang into motion. “Yahallo, Totsuka‐san!” she greeted him.

“Oh. Yahallo!”

Damn, that was cute. We should make that the latest trend. “So you were invited too, Totsuka?”

“Yep, ‘cos there weren’t enough helpers. But… I wonder if I’m allowed to go?”

“Of course you are!” I declared.

Hang on, if we were just going to Chiba, that wasn’t something to get so worried about.

Still, Hiratsuka‐sensei had the good sense to invite Totsuka. G’job. And with that, everyone was here.

…everyone?

I looked around restlessly. “What about Zaimokuza?”

“…who’s that?” Yukinoshita tilted her head in puzzlement.

In response, Hiratsuka let out a grunt, as if remembering something. “I called him as well, but he said no, mentioning some fierce fight and a Comiket and a deadline or whatever,” she explained.

Wow, seriously, Zaimokuza? The only thing I was envious of was that he had the choice to refuse. He was probably having the time of his life mucking around with his arcade comrades about now… even so, how did a wannabe author like him have a deadline coming up?



4 A reference to Smile Pretty Cure! a magical girl anime.


43

2‐3

“Now then, let’s get going,” Hiratsuka‐sensei said to us all.

We were poised to climb into the minivan. When we opened the door, there were seven seats: the driver’s seat, the passenger seat, three seats in the back and two in the middle.

“Yukinon, let’s snack on sweets.”

“Aren’t those meant to be eaten after we arrive?”

It seemed Yuigahama and Yukinoshita already planned to sit together.

Which meant that…

Oho. In other words, I would be sandwiched between Totsuka and Komachi – the Sword of Promised Victory5. Victory is mine! I was just about to climb triumphantly into the back seat when someone yanked me by the collar.

“Hikigaya, you’re in the passenger seat,” said Hiratsuka‐sensei.

“Huh? Wait, why?!” I kicked and fought as I was being dragged along.

Hiratsuka‐sensei covered her bright red face with one hand. “D‐don’t get the wrong idea! I‐it’s not as if I want to sit next to you or anything!”

Ohh, how tsundere‐ish. When you put her age aside, it was cute.

“It’s only because the passenger seat has the highest death rate!” she went on.

“You’re the worst!” I struggled in an attempt to escape from Hiratsuka‐sensei’s arms.

Hiratsuka‐sensei suddenly flashed a smile. “I’m joking,” she insisted. “It’s a long drive and I’d rather not get bored during it, you know? Just talking with you is fun.”

“I see…”



5 The Sword of Promised Victory is the Excalibur in the Type Moon franchise.


44

2‐3

When she smiled at me so calmly and gently, I lost all capacity to resist. When I sat down on the passenger seat obediently, Hiratsuka‐sensei nodded in satisfaction.

Once we had confirmed that everyone was inside the car, Sensei and I tightened our seatbelts. Then Hiratsuka‐sensei turned on the ignition and stepped on the accelerator. The minivan started moving away from the familiar local station. If we were going to Chiba, then there was no time to waste getting out onto the National Route 14 from here.

But for some reason, the car Hiratsuka‐sensei was driving was headed towards the interchange. The car navigator could only be pointed towards the highway.

“Um, aren’t we going to Chiba…?” I asked.

Hiratsuka‐sensei grinned. “Let me ask you instead. Since when were you under the impression that we were going to Chiba Station…?”

“Er, it has nothing to do with impressions. Usually, when you say you’re going to Chiba, you mean Chiba Station‐”

“You expected Chiba Station? Too bad! It was Chiba Village!”

“Why are you hyping it up so much…?”

People who aren’t so good at social interactions would still interact with others from time to time, but when it’s been such a long while, the anticipation would skyrocket for some reason. This was a textbook example of how looking back the next day made you fall into self‐hatred, perhaps because of the passage of time. I hoped Hiratsuka‐sensei wouldn’t fall into depression tomorrow.

But anyway, so we were going to Chiba Village, huh…? I’d heard of it before… I wondered what it was like.


Catatan translasi

<references>

  1. Judul manga shojo
  2. ZGMF-X10A Freedom Gundam muncul dalam Gundam SEED.
  3. Referensi terhadap slogan Setsuna F. Seiei dalam Gundam 00.
  4. Ini adalah referensi terhadap sebuah cerita horor 2ch mengenai seorang penguntit. Judul postingnya: “Jadi aku pergi ke sebuah hotel cinta dengan gadis aneh ini”.
  5. Café au lait
  6. Penerbit Oregairu
  7. Meme JoJo’s Bizarre Adventure. Referensi pada Stand Giorno Giovanna pada bagian 5 manga tersebut.
  8. Ing ː Birdman Rally yang merupakan sebuah lomba dimana masyarakat umum merakit pesawat layang, tongkat terbang dan pesawat bertenaga manusia buatan rumah, yang berkisar dari pesawat yang benar-benar serius dibuat sampai hanya sekedar kostum, dan melompati sungai- atau dermaga, dan bertanding melihat sejauh mana bisa terbang dan sebagai hiburan.
  9. Sekitar Rp.45000
  10. Newsboy cap
  11. A secret makes a woman, woman
  12. Komik Detektif Conan, dan aku tahu Vermouth yang mengucapkan "a secret makes a woman, woman" bukan Sherry a.k.a Haibara
  13. Kitarou adalah karakter manga ikonik yang didasarkan atas sebuah dongeng rakyat Jepang. Rambutnya berfungsi sebagai antena untuk mendeteksi aktivitas paranormal.
  14. SoftBank adalah sebuah perusahaan telekomunikasi dan internet Jepang, tapi mereka terkenal atas buruknya keamanan koneksi mereka. Softbank juga mempunyai sebuah anak perusahaan yang dikenal sebagai SB Creative Corp., yang menerbitkan novel ringan dengan label GA Bunko.
  15. In the Japanese, he says, “愛なんていらねえよ、夏” (lit. I don’t need love, summer), which is a reference to a Japanese romantic drama. I changed this line to a lyric from the Kenny Rogers song “I don’t need you”.