Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume1 Bab6"
Masterdiki (talk | contribs) |
m (Format + added navigation bar) |
||
Line 41: | Line 41: | ||
“Mereka baru pergi! Dengan kuda! Kau tahu, aku tak bisa mengejar tanpa familiarmu? Tolonglah, paling tidak dengan itu!” Kirche mulai menangis. Tabitha akhirnya mengangguk. Jadi itu…kau perlu familiarku untuk mengejar. |
“Mereka baru pergi! Dengan kuda! Kau tahu, aku tak bisa mengejar tanpa familiarmu? Tolonglah, paling tidak dengan itu!” Kirche mulai menangis. Tabitha akhirnya mengangguk. Jadi itu…kau perlu familiarku untuk mengejar. |
||
− | + | “Oh, terima kasih…Jadi …Ayo buruan!” Tabitah mengangguk lagi. Kirche adalah temannya, dan dia tak bisa menolak untuk membantu temannya yang memiliki masalah yang tak bisa diatasi sendiri. Agak mengganggu sih, tapi dia tak punya pilihan. Dia membuka jendelanya, dan bersiul, Suara siulan bergema di langit biru untuk sesaat. Kemudian dia melompat keluar jendela. |
|
Mereka yang tak tahu bakal mikir itu aneh, jika tidak melarangnya. Meski begitu, Kirche mengikuti langkah Tabitha dan melompat keluar tanpa piker-pikir lagi. Sebagai catatan, kamar Tabitha ada di lantai limka. Dia lebih memilih melompat keluar dari jendela dibandingkan lewat pintu karena itu jauh lebih cepat baginya. |
Mereka yang tak tahu bakal mikir itu aneh, jika tidak melarangnya. Meski begitu, Kirche mengikuti langkah Tabitha dan melompat keluar tanpa piker-pikir lagi. Sebagai catatan, kamar Tabitha ada di lantai limka. Dia lebih memilih melompat keluar dari jendela dibandingkan lewat pintu karena itu jauh lebih cepat baginya. |
||
Line 59: | Line 59: | ||
Puas bahwa familiarnya melakukan tugasnya, Tabitha merebut kembali bukunya dari tangan Kirche, menyandarkan diri pada naganya, dan mulai membaca lagi. |
Puas bahwa familiarnya melakukan tugasnya, Tabitha merebut kembali bukunya dari tangan Kirche, menyandarkan diri pada naganya, dan mulai membaca lagi. |
||
− | * * * |
+ | <center>* * *</center> |
Sementara itu, Saito dan Louise berjalan santai di jalan kota Tristain, setelah mearkir kuda pinjaman dari sekolah di kandang kuda gerbang kota. |
Sementara itu, Saito dan Louise berjalan santai di jalan kota Tristain, setelah mearkir kuda pinjaman dari sekolah di kandang kuda gerbang kota. |
||
Line 106: | Line 106: | ||
“Apa yang tertulis di tanda berbentuk botol itu’ |
“Apa yang tertulis di tanda berbentuk botol itu’ |
||
− | + | “Brewery.” |
|
“Dan apa yang tertulis di tanda dengan silang yang besar itu?” |
“Dan apa yang tertulis di tanda dengan silang yang besar itu?” |
||
Line 144: | Line 144: | ||
“Ahh…seorang familiar yang bisa pedang, hah?” sang penjaga took berkata ddengan suara yang hidup, dan memandang Saito. “Aku percaya itu adalah dia yang disana?” |
“Ahh…seorang familiar yang bisa pedang, hah?” sang penjaga took berkata ddengan suara yang hidup, dan memandang Saito. “Aku percaya itu adalah dia yang disana?” |
||
− | + | Louise mengangguk. Pada saat ini, Saito telah tertarik dengan koleksi pedang toko yang melimpah, terkadang berteriak “Wah!” dan “ini keren banget!” |
|
Louise mengacuhkan Saito, dan melanjutkan,” Aku kurang tahu tentang pedang, jadi tunjukkanku apapun yang masuk akal.” |
Louise mengacuhkan Saito, dan melanjutkan,” Aku kurang tahu tentang pedang, jadi tunjukkanku apapun yang masuk akal.” |
||
Line 303: | Line 303: | ||
Kirche berpikir sebentar, lalu menggerakkan badannya pelan-pelan ke sang penjaga toko.”Boss…Bukankah ini sedikit mahal?” Dielus di lehernya, sang penjaga toko tiba-tiba kehilangan napasnya. Nafsunya merebak di kepalanya. |
Kirche berpikir sebentar, lalu menggerakkan badannya pelan-pelan ke sang penjaga toko.”Boss…Bukankah ini sedikit mahal?” Dielus di lehernya, sang penjaga toko tiba-tiba kehilangan napasnya. Nafsunya merebak di kepalanya. |
||
− | + | “Uh…tapi pedang hebat…” |
|
Kirche duduk di counter, mengangkat betis kirinya,”Bukankah harganya agak ketinggian?” Dia pelan-pelan mengangkat kaki kirinya pada counter.. Sang penjaga toko tak bisa menahan matanya untuk memandang pahanya. |
Kirche duduk di counter, mengangkat betis kirinya,”Bukankah harganya agak ketinggian?” Dia pelan-pelan mengangkat kaki kirinya pada counter.. Sang penjaga toko tak bisa menahan matanya untuk memandang pahanya. |
||
Line 338: | Line 338: | ||
Setelah beberapa saat, dia kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya, dan memegang kepalanya.”SIALAN! AKU JUAL DIA HANYA UNTUK 1000?!” Dia lalu mengambil sebotol liquor dari kabinetnya.”Ohh…aku dihabisi hari ini…” |
Setelah beberapa saat, dia kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya, dan memegang kepalanya.”SIALAN! AKU JUAL DIA HANYA UNTUK 1000?!” Dia lalu mengambil sebotol liquor dari kabinetnya.”Ohh…aku dihabisi hari ini…” |
||
+ | |||
+ | |||
+ | <noinclude> |
||
+ | {| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;" |
||
+ | |- |
||
+ | | [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab5|Kembali ke Bab 5]] |
||
+ | | [[Zero_no_Tsukaima|Kembali ke halaman pertama]] |
||
+ | | [[Zero_no_Tsukaima_~_Indonesian_Version:Volume1_Bab7|Maju ke Bab 7]] |
||
+ | |- |
||
+ | |} |
||
+ | </noinclude> |
Revision as of 23:00, 24 October 2009
Kirche bangun sebelum siang. Sekarang adalah hari Void. Dia melihat ke jendela, dan menemukan seluruh kacanya hilang, dengan tanda terbakar mengelilingi kerangkanya. Masih mengantuk, dia menatap jendela sesaat sebelum mengingat apa yang terjadi malam tadi.
"Yah...Ada banyak orang datang, dan kuterbangkan mereka keluar."
Dia berhenti memerhatikan jendelanya setelah itu. Dia bangkit dan mulai berdandan, sementara pikirannya bersemangat berpikir bagaimana dia harus menaklukkan Saito hari ini. Kirche adalah seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemburu.
Setelah beres, dia meninggalkan kamar dan mengetuk pintu Louise. Dia menopangkan dagunya pada satu tangan, menyembunyikan senyumnya. Saito akan membuka pintunya, dan aku akan langsung memeluk dan menciumnya. Oh...Apa ya yang akan dilakukan Louise bila dia melihat itu...Pikir Kirche.
Dan kemudian, tentu saja...Aku bisa mencoba meliriknya diluar kamar, dan mungkin dia bakal sendirian menghampiriku. Pikiran ditolak tak pernah terlintas di kepalanya.
Tapi, tiada jawaban setelah ketukannya. Dia mencoba membuka pintu tapi terkunci. Tanpa pikir dua kali, dia menggunakan mantra pelepas kuncian pada pintu Louise, dan dihadiahi sebuah klik. Sebenarnya, mantra pelepas kuncian dilarang di akademi, tapi Kirche tak ambil pusing.”Kehendak diatas segalanya” adalah aturan keluarganya.
Tapi kamar itu kosong. Keduanya tak ada.
Kirche melihat sekeliling kamar. “Tak berubah...kamar yang tawar.”
Tas Louise tak ada disana. Tambahan fakta bahwa Har Void berarti mereka pergi keluar entah kemana. Kirche melihat keluar jendela dan melihat dua orang di punggung kuda, siap pergi. mereka adalah Saito dan Louise.
“Apa? Pergi keluar, kah? gumam Kirche yang kecewa.
Setelah berpikir sebentar, dia cepat-cepat pergi meninggalkan kamar Louise.
Tabitha sedang di kamarnya, tenggelam dalam lautan bukunya. Di bawah rambut biru terang dan kacamatanya adalah mata biru terangnya yang bersinar bagai lautan. Tabitha terlihat 4 atau 5 tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Dia bahkan sedikit lebih pendek dari Louise yang sudah pendek, dan tubuhnya agak kurus. Meski begitu, dia tak peduli hal-hal seperti ini. Dia seorang gadis yang tak peduli apa yang dipikirkan orang tentangnya.
Tabitha menyukai Hari Void. Itu adalah waktu dia bisa tenggelam dalam dunia kesukaannya. Di matanya, orang lain adalah penyusup dalam dunia kecilnya, ini memberi perasaan melankolis padanya.
Belum lama berselang, ketukan keras menggoncang pintunya. Tanpa berdiri, Tabitha hanya mengambil dan mengayunkan tongkatnya, yang terlihat melebihi tingginya.. Dia mengeluarkan “Spell of Tranquility”, sebuah mantra jenis angin. Tabitha merupakan penyihir ahli angin. “Spell of Tranquility” secara mangkus menghalangi ketukan pintu yang mengganggu. Puas dengan itu, dia kembali membaca, ekspresinya tak berubah selama itu.
Kemudian seseorang membuka paksa pintu. Menyadari sang pengganggu, Yabitha menjauhkan pandangannya dari bukunya. Itu Kirche. Dia mulai mengobrolkan sesuatu, tapi karena sihir pesunyi, tiada kata yang sampai pada Tabitha.
Kirche mengambil Buku Tabitha, dan kemudian menggenggam bahu si pembaca untuk membuatnya memandangnya. Tabitha menatap Kirche dengan pandangan kosong, wajahnya tak terbaca. Namun, siapun bisa melihat dia memandang tak ramah. Tapi Kirche adalah teman Tabitha. Dia mungkin akan menerbangkan keluar orang lain dengan topan. Melihat tiada jalan lain, Tabitha membatalkan sihirnya. Bagaikan kunci yang terbuka, suara Kirche langsung deras keluar.”Tabitha! Bersiaplah, Kita akan pergi!”
Tabitha hanya dengan lembut berkata,”Hari Void>” Penjelasan itu cukup bagi Tabitha, yang ingin mengambil bukunya kembali dari genggaman Kirche. Kirche bangkit dan mengangkat buku itu tinggi-tinggi, perbedaan tinggi mereka menghalangi Tabitha dari bukunya.
“Ya, aku tahu seberapa pentingnya Hari Void bagimu, aku benar-benar mengerti. Tapi sekarang bukan waktunya untuk pembicaraan ini! Aku jatuh cinta! Ini Cinta! Apa kau mengerti sekarang?” Dia tidak, dan emnggelengkan kepalanya. Kirche terbawa emosinya, tapi Tabitha pemikir yang tenang dan dingin. Hanya Tuhan yang tahu mengapa dua orang yang begitu bertolak belakang bisa menjadi sahabat yang baik.
“Benar...kau takkan bergerak hingga aku menjelaskannya.Ya ampun...AKU JATUH CINTA! Tapi dia Pergi dengan Louise si penganggu itu hari ini! Aku ingin mengejarnya. Dan mencari tahu kemana mereka pergi! Kau mengerti sekarang?” Tabitha tetap tak mengerti, karena dia tetap tak tahu mengapa itu harus diurusinya.
“Mereka baru pergi! Dengan kuda! Kau tahu, aku tak bisa mengejar tanpa familiarmu? Tolonglah, paling tidak dengan itu!” Kirche mulai menangis. Tabitha akhirnya mengangguk. Jadi itu…kau perlu familiarku untuk mengejar.
“Oh, terima kasih…Jadi …Ayo buruan!” Tabitah mengangguk lagi. Kirche adalah temannya, dan dia tak bisa menolak untuk membantu temannya yang memiliki masalah yang tak bisa diatasi sendiri. Agak mengganggu sih, tapi dia tak punya pilihan. Dia membuka jendelanya, dan bersiul, Suara siulan bergema di langit biru untuk sesaat. Kemudian dia melompat keluar jendela.
Mereka yang tak tahu bakal mikir itu aneh, jika tidak melarangnya. Meski begitu, Kirche mengikuti langkah Tabitha dan melompat keluar tanpa piker-pikir lagi. Sebagai catatan, kamar Tabitha ada di lantai limka. Dia lebih memilih melompat keluar dari jendela dibandingkan lewat pintu karena itu jauh lebih cepat baginya.
Sayap nan tangguh dan kuat menibak udara. Kemudian, seekor naga angin terbang ke udara dan menerima kedua penumpangnya.
“Sylphidmu tetap mengagumkan tak peduli sesering apa kumelihatnya!” Kirche menyentuh bagian punggung yang menonjol dan mendesah dalam kekaguman. Ya, benar…familiar Tabitha adalah bayi naga angin.
Sang naga, yang dinamai "Fairies of the Air" oleh Tabitha, secara sempurna dan meyakinkan menangkap aliran keatas disekitar menara, dan mencapai 200 mail di udara dalam sekejap.
“Kemana?” Tabitha menanyai Kirche, datar.
Kirche langsung berteriak,”Ku tak tahu…aku lagi panik.”
Tabitha tak ambil pusing dan memerintahkan naga anginnya,”dua orang dengan kuda.Jangan dimakan.” Naganya berkoar pendek tanda mengerti. Sisik birunya berkilau, dan sayapnya mengepak kuat di udara. Ia terbang tinggi di udara, melihat ke bawah untuk mencari seekor kuda; sebuah tugas mudah bagi naga angin.
Puas bahwa familiarnya melakukan tugasnya, Tabitha merebut kembali bukunya dari tangan Kirche, menyandarkan diri pada naganya, dan mulai membaca lagi.
Sementara itu, Saito dan Louise berjalan santai di jalan kota Tristain, setelah mearkir kuda pinjaman dari sekolah di kandang kuda gerbang kota.
Pinggang saito nyeri dan kaku, ini kali pertama dia naik kuda sih.”Pinggangku sakit…” Saito melenguh sambil berjalan pelan.
Louise menatap Saito dan cemberut.”Kau tak berguna. Kau bahkan tak pernah naik kuda sebelumnya? Jelata memang…” “Dan kau sangat mengganggu. Kita sudah diatasnya tiga jam penuh.” “Memangnya kita bisa jalan kaki kesini?”
Meski nyeri, Saito dengan penasaran melihat sekelilingnya. Jalan batu cobble putih…rasanya seperti taman bermain disini. Dibandingkan dengan akademi, ada lebih banyak orang dengan kenampakan biasa disini. Di sisi jalan pedagang menjual buah dan daging.
Cinta saito pada tempat eksotis tiba-tiba bangkit. Tapi ini merupakan dunia yang aneh. Ada orang yang jalan satai dan ada pula yang berlari terburu-buru. Lelaki dan perempuan dari segala usia berjalan di jalan. Ini tak beda dengan dunia Saito, meski jalannya sedikit lebih sempit.
“Sedikit padat dsini…”
“Padat? Ini merupakan jalan yang lebar tahu.”
“Hanya segini?” bahkan lebarnya kurang dari 5 meter. Dengan begitu banyak orang, setiap langkah trasa sempit. ‘Bourdonné Street, jalan terlebar Tristain. Istana tinggal lurus saja.” Louise menunjuk.
“Ke istana kalau begitu.”
“Apa urusannya kita mengunjungi Yang Mulia Ratu?”
“Aku ingin memintanya meningkatkan porsi makananku.”
Louise tertawa.
Jalan-jalan dipenuhi took-toko. Saito, dengan penuh rasa kepenasaran, tak bisa melepaskan matanya. Saat dia melihat pada katak berbentuk aneh dalam botol di tikar pedagang, Louise menarik dengan menjewernya.”Hey, jangan berjalan di sudut. Ada banyak copet dan pencuri disana. Kau menjaga dompetku dalam jaketmu kan?”
Louise bilang dompet adalah untuk dibawa pelayan, dan tanpa ampun memberikan tugas itu pada Saito. Dompetnya penuh terisi koin emas.
“Iya…Iya…Dengan sangat hati-hati. Bagaimana bisa orang mencuri sesuatu yang begitu berat?”
“dengan sihir, itu bisa dilakukan dalam sedetik.”
Tapi tidak ada seorangpun disekitar yang terlihat seperti penyihir. Saito belajar untuk membedakan antara jelata dan penyihir di akademi. Penyihir selalu berjubah, dan terlihat sangat arogan ketika berjalan. Berdasarkan perkataan Louise, itu adalah sikap berjalan ningrat.
“Bukankah mereka semua jelata?”
“Tentu saja, tapi tidak semua penyihir ningrat. Jika dengan alasan tertentu seorang ningrat keluar dari keluarganya, membuang nama keluarganya atas keinginannya sendiri, diturunkan statusnya menjadi tentara bayaran atau penjahat…Hey! Apa kau mendengar?”
Saito mengacuhkannya. Dia terlalu terpaku dengan tanda-tanda jalan.
“Apa yang tertulis di tanda berbentuk botol itu’
“Brewery.”
“Dan apa yang tertulis di tanda dengan silang yang besar itu?”
“Itu pusat perekrutan penjaga.”
Saito berhnti pada tiap tanda yang memiliki arti, dan Louise harus menarik pergelangannya setiap waktu.
“OK., ok, aku mengerti, kau tak harus buru-buru seperti itu. Diamana took Blacksmith?”
“Di sini. Mereka tak hanya menjual pedang.”
Louise berjalan masuk jalan yang lebih sempit. Bau menyengat, dari kumpulan sampah dan yang kotor-kotor di lantai, menyerang hidung mereka.
“Benar-benar kotor disini.”
“Kubilang kan ningrat tak sering-sering kesini.”
Pada persimpangan keempat, Louise berhnti dan memperhatikan sekelilingnya.
“Seharusnya dekat Toko Potion Peyman…Aku ingat ia disekitaran sini…”
Dia melihat tanda perunggu dan berteriak gembira.”Ah! Ketemu juga!”
Sebuah tanda berbetuk pedang tergantung dibawahnya. Sepertinya inilah Toko persenjataan. Dinding dan raknya terisi senjata yang berantakan. Sbuah Baju besi nan detil menghiasi ruangan. Seorang tua dalam 50-nya dan merokok dengan pipa memandang Louise curiga. Itu, hingga ia melihat pentagram pada kancing emasnya. Dia melepaskan pipanya dan mengatakan,:Hai putrid! Putri bangsawan ku! Seluruh barangku disini asli dan harganya tepat! Tiada kejahatan disini!”
“Aku akan menjadi pelangganmu.”
“Oh…itu agak aneh…seorang ningrat membeli sebuah pedang! Agak mengherankan.”
“Mengapa begitu?”
“Ya…pendeta mengayunkan tongkat suci, prajurit mengayunkan pedang, dan ningrat mengayunkan tongkat sihir. Bukankah itu aturannya?”
“Oh, bukan aku yang akan menggunakannya, tapi familiarku.”
“Ahh…seorang familiar yang bisa pedang, hah?” sang penjaga took berkata ddengan suara yang hidup, dan memandang Saito. “Aku percaya itu adalah dia yang disana?”
Louise mengangguk. Pada saat ini, Saito telah tertarik dengan koleksi pedang toko yang melimpah, terkadang berteriak “Wah!” dan “ini keren banget!”
Louise mengacuhkan Saito, dan melanjutkan,” Aku kurang tahu tentang pedang, jadi tunjukkanku apapun yang masuk akal.” Sang penjaga toko dengan ringannya memasuki bengkelnya, diam-diam ttersenyum.”Oh, ini terlalu untuk nyata…Aku bisa menaikkan harga tinggi-tinggi dengan ini…”Sesaaat kemudian, dia kembali dengan pedang panjang sekira satu mail.Ia merupakan pedang yang terhias indah. Ia terlihat bisa diayunkan dengan satu lengan. Bahkan ada pelindung tangan di pegangan pendeknya.
Sang penjaga tolo berkata seakan dia baru saja memikirkan sesuatu,” Pikir-pikir, sepertinya para ningrat mulai suka membolehkan pelayan mereka berpedang akhir-akhir ini. Terakhir kali mereka kesini untuk mengambil satu, mereka mengambil yang ini.”
Ooh…Sebuah pedang berkilau dan berkilat.Sangat cocok untuk seorang ningrat, piker Louise.
“Apa itu trendnya?”Tanya louise. Si penjaga toko mengangguk secara alami.
“Ya benar. Sepertinya ada peningkatan pencurian di jalan kota tristain akhir-akhir ini…”
‘Pencurian?”
“Ya. Beberapa pencuri penyihir yang memanggil dirinya “‘Fouquet the Crumbling Dirt,” dan aku dengar dia mencuri banyak harta dari para ningrat. Para ingrate itu mencak-mencak, jadi mereka mempersenjatai pelayan mereka dengan pedang.”
Louise tak tertarik dengan pencuri dan fokus pada pedangnya. Sepertinya ia akan patah dalam sekejap. Saito memakai pedang yang jauh lebih besar dulu.
“Sebaiknya lebih besar dan lebar.”
“Nona, tolong maafkan diriku – pedang dan orang memiliki kecocokan, seperti lelaki dan peperempuan. Dari yang kulihat, pedang ini sangat cocok sekali untuk familiar nona ningrat.
“Tidakkah aku mengatakan aku ingin yang lebih besar dan lebar?”kata Louise, merendahkan kepalanya tak sabar. Sang penjaga toko masuk lagi, , sambil ingat untuk diam-diam menggerutu,”Oh, si latmen…”Setelah berapa saat, dia kembali, dengan satu tangan menggosok barang baru dengan kain berminyak.
“Bagaimana dengan yang ini?” Ia merupakan pedang besar yang bagus sekir 1,5 mail. Pegangannya dibuat untuk dua tangan dan dihiasi permata-permata. Bilah pedang yang bagai kaca memantulkan cahaya dengan sinar yang tak tertndingi. Siapapun bisa melihat dan mengatakan ia bilah yang lebar dan sangat tajam.“Ini yang terbaik dari yang kumiliki. Daripda mengatakan ini untuk para ningrat, ia lebih seperti sesuatu yang ingin dipakai para ningrat di pinggang, tapi itu hanyalah untuk orang kuat. Jika tidak, menyandangnya di punggung tak buruk juga.”
Saito mendekat, matanya menatap pedang itu.’Keren, Pedang ini terlihat begitu perkasa.” Saito langsung menginginkannya. Ia merupakan pedang yang luarbiasa tak peduli bagaimanapun dia melihatnya. Aku pikir ini yang terbaik…piker Louise, melihat kegirangan Saito.
“Berapa?”Tanyanya.
“Yah…Ia dibuat alkemis terkenal Germania Lord Shupei. Ia bisa memotong menembus logam bagaikan mentega karena sihir disuntikkan padanya! Lihat tanda disini?” Sang penjaga toko dengan bangga menunjuk kata-kata di pegangannya. “Kau tak bisa mendapatkannya lebih murah di tempat lain.”
“Yah…aku kan ningrat.” Louise mengangkat kepalanya tinggi.
Saat itu, sang penjaga toko terang-terangan member harga,”itu hanya 3000 koin emas baru.”
“Apa?! Kau bisa beli rumah liburan lengkap dengan tamannya dengan itu! Kata Louise, terkejut. Saito, yanbg tak tahu bagaiaman harga uang disini, berdiri saja.
“Sebuah pedang terkenal memang seharga satu benteng, Nona. Sebuah rumah liburan murah bila dibandingkan dengan ini.” “…Aku hanya bawa 100 koin emas baru…”.Louise, sebagai ningrat, hanya punya sedikit keahlian menawar, dan membuat tabu memberikan detil isi dompetnya. Sang penjaga toko melambaikan tangannya tak acuh. “Ayolah…bahkan pedang panjang standar pun sekurang-kurangnya 200 koin emas baru.” Muka Louise berubah merah…Aku bahkan ga tahu pedang segitu mahalnya.
“Apa…kita ga bisa beli ini?” kata Saito dengan nada kecewa.
“Ya…harus ke yang lebioh murah euy.”
“Bangsawan selalu arogan, dan sekarang…”keluh Saito. Pada titik ini, Louise menatapnya tajam.
“Apa kau tahu seberapa mahal ramuan, karena seseorang mendapati dirinya terluka parah?”
“Maaf,” Saito menundukkan kepalanya dalam malu. Dia masih dengan enggan mengelus pedang itu.”Tapi aku benar-benar suka pedang ini…”
Pada saat itu, sebuah suara lelaki nan berat terdengar dari tumpukan pedang yang berantakan,”Jangan bangga duylu, bocah.”
Louise dan Saito mencari sumber suara. Sang penjaga toko memegang kepalanya sesaat.
“Mengapa kau tak berkaca pada dirimus sendiri?Kau? Menyandang pedang itu? Jangan buatku tertawa. Kau hanya pantas untuk tongkat!”
“Apa kau bilang?” saito tak menerima penghinaan itu dengan ramah, tapi tiada apapun di arah suara yang bisa jadi sasaran.Hanya tumpukan pedang.
“Jika kau mengerti, pulanglah.Ya,Kau! Si gadis ningrat yang disitu!”
“Kasar sekali kau!”
Saito pelan-pelan menghampiri sumber suara.”Apa…tidak ada siapapun disini.”
“Apa matamu Cuma hiasan?”
Saito melihat kebelakang. Apa? Rupanya pedanglah sumber suaranya. Suara itu datang dari pedang yang sudah rusak dan berkarat.”Pedang berbicara!” klaim Saito.
Sang penjaga toko tiba-tiba berteriak marah.”Derf! Jangan berkata tak sopan pada pelanggan!”
“Derf?”Saito dengan hati-hati memeriksa pedang tersebut. Panjangnya sama dengan pedang panjang tadi, meski bilahnya kurang lebar. Ia tipis, meski permukaannya dilapisi karat, dan siapapun tak bisa mengatakannya dibuat dengan baik. “Pelanggan? Pelanggan yang tak bisa menyandang pedang?kau pasti bercanda.”
Apa mungkin…ini pedang sentient?” Tanya Louise,
“Ya, benar, Nona. Ia pedang sentient, magis dan pintar. Aku membayangkan siapa penyihir yang membuat pedang bicara…tapi lidahnya busuk, dan selalu berdebat dengan para pelangganku..Hei, Derf! Teruskan itu dan kuminta ningrat disini melelehkanmu!”
“Terdengar bagus bagiku! Aku ingin melihat kau mencobanya! Aku agaknya lelah dengan dunia ini. Rasanya senang sekali dilelehkan!”
“Bagus! Ku akan melelehkanmu!” Sang penjaga toko menghampiri, tapi Saito menghentikannya.
‘Itu sangat disayangkan…bukankah pedang yang berbicara agak penting?” Saito menatapnya ”Kau Derf, kan?”
“Salah besar! Derflinger-sama! Ingat itu!”
“Sama kaya orang, ia bahkan punya nama beneran.” Gumam Saito.
“Namaku Hiraga Saito.Senang bertemu denganmu.”
Sang pedang diam, dan tampaknya meneliti Saito, setelah berapa lama, ia angkat bidara, pelan. ”Jadi kau datang…kau seorang pemakai?”
“Pemakai?”
“Hmm…kau bahkan ga tahu kekuatanmu yang sebenarnya, huh? Ya sudahlah! Beli aku, teman!”
“Baiklah, aku membelimu,”kata Saito. Si pednag diam lagi.
“Louise, aku ambil ini.”
Louise dengan enggan berkata,”oh…kau menginginkannya? Kau tak bisa ambil yang lebih baik yang tak bicara?”
“Kau juga tak menyukainya? Kupikir pedang berbicara keren juga.”
“Makanya aku ga suka.” Keluh Louise. Tapi dia tak cukup untuk mendapatkan yang lain, jadi dia menanyai penjaga toko,”Itu berapa?”
“Eh…100-lah.”
“Bukannya itu kemurahan?”
“Untuk yang itu? Biar saja itu diambil murah.” Dia mengibaskan tangannya tak acuh.
Saito mengambil dompet Louise dari kantung jaketnya, dan menumpahkan isinya ke counter. Satu per satu, koin-koin emas berjatuhan pada permukaan kayunya. Setelah menghitungnya dengan hati-hati, sang penjaga toko akhirnya mengangguk.”Terima kasih atas kepercayaannya!” kata sang penjaga toko sambil menyarungkan pedang itu dan memberikannya pada Saito.”Jika ia berisik, asah saja di batu asah, dan ia bakal diam.”
Saito mengangguk dan menerima Derflinger.
Dua orang menonton Louise dan saito meninggalkan toko senjata—Kirche dan Tabitha. Kirche melihat keduanya dari baying-bayang jalan, dan dengan gemas menggigit bibirnya.”Louise si Zero…mencoba menghangatkan hubungan mu dengan Saito dengan sebuah pedang, huh? Menyerang dengan hadiah cepat-cepat setelah tahu dia mangsaku? Apaan tuh? ”Kirche menginjak tanah, marah. Tabitha, yang tugasnya sudah selesai, ayik dengan bukunya kaya biasa. Sylphid berputar-putar di angkasa di atas mereka. Mereka telah membuntuti keduanya segera setelah menemukan mereka.
Kirche menunggu hingga mereka sudah jauh, dan langsung berlari masuk toko senjata. Sang penjaga toko menatap Kirche, sepertinya terkejut tak percaya.”Wow…ningrat lain? Apa sih yang terjadi hari ini?”
“Hei bos disana…” Kirche memainkan rambutnya, dan memasang senyum manis di bibirnya. Wajah sang penjaga toko berupah merah padam dibawah godaan yang tiba-tiba ini.
“Apa kau tahu apa yang dibeli ningrat tadi?”
“Sebuah pedang…dia membeli sebuah pedang.”
“Oo…Jadi dia mendapatkannya sebuah pedang…pedang macam apa?”
“Yang kotor dan berkarat.”
“Berkarat? Mengapa?”
“Karena uangnya tak cukup.”
Kirche tertawa, tangannya di dagu. ‘Dia bangkrut! Vallière! Rumahmu bakal nagis untuk ini!”
“Uh…apa nona hendak membeli pedang juga?” Sang penjaga toko bergairah, tak hendak melepaskan kesempatan. Bangsawan ini terliahat kaya dan penuh terisi dibandingkan yang kecil itu.
“Hmm…Tunjukkan yang terbaik darimu.”
Dia lalu masuk kedalam, menggosok tangannya dalam kegembiraan. Dia kembali, tentu saja, dengan pedang panjang yang ditunjukkannya pada Saito tadi.
“Ahh..sebuah pedang yang dibuat dengan luar biasa!”
“Kau punya pandangan yang bagus. Pelayan bangsawan tadi benar-benar menginginkan yang ini, tapi kemahalan buat mereka.”
“Begitukah?” Pelayan bangsawan? Jadi Saito pengen ini toh!
“Tentu saja…Pedang ini dibuat alkemis terkenal Germania Lord Shupei. Ia bisa membelah melalui logam bagai mentega karena sihir disuntikkan kedalamnya! Lihat tanda disini?” Sang penjaga toko mengulang apa yang dikatakannya sebelumnya.
Kirche mengangguk.”Berapa?”
Sang penjaga toko menginginkan lebih karena Kirche tyerlihat lebih kaya,”Hmm…Untuk koin emas baru, 4500.” “Hmm…itu sangat berharga rupanya.” Kata Kirche masam.
“Yah…Pedang hebat perlu dibayar untuk kegunaannya, kan?”
Kirche berpikir sebentar, lalu menggerakkan badannya pelan-pelan ke sang penjaga toko.”Boss…Bukankah ini sedikit mahal?” Dielus di lehernya, sang penjaga toko tiba-tiba kehilangan napasnya. Nafsunya merebak di kepalanya. “Uh…tapi pedang hebat…”
Kirche duduk di counter, mengangkat betis kirinya,”Bukankah harganya agak ketinggian?” Dia pelan-pelan mengangkat kaki kirinya pada counter.. Sang penjaga toko tak bisa menahan matanya untuk memandang pahanya. “I-itu benar, 4000 emas baru kalau begitu…”
Kirche mengangkat pahanya lebih jauh sehingga dia hamper bisa melihat apa yang ada di antaranya. “Ah, tidak-tidak, 3000 juga bisalah…”
“Sepertinya mulai panas disini…” Kirche mengacuhkannya, hanya membuka kancing kemejanya.”Aku merasa benar-benar panas disini. Tolong bantu melepaskan kemejaku, aku mohon…” Dia melemparkan ekspresinya yang paling menggoda pada sang penjaga toko.
“Ah…salah,salah… harganya 2500!”
Kirche melepaskan satu kancing, dan memandang penjaga toko.
“!800! 1800 jadilah!”
Sebuah kancing lain dilepas dan memperlihatkan belahannya Kirche memandangnya lagi.
“Hey, 1600 sajalah!”
Kirche menghentikan aksi kancingnya dan beralih pada roknya, mengangkatnya sedikit. Sang penjaga toko terlihat tak bisa menahan dirinya lagi.
“Bagaimana kalau 1000?” usulnya, dan pelan-pelan mengangkat roknya lebih tinggi. Sang penjaga terlihat ngos-ngosan dan siap meledak.
Kemudian Kirche berhenti. Napas cepat penjaga toko berubah jadi desahan yang menyedihkan.
“Oh…ohhhhh…”
Kirche meluruskan dirinya, dan menanyakan lagi,”1000.’
“Oh! 1000 bisa!”
Kirche turun dari counter, cepat-cepat menulis cek, dan membantingnya ke counter. ”Terbeli!” Dia kemudian mengambil pedang itu dan meninggalkan toko, meninggalkan penjaga toko untuk menatap ceknya.
Setelah beberapa saat, dia kemudian mendapatkan kembali akal sehatnya, dan memegang kepalanya.”SIALAN! AKU JUAL DIA HANYA UNTUK 1000?!” Dia lalu mengambil sebotol liquor dari kabinetnya.”Ohh…aku dihabisi hari ini…”
Kembali ke Bab 5 | Kembali ke halaman pertama | Maju ke Bab 7 |