Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 2"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
m (terakhir edit dah)
 
(8 intermediate revisions by 2 users not shown)
Line 1: Line 1:
  +
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
===Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlupakan===
 
  +
== '''Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlupakan''' ==
Di dunia ini ada semacam hubungan, tipe yang tidak mengenakkan, dan itulah macam hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena rumah kami dekat satu sama lain, tidak aneh kalau kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD sampai SMP. Akan tetapi, kami berada di kelas yang sama selama sembilan tahun berturut-turut, dan kami bahkan masuk ke SMA yang sama. Mungkin ada yang akan bilang karena kepandaian kami kurang lebih sama, tapi masalahnya adalah kami berdua sama-sama berada di kelas ketiga di tahun pertama. Apa yang bisa kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami begitu dalam.
 
   
“Bukankah ini hebat? Aku payah dalam Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa mencontek Nao. Nao tidak begitu bagus dalam olahraga, sedangkan aku hebat. Ayo saling bantu mulai sekarang.” Tidak lama sesudah akhir upacara pembukaan, Chiaku mengatakan hal itu sambil menepuk pundakku dengan suara *papapa*, di kelas kami yang masih berbaun lilin. Kau hebat dalam olahraga, tapi bagamana kau akan membantuku dalam hal itu?
 
   
  +
Di dunia ini terdapat sebuah jenis hubungan, yaitu tipe yang tidak mengenakkan. Dan begitulah jenis hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena rumah kami saling berdekatan, tidak heran kalau kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMP. Meski begitu, kami berada di kelas yang sama selama sembilan tahun berturut-turut, bahkan kami pun sekolah di SMA yang sama. Mungkin bakal ada yang bilang kalau itu karena kepandaian kami yang tidak berbeda jauh, tapi masalahnya adalah, kami berdua sama-sama berada di kelas 1-3. Tidak ada yang bisa kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami memang begitu dalam.
“Dia hebat loh. Kau bisa melihat segunung CD saat membuka pintu rumahnya, dan mereka akan jatuh menimpamu.”
 
   
  +
"Bukankah ini hebat? Aku payah dalam Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa mencontek Nao. Nao sendiri tidak begitu pandai dalam Olahraga, Sedangkan aku jago dalam Olahraga. Mulai sekarang, ayo kita saling bantu," tidak lama setelah berakhirnya upacara pembukaan, Chiaki mengatakan hal itu sambil menepuk pundakku diselingi suara ''*papapa*'' dari kelas kami yang masih berbaun lilin. Ia memang jago dalam Olahraga, tapi bagaimana caranya ia membantuku dalam pelajaran itu?
“Wow, kok bisa begitu? Apa rumahnya toko musik atau semacamnya?”
 
   
  +
"Anak ini hebat, lo. Kamu bisa melihat kumpulan CD yang menggunung saat membuka pintu rumahnya, dan semuanya akan jatuh berserakan."
“Kok kamu pernah ke rumahnya?”
 
   
  +
"Wah, kok bisa begitu? Memangnya rumahnya itu semacam toko musik, ya?"
Menggunakkanku sebagai batu pijakkan, Chiaki dengan cepat membaur dengan teman-teman cewek di kelas kami yang baru dia temui belum lama ini. Dia dan aku adalah satu-satunya murid SMP kami yang masuk SMA ini, jadi tidak ada satu orang pun yang kami kenal. Kemampuan adaptasinya sangat menakutkan.
 
   
  +
"Lalu kenapa kamu bisa ada di rumahnya?"
“Hey, apa hubunganmu dengan gadis itu?”
 
   
  +
Dengan menggunakanku sebagai batu pijakkan, Chiaki begitu cepat membaur dengan para perempuan di kelas kami yang baru ditemuinya belum lama ini. Kami berdua adalah satu-satunya murid lulusan SMP kami terdahulu yang diterima di sekolah ini, itu sebabnya tidak ada satu anak pun yang kami kenal di sini. Kemampuan adaptasinya memang mengerikan.
Seorang anak laki-laki yang agak tertarik mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya dengan berbisik.
 
   
  +
"Hei, apa hubunganmu dengan perempuan itu?"
“Eh? Ah, bukan apa-apa, kami cuma satu SMP.”
 
   
  +
Seorang anak lelaki yang agak tertarik mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya sambil berbisik.
“Tapi bukannya kau membantunya mengikat dasinya saat upacara pembukaan?” Seorang cowok lain tiba-tiba bertanya dari belakangku, dan membuat wajahku mnghijau karena terkejut. Mereka lihat?
 
   
  +
"Hah? Ah, bukan apa-apa, kami dulu cuma satu SMP."
“Urm...... Yah, itu karena......”
 
   
  +
"Tapi, bukankah saat upacara pembukaan tadi kamu membantu mengikatkan dasinya?" anak lelaki lain tiba-tiba bertanya dari belakangku, sampai membuat wajahku memucat karena kaget. Jadi mereka sempat melihatnya, ya?
“Benarkah!? Sialan! Apa kalian berdua pasangan suami istri!?”
 
   
  +
"Eng ..., yah, itu karena ...."
“Bukannya itu kebalikan dari yang biasanya? Seharusnya yang cewek yang membantu si cowok!” Mereka menggunakan situasi yang sulit dijelaskan semacam itu sebagai topik pembicaraan. Sial, aku kesal pada Chiaki karenanya. Aku sudah mengajarinya berkali-kali – setidaknya ingat bagaimana mengikat dasimu sendiri!
 
   
  +
"Benarkah?! Sialan! Jadi kalian berdua itu suami istri?!"
“Apa kalian pernah berpacaran di SMP?”
 
   
  +
"Bukankah hal itu terbalik? Harusnya si perempuan yang bantu si laki-laki!" mereka menggunakan situasi yang sulit dijelaskan itu sebagai topik pembicaraan. Sial, gara-gara itu aku jadi kesal pada Chiaki. Aku sudah mengajarinya berkali-kali — setidaknya ingatlah bagaimana cara mengikat dasi sendiri!
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menyangkalnya, dan semua cowok di sekitarku menghembuskan nafas lega. Mereka menarikku menjauh dari para gadis, dan kelompok kami bergeser ke pojok kelas. Mereka mulai berbicara dengan berbisik.
 
   
  +
"Apa waktu SMP dulu kalian pernah pacaran?"
“Aihara Chiaki salah satu ‘barang’ bagus di kelas kita! Hebatkan!”
 
   
  +
Kugelengkan kepala berkali-kali untuk menyangkalnya. Semua anak lelaki di sekelilingku pun menghela napas lega. Mereka menarikku menjauh dari para perempuan, dan kelompok kami pun bergeser ke pojok kelas. Mereka mulai bisik-bisik bicara.
“Awalnya kupikir aku suka gadis berambut panjang, tapi sekarang aku sadar kalau aku salah.”
 
   
  +
"Aihara Chiaki adalah salah satu ''barang bagus'' di kelas kita! Itu hal yang luar biasa."
Aku mendengarkan penilaian para cowok dengan ekspresi tercengang, lalu melihat ke profil Chiaki, yang masih duduk di meja dan bercakap dengan sisi lain kelas. Gaya rambutnya dulu sangat pendek, dan dibelah tengah, yang membuatnya terlihat sangat sengit. Tetapi sejak dia meninggalkan klubnya saat di kelas tiga, dia mulai memanjangkan rambutnya. Sekarang, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan semakin feminim. Tapi tunggu, masalahnya adalah...... “Gadis itu punya tempramen buruk, dan juga pemula dalam Judo. Bukankah kupikir lebih baik kalau kalian menjauh darinya?”
 
   
  +
"Awalnya kupikir kalau aku suka gadis berambut panjang, tapi kini aku sadar ternyata itu salah."
“Dia di Klub Judo? Apa sebaiknya aku juga bergabung?”
 
   
  +
Dengan ekspresi tercengang, kudengarkan penilaian dari para anak lelaki itu. Dan kulihat kembali diri Chiaki yang masih duduk di atas meja sambil berbincang di sisi lain ruang kelas. Gaya rambutnya dulu sangat pendek dan dibelah tengah, hingga membuatnya tampak begitu garang. Tetapi sejak ia meninggalkan klubnya saat musim gugur di tahun ketiga kami SMP, ia mulai memanjangkan rambutnya. Kini, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan semakin feminin. Tapi tunggu, masalahnya adalah ....
“Apa kita punya Klub Judo di sini?”
 
   
  +
"Gadis itu punya temperamen buruk layaknya seorang pemula dalam bela diri Judo. Bukankah kalian sebaiknya berpikir untuk menjaga jarak darinya?"
“Meskipun begitu, sebagian besar Klub Judo memisahkan cowok dan cewek.”
 
   
  +
"Ia masuk ke Klub Judo? Aku ikut gabung saja enggak, ya?"
“Kenapa harus dipisah? Mereka seharusnya mengijinkan semuanya berlatih ne-waza bersama!” (ne-waza: teknik Judo. Semacam kuncian sambil/dengan menjatuhkan lawan. Imagine!~)
 
   
  +
"Memangnya di sekolah ini ada Klub Judo?"
Bisakah kalian mendengarkan kata-kata orang lain?
 
   
  +
"Biar begitu, sebagian besar Klub Judo memisahkan anak lelaki dengan anak perempuan."
Tapi karena dia mengalami cedera akhir tahun lalu, dia sudah tidak berlatih Judo. Hampir bersamaan dengan dipastikannya kami diterima di SMA, untuk suatu alasan yang tidak kuketahui, dia mulai berlatih drum. Tapi sekali lagi, dulu dia tidak punya minat pada musik, dan dia mungkin tidak mulai bermain drum sendiri kan? Sedangkan untuk alasannya menjadi seorang drummer, inilah yang Chiaki katakan padaku—
 
   
  +
"Kenapa harus dipisah? Harusnya mereka memperbolehkan semuanya berlatih ''ne-waza''<ref>Ne-waza: teknik Judo. Semacam kuncian sambil/dengan menjatuhkan lawan. Imagine!~</ref> bersama!"
“Kembali saat awal tahun, saat dokter bilang aku tidak bisa lagi bermain Judo, aku meminum bir sedikit karena putus asa......” Kau masih di bawah umur, jangan minum bir! “Saat aku jatuh tertidur dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam mimpiku.”
 
   
  +
Mereka ini dengar enggak, sih?
Bonzo adalah drummer dari Led Zeppelin, dan dia mati kehabisan nafas karena dia menghirup muntahannya sendiri dalam keadaan mabuk. Kedengarannya tidak terlalu bagus. Dia tidak mungkin melihat arwahnya saat dalam keadaan hampir mati kan?
 
   
  +
Namun karena tahun lalu punggungnya terus-menerus dilanda cedera, maka ia tidak pernah lagi berlatih Judo. Di saat yang hampir bersamaan ketika kami diterima masuk SMA, tanpa alasan yang jelas, ia mulai berlatih bermain drum. Padahal, dulu ia tidak pernah punya minat pada musik. Tidak mungkin ia mulai berlatih bermain drum karena keinginannya sendiri, ya 'kan? Sedangkan alasan kenapa ia mau menjadi seorang penabuh drum, inilah yang Chiaki katakan padaku—
“Dan dia bilang padaku, ‘Yang tersisa untukmu tinggal drum’. Karena Bonzo mengatakan hal itu padaku, aku tidak punya pilihan selain melakukannya kan?”
 
   
  +
"Di awal tahun kemarin, saat dokter bilang kalau aku tidak boleh lagi berlatih Judo, kuminum beberapa gelas saké karena putus asa ...," anak di bawah umur belum boleh meminum saké! "Saat aku jatuh tertidur dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam mimpiku."
“Apa itu benar-benar Bonzo?”
 
   
  +
Bonzo adalah penabuh drum Led Zeppelin, dan ia mati kehabisan napas karena menghirup muntahannya sendiri dalam keadaan mabuk. Hal yang tidak begitu enak didengar. Lagi pula, Chiaki tidak mungkin bisa melihat arwah Bonzo dalam keadaan hampir mati, 'kan?
“Aku melihatnya melambaikan tangan terus-menerus padaku sambil berdiri di padang bunga di pinggir sungai. Tidak masalah, itu Bonzo. Bahasa Jepangnya sangat menakjubkan, meski dia berbicara dengan dialek Tsuguru.”
 
   
  +
"Lalu ia bilang padaku, ''Yang tersisa untukmu hanyalah drum''. Karena Bonzo yang bilang begitu, maka aku tidak punya pilihan selain melakukannya, ya 'kan?”
......Itu mungkin kakekmu, yang meninggal tahun lalu.
 
   
  +
"Apa itu benar-benar Bonzo?"
   
  +
"Aku melihatnya melambaikan tangan terus-menerus padaku sambil berdiri di padang bunga dekat tepian sungai. Itu memang Bonzo, kok. Bahasa Jepangnya sungguh mengesankan, meski ia berbicara dengan dialek Tsuguru."
Baru setelah memasukki SMA, aku tahu alasan sebenarnya Chiaki mulai bermain drum. Setiap hari sesudah pulang sekolah, dia terus-terusan menggangguku agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.
 
   
  +
... bisa jadi itu arwah kakeknya yang meninggal tahun lalu.
“Tapi Nao tidak punya keahlian selain musik kan? Jadi ayo bergabung saja.”
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
“Kau terlalu ikut campur. Ngomong-ngomong, apa itu Klub Rakyat apalah? Gak ada klub semacam itu kan?”
 
   
  +
Baru setelah memasuki SMA, akhirnya aku tahu alasan sebenarnya Chiaki mulai berlatih drum. Setiap hari sepulang sekolah, ia terus-menerus menggangguku agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.
Aku mencoba mengingat lembaran brosur pengenalan klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di gerbang sekolah untuk mendapatkan murid baru sebagai anggota mereka. Aku tidak ingat ada klub dengan nama serumit itu. Dan ngomong-ngomong soal musik, aku cuma lebih berwawasan dalam hal mendengarkan......
 
   
  +
"Nao tidak punya keahlian selain dalam bidang musik, 'kan? Jadi, gabung saja sama kami."
“Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya adalah rock! Kalau kami menyebutnya band rock secara langsung, para guru gak akan menerimanya; lagipula, dengan cuma Kagurazaka-senpai dan Aku, kami juga tidak akan diterima. Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!”
 
   
  +
"Kamu terlalu ikut campur. Lagi pula, Klub Riset-Was-Wes-Wos itu sebenarnya apa? Tidak ada klub semacam itu, 'kan?"
Jadi itu alasanmu memaksaku masuk klub huh......
 
   
  +
Aku coba mengingat lembaran brosur pengenalan klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di gerbang sekolah agar mendapat murid baru sebagai anggota klub mereka. Aku tidak melihat ada klub dengan nama serumit itu. Dan bicara soal musik, aku cuma orang yang punya wawasan dalam hal mendengarkan saja ....
“Berhenti membuatku masuk klub yang bahkan belum terbentuk! Terus siapa lagi itu Kagurazaka-senpai?”
 
   
  +
"Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya mengacu pada musik ''rock''! Kalau kami menyebut ''band rock'' secara terang-terangan, para guru tidak akan menerimanya; lagi pula, hanya dengan Kagurazaka-senpai dan aku saja, tidak mungkin kami akan diterima. Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!"
“Seseorang yang mengagumkan dan keren dari kelas pertama tahun kedua.”
 
   
  +
Rupanya itu alasan yang membuat ia mati-matian memaksaku untuk bergabung ....
Sesudah menanyainya dengan hati-hati, semua misteri akhirnya terungkap. Sepertinya dia bertemu dengan si Kagurazaka saat musim panas tahun lalu. Dia memasukki SMA ini melalui rekomendasi, dan alasannya mulai bermain drum, semua karena si Kagurazaka ini. Lelucon apa ini. Aku mengambil tasku dan berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami sudah memfokuskan perhatian mereka saat kami berbicara, dan rasanya memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, “Tunggu aku! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagipula kau tidak punya kegiatan lain kan?”
 
   
  +
"Berhenti memaksaku masuk ke klub yang bahkan belum terbentuk! Terus siapa lagi Kagurazaka-senpai itu?"
“Aku tidak akan bergabung dengan klub itu meski aku tidak punya kegiatan.”
 
   
  +
"Seseorang yang luar biasa dan keren dari kelas 2 - 1."
“Kenapa?”
 
   
  +
Seusai sesi tanya jawab tadi, semua teka-teki akhirnya terpecahkan. Tampaknya Chiaki bertemu dengan Si Kagurazaka itu saat musim panas tahun lalu. Rekomendasi yang membuat ia masuk ke SMA ini, juga alasan ia mulai bermain drum, itu semua karena Si Kagurazaka itu. Lelucon murahan. Kuambil tasku lalu berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami ternyata sudah memusatkan perhatian mereka selama kami berbicara tadi, dan itu rasanya sungguh memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, "Tunggu dulu! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagi pula, kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"
“Karena...... Lagipula aku tidak akan bertahan lama.”
 
   
  +
[[Image:SP1 0037.JPG|250px|thumbnail]]
Aku sebenarnya ingin bilang,”Aku diseret ke latihan Judo olehmu, dan menyerah dalam waktu yang singkat, dua minggu - kau seharusnya juga tahu itu.” Tapi, pada akhirnya aku tidak mengatakannya.
 
   
  +
"Aku tidak akan bergabung ke klub itu meski aku memang sedang tidak punya kerjaan."
“Benarkah? Terus apa rencanamu di SMA?”
 
   
  +
"Kenapa?"
Belajar – tapi tentu saja aku tidka bisa mengatakan hal jawaban yang tidak sungguh-sungguh tapi benar secara politik semacam itu.
 
   
  +
"Karena ... aku tidak akan bisa betah."
“Bukankah hidupmu membosankan kalau begitu?”
 
   
  +
Sebenarnya aku ingin bilang, ''Kamu pernah memaksaku untuk ikut pelatihan Judo, dan akhirnya aku menyerah dalam waktu singkat, sekitar dua minggu — harusnya kamu juga tahu itu.'' Tapi, pada akhirnya aku tidak pernah mengatakannya.
Jadi hidupmu sangat menarik huh?
 
   
  +
"Benarkah? Terus apa yang mau kamu lakukan di masa SMA-mu?"
“Kenapa kau peduli apa hidupku membosankan atau tidak?” Aku mengatakannya tanpa banyak berfikir, dan Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat Chiaki mengalihkan pandangannya dariku, dan menatap ke bawah sedikit. Apa yang terjadi sekarang?
 
   
  +
Belajar — tapi tentu saja aku tidak bisa membuat diriku berkata munafik selain memberi jawaban bernada politis semacam itu.
Chiaki berpaling, dan bertanya,”......Kaupikir apa alasanku?” Aku tidak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan itu.
 
   
  +
"Berarti hidupmu membosankan, dong?"
“Karena kau juga tidak punya kegiatan?”
 
   
  +
Jadi ia pikir, hidupnya itu menarik, begitu?
Tangan Chiaki menggapai kerah jaketku. Sebelum aku bisa berfikir, tubuhku sudah berputar di udara, dan punggungku membentur lantai koridor.
 
   
  +
"Untuk apa kamu peduli dengan bosan atau tidaknya hidupku?" aku mengatakannya dengan spontan, dan Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke belakang, kulihat Chiaki mengalihkan pandangannya dariku dan sedikit menundukkan kepalanya. Ada apa lagi sekarang?
“......Oww!” mataku dipenuhi bintang, dan untuk sesaat aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba berdiri dengan bertumpuan pada tembok dengan tanganku.
 
   
  +
Chiaki menolehkan wajahnya, lalu bertanya, "... kamu pikir untuk apa aku berbuat seperti ini?" aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.
“Berhenti menggunakan lemparan pundakmu seenaknya, OK!?”
 
   
  +
"Karena kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"
“Itu bukan lemparan pundak. Tadi itu bantingan tubuh.”
 
   
  +
Tangan Chiaki lalu menggapai kerah jaketku. Sebelum aku sempat berpikir, tubuhku sudah berputar di udara, kemudian punggungku membentur lantai lorong.
“Bukan itu masalahnya! Apa kau mencoba membunuhku!?”
 
   
  +
"... aduuuh!" mataku berkunang-kunang dan sesaat aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba berdiri dengan bertumpu pada tanganku yang menempel di tembok.
“I~diot!”
 
   
  +
"Jangan gunakan lemparan bahu seenakmu begitu, tahu?!"
Chiaki menginjak pahaku, berputar, lalu pergi. Apa maksudnya tadi itu!?
 
   
  +
"Itu bukan lemparan bahu. Yang tadi itu bantingan badan."
   
  +
"Bukan itu masalahnya! Kamu mau membunuhku, ya?!"
Alasanku tidak bergabung dengan klub adalah karena suatu alasan yang sangat negatif seperti “menganggap mereka semua merepotkan”. Akan tetapi, selain itu, ada alasan lain yang menurut pertimbanganku sesuatu yang positif – aku menemukan sesuatu yang bisa aku lakukan sesusai sekolah.
 
   
  +
"Bo-bodoh!"
Sesudah menatap Chiaki pergi, aku pergi ke lantai pertama, dan ke sebuah lapangan kecil sesudah berjalan keluar gerbang belakang sekolah. Di dekat pembakaran sampah berkarat yang tidak pernah dipakai untuk waktu yang lama, berdiri sebuah bangunan sempit. Bangunan itu berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari semen, mirip dengan toilet umum di taman. Di sisinya ada berberapa pintu. Karena tidak pernah digunakan siapapun untuk waktu yang lama, tembok dan pintu-pintunya tertutup debu, membuatnya cukup kotor. Sekolah swasta ini berkembang tanpa sebab atau alasan, dan ditambah lagi, jumlah murid yang masuk di sekolah ini terus menurun – semua hal ini menyebabkan peningkatan jumlah fasilitas dan ruang kosong yang tidak digunakan.
 
   
  +
Chiaki menginjak pahaku, berbalik, lalu pergi. Apa-apaan tadi itu?!
Pada hari ketiga di sekolah, aku menemukan kalau kita bisa memasuki sebuah ruangan di sisi kiri dari bangunan ini. Saat penjelajahan sekolahku, aku mencoba memutar pegangan pintu dan bersuara *kra kra* dan pintunya terbuka begitu saja. Kemudian aku menyadari kalau menekan pegangan pintu secara diagonal ke bawah kanan dan memutarnya 45 derajat, kuncinya akan terbuka.
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Di ruangan ini, ada sebuah rak besi tinggi, sebuah loker, dan meja belajar tua. Temboknya ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan banyak lubang bundar yang hampir sama. Dari tanda di lantai, bisa dilihat kalau tempat ini dulunya ruang piano. Dan sekarang satu-satunya yang bisa di sebut peralatan sekolah, adalah sistem audio mini yang terletak di samping meja.
 
   
  +
Alasanku tidak bergabung ke sebuah klub adalah karena suatu alasan yang sangat negatif seperti, ''Semua itu merepotkan''. Meski begitu, ada alasan lain di samping hal tersebut yang bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif — ada yang bisa kukerjakan seusai sekolah.
Sebenarnya, SMA ini sekolah almamater ayahku. Aku pernah dengar darinya, kalau sekolah ini dulunya punya klub musik, tapi dibubarkan tidak lama sesudah dia lulus. Dia sering berkata setengah bercanda,”Beberapa murid dimasaku memiliki kelakuan yang buruk, dan kemudian sekolah membubarkannya.” Terus, mungkin saja itu memang yang terjadi.
 
   
  +
Setelah menatap Chiaki yang pergi, aku turun ke lantai satu, lalu menuju sebuah lapangan kecil setelah berjalan keluar dari gerbang belakang sekolah. Di dekat pembakaran sampah yang sudah berkarat dan usang, berdiri sebuah gedung sempit. Gedung itu berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari semen, mirip dengan toilet umum di taman. Pada sisi-sisinya terdapat beberapa pintu. Karena sudah lama tidak ada yang pernah menggunakannya, tembok maupun pintu-pintunya telah diselimuti debu, yang membuatnya cukup kotor. Tanpa sebab atau alasan yang jelas, sekolah swasta ini semakin memperluas wilayahnya, ditambah lagi, jumlah murid yang masuk di sekolah ini semakin menurun — semua ini menyebabkan jumlah fasilitas maupun ruang kosong yang tidak digunakan semakin bertambah.
Ada keuntungan dari penyerap suara – aku bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini, dan mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau. Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti ada di sana memutar rekaman musik klasik keras-keras, membuatku tidak punya tempat menikmati musikku dengan tenang.
 
   
  +
Di hari ketiga aku bersekolah, kutahu kalau ruangan yang terletak di sisi kiri gedung ini ternyata bisa dimasuki. Selama penelusuranku di sekitar lingkungan sekolah, kucoba memutar gagang pintu ruangan itu. Sambil mengeluarkan bunyi ''*kra kra*'', pintu itu pun terbuka begitu saja. Kemudian, kusadari kalau menekan gagang pintu secara diagonal ke kanan bawah lalu memutarnya 45 derajat, kuncinya akan terbuka.
Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus, kedap suaranya tidak sempurna. Aku harus menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu sebelum aku bisa menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD pertama yang aku dengarkan adalah album live Bob Marley, dan membawaku ke mood reggae. Aku mungkin terpengaruh pada kata-kata Chiaki.
 
   
  +
Di dalamnya, terdapat sebuah rak besi tinggi, sebuah loker dan sebuah meja belajar tua. Temboknya ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan banyak lubang bundar yang ukurannya hampir sama. Dilihat dari tanda yang tertinggal di lantai, dapat diketahui kalau tempat ini dulunya ruang piano. Lalu kini, satu-satunya yang bisa disebut perlengkapan sekolah hanyalah sistem audio mini yang terletak di samping meja.
Bukankah hidupmu membosankan kalau begitu?
 
   
  +
Sebenarnya, SMA ini almamater ayahku. Aku pernah dengar dari beliau, kalau sekolah ini dulunya punya Klub Musik, tapi dibubarkan tidak lama setelah beliau lulus. Beliau sering bercerita dengan setengah bercanda, ''Murid-murid pada zaman Ayah dulu punya kelakuan yang buruk, itu sebabnya sekolah membubarkannya.'' Justru, mungkin memang seperti itulah yang terjadi.
Aku tidak pernah memikirkannya. Akan tetapi, cukup membuatku sakit kepala kalau hidupku dianggap membosankan hanya karena aku tidak bergabung dengan klub. Begini saja tidak apa-apa – kau bisa menganggapnya sebagai Klub Apresiasi Musik! Aku juga tidak membuat masalah untuk siapapun. Aku menggunakan ruangan ini tanpa ijin terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya tidak pernah digunakan untuk waktu yang lama, dan kenyataan kalau aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih – selama aku bisa memastikan kalau tidak ada siapapun di luar yang bisa mendengar musik yang sedang aku putar, seharusnya tidak apa-apa kan?
 
  +
  +
Ada keuntungan dari tembok penyerap suara — aku bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini dan mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau. Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti sudah memutar rekaman musik klasik keras-keras. Itulah yang membuatku tidak punya tempat untuk menikmati musikku ini dengan tenang.
  +
  +
Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus, kedap suaranya belumlah sempurna. Aku harus menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu sebelum menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD pertama yang kudengarkan adalah album rekaman konser Bob Marley, yang membawaku ke suasana reggae. Mungkin aku sudah terpengaruh oleh kata-kata Chiaki.
  +
  +
''Berarti hidupmu membosankan, dong?''
  +
  +
Padahal aku tidak pernah sekalipun memikirkannya. Yang ada, hal tersebut cukup membuatku sakit kepala. Dan hanya karena aku tidak bergabung ke sebuah klub, hidupku malah dianggap membosankan. Begini saja seharusnya tidak apa-apa — anggap saja kalau yang kulakukan ini kegiatan Klub Apresiasi Musik! Toh, aku juga tidak pernah merepotkan orang lain. Aku memang menggunakan ruangan ini tanpa izin terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya lama tidak pernah digunakan, ditambah fakta bahwa aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih — selama aku bisa memastikan kalau tidak ada orang luar yang bisa mendengar musik yang sedang kuputar, maka tidak jadi masalah, 'kan?
  +
  +
  +
<noinclude>
  +
  +
===Catatan Penerjemah===
  +
  +
<references/>
  +
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
  +
|-
  +
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 1|Bab 1]]
  +
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
  +
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 3|Bab 3]]
  +
|-
  +
|}
  +
</noinclude>

Latest revision as of 02:29, 27 October 2016

Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlupakan[edit]

Di dunia ini terdapat sebuah jenis hubungan, yaitu tipe yang tidak mengenakkan. Dan begitulah jenis hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena rumah kami saling berdekatan, tidak heran kalau kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMP. Meski begitu, kami berada di kelas yang sama selama sembilan tahun berturut-turut, bahkan kami pun sekolah di SMA yang sama. Mungkin bakal ada yang bilang kalau itu karena kepandaian kami yang tidak berbeda jauh, tapi masalahnya adalah, kami berdua sama-sama berada di kelas 1-3. Tidak ada yang bisa kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami memang begitu dalam.

"Bukankah ini hebat? Aku payah dalam Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa mencontek Nao. Nao sendiri tidak begitu pandai dalam Olahraga, Sedangkan aku jago dalam Olahraga. Mulai sekarang, ayo kita saling bantu," tidak lama setelah berakhirnya upacara pembukaan, Chiaki mengatakan hal itu sambil menepuk pundakku diselingi suara *papapa* dari kelas kami yang masih berbaun lilin. Ia memang jago dalam Olahraga, tapi bagaimana caranya ia membantuku dalam pelajaran itu?

"Anak ini hebat, lo. Kamu bisa melihat kumpulan CD yang menggunung saat membuka pintu rumahnya, dan semuanya akan jatuh berserakan."

"Wah, kok bisa begitu? Memangnya rumahnya itu semacam toko musik, ya?"

"Lalu kenapa kamu bisa ada di rumahnya?"

Dengan menggunakanku sebagai batu pijakkan, Chiaki begitu cepat membaur dengan para perempuan di kelas kami yang baru ditemuinya belum lama ini. Kami berdua adalah satu-satunya murid lulusan SMP kami terdahulu yang diterima di sekolah ini, itu sebabnya tidak ada satu anak pun yang kami kenal di sini. Kemampuan adaptasinya memang mengerikan.

"Hei, apa hubunganmu dengan perempuan itu?"

Seorang anak lelaki yang agak tertarik mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya sambil berbisik.

"Hah? Ah, bukan apa-apa, kami dulu cuma satu SMP."

"Tapi, bukankah saat upacara pembukaan tadi kamu membantu mengikatkan dasinya?" anak lelaki lain tiba-tiba bertanya dari belakangku, sampai membuat wajahku memucat karena kaget. Jadi mereka sempat melihatnya, ya?

"Eng ..., yah, itu karena ...."

"Benarkah?! Sialan! Jadi kalian berdua itu suami istri?!"

"Bukankah hal itu terbalik? Harusnya si perempuan yang bantu si laki-laki!" mereka menggunakan situasi yang sulit dijelaskan itu sebagai topik pembicaraan. Sial, gara-gara itu aku jadi kesal pada Chiaki. Aku sudah mengajarinya berkali-kali — setidaknya ingatlah bagaimana cara mengikat dasi sendiri!

"Apa waktu SMP dulu kalian pernah pacaran?"

Kugelengkan kepala berkali-kali untuk menyangkalnya. Semua anak lelaki di sekelilingku pun menghela napas lega. Mereka menarikku menjauh dari para perempuan, dan kelompok kami pun bergeser ke pojok kelas. Mereka mulai bisik-bisik bicara.

"Aihara Chiaki adalah salah satu barang bagus di kelas kita! Itu hal yang luar biasa."

"Awalnya kupikir kalau aku suka gadis berambut panjang, tapi kini aku sadar ternyata itu salah."

Dengan ekspresi tercengang, kudengarkan penilaian dari para anak lelaki itu. Dan kulihat kembali diri Chiaki yang masih duduk di atas meja sambil berbincang di sisi lain ruang kelas. Gaya rambutnya dulu sangat pendek dan dibelah tengah, hingga membuatnya tampak begitu garang. Tetapi sejak ia meninggalkan klubnya saat musim gugur di tahun ketiga kami SMP, ia mulai memanjangkan rambutnya. Kini, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan semakin feminin. Tapi tunggu, masalahnya adalah ....

"Gadis itu punya temperamen buruk layaknya seorang pemula dalam bela diri Judo. Bukankah kalian sebaiknya berpikir untuk menjaga jarak darinya?"

"Ia masuk ke Klub Judo? Aku ikut gabung saja enggak, ya?"

"Memangnya di sekolah ini ada Klub Judo?"

"Biar begitu, sebagian besar Klub Judo memisahkan anak lelaki dengan anak perempuan."

"Kenapa harus dipisah? Harusnya mereka memperbolehkan semuanya berlatih ne-waza[1] bersama!"

Mereka ini dengar enggak, sih?

Namun karena tahun lalu punggungnya terus-menerus dilanda cedera, maka ia tidak pernah lagi berlatih Judo. Di saat yang hampir bersamaan ketika kami diterima masuk SMA, tanpa alasan yang jelas, ia mulai berlatih bermain drum. Padahal, dulu ia tidak pernah punya minat pada musik. Tidak mungkin ia mulai berlatih bermain drum karena keinginannya sendiri, ya 'kan? Sedangkan alasan kenapa ia mau menjadi seorang penabuh drum, inilah yang Chiaki katakan padaku—

"Di awal tahun kemarin, saat dokter bilang kalau aku tidak boleh lagi berlatih Judo, kuminum beberapa gelas saké karena putus asa ...," anak di bawah umur belum boleh meminum saké! "Saat aku jatuh tertidur dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam mimpiku."

Bonzo adalah penabuh drum Led Zeppelin, dan ia mati kehabisan napas karena menghirup muntahannya sendiri dalam keadaan mabuk. Hal yang tidak begitu enak didengar. Lagi pula, Chiaki tidak mungkin bisa melihat arwah Bonzo dalam keadaan hampir mati, 'kan?

"Lalu ia bilang padaku, Yang tersisa untukmu hanyalah drum. Karena Bonzo yang bilang begitu, maka aku tidak punya pilihan selain melakukannya, ya 'kan?”

"Apa itu benar-benar Bonzo?"

"Aku melihatnya melambaikan tangan terus-menerus padaku sambil berdiri di padang bunga dekat tepian sungai. Itu memang Bonzo, kok. Bahasa Jepangnya sungguh mengesankan, meski ia berbicara dengan dialek Tsuguru."

... bisa jadi itu arwah kakeknya yang meninggal tahun lalu.

Baru setelah memasuki SMA, akhirnya aku tahu alasan sebenarnya Chiaki mulai berlatih drum. Setiap hari sepulang sekolah, ia terus-menerus menggangguku agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.

"Nao tidak punya keahlian selain dalam bidang musik, 'kan? Jadi, gabung saja sama kami."

"Kamu terlalu ikut campur. Lagi pula, Klub Riset-Was-Wes-Wos itu sebenarnya apa? Tidak ada klub semacam itu, 'kan?"

Aku coba mengingat lembaran brosur pengenalan klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di gerbang sekolah agar mendapat murid baru sebagai anggota klub mereka. Aku tidak melihat ada klub dengan nama serumit itu. Dan bicara soal musik, aku cuma orang yang punya wawasan dalam hal mendengarkan saja ....

"Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya mengacu pada musik rock! Kalau kami menyebut band rock secara terang-terangan, para guru tidak akan menerimanya; lagi pula, hanya dengan Kagurazaka-senpai dan aku saja, tidak mungkin kami akan diterima. Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!"

Rupanya itu alasan yang membuat ia mati-matian memaksaku untuk bergabung ....

"Berhenti memaksaku masuk ke klub yang bahkan belum terbentuk! Terus siapa lagi Kagurazaka-senpai itu?"

"Seseorang yang luar biasa dan keren dari kelas 2 - 1."

Seusai sesi tanya jawab tadi, semua teka-teki akhirnya terpecahkan. Tampaknya Chiaki bertemu dengan Si Kagurazaka itu saat musim panas tahun lalu. Rekomendasi yang membuat ia masuk ke SMA ini, juga alasan ia mulai bermain drum, itu semua karena Si Kagurazaka itu. Lelucon murahan. Kuambil tasku lalu berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami ternyata sudah memusatkan perhatian mereka selama kami berbicara tadi, dan itu rasanya sungguh memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, "Tunggu dulu! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagi pula, kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"

SP1 0037.JPG

"Aku tidak akan bergabung ke klub itu meski aku memang sedang tidak punya kerjaan."

"Kenapa?"

"Karena ... aku tidak akan bisa betah."

Sebenarnya aku ingin bilang, Kamu pernah memaksaku untuk ikut pelatihan Judo, dan akhirnya aku menyerah dalam waktu singkat, sekitar dua minggu — harusnya kamu juga tahu itu. Tapi, pada akhirnya aku tidak pernah mengatakannya.

"Benarkah? Terus apa yang mau kamu lakukan di masa SMA-mu?"

Belajar — tapi tentu saja aku tidak bisa membuat diriku berkata munafik selain memberi jawaban bernada politis semacam itu.

"Berarti hidupmu membosankan, dong?"

Jadi ia pikir, hidupnya itu menarik, begitu?

"Untuk apa kamu peduli dengan bosan atau tidaknya hidupku?" aku mengatakannya dengan spontan, dan Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke belakang, kulihat Chiaki mengalihkan pandangannya dariku dan sedikit menundukkan kepalanya. Ada apa lagi sekarang?

Chiaki menolehkan wajahnya, lalu bertanya, "... kamu pikir untuk apa aku berbuat seperti ini?" aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Karena kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"

Tangan Chiaki lalu menggapai kerah jaketku. Sebelum aku sempat berpikir, tubuhku sudah berputar di udara, kemudian punggungku membentur lantai lorong.

"... aduuuh!" mataku berkunang-kunang dan sesaat aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba berdiri dengan bertumpu pada tanganku yang menempel di tembok.

"Jangan gunakan lemparan bahu seenakmu begitu, tahu?!"

"Itu bukan lemparan bahu. Yang tadi itu bantingan badan."

"Bukan itu masalahnya! Kamu mau membunuhku, ya?!"

"Bo-bodoh!"

Chiaki menginjak pahaku, berbalik, lalu pergi. Apa-apaan tadi itu?!

Alasanku tidak bergabung ke sebuah klub adalah karena suatu alasan yang sangat negatif seperti, Semua itu merepotkan. Meski begitu, ada alasan lain di samping hal tersebut yang bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif — ada yang bisa kukerjakan seusai sekolah.

Setelah menatap Chiaki yang pergi, aku turun ke lantai satu, lalu menuju sebuah lapangan kecil setelah berjalan keluar dari gerbang belakang sekolah. Di dekat pembakaran sampah yang sudah berkarat dan usang, berdiri sebuah gedung sempit. Gedung itu berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari semen, mirip dengan toilet umum di taman. Pada sisi-sisinya terdapat beberapa pintu. Karena sudah lama tidak ada yang pernah menggunakannya, tembok maupun pintu-pintunya telah diselimuti debu, yang membuatnya cukup kotor. Tanpa sebab atau alasan yang jelas, sekolah swasta ini semakin memperluas wilayahnya, ditambah lagi, jumlah murid yang masuk di sekolah ini semakin menurun — semua ini menyebabkan jumlah fasilitas maupun ruang kosong yang tidak digunakan semakin bertambah.

Di hari ketiga aku bersekolah, kutahu kalau ruangan yang terletak di sisi kiri gedung ini ternyata bisa dimasuki. Selama penelusuranku di sekitar lingkungan sekolah, kucoba memutar gagang pintu ruangan itu. Sambil mengeluarkan bunyi *kra kra*, pintu itu pun terbuka begitu saja. Kemudian, kusadari kalau menekan gagang pintu secara diagonal ke kanan bawah lalu memutarnya 45 derajat, kuncinya akan terbuka.

Di dalamnya, terdapat sebuah rak besi tinggi, sebuah loker dan sebuah meja belajar tua. Temboknya ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan banyak lubang bundar yang ukurannya hampir sama. Dilihat dari tanda yang tertinggal di lantai, dapat diketahui kalau tempat ini dulunya ruang piano. Lalu kini, satu-satunya yang bisa disebut perlengkapan sekolah hanyalah sistem audio mini yang terletak di samping meja.

Sebenarnya, SMA ini almamater ayahku. Aku pernah dengar dari beliau, kalau sekolah ini dulunya punya Klub Musik, tapi dibubarkan tidak lama setelah beliau lulus. Beliau sering bercerita dengan setengah bercanda, Murid-murid pada zaman Ayah dulu punya kelakuan yang buruk, itu sebabnya sekolah membubarkannya. Justru, mungkin memang seperti itulah yang terjadi.

Ada keuntungan dari tembok penyerap suara — aku bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini dan mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau. Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti sudah memutar rekaman musik klasik keras-keras. Itulah yang membuatku tidak punya tempat untuk menikmati musikku ini dengan tenang.

Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus, kedap suaranya belumlah sempurna. Aku harus menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu sebelum menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD pertama yang kudengarkan adalah album rekaman konser Bob Marley, yang membawaku ke suasana reggae. Mungkin aku sudah terpengaruh oleh kata-kata Chiaki.

Berarti hidupmu membosankan, dong?

Padahal aku tidak pernah sekalipun memikirkannya. Yang ada, hal tersebut cukup membuatku sakit kepala. Dan hanya karena aku tidak bergabung ke sebuah klub, hidupku malah dianggap membosankan. Begini saja seharusnya tidak apa-apa — anggap saja kalau yang kulakukan ini kegiatan Klub Apresiasi Musik! Toh, aku juga tidak pernah merepotkan orang lain. Aku memang menggunakan ruangan ini tanpa izin terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya lama tidak pernah digunakan, ditambah fakta bahwa aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih — selama aku bisa memastikan kalau tidak ada orang luar yang bisa mendengar musik yang sedang kuputar, maka tidak jadi masalah, 'kan?



Catatan Penerjemah[edit]

  1. Ne-waza: teknik Judo. Semacam kuncian sambil/dengan menjatuhkan lawan. Imagine!~
Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3