Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab2"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 593: Line 593:
   
 
setiap tahun dibagi dalam tiga kelas, yang merupakan nama 3 santo legendaris, Suen, Iyer and Seger. Kirche dan tabitha di Suen, Louise di Iyer, sementara Guiche dan Montmorency di Seger.
 
setiap tahun dibagi dalam tiga kelas, yang merupakan nama 3 santo legendaris, Suen, Iyer and Seger. Kirche dan tabitha di Suen, Louise di Iyer, sementara Guiche dan Montmorency di Seger.
  +
  +
Setelah meninggalkan kejutan besar di upacara masuk, Kirche diabaikan oleh gadis-gadis lain di kelasnya. Daya tarik liar gadis Germania, dengan dada aduhainya, membuat hormon di udara tak bisa disumbat. dalam sekejap, semua lelaki di kelas telah doimilikinya. ini membuat gadis-gadis Tristain, yang sangat terkenal karena sifat irinya, terbakar dengki.Kepribadiannya adalah salah satu alasan mengapa dia tak disukai. Bahkan di Germania, Tanah Api itu sendiri, Kirche didiamkan karena arogansinya. Kepribadiannya hanya memperparah perasaan orang-orang Tristain, yang menyembah kehati-hatian sebagai keagungan, dengan cara yang salah. Dalam jangka waktu yang begitu pendek, dia sudah menggoda tiga pemuda. Ada dua alasan. Pertama, ketiga dari mereka adalah yang lebih tampan di kelas. Kedua, dan yang lebih penting...Dia begitu bosan.Pertama, pandangan menggoda dilemparkan ketika di aula. Kedua, membusungkan dadanya ketika berpura-pura tersandung. Ketiga, menyilangkan kakinya di hadapan mereka.hanya dengan itu, ketiganya sudah meminta Kirche untuk bersama mereka. Kirche menerima permintaan mereka meski dia menerima panggilan secara bersamaan. Dia pergi bersama ketiganya tanpa menyembunyikan apapun, sehingga ketiganya segera terlibat dalam pertarungan.Di akhir dari pertarungan tersebut, lelaki ketiga muncul sebagai pemenang. Tepat ketika dia akan menghadiahi dirinya sendiri dengan akhirnya mendapatkan Kirche hanya untuk dirinya, Kirche menemukan yang keempat.Gadis-gadis yang tertarik dengan pemuda-pemuda ini membentuk sebuah aliansi untuk berunding dengan Kirche. Kirche, yang barus saja menemukan yang ke-5 dan ke-6, dan sekali lagi men-tiga, meng-huh-kan saja usaha gadis-gadis malang tersebut."tak tahukah kapan kau harus berhenti? Berapa banyak lelaki yang kau inginkan sebelum kau bahagia?""Siapa tahu, aku tak tahu."Kata Kirche sambil duduk di kursi dan memoles kukunya."jangan berpura-pura!"" Aku tak melakukan apapun. Mereka menemukanku atas usaha mereka sendiri, berkata 'Kirche, ingin datang ke kamarku untuk minum," atau 'aku telah menuliskan sebuah puisi, ingin mendengarnya,' yah seperti itulah."kata Kirche, meniru para pemuda."Selalu seperti itu, aku cukup kesal juga, jadi aku harus menerimanya, dalam bahasa kalian 'Oui'. Apa aku mengejanya dengan benar?"Sikapnya membuat dengki para gadis langsung meroket ke tingkat yang baru."Dengar. Ini Tristain, diaman kami menghargai adat dan tradisi, tak seperti negara barbarmu. bahkan dalam cinta ada cara-cara yang patut, Seorang gadis desa nan abai yang bahkan tak tahu itu seharusnya pulang saja!""Jika kau benar-benar perhatian tentang cintamu, mengapa tak menguncinya di kamarmu?""Apa katamu?""Aku hanya bingung. Jika kau punya waktu untuk mengiri, mengapa tak membujuknya untuk tinggal? Jika kau menyukainya kau seharusnya memujinya sedikit. Yang kalian semua tahu hanyalah bagaimana memasang wajah marah, kalian bahkan tak tahu bagaimana mengatakan hal-hal yang membuat pria bahagia, kan?""Itu tugas pria!""Kalau aku sih tak begitu, jika aku menginginkan seseorang, aku akan memujinya sebanyak mungkin, kalau tidak, aku akan menjadi sangat sedih.""Jangan memeprlakukan kami seperti orang tolol!""bagaimanapun, kalian semua bisa tenang. Meski aku mengikuti filosofi "Lakukan apapun untuk mendapatkan apa yang kumau," Aku takkan pernah mengambil apa yang paling penting bagi seseorang."Pembohong! Bukankah kau mencoba menggenggam para pacar kami dengan tangan kotormu?"Kirche memutar pandangannya perlahan pada gadis-gadis yang mengelilinginya."Bagi kalian, itu bukan hal paling penting, kan?""Apa katamu?""Jika ia merupakan hal yang begitu penting, kalian takkan membentuk sebuah tim untuk berunding denganku. kalian akan menggulingkan kepalaku dari bahu dari dulu, atau apakah aku salah?"para gadis yang iri tak bisa berkata apa-apa."...Er...""Aku belum ingin mati. Makanya aku takkan mengambil apa yang paling berharga dari seseorang."Para gadis telah dipukul oleh sikap Kirche dan mulai saling memandang satu sama lain.Dengan itu, pacar Kirche terus bertambah, tapi dia tak bisa membuat satu jalinan pertemanan. Namun Tabitha juga tak lebih baik.Tabitha jarang berbicara pada siapapun. Entah itu waktu istirahat atau makan siang, kelas dimulai atau berakhir, bahkan dalam asrama atau tempat-tempat ramai. Dia tak mengatakan apapun pada siapapun. Pendiam, dengan wajah pencemas dunia pada mukanya...hanya membaca. Tak peduli siapapun yang mencoba bicara kepadanya, Tabitha mengabaikan mereka. Tak hanya mengabaikan, dia bahkan tampak mengabaikan keberadaan mereka.karena ini, Tabitha menjadibahan ejekan. Untuk alasan tertentu, dia menolak memberitahu nama belakangnya, jadi muncul isu-isu bahwa dia seorang penjahat.Saat dimana dia benar-benar membakar kedengkian seluruh kelas adalah pada saat kelas pertama mereka.Tabitha, yang dikira sebagai kutu buku biasa, ternyata adalah seorang Penyihir "Angin" jagoan. Ini baru diketahui saat pelajaran sihir "Angin" pertama.pak Quito adalah penanggung jawab kelas 'Angin". kata-kata pertama dari mulutnya adalah,"Siswa-siswa tahun ini begitu menyedihkan."Ketaksenangan langsung terpancar dari wajah para siswa, yang berkumpul di Lapangan Pusat."Melihat rekaman sekolah kalian, hampir semuanya adalah penyihir "Titik", hanya sedikit yang "garis". bahkan tiada yang "segitiga". Ada apa ini?"Titik dan segitiga mengacu pada jumlah elemen yang bisa dipakai. 'Titik' berarti satu elemen, 'garis' berarti dia bisa memadukan dua. Meskipun ia merupakan elemen yang sama, selama ia bisa dipakai, sebuah mantra kuat dapat tercipta."Aku mutlak tak punya harapan untuk kalian semua, tapi ini perkerjaanku, jadi kuteruskan."Setelah Pak Quito selesai berbicara dengan nada rendah, kelas dimulai. Kemampuan dasar "Angin" adalah "terbang" dan "melayang".namun...Tabitha mulai menunjukkan kemampuannya mulai saat itu.dia adalah yang pertama terbang begitu tinggi menggunakan mantra "terbang". Meski untuk menghindari perhatian, dia sengaja tak menggunakan seluruh kekuatannya. Pak Quito rada bingung."Untuk seorang penyihir 'titik', itu cukup bagus."karena tak mengetahui kemampuan Tabitha yang sebenarnya, tak salah bila dia mengatakan itu.Untuk alasan-alasan tertentu, satu-satunya yang tahu kekuatan tabitha yang sebenarnya adalah Kepsek Osman. Terlebih lagi Pak Quito belum melihat rekaman siswa-siswa pertukaran."Tak peduli bagaimanapun juga, kalian semua kalah dari gadis termuda di kelas. tidakkah kalian malu?"karena perkataan Pak Quito itu, seluruh kelas mulai marah.Saat istirahat setelah makan siang, seorang lelaki meminta Tabitha untuk berlatih dengannya.latihan seperti ini pada dasarnya sama dengan bertarung. Karena ini Latihan, tiada kemungkinan untuk kehilangan nyawa, setidaknya tidak pada masa ini. Di masa lalu, tersiar kabar bahwa memberikan lawanmu coup de grace adalah cara ningrat, tapi masa para pahlawan ini sudah menghilang menjadi sejarah. Metode modern adalah dengan menggunakan mantra-mantra dengan ancaman nyawa yang kecilm dan sekali seseorang terluka, pemenangnya sudah diputuskan. Meski ada kejadian dimana ada jari yang patah, ini lebih aman daripada mempertaruhkan nyawa, mencuri tongkat lawan merupakan cara paling elegan untuk menang.Pemuda yang menantang tabitha bernama de Lorraine. terlahir di keluarga yang terkenal dengan sihir "Anginnya". dia merupakan salah satu dari penyihir 'garis' elit angkatan mereka.Dia menyimpan dendam karena dikalahkan di "terbang" oleh seseorang tak dikenal seperti tabitha. Dia suka menyombongkan diri bahwa tiada yang bisa bertanding dengannya dalam sihir "angin", dan ingin mendapatkan kesempatan untuk membalas tabitha.Sambil berjalan menuju tabitha yang tengah membaca di Lapangan pusat, dia mendeklarasikan perang,"Nona, aku menginginkan instruksimu dalam sihir 'Angin'."Ketika tabitha tak menjawab apapun, de Lorraine mulai marah."melanjutkan membaca saat seseorang menantangmu, apa itu tidak keterlaluan?"Tabitha tetap tak menjawab. Perkataan de Lorraine melewaqti telinganya, tak terdengar, seakan ia hanya suara hembusan angin.

Revision as of 08:35, 14 April 2011

Bagian 1

Yap, ini adalah Akademi Sihir Tristain. Liburan musim panas baru saja dimulai dan di dalam asrama, dua ningrat tengah menghabiskan waktu.

Mereka adalah Kirche si "Ardent" dan Tabitha si "Badai salju". Kirche tengah malas-malasan berbaring di kasur Tabitha dengan pose yang sangat tak sopan. Dia melepas seluruh kancing bajunya dan tengah mengipasi dada montoknya dengan tangan. Kirche memang menyukai panas tapi tak tahan hangat.

Dia tak bisa mengendalikan panas yang mendidih di ruang yang dipanggang matahari.

"Hei Tabitha, bisakah kau menghembuskan angin untukku?"

Tabitha mengayunkan tongkat panjangnya tanpa menoleh dari buku.

"Berikan yang dingin. Yang bisa dinginnya menembus tulang, tepat seperti nama keduamu."

Sebagaimana diharapkan, ada es dalam anginnya. Angin bersalju itu langsung mendinginkan badan Kirche.

"Ahh-, rasanya enak."

Sambil minum dalam angin dingin Tabitha, Kirche membuka kemejanya. dia menyilangkan kakinya dalam sikap yang takkan pernah dilihat lusinan teman lelakinya yang menyembahnya bagaikan seorang dewi.

Dia menerawang ke arah Tabitha yang dari tadi membaca buku. Tabitha tak berkeringat setetes pun, seolah-olah menyatu sempurna dengan bukunya. "Mungkin nama keduanya 'Badai Salju' mendinginkan badan dan juga pikirannya," gumam Kirche.

"Hei "Badai salju"? Kau benar-benar suka membaca buku ya? Seperti protestan saja. Apa itu buku Protestan terkenal yang berjudul "Doktrin Praktis"?

"Doktrin praktis" merupakan kitab yang dibaca oleh sekte protestan, yang merupakan kitab tafsir dari "Buku Doa Sang Pendiri", yang merekam amal dan ajaran Sang Pendiri, Brimir.

Meski setiap versi "Buku Doa Sang Pendiri" mengklaim sebagai sebagai versi yang asli, isi mereka agak berbeda. Terlebih lagi, ada teori bahwa "Buku Doa Sang Pendiri" ditulis ratusan tahun setelah kejatuhan Brimir Sang Pendiri. "Buku Doa Sang Pendiri" yang telah diwariskan turun temurun oleh keluarga kerajaan Tristain bahkan tak ada tulisannya. Karenanya, banyak teologiawan menafsirkannya dengan cara yang begitu kabur sehingga meningkatkan kekuatan politik gereja Halkegenia dan mereka sendiri. Badan praktisi utama dari "Doktrin Praktis" dimulai di pusat agama negara Romania dan dibangun para jelata yang ingin mereformasi gereja-gereja korup yang mengeksploitasi masyarakat. Kejadian ini segera menginternasional.

Ia menyebar dari para jelata da petani-petani, mereka melucuti kekuasaan dan tanah dari para pendeta, tapi tiada yang tahu
jika perbuatan dan penafsiran mereka benar. Yang tahu jawabannya mungkin hanya Brimir Sang Pendiri sendiri.

Tabitha menutup bukunya dan menunjukkan judulnya pada Kirche. Itu bukan buku agama, hanya sebuah buku penelitian seihir kuno.

"Hanya membaca." kata Tabitha.

"Aku tahu. Bagaimanapun juga, kau tak mungkin seorang protestan. Ahh, hari ini benar-benar panas. SANGAT PANAS. Itulah mengapa aku mengundangmu untuk pergi ke Germania denganku. Disana jauh lebih sejuk.

Tabitha membuka kembali bukunya dan melanjutkan membaca. Kirche, yang tahu situasi keluarga Tabitha, memutuskan mengundangnya ke Keluarga Zerbst, tapi Tabitha menolak pergi. Tanpa pilihan lain, Kirche memutuskan untuk menemani Tabitha di Akademi. dia tak bisa meninggalkan Tabitha sendiri.

"Mungkin cuma kita yang tinggal di sauna ini."

Kirche berpikir untuk mandi di lapangan. Karena seluruh guru dan murid pergi dan pulang ke rumah, harusnya tiada bahaya para pengintip. tapi lalu...

Sebuah jeritan terdengar dari lantai bawah. Kirche dan Tabitha bertukar pandang secara kilat. Kirche segera mengenakan kemejanya dan meloncat keluar dari kamar dengan tongkat di tangan. Tabitha segera mengikuti di belakangnya.

Dalam sebuah kamar di lantai bawah, sebuah pasangan lain tengah bertengkar.

"Apa yang kau pikirkan?!"

"Um, aku...aku pikir kini panas, dan aku hanya coba membantu!"

Pertengkaran terjadi antara Guicje dan Montmorency. Mengapa pasangan ini tak meninggalkan asrama untuk liburan musim panas?

"Oh, begitu. jadi itu maksudmu! 'Ayo buat ramuan sama-sama' pantatmu! Aku seharusnya tak mendengarkan ocehanmu soal mampu membuat Ramuan terlarang apapun yang kaumau. Apa sih maumu?"

"Itu tujuanku! Aku tak berdusta!"

"Kau berpikiran yang tidak-tidak karena tidak ada orang, kan? Maaf saja, tapi aku takkan memberimu sejaripun hingga aku kawin!"

Guiche menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan mendekat."

"Aku bersumpah, aku pegang kata-kataku."

Guiche menaruh tangannya di dada. "Aku bersumpah demi Tuhan dan sang Pendiri bahwa aku, Guiche de Gramont tak melepas kancing Montmorency yang tengah tidur karena maksud kotor, melainkan karena benar-benar berpikir dia terlihat demam. Kau berkeringat begitu banyak sehingga aku khawatir kau akan dididihkan hingga mati."

"Benarkah?" tanya Montmorency yang memandangnya ragu.

"Demi Tuhan." jawab Guiche khidmat.

"...kau ga kan melakukan yang aneh-aneh?"

"Tidak, takkan pernah terpikir untuk itu."

Setelah berfikir sesaat, Montmorency mengangkat roknya dan menunjukkan celana dalamnya sekilas. Karena Guiche menerjangnya seketika, dia berteriak sekeras-kerasnya. "Oh Tuhan! Pendusta! Dia seorang pendusta!"

"Putih! Putih! Ia benar-benar putih!"

"Jangan! Hentikan! Mohon Hentikan!"

Setelah geje beberapa saat, pintu terbuka dengan sebuah dak. Kirche dan Tabitha masuk dan mata mereka beradu dengan mata Montmorency, yang baru saja didorong ke kasur oleh Guiche.

"...oh, kalian baru saja akan melakukannya," desah Kirche.

Guiche, yang tiba-tiba jadi serius, bangkit, berdiri dan berkata dengan cara yang begitu tegas, "Oh, aku hanya... membereskan kerutan kemeja Montmorency."

"Dengan mendorongnya ke kasur? Kirche mengejek.

"Membereskan kerutan," ulang Guiche sekali lagi,

Montmorency berkata dengan nada dingin, "Sudahlah. Hanya itu yang ada di kepalamu."

Guiche tersipu.

Kirche buka mulut dan berkata dengan sikap lelah. "Kalian berdua benar-benar pasangan murahan. Kalian tak harus melakukannya di asrama yang menyesakkan ini."

"Kami tak melakukan apapun!...dan akulah yang seharusnya bertanya apa yang kalian lakukan. Kini liburan musim panas."

"Ia tak seharga masalahnya bagi kami. Meski kini liburan, cape lho untuk nyebrang perbatasan hanya untuk itu, Jadi apa sih yang kalian lakukan sebenarnya?"

"Kami tengah, um..."

Montmorency memainkan jemarinya, karena dia tak bisa bilang dia tengah membuat Ramuan Terlarang.

"Pe-Penelitian sihir."

"Hmm, kau memang tengah melakukan semacam penelitian."

"Guiche yang ingin melakukannya! Otaknya mungkin tergoreng dalam panas ini!"

Dengan itu, Guiche yang dikritisi membengkokkan kepalanya.

"Sepertinya."

Kirche membalas,"apa maksudmu dengan 'sepertinya'?"

"Ayo kita keluar. Tak mengherankan bila otak kita tergoreng disini."

"hah? Kemana?"

"Ke kota sajalah. Kini liburan panjang, jadi mari bersenang-senang."

"Benar itu, aku juga ingin meminum yang dingin-dingin..." kata Guiche setuju.

Montmorency, yang bahkan tak mau berfikir tentang apa yang bakal terjadi bila dia ditinggalkan sendirian dengan Guiche juga setuju.

"Dinginkan kepalamu benar-benar saat minum yah?"

"Pasti, demi Tuhan."

"Jadi, bagaimana dengan si kecil?"

Montmorency menunjuk pada Tabitha. Kirche menjawab.

"Dia ikut."

"Kau bisa tahu hanya dengan memandangnya?"

"Aku bisa."

Kata Kirche seakan-akan itu sudah jelas.

Tabitha lalu menutup bukunya, berjalan menuju jendela, lalu bersiul. Suara kepakan lalu terdengar. dalam sekejap, Tabitha meloncat keluar jendela, diikuti Kirche.

Saat Montmorency mengitip keluar jendela, dia melihat naga angin Tabitha yang melayang disana. Kirche tengah menunggangi punggungnya dan tengah melambaikan tangannya.

"Buruan atau kami tinggal!"

Guiche dan Montmorency meloncat. Guiche yang duluan, mencoba menangkap Montmorency.

lalu Montmorency mulai menjerit-jerit soal 'jangan menyentuhku' dan 'jangan menatapku' untuk menggoda Guiche.

"Tapi...aku hanya mencoba menangkapmu."

"Kau pikir apa yang kau sentuh, hah?"

"Kupikir kalian pacaran," ucap Kirche terkejut.

Kelompok ini akhirnya tiba di kota benteng Tristain dan pergi ke sebuah jalan yang bercabang dari Jalan Raya Bulton. Kini matahari hampir terbenam. Di jalan-jalan yang mulai gelap, lampu-lampu sihir mulai mewarnai sekitarnya. Pemandangan sihir nan menyilaukan itu menciptakan suasana gembira yang menyelimuti jalan yang masih terasa kehangatan musim panasnya.

Jika Jalan raya Bulton adalah wajah depan Tristain, maka jalan Chicton adalah perutnya. Bar-bar merah dan perjudian-perjudian berbaris sepanjang jalan. Montmorency bermuka masam, tapi Kirche terus berjalan, tak mempedulikan semua itu. Sambil berjalan, mereka berrembuk soal bar mana yang akan didatangi. "Apa kau tahu soal bar-bar disekitar sini?" tanya Kirche pada Guiche.

Guiche menjawab sambil tersenyum,

"Soal itu...Aku tahu satu yang bagus yang selalu ingin kudatangi."

"Bukan yang aneh, kan?" tanya Montmorency begitu dia mendengar nada mencurigakan pada Guiche. Guiche menggelengkan kepalanya.

"Ia sama sekali tak aneh!"

"Lalu, bar macam apa dia?"

Guiche terdiam.

"Lihat kan? itu pasti bar yang aneh! katakan saja sejujurnya!"

Montmorency mulai mencekik Guiche.

"Ti-,tidak! hanya gadis-gadis dengan pakaian manis membawakan anggur untukmu...Ukh!"

"Jika itu tak aneh lalu apa yang aneh?"

"Kedengarannya menarik."

Sepertinya itu telah memetik kepenasaran Kirche. Dia menyarankan pada Guiche,

"Ayo kesana, bar yang biasa akan terlalu membosankan."

"APA?" Montmorency protes.

"Mengapa wanita Tristain tak punya kepercayaan pada diri mereka sendiri? Membuatku sakit."

Karena Kirche mengatakannya dengan cara yang begitu menghantui, Montmorency tiba-tiba bangkit dan berkata,

"Ini hanya karena anggur akan terasa hambar bila kita membiarkan wanita rendahan menuangkannya."

Tapi karena Guiche, yang telah didukung Kirche mulai berjingkrak-jingkrak menjauh, Montmorency tak meniliki pilihan selain ikut.

"Hei! Tunggu! Jangan tinggalkan aku disini!"


"Selamat datang!"

Begitu mereka memasuki bar, seorang lelaki tinggi yang memakai baju leather menyambut mereka.

"Oh, apa kalian baru? Lebih banyak lagi wanita ningrat! Betapa indahnya ini! Betapa très bien! para gadis dalam bar akan iri! Aku sang pemilik, Scarron. Mohon nikmati hari kalian!" katanya sambil membungkukkan badannya. Meski dia tampak aneh, dia memuji mereka sehingga kini suasana hati Montmorency membaik. dia menyisir rambutnya dengan tangan dan berkata dengan jelas, "Bimbing kami ke meja terbersih".

"Tiap meja dalam bar ini digosok untuk bersinar bagaikan istana Paduka."

Scarron membimbing mereka ke salah satu meja. Bar itu tampak ramai.

Tepat seperti rumor yang dihembuskan, gadis-gadis dengan pakaian yang menggoda membawakan anggur dan makanan.

Guiche, yang sudah melihat-lihat dengan penuh semangat, akhirnya dijewer oleh Montmorency.

Setelah mereka duduk di meja, seorang gadis berambut blonde pink datang untuk mengambil pesanan, tapi untuk alasan tertentu, buru-buru menutupi wajahnya dengan sebuah nampan. Sekujur tubuhnya gemetar perlahan.

"Mengapa kau menyembunyikan wajahmu?" kata Guiche kecewa. Tanpa menjawab, dia menanyakan pesanan lewat geraknya. Hanya dengan melihat tinggi dan warna rambut si gadis, Kirche cepat menyadari sesuatu dan, untuk pertama kalinya pada musim panas ini, sebuah senyuman sangat besar tersungging di wajahnya.

"Jadi, apa anggur rekomendasimu?"

Gadis itu menunjuk sebuah anggur yang telah disajikan pada meja lainnya, sebuah anggur Gernew yang cukup tua.

lalu Kirche berkata dengan nada terkejut, "Ah, Familiar-san apel dengan seorang gadis!"

Gadis itu muncul dari balik nampan dan menatap sekeliling ruangan dengan mata tajamnya.

Semua di grup kecuali Kirche berteriak.

"Louise!"

Louise menyadaris seringai lebar di wajah Kirche dan menyadari bahwa dia telah ditipu, dan sekali lagi menyembunyikan wajahnya dengan nampan.

"Sudah terlambat La Vallière."

"Aku bukan Louise."

kata Louise dengan suara bergetar. Kirche menarik lengan Louise dan membaringkannya di atas meja. Kirche mencengkram lengan kanan, Guiche yang kanan, Tabitha mencengkram kaki kanan dan Montmorency memegang yang kiri. Louise yang tak bisa bergerak menghadap ke samping dan berkata dengan nada bergetar,

"Aku bukan Louise! Lepaskan aku."

"Beneran deh, apa sih yang kau lakukan disini?"

Louise takkan menjawabnya. Tlek! Kirche menjentikkan jarinya dan Tabitha melantunkan mantra. Dengan kekuatan angin, Tabitha melilitkan udara disekitar Louise dan mengendalikannya. Louise diloncatkan ke atas meja dan berpose seiza.

"A-, Apa yang kau lakukan?!"

Kirche menjentikkan jarinya sekali lagi. Tanpa suara, Tabitha mengayunkan tongkatnya. Massa udara yang mengendalikan Louise menjadi jari-jari yang tak terlihat, dan mulai menggelitiki badan Louise.

"Ahahaha! hentikan! Ini geli! Hentikan!"

"Jadi, Atas dasar apa kau kerja disini?"

"Aku takkan bilang! Ahahaha!"

Jari-jari udara itu terus menggeletiki Louise tapi dia takkan mengaku. Perlahan-lahan badannya melayu.

"Anak mulut gembok. Kau menyembunyikan banyak hal akhir-akhir ini."

"Jika kau mengerti...tinggalkan saja aku sendiri..."

"Akan dilakukan."

Kirche mengambil menu dengan acuh.

"Cepatlah, segera pesan sesuatu."

"Ini," kata Kirche menunjuk menu.

"Aku tak mengerti, yang mana?"

"Ya...pertama-tama, semua yang tertulis di menu ini."

"Huh?"

Louise menatap Kirche, hampa.

"Bawakan saja semuanya."

"Kau benar-benar kaya...betapa irinya aku."

Kirche lalu mengatakan pada Louise,

"Oh, tentu saja ini traktiranmu. Aku akan sangat senang menerimanya, La Vallière-san.”

"Apa? Jangan bermulut manis! Mengapa aku harus menraktirmu?!"

"Ataukah aku harus bilang pada seisi sekolah bahwa kau kerja disini."

Louise menjatuhkan rahangnya.

"Jika kau bilang itu...Aku...aku akan membunuhmu."

"Ya ampun, aku tak ingin mati. Jadi bisakah kau cepat-cepat membawa semuanya?"

Louise menjatuhkan bahunya dengan sedih dan menghilang ke dapur sambil memukul-mukul barang di jalan.

Guiche berkata sambil menggelengkan kepalanya, "Kau benar-benar wanita jahat."


Kirche menjawab dengan senang.

"Jangan salah paham, aku hanya tak menyukainya. pada dasarnya kami musuh..."

Kirche memotong bicaranya dan memperbaiki jubah Tabitha yang berantakan.

"Beneran deh, Kau seharusnya memperbaiki kebiasaan mengacak rambut dan jubahmu saat kau melantunkan mantra. Wanita adalah tentang penampilan dan kepintaran adalah yang kedua."

Kirche menyisir rambut tabitha bagaikan seorang kakak memperhatikan adiknya atau ibu mengkhawatirkan putrinya.

Guiche memandangi Tabitha. Mengapa wanita Germania ini memercayai Tabitha dan hanya Tabitha? pikir Guiche. Meski kini musim panas, keduanya tak pulang dan tinggal bersama di sekolah. Apalagi, mereka tampak berhubungan dengan telepati. Mungkin ini karena tabitha jarang bicara, tapi mereka dapat mengerti satu sama lain hanya dengan bertukar pandang dan sedekat saudara.

Tapi...Guiche mengorek-ngorek ingatannya. Mereka tak sedekat ini ketika pertama kali masuk. Aku tak yakin karena aku terlalu sibuk bermain-main dengan gadis-gadis tapi bukankah mereka memulai sebuah pertarungan?

Tepat ketika Guiche ingin menanyakannya, sekelompok pelanggan baru masuk bar. Mereka ningrat yang tampan. Mereka mengenakan topi dengan nrim lebar yang dihiasi bulu nan elegan dan tongkat sihir berbentuk pedang yang menonjol dari jubah. Tampaknya mereka adalah petugas dari Tentara Kerajaan.

Mereka kemungkinan telah berlatih sepanjang hari; Mereka datang tak peduli sekelilingnya dan mulai melihat-lihat meja yang kosong.

Para petugas mulai ngobrol tentang gadis-gadis dalam bar. Gadis yang berbeda-beda menuangkan anggur tapi tiada yang tampak memuaskan para petugas. Seorang petugas menyadari kehadiran Kirche dan mengedipkan mata padanya.

"Bukankah itu seorang gadis ningrat? Wanita yang bisa bersama kita harus membawa sebuah tongkat sihir bersamanya!"

"Itu benar! Ini adalah istirahat yang diberikan Paduka yang jarang terjadi, pada kita petugas tentara kerajaan. Kita tak bisa mendapati seorang jelatan yang menuangkan anggur kita."

Sambil mengatakan itu, mereka dengan ributnya merundingkan siapa yang akan pergi dan menjemput para gadis. Sepertinya Kirche terbiasa dengan hal-hal semacam ini dan terus minum dengan tenang, tapi Guiche merasa tak nyaman. Dia berusaha menempatkan dirinya dalam posisi dimana dia seharus melindungi para gadis, tapi tak bisa tegas di hadapan para ningrat yang merupakan petugas tentara kerajaan. Dia kemungkinan dihajar.

Akhirnya keputusan soal siapa yang pergi berbicara keluar. Salah satu ningrat berdiri. Dia seorang pria ganteng yang baru lewat 20 tahun.

Dengan penuh percaya diri, dia memainkan kumisnya dan membungkuk secara elegan pada Kirche.

"Kami adalah para petugas dari resimen navaaru. Kami terpanah keagungan kecantikanmu dan ingin sekali mengundangmu pada meja makan kami."

Kirche menjawab tanpa memandanginya.

"Maaf, tapi aku tengah menikmati waktu bersama teman-temanku."

Teman-teman si petugas mulai berhuu-huu. Jika dia ditolak sekarang, itu akan melukai harga dirinya. Dia mencoba membujuk Kirche dengan kata-kata penuh antusiasme.

"Aku memohon padamu untuk menarik itu. Mohon berkahi kami saat kebahagiaan yang tak memiliki apa-apa selain peperangan tak termaafkan yang menunggu."

Tetap saja Kirche mengayunkan tangannya, menolak.

Si ningrat kecewa, dan kembali kepada teman-temannya.

"Kau tak terkenal diantara wanita," ujar seorang petugas. Tapi pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Apa kau dengar aksennya? Dia pasti wanita Germania. agak mencurigakan sebagai seorang ningrat, jika kau tanya aku!"

"Tapi kudengar wanita Germania benar-benar gatelan. Jarang-jarang ada wanita dengan sikap yang tegas begitu."

"Mungkin seorang protestan hingga kaki!"

Mungkin ini sebagian karena alkohol, tapi para petugas mulai mengejek Kirche. Guiche dan Montmorency saling memandang dan menanyai Kirche apakah dia ingin meninggalkan bar.

"Tapi kita disini duluan," ucap Kirche sambil berdiri. Rambut panjangnya tampak menyala bagaikan inferno nan liar. Pelanggan dan pelayan lainnya serta yang lain yang menonton seluruh kejadian menjadi hening.

"Ah, jadi kau sudah berubah pikiran dan memutuskan menemani kami?"

"Ya tapi tidak dengan gelas...tapi dengan ini."

Kirche menghunus tongkat sihirnya dngnan mulus.

Para pria terjatuh dari kursi saking berlebihannya tawa mereka.

"Jangan pernah mencoba, gadisku. Kami adalah para ningrat dan takkan menghunus tongkat sihir kami pada wanita."

"Apa kalian takut pada wanita Germania?"

""Tak mungkin!""

Para pria terus tertawa keras-keras.

"Maka aku akan membuat kalian menghunus tongkat kalian."

Kirche mengayunkan tongkatnya. Bola api sejumlah para petugas muncul dari ujung tongkatnya dan langsung membakar bulu hiasan pada topi petugas. Bar bergolak. Kirche bangkit dan membungkuk pada hadirin.

Para pria yang menjadi bahan tertawaan langsung bangkit berdiri.

"Nona, lelucon ini sudah keterlaluan."

"Benarkah? tapi aku selalu sungguh-sungguh. Dan, bukankah kalian yang mengundangku?"

"Kami mengundangmu untuk minum, bukan untuk bertarung."

"Maka bisakah aku bertarung dengan kalian para pria yang mengejekku hanya karena aku tak menerima tawaran minum kalian?"

Udara bar membeku.

Salah seorang petugas berbicara dengan tegas,

"Gadis asing, apa kau tahu Kebijakan Tak Bertarung? Di bawah perintah paduka, kami dilarang bertarung. Tapi kau seorang asing. Selama kita sepakat, kami bisa melakukan apa saja padamu. Apa kau berbicara dnegan mengetahui ini?"

"Ningrat di Tristain kepanjangan lidahnya. Jika ini Germania, duel sudah berakhir sekarang."

Mereka tak bisa mundur setelah dipermainkan seperti ini. para petugas saling memandang dan salh satu dari mereka meremas brim topinya dan berkata, "Pilih lawanmu, kau berhak untuk itu."

Tapi Kirche tak mengubah air mukanya. Tapi ada kemarahan yang bergelagak di dalam. semakin Kirche marah, semakin tenang dan santun dia.

"Sebagaimana yang kau katakan, wanita Germania sangat gatal, jadi aku akan melawan kalian semua." Tepukan terdengar dari bar untuk kata-kata berani Kirche. Wajah para petugas marah padam karena marah oleh hinaan tersebut.

"Kami adalah ningrat tapi juga tentara di saat bersamaan. Saat dihina, saat ditantang, kami takkan menahan diri meski lawan adalah wanita. majulah."

Para ningrat menunjuk keluar dengan dahu mereka. Guiche gemetaran di bawah tekanan ini. Montmorency terus minum anggur, seakan itu bukan urusannya. Louise berkata soal bagaimana si wanita bodoh itu masuk kedalah masalah tak perlu lagi dan bersembunyi di dapur. Saito tak beruntung karena menjadi korban kemarahan Louise pada Kirche dan pingsan karena nyeri yang ditimpakan Lousie padanya; jadi dia tak bisa menengahi.

jadi, yang bangkit adalah tabitha.

"kau tak usah khawatir. duduklah, ini akan berakhir seketika."

Tapi Tabitha menggelengkan kepalanya.

"Aku berhutang padamu."

"Kau merujuk pada kejadian di danau Ragdorian? Tak apa-apa. Aku melakukannya karen akeinginanku sendiri."

"Bukan itu."

"Eh?"

Lalu Tabitha dnegan jelas mengucapkan,

"Berhutang satu padamu."

"Itu sudah lama sekali." Kirche tersenyum.

Dia berpikir untuk sesaat tapi akhirnya memutuskan menyerahkannya pada temannya.

"Apa yang terjadi? Ketakutan? Kami akan memaafkanmu jika kau meminta maaf sekarang."

"Meski Kau masih harus menuangkan minum untuk kami."

'kau beruntung bila ini berakhir hanya dengan kau menuangkan minum."

Para petugas tertawa. Kirche menunjuk pada Tabitha.

"maafkan aku, tapi dia bahkan lebih ahli dariku. dia bahkan punya gelar Chevalier."

para petugas memasang wajah ragu.

Tabitha baru saja berjalan menuju arah masuk bar dnegan tenang.

Apa ada diantara kalian yang memiliki gelar Chevalier?"

Para petugas membengkokkan kepala mereka karena tak percaya.

"maka dia seharusnya lebih dari sekedar lawan."

Begitu Kirche selesai berbicara, dia duduk di kursi seakan tugasnya sudah selesai. Para petugas, yang tak bisa mundur, mengikuti tabitha keluar bar.

"Apa dia akan baik-baik saja?"

Tanya Guiche. kirche terus saja meminum anggurnya dnegan elegan.

"Gadis itu tak pernah lupa pada janji tua semacam ini."

gumam Kirche bahagia.


Di luar, Tabitha tengah menghadapi para petugas pada jarak 10 langkah. Disekitar mereka, penghuni kediaman berkumpul tapi dengan menjaga jarak mereka. Sebenarnya, meski Kebijakan Tiada Pertarungan berlaku, ia tak menghentikan seluruh pertarungan antar-ningrat. Pertarungan semacam ini terjadi setiap hari.

Namun...lawan dari kelompok dari tiga petugas tentara kerajaan adalah seorang gadis muda yang masih kecil. Kombinasi ini menarik perhatian para penonton.

"Teman-teman, lawan kami adalah seorang anak. Setelah ini orang-orang akan mengata-ngatai kita penggojlok. Kehormatan kita akan hancur tak peduli kita menang atau kalah. Apa yang seharusnya kita lakukan?"

Yang termuda diantara mereka menjawab pertanyaan lelaki yang mengundang Kirche dnegan "Mengapa tak biarkan dia duluan?"

Pria yang sedari tadi diam kini berkata dnegan nada senang,

"Hah, mendidik anak-anak adalah tanggung jawab yang dewasa!"

Chevalier? dia pasti bercanda. Tak mungkin gadis kecil begini diberikan gelar itu.

Meski dia seorang anak, dia tetap seorang ningrat. Kami tak bisa memaafkan dusta semacam ini. Apalagi mengejek seorang petugas tentara kerajaan, itu tak masuk akal.

Tabitha hanya berdiri tenang disana dengan tongkat di tangan kanan. Tiada yang bisa dibaca dari ekspresinya. Sepertinya kerumunan maupun ketiga petugas tak bisa mengoyak emosinya.

"Gadis kecil, hunus tongkatmu lebih dulu."

kata ningrat yang tertua.

Para penonton menahan napas dan menonton mereka penuh perhatian.

Tabitha hanya mengayunkan tongkatnya sedikit, seperti waktu dia membuat angin untuk mendinginkan Kirche. Pertarungan berakhir seketika.


Begitu para pelanggan melihat Tabitha kembali masuk bar, mereka memberikannya selamat nan meriah yang bercampur kekaguman dan keheranan. Ada keributan besar di luar. hanya karena satu pukulan dari "Palu Udara" raksasa, sebuah palu dari udara termampatkan, Tabitah menerbangkan para petugas ke sisi lain dari jalan dan meng-KO mereka. Seorang pelanggan dengan malu-malu mengintip keluar jendela dan melihat seorang petugas sudah sadar dan menyeret dua yang lain pergi.

"Kau mengagumkan meski kau kecil!"

Meski bar dipenuhi applaus, Tabitha hanya membalikkan sebuah lembar di bukunya, tak memedulikan itu semua.

Kirche menuangkan anggur kedalam cangkir Tabitha dnegan wajah smug.

"Mari bersulang."

Guiche menanyai Kirche karena dia kebingungan.

"Um, Kirche?"

"Apa?"


"Mengapa kalian berdua snagat dekat? Kalian berdua seperti saudara."

"kami hanya berteman."

Tapi mereka berlawanan satu sama lain. Apalagi...Guiche menata kembali apa yang diingatnya tadi. Keduanya telah melakukan pertarungan seperti ini diluar begitu mereka masuk sekolah.

"apakah kalian selalu sedekat ini? Apa yang terjadi di antara kalian? Ceritakan padaku."

Ini juga menimbulkan rasa penasaran Montmorency dan dia mendekat.

"Apa yang terjadi? Ceritakanlah."

Kirche menatap tabitha, tapi Tabitha diam saja. Namun Kirche mengangguk.

"Dia berkata aku bisa berbicara soal itu jadi aku akan melakukannya. Ceritanya ga seheboh itu juga kok." Kirche mengambil segelas penuh anggur.

Dia menenggaknya habis, dan mulai menceritakan dengan mata mengantuk.

Bagian 2

Kirche memasuki Akademi sihir begitu musim semi, pada bulan keempat, minggu kedua bulan Feoh, di tengah-tengah minggu Heimdallr.

Upacara masuk diadakan di Aula Alvíss . Disana, setiap tahun, 90-an siswa baru akan dibagi menjadi tiga kelas. Anak-anak dari keluarga aristokrat, yang dikumpulkan dari sluruh daerah, telah menunggu Kepsek osman dengan wajah tegang.

Osman, yang memimpin para guru, muncul di lantai kedua dan memandangu para siswa di lantai bawah.

"Para siswa, kalian dari Tristain...Argh!"

Osman, melebarkan lengan dan kakinya, telah meloncat dari terali lantai 2, bersiap untuk mendarat di sebuah meja di lantai 1. Di udara, dia mengayunkan tongkatnya untuk menggunakan "Melayang" untuk mendarat dengan aman, tapi gagal. Dia telah menua; waktu untuk melantunkan mantra memanjang dan dia langsung jatuh ke meja. Aula dipenuhi keributan begitu para guru meloncat turun untuk membantunya berdiri. Osman telah melakukan sesuatu dengan buruk dan seseorang harus menyembuhkannya dengan sihir air. Dia melanjutkan, tanpa sedikitpun tanda malu,

"Semuanya, Jadilah Aristokrat yang akan mendukung Helkeginia di masa depan!"

Kata-kata yang berani. Semuanya mulai bertepuk tangan, karena kasihan pada Osman yang berusaha keras menjaga harga dirinya.

Di kerumunan..Ada seorang gadis cantik yang menonjol bahkan diantara para ningrat. Itu Kirche, yang bergelar "Ardent". Mengeluarkan uapan besar begitu melihat Kepsek nan ceroboh, dia berfikir apakah dia membuat kesalahan dengan melamar kesini.

Namun, bagi Kirche, yang telah meninggalkan Akademi Sihir Vindobona di ibukota Germania...Tiada pilihan lain, selain pergi ke sebrang untuk belajar. Orang tuanya di Zerbst berencana menikahkan Kirche, yang bermalas-malasan disekitar rumah setelah meninggalkan sekolah, pada seorang Marquis tua. Kirche, yang tak memiliki keinginan untuk menikah saat itu, meninggalkan negaranya ke Tristain untuk mencari perlindungan.

Dia melakukannya tak sadar.

Sejak muda, begitu dia menyukai sesuatu, dia akan melakukan segalanya untuk mendapatkannya. Jika seorang protes, dia akan membungkamnya dengan keahliannya, "Api". Alasannya di-DO, "insiden" yang terjadi di Germania, adalah hasil dari aspek kepribadiannya ini..

Kepribadian yang kau tumbuh dengannya adalah hal yang sulit diubah. Bahkan di Tristain, cara arogannya tetap mekar.

Kembali ke sini, di sebelah kirche, duduk seorang gadis berambut biru nan mungil. Dibandingkan dengan Kirche sang dewi kecantikan, pemilik tubuh iblis, tubuh gadis ini bahkan belum mencapai puber. Dia memang hanya seorang anak kecil. mata jade deibelakang kacamata masih membawa tanda-tanda anak-anak. Meski dia pergi ke Upacara Masuk , matanya tetap terbuka lebar, tenggalam dalam membaca buku.

Tanpa alasan, Kirche mulai sebal dengan sikapnya. bagi Kirche, anak baik yang senang belajar adalah sasaran yang bagus untuk digojlok. dia berkata dengan nada rendah, "Apa yang kau baca?" dan merebut buku itu. Gadis itu hanya melihatnya dengan mata yang mati.

Kata-kata dalam buku terlalu berat untuk Kirche, dia tak mengerti apapun.

"Apa-apaan ini..."Pengaruh Kekuatan Angin pada Atmosfer dan Akibatnya'? Apaan nih kata-katanya. Apa kau bisa menggunakan sihir tingkat tinggi ini?"

Gadis itu tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya.

"Hei, jika kau minta bantuan seseorang, kau seharusnya memberikan namamu, apa orang tuamu tak pernah mengajarimu?"

Sejujurnya, ini bukan meminta bantuan, ini hanya mencoba mengambil kembali apa yang telah direbut...Gadis itu termenung sesaat, dan mengatakan namanya.."tabitha".

"apaan itu? apa semua orang di Tristain memakai nama yang aneh-aneh?"

Kirche hampir berguling-guling di lantai dalam tawa. Guru yang bertugas membagi kelas menatapnya tajam, tapi Kirche mengabaikannya dan terus tertawa.

Tabitha menatap kirche dengan mata dingin. Rantai yang membawa takdir orang tuanya...untuknya telah dihina oleh seseorang. Saat itu, Kirche sama sekali tak melihat perubahan mata tabitha.

Seorang gadis dengan rambut blonde-stroberi, yang tak bisa lagi menahan diri, langsung bangkit.

"Gadis di sebelah sana! Sesuatu yang penting tengah diumumkan sekarang! mengapa kau tak menutup mulutmu!"

Dia kemungkinan telah menolerir arogansi Kirche sejak tadi.

"Siapa kau? aku Louise Françoise Le Blanc de la Vallière. Sungguh mengejutkan ada orang sepertimu yang masuk sini!"

"la Vallière?"

Kirche memandangi wajah Louise dengan senang.

"Mohon bantuannya. Aku Kirche von Zerbst, tetanggamu. Sebuah keistimewaan untuk bertemu denganmu disini!"

Mendengar ini, Sekujur Tubuh Louise mulai gemetaran.

"A-A-Apa yang kau katakan?"

"Oh, mohon bantuannya."

Kirche tetawa penuh daya tarik. Seorang guru yang melihat mereka gemetaran karena amrah berteriak pada ketiganya,

"Semuanya DIAM!"

'OK." sambil mengatakan itu, Kirche kembali ke kursinya. Tabitha merebut bukunya dari tangan Kirche dan menatapnya tajam dari sudut matanya, bibirnya ditekan erat.

setiap tahun dibagi dalam tiga kelas, yang merupakan nama 3 santo legendaris, Suen, Iyer and Seger. Kirche dan tabitha di Suen, Louise di Iyer, sementara Guiche dan Montmorency di Seger.

Setelah meninggalkan kejutan besar di upacara masuk, Kirche diabaikan oleh gadis-gadis lain di kelasnya. Daya tarik liar gadis Germania, dengan dada aduhainya, membuat hormon di udara tak bisa disumbat. dalam sekejap, semua lelaki di kelas telah doimilikinya. ini membuat gadis-gadis Tristain, yang sangat terkenal karena sifat irinya, terbakar dengki.Kepribadiannya adalah salah satu alasan mengapa dia tak disukai. Bahkan di Germania, Tanah Api itu sendiri, Kirche didiamkan karena arogansinya. Kepribadiannya hanya memperparah perasaan orang-orang Tristain, yang menyembah kehati-hatian sebagai keagungan, dengan cara yang salah. Dalam jangka waktu yang begitu pendek, dia sudah menggoda tiga pemuda. Ada dua alasan. Pertama, ketiga dari mereka adalah yang lebih tampan di kelas. Kedua, dan yang lebih penting...Dia begitu bosan.Pertama, pandangan menggoda dilemparkan ketika di aula. Kedua, membusungkan dadanya ketika berpura-pura tersandung. Ketiga, menyilangkan kakinya di hadapan mereka.hanya dengan itu, ketiganya sudah meminta Kirche untuk bersama mereka. Kirche menerima permintaan mereka meski dia menerima panggilan secara bersamaan. Dia pergi bersama ketiganya tanpa menyembunyikan apapun, sehingga ketiganya segera terlibat dalam pertarungan.Di akhir dari pertarungan tersebut, lelaki ketiga muncul sebagai pemenang. Tepat ketika dia akan menghadiahi dirinya sendiri dengan akhirnya mendapatkan Kirche hanya untuk dirinya, Kirche menemukan yang keempat.Gadis-gadis yang tertarik dengan pemuda-pemuda ini membentuk sebuah aliansi untuk berunding dengan Kirche. Kirche, yang barus saja menemukan yang ke-5 dan ke-6, dan sekali lagi men-tiga, meng-huh-kan saja usaha gadis-gadis malang tersebut."tak tahukah kapan kau harus berhenti? Berapa banyak lelaki yang kau inginkan sebelum kau bahagia?""Siapa tahu, aku tak tahu."Kata Kirche sambil duduk di kursi dan memoles kukunya."jangan berpura-pura!"" Aku tak melakukan apapun. Mereka menemukanku atas usaha mereka sendiri, berkata 'Kirche, ingin datang ke kamarku untuk minum," atau 'aku telah menuliskan sebuah puisi, ingin mendengarnya,' yah seperti itulah."kata Kirche, meniru para pemuda."Selalu seperti itu, aku cukup kesal juga, jadi aku harus menerimanya, dalam bahasa kalian 'Oui'. Apa aku mengejanya dengan benar?"Sikapnya membuat dengki para gadis langsung meroket ke tingkat yang baru."Dengar. Ini Tristain, diaman kami menghargai adat dan tradisi, tak seperti negara barbarmu. bahkan dalam cinta ada cara-cara yang patut, Seorang gadis desa nan abai yang bahkan tak tahu itu seharusnya pulang saja!""Jika kau benar-benar perhatian tentang cintamu, mengapa tak menguncinya di kamarmu?""Apa katamu?""Aku hanya bingung. Jika kau punya waktu untuk mengiri, mengapa tak membujuknya untuk tinggal? Jika kau menyukainya kau seharusnya memujinya sedikit. Yang kalian semua tahu hanyalah bagaimana memasang wajah marah, kalian bahkan tak tahu bagaimana mengatakan hal-hal yang membuat pria bahagia, kan?""Itu tugas pria!""Kalau aku sih tak begitu, jika aku menginginkan seseorang, aku akan memujinya sebanyak mungkin, kalau tidak, aku akan menjadi sangat sedih.""Jangan memeprlakukan kami seperti orang tolol!""bagaimanapun, kalian semua bisa tenang. Meski aku mengikuti filosofi "Lakukan apapun untuk mendapatkan apa yang kumau," Aku takkan pernah mengambil apa yang paling penting bagi seseorang."Pembohong! Bukankah kau mencoba menggenggam para pacar kami dengan tangan kotormu?"Kirche memutar pandangannya perlahan pada gadis-gadis yang mengelilinginya."Bagi kalian, itu bukan hal paling penting, kan?""Apa katamu?""Jika ia merupakan hal yang begitu penting, kalian takkan membentuk sebuah tim untuk berunding denganku. kalian akan menggulingkan kepalaku dari bahu dari dulu, atau apakah aku salah?"para gadis yang iri tak bisa berkata apa-apa."...Er...""Aku belum ingin mati. Makanya aku takkan mengambil apa yang paling berharga dari seseorang."Para gadis telah dipukul oleh sikap Kirche dan mulai saling memandang satu sama lain.Dengan itu, pacar Kirche terus bertambah, tapi dia tak bisa membuat satu jalinan pertemanan. Namun Tabitha juga tak lebih baik.Tabitha jarang berbicara pada siapapun. Entah itu waktu istirahat atau makan siang, kelas dimulai atau berakhir, bahkan dalam asrama atau tempat-tempat ramai. Dia tak mengatakan apapun pada siapapun. Pendiam, dengan wajah pencemas dunia pada mukanya...hanya membaca. Tak peduli siapapun yang mencoba bicara kepadanya, Tabitha mengabaikan mereka. Tak hanya mengabaikan, dia bahkan tampak mengabaikan keberadaan mereka.karena ini, Tabitha menjadibahan ejekan. Untuk alasan tertentu, dia menolak memberitahu nama belakangnya, jadi muncul isu-isu bahwa dia seorang penjahat.Saat dimana dia benar-benar membakar kedengkian seluruh kelas adalah pada saat kelas pertama mereka.Tabitha, yang dikira sebagai kutu buku biasa, ternyata adalah seorang Penyihir "Angin" jagoan. Ini baru diketahui saat pelajaran sihir "Angin" pertama.pak Quito adalah penanggung jawab kelas 'Angin". kata-kata pertama dari mulutnya adalah,"Siswa-siswa tahun ini begitu menyedihkan."Ketaksenangan langsung terpancar dari wajah para siswa, yang berkumpul di Lapangan Pusat."Melihat rekaman sekolah kalian, hampir semuanya adalah penyihir "Titik", hanya sedikit yang "garis". bahkan tiada yang "segitiga". Ada apa ini?"Titik dan segitiga mengacu pada jumlah elemen yang bisa dipakai. 'Titik' berarti satu elemen, 'garis' berarti dia bisa memadukan dua. Meskipun ia merupakan elemen yang sama, selama ia bisa dipakai, sebuah mantra kuat dapat tercipta."Aku mutlak tak punya harapan untuk kalian semua, tapi ini perkerjaanku, jadi kuteruskan."Setelah Pak Quito selesai berbicara dengan nada rendah, kelas dimulai. Kemampuan dasar "Angin" adalah "terbang" dan "melayang".namun...Tabitha mulai menunjukkan kemampuannya mulai saat itu.dia adalah yang pertama terbang begitu tinggi menggunakan mantra "terbang". Meski untuk menghindari perhatian, dia sengaja tak menggunakan seluruh kekuatannya. Pak Quito rada bingung."Untuk seorang penyihir 'titik', itu cukup bagus."karena tak mengetahui kemampuan Tabitha yang sebenarnya, tak salah bila dia mengatakan itu.Untuk alasan-alasan tertentu, satu-satunya yang tahu kekuatan tabitha yang sebenarnya adalah Kepsek Osman. Terlebih lagi Pak Quito belum melihat rekaman siswa-siswa pertukaran."Tak peduli bagaimanapun juga, kalian semua kalah dari gadis termuda di kelas. tidakkah kalian malu?"karena perkataan Pak Quito itu, seluruh kelas mulai marah.Saat istirahat setelah makan siang, seorang lelaki meminta Tabitha untuk berlatih dengannya.latihan seperti ini pada dasarnya sama dengan bertarung. Karena ini Latihan, tiada kemungkinan untuk kehilangan nyawa, setidaknya tidak pada masa ini. Di masa lalu, tersiar kabar bahwa memberikan lawanmu coup de grace adalah cara ningrat, tapi masa para pahlawan ini sudah menghilang menjadi sejarah. Metode modern adalah dengan menggunakan mantra-mantra dengan ancaman nyawa yang kecilm dan sekali seseorang terluka, pemenangnya sudah diputuskan. Meski ada kejadian dimana ada jari yang patah, ini lebih aman daripada mempertaruhkan nyawa, mencuri tongkat lawan merupakan cara paling elegan untuk menang.Pemuda yang menantang tabitha bernama de Lorraine. terlahir di keluarga yang terkenal dengan sihir "Anginnya". dia merupakan salah satu dari penyihir 'garis' elit angkatan mereka.Dia menyimpan dendam karena dikalahkan di "terbang" oleh seseorang tak dikenal seperti tabitha. Dia suka menyombongkan diri bahwa tiada yang bisa bertanding dengannya dalam sihir "angin", dan ingin mendapatkan kesempatan untuk membalas tabitha.Sambil berjalan menuju tabitha yang tengah membaca di Lapangan pusat, dia mendeklarasikan perang,"Nona, aku menginginkan instruksimu dalam sihir 'Angin'."Ketika tabitha tak menjawab apapun, de Lorraine mulai marah."melanjutkan membaca saat seseorang menantangmu, apa itu tidak keterlaluan?"Tabitha tetap tak menjawab. Perkataan de Lorraine melewaqti telinganya, tak terdengar, seakan ia hanya suara hembusan angin.