Difference between revisions of "Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume5 Bab3"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 549: Line 549:
   
 
Henrietta mengangguk.
 
Henrietta mengangguk.
  +
  +
“Ok, semua sudah jelas, tapi...”
  +
  +
“Kalau begitu, ayo pergi. Kita tak bisa disini terus.”
  +
  +
“Kemana?”
  +
  +
“Kita takkan meninggalkan kota. Harap tenang. Kini, aku ingin ganti pakaian...”
  +
  +
Henrietta memandangi pakaian di bawah jubahnya. Pakaian putih, bersih dan elehan yang tersembunyi dibalik jubah adalah terlalu mencolok. Bahkan seorang ningrat pun takkan mengeluh akan hal ini.
  +
  +
“Ini adalah pakaian Louise tapi...Dia membelinya untuk membuatnya tampak seperti rakyat jelata.”
  +
  +
“Mohon pinjamkan padaku.”
  +
  +
Saito menarik kotak dibawah kasur dan mengeluarkan pakaian Louise. Henrietta lalu membalikkan badan, membelakangi Saito, tak khawatir Saito melihatnya! Saito mulai panik begitu dia menanggalkan pakaiannya. Secara tak sengaja, Saito menangkap sekilas dada Henrietta dari belakang. Meski tak sebesar Kirche, tetap saja ia lebih besar dari milik Siesta. Toh, dia seorang ratu, jadi dadanya pastilah yang pantas untuk seorang ratu. Tapi dia lalu sadar.
  +
  +
Apa Henrietta bisa mengenakan kemeja Louise?
  +
  +
Yang terjadi tepat seperti perkiraannya.
  +
  +
“Kemejanya...rada-rada sesak.”
  +
  +
Tak ‘rada-rada’ lagi. Kemeja itu dibeli untuk ukuran Louise, dan tak bisa memuat dada Henrietta. Semakin dia bergerak, semakin banyak kancing yang terlepas.
  +
  +
“Mhm, Sangat...”
  +
  +
kata Saito sambil memegangi hidungnya,
  +
  +
“Mhh, bagus?”
  +
  +
Bagus! Tiada lagi yang bisa diharapkan kita dari seorang ratu. Henrietta seharusnya tak khawatir soal itu. “Aku harap ini tak terlalu menonjol diantara orang-orang.” gumam Henrietta saat dia melepas 2 kancing teratas.
  +
  +
Itu hanya semakin menonjolkan lembah dadanya – Seakan tiada kemeja sejak awal. Meski agak malu, berjalan disebelah lelaki adalah keuntungan. Ini juga membuat mereka tak menyadari ia seorang ratu dan membuatnya nampak lebih sebagai seorang wanita.
  +
  +
“Ayo pergi.” ujar Henrietta pada saito.
  +
  +
“Kita belum bisa pergi.”
  +
  +
“Eh? benarkah/”
  +
  +
“Setidaknya kau harus mengubah gaya rambutmu.”
  +
  +
“Kalau begitu, ubahlah.”
  +
  +
Toh, Henrietta memang mirip dengan Louise, ratu yang tak berpengalaman, pikir Saito sambil merapihkan rambut Henrietta. bahkan mengubah pakaian tak bisa menutupinya...
  +
  +
Dia mengangkat rambut Henrietta membentuk poni, sebagaimana dia sesekali lakukan untuk Louise.
  +
  +
Ini sangat mengubah suasana. Saito lalu mengenakan riasan ringan pada Henrietta dengan kosmetik Louise. Bukankah kita perlu riasan di penginapan? Karena Louise berkata begitu, saito membelinya...Tapi karena Louise tak pernah menggunakannya, sisanya sangat banyak.
  +
  +
“Fufu, dengan begini, kau terlihat seperti wanita kota.”
  +
  +
Dengan riasan ringan dan kemeja yang terbuka bagian depannya...Dia terlihat seperti seorang wanita kota yang ceria.
  +
  +
Karena dia datang duluan ke loteng, sepertinya mereka takkan memberitahu apapun pada Louise. Saito merasa tak enak untuk sesaat. Dia rasa dia nanti harus berbicara dengan Louise. Ini diluar kuasanya, karena ini adalah keinginan Ratu.
  +
  +
Saito dan Henrietta diam-diam menyelinap melalui pintu belakang ke gang.
  +
  +
Keadaan waspada soal hilangnya Ratu sepertinya meningkat...Jalan keluar ke Chicton dijaga ketat lagi.
  +
  +
“Mereka menempatkan sebuah cordon”
  +
  +
Saito melaporkan keadaan yang tampak bagaikan drama polisi di dunianya. Entah bagaimana dia mengerti, Henrietta mengangguk.
  +
  +
“bagaimana sekarang? Apakah tak apa-apa bila tak menyembunyikan wajahmu?”
  +
  +
“Menyembunyikannya akan lebih mencurigakan. Letakkan tanganmu diatas bahuku.”
  +
  +
Saito memegangi bahu Henrietta sebagaimana diperintahkan. mereka menghampiri tempat dimana penjaga-penjaga berdiri. Ketegangan meningkat dan denyut mereka semakin cepat. Henrietta berbisik dengan nada keras.”
  +
  +
“Berpura-puralah bersender padaku. Seperti seorang pacar.”
  +
  +
Eh? Tak memberinya waktu berpikir. Henrietta menggenggam tangan Saito yang tengah memegangi bahunya, dan membimbingnya ke celah kemejanya yang terbuka. Saito panik begitu merasakan bukit Henrietta yang halus dan lembut diantara jemarinya.
  +
  +
“Jangan berontak.”
  +
  +
Henriettamendekatkan mulutnya ke telinga saito dan bergumam pelan, dengan sebuah senyum palsu di bibir,
  +
  +
Saito melewati penjaga sambil merasa tegang dua kali lipat.
  +
  +
Meski sang penjaga tak sengaja melihat pasangan tersebut...dia hanya pernah melihat wajah Ratu dari kejauhan. Lagipula, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, dia tak bisa membayangkan sang Ratu berjalan bersama seorang jelata, menyilahkan tangannya untuk menyentuh kulitnya dengan cara yang sedemikian rupa.
  +
  +
Dia langsung membuang pandangannya dan memanggil wanita lainnya untuk berhenti.
  +
  +
Henrietta tertawa sambil berjalan keluar ke Jalan Utama,
  +
  +
“Putri?”
  +
  +
“Tidak...Aku minta maaf. Karena tadi itu saat yang menggelikan. Namun, menyenangkan juga.”
  +
  +
“...Eh?”
  +
  +
“Aku mengenakan pakaian kasar, mengubah gaya rambutku...hanya mengenakan riasan ringan dan tiada yang dapat mengenalku.”
  +
  +
Itu pasti...Henrietta tampak menyatu dengan pemandangan malam ini. Saito merasa dia wanita yang berbeda.
  +
  +
“namun, kita terlihat oleh seseorang yang sedikit mengenal wajahmu, Putri.”
  +
  +
“Shh!”
  +
  +
Eh? Eeeh?”
  +
  +
“Jangan memanggilku putri di hadapan umum. Panggil aku ‘Ann; saja.”
  +
  +
“Ann, begitulah.”
  +
  +
“Ya.”
  +
  +
Lalu, Henrietta memiringkan kepalanya dalam keraguan.
  +
  +
“Ceritakan padaku namamu.”
  +
  +
Merasa sedih Tak dikenal sang Putri, saito menjawab.
  +
  +
“Saito.”
  +
  +
“saito, nama yang aneh.”
  +
  +
Pada saat itu, Henrietta bergumam sambil bersender pada saito layaknya seorang wanita kota.
  +
  +
“Y-yeah, Ann. Memang aneh.”
  +
  +
“Lebih keras.”
  +
  +
“Dimengerti, Ann.”
  +
  +
Henrietta melingkarkan lengannya pada saito sambil tersenyum.
  +
  +
  +
  +
Karena malam datang perlahan, pasangan ini pergi ke sebuah hotel untuk sementara. Hotel tersebut rumah tinggal yang murah nan tawar. Mereka diantar ke kamar kumuh di lantai 2 yang membuat loteng di “Charming Fairies” terlihat bagaikan surga. Kasurnya lembab, tak jelas sudah berapa hari ia ditinggal untuk dikeringkan, dan sebuah jamur kecil tumbuh di sudut kamar. Lampu tetap hitam meski arangnya telah digosok.
  +
  +
“yah, untuk uang yang segitu, kamarnya ternyata begini.”
  +
  +
Tapi Henrietta yang duduk di kasur berkata.
  +
  +
“Tidak, kamar ini luar biasa.”
  +
  +
“Begitukah...”
  +
  +
“Ya. disini, setidaknya kau tak harus khawatir...soal ular berbisa yang tidur di dadamu.”
  +
  +
“Dan juga tiada kumbang aneh.”
  +
  +
“Benar sekali.”
  +
  +
Henrietta tersenyum.
  +
  +
Saito duduk di kursi yang ada di kamar. Si Kursi seoleh protes, membuat suara derikan nan aneh. Karena sesuatu, dia ingin menjaga jarak antara dia dan rekan terhormatnya sejauh mungkin. Karena sulit untuk terus berbicara, Saito bertanya.
  +
  +
“Apakah ini benar-benar kamar yang bagus?”
  +
  +
“Ya. Ini menggairahkan. karena ada rasa biasa dan tak penting dari rakyat biasa...”
  +
  +
Dia menunjukan itu dengan sikap nan manis. Sikap Henrietta seperti itu menciptakan sedikit perasaan “dekat”.
  +
  +
Karena kamar gelap gulita, mereka memutuskan untuk menyalakan lampu berarang itu. dia tak dapat menemukan korek api sebatangpun, meski dia telah mencarinya kemana-mana.
  +
  +
“Tiada korek disini..aku akan turun dan membawanya kesini.”
  +
  +
Henrietta menggelengkan kepala dan mengeluarkan sebuah tongkat sihir kristal dari tasnya. Dia mengayunkannya dan ‘Posh!”, sumhbu lampu pun menyala. Henrietta duduk sambil menerawangi lampu dan meletakkan tangannya di dagu.
  +
  +
Saito yang entah kenapa merasa terpesona membuang pandangannya.
  +
  +
Melihat Henrietta yang tenang seperti itu...meski dia masih memiliki rasa dekat disekitarnya, dia tetaplah seorang Putri. Tidak, kini dia seorang Ratu...meski masih sangat muda. Kata Putri lebih pas baginya. Kelembutan dan ketegaran yang tak tertandingi. Meski rasanya mirip dengan Louise...tapi Louise dapat kekanak-kanakan ketika tak senang, sedangkan Henrietta tetap tenang dan teratur. Dia memiliki aura dewasa yang matang disekitarnya. Bahkan, hanya dari celah kemejanya saja orang sudah dapat mencium pesona kewanitaaannya. Pesona tak tergambarkan dari campuran harga diri ningrat dan bahaya.
  +
  +
“Bagaimana sekarang?”
  +
  +
Dia menanyai Saito dengan nada nan murni. Putri seperti ini memang sangat cantik, pikir Saito sambil menggumamkan sesuatu.
  +
  +
“Apakah Louise bak-baik saja?”
  +
  +
Tanya Henrietta pada Saito dari sisi lain lampu. Secara misterius, hadirnyaHenrietta membuat tempat kumuh ini bagaikan kamar tidur Istana Kerajaan, Henrietta memiliki kekuatan untuk mengubah suasana sekitar. Bahkan, waktu malam terasa bagaikan siang terang nan benderang.
  +
  +
“Yeah. Toh, dia, itu, dia berkata dia akan menyelesaikan tugasnya demi Putri...”
  +
  +
Sedangkan Louise, dia selalu menghardik Saito karena gagal mengumpulkan info.
  +
  +
“Dia baik-baik saja dalam hal itu.”
  +
  +
“Eh?”
  +
  +
“Anak itu telah mengirimkanku laporan yang presisi melalui kurir burung hantu setiap hari.”
  +
  +
“Begitukah?”
  +
  +
Jika kau memikirkannya, dia mungkin menulisnya saat Saito tidur. Betapa seriusnya dia.
  +
  +
“Ya...dia memberitahuku secara persis perihal setiap isu...Setiap isu. Tanpa keluhan sedikitpun. Dia bercampur dengan rakyat jelata secara meyakinkan, tak khawatir kapan ini akan berakhir. Karena anak itu ningrat...aku khawatir apa kesehatannya baik-baik saja.”
  +
  +
“Dia baik-baik saja. Dia mengerjakan segalanya dengan bersemangat.”
  +
  +
Saito mengangguk
  +
  +
“Saya juga senang.”
  +
  +
“Tapi, apakah informasi yang dikumpulkan Louise benar-benar berguna?”
  +
  +
“Ya. ia berguna.”
  +
  +
Henrietta tersenyum.
  +
  +
“Akus endiri ingin mendengarkan keinginan rakyat yang sebenarnya, opini nyata tentang politik yang kulakukan. Jika mereka memberitahuku secara langsung, mereka mengubah beberapa hal. Mereka takkan nyaman memberitahuku...sebagaimana bila mereka dengan yang lain. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Bahkan hal-hal yang tak kusuka.
  +
  +
Sebuah senyum sedih muncul di wajah Henrietta.
  +
  +
“Putri.”
  +
  +
“Tidak...Hanya saja, aku terkadang sulit menerima kenyataan. Meski aku disebut sebagai “Wanita Suci”, ada banyak sebutan kasar yang kudengar. AKu dipandang sebelah mata sebagai anak bawang yang mencoba menyerang Albion, menyalahgunakan wewenangnya untuk membentuk tentara penyerbu, dan aku dicurigai sebagai boneka Germania...benar sekali, tak sperti ratu sama sekali...”
  +
  +
“Benarkah?”
  +
  +
“Bukankah duniamu juga sama?”
  +
  +
“Eh?”
  +
  +
Saito terpana.
  +
  +
“Maafkan kelancanganku. Aku menanyai Osman sang Direktur Akademi Sihir. Aku terkejut saat mengetahui kau datang dari dunia yang berbeda. Aku sulit membayangkan bahwa dunia seperti itu ada. Jadi di duniamu, saat perang...apakah pemerintahan dikata-katai?”
  +
  +
Saito ingat. Koran dibanjiriberita-berita tentang korupsi para politisi saat perang...
  +
  +
“Tiada banyak perbedaan.”
  +
  +
“Jadi disanapun sama saja.”
  +
  +
gumam Henrietta, lega.
  +
  +
“Perang..apa kalian mengalaminya?”
  +
  +
“Negara kami tengah berada dalam salah satu.”
  +
  +
“Tidak...maksudku, selain menyerbu benua yang melayang itu?”
  +
  +
“Mengapa kau berkata begitu?”
  +
  +
“baru saja tadi kau berkata soal tentara penyerbu. Apa penyerbuan yang mirip juga berlangsung disini?”
  +
  +
“Begitulah. dalam kasus itu, perangnya tak berujung...Ada hal-hal yang tabu dibicarakan. Ini bukan hal yang dapat dibicarakan denganmu. Mohon lupakan.”
  +
  +
Tetap saja,Henrietta yang menyadari Saito terdiam, menengadah.
  +
  +
“Apa kau membenci perang?”
  +
  +
“Sepertinya aku tak menyukainya.”

Revision as of 02:05, 16 September 2011

Bab 3 Hari libur Tristania

Bagian 1

Lonceng Kuil Saint Rémy berdentang menandakan jam 11 tiba.

Saito tengah berlari menuju plaza pusat di jalan De Chicton.

Alasa dia lari adalah...,itu karena dia terlambat untuk sebuah kencan. Dia menyikut menyibak melalui massa untuk berjalan, dan hampir saja tak sampai tepat waktu di plaza pusat, dimana disana dia melihat orang yang menungguinya tengah merajuk.

"H-hei."

Melihat Saito, Louise, yang tengah duduk di pancuran, menggembungkan pipinya.

"Ada apa denganmu?! Kau telat!"

"Tidak...aku dicegat scarron saat hendak berangkat."

"Abaikan saja dia."

"Tak bisa, dia majikanku saat ini..."

Sambil menekan, Louise menarik Saito. aah, seharusnya aku menyelamatkan diri dan tak datang ke kencan ini bila dia marah-marah seperti ini.

Louise berdandan untuk kesempatan ini. dia malu-malu, karena meski dia terlihat cantik, pakaiannya tetap tak pantas bagi seorang ningrat...Dia berpakaian dalam trend terkini, yang terkenal diantara gadis-gadis kota __beret hitam dan baju hitam dengan garis leher yang tegas. Kalung yang diberikan Saito tergantung di lehernya. Dia nemar-benar terlihat seperti gadis kota dalam pakaian ini. Sebagaimana kita duga dari gadis dalam masa puber, sulit bagi Louise untuk mendapatkan baju yang cocok di kota.


Aaah, dia benar-benar memikat bila diam. Dengan lengan terlipat dan dagu terangkat, sang gadis memandangi jalan penuh fokus. Rambur pink blondenya berkilau lemah dibawah cahaya sang surya. Mata hazel besarnya merupakan tanda nyata bahwa dia dari dunia lain. Aah, Tuan tercintanya terlihat sangat manis sekarang, tengah menggerak-gerakkan kakinya tanda tak sabar.

"Hai, ayo pergi! Biar sampai sebelum acara dimulai." kata Louise yang tetap terdengar sedikit malu-malu.

Saito mengangguk dan terus berjalan namun Louise tetap berdiri di tempatnya.

"Ada apa sih?"

"Muu! Dampingi aku dengan benar dong!"

"Mendampingi?"

"Benar. Hei!"

Louise langsung menarik lengan Saito.

"Kuh?" Dia terlihat kaget dengan terangkainya lengan.

Berpegangan Tangan! Hal ini membuat Saito bertingkah aneh. Walau Louise biasa menggunakan tangannya sebagai bantalan tidur akhir-akhir ini, dia tetap tak terbiasa berjalan sambil berpegangan tangan di tengah-tengah kota. Saito merasa tegang. Lalu Louise menginjak kakinya.

"A-Apa?!"

"Kau harus memimpin jalan selama Hari Void kita. Mengapa kau tak mengatakan sesuatupun? Uuuuh!" Louise mengamuk.

"Ka-karena ini hari Void kita, bagaimana kalau kita ke te-teater?"

Louise menggelengkan kepala sambil mendesah lalu menarik lengan saito dan menyeretnya.

"Muu! Pendamping payah! Lewat sini!"

Dan begitulah yang terjadi, berjalan dengan cara dimana tak jelas siapa memimpin siapa, pasangan ini menyusuri jalan-jalan Tristain, di bawah terik sinar matahari musim panas.


Lalu, mengapa mereka ingin menonton pertunjukan?

Hari ini adalah Hari Rag dan penginapan Tutup. Louise mengatakan dia ingin pergi menonton pertunjukan pagi-pagi sekali saat tengah sarapan (meski sebenarnya ini makan malam, karena mereka tidur telat malam kemarin) dengan Saito di loteng.

"Pertunjukan?"

"Ya benar." gumam Louise yang entah kenapa mali.

"Kau suka hal-hal semacam pertunjukan?"

"Aku tak suka, tapi aku ingin melihat salah satu."

"Menontonnya?."

"Louise mengangguk. Bila dipikir baik-baik, Louise tumbuh di lingkungan yang berbeda. Louise dididik keras di rumah sehinggadia mungkin tak pernah ke teater kota.

Saito tiba-tiba merasa kasihan pada Louise saat memikirkan ini.

"Baiklah, tapi mengapa sekarang?"

"Jessica bilang hari ini ada pertunjukan yang sangat terkenal dipentaskan."

Louise tetap seorang gadis, yang tertarik hal-hal yang tengah ngetrend, sama seperti yang lain

Dan.

Louise bersikeras hal itu harus dilakukan dengan kencan untuk alasan tertentu.

"Rasanya tak benar hanya pergi kesana. Rasa itu penting! Karenanya ayo ketemuan!"

"Ketemuan?"

"Mau kan? Ketemuannya di air mancur di plaza pusat."

"Repot."

"Tentu tidak. makanya, ayo ke Teater Tanaijiiru Royal."

“Fuu~n.”

Jadilah mereka ketemuan.

Teater Royal Tanaijiiru benar-benar megah, sebuah teater agung dari pahatan nan indah. Kolom-kolom yang berbaris membuatnya bagaikan kuil.

Para lelaki dan wanita yang berpakaian indah berkumpul di sana.

Saito juga mengikuti mereka.

Setelah membeli tiket yang ternyata murah (mengejutkan!!!) dari loket, saito menuju kursi penonton. Sebuah tirai tebal diturunkan di panggung, membuat keadaan sekitar merinding...Saito memang bergairah oleh suasana yang misterius ini.

Kursi-kursi ditandai angka-angka yang juga tertulis pada tiket, menunjukkan dimana orang seharusnya duduk, namun karena saking bersemangatnya, Saito duduk di kursi yang berbeda tanpa menyadarinya.

saat dia dan Louise menunggu pertunjukan dimulai, seorang ningrat tampan berusia pertengahan dengan rambut perak nan indah menepuk pundaknya.

“Hai kawan.”

“Y-ya?”

“Ini kursi yang kupesan sejak lama. Bukankah kursimu beda?”

Dengan itu, nomor kursi dicocokkan. Memang sebagaimana yang dikatakan orang tadi. Dengan agak enggan, Saito, sambil dibujuk Louise, berdiri.

“Muu! Kau memalukan!” keluh Louise sambil menggelengkan kepala. Sambil mencari kursinya, saito menanyai Louise.

“Eh, pertunjukannya apa ya tadi?”

“ ...hari libur Tristania.”

“Gimana alurnya?”

“Putri sebuah negri dan pangeran negeri lain datang ke Tristania secara diam-diam. Psangan ini saling bertemu sambil menyembunyikan identitas mereka, namun begitu mereka jatuh cinta...mereka menyingkap identitas masing-masing dan berpisah. Sebuah kisah sedih.”

Cerita semacam itu sangat terkenal bagi gadis-gadis remaja. Dan memang teater disesaki gadis-gadis remaja.

Setelah dia bersusah payah menemukan kursinya, tirai terangkat. Pertunjukan dimulai. Musik dimainkan dan...terdengar indah dalam teater.

“Luar biasa.”

Louise menonton panggung dengan perhatian penuh.

Saito, yang menonton pertunjukan Helkeginia untuk pertamakalinya, awalnya memperhatikan penuh perhatian juga, Namun...dia segera bosan.

Skenarionya tak buruk – pikirnya. Tapi para pemainnya tak ahli. Meski Saito tak terlalu tertarik pada pertunjukan, dia pernah menonton berbagai movie di bumi dan beberapa pertunjukan sekolah.

Dibandingkan dengan itu...orang-orang ini pemain kelas teri. Terkadang suara mereka fals dan adegan menyanyi dilakukan dengan tak bernada. Apa ini benar-benar opera raya?

Namun Louise tetap tersentuh secara mendalam olehnya, sampai tertawa ‘ha!’ dan mendesah lemah. waa, seharusnya aku menikmati pertunjukan seperti mereka, pikir Saito.

Namun...pertunjukan tak menunjukkan kemajuan. Dia menerawangi, memperhatikan para penonton sekelilingnya dan menguap. Tampaknya ada beberapa wajah terkenal disana. Akan tetapi, hanya gadis-gadis remaja menonton para pemain dengan penuh fokus. Sepertinya ada hal-hal yang tak berubah meski dunianya berbeda.

Saito mulai mengantuk saat pertunjukan

Karena tak mampu lagi menahannya, dia mulai mendengkur perlahan.

  Louise melemparkan pandangan marah pada Saito yang tertidur,

A-Apa?! Dia ini...meski ini pertunjukan istimewa! Sia-sia Aku mengundangnya!

Ini adalah sebuah kencan bagi Louise. Seharusnya ini kencan pertama yang akan terus terkenang. Makanya dia begitu ribut soal-hal-hal kecil seperti cara bertemu dsb, tapi si familiar ini tak menyadarinya.

Terlebih lagi, dia tak membimbingku!

Dia tak tahu diaman teaternya!

Aku yang harusmembeli tiket!

Lebih jauh lagi, dia salah kursi, itu sangat memalukan!

Lalu...dia tertidur!

Meski dia memilih Saito sebagai teman kencan pertamanya yang telah begitu lama dinanti, familiar ini malas-malasan saat menjadi teman kencan tuannya!

Dan Saito memilih untuk acuh tak acuh! Tak Ter-Am-Pu-Ni! Louise menahan perasaan yang ingin ditumpahkannya dan menatap tajam Saito, yang telah memulai perjalanannya ke alam mimpi.

tapi..pertunjukannya sangat lama...dan Louise juga makin lelah seiring waktu. Lalu kantuk menguasanya dan dia perlahan menutup matanya.

Memang tak mungkin menahannya...dan dia menyenderkan kepalanya pada bahu saito...dia mulai menonton pertunjukan lain di alam mimpi...Louise mulai mendayung sebuah perahu.


Ada pengunjung lain yang juga tak menonton. Dia adalah bangsawan umur pertengahan yang kursinya diambil Saito secara salah tadi. Dia duduk di sebelahs eorang pedagang dan tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengannya.

Isi pembicaran ini...adalah hal-hal yang mereka dengar dari Jenderal-jenderal Tristain. Rahasia militer Tristain yang sangat tertutup adalah objek gosip ini.

“Pembangunan armada?” tanya sang pedagang.

“Paling tidak makan waktu setengah tahun.” jawab sang bangsawan.

Ada lebih banyak bisikan selama pembicaraan...sebagai imbalan informasi rahasia terkait kerajaan. si pedagang memberikan sebuah kantong kecil pada si bangsawan.

Si pedagang berbisik, “Tapi...mengapa kita bertemu di teater?”

“Apa? Untuk mengadakan pembicaraan rahasia di keramaian. Sudah biasa bila kita membisikkan sebuah cerita disini. Karenanya- sebuah teater. Jika kau melakukannya di sebuah ruangan sempit, orang-orang akan curiga kau merencanakan suatu makar.”

“Haha. Saya yakin Yang Mulia akan sangat tertarik pada informasi Tuah. Dia bahkan mungkin memberimu sebuah medali jika kau datang ke atas awan.”

“Orang Albion ini berhati dingin.”

“Apa? Seluruh daratan ini akan dipanggil dengan nama itu, cepat atau lambat. Terima kasih untuk kerjasamanya.”

Setelah mengatakan ini, si pedagang mencoba berdiri. Sang Bangsawan menghentikannya.

“Apa lagi?”

“Mengapa kau tak berlaku lebih tenang? Tunggu hingga menit terakhir pertunjukan.”

Lantai batu Istana Kerajaan Tristain menggemakan suara derap sepatu begitu seorang ksatria wanita muda berjalan. Rambutnya blonde pendek dan matanya biru cerah. Sebuah baju rantai pelindung dengan bagian lapisan logam melingkari tubuhnya, sebagai tambahan dari jubah dengan mantel lili bersenjata yang dilukis pada jubah tersebut.

Namun tiada tongkat di pinggangnya...yang ada malah sebuah pedang yang panjang dan tipis. datang dan pergi, para penjaga yang merupakan bangsawan dan penyihir terhenti dan menatapnya heran, karena tak biasa melihat pedang di Istana Kerajaan.

Para penyihir yang melihat pedang di pinggangnya dan mal rantai yang dia pakai mulai berbisik sesama mereka.

“Hah! Wanita jelata!”

“Dia pasti mendapatkan izin luar biasa untuk berjalan di Istana dengan pakaian seperti itu, oh...zaman sudah berubah!”

“Apalagi wanita ini Protestan! Memberikan gelar Chevalier pada serangga yang sangat berbahaya...aku malu sekali pada paduka muda kita!”

Meski tatapan dan suara-suara tak enak menggema, wanita muda itu terus berjalan lurus, tanpa memandang mereka sedikitpun. Di akhir lorong...dia menuju kantor Henrietta. Dia diberhentikan oleh seorang anggota penyihir penjaga di pintu yang menyandang sabit kerajaan di dadanya, yang tak memperbolehkannya mengunjungi Paduka.

“Paduka tengah berada dalam sebuah konferensi saat ini. Datang lagi nanti.”

Penyihir penjaga mengatakannya dengan dingin, sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketaksukaannya pada ksatria wanita tersebut.

“Mohon bilang padanya bahwa Agnes datang. Aku diizinkan mengunjungi Paduka setiap saat.”

Sang Penjaga menatapnya tajam lalu membuka pintu dan menghilang kedalam ruangan. Setelah itu, dia datang kembali dan mengizinkan Agnes masuk ruangan.

Begitu Agnes memasuki ruangan, Henrietta tengah berdiskusi dengan Richmon dari Pengadilan Tinggi. Apa itu Pengadilan Tinggi? Pengadilan tinggi merupakan Badan yang mengatur administrasi keadilan kerajaan. Kapanpun kelas yang diistimewakan tak setuju...Keputusan menyela masuk. Mereka memeriksa sastra, opera atau pertunjukan dalam teater, atau membimbing pasar rakyat jelata dan seringkali menangani konflik didalam administrasi pemerintahan monarki provinsi.

Henrietta yang menyadari kehadiran Agnes, tersenyum sampai ke ujung bibir, dan mengatakan pada Richmon agar diskusi ditunda.

“Tapi Paduka...Menaikkan pajak lagi akan membuat ketidakpuasan diantara rakyat jelata membesar. Ini akan menciptakan kekacauan, Negara lain mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menekan kita.”

“Ini darurat. Meski rakyat kita kekurangan...” “Pembangunan 50 kapal perang! 20.000 tentara bayaran! Mempersenjatai 15.000 tentara ningrat! Ransum untuk petugas, orang dan kekuatan sekutu! darimana kau bisa dapat uang sebegitu banyak? Membangun sebuah tentara penyerbu dst...Mohon dilupakan saja.”

“Kini, Prioritas nasional Tristain adalah Penggulingan Albion.”

“Tapi Paduka, meski mantan raja-mantan raja dari Halkeginia bersatu dan menyerang Albion berulang kali...mereka selalu dikalahkan. Pergi berperang menyebrangi langit memiliki lebih banyak kesulitan daripada yang terbayangkan.” ucap Richmon, dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan “tak mungkin”.

“Aku tahu. namun, aku juga tahu bahwa Menteri keuangan melaporkan bahwa “Pengadaan biaya perang ini tak mustahil.”. Apa kau tak puas kau takkan bisa menikmati kemewahanmu yang sekarang? Aku ingin tahu, seberapa banyak sih yang kau tabung sejak kau mulai bekerja?” kata Henrietta secara sarkastik, sambil memandang pakaian indah yang dikenakan Richmon.

“Aku sendiri melarang ksatria penjaga kerajaan untuk mengenakan rantai perak yang menghiasi cane sebagai contoh bagi yang lain. Kita sekarang bersatu Richmon. Tiada lagi ningrat, jelata atau anggota keluarga kerajaan.”

Henrietta menatap tegas pada Richmon. Richmon menundukkan kepalanya.

“Kau dapat aku dengan ini. Aku tahu Paduka. Namun, Dewan Pengadilan Tinggi terdiri dari banyak orang dan tak mungkin mereka serempak setuju dengan perang ini. Aku ingin kau menyadarinya sebagai sebuah kenyataan.”

“Kita akan mencapai kesepakatan, dengan usaha dari kardinal dan saya sendiri. Saya percaya kita dapat membujuk dewan.”

Richmon memandangi Henrietta yang mengucapkan ini dengan mata nan tajam.

“..Ada yang salah?”

“Tidak..Aku hanya mengagumi.”

“Mengagumi?”

“Itu benar. Richmon ini telah melayani Philip si hebat selama 10 tahun, 30 tahun lalu. Saat kau lahir, aku tahu lebih banyak mengenai Yang Mulaia dibandingkan Yang Mulia sendiri.”

“Oh, itu.”

“Meski mungkin  kau tak ingat, Raja dan Ratu benar-benar senang dengan kelahiranmu! Meski menakutkan untuk mengangkat tubuh kecilmu dengan lenganku, aku merasa terhormat untuk mengayunkan dan memandikan Paduka sekali-dua kali.”

“Ibuku mengatakan kau mekukannya dengan baik.” kata Henrietta sambil tersenyum.

“Kau terlalu baik. Baru saja aku berkata kasar soal tak memikirkan ibu Pertiwi.”

“Kau seorang Pahlawan sejati, aku tahu itu dengan sangat baik.”

“Ya sudah, aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Meski dahulu Yang Mulia adalah seorang cengeng, kini dia telah menjadi wanita sempurna. Tiada yang perlu aku sesali.”

“Aku masih seorang yang cengeng. Mohon pinjamkan kekuatanmu untuk Ibu Pertiwi, Richmon.”

Richmon membungkuk, meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Henrietta mengangguk.

Agnes yang berdiri di sebelah pintu, menonton Richmon yang pergi.

Akhirnya Agnes menghadap Henrietta, yang duduk di kursi, dan berlutut sambil menundukkan kepala.

“Selamat datang, Agnes Chevalier de Milan.”

Sambil melihat ke langit-langit, Henrietta bertanya “Apa kau sudah menyelesaikan penyelidikan?”

“Ya.”

Agnes mengeluarkan surat dari dadanya dan menyerahkannya pada Henrietta. Sang Ratu mengambilnya dan membaca isinya. Ini adalah...Ini adalah...Henrietta memerintahkan Ksatria wanita ini untuk menyelidiki kejadian malam tak terduga itu. Malam dimana seorang penculik dari Albion...Wales yang dihidupkan kembali, menyusup masuk Istana Kerjaan, sesuai rencana tertulis seseorang.

“Jadi sang penunjuk jalan tak dibimbing sendiri...begitu kan?”

“Benar sekali, dia dibantu orang dalam, jalinan ditarik ke atas, dan dia bisa masuk kedalam Istana kerajaan tanpa disadari bagai dia seorang diri.”

“Untuk bersembunyi, begitu kelompok yang mencoba membujukku datang.” kata Henrietta dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya. Hanya dalam 5 menit, Yang Mulia.”

“Begitu ketahuan, dia bersikeras ini kebetulan semata. Namun, dia tak bisa menjelaskan sumber uang yang diterimanya...”

Orang yang namanya tertulis disana, adalah salah satu yang dia tunjuk sendiri, dan dikiranya akan setia, namun disuap sejumlah...

“70.000 écu...Emas sejumlah ini lebih tinggi daei seluruh pensiunnya.”

“Begitulah sebagaimana yang kau katakan.”

Sambil berlutut, Agnes menyetujui perkataan ratu.

“Meski kita bisa menangkap mata-mata yang bekerja demi uang itu...Jumlah yang menyebrang ke sisi Albion kini meningkat.”

“Karyawan itu...”

“Aku tak bisa menghubunginya kemarin. Mungkin, dia merasa dia sudah ketahuan.”

“Henrietta mendesah.”

“Ular di dada.”

“Para bangsawan Reconquista mencapai dan mendengar jauh melebihi batas negara.”

“Kekuatan uang. Seorang lelaki dengan mimpinya berubah jadi lelaki dengan nafsu pada emas. Untuk uang...dia berusaha menjualku dan negara.”

Agnes terdiam. Henrietta menaruh tangannya pada bahu Agnes dengan perlahan.

“Kau melakukannya dengan baik. Terima kasih.”

Agnes melihat sabit di jubahnya. Sabit...lili, perlambang keluarga Kerajaan.

“Aku mendedikasikan diriku pada Yang Mulia. Yang Mulia telah memberi saya nama keluarga dan Posisi.”

“Aku tak bisa percaya pada opemakai sihir lagi. Kecuali beberapa teman lama...” ucap Henrietta dengan nada sedih.

“Di Tarbes, bangsawan mirip dengan tentara. Karenanya, inilah yang membuatmu seorang ningrat sejati.”

“Kau terlalu baik.”

“Henrietta menggelengkan kepalanya perlahan.

“Agnes, Kau...bersusah payah di dewan kerajaan.”

“Aku lahir sebagaimana aku dilahirkan. Dan ejekan-ejekan itu tak berpengaruh.”

“Meski kau bukan seorang ningrat sejak lahir, kau seorang ningrat dengan jiwamu. betapa bodohnya mereka.”

Agnes menggumamkan sebuah pertanyaan, “Dan bagaimana tindakanmu terhadap kasus orang itu?”

“Tak cukup bukti. Sulit untuk membuktikan sebuah kejahatan.”

“Lalu...”Agnes melanjutkannya dengan suara rendah.

“Aku hanyalah seorang Ratu yang baru diangkat...Aku akan menyerahkan semuanyapada ‘Korps Musketeer’.”

Setelah pengkhianatan komandan Wardes, Perang Tarbes, dan pemusnahan Korps Griffon yang baru-baru saja terjadi, Garda Sihir yang seharusnya melindungi Kerajaan runtuh. Korps Griffon kini dibawah komando Korps Manticore, karenanya hanya satu unit yang masih bertugas.

Untuk mengatasi kekurangan penjaga, Henrietta mendirikan ‘Korps Musketeer’ yang dipimpin Agnes. Sebagaimana namanya, ia menggunakan kekuatan musket dan pedang, bukan sihir. Karena kekurangan penyihir, anggotanya adalah para jelata...demi keselamatan pribadi Henrietta, yang merupakan wanita, Garda ini seluruhnya terdiri dari Wanita.

Karena ada kesulitan komunikasi bila seorang komandan buka aristokrat, Agnes dihadiahi sebuah Gelar bangsawan karena pengecualian. Dia menjadi sorang Chevalier dan sebuah nama keluarga buatan diberikan.

Pengecualian Henrietta membuat kekuatan militer nasional menngkat karena jumlah para jelata yang bergabung. Meski golongan ningrat terhenak oleh ide ini, Henrietta menekannya. Meski kelihatannya seperti bagaimana mereka bersekutu dengan Germania, sebenarnya ini berbeda. Henrietta, berkat penculikan yang menghancurkan kepercayaannya begitu dalam...tak bisa mempercayai penyihir lagi.

“kami adalah sebagaimana yang dikatakan Dewan Kerajaan – terlahir tanpa kebaikan. Memang mustahil untuk menjadi seorang ningrat.”

Henrietta menggelengkan kepalanya. :Siapa yang bilang kau bukan seorang ningrat? kau adalah komandan Korps Ksatria garda Imperial yang aku bentuk sendiri. Komandan garda Imperial berbeda dengan yang lainnya, karena posisimu hanya bisa ditandingi seorang marshal lapangan.”

Agnes membungkuk dalam-dalam,

“Banggalah, Berjalan tegaklah. “Aku seorang aristokrat’ Bilang itu pada dirimu sendiri di depan cermin. Jika kau melakukannya, kau pada akihirnya akan memperoleh kebaikan itu.”

“Sebagaimana kata anda.”

“Kau terus saja ikuti rencana awal kita dan awasi aksi orang itu. Jika kita benar, si penjahat pasti akan membuka dirinya sendiri besok.”

“Kita takkan membiarkan mereka pergi bebas?”

“tentu. Aku takkan memaafkan siapapaun yang terkait kejadian malam itu...Negara...orang..Siapapaun.”

Lalu Agnes membungkuk dalam-dalam dan meninggalkan ruangan.

Dia sangat berterimakasih pada Henrietta. Bukan karena posisi atau nama keluarga...Bukan itu, tapi karena dia diberikan kesempatan untuk membalas dendam.

Bagian 2

Saito tengah terbaring di lantai. Sedang menindih diatasnya Louise yang berdiri bernapas terengah-engah. Kita bewrada di dapur penginapan ‘Charming Fairies’. Penginapan baru saja dibuka, tapi didalam sudah ramai. Louise, dengan lengan tersilang, memandang ke bawah pada Saito.

“Kakak, Ceritakan padaku.”

Louise tetap memanggilnya kakak. Di sini, Saito berpura-pura menjadi kakak Louise. Tiada yang mempercayainya, toh semua orang di penginapan sudah tahu Louise seorang ningrat, namun Louise terus memanggilnya Kakak. Benar-benar kepala batu.

“Apa, adikku?” tanya Saito dalam nada tertahan dan sesak karena hajaran keras Louise.

“Apa yang kau lakukan sebelum ku memanggilny?”

“Mencuci piring.”

“Jangan berdusta. Kau melihat yang lain.”

“Sedikit”

“itu tidak sedikit namanya.”

Louise menunjuk ke dalam penginapan

“Kau memandangi paha gadis itu, dada gadis itu, dan pantat gadis itu...”

Lalu, dengan marah, Louise menunjuk Jessica.

“Kau tengah memandangi lembah dada Jessica juga.”

“Sedikit.”

“Kakak, Hei...”

Louise menginjak wajah Saito dengan kakinya.

“Ya?”

“Bukankah akibatnya buruk bagimu bila kau tak memperhatikanku? Bukankah Tuanmu mengumpulkan info dari pemabuk-pemabuk? Jika tuanmu yang manis ini dalam keadaan bahaya, kau harus melindunginya, kan?”

“Maafkan aku.”

“Maaf saja tidak cukup, kau hanya memperhatikanku dua kali. Aku menghitungnya lho. Kau melihat gadis ini dan itu empat kali. Kau melihat belahan Jessica 12 kali. Kau membuang pandangan dari tuanmu, mengacuhkannya, Aku tak bisa menoleransinya!”

“Hei, aku tak memandangi mereka!”

Punten. Aku melihat Louise setiap hari. Wajah tidurnya pun aku tonton. Itu adalah cinta. Aah, tuan memang manis. Namun, aku ingin kau memperbolehkanku memandangi gadis lainnya. Ini sudah sifat lelaki. Kau tak bisa melawannya meski membuang pandangan. Tiada gunanya menjadi marah...Saito salah memahami amarah Louise.

Tapi, dia takkan mengatakannya keras-keras. Kini, Saito sudah mempelajari cara menjinakkan Louise.

“Bagaimana kalau saat kau melihat yang lain, aku diserang orang aneh? Apa kau paham? Apa kau begitu inginnya membahayakan aku?”

“Tidak...Bukankah semuanya akan baik-baik saja? Ugh!”

“Mengapa?”

“Sebenarnya tuan tidak begitu menarik. Tubuh kecil, popularitasnya kecil juga.” kata Saito, mengeluarkana isi pikirannya. Louise mengembangkan tangannya, mendesahkan “Fuuh’, dan memulai pemanasan untuk olahraga fisik berikutnya.

“Benarkah? Begitu ya? Anjing ini hanya bisa diajarkan secara fisik. Nnshotto.”

Louise kembali memulai olahraga fisiknya.

Selama Louise sedang pemanasan, Saito diam-diam menyelinap keluar pintu belakang. Dia sudah cukup dengan hukuman yang tadi. 10 menit. Dia perlu melarikan diri dan beristirahat. Saito mencengkram Derflinger yang terbungkus kain. Karena insiden-inseden sebelumnya, kini dia selalu membawa Derflinger. Dia memutuskan membawanya, meski enggan, karena agak menyusahkan dia. Begitu dia membuka pintu belakang dan melangkah ke jala, dia melihat seorang wanita berkerudung berlari dalam langkah kecil-kecil menuju arahnya.

Don! Wanita ini bertabrakan dengan Saito, yang baru saja membuka pintu, dan jatuh ke tanah. Ini membuat Saito terkejut.

“M-Maaf..Apa kau tak apa-apa?”

Wanita ini menyembunyikan wajah dengan kerudungnya dan berkata dengan nada panik, “...itu, apakah penginapan “Charming Fairies” di sekitar sini?”

‘Eh? Itu disini...”

Saat mengucapkan itu, saito menyadari suara wanita itu sepertinya ia kenal. Wanita itupun menyadari hal yang sama. Diam-diam, dia menyingkap ujung kerudungnya dan mencuri pandang pada wajah Saito.

“Putri!”

“Shh!” katanya, menutup mulut Saito. Henrietta yang terbungkus dalam kerudung abu-abbu, menyembunyikan dirinya di belakang Saito agar tak terlihat dari Jalan Utama.

“Cari disana!”

“Mungkin dia menuju Jalan Bourdonne!”

Dari Jalan utama, terdengar suara-suara kasar para prajurit. Henrietta memasang kerudungnya lagi.

“...Apakah ada tempat dimana ku bisa bersembunyi?”

Henrietta tampak begitu kecil.

“Disini ada loteng tempat kami tinggal...”

“Mohon tunjukkan jalan ke sana.”


“Saito diam-diam membawa Henrietta ke loteng. Henrietta duduk di kasur dan menghembuskan napas kuat-kuat.

“...Aman untuk saat ini.”

“Ini tak aman. Apa yang tadi itu?”

“Aku baru saja menyelinap keluar selama semenit...dan kekacauan semacam itu terjadi.”

“Huh? Bukankah anda diculik kemarin-kemarin? Pantas saja terjadi keributan!”

Henrietta terdiam,

“Putri, bukankah kau sekarang memimpin? Dan masih saja bertindak semau hati>”

“Bukan begitu. Ini karena ada urusan penting...Dan kudengar dari lkaporan bahwa Louise ada disini...Aku sendang bisa bertemu langsung denganmu.”

“OK, OK, kalau begitu akan kupanggil Louise.”

Louise yang menyadari setelahnya bahwa Saito menghilang pasti akan meledak, tapi mungkin ini bisa melembutkannya. Sikap Louise mudah dikira-kira seperti biasa.

“Jangan.”

Henrietta menghentikan Saito.

“M-mengapa?”

“Aku tak ingin berbicara dengan Louise.”

“Apa?”

“Aku tak ingin mengecewakan anak itu.”

saito lalu duduk di kursi dan menatap Henrietta.

“Lalu, untuk apa lagi? Menyelinap keluar benteng tanpa izin bukanlah hal yang baik untuk dilakukan.”

Lalu Saito sadar akan sesuatu.

“Tapi, jika kau tak kesini untuk bertemu Louise, lalu untuk apa?”

“Aku datang untuk meminjam kekuatanmu.”

“S-Saya?”

“Jika kau setuju, aku ingin kau menjagaku hingga esok.”

“”M-mengapa saya? Bukankah anda Sang Ratu? Anda punya banyak tentara dan penyihir untuk menjaga anda...”

“Untuk hari ini dan esok, aku ingin bercampur dengan rakyat jelata. Dan tentu saja aku tak ingin siapapun dari Istana tahu. jadi...”

“Apa?”

“Aku hanya mempercayaimu.”

“Itu...tak punyakah anda orang lain?”

“Ya. Aku tahu kau orang baik, dan aku sendiri, kesepian di Istana. Banyak yang tak menyukaiku sebagai seorang ratu muda...”

Dan setelah keenganan sesaat, menambahkan,

“...dan sebagai seorang pengkhianat.”

Saito teringat Wardes . Meminta Louise, yang merupakan teman terbaiknya, untuk menempuh perjalanan incognito – mungkin ada sesuatu yang bahkan tak bisa dibicarakan dengan Louise.

“Saya mengerti. Karena ini permintaan Putri, saya akan melakukannya, tapi...”

Saito lalu menatap wajah Henrietta.

“Ini berbahaya, kan?”

Henrietta menundukkan pandangannya.

“ya.”

“Benarkah? Kalau begitu, Tuan putri jangan bilang tentang urusan menempuh bahaya inipada Louise. Berjanjilah pada Saya.”

“Baiklah.”

Henrietta mengangguk.

“Ok, semua sudah jelas, tapi...”

“Kalau begitu, ayo pergi. Kita tak bisa disini terus.”

“Kemana?”

“Kita takkan meninggalkan kota. Harap tenang. Kini, aku ingin ganti pakaian...”

Henrietta memandangi pakaian di bawah jubahnya. Pakaian putih, bersih dan elehan yang tersembunyi dibalik jubah adalah terlalu mencolok. Bahkan seorang ningrat pun takkan mengeluh akan hal ini.

“Ini adalah pakaian Louise tapi...Dia membelinya untuk membuatnya tampak seperti rakyat jelata.”

“Mohon pinjamkan padaku.”

Saito menarik kotak dibawah kasur dan mengeluarkan pakaian Louise. Henrietta lalu membalikkan badan, membelakangi Saito, tak khawatir Saito melihatnya! Saito mulai panik begitu dia menanggalkan pakaiannya. Secara tak sengaja, Saito menangkap sekilas dada Henrietta dari belakang. Meski tak sebesar Kirche, tetap saja ia lebih besar dari milik Siesta. Toh, dia seorang ratu, jadi dadanya pastilah yang pantas untuk seorang ratu. Tapi dia lalu sadar.

Apa Henrietta bisa mengenakan kemeja Louise?

Yang terjadi tepat seperti perkiraannya.

“Kemejanya...rada-rada sesak.”

Tak ‘rada-rada’ lagi. Kemeja itu dibeli untuk ukuran Louise, dan tak bisa memuat dada Henrietta. Semakin dia bergerak, semakin banyak kancing yang terlepas.

“Mhm, Sangat...”

kata Saito sambil memegangi hidungnya,

“Mhh, bagus?”

Bagus! Tiada lagi yang bisa diharapkan kita dari seorang ratu. Henrietta seharusnya tak khawatir soal itu. “Aku harap ini tak terlalu menonjol diantara orang-orang.” gumam Henrietta saat dia melepas 2 kancing teratas.

Itu hanya semakin menonjolkan lembah dadanya – Seakan tiada kemeja sejak awal. Meski agak malu, berjalan disebelah lelaki adalah keuntungan. Ini juga membuat mereka tak menyadari ia seorang ratu dan membuatnya nampak lebih sebagai seorang wanita.

“Ayo pergi.” ujar Henrietta pada saito.

“Kita belum bisa pergi.”

“Eh? benarkah/”

“Setidaknya kau harus mengubah gaya rambutmu.”

“Kalau begitu, ubahlah.”

Toh, Henrietta memang mirip dengan Louise, ratu yang tak berpengalaman, pikir Saito sambil merapihkan rambut Henrietta. bahkan mengubah pakaian tak bisa menutupinya...

Dia mengangkat rambut Henrietta membentuk poni, sebagaimana dia sesekali lakukan untuk Louise.

Ini sangat mengubah suasana. Saito lalu mengenakan riasan ringan pada Henrietta dengan kosmetik Louise. Bukankah kita perlu riasan di penginapan? Karena Louise berkata begitu, saito membelinya...Tapi karena Louise tak pernah menggunakannya, sisanya sangat banyak.

“Fufu, dengan begini, kau terlihat seperti wanita kota.”

Dengan riasan ringan dan kemeja yang terbuka bagian depannya...Dia terlihat seperti seorang wanita kota yang ceria.

Karena dia datang duluan ke loteng, sepertinya mereka takkan memberitahu apapun pada Louise. Saito merasa tak enak untuk sesaat. Dia rasa dia nanti harus berbicara dengan Louise. Ini diluar kuasanya, karena ini adalah keinginan Ratu.

Saito dan Henrietta diam-diam menyelinap melalui pintu belakang ke gang.

Keadaan waspada soal hilangnya Ratu sepertinya meningkat...Jalan keluar ke Chicton dijaga ketat lagi.

“Mereka menempatkan sebuah cordon”

Saito melaporkan keadaan yang tampak bagaikan drama polisi di dunianya. Entah bagaimana dia mengerti, Henrietta mengangguk.

“bagaimana sekarang? Apakah tak apa-apa bila tak menyembunyikan wajahmu?”

“Menyembunyikannya akan lebih mencurigakan. Letakkan tanganmu diatas bahuku.”

Saito memegangi bahu Henrietta sebagaimana diperintahkan. mereka menghampiri tempat dimana penjaga-penjaga berdiri. Ketegangan meningkat dan denyut mereka semakin cepat. Henrietta berbisik dengan nada keras.”

“Berpura-puralah bersender padaku. Seperti seorang pacar.”

Eh? Tak memberinya waktu berpikir. Henrietta menggenggam tangan Saito yang tengah memegangi bahunya, dan membimbingnya ke celah kemejanya yang terbuka. Saito panik begitu merasakan bukit Henrietta yang halus dan lembut diantara jemarinya.

“Jangan berontak.”

Henriettamendekatkan mulutnya ke telinga saito dan bergumam pelan, dengan sebuah senyum palsu di bibir,

Saito melewati penjaga sambil merasa tegang dua kali lipat.

Meski sang penjaga tak sengaja melihat pasangan tersebut...dia hanya pernah melihat wajah Ratu dari kejauhan. Lagipula, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, dia tak bisa membayangkan sang Ratu berjalan bersama seorang jelata, menyilahkan tangannya untuk menyentuh kulitnya dengan cara yang sedemikian rupa.

Dia langsung membuang pandangannya dan memanggil wanita lainnya untuk berhenti.

Henrietta tertawa sambil berjalan keluar ke Jalan Utama,

“Putri?”

“Tidak...Aku minta maaf. Karena tadi itu saat yang menggelikan. Namun, menyenangkan juga.”

“...Eh?”

“Aku mengenakan pakaian kasar, mengubah gaya rambutku...hanya mengenakan riasan ringan dan tiada yang dapat mengenalku.”

Itu pasti...Henrietta tampak menyatu dengan pemandangan malam ini. Saito merasa dia wanita yang berbeda.

“namun, kita terlihat oleh seseorang yang sedikit mengenal wajahmu, Putri.”

“Shh!”

Eh? Eeeh?”

“Jangan memanggilku putri di hadapan umum. Panggil aku ‘Ann; saja.”

“Ann, begitulah.”

“Ya.”

Lalu, Henrietta memiringkan kepalanya dalam keraguan.

“Ceritakan padaku namamu.”

Merasa sedih Tak dikenal sang Putri, saito menjawab.

“Saito.”

“saito, nama yang aneh.”

Pada saat itu, Henrietta bergumam sambil bersender pada saito layaknya seorang wanita kota.

“Y-yeah, Ann. Memang aneh.”

“Lebih keras.”

“Dimengerti, Ann.”

Henrietta melingkarkan lengannya pada saito sambil tersenyum.


Karena malam datang perlahan, pasangan ini pergi ke sebuah hotel untuk sementara. Hotel tersebut rumah tinggal yang murah nan tawar. Mereka diantar ke kamar kumuh di lantai 2 yang membuat loteng di “Charming Fairies” terlihat bagaikan surga. Kasurnya lembab, tak jelas sudah berapa hari ia ditinggal untuk dikeringkan, dan sebuah jamur kecil tumbuh di sudut kamar. Lampu tetap hitam meski arangnya telah digosok.

“yah, untuk uang yang segitu, kamarnya ternyata begini.”

Tapi Henrietta yang duduk di kasur berkata.

“Tidak, kamar ini luar biasa.”

“Begitukah...”

“Ya. disini, setidaknya kau tak harus khawatir...soal ular berbisa yang tidur di dadamu.”

“Dan juga tiada kumbang aneh.”

“Benar sekali.”

Henrietta tersenyum.

Saito duduk di kursi yang ada di kamar. Si Kursi seoleh protes, membuat suara derikan nan aneh. Karena sesuatu, dia ingin menjaga jarak antara dia dan rekan terhormatnya sejauh mungkin. Karena sulit untuk terus berbicara, Saito bertanya.

“Apakah ini benar-benar kamar yang bagus?”

“Ya. Ini menggairahkan. karena ada rasa biasa dan tak penting dari rakyat biasa...”

Dia menunjukan itu dengan sikap nan manis. Sikap Henrietta seperti itu menciptakan sedikit perasaan “dekat”.

Karena kamar gelap gulita, mereka memutuskan untuk menyalakan lampu berarang itu. dia tak dapat menemukan korek api sebatangpun, meski dia telah mencarinya kemana-mana.

“Tiada korek disini..aku akan turun dan membawanya kesini.”

Henrietta menggelengkan kepala dan mengeluarkan sebuah tongkat sihir kristal dari tasnya. Dia mengayunkannya dan ‘Posh!”, sumhbu lampu pun menyala. Henrietta duduk sambil menerawangi lampu dan meletakkan tangannya di dagu.

Saito yang entah kenapa merasa terpesona membuang pandangannya.

Melihat Henrietta yang tenang seperti itu...meski dia masih memiliki rasa dekat disekitarnya, dia tetaplah seorang Putri. Tidak, kini dia seorang Ratu...meski masih sangat muda. Kata Putri lebih pas baginya. Kelembutan dan ketegaran yang tak tertandingi. Meski rasanya mirip dengan Louise...tapi Louise dapat kekanak-kanakan ketika tak senang, sedangkan Henrietta tetap tenang dan teratur. Dia memiliki aura dewasa yang matang disekitarnya. Bahkan, hanya dari celah kemejanya saja orang sudah dapat mencium pesona kewanitaaannya. Pesona tak tergambarkan dari campuran harga diri ningrat dan bahaya.

“Bagaimana sekarang?”

Dia menanyai Saito dengan nada nan murni. Putri seperti ini memang sangat cantik, pikir Saito sambil menggumamkan sesuatu.

“Apakah Louise bak-baik saja?”

Tanya Henrietta pada Saito dari sisi lain lampu. Secara misterius, hadirnyaHenrietta membuat tempat kumuh ini bagaikan kamar tidur Istana Kerajaan, Henrietta memiliki kekuatan untuk mengubah suasana sekitar. Bahkan, waktu malam terasa bagaikan siang terang nan benderang.

“Yeah. Toh, dia, itu, dia berkata dia akan menyelesaikan tugasnya demi Putri...”

Sedangkan Louise, dia selalu menghardik Saito karena gagal mengumpulkan info.

“Dia baik-baik saja dalam hal itu.”

“Eh?”

“Anak itu telah mengirimkanku laporan yang presisi melalui kurir burung hantu setiap hari.”

“Begitukah?”

Jika kau memikirkannya, dia mungkin menulisnya saat Saito tidur. Betapa seriusnya dia.

“Ya...dia memberitahuku secara persis perihal setiap isu...Setiap isu. Tanpa keluhan sedikitpun. Dia bercampur dengan rakyat jelata secara meyakinkan, tak khawatir kapan ini akan berakhir. Karena anak itu ningrat...aku khawatir apa kesehatannya baik-baik saja.”

“Dia baik-baik saja. Dia mengerjakan segalanya dengan bersemangat.”

Saito mengangguk

“Saya juga senang.”

“Tapi, apakah informasi yang dikumpulkan Louise benar-benar berguna?”

“Ya. ia berguna.”

Henrietta tersenyum.

“Akus endiri ingin mendengarkan keinginan rakyat yang sebenarnya, opini nyata tentang politik yang kulakukan. Jika mereka memberitahuku secara langsung, mereka mengubah beberapa hal. Mereka takkan nyaman memberitahuku...sebagaimana bila mereka dengan yang lain. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Bahkan hal-hal yang tak kusuka.

Sebuah senyum sedih muncul di wajah Henrietta.

“Putri.”

“Tidak...Hanya saja, aku terkadang sulit menerima kenyataan. Meski aku disebut sebagai “Wanita Suci”, ada banyak sebutan kasar yang kudengar. AKu dipandang sebelah mata sebagai anak bawang yang mencoba menyerang Albion, menyalahgunakan wewenangnya untuk membentuk tentara penyerbu, dan aku dicurigai sebagai boneka Germania...benar sekali, tak sperti ratu sama sekali...”

“Benarkah?”

“Bukankah duniamu juga sama?”

“Eh?”

Saito terpana.

“Maafkan kelancanganku. Aku menanyai Osman sang Direktur Akademi Sihir. Aku terkejut saat mengetahui kau datang dari dunia yang berbeda. Aku sulit membayangkan bahwa dunia seperti itu ada. Jadi di duniamu, saat perang...apakah pemerintahan dikata-katai?”

Saito ingat. Koran dibanjiriberita-berita tentang korupsi para politisi saat perang...

“Tiada banyak perbedaan.”

“Jadi disanapun sama saja.”

gumam Henrietta, lega.

“Perang..apa kalian mengalaminya?”

“Negara kami tengah berada dalam salah satu.”

“Tidak...maksudku, selain menyerbu benua yang melayang itu?”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“baru saja tadi kau berkata soal tentara penyerbu. Apa penyerbuan yang mirip juga berlangsung disini?”

“Begitulah. dalam kasus itu, perangnya tak berujung...Ada hal-hal yang tabu dibicarakan. Ini bukan hal yang dapat dibicarakan denganmu. Mohon lupakan.”

Tetap saja,Henrietta yang menyadari Saito terdiam, menengadah.

“Apa kau membenci perang?”

“Sepertinya aku tak menyukainya.”