Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m (terakhir edit dah)
 
(10 intermediate revisions by 3 users not shown)
Line 1: Line 1:
  +
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
==Toko Swalayan di Ujung Dunia==
 
  +
== '''Toko Swalayan di Akhir Dunia''' ==
   
Meski jendela-jendela kereta dibuka hanya sekitar lima senti, aroma laut sudah mengalir masuk dengan lambat.
 
   
  +
Seiring jendela-jendela kereta yang hanya terbuka sekitar lima senti, semerbak aroma laut perlahan sudah merambat masuk.
Hari itu adalah Minggu siang, dan tidak ada penumpang di sana selain aku. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai saat liburan musim panas. Tapi untuk sekarang, awal April, masih ada waktu yang cukup lama sampai pantai ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP yang berlibur ke pantai di saat libur musim semi...... termasuk aku.
 
   
  +
Kala itu tepatnya Minggu saat tengah hari, dan tidak ada lagi penumpang selain diriku di kereta ini. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai ketika libur musim panas. Tapi di awal April seperti sekarang ini, masih ada cukup lama waktu hingga pantai kembali ramai didatangi. Karenanya, mungkin cuma anak SMP saja yang berlibur ke pantai di musim semi begini .... Termasuk diriku.
Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lembut. Tembok pegunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap di depan mataku, dan lingkup pandangku meluas, bersamaan dengan meningkatnya aroma laut. Sekumpulan atap dan pemandangan air laut berwarna tembaga-tua menggelap di bawah langit mendung.
 
   
  +
Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lambat. Tembok dari pengunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap dari pandanganku, lingkup pandangku meluas bersama dengan aroma laut yang semakin tajam. Rangkaian atap kereta serta pemandangan air laut bercorak tembaga tua itu menggelap di bawah langit yang mendung.
Kereta itu bergoyang dan berhenti di stasiun kecil.
 
   
  +
Kereta itu bergoyang lalu berhenti di sebuah stasiun kecil.
Aku mengambil tas punggungku dari rak bagasi. Saat aku berjalan ke peron terbuka, aku segera melihat kumpulan berwarna abu-abu di antara gunung-gunung berwarna hijau tua di kananku.
 
   
  +
Kuambil ranselku dari rak bagasi. Saat berjalan ke peron terbuka, segera kulihat gundukan-gundukan kelabu di antara pegunungan hijau yang ada di kananku.
Aku tidak tahu kapan dimulainya, tapi lembah yag ada di sana, telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah yang besar. Aku tidak tahu tempat pembuangan sampah itu legal atau tidak, tapi ada banyak truk dari berbagai tempat yang datang ke sana untuk membuang alat-alat elektronik rusak atau mebel. Setelah sejenak waktu berlalu, tempat itu berubah menjadi sunyi aneh. Begitu sunyi, terasa seolah saat itu merupakan limabelas menit sesudah akhir dunia – sebuah tempat terlindung karenanya terbentuk. SMP dimana aku bersekolah dulu terletak dekat dengan pantai, dan sejak aku menemukan tempat ini secara kebetulan karena tersesat pada suatu hari, aku diam-diam menamai tempat ini <Toko Swalayan dari Keinginan Hati>. Nama itu muncul di sebuah novel, dan meski panjang dan sulit diucapkan, bukan masalah karena aku tidak berniat memberitahukannya pada siapapun.
 
   
  +
Aku tidak tahu kapan hal itu mulai ada, tetapi lembah yang di sana itu sudah berubah menjadi tempat pembuangan yang besar. Aku pun tidak tahu legal atau tidaknya tempat pembuangan tersebut, namun ada banyak truk dari berbagai penjuru yang datang untuk membuang alat-alat elektronik maupun mebel rongsokan ke sana. Sejenak waktu berlalu, tempat itu mendadak berubah sunyi. Begitu sunyi, hingga terasa seolah saat-saat itu merupakan lima belas menit sesudah akhir dunia — sebuah ruang yang terasingkan terbentuk karenanya. SMP tempatku bersekolah dulu berdekatan dengan pantai, lalu karena suatu hari secara tidak sengaja aku tersesat dan menemukan tempat ini, maka diam-diam kunamai tempat ini <Toko Swalayan Keinginan Hati>. Nama itu pernah muncul dalam sebuah novel, meski panjang dan sulit diucapkan, namun bukanlah masalah, karena toh, aku tidak berniat memberitahukannya pada siapa pun.
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik (meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus yang lain, aku hanya ingin menekankan bagaimana tidak umumnya pekerjaan ayahku bagiku), dan karenanya, rumahku dipenuhi dengan berbagai sound sistem, rekaman, CD, note musik, dan berbagai barang lain yang berhubungan dengan musik. Ibuku pergi dari rumah sekitar sepuluh tahun yang lalu karena tidak tahan. Sedangkan aku, meski aku tidak memiliki rencana ataupun inspirasi saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri dimalam aku berumur enam tahun, kalau aku tidak akan pernah menjadi kritikus musik.
 
   
  +
Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik — meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus lain, namun aku hanya mau menekankan alasan tentang tidak umumnya pekerjaan beliau bagiku. Karena hal tersebut, makanya rumahku dipenuhi dengan berbagai ''sound system'', pita rekaman, CD, partitur musik, dan berbagai barang lainnya yang berhubungan dengan musik. Karena sudah tidak tahan, sepuluh tahun yang lalu ibuku lari dari rumah ini. Sedang aku, meski tidak memiliki rencana ataupun inspirasi kala itu, namun di malam saat aku berumur enam tahun tersebut, aku bersumpah pada diri sendiri kalau aku tidak akan pernah menjadi seorang kritikus musik.
Mari singkirkan hal itu sejenak. Peralatan di rumah kami adalah perkakas berharga, namun ayahku memperlakukannya dengan tidak hati-hati. Dia merusak semuanya – baik speaker, piring putar atau pemutar DVD. Karena tidak banyak orang membelikanku mainan saat aku masih kecil, aku sering membongkari peralatan rusak itu, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki dan merakitnya. Dan sekarang, itu merupakan sesuatu semacam setengah-hobi bagiku.
 
   
  +
Mari kesampingkan hal itu sejenak. Perlengkapan di rumah kami adalah barang-barang yang dipergunakan untuk bekerja, namun ayahku memperlakukannya dengan sembrono. Beliau merusak semuanya — baik pengeras suara, pemutar piringan maupun pemutar DVD. Karena jarang sekali ada yang membelikanku mainan saat masih kecil, jadi aku sering membongkari perlengkapan rusak tersebut, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki serta merakitnya. Lalu kini, hal tersebut sudah jadi semacam setengah hobi bagiku.
Dikarenakan kebutuhan untuk hobiku, aku mengunjungi <Toko Swalayan dari Keinginan Hati> di dekat pantai sekali setiap dua sampai tiga bulan, turun dengan menggunakan kereta bergoyang itu untuk mengumpulkan beberapa komponen yang berguna. Terasa seolah aku merupakan satu-satunya manusia yang tersisa di dunia saat aku berjalan di antara sekumpulan sampah sendirian, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.
 
   
  +
Karena kebutuhan hobiku ini, maka setiap sekali dalam dua-tiga bulan aku mengunjungi <Toko Swalayan Keinginan Hati> yang berdekatan dengan pantai itu. Aku pergi menggunakan kereta bergoyang untuk mengumpulkan beberapa komponen berguna di sana. Saat berjalan sendirian di kumpulan rongsokan itu, aku merasa seolah-olah menjadi satu-satunya manusia yang tersisa di dunia ini, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Akan tetapi, aku bukan satu-satunya yang mengunjungi tempat pembuangan itu di hari itu.
 
   
  +
Akan tetapi, bukan aku satu-satunya orang yang mengunjungi tempat pembuangan tersebut kala itu.
Saat aku berjalan melalui hutan dan menuju lembah, Aku melihat sebuah gunung dari lemari es dan sisa-sisa mobil yang terkena hujan dan berkilau. Herannya, aku juga mendengar suara piano.
 
   
  +
Saat berjalan melewati hutan dan menuju ke arah lembah, kulihat sebuah gunung yang terbentuk dari tumpukan lemari es dan mobil rongsokan yang akan terlihat meski dalam cuaca apa pun. Yang mengejutkan lagi, aku juga mendengar suara piano.
Aku pada awalnya berpikir kalau aku cuma berkhayal, tapi saat aku berjalan keluar hutan dan melihat ke timbunan sampah tepat di depan mataku, aku menyadari kalau itu bukan hanya khayalanku. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang...... dan suara klarinet terdengar olehku segera setelah itu.
 
   
  +
Pada awalnya, kukira kalau aku cuma asal dengar, tapi saat melangkah keluar dari hutan dan melihat ke timbunan rongsokan yang tepat di depan mataku ini, aku menyadari kalau suara piano itu bukan sekadar asal dengar. Paduan nada rendah dari ''bassoon'' terdengar seperti permukaan laut yang tenang .... Dan setelahnya, suara klarinet segera terdengar olehku.
Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi aku sudah pernah mendengarnya. Mungkin itu piano conerto dari abad kesembilan belas Perancis. Tapi kenapa aku mendengarnya di sini?
 
   
  +
Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi kurasa aku pernah mendengarnya. Mungkin sebuah konserto<ref>Konserto adalah karya musik untuk alat musik tunggal atau lebih dengan iringan orkestra.</ref> piano abad kesembilan belas dari Negara Perancis. Tapi kenapa suara tersebut kudengar di tempat semacam ini?
Aku memanjat naik ke atap mobil bekas, dan mulai mendaki tumpukan sampah itu. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah mars. Pad awalnya aku berfikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala sedikit, tapi pemikiran itu menghilang dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.
 
   
  +
Aku memanjat naik ke atap mobil bekas dan mulai mendaki timbunan rongsokan. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah musik mars.<ref>Musik mars atau lagu mars adalah komposisi musik dengan irama teratur dan kuat. Musik jenis ini secara khusus diciptakan untuk meningkatkan keteraturan dalam berbaris sebuah kelompok besar, terutama barisan tentara, dan paling sering dimainkan oleh korps musik militer.</ref> Pada awalnya, kupikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala, tapi pemikiran itu pun lenyap dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.
Aku melihat ke bawah sesudah mencapai puncak dari timbunan sampah itu, dan pemandangan yang menyambutku sangat mengejutkan sampai membuatku menahan nafas.
 
   
  +
Aku melihat ke bawah sesampainya di puncak timbunan tersebut, dan pemandangan yang menyambutku begitu mengejutkan hingga membuat napasku tertahan.
Sebuah piano yang besar terkubur diantara lemari makanan dan tempat tidur rusak. Tutupnya memantulkan kilau hitam, seolah dicelupkan dalam air, dan ia terbuka keluar seperti sayap sebuah burung. Di sisi lain dari piano, adalah sekumpulan rambut berwarna merah tua yang bergoyang bersama dengan keindahan suara dari instrumen itu.
 
   
  +
Sebuah ''grand'' piano besar terkubur di antara rak piring dan ranjang yang rusak. Tutupnya memantulkan kilauan hitam seolah dicelupkan ke dalam air dan tersingkap keluar bagaikan sayap seekor burung. Di sisi sebelah piano, uraian rambut berwarna merah tua berayun seiring dengan keindahan suara instrumen itu.
Seorang gadis.
 
   
  +
Ternyata itu seorang gadis.
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring, dengan pandangan terpaku pada tangannya, dan alisnya yang panjang sedikit tertarik kebelakang. Suara menusuk dan sangat indah yang dimainkannya itu seolah seperti tetesan air hujan diakhir musim dingin, memantul tetes demi tetes dari dalam piano.
 
  +
  +
Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring disertai pandangan terpaku pada tangannya, alis panjangnya sedikit tertarik ke belakang. Bunyi melengking nan elok yang dimainkannya seolah bagai tetesan air hujan di penghujung musim dingin yang terpercik tetes demi tetes dari dalam piano.
  +
  +
[[Image:SP1 0015.JPG|250px|thumbnail]]
   
<-- picture --!>
 
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
 
Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.
   
Wajahnya yang tegas dan putih pucat itu merupakan sesuatu yang tidak umum di dunia ini, dan dia sangat cantik sampai aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya; rambut merah tuanya berkilau seperti cahaya yang mencair di bawah sinar matahari.
+
Wajah tegas dan kulitnya yang putih pucat itu bukan sesuatu yang umum di dunia ini, begitu cantik, hingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya; rambut merah tuanya berkerlap-kerlip bagai batu amber yang meleleh di bawah sinar mentari.
   
Aku pernah melihatnya disuatu tempat, tapi...... kenapa?
+
Aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi ... kenapa?
   
Aku tidak bisa mengingat namanya. Dan untuk lagu yang dimainkannya, aku juga tidak bisa mengingatnya.
+
Aku tidak bisa mengingat namanya. Begitu pula dengan lagu yang dimainkannya.
   
Dan tidak ada orang lain di sekitar sini, jadi seharusnya aku hanya mendengar suara dari piano bersama dengan deburan ombak yang tersaring melalui hutan, jadi kenapa? Kenapa aku bisa mendengar suara orkestra?
+
Tidak ada orang lain lagi di sekitar sini, jadi harusnya yang kudengar hanyalah suara piano yang diiringi deburan ombak yang tersaring melewati hutan, lalu kenapa? Kenapa aku mendengar suara orkestra?
   
Aku tiba-tiba menyadari kalau piano di bawahku mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dia memainkan nada rendah dengan paksaan. Bukan hanya itu, sepeda yang terkubur didalam reruntuhan di sana, kotak kaleng yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya – mereka semua beresonansi bersama dengan piano itu.
+
Langsung kusadari bahwa piano yang ada di bawahku ini mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dipaksa memainkan nada rendah. Tidak hanya itu, sepeda yang terkubur di dalam reruntuhan di sana, peti kemas yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya semua saling beresonansi bersama piano itu.
   
Sampah-sampah yang terkubur di lembah sedang bernyanyi.
+
Rongsokan yang terkubur di dalam lembah sampai ikut bernyanyi.
   
Tapi gema-gema itu menggerakkan ingatan-ingatanku akan orkestra yang mengikuti nada itu.
+
Namun gema musik tersebut menggerakkan ingatan-ingatanku akan orkestra yang diwakili nada-nada ini.
   
Itu hanyalah ilusi pendengaranku, namun terasa begitu nyata.
+
Mungkin itu hanyalah halusinasi pendengaranku, namun itu terasa begitu nyata.
   
Entah bagaimana aku tahu musik itu, tapi apa judulnya?
+
Entah bagaimana aku tahu potongan musik yang dimainkannya, tapi sebenarnya lagu apa itu?
   
Kenapa— musik itu begitu menyentuh hati?
+
Kenapa — kenapa musik itu begitu menyentuh hatiku?
   
Barisan allegro terdengar seperti langkah kebingungan yang mengalir ke muara yang luas, dimana musik mencapai adaigo. Gelembung-gelembung kecil not-not yang tak terhitung jumlahnya mengalir naik dari dasar laut ke permukaan, dan berangsur-angsur menyebar keluar. Lalu, suara dari orkestra erdengar dari jauh lagi, dan saat ini ia seharusnya terus melaju dengan mantap—
+
Barisan ''allegro''<ref>Allegro adalah istilah yang digunakan ketika tempo dimainkan dengan riang, tetapi sering dipraktekan sebagai tempo cepat.</ref> terdengar bagai langkah tergesa yang mengalir ke muara luas di hadapan senja, di mana musik perlahan masuk ke ''adagio''.<ref>Adagio adalah istilah yang digunakan ketika tempo dimainkan dengan santai dan pelan</ref> Gelembung-gelembung not kecil dari dasar laut yang tidak terhitung jumlahnya menyeruak ke permukaan dan berangsur-angsur tersebar ke luar. Setelahnya, gemuruh orkestra kembali terdengar dari kejauhan, dan kali ini suara tersebut akan tetap lanjut beriringan—
   
Tapi musik itu tiba-tiba berhenti.
+
Akan tetapi, musik itu mendadak terhenti.
   
Aku menahan nafasku, dan menatap turun ke arah piano, sambil terpaku di puncak kumpulan sampah seperti remis.
+
Aku menahan napasku, dan menatap turun ke arah piano sembari terpaku di puncak timbunan rongsokan ini layaknya seekor kerang.
   
Gadis itu berhenti memainkan piano, dan menatap ke arahku dengan pandangan yang sangat tegang.
+
Gadis itu berhenti memainkan pianonya dan menatapku dengan pandangan tidak ramah.
   
Orkestra halusinasi, getaran dari piano dan bahkan suara angin berdesir melalui pepohonan semuanya sudah menghilang, membuatku berfikir untuk sesaat kalau kiamat benar-benar datang.
+
Suara Orkestra yang tersamar, suara piano yang menggema, bahkan suara desiran angin yang melalui pepohonan semuanya telah menghilang, membuatku sejenak berpikir bahwa kiamat benar-benar datang.
   
“....... Sudah berapa lama kau berdiri di sana?
+
"... sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"
   
Dia berkata. Suaranya jernih seperti gelas wine yang pecah karena jatuh ke lantai. Dia marah. Aku kehilangan pijakkanku, dan terpeleset dari lemari es yang menjadi pijakkanku.
+
Ia akhirnya bicara. Suaranya jernih seperti gelas anggur yang jatuh pecah ke lantai. Ia terlihat marah. Aku kehilangan pijakan, lalu terpeleset dari lemari es tempatku berdiri.
   
“Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?
+
"Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"
   
“Urm, yeah......
+
"Eng, yah ...."
   
Aku akhirnya bisa bernafas setelah memaksa suaraku keluar.
+
Aku akhirnya bisa bernapas setelah memaksa keluar suaraku.
   
  +
"... mungkin sewaktu ''cadenza''<ref>Cadenza adalah pemeragaan kemahiran teknik improvisasi oleh solois pada bagian akhir musik.</ref>."
“...... Mungkin saat cadenza.”
 
   
“Cadenza di awal?
+
"''Cadenza'' di awal?"
   
Dia dengan cepat berdiri, dan rambut merah tuanya yang lembut jatuh dari pundaknya. Baru saat itulah aku menyadari kalau dia mengenakkan gaun terusan berwarna putih.
+
Dengan cepat ia berdiri. Rambut halus berwarna merah tuanya menjuntai dari bahunya. Saat itulah kusadari bahwa ternyata ia mengenakan gaun terusan berwarna putih.
   
“Jadi kamu mendengarkan dari awal?
+
"Jadi kamu mendengarnya dari awal?"
   
Aku tidak bisa menghindarinya, okey! Terus apa yang kau ingin aku lakukan? Menari tarian Indian sambil menjerit sekuat tenaga untuk dilihat olehmu? Sambil melihat wajahnya yang merah dan rambutnya yang berkibar, aku perlahan menenangkan diri. Aku tidak melakukan hal yang salah, ia hanya seseorang datang lebih awal daripada aku kan?
+
Mau bagaimana lagi! Terus, ia mau suruh aku apa? Melakukan tari suku Indian sambil berteriak-teriak agar bisa ia tonton? Perlahan kutenangkan diri ini sembari melihat wajah memerah dan rambutnya yang terkibar. Aku tidak berbuat salah, 'kan? Hanya saja, ia sudah datang lebih dulu daripada aku.
   
“Sicko! Maniak!
+
"Dasar cabul! Maniak!"
   
“Bukan, tunggu sebentar! Kenapa aku dituduh seperti itu?
+
"Bukan, tunggu sebentar!" kenapa aku dituduh seperti itu?
   
“Kau benar-benar menguntitku sampai ke sini!
+
"Kamu benar-benar menguntitku sampai ke sini!"
   
“Menguntit..... Oi! Aku ke sini cuma untuk mengumpulkan beberapa sampah!
+
"Menguntit .... Oi! Aku ke sini cuma untuk mengumpulkan beberapa rongsokan!"
   
Sesaat segera setelah dia menutup tutup piano itu, ada sesuatu yang beresonansi bersamaan dengannya. Lalu, lemari es dimana aku berdiri bergetar hebat. Miring sedikit, dan aku meluncur ke bawah bersamanya.
+
Segera seusai ia menutup tutup piano itu, ada sesuatu yang beresonansi bersamanya. Lalu, lemari es tempat aku berdiri bergetar hebat. Lemari es tersebut sedikit miring, kemudian meluncur ke bawah dengan membawa diriku.
   
Aku berguling menjauh dari lemari yang miring itu dan kap mobil rusak, menuju ke dasar lembah dimana piano berada. Pundakku menabrak kaki piano.
+
Aku terguling menjauh dari lemari es yang miring dan kap mobil rusak itu, dan tertuju ke dasar lembah tempat piano berada. Bahuku menabrak kaki piano.
   
“...... Ouch!
+
"... aduh!"
   
Tepat saat aku bermaksud berdiri, aku menyadari kalau wajahnya tepat di depanku, dan mata biru lautnya menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku terkejut, dan tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa menatap bibirnya, yang bergetar lembut seperti kelopak bunga kamelia:
+
Tepat saat aku mulai berdiri, kusadari kalau wajahnya sudah tepat di depanku, dan mata biru lautnya menatapku serius. Aku terkejut dan tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa menatap bibirnya yang bergetar lembut bagai kelopak bunga kamelia.
   
  +
"Kalau bukan untuk menguntitku, lalu kenapa kamu bisa ada di sini?"
“Kenapa kau ada di sini kalau bukan menguntitku?”
 
   
“Eh? Ah, tidak, kau tahu......”
+
"Eh? Ah, tidak, begini ...."
   
Dia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang mengikatku sepertinya melemah seikit. Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mundur kebelakang sambil tetap duduk di tanah.
+
Ia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang mengikatku agaknya sedikit melemah. Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mulai mundur ke belakang sambil tetap duduk di tanah.
   
“Aku bilang aku di sini untuk mengambil beberapa komponen audio! Aku kadang-kadang memang datang ke sini. Bukannya aku menguntitmu.
+
"Aku bilang, aku ke sini untuk mengambil beberapa komponen audio! Terkadang aku memang sering datang ke sini. Bukan mau menguntitmu."
   
“...... Benarkah?
+
"... sungguh?"
   
Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis ini tahu kalau dia mungkin sedang diikuti seseoarang?
+
Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis ini merasa kalau ia mungkin sedang diikuti seseorang?
   
“Bagaimanapun, segera tinggalkan tempat ini, dan jangan katakan pada siapapun tentang keberadaanku di sini. Kau juga harus menghapus ingatanmu tetang musik yang barusan kau dengar dari pikiranmu.
+
"Pokoknya, segera pergi dari tempat ini, dan jangan bilang pada siapa-siapa kalau aku ada di sini. Kamu juga harus menghapus ingatan tentang musik yang kamudengar barusan."
   
  +
"Bagaimana caranya ...."
“Bagaimana mungkin hal itu bisa dilakukan......”
 
   
  +
"Kamu benar-benar ... tidak boleh ... mengatakannya!"
“Kau benar-benar. Tidak Boleh. Mengatakannya!” Matanya berkilau karena air mata, seolah bintang-bintang jatuh dari langit. Melihat hal itu, aku tidak bisa mengatakan hal yang lain.
 
   
  +
Matanya tampak berkaca-kaca, seolah bintang-bintang sedang berjatuhan dari langit. Saat melihatnya, aku pun jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi."
“Aku mengerti, aku akan pergi, ok?”
 
   
  +
"Aku mengerti, aku akan pergi, kamu puas?"
Aku menaikkan tas punggungku ke pundak, dan mulai memanjat tumpukan sampah. Lalu suara aneh dari suatu mesin tiba-tiba terdengar dari belakangku, dan apa yang mengikutinya adalah teriakannya “Ah! YA!”.
 
   
  +
Kuangkat ranselku ke bahu dan mulai memanjat timbunan rongsokan. Kemudian suara aneh sebuah mesin mendadak terdengar dari belakangku, dan yang mengikutinya adalah teriakan, "Ah! Yah!"
Saat aku menoleh untuk melihatnya, aku melihat sebuah tape recorder seukuran genggaman tangan di piano, dan benda itu mengeluarkan suara aneh. Mungkinkah dia merekamnya selama ini......? Tape di dalam sepertinya berputar bolak balik. Aku tidak tahan melihat pandangan khawatir di wajahnya saat dia terus menggenggam tape recorder itu. Aku berjalan ke sana dan menekan tombol perekam itu.
 
   
  +
Saat kutolehkan pandanganku, kulihat sebuah ''tape recorder'' seukuran genggaman tangan ada di atas piano, dan benda itu mengeluarkan bunyi aneh. Mungkinkah selama ini ia merekamnya ...? Kaset di dalam ''tape recorder'' itu sepertinya berputar bolak-balik. Aku tidak tahan melihat wajah cemasnya saat ia terus menggenggam ''tape recorder'' itu. Aku berjalan mendekatinya lalu kucoba menekan salah satu tombolnya.
“...... Apa......Apa ini rusak?”
 
   
  +
"... apa ..., apa ini rusak?"
Dia bertanya dengan suara hampir menangis, sambil dengan hati-hati mengangkat tape recorder itu dan memegangnya seperti telur yang hampir menetas.
 
   
  +
Ia bertanya dengan suara tersedu-sedu sambil membuka ''tape recorder'' itu dengan hati-hati. Ia memperlakukannya seperti telur yang hampir menetas.
“Ah, jangan begitu. Kau tidak boleh langsung membukannya seperti itu.”
 
   
  +
"Ah, jangan begitu. Kamu tidak boleh langsung membukanya seperti itu."
Dia segera menghentikan diri dari usaha membuka penutupnya. Aku meletakkan tas punggungku di piano, dan mengambil obeng. Matanya terbelalak melihat hal itu.
 
   
  +
Ia segera berhenti membuka penutupnya. Aku meletakkan ranselku di piano, dan mengambil obeng. Matanya terbelalak melihat hal itu.
“......Apa kau membongkarnya?”
 
   
  +
"... kamu mau membongkarnya?"
“Jangan khawatir. Aku akan memperbaikinya dengan hati-hati.”
 
   
  +
"Jangan khawatir. Akan kuperbaiki dengan hati-hati."
Saat aku mengambil perekam itu dari tangannya, aku menyadari kalau itu bukan perekam biasa, tapi perekam dua sisi dan pemutar. Tidak hanya ia bisa memutar sisi A dan B dari kaset secara bersamaan, ia juga dapat merekam padanya secara bersamaan. Akan tetapi, label ada di sana tertulis dengan bahasa yang belum pernah aku lihat sebelumnya, dan sudah pasti bukan Bahasa Inggris.
 
   
  +
Saat kuambil ''tape recorder'' itu dari tangannya, kusadari kalau itu bukan ''tape recorder'' biasa, melainkan ''tape recorder'' dua sisi untuk merekam dan memutar kaset. Tidak hanya dapat memutar sisi A dan B secara bersamaan, tetapi juga dapat merekam secara bersamaan. Meski begitu, label yang tertulis di ''tape recorder'' tersebut memakai bahasa yang belum pernah kulihat sebelumnya, sudah pasti itu bukan bahasa Inggris.
“Bahasa apa ini?”
 
   
  +
"Bahasa apa ini?"
“Hunggarian,” dia menjawab dengan lirih. Barang dari Eropa huh. Bisakah aku memperbaikinya?
 
   
  +
"Bahasa Hunggaria," jawabnya lirih. Ternyata itu buatan Eropa. Bisa kuperbaiki enggak, ya?
Setelah aku melepas sekrup dan membuka casing luarnya, yang muncul dihadapanku adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-benar bermanfaat.
 
   
  +
Setelah kulepas sekrup dan membuka ''casing'' luarnya, yang tampak di hadapanku adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-benar bermanfaat.
“Bisakah itu...... diperbaiki?”
 
   
  +
"Apa itu masih bisa ... diperbaiki?"
“Mungkin.”
 
   
  +
"Mungkin."
Aku menurunkan penutup piano dan menggunakannya sebagai meja kerja, dan perlahan membongkar perekam itu. Seperti yang sudah kukira, pita magnetiknya tertarik keluar dari kaset. Pita itu tumpah keluar dan mengumpul membentuk sebuah gumpalan, seperti bagaimana ketimun laut memuntahkan organnya, jadi membutuhkan cukup banyak waktu bagiku untuk melepas kaset itu.
 
   
  +
Kuturunkan penutup piano lalu menggunakannya sebagai meja kerja, kemudian perlahan kubongkar ''tape recorder'' itu. Seperti yang kukira, pita magnetiknya tertarik keluar dari kaset. Pita itu mencuat keluar dan mengumpul membentuk sebuah gulungan kusut, seperti halnya timun laut yang memuntahkan organnya. Karenanya aku membutuhkan waktu cukup lama untuk melepas kaset itu.
“...... Hey, apa tape recorder ini memang dari awal sudah rusak?”
 
   
  +
"... maaf, apa ''tape recorder'' ini sejak awal memang sudah rusak?"
“Eh? Ah, mmm...... kasetnya tidak akan berhenti berputar meski setelah mencapai akhir, jadi ia akan menjadi semakin kusut kalau tombol stop tidak segera ditekan.”
 
  +
  +
"Eh? Ah, eng ..., kasetnya tidak akan berhenti berputar meski sudah selesai, jadi pitanya akan kusut kalau tombol stop tidak segera ditekan."
   
 
Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah tidak berfungsi.
 
Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah tidak berfungsi.
   
“Ka-karena kemunculanmu yang tiba-tiba, aku jadi lupa menekannya.
+
"Ka-karena kamu tiba-tiba muncul, aku jadi lupa menekannya."
   
Jadi salahku lagi? Beli yang baru sajalah.
+
Jadi, lagi-lagi ini salahku? Mending beli baru saja sana.
   
“Apa perekam ini penting untukmu? Karena dia masih tetap menggunakannya meski sudah rusak.
+
"Apa ''tape recorder'' ini penting bagimu?" aku berkata begitu, karena ia masih menggunakannya meski sudah rusak.
   
“Eh? Dia menatapku dengan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dan berkata,”Mmm.
+
"Eh?" ia menatapku dengan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dan berkata, "Eng ...."
   
Hungary huh. Gadis ini bukan orang Jepang kalau begitu, atau iya? Dari bentuk wajahnya, ia terlihat seperti berdarah campuran bagiku. Sambil memikirkan hal itu, aku menggali mencari komponen dari tumpukkan sampah, dan akhirnya menyelesaikan operasi perekam itu setelah menemukan komponen-komponen yang dibutuhkan. Tape recorder itu tidak akan hilang kendali lagi, baik saat memutar ulang kaset ataupun mempercepat.
+
Hungaria, ya. Berarti gadis ini bukan orang Jepang, ya 'kan? Dari bentuk wajahnya, menurutku ia sepertinya orang keturunan campuran. Sembari memikirkannya, aku menggali timbunan rongsokan untuk mencari beberapa komponen, hingga akhirnya operasi bedah ''tape recorder'' ini selesai setelah komponen-komponen yang dibutuhkan itu ketemu. ''Tape recorder'' itu tidak akan lepas kendali lagi, baik saat memutar ulang maupun mempercepat kasetnya.
   
“Dan sudah selesai.
+
"Yak, selesai sudah."
   
  +
"Eh ..., ah, eng," wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya.
“Eh...... Ah, mmm.” Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. Aku hampir menekan tombol putar untuk memastikan perekam itu bekerja dengan normal, tapi dia tiba-tiba merengut perekam itu dariku.
 
   
  +
Aku hampir menekan tombol putar untuk memastikan ''tape recorder'' itu bekerja dengan normal, namun tiba-tiba ia merenggutnya dari tanganku.
“K-kau tidak boleh mendengarkan.” Dia merubah volumenya ke yang paling kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya bekerja dengan baik.
 
   
  +
"Ka-kamu tidak boleh mendengarnya."
“...... M-Makasih.”
 
   
  +
Ia ubah volume suaranya sampai ke yang paling kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya bekerja dengan baik.
Dia memeluk tape recorder itu erat-erat, dan berterimakasih padaku dengan suara lemah sambil menggantungkan kepalanya ke bawah, dengan wajah bersemu merah. Karena suatu alasan yang tidak kuketahui, aku juga merasa malu, jadi aku berpaling dan mengangguk.
 
   
  +
"... te-terima kasih."
Saat aku selesai memberekan peralatanku memasukkannya ke dalam tas punggungku, dia tiba-tiba bertanya,”Kenapa kau membawa berbagai macam benda bersamamu?”
 
   
  +
Ia peluk ''tape recorder'' itu erat-erat, dan berterima kasih padaku dengan suara lemah sambil menundukkan kepalanya disertai wajah memerah. Entah kenapa, aku juga jadi merasa malu, karena itu aku berpaling dan mengangguk.
“Aku sudah bilang aku suka bermain dengan mesin-mesin, karena itulah aku di sini mencari komponen!”
 
   
  +
Saat semua peralatan selesai kubereskan dan memasukkannya ke dalam ransel, tiba-tiba ia bertanya,
“Lalu...... apa itu menyenangkan?”
 
   
  +
"Kenapa banyak sekali macam-macam barang yang kamu bawa?"
Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku ragu bagaimana menjawabnya.
 
   
  +
"Sudah kubilang, aku suka mengutak-atik mesin, itu sebabnya aku mencari berbagai komponen di tempat ini!"
“Hmm...... Aku tidak terlalu yakin kalau memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semuanya terlihat sangat senang saat mereka dapat mendapatkan kembali apa yang mereka pikir sudah hilang.”
 
   
  +
"Memangnya ... itu menyenangkan?"
Saat kami bertukar pandang, wajahnya memerah kembali, jadi dia segera berpaling. Saat aku memandangi raut mukanya dari samping, ada sebuah dorongan tiba-tiba untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa kau ada di sini? Atau yang lebih penting...... siapa kamu? Apa judul lagu yang kau mainkan? Dan juga, aku ingin mendengar apa yang sudah dia rekam, kau tahu? Mungin orkestra yang aku dengar bukan benar-benar halusinasiku? Aku memikirkan semua hal ini, tapi dia mungin akan marah lagi kalau aku benar-benar menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.
 
   
  +
Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku bingung untuk menjawabnya.
Dia meletakkan kembali perekam itu ke piano, lalu duduk pada lemari sebagai pengganti kursi dan menatap ke arah kakinya. Aku ingin tetap berbincang dengannya, tapi suasananya sudah tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara. Lupakan, lagipula sepertinya dia menggangapku menggangu. Aku akan segera pulang saja untuk hari ini.
 
   
  +
"Hmm ..., aku tidak begitu yakin kalau memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semua orang tampak begitu bahagia ketika mereka mendapatkan kembali sesuatu yang mereka anggap sudah hilang."
Aku mungkin tidak akan bertemu dengannya lagi pada kedatanganku berikutnya kan? Atau mungkin dia datang ke sini karena tidak ada piano di rumahnya? Aku memikirkan berbagai hal itu saat bersiap mendaki tumpukan sampah. Tepat pada saat itu, suaranya datang dari belakangku,
 
   
  +
Saat kami saling bertukar pandang, wajahnya kembali memerah, karena itu ia segera berpaling. Saat menatap wajahnya dari samping, muncul sebuah desakan untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. ''Kenapa kamu ada di sini?'' Atau yang lebih penting ..., ''Kamu siapa? Apa judul lagu yang kamu mainkan tadi? Lalu, Aku ingin dengar seperti apa musik yang sudah kamu rekam itu? Munginkah orkestra yang kudengar tadi bukan sekadar halusinasiku saja?'' Aku memikirkan semua hal tersebut, tapi mungkin ia akan kembali marah kalau aku benar-benar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.
“Urm—“
 
  +
  +
Ia meletakkan kembali ''tape recorder'' itu ke piano, lalu menggunakan rak sebagai pengganti tempat duduk dan mengarahkan pandangan pada kakinya. Aku ingin tetap berbincang dengannya, namun suasananya sudah tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara. Lupakan saja, rasanya ia juga menganggapku sebagai seorang pengganggu. Mending pulang saja, deh.
  +
  +
''Mungkin ketika nanti aku kembali ke tempat ini, aku tidak akan lagi bisa bertemu dengannya, ya 'kan? Atau mungkin ia kemari karena tidak ada piano di rumahnya?'' Aku memikirkan hal-hal tersebut sembari bersiap mendaki timbunan rongsokan. Tepat pada saat itu, suaranya datang dari belakangku,
  +
  +
"Eng—"
   
 
Aku menoleh.
 
Aku menoleh.
   
Dia terlihat gelisah di samping piano. Dia tidak terlihat marah kali ini, tapi justru, dia memerah karena malu. “Apa rumahmu dekat dari sini?”
+
Dari samping piano ia terlihat sedang gelisah. Kali ini ia tidak tampak marah, namun wajahnya memerah karena malu.
   
  +
"Apa rumahmu dekat dari sini?"
Aku memiringkan kepalaku.
 
   
  +
Kumiringkan kepalaku.
“...... Gak. Kira-kira empat jam dengan kereta dari sini.”
 
   
  +
"... enggak. Kira-kira dari sini empat jam jika memakai kereta."
“Jadi kau akan menuju stasiun sekarang?”
 
   
  +
"Jadi kamu mau ke stasiun sekarang?"
Dia segera menunjukkan ekspresi lega pada saat aku mengganggukan kepala. Dia menggantungkan perekam itu dekat dengan pinggangnya, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk dari sampah-sampah yang besar mengikutiku.
 
   
  +
Ia langsung tampak lega saat kuanggukan kepala ini. Digantungkannya ''tape recorder'' itu di dekat pinggang, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk dari rongsokan berukuran besar sembari mengikutiku.
“Apa kau mau pulang? Jadi aku boleh tinggal di sini kan?”
 
   
  +
"Jadi kamu juga mau pulang? Kalau begitu, aku tetap di sini saja, ya?"
“Tidak boleh! Jangan berhenti, teruskan!”
 
   
  +
"Tidak boleh! Jangan berhenti, tetap jalan!"
Apa maksudnya itu......
 
   
  +
Apa-apaan itu ....
Aku bergerak melalui sekumpulan sampah bergelombang dengan perasaan tidak senang, dan perlahan berjalan kembali ke hutan dekat lembah. Dia mengeluh tentang bagaimana kakinya sakit dan bagaimana dia hampir jatuh, tapi dia masih tetap mengikutiku sepanjang jalan.
 
   
  +
Dengan rasa kesal kuhindari timbunan rongsokan yang bergelombang itu, dan perlahan berjalan kembali ke hutan dekat lembah. Ia terus mengeluhkan tentang kakinya yang sakit dan bagaimana sewaktu ia hampir terjatuh, namun masih saja ia mau mengikutiku.
“Sebentar......”
 
   
  +
"Sebentar ...."
Aku menoleh dan memanggilnya. Dia terkejut, dan terlihat gelisah sekitar tiga meter di belakangku.
 
   
  +
Kutolehkan pandanganku dan memanggilnya. Ia terkejut, dan terlihat gelisah dari jarak tiga meter di belakangku.
“A-apa?”
 
   
  +
"A-ada apa?"
“Apa mungkin kau lupa jalan pulang?”
 
   
  +
"Jangan-jangan kamu lupa jalan pulang, ya?"
Karena kulitnya lebih terang daripada orang Jepang pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika dia memerah. Meski dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku cuma bisa mendesah,
 
   
  +
Karena kulitnya lebih cerah daripada orang Jepang pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika wajahnya memerah. Meski ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku cuma bisa menghela napas,
“Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini.”
 
   
  +
"Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini."
Satu langkah keliru di arah yang salah saat di jalur dari pinggir laut ke stasiun cukup membuat seseorang tersesat.
 
   
  +
Satu langkah keliru saat berjalan dari pinggir laut ke arah stasiun cukup untuk membuat seseorang tersesat.
“Ini bukan yang pertama. Aku mungkin sudah ke sini tiga kali.”
 
   
  +
"Ini bukan yang pertama. Mungkin ini sudah ketiga kalinya bagiku."
“Jadi kau masih tidak bisa mengingat jalurnya meski sudah ke sini tiga kali......”
 
   
  +
"Jadi kamu masih tidak bisa mengingat jalurnya meski sudah tiga kali ke sini ...."
“Sudah kubilang bukan begitu!”
 
   
  +
"Sudah kubilang bukan begitu!"
“Kenapa kau tidak pulang sendiri kalau begitu.”
 
   
  +
"Kalau begitu, ya pulang saja sendiri."
“Uh......”
 
   
  +
"Uh ...."
Dia menggeretakkan giginya dan menatap tajam ke arahku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti bertengkar dengannya dan berjalan keluar hutan dalam diam. Saat dalam perjalanan kami, aku melihat truk berwarna ungu melewati kami, mungkin truk itu ada di sini untuk membuang sampah. Hutan itu kembali sunyi setelah truk itu berjalan menjauh. Suara lemah truk, bersama dengan gesekan ranting pohon, membuatku mengingat kekayaan ensemble dari piano concerto itu.
 
   
  +
Ia menggertakkan giginya dan menatap tajam ke arahku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti berdebat dengannya dan berjalan keluar dari hutan tanpa berbicara. Saat dalam perjalanan, aku melihat truk berwarna ungu melewati kami, mungkin truk itu hendak ke sana untuk membuang rongsokan. Hutan kembali sunyi setelah truk itu pergi menjauh. Samar suara truk seiring gesekan ranting pohon, mengingatkanku akan keanekaragaman ''ensembel''<ref>Ensembel musik merupakan kumpulan yang terdiri atas dua atau lebih musisi yang memainkan alat musik ataupun bernyanyi.</ref> dari konserto piano kala itu.
Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang membuatku kehilangan nafas. Akan tetapi keajaiban itu mungkin tidak akan terjadi kalau gadis ini tidak memainkan piano di tempat spesial semacam itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.
 
   
  +
Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang membuatku kehilangan napas. Akan tetapi, keajaiban tersebut mungkin tidak akan terjadi andai gadis ini tidak memainkan piano di tempat tidak biasa semacam itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.
Terus, kapan ya aku pernah melihatnya? Mungkinkan dia teman yang terlupakan olehku? Kenapa juga dia tanpa malu bersikap seperti itu di depanku?
 
   
  +
Terus, kapan aku pernah melihatnya, ya? Mungkinkah ia teman yang tanpa sadar telah kulupakan? Kenapa juga ia tanpa malu bersikap seperti itu di depanku?
Gak mungkin kan?
 
   
  +
Tidak mungkin juga, 'kan?
Kalau aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan kuat padaku seperti itu, aku tidak mungkin melupakannya.
 
   
  +
Andai aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan mendalam seperti itu padaku, tidak mungkin aku bisa melupakannya.
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Sesudah berjalan ke sebuah kota kecil di antara gunung dan laut yang dipenuhi jalur melandai dan lereng, kumpulan perumahan segera memasuki lingkup pandang bersamaan dengan stasiun kereta api. Hampir semua lampu penghias di jalan jalur atap lengkung pertokoan sudah tidak menyala, sementara di bangunan bertingkat empat, yang merupakan peninggalan dari jaman Shouwa, terpasang papan iklan Glico di atapnya. Begitu nostalgic. Di kiri, sebuah tanda dengan logo JR beserta nama stasiun digantung di atas sesuatu yang terlihat seperti rumah percetakan. Selain kami berdua, dan beberapa ekor kucing yang sedang mencuri makanan sisa, tidak ada makluk bergerak lain di depan toko soba ini.
 
   
  +
Usai berjalan menuju kota kecil di antara gunung dan laut yang dipenuhi lereng serta jalur melandai, mendadak terlihat pemandangan rumah-rumah yang berjejer bersamaan dengan stasiun kereta. Hampir semua lampu penghias di jalur melengkung pertokoan sudah tidak lagi menyala, sementara, bangunan bertingkat empat yang merupakan peninggalan zaman Shouwa, sudah terpajang papan iklan '''Glico''' di atapnya. Terasa begitu nostalgia. Di kiri, rambu dengan logo '''JR''' beserta nama stasiun digantung di atas tempat yang tampak seperti rumah percetakan. Tidak ada lagi makhluk bergerak selain kami berdua, juga beberapa ekor kucing yang sedang mengais sisa-sisa makanan di depan pintu toko soba ini.
“Kita sampai.”
 
   
  +
"Kita sampai."
“Aku tahu.”
 
   
  +
"Aku sudah tahu."
Itu saja yang dikatakannya, sebelum menyerbu ke pintu masuk stasiun.
 
   
  +
Cuma itu yang dikatakannya sebelum menyerbu masuk pintu stasiun.
Aku berdiri terpaku di tempat, dan menimbang apa yang seharusnya aku lakukan berikutnya, tapi aku bahkan tidak bisa memanggil namanya. Mau bagaimana lagi. Tadi adalah pertama kali aku bertemu dengannya, dan dia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.
 
   
  +
Aku berdiri terdiam di tempat, memikirkan kembali apa yang seharusnya kulakukan setelah ini, bahkan aku pun tidak bisa memanggil namanya. Apa boleh buat. Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan dirinya, dan ia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.
Aku sebaiknya kembali untuk mengumpulkan beberapa sampah.
 
   
  +
Sebaiknya aku kembali saja mengumpulkan beberapa rongsokan.
Aku berpaling darinya, dan saat aku hampir pergi, seseorang berkata,
 
   
  +
Aku berpaling darinya, dan saat hampir pergi, seseorang berkata,
“Hey kamu.”
 
   
  +
"Hei, yang di sana."
Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya, yang berjalan keluar dari sebuah stasiun polisi kecil di seberang bundaran bus. Sepertinya bukan aku yang dia maksud sih. Gadis itu membatu, dan menoleh takut-takut. Polisi itu berjalan ke sana dan bertanya,”Eh, bukankah kamu nona Ebisawa?”
 
   
  +
Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya yang berjalan keluar dari sebuah pos polisi kecil di seberang bundaran bus. Sepertinya yang dimaksud bukan diriku, deh. Gadis itu membatu, dan menoleh takut-takut. Polisi itu berjalan ke arahnya dan bertanya,
“...... Eh? Urm, yah.......”
 
   
  +
"Maaf, Anda ini Ebisawa-san, bukan?"
Wajahnya berubah putih karena terkejut.
 
   
  +
"... eh? Eng, yah ...."
“Ahh, aku benar. Bahkan pakaianmu cocok dengan yang dideskripsikan. Keluargamu mencarimu kan? Sepertinya kau juga pergi ke suatu tempat sekitar sini terakhir kali kau kabur dari rumah. Bagaimanapun, ikut aku. Aku akan menelepon keluargamu.”
 
   
  +
Wajahnya memucat karena terkejut.
Seorang gadis yang kabur dari rumah huh...... Dan bukan pertama kali juga, jadi lebih baik aku tidak berhubungan dengannya. Saat aku akan kembali berjalan dan berlalu melewati polisi itu, aku bisa merasakan dia menatapku, meminta bantuan. Sial, pada akhirnya aku masih menyadarinya.
 
   
  +
"Ah, benar. Bahkan pakaian Anda cocok dengan yang dideskripsikan. Keluarga Anda juga sedang mencari, 'kan? Tampaknya saat terakhir kali kabur dari rumah, Anda juga pergi ke suatu tempat di sekitar sini. Pokoknya, ikut dengan saya. Saya akan hubungi keluarga Anda."
Tatapan penuh harap dan berair itu seolah berkata: Aku akan membencimu seumur hidup kalau kau tidak membantuku.
 
   
  +
Seorang gadis yang kabur dari rumah, toh .... Dan ternyata ini juga bukan yang pertama kali baginya, yah, lebih baik aku jangan ikut campur, deh. Saat kembali berjalan dan melewati polisi itu, aku merasakan ia sedang menatapku seperti hendak memohon pertolongan. Sial, ujung-ujungnya aku malah tetap menghiraukannya.
Berhentilah, diriku. Abaikan dia.
 
   
  +
Tatapan berkaca-kaca dan penuh harap itu seolah berkata, ''Seumur hidup aku akan membencimu jika kamu tidak menolongku''.
Tapi sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau aku memilih berjalan menjauh dalam diam sesudah melihat tatapannya.
 
   
  +
Tubuhku, berhentilah. Abaikan saja dirinya.
“Urm......”
 
   
  +
Namun sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau memilih diam dan menghindar setelah melihat tatapannya itu.
Melihat pada polisi yang bercucuran keringat, aku berkata. Dia sudah hampir membawa gadis itu ke pos polisi, dan ekspresi di wajahnya saat dia menoleh seperti menunjukkan kalau dia baru menyadari keberadaanku sekarang.
 
   
  +
"Eng ...."
“Aku pikir kau salah orang. Gadis ini sedang dalam perjalanan denganku.”
 
   
  +
Sambil bercucuran keringat kutatap polisi itu, dan hendak mulai bicara. Ia hampir membawa gadis itu ke pos polisi, dan saat menoleh, ekspresi di wajahnya seperti menunjukkan kalau ia baru saja menyadari keberadaanku.
“Huh?”
 
   
  +
"Saya rasa bapak salah orang. Gadis ini sedang dalam perjalanan bersama saya."
Ekspresi polisi itu menjadi terlihat lucu, seolah dia tanpa sengaja mengunyah bekicot atau semacamnya.
 
   
  +
"Hah?"
“Hey, cepat lepaskan. Kami harus menunggu untuk waktu yang lama kalau kami melewatkan kereta yang sebentar lagi datang.”
 
   
  +
Ekspresi polisi itu menjadi terlihat aneh, seolah tanpa sengaja ia mengunyah bekicot atau semacamnya.
“Ah, uh...... mmm.”
 
   
  +
"Cepat lepaskan. Nanti kami bakal menunggu lebih lama lagi kalau melewatkan kereta yang sebentar lagi datang."
Dia berlari menjauh dengan cepat dari polisi itu saat aku mengangguk pada pak polisi, dan kami berdua dengan cepat berjalan menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah dia mengerti apa yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya terus berada di sana.
 
   
  +
"Ah, uh .... Hmm."
Sesudah membeli tiket dan melewati gerbang, kami melirik ke arah bundaran bus.
 
   
  +
Ia segera pergi menjauh saat aku mengangguk pada pak polisi itu, lalu kami berdua dengan cepat berjalan menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah ia paham yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya jika terus berada di sana.
“Apakah berhasil...... Kau akan bekerja sama denganku kalau polisi itu menyusul kita kan?”
 
   
  +
Setelah membeli tiket dan melewati gerbang, kami melirik ke arah bundaran bus.
“A, Aku.......” gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat, dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. “Aku tidak meminta bantuanmu!”
 
   
  +
"Berhasil enggak, ya .... Omong-omong, andai kita tertangkap, kamu akan bekerjasama denganku, 'kan?"
“Baiklah, aku akan temui pak polisi itu kalau begitu. Berbohong itu tidak baik.”
 
   
  +
"A-aku ...," gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat, dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. "Aku tidak minta pertolonganmu!"
Wajah gadis itu berubah merah, dan dia tidak mengucapkan apapun. Tapi dia menampar punggungku berkali-kali.
 
   
  +
"Baiklah kalau begitu, akan kutemui pak polisi tadi. Berbohong itu enggak baik."
“Lain kali kau kabur dari rumah, pilih tempat dimana orang tuamu gak akan menemukanmu!”
 
   
  +
Wajah gadis itu berubah merah dan terdiam tanpa kata. Meski begitu, ia memukul punggungku berkali-kali.
“Bukan begitu! Bukan seperti yang kau pikirkan......”
 
   
  +
"Lain kali kalau kabur dari rumah, pilih tempat yang tidak bisa ditemukan oleh orang tuamu!"
Jadi sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan orang. Mungkinkah dia sebenarnya membenciku? Hey, aku menawarinya bantuan!
 
   
  +
"Bukan begitu! Ini bukan seperti yang kamu pikirkan ...."
Dia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke arahku, lalu berjalan menuju peron yang berhubungan ke jalur Kudari. Belawanan arah denganku huh. Aku merasa sedikit lega, namun juga sedikit merasa sayang di saat bersamaan.
 
   
  +
Jadi sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan orang di sini. Apa mungkin ia sebenarnya membenciku? Hei, aku sudah menawarinya pertolongan!
Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang menandakan kehadiran kereta. Musik yang sangat kukenal – Mozart <Dua Belas Variasi pada “Ah vous dirai-je, Maman”>.
 
   
  +
Ia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke arahku, lalu berjalan menuju peron yang terhubung ke jalur Kudari. Ternyata arah pulangnya berlawanan denganku. Aku merasa sedikit lega, namun di saat bersamaan juga sedikit menyayangkannya.
“Ah......”
 
   
  +
Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang menandakan kedatangan kereta. Musik yang sangat kukenal — <Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'><ref>Yaitu komposisi yang digubah oleh Mozart yang berisi dua belas variasi lagu tradisional Negara Perancis, 'Ah! vous dirai-je, Maman'. Melodi lagu ini juga digunakan pada lagu anak-anak contohnya, 'Twinkle Twinkle Little Star' dan 'Alphabet Song'.</ref> gubahan Mozart.
Lampu bohlam di kepalaku menyala tiba-tiba. Aku ingat! Aku ingat siapa dia. Yeah, bukankah pak polisi tadi bilang kalau nama keluarganya Ebisawa?
 
   
  +
"Ah ...."
“Ebisawa...... Mafuyu?”
 
   
  +
Lampu bohlam di kepalaku tiba-tiba menyala. Aku ingat! Aku ingat siapa dirinya. Benar, bukankah pak polisi tadi bilang kalau marganya Ebisawa?
Dia hampir mengambil langkah kedua naik tangga, tapi dia sangat tekejut sampai berhenti di sana. Saat dia menoleh, wajahnya yang cerah berwarna merah, dan matanya terlihat seperti langit kelam berawan yang seakan segera menumpahkan hujan deras.
 
   
  +
"Ebisawa ... Mafuyu?"
Tidak heran aku merasa dia tidak asing – aku pernah melihatnya di sampul CD sebelumnya, juga di TV. Dia adalah gadis piano berbakat yang menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano Internasional yang dilaksanakan di Eropa Timur, di umur yang masih muda dua belas tahun. Penampilannya juga disambut dengan tepuk tangan semua yang hadir. Ebisawa Mafuyu.
 
   
  +
Ia sudah hampir dua langkah naik ke tangga, namun ia begitu tekejut hingga terdiam di tempat. Saat ia menoleh, wajahnya sudah memerah, dan kedua matanya terlihat bagai langit kelam berawan yang seolah segera menumpahkan hujan lebat.
Gadis misterius ini sudah merilis beberapa jumlah album dua setengah tahun lalu, tapi dia menghilang dari dunia permusikan di umur lima belas.
 
   
  +
Pantas saja ia tidak terasa asing bagiku — aku pernah melihatnya di sampul CD maupun di TV sebelum ini. Ia merupakan pemain piano berbakat yang menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano Internasional yang dihelat di Eropa Timur saat masih berumur dua belas tahun. Penampilan perdananya kala itu juga mendapat tepuk tangan dari semua yang hadir. Ebisawa Mafuyu.
Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di depanku , memegang pagar pengaman dengan ekspresi hampir menangis.
 
   
  +
Gadis misterius ini telah merilis sejumlah album mulai dua setengah tahun lalu, namun ia menghilang dari dunia permusikan saat menginjak umur lima belas.
“...... Kau......tahu siapa aku.......?”
 
   
  +
Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di depanku, memegang pagar pengaman dengan ekspresi hampir menangis.
Suaranya yang tergagap nyaris tidak terdengar teredam persimpangan jalur kereta, tapi aku tetap menganggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu siapa dia, aku bahkan bisa mengingat semua judul lagu yang dirilis olehnya.
 
   
  +
"... kamu ... tahu siapa aku ...?"
“Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD mu, dan......”
 
   
  +
Suaranya yang tergagap nyaris tenggelam oleh suara di persimpangan jalur kereta, namun tetap kuanggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu identitasnya, bahkan aku bisa mengingat semua judul lagu yang dirilis olehnya.
“Lupakan semuanya!”
 
   
  +
"Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD-mu, dan ...."
“Eh?”
 
   
“Pokoknya, lupakan semuanya!
+
"Lupakan semuanya!"
   
  +
"Eh?"
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku hanya bisa menatapnya berlari naik tangga, rambutnya yang merah tua berkibar di belakangnya. Tepat saat itu, suara *ding ding ding* yang berasal dari penurunan pembatas di persimpangan mencapai telingaku. Untuk sesaat, aku cuma berdiri di satu tempat dalam keadaan linglung.
 
   
  +
"Pokoknya, lupakan semuanya!"
“—Hey!”
 
   
  +
Aku ingin mengatakan sesuatu, namun aku cuma bisa menatapnya berlari menaiki tangga, rambutnya yang merah tua terkibar di belakangnya. Tepat saat itu, suara *ding ding ding* yang merupakan tanda diturunkannya pembatas rel di persimpangan mulai terdengar di telingaku. Sejenak, aku cuma bisa berdiri terdiam dalam keadaan linglung.
Sebuah suara manusia terdengar di sampingku. Aku menoleh, dan melihat sebuah siluet putih di peron berlawanan dariku. Kami bertukar pandang sejenak, dan kemudian dia,
 
   
  +
"—Hei!"
Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan melemparkan sesuatu kemari.
 
   
  +
Sebuah suara terdengar di sampingku. Aku menoleh, dan melihat sebuah siluet putih dari peron yang berlawanan. Kami bertukar pandang sejenak, lalu ia, Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan melemparkan sesuatu padaku.
Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati jalur. Aku mengangkat tanganku berusaha menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan tanganku dan jatuh di dekat kakiku. Itu adalah sekaleng Kola.
 
   
  +
Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati jalur kereta. Kuangkat tangan ini dan berusaha menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan tanganku lalu jatuh dekat kakiku. Ternyata itu sekaleng ''cola''.
Kereta melaju di antara kami.
 
   
  +
Sebuah kereta kemudian melaju di antara kami.
Dia memasukki kereta, dan kereta itu meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup, meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng Kola itu menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur, tapi aku segera mengambilnya sebelum terlambat. Masih dingin, jadi dia mungkin membelinya dari mesin penjual otomatis di sana. Apa dia bermaksud menganggapnya sebagai semacam tanda terima kasih?
 
  +
  +
Ia lalu masuk ke dalam, dan kereta itu meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup, meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng ''cola'' itu menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur kereta, tapi segera kuambil sebelum terlambat. Masih terasa dingin, mungkin ia membelinya dari mesin penjual otomatis di sana. Apa jangan-jangan ia membelikanku ''cola'' ini sebagai semacam tanda terima kasih?
   
 
Ebisawa Mafuyu.
 
Ebisawa Mafuyu.
   
Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu saja aku tidak membelinya. Semuanya diberikan pada ayahku secara gratis, karena dia adalah kritikus musik. Koleksi musiknya bertambah sekitar beberapa ratus CD setiap bulan, tapi hasil karyanya (baca: Ebisawa) satu-satunya yang tidak akan pernah membuatku merasa bosan mendengarkannya. Sebenarnya, bahkan urutan lagunya meninggalkan kesan yang dalam padaku. Aku menikmati mencari sentimen hangat pada bagian yang tidak sengaja di tengah melodinya yang jelas, mantap, dan tidak bernyawa.
+
Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu saja bukan aku yang membelinya. Semuanya diberikan pada ayahku secara gratis, karena beliau seorang kritikus musik. Setiap bulan koleksi musiknya bertambah sekitar beberapa ratus keping, tapi karya milik Ebisawa merupakan satu-satunya yang tidak pernah membuatku bosan saat mendengarkannya. Bahkan, urutan lagunya pun meninggalkan kesan yang dalam padaku. Kunikmati saat-saat menelusuri kilasan yang tidak disengaja dari ritme hangat di tengah melodinya yang jelas, mantap, dan tidak bernyawa itu.
  +
  +
Lalu kuingat kembali lagu yang dimainkannya saat di tempat pembuangan, harusnya lagu itu tidak ada di dalam CD-nya, 'kan? Jika lagu itu pernah kudengar dari CD, sudah pasti aku mengingatnya.
  +
  +
Sebenarnya apa yang sudah ia hadapi dan temui selama ini?
  +
  +
Ia bukan seseorang yang memainkan lagu segalau itu.
  +
  +
Kata-katanya terus terngiang di telingaku, ''Pokoknya, lupakan semuanya!''
   
  +
Kuambil kaleng ''cola'' itu, lalu duduk di bangku. Konserto piano yang membuat penasaran juga suara Ebisawa itu terus bergema di kepala hingga keretaku tiba.
Lalu aku memikirkan lagu yang dimainkannya di tempat pembuangan, lagu itu seharusnya tidak ada di CD nya kan? Kalau aku sudah mendengarnya dari CD, aku pasti mengingatnya.
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Apa yang sebenarnya dia hadapi dan temui?
 
   
  +
Itulah yang terjadi padaku saat libur musim semi sebelum mulai masuk SMA, sebuah kebetulan yang sulit dipercaya.
Dia bukan seseorang yang memainkan lagu murung semacam itu.
 
   
  +
Sesampainya di rumah, aku terus mengulang <Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'> yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat mendengarkannya, aku jadi teringat kembali kejadian saat itu, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menganggap semua itu hanyalah mimpi. Sebab tidak mungkin rongsokan-rongsokan itu bisa beresonansi dengan sebuah piano, dan tidak mungkin pula benda-benda itu mengeluarkan suara layaknya sebuah orkestra.
Kata-katanya terus terngiang di telingaku,’Pokoknya, lupakan semuanya!’
 
   
  +
Satu-satunya hal yang bisa membuktikan kalau semua itu nyata adalah ''cola'' yang ia berikan padaku, yang kemudian menyembur mengenaiku saat kubuka tutupnya. Ya ampun, minuman berkarbonisasi itu benar-benar tidak boleh dikocok maupun dilempar. Seusai kulap lantai ini dengan kain sampai bersih, rasanya seolah sisa-sisa kepekaanku terhadap dunia juga ikut lenyap.
Aku memengambil kaleng Kola itu, dan duduk di bangku. Piano concerto yang membangkitkan rasa ingin tahu dan suaranya terus bergema di kepalaku, sampai keretaku tiba.
 
   
  +
Meski ia menyuruhku untuk melupakan semuanya, tanpa disuruh pun pasti akan kulupakan. Aku ini orang yang sibuk, bahkan aku tidak bisa mengingat mimpi-mimpi yang kualami kemarin lusa.
   
  +
Pada saat itu, jelas aku tidak menyangka bakal bertemu Mafuyu kembali di situasi semacam tadi.
   
Itulah apa yang terjadi padaku saat liburan musim semi sebelum memasuki SMA, sebuah kebetulan yang tidak bisa dipercaya.
 
   
  +
<noinclude>
Saat aku sampai rumah, aku terus mengulang <Dua Belas Variasi di “Ah vous dirai-je, Maman”> yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat aku mendengarkannya, aku mengingat kejadian di hari itu, dan mau tidak mau merasa heran apakah semuanya cuma mimpi. Karena tidak mungkin sampah-sampah itu bisa beresonasi dengan sebuah piano, dan juga tidak mungkin mereka mengeluarkan suara seperti sebuah orkestra.
 
   
  +
===Catatan Penerjemah===
Satu-satunya bukti yang bisa membuktikan kalau semuanya nyata adalah Kola yang dia berikan (?) padaku, yang menyembur mengenaiku saat aku membuka tutupnya. Ya ampun, kau benar-benar tidak boleh mengocok atau melempar minuman berkarbonasi. Sesudah mengelap lantai sampai kering dengan sepotong kain, seolah perasaan yang tersisa kalau itu kenyataan juga menghilang.
 
   
  +
<references/>
Meski dia tidak menginginkanku melupakan semuanya, aku mungkin juga akan melakukannya. Aku orang yang sibuk, dan aku bahkan tidak bisa mengingat mimpi-mimpiku dua hari lalu.
 
   
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
Pada saat itu, aku pasti tidak tahu kalau aku akan bertemu lagi dengan Mafuyu dalam situasi semacam itu.
 
  +
|-
  +
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Ilustrasi|Ilustrasi Novel]]
  +
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
  +
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 2|Bab 2]]
  +
|-
  +
|}
  +
</noinclude>

Latest revision as of 03:48, 6 October 2016

Toko Swalayan di Akhir Dunia[edit]

Seiring jendela-jendela kereta yang hanya terbuka sekitar lima senti, semerbak aroma laut perlahan sudah merambat masuk.

Kala itu tepatnya Minggu saat tengah hari, dan tidak ada lagi penumpang selain diriku di kereta ini. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai ketika libur musim panas. Tapi di awal April seperti sekarang ini, masih ada cukup lama waktu hingga pantai kembali ramai didatangi. Karenanya, mungkin cuma anak SMP saja yang berlibur ke pantai di musim semi begini .... Termasuk diriku.

Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lambat. Tembok dari pengunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap dari pandanganku, lingkup pandangku meluas bersama dengan aroma laut yang semakin tajam. Rangkaian atap kereta serta pemandangan air laut bercorak tembaga tua itu menggelap di bawah langit yang mendung.

Kereta itu bergoyang lalu berhenti di sebuah stasiun kecil.

Kuambil ranselku dari rak bagasi. Saat berjalan ke peron terbuka, segera kulihat gundukan-gundukan kelabu di antara pegunungan hijau yang ada di kananku.

Aku tidak tahu kapan hal itu mulai ada, tetapi lembah yang di sana itu sudah berubah menjadi tempat pembuangan yang besar. Aku pun tidak tahu legal atau tidaknya tempat pembuangan tersebut, namun ada banyak truk dari berbagai penjuru yang datang untuk membuang alat-alat elektronik maupun mebel rongsokan ke sana. Sejenak waktu berlalu, tempat itu mendadak berubah sunyi. Begitu sunyi, hingga terasa seolah saat-saat itu merupakan lima belas menit sesudah akhir dunia — sebuah ruang yang terasingkan terbentuk karenanya. SMP tempatku bersekolah dulu berdekatan dengan pantai, lalu karena suatu hari secara tidak sengaja aku tersesat dan menemukan tempat ini, maka diam-diam kunamai tempat ini <Toko Swalayan Keinginan Hati>. Nama itu pernah muncul dalam sebuah novel, meski panjang dan sulit diucapkan, namun bukanlah masalah, karena toh, aku tidak berniat memberitahukannya pada siapa pun.

Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik — meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus lain, namun aku hanya mau menekankan alasan tentang tidak umumnya pekerjaan beliau bagiku. Karena hal tersebut, makanya rumahku dipenuhi dengan berbagai sound system, pita rekaman, CD, partitur musik, dan berbagai barang lainnya yang berhubungan dengan musik. Karena sudah tidak tahan, sepuluh tahun yang lalu ibuku lari dari rumah ini. Sedang aku, meski tidak memiliki rencana ataupun inspirasi kala itu, namun di malam saat aku berumur enam tahun tersebut, aku bersumpah pada diri sendiri kalau aku tidak akan pernah menjadi seorang kritikus musik.

Mari kesampingkan hal itu sejenak. Perlengkapan di rumah kami adalah barang-barang yang dipergunakan untuk bekerja, namun ayahku memperlakukannya dengan sembrono. Beliau merusak semuanya — baik pengeras suara, pemutar piringan maupun pemutar DVD. Karena jarang sekali ada yang membelikanku mainan saat masih kecil, jadi aku sering membongkari perlengkapan rusak tersebut, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki serta merakitnya. Lalu kini, hal tersebut sudah jadi semacam setengah hobi bagiku.

Karena kebutuhan hobiku ini, maka setiap sekali dalam dua-tiga bulan aku mengunjungi <Toko Swalayan Keinginan Hati> yang berdekatan dengan pantai itu. Aku pergi menggunakan kereta bergoyang untuk mengumpulkan beberapa komponen berguna di sana. Saat berjalan sendirian di kumpulan rongsokan itu, aku merasa seolah-olah menjadi satu-satunya manusia yang tersisa di dunia ini, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.

Akan tetapi, bukan aku satu-satunya orang yang mengunjungi tempat pembuangan tersebut kala itu.

Saat berjalan melewati hutan dan menuju ke arah lembah, kulihat sebuah gunung yang terbentuk dari tumpukan lemari es dan mobil rongsokan yang akan terlihat meski dalam cuaca apa pun. Yang mengejutkan lagi, aku juga mendengar suara piano.

Pada awalnya, kukira kalau aku cuma asal dengar, tapi saat melangkah keluar dari hutan dan melihat ke timbunan rongsokan yang tepat di depan mataku ini, aku menyadari kalau suara piano itu bukan sekadar asal dengar. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang .... Dan setelahnya, suara klarinet segera terdengar olehku.

Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi kurasa aku pernah mendengarnya. Mungkin sebuah konserto[1] piano abad kesembilan belas dari Negara Perancis. Tapi kenapa suara tersebut kudengar di tempat semacam ini?

Aku memanjat naik ke atap mobil bekas dan mulai mendaki timbunan rongsokan. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah musik mars.[2] Pada awalnya, kupikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala, tapi pemikiran itu pun lenyap dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.

Aku melihat ke bawah sesampainya di puncak timbunan tersebut, dan pemandangan yang menyambutku begitu mengejutkan hingga membuat napasku tertahan.

Sebuah grand piano besar terkubur di antara rak piring dan ranjang yang rusak. Tutupnya memantulkan kilauan hitam seolah dicelupkan ke dalam air dan tersingkap keluar bagaikan sayap seekor burung. Di sisi sebelah piano, uraian rambut berwarna merah tua berayun seiring dengan keindahan suara instrumen itu.

Ternyata itu seorang gadis.

Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring disertai pandangan terpaku pada tangannya, alis panjangnya sedikit tertarik ke belakang. Bunyi melengking nan elok yang dimainkannya seolah bagai tetesan air hujan di penghujung musim dingin yang terpercik tetes demi tetes dari dalam piano.

SP1 0015.JPG

Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.

Wajah tegas dan kulitnya yang putih pucat itu bukan sesuatu yang umum di dunia ini, begitu cantik, hingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya; rambut merah tuanya berkerlap-kerlip bagai batu amber yang meleleh di bawah sinar mentari.

Aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi ... kenapa?

Aku tidak bisa mengingat namanya. Begitu pula dengan lagu yang dimainkannya.

Tidak ada orang lain lagi di sekitar sini, jadi harusnya yang kudengar hanyalah suara piano yang diiringi deburan ombak yang tersaring melewati hutan, lalu kenapa? Kenapa aku mendengar suara orkestra?

Langsung kusadari bahwa piano yang ada di bawahku ini mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dipaksa memainkan nada rendah. Tidak hanya itu, sepeda yang terkubur di dalam reruntuhan di sana, peti kemas yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya — semua saling beresonansi bersama piano itu.

Rongsokan yang terkubur di dalam lembah sampai ikut bernyanyi.

Namun gema musik tersebut menggerakkan ingatan-ingatanku akan orkestra yang diwakili nada-nada ini.

Mungkin itu hanyalah halusinasi pendengaranku, namun itu terasa begitu nyata.

Entah bagaimana aku tahu potongan musik yang dimainkannya, tapi sebenarnya lagu apa itu?

Kenapa — kenapa musik itu begitu menyentuh hatiku?

Barisan allegro[3] terdengar bagai langkah tergesa yang mengalir ke muara luas di hadapan senja, di mana musik perlahan masuk ke adagio.[4] Gelembung-gelembung not kecil dari dasar laut yang tidak terhitung jumlahnya menyeruak ke permukaan dan berangsur-angsur tersebar ke luar. Setelahnya, gemuruh orkestra kembali terdengar dari kejauhan, dan kali ini suara tersebut akan tetap lanjut beriringan—

Akan tetapi, musik itu mendadak terhenti.

Aku menahan napasku, dan menatap turun ke arah piano sembari terpaku di puncak timbunan rongsokan ini layaknya seekor kerang.

Gadis itu berhenti memainkan pianonya dan menatapku dengan pandangan tidak ramah.

Suara Orkestra yang tersamar, suara piano yang menggema, bahkan suara desiran angin yang melalui pepohonan — semuanya telah menghilang, membuatku sejenak berpikir bahwa kiamat benar-benar datang.

"... sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"

Ia akhirnya bicara. Suaranya jernih seperti gelas anggur yang jatuh pecah ke lantai. Ia terlihat marah. Aku kehilangan pijakan, lalu terpeleset dari lemari es tempatku berdiri.

"Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"

"Eng, yah ...."

Aku akhirnya bisa bernapas setelah memaksa keluar suaraku.

"... mungkin sewaktu cadenza[5]."

"Cadenza di awal?"

Dengan cepat ia berdiri. Rambut halus berwarna merah tuanya menjuntai dari bahunya. Saat itulah kusadari bahwa ternyata ia mengenakan gaun terusan berwarna putih.

"Jadi kamu mendengarnya dari awal?"

Mau bagaimana lagi! Terus, ia mau suruh aku apa? Melakukan tari suku Indian sambil berteriak-teriak agar bisa ia tonton? Perlahan kutenangkan diri ini sembari melihat wajah memerah dan rambutnya yang terkibar. Aku tidak berbuat salah, 'kan? Hanya saja, ia sudah datang lebih dulu daripada aku.

"Dasar cabul! Maniak!"

"Bukan, tunggu sebentar!" kenapa aku dituduh seperti itu?

"Kamu benar-benar menguntitku sampai ke sini!"

"Menguntit .... Oi! Aku ke sini cuma untuk mengumpulkan beberapa rongsokan!"

Segera seusai ia menutup tutup piano itu, ada sesuatu yang beresonansi bersamanya. Lalu, lemari es tempat aku berdiri bergetar hebat. Lemari es tersebut sedikit miring, kemudian meluncur ke bawah dengan membawa diriku.

Aku terguling menjauh dari lemari es yang miring dan kap mobil rusak itu, dan tertuju ke dasar lembah tempat piano berada. Bahuku menabrak kaki piano.

"... aduh!"

Tepat saat aku mulai berdiri, kusadari kalau wajahnya sudah tepat di depanku, dan mata biru lautnya menatapku serius. Aku terkejut dan tidak bisa bergerak. Aku cuma bisa menatap bibirnya yang bergetar lembut bagai kelopak bunga kamelia.

"Kalau bukan untuk menguntitku, lalu kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Eh? Ah, tidak, begini ...."

Ia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang mengikatku agaknya sedikit melemah. Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mulai mundur ke belakang sambil tetap duduk di tanah.

"Aku bilang, aku ke sini untuk mengambil beberapa komponen audio! Terkadang aku memang sering datang ke sini. Bukan mau menguntitmu."

"... sungguh?"

Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis ini merasa kalau ia mungkin sedang diikuti seseorang?

"Pokoknya, segera pergi dari tempat ini, dan jangan bilang pada siapa-siapa kalau aku ada di sini. Kamu juga harus menghapus ingatan tentang musik yang kamudengar barusan."

"Bagaimana caranya ...."

"Kamu benar-benar ... tidak boleh ... mengatakannya!"

Matanya tampak berkaca-kaca, seolah bintang-bintang sedang berjatuhan dari langit. Saat melihatnya, aku pun jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi."

"Aku mengerti, aku akan pergi, kamu puas?"

Kuangkat ranselku ke bahu dan mulai memanjat timbunan rongsokan. Kemudian suara aneh sebuah mesin mendadak terdengar dari belakangku, dan yang mengikutinya adalah teriakan, "Ah! Yah!"

Saat kutolehkan pandanganku, kulihat sebuah tape recorder seukuran genggaman tangan ada di atas piano, dan benda itu mengeluarkan bunyi aneh. Mungkinkah selama ini ia merekamnya ...? Kaset di dalam tape recorder itu sepertinya berputar bolak-balik. Aku tidak tahan melihat wajah cemasnya saat ia terus menggenggam tape recorder itu. Aku berjalan mendekatinya lalu kucoba menekan salah satu tombolnya.

"... apa ..., apa ini rusak?"

Ia bertanya dengan suara tersedu-sedu sambil membuka tape recorder itu dengan hati-hati. Ia memperlakukannya seperti telur yang hampir menetas.

"Ah, jangan begitu. Kamu tidak boleh langsung membukanya seperti itu."

Ia segera berhenti membuka penutupnya. Aku meletakkan ranselku di piano, dan mengambil obeng. Matanya terbelalak melihat hal itu.

"... kamu mau membongkarnya?"

"Jangan khawatir. Akan kuperbaiki dengan hati-hati."

Saat kuambil tape recorder itu dari tangannya, kusadari kalau itu bukan tape recorder biasa, melainkan tape recorder dua sisi untuk merekam dan memutar kaset. Tidak hanya dapat memutar sisi A dan B secara bersamaan, tetapi juga dapat merekam secara bersamaan. Meski begitu, label yang tertulis di tape recorder tersebut memakai bahasa yang belum pernah kulihat sebelumnya, sudah pasti itu bukan bahasa Inggris.

"Bahasa apa ini?"

"Bahasa Hunggaria," jawabnya lirih. Ternyata itu buatan Eropa. Bisa kuperbaiki enggak, ya?

Setelah kulepas sekrup dan membuka casing luarnya, yang tampak di hadapanku adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-benar bermanfaat.

"Apa itu masih bisa ... diperbaiki?"

"Mungkin."

Kuturunkan penutup piano lalu menggunakannya sebagai meja kerja, kemudian perlahan kubongkar tape recorder itu. Seperti yang kukira, pita magnetiknya tertarik keluar dari kaset. Pita itu mencuat keluar dan mengumpul membentuk sebuah gulungan kusut, seperti halnya timun laut yang memuntahkan organnya. Karenanya aku membutuhkan waktu cukup lama untuk melepas kaset itu.

"... maaf, apa tape recorder ini sejak awal memang sudah rusak?"

"Eh? Ah, eng ..., kasetnya tidak akan berhenti berputar meski sudah selesai, jadi pitanya akan kusut kalau tombol stop tidak segera ditekan."

Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah tidak berfungsi.

"Ka-karena kamu tiba-tiba muncul, aku jadi lupa menekannya."

Jadi, lagi-lagi ini salahku? Mending beli baru saja sana.

"Apa tape recorder ini penting bagimu?" aku berkata begitu, karena ia masih menggunakannya meski sudah rusak.

"Eh?" ia menatapku dengan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dan berkata, "Eng ...."

Hungaria, ya. Berarti gadis ini bukan orang Jepang, ya 'kan? Dari bentuk wajahnya, menurutku ia sepertinya orang keturunan campuran. Sembari memikirkannya, aku menggali timbunan rongsokan untuk mencari beberapa komponen, hingga akhirnya operasi bedah tape recorder ini selesai setelah komponen-komponen yang dibutuhkan itu ketemu. Tape recorder itu tidak akan lepas kendali lagi, baik saat memutar ulang maupun mempercepat kasetnya.

"Yak, selesai sudah."

"Eh ..., ah, eng," wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya.

Aku hampir menekan tombol putar untuk memastikan tape recorder itu bekerja dengan normal, namun tiba-tiba ia merenggutnya dari tanganku.

"Ka-kamu tidak boleh mendengarnya."

Ia ubah volume suaranya sampai ke yang paling kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya bekerja dengan baik.

"... te-terima kasih."

Ia peluk tape recorder itu erat-erat, dan berterima kasih padaku dengan suara lemah sambil menundukkan kepalanya disertai wajah memerah. Entah kenapa, aku juga jadi merasa malu, karena itu aku berpaling dan mengangguk.

Saat semua peralatan selesai kubereskan dan memasukkannya ke dalam ransel, tiba-tiba ia bertanya,

"Kenapa banyak sekali macam-macam barang yang kamu bawa?"

"Sudah kubilang, aku suka mengutak-atik mesin, itu sebabnya aku mencari berbagai komponen di tempat ini!"

"Memangnya ... itu menyenangkan?"

Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku bingung untuk menjawabnya.

"Hmm ..., aku tidak begitu yakin kalau memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semua orang tampak begitu bahagia ketika mereka mendapatkan kembali sesuatu yang mereka anggap sudah hilang."

Saat kami saling bertukar pandang, wajahnya kembali memerah, karena itu ia segera berpaling. Saat menatap wajahnya dari samping, muncul sebuah desakan untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa kamu ada di sini? Atau yang lebih penting ..., Kamu siapa? Apa judul lagu yang kamu mainkan tadi? Lalu, Aku ingin dengar seperti apa musik yang sudah kamu rekam itu? Munginkah orkestra yang kudengar tadi bukan sekadar halusinasiku saja? Aku memikirkan semua hal tersebut, tapi mungkin ia akan kembali marah kalau aku benar-benar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.

Ia meletakkan kembali tape recorder itu ke piano, lalu menggunakan rak sebagai pengganti tempat duduk dan mengarahkan pandangan pada kakinya. Aku ingin tetap berbincang dengannya, namun suasananya sudah tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara. Lupakan saja, rasanya ia juga menganggapku sebagai seorang pengganggu. Mending pulang saja, deh.

Mungkin ketika nanti aku kembali ke tempat ini, aku tidak akan lagi bisa bertemu dengannya, ya 'kan? Atau mungkin ia kemari karena tidak ada piano di rumahnya? Aku memikirkan hal-hal tersebut sembari bersiap mendaki timbunan rongsokan. Tepat pada saat itu, suaranya datang dari belakangku,

"Eng—"

Aku menoleh.

Dari samping piano ia terlihat sedang gelisah. Kali ini ia tidak tampak marah, namun wajahnya memerah karena malu.

"Apa rumahmu dekat dari sini?"

Kumiringkan kepalaku.

"... enggak. Kira-kira dari sini empat jam jika memakai kereta."

"Jadi kamu mau ke stasiun sekarang?"

Ia langsung tampak lega saat kuanggukan kepala ini. Digantungkannya tape recorder itu di dekat pinggang, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk dari rongsokan berukuran besar sembari mengikutiku.

"Jadi kamu juga mau pulang? Kalau begitu, aku tetap di sini saja, ya?"

"Tidak boleh! Jangan berhenti, tetap jalan!"

Apa-apaan itu ....

Dengan rasa kesal kuhindari timbunan rongsokan yang bergelombang itu, dan perlahan berjalan kembali ke hutan dekat lembah. Ia terus mengeluhkan tentang kakinya yang sakit dan bagaimana sewaktu ia hampir terjatuh, namun masih saja ia mau mengikutiku.

"Sebentar ...."

Kutolehkan pandanganku dan memanggilnya. Ia terkejut, dan terlihat gelisah dari jarak tiga meter di belakangku.

"A-ada apa?"

"Jangan-jangan kamu lupa jalan pulang, ya?"

Karena kulitnya lebih cerah daripada orang Jepang pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika wajahnya memerah. Meski ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku cuma bisa menghela napas,

"Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini."

Satu langkah keliru saat berjalan dari pinggir laut ke arah stasiun cukup untuk membuat seseorang tersesat.

"Ini bukan yang pertama. Mungkin ini sudah ketiga kalinya bagiku."

"Jadi kamu masih tidak bisa mengingat jalurnya meski sudah tiga kali ke sini ...."

"Sudah kubilang bukan begitu!"

"Kalau begitu, ya pulang saja sendiri."

"Uh ...."

Ia menggertakkan giginya dan menatap tajam ke arahku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti berdebat dengannya dan berjalan keluar dari hutan tanpa berbicara. Saat dalam perjalanan, aku melihat truk berwarna ungu melewati kami, mungkin truk itu hendak ke sana untuk membuang rongsokan. Hutan kembali sunyi setelah truk itu pergi menjauh. Samar suara truk seiring gesekan ranting pohon, mengingatkanku akan keanekaragaman ensembel[6] dari konserto piano kala itu.

Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang membuatku kehilangan napas. Akan tetapi, keajaiban tersebut mungkin tidak akan terjadi andai gadis ini tidak memainkan piano di tempat tidak biasa semacam itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.

Terus, kapan aku pernah melihatnya, ya? Mungkinkah ia teman yang tanpa sadar telah kulupakan? Kenapa juga ia tanpa malu bersikap seperti itu di depanku?

Tidak mungkin juga, 'kan?

Andai aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan mendalam seperti itu padaku, tidak mungkin aku bisa melupakannya.

Usai berjalan menuju kota kecil di antara gunung dan laut yang dipenuhi lereng serta jalur melandai, mendadak terlihat pemandangan rumah-rumah yang berjejer bersamaan dengan stasiun kereta. Hampir semua lampu penghias di jalur melengkung pertokoan sudah tidak lagi menyala, sementara, bangunan bertingkat empat yang merupakan peninggalan zaman Shouwa, sudah terpajang papan iklan Glico di atapnya. Terasa begitu nostalgia. Di kiri, rambu dengan logo JR beserta nama stasiun digantung di atas tempat yang tampak seperti rumah percetakan. Tidak ada lagi makhluk bergerak selain kami berdua, juga beberapa ekor kucing yang sedang mengais sisa-sisa makanan di depan pintu toko soba ini.

"Kita sampai."

"Aku sudah tahu."

Cuma itu yang dikatakannya sebelum menyerbu masuk pintu stasiun.

Aku berdiri terdiam di tempat, memikirkan kembali apa yang seharusnya kulakukan setelah ini, bahkan aku pun tidak bisa memanggil namanya. Apa boleh buat. Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan dirinya, dan ia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.

Sebaiknya aku kembali saja mengumpulkan beberapa rongsokan.

Aku berpaling darinya, dan saat hampir pergi, seseorang berkata,

"Hei, yang di sana."

Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya yang berjalan keluar dari sebuah pos polisi kecil di seberang bundaran bus. Sepertinya yang dimaksud bukan diriku, deh. Gadis itu membatu, dan menoleh takut-takut. Polisi itu berjalan ke arahnya dan bertanya,

"Maaf, Anda ini Ebisawa-san, bukan?"

"... eh? Eng, yah ...."

Wajahnya memucat karena terkejut.

"Ah, benar. Bahkan pakaian Anda cocok dengan yang dideskripsikan. Keluarga Anda juga sedang mencari, 'kan? Tampaknya saat terakhir kali kabur dari rumah, Anda juga pergi ke suatu tempat di sekitar sini. Pokoknya, ikut dengan saya. Saya akan hubungi keluarga Anda."

Seorang gadis yang kabur dari rumah, toh .... Dan ternyata ini juga bukan yang pertama kali baginya, yah, lebih baik aku jangan ikut campur, deh. Saat kembali berjalan dan melewati polisi itu, aku merasakan ia sedang menatapku seperti hendak memohon pertolongan. Sial, ujung-ujungnya aku malah tetap menghiraukannya.

Tatapan berkaca-kaca dan penuh harap itu seolah berkata, Seumur hidup aku akan membencimu jika kamu tidak menolongku.

Tubuhku, berhentilah. Abaikan saja dirinya.

Namun sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau memilih diam dan menghindar setelah melihat tatapannya itu.

"Eng ...."

Sambil bercucuran keringat kutatap polisi itu, dan hendak mulai bicara. Ia hampir membawa gadis itu ke pos polisi, dan saat menoleh, ekspresi di wajahnya seperti menunjukkan kalau ia baru saja menyadari keberadaanku.

"Saya rasa bapak salah orang. Gadis ini sedang dalam perjalanan bersama saya."

"Hah?"

Ekspresi polisi itu menjadi terlihat aneh, seolah tanpa sengaja ia mengunyah bekicot atau semacamnya.

"Cepat lepaskan. Nanti kami bakal menunggu lebih lama lagi kalau melewatkan kereta yang sebentar lagi datang."

"Ah, uh .... Hmm."

Ia segera pergi menjauh saat aku mengangguk pada pak polisi itu, lalu kami berdua dengan cepat berjalan menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah ia paham yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya jika terus berada di sana.

Setelah membeli tiket dan melewati gerbang, kami melirik ke arah bundaran bus.

"Berhasil enggak, ya .... Omong-omong, andai kita tertangkap, kamu akan bekerjasama denganku, 'kan?"

"A-aku ...," gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat, dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. "Aku tidak minta pertolonganmu!"

"Baiklah kalau begitu, akan kutemui pak polisi tadi. Berbohong itu enggak baik."

Wajah gadis itu berubah merah dan terdiam tanpa kata. Meski begitu, ia memukul punggungku berkali-kali.

"Lain kali kalau kabur dari rumah, pilih tempat yang tidak bisa ditemukan oleh orang tuamu!"

"Bukan begitu! Ini bukan seperti yang kamu pikirkan ...."

Jadi sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan orang di sini. Apa mungkin ia sebenarnya membenciku? Hei, aku sudah menawarinya pertolongan!

Ia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke arahku, lalu berjalan menuju peron yang terhubung ke jalur Kudari. Ternyata arah pulangnya berlawanan denganku. Aku merasa sedikit lega, namun di saat bersamaan juga sedikit menyayangkannya.

Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang menandakan kedatangan kereta. Musik yang sangat kukenal — <Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'>[7] gubahan Mozart.

"Ah ...."

Lampu bohlam di kepalaku tiba-tiba menyala. Aku ingat! Aku ingat siapa dirinya. Benar, bukankah pak polisi tadi bilang kalau marganya Ebisawa?

"Ebisawa ... Mafuyu?"

Ia sudah hampir dua langkah naik ke tangga, namun ia begitu tekejut hingga terdiam di tempat. Saat ia menoleh, wajahnya sudah memerah, dan kedua matanya terlihat bagai langit kelam berawan yang seolah segera menumpahkan hujan lebat.

Pantas saja ia tidak terasa asing bagiku — aku pernah melihatnya di sampul CD maupun di TV sebelum ini. Ia merupakan pemain piano berbakat yang menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano Internasional yang dihelat di Eropa Timur saat masih berumur dua belas tahun. Penampilan perdananya kala itu juga mendapat tepuk tangan dari semua yang hadir. Ebisawa Mafuyu.

Gadis misterius ini telah merilis sejumlah album mulai dua setengah tahun lalu, namun ia menghilang dari dunia permusikan saat menginjak umur lima belas.

Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di depanku, memegang pagar pengaman dengan ekspresi hampir menangis.

"... kamu ... tahu siapa aku ...?"

Suaranya yang tergagap nyaris tenggelam oleh suara di persimpangan jalur kereta, namun tetap kuanggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu identitasnya, bahkan aku bisa mengingat semua judul lagu yang dirilis olehnya.

"Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD-mu, dan ...."

"Lupakan semuanya!"

"Eh?"

"Pokoknya, lupakan semuanya!"

Aku ingin mengatakan sesuatu, namun aku cuma bisa menatapnya berlari menaiki tangga, rambutnya yang merah tua terkibar di belakangnya. Tepat saat itu, suara *ding ding ding* yang merupakan tanda diturunkannya pembatas rel di persimpangan mulai terdengar di telingaku. Sejenak, aku cuma bisa berdiri terdiam dalam keadaan linglung.

"—Hei!"

Sebuah suara terdengar di sampingku. Aku menoleh, dan melihat sebuah siluet putih dari peron yang berlawanan. Kami bertukar pandang sejenak, lalu ia, Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan melemparkan sesuatu padaku.

Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati jalur kereta. Kuangkat tangan ini dan berusaha menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan tanganku lalu jatuh dekat kakiku. Ternyata itu sekaleng cola.

Sebuah kereta kemudian melaju di antara kami.

Ia lalu masuk ke dalam, dan kereta itu meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup, meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng cola itu menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur kereta, tapi segera kuambil sebelum terlambat. Masih terasa dingin, mungkin ia membelinya dari mesin penjual otomatis di sana. Apa jangan-jangan ia membelikanku cola ini sebagai semacam tanda terima kasih?

Ebisawa Mafuyu.

Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu saja bukan aku yang membelinya. Semuanya diberikan pada ayahku secara gratis, karena beliau seorang kritikus musik. Setiap bulan koleksi musiknya bertambah sekitar beberapa ratus keping, tapi karya milik Ebisawa merupakan satu-satunya yang tidak pernah membuatku bosan saat mendengarkannya. Bahkan, urutan lagunya pun meninggalkan kesan yang dalam padaku. Kunikmati saat-saat menelusuri kilasan yang tidak disengaja dari ritme hangat di tengah melodinya yang jelas, mantap, dan tidak bernyawa itu.

Lalu kuingat kembali lagu yang dimainkannya saat di tempat pembuangan, harusnya lagu itu tidak ada di dalam CD-nya, 'kan? Jika lagu itu pernah kudengar dari CD, sudah pasti aku mengingatnya.

Sebenarnya apa yang sudah ia hadapi dan temui selama ini?

Ia bukan seseorang yang memainkan lagu segalau itu.

Kata-katanya terus terngiang di telingaku, Pokoknya, lupakan semuanya!

Kuambil kaleng cola itu, lalu duduk di bangku. Konserto piano yang membuat penasaran juga suara Ebisawa itu terus bergema di kepala hingga keretaku tiba.

Itulah yang terjadi padaku saat libur musim semi sebelum mulai masuk SMA, sebuah kebetulan yang sulit dipercaya.

Sesampainya di rumah, aku terus mengulang <Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'> yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat mendengarkannya, aku jadi teringat kembali kejadian saat itu, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menganggap semua itu hanyalah mimpi. Sebab tidak mungkin rongsokan-rongsokan itu bisa beresonansi dengan sebuah piano, dan tidak mungkin pula benda-benda itu mengeluarkan suara layaknya sebuah orkestra.

Satu-satunya hal yang bisa membuktikan kalau semua itu nyata adalah cola yang ia berikan padaku, yang kemudian menyembur mengenaiku saat kubuka tutupnya. Ya ampun, minuman berkarbonisasi itu benar-benar tidak boleh dikocok maupun dilempar. Seusai kulap lantai ini dengan kain sampai bersih, rasanya seolah sisa-sisa kepekaanku terhadap dunia juga ikut lenyap.

Meski ia menyuruhku untuk melupakan semuanya, tanpa disuruh pun pasti akan kulupakan. Aku ini orang yang sibuk, bahkan aku tidak bisa mengingat mimpi-mimpi yang kualami kemarin lusa.

Pada saat itu, jelas aku tidak menyangka bakal bertemu Mafuyu kembali di situasi semacam tadi.



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Konserto adalah karya musik untuk alat musik tunggal atau lebih dengan iringan orkestra.
  2. Musik mars atau lagu mars adalah komposisi musik dengan irama teratur dan kuat. Musik jenis ini secara khusus diciptakan untuk meningkatkan keteraturan dalam berbaris sebuah kelompok besar, terutama barisan tentara, dan paling sering dimainkan oleh korps musik militer.
  3. Allegro adalah istilah yang digunakan ketika tempo dimainkan dengan riang, tetapi sering dipraktekan sebagai tempo cepat.
  4. Adagio adalah istilah yang digunakan ketika tempo dimainkan dengan santai dan pelan
  5. Cadenza adalah pemeragaan kemahiran teknik improvisasi oleh solois pada bagian akhir musik.
  6. Ensembel musik merupakan kumpulan yang terdiri atas dua atau lebih musisi yang memainkan alat musik ataupun bernyanyi.
  7. Yaitu komposisi yang digubah oleh Mozart yang berisi dua belas variasi lagu tradisional Negara Perancis, 'Ah! vous dirai-je, Maman'. Melodi lagu ini juga digunakan pada lagu anak-anak contohnya, 'Twinkle Twinkle Little Star' dan 'Alphabet Song'.
Mundur ke Ilustrasi Novel Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2