Difference between revisions of "Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 3 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 377: Line 377:
   
 
“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain lain sepanjang negara juga belum terbangun.”
 
“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain lain sepanjang negara juga belum terbangun.”
  +
  +
  +
Awalnya mereka berpikir kalau ini hanyalah hasil dari spike lag yang terjadi pada server. Namun, jam telah berubah menjadi hari dengan Asuna dan yang lainnya tak juga terbangun.
  +
  +
Benar atau tidaknya rencana Akihiko Kayaba yang menghilang masih berlanjut menimbulkan kekacauan sepanjang dunia, namun pandanganku justru sebaliknya. Aku masih mengingat kehancuran Aincrad, yang diselimuti oleh matahari tenggelam berwarna merah.
  +
  +
Dia benar benar telah mengatakannya. Dia akan melepaskan semua pemain yang tersisa. Lebih jauh lagi, dia tak memiliki alasan untuk berbohong. Dia benar benar sudah membiarkan dirinya lenyap bersama dunia itu, aku sangat mempercayai hal itu.
  +
  +
Namun, entah itu insiden tak terduga atau adanya campur tangan dari seseorang, sever SAO, yang seharusnya sudah direset/diformat ulang, terus beroperasi. Nerve Gear Asuna juga bukan perkecualian, mengikat jiwanya kedalam dunia itu. Apa yang terjadi di dalam sana, aku tak tahu, tapi kalau......kalau.....kalau saja aku bisa kembali ke dunia itu sekali lagi—
  +
  +
Kalau Suguha tahu apa yang kulakukan saat itu, dia pasti akan marah. Usai menyisakan pesan, aku memasuki kamarku dan memasang Nerve Gear dan memulai client SAO. Namun, sebuah pesan error dengan dingin muncul di hadapan mataku, «Error: Tak bisa tersambung pada server».
  +
  +
Sekali rehabilitasku selesai, kebebasanku dalam bergerak sudah pulih kembali, dan dari saat itu sampai sekarang, aku terus menerus menengok Asuna.
  +
  +
Itu adalah waktu yang sulit bagiku. Perasaan dari seseorang yang lebih penting dari siapapun direbut secara tak beralasan dariku terasa sangat menyakitkan dari luka fisik atau mental apapun. Bahkan lebih menyakitkan bagi aku yang sekarang, yang tak ubahnya anak kecil tak berdaya.
  +
  +
  +
  +
Melanjutkan perjalanan 40 menit, mengayuh dengan lamban, aku keluar ke jalan utama dan berbelok ke jalan berbukit yang berangin. Tak lama kemudian, bangunan besar muncul di depanku. Itu adalah insitusi medis yang diatur secara pribadi, dan tampak bagai karya seni.
  +
  +
Penjaga keamanan di pintu masuk, sekarang sudah menjadi wajah familiar, tak lagi menanyakan alasan kedatanganku. Aku memparkir sepedaku di sudut parkiran besar. Di meja resepsi lantai pertama, yang memiliki penampilan seperti lobi kelas tinggi, aku diberi tanda masuk pengunjung. Aku menempelkannya di dadaku dan masuk ke dalam elevator.
  +
  +
Dalam beberapa detik, aku mencapai lantai teratas, lantai 18, dan pintu perlahan terbuka. Aku berjalan ke arah selatan sepanjang koridor kosong. Lantai ini memiliki banyak pasien jangka panjang, namun melihat orang lain disini adalah kejadian langka. Akhirnya, di sudut koridor, pintu berwarna hijau pucat tampak olehku. Ada sebuah lempeng nama tertempel di dinding di sebelah pintu.
  +
  +
«Yuuki Asuna», dibawah nama itu terdapat celah penggesek tipis, tempatku menggesekkan tanda pengenal. Aku melepas tanda masuk dari dadaku dan meluncurkannya sepanjang celah itu. Pintu bergeser membuka dengan suara elektronik kecil.
  +
  +
Melangkah ke dalam ruangan, aku terselimuti oleh aroma bunga menyegarkan. Bunga bunga segar yang tak cocok dengan musim dingin nampak menghiasi ruangan. Interior di dalam kamar rumah sakit yang luas ini ditutupi oleh korden, yang dengan perlahan kumasuki.
  +
  +
“Mohon izinkan dia bangun—“
  +
  +
Aku menyentuh kain, berdoa untuk keajaiban dan dengan lembut membuka korden ruangan.
  +
  +
Unit perawatan intensif tanpa akhir yang terpasang pada tubuhnya sama denganku – bahkan kasurnya juga sama. Cahaya matahari sedikit menyinari selimut putih, dan jatuh dengan lembut di wajah Asuna. Kalau aku tak tahu apa apa, aku pasti menganggap kalau dia hanya tertidur.
  +
  +
Saat aku pertama berkunjung, aku memiliki pemikiran ini: akankah dia tak setuju kalau aku melihatnya seperti ini? Kekhawatiran itu sudah berlalu sejak dulu. Wajahnya nampak sangat cantik.
  +
  +
Rambut kastanye tua indahnya, tergerai seperti air di kasur putih disekitarnya; kulit putih pucatnya, dengan semburat warna mawar di bibirnya.
  +
  +
Dari leher sampai tulang selangkanya, fiturnya nampak sama persis dengan yang terlihat di dunia itu. Bibir berwarna cherry muda. Alis panjang, bergetar seolah mereka akan membuka kapan saja. Kalau saja bukan karena helm itu, itu saja.
  +
  +
Nerve Gear. Tiga cahaya LCDnya yang berkilau dengan pucat berkelap kelip seperti bintang, bukti kalau ia masih beroperasi. Bahkan sekarang, jiwanya masih terjebak dalam suatu dunia. Aku menggenggam tangan kanan mungilnya dengan kedua tanganku, merasakan kehangatannya. Perasaan dari genggaman lembutnya terasa sama seperti sebelumnya. Aku menahan nafasku, mati matian menahan air mata yang hendak tumpah.......
  +
  +
“Asuna........”
  +
  +
  +
  +
Suara dering jam alarmnya membawaku kembali pada realita. Tanpa kusadari, waktu sudah tengah hari.
  +
  +
“Aku harus pergi, Asuna. Aku akan segera datang kembali.”
  +
  +
Aku kemudian mendengar suara pintu masuk yang bergeser membuka, dan aku mengalihkan perhatianku pada dua pria yang memasuki bangsal.
  +
  +
“Oh, Kirigaya-kun. Maaf sudah mengganggu.”
  +
  +
Seorang pria yang lebih tua berdiri di depannya dengan ekspresi wajah kalem, sambil memasukkan kartu di tangannya ke sakunya. Dari fisik dan penampilannya, dia nampak seperti pria yang bersemangat dan percaya diri, namun rambut abu abunya adalah hasil dari dua tahun mencemaskan putrinya. Ini adalah Ayah Asuna, Yuuki Shozou. Aku sudah mengetahui dari Asuna sebelumnya kalau ayahnya adalah pengusaha, namun itu tak membuatku terkejut sampai aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dari perusahaan elektronik «RECTO».
  +
  +
Aku sedikit membungkukkan kepalaku dan berbicara.
  +
  +
“Hallo. Maaf sudah mengganggu, Yuuki-san.”
  +
  +
“Tak apa, tak apa. Melihatmu selalu datang seperti ini, seharusnya aku yang minta maaf. Aku yakin kalau anak itu pasti sangat senang.”
  +
  +
Dia berjalan ke bantal Asuna, dengan lembut membelai rambutnya sambil menatap sedih pada wajah Asuna. Tak lama kemudian, dia memperkenalkan pria yang berdiri di belakangnya.
  +
  +
“Ini adalah orang baru. Ia adalah direktur dari institut penelitian kami, Sugou-kun.”
  +
  +
Kesan pertamaku tentangnya adalah positif. Ia bertubuh tinggi, mengenakan jas abu abu gelap, dengan sepasang kacamata berbingkai kuning yang diseimbangkan diatas jembatan hidungnya. Matanya tersembunyi dibalik lensa tipisnya, dan senyum lembutnya menyempurnakan semua imej itu. Aku membayangkan kalau dia mungkin berumur 30-an.
  +
  +
Dia mengulurkan tangannya sambil berkata.
  +
  +
“Senang bertemu denganmu. Aku Sogou Nobuyuki. Kamu pasti sang Pahlawan Kirigaya-kun itu.”
  +
  +
“Kirigaya kazuto. Senang bertemu anda.”
  +
  +
Aku menjabat tangan Sogou dan menolehkan kepalaku untuk melirik arah Yuuki Shozou, tangannya menopang kepalanya yang agak sedikit jatuh.
  +
  +
“Tentang itu, maaf. Server SAO sudah ditutup. Insiden ini hampir seperti yang sering kamu lihat di TV. Dia adalah putra paling terpercayaku. Untuk sementara waktu ini, dia masih belum membuat kontak dengan keluarga.”
  +
  +
“Presiden, masalah ini adalah—“
  +
  +
Sogou melepaskan tangannya, dan menoleh pada Shouzou untuk berbicara.
  +
  +
“Bulan depan, saya ingin memberitahu semua orang.”
  +
  +
“Begitukah? Tapi apa tak apa apa? Kau masih muda, hidupmu baru saja dimulai......”
  +
  +
“Saya sudah berubah pikiran. Saya ingin mengambil keuntungan di saat ini ketika Asuna masih cantik......dan membuatnya mengenakan gaun pengantin.”
  +
  +
“Sepertinya kau sudah memikirkan hal itu masak masak.”
  +
  +
“Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampai jumpa Kirigaya-kun.”
  +
  +
Dia menganggukkan kepalanya, berbalik dan berjalan keluar dari pintu, menutup pintu di belakangnya. Satu satunya lelaki yang tersisa di ruangan ini hanya Sogou dan aku.
  +
  +
Sogou Nobuyuki perlahan bergerak ke sisi ranjang, berdiri berlawanan dariku. Dia membelai rambut kastanye Asuna, membuat suara kecil saat tangan kanannya bergerak sepanjang rambutnya. Hal itu membuatkua merasa agak jijik.
  +
  +
“Saat kau berada dalam Game, kau hidup bersama Asuna, kan?” Ujar Nobuyuki-san.
  +
  +
“.....uhm......”
  +
  +
“Kalau begitu, maka hubungan diantara kita mungkin agak rumit.”
  +
  +
Sogou melihat ke atas, dan kami membuat kontak mata. Pada saat itu, aku menyadari kalau kesanku terhadap pria ini tak mungkin terlalu jauh dari kebenaran.
  +
  +
Melalui kacamata tipisnya, pupil kecilnya memberiku kesan seorang [http://en.wikipedia.org/wiki/Sanpaku sanpaku], bibir meruncing dalam senyuman. Itu semua memberikan perasaan dingin tak berperasaan. Keringat dingin menetes di punggungku.
  +
  +
“Tentang yang baru kukatakan.......”
  +
  +
Sugou memasang senyum bosan.
  +
  +
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
  +
  +
Aku tak bisa memahami kata katanya. Apa yang dia baru katakan? Ucapan Sugou membuat seluruh tubuhku diserbu perasaan dingin. Setelah beberapa saat kesunyian, aku akhirnya berkata,”Apa kau pikir aku akan membiarkanmu lolos dengan itu?”
  +
  +
“Oh, sudah tentu. Untuk menerima persetujuannya dalam kondisi semacam ini akan cukup mustahil. Di atas kertas, aku adalah putra adopsi dari keluarga Yuuki. Namun kenyataannya, dia sudah cukup lama membenciku.”
  +
  +
Jemari Sugou mendekati bibir Asuna.
  +
  +
“Hentikan!”
  +
  +
Aku tanpa sadar menggenggam tangan Sugou, menjauhkannya dari wajah Asuna.
  +
  +
Merasa marah, aku berteriak “Brengsek kau.....kau berani memanfaatkan kondisi Asuna!?”
  +
  +
“Memanfaatkan? Bukan bukan, ini masih di dalam batas. Jujur saja, Kirigaya-kun. Apa kau tahu yang terjadi pada perusahaan SAO, «Argas»?”
  +
  +
“Kudengar mereka bangkrut.”
  +
  +
“Benar. Biaya pengembangan, serta biaya semua kerugian yang membuat mereka berhutang banyak, dan perusahaan itu akhirnya bangkrut. Sehingga, perawatan server SAO sekarang dibawah tanggung jawab departemen teknologi FullDive RECTO. Lebih tepatnya, departemenku.”
  +
  +
Dari sisi lain ranjang, Sugou menoleh untuk menatapku. Memasang senyum iblis, dia bergerak mendekat ke pipi Asuna.
  +
  +
“Anggap saja begini, dia masih hidup karena aku mengizinkannya. Sehingga, tidakkah menurutmu aku pantas mendapat balasan untuk semua kerja kerasku? Apa aku salah?”
  +
  +
Mendengar hal itu hanya memperkuat penolakanku.
  +
  +
Pria ini ingin memanfaatkan situasi Asuna, memakai hidupnya demi ambisi pribadinya sendiri.
  +
  +
Berbalik dan berdiri, melihat dengan tegas ke arahku, senyum lenyap dari wajahnya. Dengan nada dingin, dia berbicara padaku.
  +
  +
“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dan Asuna dalam Game, tapi aku ingin kau enyah dari hidupnya dari sekarang. Kuharap kau tak membuat kontak masa depan dengan Yuuki dan keluarganya.”
  +
  +
Aku meremas tinjuku, marah pada ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu. Aku merasa begitu payah.
  +
  +
Beberapa momen kesunyian berlalu. Kemudian, Sugou berbicara dengan nada menghina.
  +
  +
“Upacara pernikahan akan diselenggarakan minggu depan tepat disini di bangsal ini. Kuharap kau akan datang. Hargailah pertemuan terakhirmu ini, ''Pahlawan-kun''.”
  +
  +
Aku ingin pedang. Aku akan menembus jantungnya dan merobek dadanya. Aku tak tahu apa dia bisa melihat kemarahan dalam diriku, tapi dia menepuk nepuk bahuku, berbalik dan dengan santai meninggalkan ruangan.
  +
  +
  +
  +
Saat aku pulang, memori pertemuan kami masih terasa segar dalam pikiranku. Aku berbaring di ranjangku dan menatap dinding dalam kegelisahan.
  +
  +
“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”
  +
  +
“Dia masih hidup karena aku mengizinkannya.”
  +
  +
Pertemuanku dengan Sugou terus terulang dan terulang dalam kepalaku, seperti film yang tiada habisnya. Hatiku terasa seperti gumpalan logam yang memerah membara.
  +
  +
Namun----------Ini semua mungkin karena rasa kesadaran diriku yang terlalu kuat.
  +
  +
Sugou adalah orang yang selalu paling dekat pada keluarga Yuuki. Ini juga alasan dia bisa menjadi tunangan Asuna. Dipercaya sepenuh hati oleh Yuuki Shouzou, dia juga membawa tanggung jawab besar pada Recto. Asuna mungkin diatur untuk menikah dengan pria ini jauh sebelum kami bertemu di Aincrad. Dibandingkan dia, waktu kami bersama mungkin tak lebih dari ilusi. Penghinaan karena harus menyerahkan Asuna demi hasrat pria itu, yang menurutku, tak ubahnya lelucon anak anak.
  +
  +
Bagi kami, kota terapung Aincrad adalah dunia nyata. Sumpah yang telah kami buat disana, kata kata, semuanya berbinar dengan kecemerlangan seperti berlian.
  +
  +
“Aku ingin tetap di sisi Kirito selamanya-------“
  +
  +
Kata kata dan senyum Asuna dengan perlahan melintasi pikiranku.
  +
  +
“Maafkan aku.......maafkan aku, Asuna......aku tak bisa berbuat apa apa.”
  +
  +
Air mata kesedihan mengalir di pipiku, ''potsu'', ''potsu'' ke atas tinjuku yang tergenggam.
  +
  +
  +
<center><span style="font-size: 250%;">* * *</span></center>
  +
  +
  +
“Onii-chan, kamar mandinya sudah kosong!”
  +
  +
Suguha berteriak ke kamar Kazuto, yang terletak di lantai kedua, namun tak ada respon.
  +
  +
Sore itu, setelah kembali dari rumah sakit, Kazuto terus mengunci dirinya di dalam kamar, tak mau turun bahkan untuk makan malam.
  +
  +
Suguha menempatkan tangannya di kenop pintu, namun ragu ragu. Kalau dia belum tertidur maka mungkin dia terkena demam, pikir Suguha, memperkuat keyakinannya sambil memutar gagang pintu.
  +
  +
Kacha--. Pintu terbuka dan menampakkan ruangan gelap.
  +
  +
Dia pasti sedang tertidur, pikir Suguha, dan saat dia hendak berbalik meninggalkan ruangan, embusan udara angin terasa sedikit bertiup, membuatnya menggigil. Jendela nampaknya terbuka. Sepertinya tak ada cara lain, pikirnya, sambil menggeleng kepalanya.
  +
  +
Dia berjalan berjingkat jingkat sepanjang ruangan, menuju ke arah jendela......hanya untuk mendapati kakaknya tengah meringkuk di atas ranjang, dengan kondisi masih bangun.
  +
  +
“Ah, Onii-chan, maaf. Kukira kamu sudah tidur.” Adalah respon gugup Suguha.
  +
  +
Setelah beberapa momen kesunyian, Kazuto membalas dalam suara tanpa emosi, “Maaf, tapi bisa tolong biarkan aku sendiri?”
  +
  +
“Tapi, tapi, ruangan ini terasa dingin.....”
  +
  +
Suguha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kazuto. Tangannya terasa dingin bagai es.
  +
  +
“Ini nggak bagus. Tanganmu membeku; kamu akan demam kalau begini. Lekaslah mandi.”
  +
  +
Sejumlah cahaya menembus masuk melalui korden dari lampu jalanan, menyinari wajah Kazuto. Pada momen ini, Suguha menyadari sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya.
  +
  +
“Apa yang terjadi?”
  +
  +
“Bukan apa apa.”
  +
  +
Balasannya seperti bisikan yang tercekik.
  +
  +
“Tapi.....”
  +
  +
Tanpa menunggu Suguha selesai bicara, Kazuto mengubur wajahnya di kedua tangannya. Menyembunyikan dirinya dari Suguha, dan dengan tanda penistaan diri, dia berkata, “Aku sungguh tak berguna. Belum begitu lama saat aku bersumpah untuk tak lagi mengatakan kata kata kekalahan semacam itu.......”
  +
  +
Di tengah kata katanya, Suguha sudah menyadari apa yang telah terjadi. Berbicara dengan suara pelan dan bergetar, dia bertanya “Orang itu.......Asuna-san.....apa yang terjadi padanya?”
  +
  +
'''[To be continued]'''

Revision as of 17:47, 11 July 2012

Bab 1

Katon, katon.

Kursi kayu biasa yang bergoyang membuat suara lembut sambil mengayun ke depan dan belakang di beranda.

Cahaya matahari lembut di akhir musim gugur bersinar melalui puncak pohon cemara. Hembusan angin ringan dengan lembut bertiup sepanjang permukaan danau yang jauh.

Pipinya berbaring di atas dadaku sembari ia bernafas dengan lembut dan tertidur pulas.

Waktu itu, yang terisi oleh ketenangan emas, terus mengalir dengan mantap.

Katon, katon.

Aku menggoyangkan kursi dan dengan lembut membelai rambut warna kastanye gadis ini. Meski dia sudah tertidur, senyum tipis muncul di bibirnya.

Sekelompok Sprite tengah bermain di halaman depan. Kukusan daging di dapur tengah mendidih dengan suara rebusan yang terdengar jelas. Aku berharap dunia lembut ini, di rumah kecil yang jauh di dalam hutan, akan berlanjut untuk selama lamanya. Namun aku sadar kalau ini adalah harapan mustahil.

Katon, katon.

Seiring kaki kursi terus membuat suara, jam pasir terus berjatuhan satu butir pada satu waktu.

Aku mencoba menarik si gadis lebih dekat ke dadaku seolah aku melawan takdir.

Namun, lenganku hanya bisa memeluk udara tipis.

Aku dengan cepat membelalakkan mata kebingunganku. Tubuhnya, yang bersandar padaku beberapa saat lalu, mendadak lenyap sama sekali. Aku berdiri dari kursi dan melihat ke sekeliling area.

Seperti jatuhnya tirai dari sebuah pentas, warna matahari senja perlahan menjadi gelap. Kegelapan menakutkan mulai mewarnai seluruh hutan menjadi gelap gulita.

Aku berdiri tegak di angin musim dingin dan memanggil namanya.

Namun tak ada balasan. Tak ada di taman depan dimana para Sprite tengah bermain, atau di dapur – sosoknya tak bisa ditemukan dimana mana.

Sebelum aku menyadarinya, seluruh rumah mulai dikelilingi oleh kegelapan. Perabot rumah dan dinding mulai runtuh dan lenyap seolah mereka semua terbuat dari kertas. Hanya kursi yang bergoyang dan aku sendiri yang masih tersisa dibalik kegelapan ini. Biarpun tak ada siapapun yang duduk di atas kursi, ia terus mengayun ke depan dan belakang tanpa berubah.

Katon, katon.

Katon, katon.

Aku menutup mataku, menajamkan telingaku, dan mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk memanggil namanya.



Mataku dengan cepat terbuka oleh suara yang cerah dan keras. Aku tak lagu tahu apakah aku berteriak hanya di dalam mimpi atau aku benar benar melakukan itu di dunia nyata.

Berbaring diatas ranjang, aku menutup mataku dan mencoba kembali ke permulaan mimpiku. Namun aku segera menyerah, dan setelah beberapa saat aku perlahan membuka mataku sekali lagi.

Papan kayu tipis memasuki bidang pandanganku bukannya panel putih di dinding rumah sakit. Aku tengah terbaring di atas kasur lembut di atas seprai katun bukannya material dari gel.

Ini adalah – kamar Kirigaya Kazuto di dunia nyata.

Aku mengangkat tubuh bagian atasku dan melihat ke sekelilingku. Kamar 6 lantai memiliki lantai tak biasa yang terbuat dari kayu alami. Hanya tiga potong perabot bisa ditemukan di dalam ruangan; sebuah hard drive komputer, sebuah router, dan ranjang tempatku duduk.

Sebuah headgear yang nampak usang terletak di tengah tengah Router yang diangkat secara vertikal.

Namanya adalah «Nerve Gear», sebuah model interface model full dive yang telah memenjaraku dalam virtual reality selama dua tahun. Setelah pertarungan panjang dan sulit, aku akhirnya lepas dari mesin itu, dan akhirnya bisa melihat, merasakan, dan menyentuh dunia nyata.

Ya, aku telah kembali.

Namun, si gadis yang mengayunkan pedangnya dan menyatukan hatinya denganku..........

Rasa sakit mendadak menyerang dadaku, dan aku mengalihkan pandanganku dari Nerve Gear dan perlahan berdiri. Aku menatap cermin yang menggantung di dinding. Panel EL yang terpasang di dinding dengan jelas menampilkan tanggal dan waktu saat ini.

Senin, 19 Januari, 2025, 7:15 am.

Sua bulan telah berlalu sejak aku kembali ke dunia nyata, namun aku masih tak bisa terbiasa dengan penampilanku. Meski pendekar pedang Kirito dan Kirigaya Kazuto saat ini seharusnya memiliki penampilan sama, kehilangan bobot tubuhku masih belum pulih, jadi tubuh yang hanya tinggal tulang di bawah T-Shirt ku sangatlah rapuh.

Aku mendadak menyadari dua garis air mata bersinar di wajahku di cermin dan menyekanya dengan tangan kananku.

“Aku sudah kembali jadi orang cengeng...........Asuna.”

Aku bergumam dan berjalan ke jendela besar di sisi selatan kamarku. Aku membuka korden dengan kedua tanganku, dan cahaya matahari menyilaukan di pagi musim dingin mewarnai seluruh kamarku dalam kuning pucat.


* * *


Kirigaya Suguha nampak sangat senang sembari ia berjalan sepanjang es di halaman depan dan kemudian mempercepat langkahnya.

Salju yang jatuh dua hari lalu belum meleleh sama sekali, dan pagi hari di tengah Januari terasa sangat dingin.

Dia berhenti di sudut sebuah kolam, yang tertutupi oleh lapisan es tipis, dan mengayunkan Shinai[1] di tangan kanannya ke bawah ke arah batang pinus di dekatnya. Untuk mengusir rasa kantuk menyebalkan dari tubuhnya, dia mengambil beberapa napas dalam, menempatkan kedua tangan di lututnya, dan memulai latihan peregangannya.

Ototnya, yang belum bangkit secara penuh, perlahan mulai mengendur. Usai meregangkan lutut, ia mulai merasakan sensasi seolah darah mulai mengalir di lutut dan sikutnya.

Suguha merentang untuk mencapai ke bawah dengan kedua tangannya, perlahan membengkokkan punggungnya – sampai dia perlahan berhenti. Es lembut yang membentuk permukaa danau mencerminkan penampilannya kembali padanya.

Rambut pendeknya, dipotong di atas alisnya dan segaris dengan bahunya, berwarna hitam dengan semburat biru. Alisnya membagi warna hitam yang sama dan kelihatan tebal, dimana dua mata yang terisi oleh semangat tinggi terletak di bawahnya. Bersama, penampilannya nampak seperti anak laki laki. Dogi[2] putih tradisional dan hakama[3] hitam panjang yang dia kenakan justru semakin menonjolkan kesan itu.

“--------Sudah kuduga......aku sama sekali tidak mirip......Onii-chan ku......”

Itu adalah pemikiran yang sering mengisi pikirannya pada hari hari ini. Dia memikirkan hal itu kapanpun dia melihat wajahnya sendiri di pintu masuk kamar mandi. Bukannya dia tak suka pada penampilannya; toh sejak awal dia tak terlalu mempedulikan hal itu. Namun sejak kakaknya Kazuto kembali ke rumah ini, pikirannya terus tanpa sadar membuat perbandingan.

“---------Percuma saja, nggak peduli berapa kalipun aku memikirkannya.”

Suguha menggeleng kepala bandelnya dan melanjutkan peregangan.

Setelah ia selesai melakukan peregangan, ia mengambil shinai yang diletakkan bersandar di pinus hitam. Dia menggenggamnya, merasakan familiaritas dari telapak tangannya oleh pemakaiannya yang sudah lama; kemudian dia meluruskan punggungnya dan memasang kuda kuda siaga.

Ia mengambil nafas dalam dalam sambil mempertahankan kuda kudanya – Kemudian dalam sekejap, dengan semangat tajam, dia menikam lurus ke depan dengan shinainya. Pergerakan tegasnya nampak seolah memotong udara pagi, yang mengagetkan sejumlah burung gereja hingga mereka semua terbang ke arah cabang jauh di depan sana.

Rumah keluarga Kirigaya adalah rumah Jepang kuno yang berdiri sepanjang jalanan lama di Saitama selatan. Seluruh anggota keluarga telah tinggal disini, karena kakek Suguha, yang sudah meninggal empat tahun lalu, adalah orang yang sangat tegas dan bergaya jadul.

Dia bekerja di kepolisian selama beberapa tahun dan merupakan praktisi kendo terkenal sepanjang masa mudanya. Dia berharap kalau putra satu satunya, yang merupakan ayah Suguha, akan melanjutkan jejaknya pada jalan kendo. Ayahnya sudah menguasai shinai sejak di bangku SMA, namun kemudian berhenti melakukannya untuk belajar ke Amerika dan akhirnya mendapat pekerjaan di perusahaan keamanan keuangan luar negeri. Setelah dipindahkan ke cabang Jepang, dia bertemu dan menikahi ibu Suguha Midori, namun melanjutkan kehidupan rutin dengan bepergian sepanjang samudra pasifik. Pada saat itu, kakek Suguha telah mengarahkan keinginannya pada Suguha dan Kazuto yang setahun lebih tua darinya.

Suguha dan kakaknya dibuat mengikuti kendo dojo di sebelah rumahnya sepanjang di bangku SD. Namun karena pengaruh Ibunya sebagai editor di majalah sistem komputer, kakaknya menyukai keyboard melebihi shinai dan meninggalka dojo selama dua tahun. Namun, Suguha tak seperti kakaknya. Ia telah menemukan ketertarikan pada kendo dan terus melatih teknik shinainya bahkan setelah kakeknya meninggal.

Suguha saat ini berusia lima belas tahun. Tahun lalu, dia berhasil terus maju dalam kompetisi SMP dan mendapat peringkat sebagai salah satu pemain terbaik negara. Saat musim semi, ia telah direkrut oleh salah satu SMA paling terkenal di prefektur.

Namun----

Di masa lalu, dia belum pernah kehilangan jalannya untuk terus maju. Dia sangat menyukai kendo; bukan hanya karena bisa menjawab harapan orang orang di sekelilingnya, namun juga membuatnya senang.

Namun dua tahun lalu, saat kakaknya terlibat dalam insiden yang mengguncang seluruh Jepang, kegundahan menyerbu hatinya. Siapapun bisa berkata kalau dia sangat menyesal. Bahkan sejak kakaknya menyerah dalam kendo saat Suguha berusia tujuh tahun, celah yang lebar mulai terbentuk diantara mereka berdua, dan Suguha sangat menyesal karena dia tak pernah membuat usaha untuk menutup celah itu.

Kakaknya yang telah membuang shinai meluangkan harinya tenggelam dalam komputer, seolah untuk memuaskan rasa dahaganya yang tersisa. Ia membangun sebuah mesin dari bagian bagian kecil dan membantu ibunya memprogramnya saat dia masih siswa sekolah dasar. Bagi Suguha, hal hal yang Kazuto ucapkan seolah menjadi bahasa asing.

Tentu saja, sekolah juga mengajarkan Suguha untuk menggunakan komputer, dan ia memiliki komputer mungil di kamarnya. Namun, pengetahuannya tentang komputer hanya terbatas pada menukar email dan browsing web; mustahil baginya untuk memahami dunia yang ditinggali kakaknya. Ini khususnya adalah kasus bagi Game RPG network yang membuat kakaknya kecanduan, dimana Suguha menganggap hal itu sebagai kesia siaan. Sejak saat itu dia selalu memasang sikap palsu, namun dia merasa mustahil untuk menjadi dekat dengan orang orang yang juga berinteraksi dengan topeng palsu.

Semenjak masa kecilnya, Suguha dan kakaknya memiliki hubungan yang seperti teman terbaik. Namun saat kakaknya meninggalkannya untuk dunia yang sama sekali berbeda, Suguha mengubur rasa kesepiannya dengan mencurahkan dirinya sepenuh hati pada kendo. Jarak diantara mereka berdua terus melebar, dan percakapan sehari hari mereka terus jatuh; sebelum Suguha menyadarinya, hubungan mereka telah jatuh menjadi seperti tak saling kenal.

Namun jujur saja, Suguha terus menerus merasa kesepian. Dia ingin berbicara lebih banyak pada kakaknya. Dia ingin memahami dunia kakaknya, ingin kakaknya datang dan menonton pertandingannya.

Namun, tepat saat dia ingin mengungkapkan semua perasaan ini, insiden itu terjadi.

Insiden mimpi buruk bernama “SWORD ART ONLINE”. Sepuluh ribu pemuda dari seluruh Jepang dikonfirmasi telah terkurung oleh sangkar elektronik dan jatuh ke dalam tidur panjang.

Kakaknya telah dipindahkan ke rumah sakit besar di Saitama. Kemudian, saat pertama kalinya Suguha datang untuk menjenguknya........

Saat ia melihat kakaknya yang koma, terbaring di atas ranjang dengan sejumlah kabel dan tertutupi oleh head gear mengerikan, Suguha tak kuasa menahan tangisnya. Itu adalah pertama kalinya dia menangis semenjak lahir. Dia memeluk kakaknya erat erat dan menangis dengan keras.

Mungkin tak akan ada kesempatan untuk berbincang bincang lagi dengannya. Kenapa dia tak pernah mencoba menutup jarak diantara mereka lebih cepat? Seharusnya itu tidaklah sulit; seharusnya hal itu bisa dia lakukan.

Pada saat itulah dia mulai mempertimbangkan ulang dengan serius apakah dia harus terus berlatih kendo dan apa perasaan sejatinya. Namun dia begitu putus asa sampai tak mendapati jawaban. Sepanjang tahun keempat belas dan kelima belas saat dia tak bisa melihat kakaknya, Suguha telah memasuki SMA atas rekomendasi orang orang disekitarnya, namun apakah dia harus terus menapaki jalan ini adalah keraguan dalam hatinya yang takkan pernah lenyap.

Kalau kakaknya kembali, maka dia pasti akan banyak banyak mengobrol dengannya. Dia akan membuang semua keraguan dan kecemasannya, dan dengan jujur mengungkapkan semua isi pikirannya. Kemudian, dua bulan lalu, setelah Suguha meneguhkan keputusannya, sebuah keajaiban terjadi. Kakaknya telah mematahkan kutukan melalui kekuatannya dan kembali.

----------Namun pada poin itu, hubungannya dengan kakaknya sudah berubah secara drastis. Suguha mendengar dari ibunya Midori secara pribadi kalau Kazuto bukanlah kakak kandungnya, namun sebenarnya saudara sepupu.

Ayahnya Minetaka adalah putra satu satunya, namun ibunya Midori memiliki kakak perempuan yang meninggal lebih awal; namun, Suguha tak mengetahui semua ini. Sehingga, saat Suguha menyadari kalau Kazuto adalah putra kakak ibunya, dia menjadi semakin bingung dan tak yakin hubungan jenis apa yang harus mereka pertahankan. Haruskah mereka lebih jauh? Haruskah mereka tetap sama? Dia tak tahu bagaimana dia harus mengungkapkan dirinya tentang hubungan ini.

“.....Ya. Ada satu hal, yang nggak akan berubah........”

Saat Suguha merenungkan semua ini, dia mengayunkan shinainya ke bawah dengan tajam seolah untuk memotong semua rantai pemikirannya. Terlalu menyeramkan untuk menjalani jalan pemikiran itu, jadi dia mulai berlatih dengan shinainya untuk mengarahkan perhatiannya pergi ke tempat lain.

Saat dia menyelesaikan jumlah set yang diperlukan, sudut matahari pagi sudah berubah secara signifikan. Dia menyeka keringat di dahinya, meletakkan shinai, dan berjalan kembali ke rumahnya.......

“Ah......”

Momen dia melihat ke arah pintu, langkah kaki Suguha tiba tiba membeku.

Dia tak sadar kalau Kazuto, yang mengenakan baju sweater dan duduk di beranda, tengah melihat ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, Kazuto tersenyum dan berujar.

“Selamat pagi.”

Sambil mengatakan itu, ia melempar botol air mineral di tangan kirinya pada Suguha. Suguha menangkapnya dengan tangan kanannya sebelum merespon.

“S-Selamat pagi........astaga, kalau kamu terus menontonku, seharusnya kamu mengatakan sesuatu.”

“Tapi, kelihatannya kamu lagi berkonsentrasi dengan serius.”

“Nggak juga, aku memang selalu begini.”

Suguha diam diam merasa senang karena mereka bisa berbicara dengan begitu alami terhadap satu sama lain selama dua bulan ini. Dia memilih tempat di sisi kanan Kazuto yang menjaga sedikit jarak darinya dan kemudian duduk. Meletakkan shinai di sisinya, ia membuka botol dan menempatkannya di mulutnya; air dingin meresap ke tubuh panasnya dan terasa sangat menyegarkan.

“Kulihat kamu terus melakukan itu sepanjang waktu ini.......”

Kazuto mengambil shinai Suguha dan mengayunkannya dengan ringan dengan tangan kanannya dari posisi duduknya. Ia segera memiringkan kepalanya ke sisi dan berkata:

“Ringan sekali......”

“Hah?”

Suguha mencabut botol dari mulutnya dan menatap Kazuto.

“Ini terbuat dari bambu asli, jadi sebenarnya cukup berat. Sekitar lima gram lebih berat dari yang buatan karbon.”

“Ah, uh uh. Itu......hanya perasaanku.......tapi kalau dibandingkan dengan.......”

Kazuto mendadak meraih botol dari tangan Suguha dan kemudian dengan cepat meminum semua isinya yang tersisa.

Sword Art Online Vol 03 - 029.jpg

“Ah...........”

Wajah Suguha mulai memerah bahkan tanpa memikirkannya. Dia membulatkan pipinya dan berujar dengan tak senang.

“A-Apa yang kamu coba bandingkan?”

Kazuto meletakkan botol kosong di beranda dan kemudian berdiri tanpa menjawab.

“Hei, mau latih tanding denganku?”

Keheranan, Suguha menatap lurus ke wajah Kazuto.

“Maksudnya......pertandingan?”

“Ya.”

Kazuto mengangguk seolah itu hal biasa, biarpun dia sama sekali tak tertarik pada kendo.

“Bagaimana dengan alat pengaman.....?”

“Hmm, mungkin nggak masalah meski kita nggak mengenakannya........namun akan gawat kalau Suguha sampai terluka. Kupikir pengaman Kakek masih ada, jadi mari kita ke dojo.”

“Oooh.”

Suguha sama sekali melupakan keragu raguannya sejak tadi dan bertanya tanya kenapa dia malah mengatakan hal semacam itu; dia tersenyum dan berkata:

“Bukankah kamu terlalu percaya diri? Mencoba bertanding dengan finalis perempat nasional? Selain itu.......”

Ekspresi wajahnya kemudian berubah.

“Apa tubuhmu baik baik saja....? Kamu jangan ceroboh......”

“Hehe, akan kutunjukkan hasil dari latihan rehabilitasiku di gym.”

Kazuto tertawa kecil dan mulai berjalan dengan santai ke arah belakang rumah. Suguha buru buru mengikuti.

Rumah Keluarga Kirigaya cukup luas, dan sebuah dojo berdiri di sisi timur kamar ibunya. Mereka mengikuti wasiat kakek dan tak merubuhkannya, sehingga Suguha menggunakannya untuk latihan rutinnya, mempertahankannya dengan teliti, dan menyimpan semua perlengkapan disana.

Mereka berdua memasuki dojo dengan telanjang kaki, membungkuk satu sama lain, dan mulai mempersiapkan diri mereka masing masing. Beruntungnya, fisik kakeknya hampir sama dengan Kazuto; alat pelindung yang mereka keluarkan nampak tua namun pas dipakai. Setelah mereka selesai mengikat simpul headgear di saat yang sama, keduanya berjalan ke arah tengah dojo dan membungkuk satu sama lain sekali lagi.

Suguha perlahan berdiri dari posisi menundukkan badannya, menggenggam shinai favoritnya erat erat, dan mengambil posisi tegas. Sementara itu, Kazuto—

“A-Apa itu, Onii-chan?”

Usai melihat kuda kuda Kazuto, Suguha tanpa sadar tergelak. Aneh adalah satu satunya cara untuk mendeskripsikannya. Kaki kirinya dimajukan setengah tubuh ke depan, pinggangnya direndahkan, dan shinai di tangan kanannya dipegang kebawah dengan ujungnya nyaris menyentuh lantai. Tangan kirinya seolah olah memegang gagang shinai sekedar untuk penampilan.

“Kalau ada wasit disini, dia pasti akan marah melihat posisimu.”

“Nggak masalah, ini gaya pedangku.”

Suguha mengambil nafas dalam dan membenahi ulang posisinya. Kazuto semakin memperlebar jarak diantara kakinya dan menurunkan pusat gravitasinya.

Suguha berpikir untuk menyerbu maju dengan kekuatan penuh untuk mendaratkan serangan kuat ke arah lawannya. Namun kuda kuda aneh Kazuto membuatnya tak yakin harus berbuat apa. Meski ada celah, tak mudah memanfaatkan celah itu. kuda kuda itu nampak seperti hasil dari pengalaman bertahun tahun—

Namun, itu tidak mungkin. Kazuto hanya memegang shinai selama dua tahun saat dia berumur tujuh dan delapan tahun. Dia hanya bisa mempelajari dasar dasar teknik selama waktu itu.

Seolah menyadari kebingungan Suguha, Kazuto mendadak mulai bergerak. Dia menyerbu dalam sudut rendah seolah dia meluncur dan shinainya melompat ke atas dari bagian kanan bawahnya. Itu bukan kecepatan yang perlu dikejutkan, namun karena itu adalah serangan tiba tiba, Suguha harus bergerak secara refleks. Dan dengan kaki kanannya terbuka lebar—

“Kote!!” [4]

Suguha mengayun kebawah ke lengan kiri bawah Kazuto. Seharusnya itu waktu yang sempurna, namun serangannya hanya menebas udara kosong.

Itu adalah elakan yang sulit dipercaya. Kazuto telah melepaskan tangan kirinya dari gagang shinai, dan melemparnya ke arah tubuhnya. Apa itu mungkin dilakukan? Ditargetkan pada Suguha, yang dibuat terkejut, shinai yang dipegang oleh tangan kanan Kazuto sendiri menyerbu ke depan. Kebingungan, Suguha dengan panik mengelak.

Di saat keduanya bertukar posisi, telah menolehkan kepala untuk menghadap satu sama lain sambil mereka mengambil jarak lagi, kesadaran Suguha telah berubah drastis. Ketegangan menyenangkan mengisi seluruh tubuhnya, seolah darahnya mendidih. Kali ini, giliran Suguha untuk menyerang. Teknik andalannya, serangan lengan bawah—

Namun kali ini juga, Kazuto berhasil mengelak dengan lincah. Dia menarik lengannya ke belakang, memutar tubuhnya, dan membiarkan shinai Suguha untuk lewat dengan jarak setipis kertas. Suguha lagi lagi kebingungan. Serangan berkecepatan tingginya sangat diakui di dalam klub, dan dia tak ingat adegan dimana seseorang berhasil mengelak dari semua serangan berturut turutnya.

Menjadi serius, Suguha memulai serangan gencar. Dia menikamkan ujung shinai secara terus menerus. Menyerang lebih cepat dari nafas seseorang. Namun Kazuto terus mengelak dan mengelak. Pergerakan cepat di mata Kazuto membuatnya seolah dia sudah memahami semua pergerakan shinai Suguha.

Jengkel, Suguha dengan paksa menutup jarak dan mengunci shinainya ke arah kazuto. Menghadapi kaki dan tubuh Suguha yang sudah terlatih, Kazuto mulai terhuyung huyung di bawah tekanan luar biasa. Tanpa membiarkannya kabur, Suguha merebut momen untuk melancarkan serangan penghabisan yang diarahkan secara langsung ke kepala Kazuto.

“Men!!” [5]

‘Ah’, Suguha terlambat menyadari satu momen. Dia sama sekali tak menahan diri dalam menyerang, dan shinainya menghantam dengan keras ke topeng logam di head gear pelindung Kazuto. Bashiin! Suara tumbukan bernada kuat menggema sepanjang dojo.

Kazuto terus terhuyung huyung ke belakang selama beberapa langkah sampai dia akhirnya berhenti.

“K-Kamu baik baik saja, Onii-chan?”

Suguha bertanya dengan panik. Kazuto dengan ringan mengibaskan tangannya untuk menunjukkan kalau dia tak apa apa.

“.....Ah, aku kalah. Sugu memang kuat; Heathcliff sama sekali bukan bandinganmu.”

“.....Apa kamu betul betul nggak apa apa....?”

“Ya. Pertandingan selesai.”

Setelah mengatakan itu, Kazuto mengambil beberapa langkah mundur dan kemudian membuat beberapa gerakan yang lebih aneh lagi. Dia mengayunkan shinai di tangan kanannya ke kiri dan ke kanan, kemudian memegangnya di punggungnya dan membuat suara “hyuhyun”. Setelah itu, dia meluruskan punggungnya dan menggaruk kepala di balik topengnya dengan tangan kirinya, yang membuat suara bergeretak. Semua ini membuat Suguha sangat cemas.

“Ah, kepalamu terpukul, jadi......”

“B-Bukan! Ini hanya kebiasaan lama....”

Setelah mereka membungkuk satu sama lain, Kazuto duduk dalam postur formal dan mulai melepas simpul di pelindungnya.

Mereka berdua meninggalkan dojo bersama, menuju ke ruang cuci, dan membersihkan keringat di wajah mereka. Suguha awalnya hanya ingin main main; dia tak pernah menduga akan berubah jadi serius dan membuat seluruh tubuhnya kelebihan panas.

“Yang jelas, aku benar benar kaget. Onii-chan, dimana kamu berlatih?”

“Eh, pola seranganku itu.......sepertinya teknik pedangku nggak bisa diatur tanpa panduan sistem.”

Sekali lagi, Kazuto menggumamkan sesuatu yang sama sekali tak masuk akal.

“Namun itu sangat menyenangkan, mungkin aku harus mencoba kendo lagi.....”

“Sungguh!? Sungguh!?”

Suguha tiba tiba menjadi enerjik karena senyum lebar merentang di wajahnya dan dia mulai mengharapkan respon.

“Sugu, maukah kamu mengajariku?”

“Te, tentu saja! Kita pasti akan berlatih bersama!”

“Tapi nampaknya kita harus menunggu sampai otot ototku benar benar pulih.”

Kazuto mengangguk, dan Suguha tersenyum sepenuh hati. Berpikir untuk berlatih kendo sekali lagi membuatnya begitu bahagia sampai air mata menetes dari matanya.

“Hei......Onii-chan....aku.....”

Meski Suguha tak paham kenapa Kazuto kembali tertarik pada kendo, dia masih merasa senang, dan juga ingin memberitahunya tentang hobi barunya. Namun, dia dengan cepat mengubah pikirannya dan menelan kata kata yang hendak dia ucapkan.

“Hm?”

“Emm, kurasa harus tetap kurahasiakan untuk sekarang.”

“Ada apa denganmu?”

Mereka berdua mengeringkan kepala mereka dan kemudian kembali ke rumah utama melalui pintu belakang. Ibunya Midori selalu bekerja di pagi hari, jadi Suguha dan Kazuto bergiliran dalam menyiapkan sarapan.

“Aku mau mandi dulu, Onii-chan apa kamu ada rencana untuk hari ini?”

“Ah.....hari ini, aku.......aku mau ke rumah sakit.......”

“.....”

Semangat tinggi Suguha mendadak tenggelam usai mendengar respon tenangnya.

“Begitu, kamu akan mengunjungi orang itu.”

“Ah.....hanya itu hal yang bisa kulakukan pada poin ini.”


Orang itu adalah orang yang paling penting baginya di dunia lain, dan Suguha mendengar ini secara langsung darinya satu bulan yang lalu. Pada saat itu, Suguha berada di kamar Kazuto; keduanya duduk bersebelahan, dan Kazuto tengah meneguk secangkir kopi sambil ia menjelaskan semua rinciannya. Suguha yang sebelumnya tak akan pernah percaya kalau orang orang bisa jatuh cinta di dunia virtual. Namun sekarang, dia akhirnya bisa memahami. Selain itu – kapanpun Kazuto berbicara tentang orang itu, air mata selalu berlinang di pipinya.

Kazuto berkata kalau mereka masih bersama sampai saat terakhir. Mereka berdua pasti akan kembali ke dunia nyata bersama. Namun ketika kesadaran Kazuto pulih, orang itu masih tetap tertidur. Tak ada apapun terjadi – atau mungkin sesuatu terjadi namun tak ada yang menyadarinya. Semenjak saat itu, selama Kazuto punya waktu, dia akan mengunjungi rumah sakit setiap tiga hari untuk menjenguk orang itu.

Suguha bisa melihatnya dengan jelas. Kazuto, duduk di depan orang yang tertidur itu, memegang tangannya seolah mereka pernah saling berpengangan tangan, saling memanggil dengan tanpa lelah. Segera setelah ia memvisualkan gambaran itu, perasaan yang tak bisa dijelaskan terasa mengapung di atas hatinya. Dadanya terasa sakit dan sesak, dan setiap nafas terasa berat. Dia memeluk dirinya dengan erat dengan kedua tangannya dan secara langsung duduk di tempatnya berada.

Dia ingin Kazuto tetap tersenyum. Sejak dia kembali dari dunia itu, Kazuto menjadi lebih terbuka dari sebelumnya. Dia mulai banyak mengobrol dengan Suguha. Sifatnya bahkan menjadi lebih lembut dan tak lagi membuat tuntutan yang aneh aneh. Rasanya mereka kembali ke masa anak anak mereka. Sehingga Suguha menyadari betapa pentingnya orang itu saat dia melihat air mata kakaknya. Pada poin itu ia mulai membujuk dirinya.

“--------Tapi aku, aku, aku sudah menyadari......”

Saat Kazuto menutup matanya untuk mengenang tentang orang itu, Suguha merasa seolah hatinya tak bisa berhenti kesakitan, seolah dia mati matian berusaha menyembunyikan perasaan yang lain.

Saat dia melihat Kazuto menuangkan susu ke gelas di meja dan kemudian meneguknya, Suguha berbisik pada dirinya sendiri di dalam hatinya.

“--------Hei, Onii-chan, aku, aku sudah tahu.”

Sebelumnya saudara kandung sekarang sudah jadi sepupu; namun Suguha tak paham kenapa berakhir seperti ini.

Namun sesuatu memang berubah. Meski dia tak terlalu memikirkan hal itu sampai saat ini, rahasia kecil terus berkedip kedip dalam hatinya.

Mungkin saja dia menyukai Onii-chan; namun kalau harus seperti ini, itu juga tak apa apa.


* * *


Setelah mandi, aku mengganti pakaianku dan pergi naik sepeda yang baru aku beli sekitar satu bulan lalu. Dengan sepeda, 15 kilometer menuju tujuanku terasa cukup jauh, namun beban itu cukup baik untuk tubuhku yang masih dalam pemulihan.

Perjalananku akhir akhir ini membawaku ke rumah sakit yang baru dibangun di pinggiran kota Tokorozawa, prefektur Saitama.

Bangsal teratas dari rumah sakit, lokasi dimana dia berbaring dengan tenang.

Dua bulan lalu, di puncak lantai ke-75 dari «Aincrad», aku telah mengalahkan boss akhir «Holy Sword» Heathcliff, dan dengan melakukan itu berhasil menyelesaikan Game. Setelah itu, aku terbangun di kamar rumah sakit. Beserta itu, aku mendapati diriku kembali ke dunia nyata.

Namun dia, partnerku, orang terpenting bagiku, Asuna sang «Flash», ternyata tidak bangun.

Tak ada banyak kesulitan untuk bertanya tentang dia. Tak lama setelah aku tersadar di rumah sakit Tokyo, aku meninggalkan kamar rumah sakit, berjalan jalan dengan langkah tak stabil, dan segera ditemukan oleh perawat yang membawaku kembali. Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas datang terburu buru mendatangiku sambil terengah engah. Dia menyatakan dirinya sebagai perwakilan dari «Kementrian Dalam Negeri – Divisi Tindakan Balasan SAO».

Organisasi dengan nama besar itu nampaknya dibentuk akhir akhir ini segera setelah insiden SAO berlangsung, namun dalam dua tahun itu, tak ada yang mereka bisa lakukan. Namun, itu juga tak terhindarkan. Kalau mereka dengan ceroboh mengutak atik server, tanpa membatalkan program perlindungan yang dibuat oleh programmer Kayaba Akihiko, dalang dari insiden ini, maka otak dari sepuluh ribu orang akan hancur. Tak ada yang bisa memikul tanggung jawab itu.

Mengumpulkan anggota, mereka membuat persiapan untuk mengobservasi baik baik status para korban yang berbaring di rumah sakit. Satu harapan mereka – secercah cahaya kecil, namun tugas yang berat – adalah mensurvei informasi pemain melalui data server.

Sehingga mereka mengikuti perkembanganku yang berada di garis depan, memperhitungkan level, posisi, dan peranku sebagai pemain vital dalam «Capture Group» yang mencoba menyelesaikan Sword Art Online. Sehingga, saat para pemain SAO mulai bangkit di seluruh negara, para agen Kementrian mulai menyerbu ke kamarku, berharap bisa memahami apa yang baru terjadi.

Aku mengungkapkan kondisiku pada pihak pemerintah dengan orang orang berkacamata hitam yang berada pada pandanganku. Aku akan beritahu mereka semua yang aku tahu. Sebagai gantinya, mereka akan memberitahuku semua yang aku ingin tahu.

Hal yang ingin kuketahui tentu saja tentang keberadaan Asuna. Setelah beberapa menit menelepon, pria berkacamata menoleh padaku dan berbicara, kebingungan nampak jelas di wajahnya.

“Yuuki Asuna telah dipindahkan ke institusi medis lain di Tokorozawa. Namun, dia belum bangun.......dan bukan dia saja, 300 pemain lain sepanjang negara juga belum terbangun.”


Awalnya mereka berpikir kalau ini hanyalah hasil dari spike lag yang terjadi pada server. Namun, jam telah berubah menjadi hari dengan Asuna dan yang lainnya tak juga terbangun.

Benar atau tidaknya rencana Akihiko Kayaba yang menghilang masih berlanjut menimbulkan kekacauan sepanjang dunia, namun pandanganku justru sebaliknya. Aku masih mengingat kehancuran Aincrad, yang diselimuti oleh matahari tenggelam berwarna merah.

Dia benar benar telah mengatakannya. Dia akan melepaskan semua pemain yang tersisa. Lebih jauh lagi, dia tak memiliki alasan untuk berbohong. Dia benar benar sudah membiarkan dirinya lenyap bersama dunia itu, aku sangat mempercayai hal itu.

Namun, entah itu insiden tak terduga atau adanya campur tangan dari seseorang, sever SAO, yang seharusnya sudah direset/diformat ulang, terus beroperasi. Nerve Gear Asuna juga bukan perkecualian, mengikat jiwanya kedalam dunia itu. Apa yang terjadi di dalam sana, aku tak tahu, tapi kalau......kalau.....kalau saja aku bisa kembali ke dunia itu sekali lagi—

Kalau Suguha tahu apa yang kulakukan saat itu, dia pasti akan marah. Usai menyisakan pesan, aku memasuki kamarku dan memasang Nerve Gear dan memulai client SAO. Namun, sebuah pesan error dengan dingin muncul di hadapan mataku, «Error: Tak bisa tersambung pada server».

Sekali rehabilitasku selesai, kebebasanku dalam bergerak sudah pulih kembali, dan dari saat itu sampai sekarang, aku terus menerus menengok Asuna.

Itu adalah waktu yang sulit bagiku. Perasaan dari seseorang yang lebih penting dari siapapun direbut secara tak beralasan dariku terasa sangat menyakitkan dari luka fisik atau mental apapun. Bahkan lebih menyakitkan bagi aku yang sekarang, yang tak ubahnya anak kecil tak berdaya.


Melanjutkan perjalanan 40 menit, mengayuh dengan lamban, aku keluar ke jalan utama dan berbelok ke jalan berbukit yang berangin. Tak lama kemudian, bangunan besar muncul di depanku. Itu adalah insitusi medis yang diatur secara pribadi, dan tampak bagai karya seni.

Penjaga keamanan di pintu masuk, sekarang sudah menjadi wajah familiar, tak lagi menanyakan alasan kedatanganku. Aku memparkir sepedaku di sudut parkiran besar. Di meja resepsi lantai pertama, yang memiliki penampilan seperti lobi kelas tinggi, aku diberi tanda masuk pengunjung. Aku menempelkannya di dadaku dan masuk ke dalam elevator.

Dalam beberapa detik, aku mencapai lantai teratas, lantai 18, dan pintu perlahan terbuka. Aku berjalan ke arah selatan sepanjang koridor kosong. Lantai ini memiliki banyak pasien jangka panjang, namun melihat orang lain disini adalah kejadian langka. Akhirnya, di sudut koridor, pintu berwarna hijau pucat tampak olehku. Ada sebuah lempeng nama tertempel di dinding di sebelah pintu.

«Yuuki Asuna», dibawah nama itu terdapat celah penggesek tipis, tempatku menggesekkan tanda pengenal. Aku melepas tanda masuk dari dadaku dan meluncurkannya sepanjang celah itu. Pintu bergeser membuka dengan suara elektronik kecil.

Melangkah ke dalam ruangan, aku terselimuti oleh aroma bunga menyegarkan. Bunga bunga segar yang tak cocok dengan musim dingin nampak menghiasi ruangan. Interior di dalam kamar rumah sakit yang luas ini ditutupi oleh korden, yang dengan perlahan kumasuki.

“Mohon izinkan dia bangun—“

Aku menyentuh kain, berdoa untuk keajaiban dan dengan lembut membuka korden ruangan.

Unit perawatan intensif tanpa akhir yang terpasang pada tubuhnya sama denganku – bahkan kasurnya juga sama. Cahaya matahari sedikit menyinari selimut putih, dan jatuh dengan lembut di wajah Asuna. Kalau aku tak tahu apa apa, aku pasti menganggap kalau dia hanya tertidur.

Saat aku pertama berkunjung, aku memiliki pemikiran ini: akankah dia tak setuju kalau aku melihatnya seperti ini? Kekhawatiran itu sudah berlalu sejak dulu. Wajahnya nampak sangat cantik.

Rambut kastanye tua indahnya, tergerai seperti air di kasur putih disekitarnya; kulit putih pucatnya, dengan semburat warna mawar di bibirnya.

Dari leher sampai tulang selangkanya, fiturnya nampak sama persis dengan yang terlihat di dunia itu. Bibir berwarna cherry muda. Alis panjang, bergetar seolah mereka akan membuka kapan saja. Kalau saja bukan karena helm itu, itu saja.

Nerve Gear. Tiga cahaya LCDnya yang berkilau dengan pucat berkelap kelip seperti bintang, bukti kalau ia masih beroperasi. Bahkan sekarang, jiwanya masih terjebak dalam suatu dunia. Aku menggenggam tangan kanan mungilnya dengan kedua tanganku, merasakan kehangatannya. Perasaan dari genggaman lembutnya terasa sama seperti sebelumnya. Aku menahan nafasku, mati matian menahan air mata yang hendak tumpah.......

“Asuna........”


Suara dering jam alarmnya membawaku kembali pada realita. Tanpa kusadari, waktu sudah tengah hari.

“Aku harus pergi, Asuna. Aku akan segera datang kembali.”

Aku kemudian mendengar suara pintu masuk yang bergeser membuka, dan aku mengalihkan perhatianku pada dua pria yang memasuki bangsal.

“Oh, Kirigaya-kun. Maaf sudah mengganggu.”

Seorang pria yang lebih tua berdiri di depannya dengan ekspresi wajah kalem, sambil memasukkan kartu di tangannya ke sakunya. Dari fisik dan penampilannya, dia nampak seperti pria yang bersemangat dan percaya diri, namun rambut abu abunya adalah hasil dari dua tahun mencemaskan putrinya. Ini adalah Ayah Asuna, Yuuki Shozou. Aku sudah mengetahui dari Asuna sebelumnya kalau ayahnya adalah pengusaha, namun itu tak membuatku terkejut sampai aku mengetahui bahwa dia adalah CEO dari perusahaan elektronik «RECTO».

Aku sedikit membungkukkan kepalaku dan berbicara.

“Hallo. Maaf sudah mengganggu, Yuuki-san.”

“Tak apa, tak apa. Melihatmu selalu datang seperti ini, seharusnya aku yang minta maaf. Aku yakin kalau anak itu pasti sangat senang.”

Dia berjalan ke bantal Asuna, dengan lembut membelai rambutnya sambil menatap sedih pada wajah Asuna. Tak lama kemudian, dia memperkenalkan pria yang berdiri di belakangnya.

“Ini adalah orang baru. Ia adalah direktur dari institut penelitian kami, Sugou-kun.”

Kesan pertamaku tentangnya adalah positif. Ia bertubuh tinggi, mengenakan jas abu abu gelap, dengan sepasang kacamata berbingkai kuning yang diseimbangkan diatas jembatan hidungnya. Matanya tersembunyi dibalik lensa tipisnya, dan senyum lembutnya menyempurnakan semua imej itu. Aku membayangkan kalau dia mungkin berumur 30-an.

Dia mengulurkan tangannya sambil berkata.

“Senang bertemu denganmu. Aku Sogou Nobuyuki. Kamu pasti sang Pahlawan Kirigaya-kun itu.”

“Kirigaya kazuto. Senang bertemu anda.”

Aku menjabat tangan Sogou dan menolehkan kepalaku untuk melirik arah Yuuki Shozou, tangannya menopang kepalanya yang agak sedikit jatuh.

“Tentang itu, maaf. Server SAO sudah ditutup. Insiden ini hampir seperti yang sering kamu lihat di TV. Dia adalah putra paling terpercayaku. Untuk sementara waktu ini, dia masih belum membuat kontak dengan keluarga.”

“Presiden, masalah ini adalah—“

Sogou melepaskan tangannya, dan menoleh pada Shouzou untuk berbicara.

“Bulan depan, saya ingin memberitahu semua orang.”

“Begitukah? Tapi apa tak apa apa? Kau masih muda, hidupmu baru saja dimulai......”

“Saya sudah berubah pikiran. Saya ingin mengambil keuntungan di saat ini ketika Asuna masih cantik......dan membuatnya mengenakan gaun pengantin.”

“Sepertinya kau sudah memikirkan hal itu masak masak.”

“Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampai jumpa Kirigaya-kun.”

Dia menganggukkan kepalanya, berbalik dan berjalan keluar dari pintu, menutup pintu di belakangnya. Satu satunya lelaki yang tersisa di ruangan ini hanya Sogou dan aku.

Sogou Nobuyuki perlahan bergerak ke sisi ranjang, berdiri berlawanan dariku. Dia membelai rambut kastanye Asuna, membuat suara kecil saat tangan kanannya bergerak sepanjang rambutnya. Hal itu membuatkua merasa agak jijik.

“Saat kau berada dalam Game, kau hidup bersama Asuna, kan?” Ujar Nobuyuki-san.

“.....uhm......”

“Kalau begitu, maka hubungan diantara kita mungkin agak rumit.”

Sogou melihat ke atas, dan kami membuat kontak mata. Pada saat itu, aku menyadari kalau kesanku terhadap pria ini tak mungkin terlalu jauh dari kebenaran.

Melalui kacamata tipisnya, pupil kecilnya memberiku kesan seorang sanpaku, bibir meruncing dalam senyuman. Itu semua memberikan perasaan dingin tak berperasaan. Keringat dingin menetes di punggungku.

“Tentang yang baru kukatakan.......”

Sugou memasang senyum bosan.

“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”

Aku tak bisa memahami kata katanya. Apa yang dia baru katakan? Ucapan Sugou membuat seluruh tubuhku diserbu perasaan dingin. Setelah beberapa saat kesunyian, aku akhirnya berkata,”Apa kau pikir aku akan membiarkanmu lolos dengan itu?”

“Oh, sudah tentu. Untuk menerima persetujuannya dalam kondisi semacam ini akan cukup mustahil. Di atas kertas, aku adalah putra adopsi dari keluarga Yuuki. Namun kenyataannya, dia sudah cukup lama membenciku.”

Jemari Sugou mendekati bibir Asuna.

“Hentikan!”

Aku tanpa sadar menggenggam tangan Sugou, menjauhkannya dari wajah Asuna.

Merasa marah, aku berteriak “Brengsek kau.....kau berani memanfaatkan kondisi Asuna!?”

“Memanfaatkan? Bukan bukan, ini masih di dalam batas. Jujur saja, Kirigaya-kun. Apa kau tahu yang terjadi pada perusahaan SAO, «Argas»?”

“Kudengar mereka bangkrut.”

“Benar. Biaya pengembangan, serta biaya semua kerugian yang membuat mereka berhutang banyak, dan perusahaan itu akhirnya bangkrut. Sehingga, perawatan server SAO sekarang dibawah tanggung jawab departemen teknologi FullDive RECTO. Lebih tepatnya, departemenku.”

Dari sisi lain ranjang, Sugou menoleh untuk menatapku. Memasang senyum iblis, dia bergerak mendekat ke pipi Asuna.

“Anggap saja begini, dia masih hidup karena aku mengizinkannya. Sehingga, tidakkah menurutmu aku pantas mendapat balasan untuk semua kerja kerasku? Apa aku salah?”

Mendengar hal itu hanya memperkuat penolakanku.

Pria ini ingin memanfaatkan situasi Asuna, memakai hidupnya demi ambisi pribadinya sendiri.

Berbalik dan berdiri, melihat dengan tegas ke arahku, senyum lenyap dari wajahnya. Dengan nada dingin, dia berbicara padaku.

“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu dan Asuna dalam Game, tapi aku ingin kau enyah dari hidupnya dari sekarang. Kuharap kau tak membuat kontak masa depan dengan Yuuki dan keluarganya.”

Aku meremas tinjuku, marah pada ketidakmampuanku untuk berbuat sesuatu. Aku merasa begitu payah.

Beberapa momen kesunyian berlalu. Kemudian, Sugou berbicara dengan nada menghina.

“Upacara pernikahan akan diselenggarakan minggu depan tepat disini di bangsal ini. Kuharap kau akan datang. Hargailah pertemuan terakhirmu ini, Pahlawan-kun.”

Aku ingin pedang. Aku akan menembus jantungnya dan merobek dadanya. Aku tak tahu apa dia bisa melihat kemarahan dalam diriku, tapi dia menepuk nepuk bahuku, berbalik dan dengan santai meninggalkan ruangan.


Saat aku pulang, memori pertemuan kami masih terasa segar dalam pikiranku. Aku berbaring di ranjangku dan menatap dinding dalam kegelisahan.

“Yakni, pernikahan Asuna denganku.”

“Dia masih hidup karena aku mengizinkannya.”

Pertemuanku dengan Sugou terus terulang dan terulang dalam kepalaku, seperti film yang tiada habisnya. Hatiku terasa seperti gumpalan logam yang memerah membara.

Namun----------Ini semua mungkin karena rasa kesadaran diriku yang terlalu kuat.

Sugou adalah orang yang selalu paling dekat pada keluarga Yuuki. Ini juga alasan dia bisa menjadi tunangan Asuna. Dipercaya sepenuh hati oleh Yuuki Shouzou, dia juga membawa tanggung jawab besar pada Recto. Asuna mungkin diatur untuk menikah dengan pria ini jauh sebelum kami bertemu di Aincrad. Dibandingkan dia, waktu kami bersama mungkin tak lebih dari ilusi. Penghinaan karena harus menyerahkan Asuna demi hasrat pria itu, yang menurutku, tak ubahnya lelucon anak anak.

Bagi kami, kota terapung Aincrad adalah dunia nyata. Sumpah yang telah kami buat disana, kata kata, semuanya berbinar dengan kecemerlangan seperti berlian.

“Aku ingin tetap di sisi Kirito selamanya-------“

Kata kata dan senyum Asuna dengan perlahan melintasi pikiranku.

“Maafkan aku.......maafkan aku, Asuna......aku tak bisa berbuat apa apa.”

Air mata kesedihan mengalir di pipiku, potsu, potsu ke atas tinjuku yang tergenggam.


* * *


“Onii-chan, kamar mandinya sudah kosong!”

Suguha berteriak ke kamar Kazuto, yang terletak di lantai kedua, namun tak ada respon.

Sore itu, setelah kembali dari rumah sakit, Kazuto terus mengunci dirinya di dalam kamar, tak mau turun bahkan untuk makan malam.

Suguha menempatkan tangannya di kenop pintu, namun ragu ragu. Kalau dia belum tertidur maka mungkin dia terkena demam, pikir Suguha, memperkuat keyakinannya sambil memutar gagang pintu.

Kacha--. Pintu terbuka dan menampakkan ruangan gelap.

Dia pasti sedang tertidur, pikir Suguha, dan saat dia hendak berbalik meninggalkan ruangan, embusan udara angin terasa sedikit bertiup, membuatnya menggigil. Jendela nampaknya terbuka. Sepertinya tak ada cara lain, pikirnya, sambil menggeleng kepalanya.

Dia berjalan berjingkat jingkat sepanjang ruangan, menuju ke arah jendela......hanya untuk mendapati kakaknya tengah meringkuk di atas ranjang, dengan kondisi masih bangun.

“Ah, Onii-chan, maaf. Kukira kamu sudah tidur.” Adalah respon gugup Suguha.

Setelah beberapa momen kesunyian, Kazuto membalas dalam suara tanpa emosi, “Maaf, tapi bisa tolong biarkan aku sendiri?”

“Tapi, tapi, ruangan ini terasa dingin.....”

Suguha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kazuto. Tangannya terasa dingin bagai es.

“Ini nggak bagus. Tanganmu membeku; kamu akan demam kalau begini. Lekaslah mandi.”

Sejumlah cahaya menembus masuk melalui korden dari lampu jalanan, menyinari wajah Kazuto. Pada momen ini, Suguha menyadari sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya.

“Apa yang terjadi?”

“Bukan apa apa.”

Balasannya seperti bisikan yang tercekik.

“Tapi.....”

Tanpa menunggu Suguha selesai bicara, Kazuto mengubur wajahnya di kedua tangannya. Menyembunyikan dirinya dari Suguha, dan dengan tanda penistaan diri, dia berkata, “Aku sungguh tak berguna. Belum begitu lama saat aku bersumpah untuk tak lagi mengatakan kata kata kekalahan semacam itu.......”

Di tengah kata katanya, Suguha sudah menyadari apa yang telah terjadi. Berbicara dengan suara pelan dan bergetar, dia bertanya “Orang itu.......Asuna-san.....apa yang terjadi padanya?”

[To be continued]