Difference between revisions of "Suzumiya Haruhi ~ Indonesian Version:Jilid2 Bab02"
Silverhammer (talk | contribs) m |
Silverhammer (talk | contribs) m |
||
Line 69: | Line 69: | ||
Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera selagi aku membuntuti Haruhi. Aku menatap rambut Haruhi yang melambai di belakang punggungnya dan bertanya, |
Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera selagi aku membuntuti Haruhi. Aku menatap rambut Haruhi yang melambai di belakang punggungnya dan bertanya, |
||
+ | [[Image:Sh_v02c02_01.jpg|thumb|''Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera selagi aku membuntuti Haruhi.'']] |
||
“Bagaimana kau bisa mendapatkan barang yang mahal begini? Apakah karena kau menemukan rahasia gelap si manajer?” |
“Bagaimana kau bisa mendapatkan barang yang mahal begini? Apakah karena kau menemukan rahasia gelap si manajer?” |
||
Revision as of 06:13, 25 June 2007
Bab 2
Musim gugur telah datang, tapi karena suatu alasan, cuaca hampir tidak sejuk. Sepertinya planet ini kebingungan menentukan musim dan lupa membawa musim gugur ke Jepang. Musim panas telah diperpanjang untuk selamanya, dan sampai seseorang muncul dan mencetak home run, tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan jika musim panas berakhir, orang akan merasa bahwa musim gugug pun akan disingkirkan oleh musim dingin begitu ia tiba.
“Kita mungkin sudah telat,” kata Haruhi, jadi kami mengambil tas dan meninggalkan sekolah. Haruhi dengan terburu-buru berlari menuruni jalan yang panjang dan berliku. Kemana sih tujuan dia? Aku akan paham kalau tujuan kami adalah Klub Komputer, karena kami adalah klub misterius yang telah berdiri selama enam bulan tanpa tak ada seorangpun yang mengetahui prinsip pendiriannya. Akhir yang logis untuk kami adalah diusir keluar.
Kami menuruni bukit dan menaiki kereta lokal. Tiga terminal berikutnya, dan kami sampai di daerah dengan jalan bunga ceri, tempat Asahina dan aku berjalan bersama beberapa waktu lalu. Di tempat ini terdapat supermarket besar dan suatu jalan pusat perbelanjaan, dan karena itu, tempat ini cukup sibuk dan ramai.
“Di sini.”
Haruhi akhirnya berhenti dan menunjukkan sebuah toko elektronik.
“Aku mengerti,” jawabku.
Dia mungkin akan memeras toko ini untuk peralatan membuat film.
Aku ingin tahu bagaimana dia akan melakukannya?
“Kalian berdua tunggu di sini, aku akan masuk dan bernegosiasi.”
Haruhi menyorongkan tasnya kepadaku dan tanpa ragu-ragu berjalan memasuki toko yang diliputi kaca.
Asahina bersembunyi di belakangku, sambil tanpa henti mengintip ke arah toko, yang diterangi oleh bermacam-macam alat penerangan. Dia tampak seperti anak SD pemalu yang mengunjungi rumah temannya untuk pertama kali. Selagi aku memandangi punggung Haruhi, yang sedang mengayun-ayunkan tangannya sambil berbicara dengan seseorang yang tampaknya adalah manajer toko, hasratku untuk melindungi Asahina menjadi lebih kuat. Apabila Haruhi mencoba melakukan sesuatu yang aneh, aku akan membawa Asahina dengan tanganku dan kabur saat itu juga.
Di balik kaca, Haruhi berbicara dan mengacungkan jarinya pertama-tama ke arah peralatan film, lalu ke dirinya sendiri, dan lalu ke arah si manajer. Sementara itu si manajer mengangguk-angguk tanpa henti. Aku bertanya-tanya, apakah aku sebaiknya memperingatkan dia supaya tidak mudah percaya terhadap apa yang dikatakan Haruhi?
Setelah beberapa saat, Haruhi berbalik dan mengacungkan jarinya kepada kami, yang sudah siap untuk kabur jika ada sesuatu yang salah. Dia kemudian tersenyum hangat, melambaikan tangannya, dan melanjutkan presentasinya.
“Apa yang sedang dia lakukan...?”
Asahina bertanya selagi dia berdiri di belakangku, menjulurkan kepalanya keluar dan menariknya kembali. Apabila Asahina, seorang penjelajah waktu dari masa depan, bahkan tidak tahu jawabannya, berarti tidak ada kemungkinan bahwa aku akan tahu.
“Siapa tahu? Mungkin menuntut mereka untuk memberikan kamera digital terbaik mereka dengan gratis.”
Dia adalah tipe orang yang dapat melakukan hal semacam itu tanpa berkedip sedikitpun. Dia benar-benar percaya bahwa dia adalah pusat alam semesta dan segala hal lainnya berputar mengelilingi dia.
“Hhh, merepotkan saja.”
Aku ingat pernah mendiskusikan hal semacam ini dengan Nagato beberapa waktu lalu.
Haruhi percaya bahwa nilai-nilai dan keputusannya adalah mutlak. Dia tidak mengerti apa yang dipikirkan orang lain, atau menyadari bahwa mereka mungkin saja berpikir secara berbeda, atau lebih tepatnya, dari awal tidak pernah terpikir olehnya bahwa jalan pikirannya bisa saja benar-benar berbeda dari jalan pikiran orang lain.
Kalau orang-orang menginginkan perjalanan menembus waktu, masukkan saja Haruhi ke dalam kapal luar angkasa. Lagipula dia tidak akan peduli dengan Teori Relativitas.
Waktu aku membicarakan ini dengan Nagato, yang dikatakan si alien pendiam hanyalah,
“Pendapatmu mungkin benar.”
Bagi Nagato, hal ini sangat bermakna. Bagi orang lain, Suzumiya Haruhi adalah sebuah lelucon.
“Oh, tampaknya mereka sudah selesai.”
Bisikan Asahina menyadarkanku dari lamunan dan membawaku kembali ke realita.
Haruhi muncul dari dalam toko elektronik dengan wajah puas, sambil membawa suat kotak kecil di tangannya. Ada gambar produknya di samping kotaknya, sekaligus dengan mereknya. Kalau aku tidak salah, itu memang kamera.
Apa persisnya ancaman yang dia gunakan untuk mengintimidasi lawan?
Apakah dia mengancam untuk membakar habis toko? Atau mungkin memulai kampanye boikot? Atau barangkali mengirimkan fax jahil sepanjang malam? Atau mulai marah-marah di situ? Mungkinkah dia mengancam untuk meledakkan dirinya bersama dengan toko itu?
“Jangan konyol! Aku bukan orang yang akan jatuh ke dalam pemerasan!”
Haruhi berjalan dengan riang, di bawah atap kaca di jalan pusat perbelanjaan.
“Kita telah menyelesaikan langkah pertama! Ini terlalu mudah!”
Aku dipaksa membawa kotak berisi kamera selagi aku membuntuti Haruhi. Aku menatap rambut Haruhi yang melambai di belakang punggungnya dan bertanya,
“Bagaimana kau bisa mendapatkan barang yang mahal begini? Apakah karena kau menemukan rahasia gelap si manajer?”
Memang, kata-kata pertama Haruhi begitu dia keluar dari toko adalah, “Kita mendapatkannya!” Kalau si manajer begitu sudi untuk membagikan barang-barang, aku mau juga mengantri. Jadi kumohon, beritahukan kata-kata sihir yang kau gunakan!
Haruhi membalik dan tersenyum,
“Tidak ada apa-apa sebenarnya! Aku bilang aku ingin membuat film dan membutuhkan sebuah kamera, dan dia bilang ‘Oke.’ Tidak ada masalah sama sekali.”
Kurasa bahkan jika semuanya berjalan lancar sampai sekarang, ini tidak akan berakhir semudah itu. Mungkinkah aku terlalu banyak merasa khawatir?
“Jangan hiraukan hal-hal kecil, cukup berbahagialah dan jadilah pembantuku, dan segalanya akan baik-baik saja!”
Sayangnya, sampai sekarang, aku masih menyimpan perasaan tidak nyaman sejak musim semi lalu, perasaan seperti menaiki kapal pesiar bernama Titanic. Aku ingin mengirimkan pesan SOS, tapi sedihnya aku tidak mengerti kode Morse, dan aku bukanlah tipe orang yang bisa berbahagia apabila disebut sebagai pembantu.
“Baiklah! Ke toko berikutnya sekarang!”
Di keramaian, Haruhi melambaikan tangannya dan melangkah ke depan. Aku bertukar pandang dengan Asahina, lalu dengan terburu-buru mengikuti Haruhi.
Berikutnya, Haruhi mengunjungi toko model mainan.
Seperti sebelumnya, Asahina dan aku ditinggal di luar sementara dia masuk untuk bernegosiasi. Aku mulai mendapatkan gambaran tentang apa yang akan dilakukannya, karena setiap kali dia menunjuk pada kami, jarinya selalu terarah pada Asahina. Kalau tebakanku benar, dia pasti menggunakan Asahina sebagai suatu alat tawar-menawar. Asahina belum menyadari ini, karena dia dengan rasa ingin tahu sedang memperhatikan globe yang dipajang di etalase.
Beberapa menit kemudian, Haruhi keluar sambil membawa sebuah kotak yang sangat besar. Barang apa kali ini?
“Senjata.”
Demikian jawaban Haruhi, lalu dia menyorongkan kotak itu padaku. Aku melihat dengan hati-hati dan menemukan bahwa ini adalah sebuah model plastik; bentuknya seperti sebuah senapan. Apa yang dia inginkan dengan benda ini?
“Kita membutuhkan ini untuk adegan aksinya, yaitu pertempuran dengan senjata api! Pertempuran yang seru adalah bahan dasar untuk setiap film yang menghibur. Kalau mungkin, aku juga ingin meledakkan sebuah gedung. Kau tahu tempat yang menjual bahan peledak? Aku ingin tahu apakah toko alat-alat berat menyediakannya.”
Bagaimana aku tahu? Setidaknya aku tahu kau tidak akan bisa menemukannya di toko serba ada atau di internet. Mungkin ada sedikit di tambang batu.... Aku tadinya ingin memberitahukan ini pada Haruhi, tapi aku cepat-cepat menyingkirkan pikiran ini, terutama karena dia mungkin akan pergi ke sana pada tengah malam dan mencuri beberapa dinamit beserta kabel-kebelnya untuk dirinya sendiri.
Aku menurunkan kotak-kotak berisi kamera dan model plastik sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa yang harusnya kita lakukan dengan kotak-kotak ini?”
“Kau bawa pulang dulu, lalu bawa ke ruang klub besok. Terlalu merepotkan kalau dibawa ke sekolah sekarang.”
“Aku?”
“Ya, kamu.”
Haruhi menyilangkan lengannya dengan ekspresi wajah yang penuh kebajikan. Senyuman ini jarang terlihat di kelas, dan disediakan khusus untuk Brigade SOS, dan setiap kali Haruhi tersenyum seperti ini, aku selalu harus mengurus pekerjaan sisanya. Memangnya aku ini apa di matanya?
“Maaf...”
Asahina dengan sopan mengangkat tangannya,
“Apa yang harus kulakukan...?”
“Kau boleh pulang sekarang, Mikuru-chan. Pekerjaanmu sudah selesai untuk hari ini.”
Asahina mengedipkan matanya dan tampak seperti seekor rubah kecil yang kerasukan. Karena yang dilakukan Asahina hari ini hanyalah membuntuti Haruhi dan aku, dia mungkin tidak tahu mengapa Haruhi memintanya untuk ikut, walaupun aku bisa menebak apa yang dipikirkan Haruhi.
Haruhi berjalan dengan enerjik seperti seorang instruktur gym dan memimpin kami ke arah stasiun. Tampaknya aktivitas Haruhiisme hari ini sudah berakhir. Barang rampasannya terdiri atas sebuah kamera dan beberapa senapan mainan. Barang-barang ini bukannya didapatkan melalui negosiasi yang mahir, melainkan Haruhi kemungkinan mendapatkannya melalui cara-cara yang sangat tidak ortodoks. Tidak ada ongkos pengeluaran. Dengan kata lain, kami mendapatkannya dengan gratis.
Dulu ada pepatah yang berbunyi, “Tidak ada yang lebih menakutkan daripada tidak usah membayar.” Masalahnya, Haruhi tampaknya tidak peduli. Kalau ada orang yang tahu apa yang bisa membuat Haruhi takut, tolong beri tahu aku.
Hari berikutnya, selain daripada tasku, aku harus menaiki lereng sambil membawa bagasi tambahan.
“Hei, Kyon! Apa yang kau bawa itu? Hadiah untuk siswa teladan tertentu?”
Yang sedang berlari ke arahku adalah Taniguchi, teman sekelas Haruhi dan aku, suatu organisme bersel tunggal yang sangat sederhana, dan seorang anak sekolah yang paling normal yang bisa kau temukan dimanapun. Normal adalah deskripsi yang hebat untuknya. Sekarang, untukku, normalitas adalah sebuah komoditas yang langka karena kata itu mewakili keajaiban bahasa yang digunakan dalam realita.
Aku ragu sesaat, lalu memindahkan kantong supermarket yang lebih ringan di antara dua kantong yang kubawa ke tangan Taniguchi.
“Apa-apaan ini, senapan mainan? Aku tidak tahu kau punya hobi seperti ini.”
“Itu bukan hobiku, tapi Haruhi.”
Aku lalu menjelaskannya dengan singkat pada Taniguchi, tapi dia benar kalau menganggap ini adalah hobi yang aneh.
“Aku merasa sulit membayangkan Suzumiya membongkar benda ini dan lalu menyusunnya kembali dan merawatnya.”
Aku juga merasa sulit membayangkannya, jadi siapa lagi selain Haruhi yang bisa membongkar dan menyusun kembali benda-benda ini? Aku rasanya harus memberitahu semua orang bahwa ketika aku masih kecil, aku mencoba menyusun robot mainan, tapi seberapa kerasnya aku berusaha, aku tidak bisa memasang bahu kanannya dan aku membuangnya gara-gara frustasi.
“Tugasmu berat juga.”
Taniguchi berkata dengan nada yang sama sekali tidak terdengar simpatik,
“Sampai sekarang, satu-satunya orang yang mampu melindungi Suzumiya hanyalah kamu. Aku bisa menjamin ini, jadi kau sebaiknya terus bersamanya.”
Apa sih yang kau bicarakan? Tidak mungkin aku mau terus bersama Haruhi! Orang yang harusnya terus bersamaku adalah Asahina. Aku yakin semua orang akan merasakan hal yang sama.
Taniguchi terkikik seperti gremlin.
“Ah, itu tidak mungkin, lagipula, dia adalah malaikat kecil North High, pelipur lara hati para pria. Kalau kau tidak mau disekap dalam karung oleh setengah sekolah, kusarankan kau berhati-hati dalam melangkah. Kukira kau tidak mau kalau aku menikammu dari belakang dengan pisau, kan?”
Baiklah, kalau begitu akn mengambil peringkat kedua dan memilih Nagato.
“Itu juga tidak bisa. Dia mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi dia mempunyai banyak pengagum rahasia. Kenapa dia tidak memakai kacamata lagi? Apakah dia beralih ke lensa kontak?”
“Hmm... kenapa tidak kau tanyakan saja sendiri?”
“Tanya? Sampai sekarang, betapapun kerasnya aku berusaha, dia tidak mempedulikan segala yang kukatakan. Semua orang di kelas Nagato sangat percaya bahwa setiap-patah-kata-yang-dia-katakan cukup untuk menentukan takdir hari ini.”
Berhentilah memperlakukan Nagato bagai dewi. Takhyul macam apa ini? Dia mungkin bukan orang biasa, tapi dalam standarnya, dia sebenarnya cukup normal. Walaupun aku tidak benar-benar tahu standarnya seperti apa.
“Bagaimanapun, kau benar-benar cocok dengan Suzumiya. Hanya kau yang bisa bercakap-cakap seperti biasa dengan si idiot itu. Jadi teruslah perhatikan dia dan tekanlah angka korban serendah mungkin. Oh ya, festival sekolah sebentar lagi, acara besar apa yang kalian rencanakan untuk itu?”
“Jangan tanya padaku.”
Aku bukan juru bicara Brigade SOS, tapi Taniguchi berlanjut.
“Bahkan kalau aku bertanya pada Suzumiya, dia hanya akan menjawab dengan penuh teka-teki, dan kalau aku tidak bertanya pada waktu yang tepat, aku mungkin akan diserang olehnya. Untuk Nagato Yuki, kau tidak akan mendapatkan apa-apa darinya apapun yang kau tanyakan, sementara Asahina tidak boleh disentuh, karena aku mungkin akan digebuki massa kalau aku mencoba mengobrol dengannya. Jadi pada akhirnya, aku harus bertanya padamu.”
Dia benar-benar hebat dalam mengarang alasan. Menurut dia, aku hanyalah si baik hati.
“Bukannya memang begitu? Kau tampak seperti tipe orang yang mau terus melangkah ke depan bersama dia, walaupun kau tahu jurang menanti kalian di depan.”
Selagi kami mendekati gerbang sekolah, aku menyambar kantong dari tangan Taniguchi sambil merasa cukup jengkel.
Aku tidak tahu apa yang menanti di depan kegilaan Haruhi, tapi kukira bukan hal yang baik. Namun, aku bukan satu-satunya yang berjalan bersama Haruhi dalam perjalanan yang berbahaya ini. Setidaknya ada tiga orang yang bersamaku. Dua di antara mereka mungkin dapat mengurus diri mereka sendiri, tapi Asahina akan berada dalam bahaya besar karena dia sama sekali tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi. Dia seperti bukan berasal dari masa depan. Tapi disitulah letak pesona dia.
“Itulah kenapa,” aku menjelaskan pada Taniguchi, “Seseorang harus melindunginya.”
Ah, itulah yang sepantasnya dikatakan oleh si protagonis pria. Walaupun aku hanya melindunginya dari pelecehan seksual yang dilakukan Haruhi, itu saja.
Aku melanjutkan dengan tenang,
“Karena aku telah diberikan kesempatan, aku harus melindungi dia. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan cowok-cowok di sekolah, silakan saja kalau kalian ingin membentuk suatu persekutuan laki-laki atau semacamnya.”
Taniguchi terus terkikik seperti gremlin.
“Kau sebaiknya hati-hati melangkah, karena setiap bulan baru adalah hal baru.”
Setelah meninggalkan tipe ancaman pemerasan yang mungkin digunakan oleh suatu komplotan pencuri, Taniguchi berjalan melewati gerbang sekolah.
Selagi aku membawa barang-barangku dan berjalan ke arah koridor di luar ruang kelas, aku melihat Haruhi memasukkan barang-barangnya ke loker. Aku lalu menaruh kamera dan senapan mainan ke dalam loker stainless steel milikku.
“Kyon, kita akan sibuk hari ini.”
Tanpa berkata selamat pagi, Haruhi membanting pintu lokernya dan memberiku senyuman sehangat awal musim semi.
“Mikuru-chan, Yuki, dan bahkan Koizumi-kun, aku tidak akan membolehkan kalian mengeluh! Skenario yang ada di pikiranku hampir selesai sekarang. Aku bisa mendengar gemuruhnya; sekarang yang harus dilakukan hanyalah memindahkannya ke layar lebar.”
“Betulkah?”
Aku menjawab dengan santai, dan memasuki ruang kelas. Bangku yang kutempati adalah bangku kedua dari belakang. Dari awal masuk sekolah, kami telah bertukar bangku berkali-kali, tapi sejauh ini aku belum pernah mendapat tempat di paling belakang karena Haruhi selalu mendapat tempat tepat di belakangku. Aku mulai merasa bahwa hal ini terlalu tak wajar untuk bisa dibilang kebetulan, tapi aku masih ingin mempercayai bahwa ini semua hanyalah suatu kebetulan.
Kalau aku tidak mengatakan hal ini pada diriku sendiri, aku akan kehilangan kepercayaan terhadap kata “kebetulan”. Aku memang baik. Aku yakin siapapun yang terlibat dengan Haruhi akan berpikiran sama seperti aku. Aku ibarat seorang pemain tengah yang bertugas menguasai bola liar yang terlepas dari penguasaan kedua tim, sedangkan Haruhi adalah striker super-menyerang yang ada dalam posisi offside dan berlari ke arah gawang. Saking offside-nya, lawan terdekat mungkin berkilo-kilometer jauhnya, jadi meskipun dia mengdapatkan bolanya, asisten wasit tidak mempunyai pilihan lain selain mengangkat bendera offside.
Untuk Haruhi, dia mungkin berkata bahwa itu adalah kesalahan si asisten wasit. Dia akan berkata dengan wajah normal bahwa ada yang salah dengan peraturannya dan lalu melanjutkan menggiring bola, berlari melewati tiang gawang, dan menyatakan bahwa dia berhasil mencetak angka. Kalau begitu, aku sarankan dia menjauh dari rugby.
Untuk menghadapi tingkah lakunya yang tidak memedulikan orang lain, jalan terbaik adalah hanya berpura-pura bahwa tidak ada yang terjadi dan dengan diam-diam meninggalkan tempat kejadian perkara. Atau cukup berhenti berjuang dan menuruti apapun perkataannya.
Selain daripadaku, kebanyakan teman sekelas telah memilih pilihan yang pertama.
Jadi setelah jam pelajaran keenam, dengan tersisa satu pelajaran lagi, Okabe-sensei dan siswa lain tidak berkomentar tentang bangku di belakangku yang kosong. Apakah mereka tidak tahu? Atau memilih untuk tidak tahu? Atau mungkin tidak bisa diganggu untuk membuang-buang waktu memikirkan hal semacam itu? Bagaimanapun, semua orang setuju bahwa yang paling baik adalah membiarkan dia sendiri, jadi tidaklah penting untuk tahu apa sebabnya.
Aku berjalan ke arah ruang klub dengan perasaan tak enak, sambil membawa kantong berisi kotak-kotak itu, dan berhenti di depan ruangan Klub Sastra.
Kukira aku mendengar sesuatu. “Ahh!” adalah jeritan manis Asahina, sedangkan “Waahh!” adalah teriakan menakutkan dari Haruhi. Yah, kita mulai lagi.
Kalau aku membuka pintu sekarang, aku mungkin akan melihat pemandangan yang sangat indah, tapi sebagai laki-laki berakal sehat, aku menahan nafsuku dan menunggu di luar.
Setelah kira-kira lima menit, jeritan perlawanan yang lembut itu akhirnya telah surut, karena ujung-ujungnya selalu berakhir dengan Haruhi berkacak pinggang dan tersenyum penuh kemenangan. Seperti kelinci yang tidak akan bisa mengalahkan ular, Asahina tidak mungkin bisa mengalahkan Haruhi.
Aku mengetuk pintu.
“Masuk!”
Suara Haruhi yang enerjik bergema melalui pintu. Aku mencoba menebak apa isi kantong kertas yang dia bawa tadi pagi, selagi membuka pintu, dan memasuki ruang klub. Seperti bisa kuduga, senyum kemenangan Haruhi menyambutku, tapi aku sudah lelah akan ekspresi itu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah orang yang duduk di depan Haruhi di kursi baja, dan aku merasa suhu tubuhku naik dengan tiba-tiba.
Seorang pelayan duduk di situ, melilhat kepadaku dengan mata berkaca-kaca.
“....”
Dengan rambut yang agak acak-acakan, si pelayan menundukkan kepalanya dan duduk diam bagai Nagato. Haruhi mengikat rambut coklat si pelayan menjadi dua ekor kuda. Ajaibnya, Nagato tak terlihat dimanapun.
“Jadi bagaimana?”
Haruhi mendengus dan bertanya kepadaku. Apa maksud mukamu yang berkata bahwa ini semua berkat kamu? Kecantikan Asahina adalah karunia Tuhan, namun....
Sebenarnya aku berpikir bahwa dia kelihatan hebat dalam kostum ini. Aku ingin tahu, apa yang dipikirkan Asahina? Dia tidak akan tidak menyetujuiku berpikir semacam ini, kan? Meskipun, bukankah roknya agak terlalu pendek?
Bagai jus buah murni 100%, Asahina sang pelayan menggenggam lengannya erat-erat dalam genggamannya dan duduk kaku.
Kostum ini tampak sangat sempurna buatmu; kelihatannya seperti dibuiat khusus untukmu. Berkat itu, aku dengan diam menatap Asahina selama tiga puluh detik. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan hampir membuatku terlompat ketakutan.
“Maaf tentang kemarin. Kami masih harus merevisi skenarionya hari ini, tapi aku bersikeras untuk pergi lebih dulu karena aku tidak sempat bersiap-siap dengan kalian sejak awal hingga akhir di hari kemarin.”
Koizumi tersenyum dengan wajah tampannya dan kemudian memandang ke dalam ruang klub melewati bahuku.
“Hai.”
Dia tersenyum dengan riang.
“Kostum ini....”
Koizumi berjalan melewatiku, menaruh tasnya di meja dan duduk di salah satu kursi baja.
“... benar-benar cocok denganmu.”
Dia mengeluarkan pendapatnya secara langsung. Yah, semua orang tahu hal itu. Yang tidak kumengerti adalah apa yang dilakukan seorang pelayan di sini, di ruangan tua dan jelek, dan bukannya di sebuah kafe atau restoran.
“Itu karena,” kata Haruhi, “aku ingin Mikuru-chan memakai kostum ini dalam film.”
Apa yang salah dengan kostum maid?
“Maid hanya melakukan pekerjaan tertentu bagi orang-orang kaya di istana mereka. Pelayan berbeda, mereka muncul di sudut jalan, atau di toko, dan menyediakan segala macam pelayanan bagi masyarakat umum dengan upah per jam 730 yen.”
Aku tidak tahu apakah upah per jam itu dianggap tinggi atau rendah, tapi bagaimanapun, aku kira Asahina tidak akan berdandan sebagai maid hanya untuk bekerja di sebuah istana. Namun ceritanya berbeda apabila Haruhi benar-benar membayar gajinya.
“Berhentilah membahas hal-hal kecil! Semuanya bergantung akan bagaimana perasaanmu, dan aku rasa ini terlihat bagus.” Kau boleh berpikir begitu, tapi bagaimana dengan Asahina?
“Mmm... Suzumiya-san... aku kira kostum ini agak terlalu kecil buatku....”
Asahina mungkin khawatir celana dalamnya akan terlihat, karena dia dengan kuat menarik ujung roknya ke bawah. Tapi kelakuan ini hanya berhasil menggelisahkanku lebih jauh, dan sebelum aku menyadarinya, pandanganku terpancang pada titik itu.
“Kukira ini pas untukmu.”
Butuh banyak usaha untuk mengalihkan pandanganku dan mengarahkannya pada Haruhi, yang sedang tersenyum bagai bunga indah yang mekar di tengah-tengah hutan. Haruhi mengarahkan pupil matanya, yang hanya dapat melihat apa yang ada tepat di depannya, ke arahku.
“Konsep untuk film kita kali ini adalah....”
Dia menunjuk punggung Asahina yang sedang gemetar.
“Ini.”
Apa yang kau maksud dengan “ini”? Kau ingin membuat film dokumenter tentang seorang gadis yang bekerja paruh-waktu di kedai teh?
“Bukan! Tidak seru kalau kita membuat acara kamera tersembunyi yang menampilkan kehidupan sehari-hari Mikuru-chan. Kita harus membuat film tentang kehidupan sehari-hari seseorang yang luar biasa, hanya begitulah caranya agar filmnya menarik. Membuat dokumenter tentang kehidupan sehari-hari seorang anak sekolah biasa hanyalah untuk memuaskan ego seseorang.”
Kukira Asahina tidak akan terpuaskan dengan pembuatan film ini. Aku percaya bahwa ada orang lain yang egonya perlu dipuaskan, dan aku percaya bahwa kehidupan sehari-hari Asahina sudah cukup luar biasa, tapi aku memutuskan untuk tetap diam.
“Sebagai sutradara di Brigade SOS, aku akan melaksanakan misi untuk menghibur masyarakat. Tunggu saja! Aku akan membuat semua orang berdiri dan bertepuk tangan!”
Aku melihat dengan hati-hati dan menyadari bahwa pita lengan “Komandan” milik Haruhi sekarang telah digantikan dengan tulisan “Sutradara”. Dia benar-benar orang yang teliti.
Seorang sutradara wanita yang penuh gairah, seorang pemeran utama wanita yang depresi, dan seorang pemeran utama pria yang tersenyum penuh teka-teki seolah ia hanyalah seorang penonton, aku benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskan adegan ini. Pada saat ini, pintu ruang klub terbuka.
“...”
Kukira itu orang lain, dan untuk sejenak pikiranku dipenuhi rasa takut. Aku kira hidupku yang singkat ini akhirnya telah mencapai ujungnya, karena bahkan malaikat maut datang menjemputku. Bahkan kukira aku ada di belakang layar film dimana Salieri dengan perlahan menghancurkan Mozart selagi dia menulis komposisi Requiem.
“...”
Wajah pucat Nagato seperti biasa muncul dengan diam dari balik pintu. Dia hanya menunjukkan wajahnya, sementara tubuhnya diliputi kegelapan.
Aku bukan satu-satunya yang takut dan terdiam, Haruhi dan Asahina juga tidak lebih baik, bahkan senyum Koizumi yang biasapun membawa sedikit rasa kengerian di dalamnya. Nagato memakai kostum aneh yang bahkan Asahina pun akan terlihat menakutkan memakainya. Dia menutupi dirinya dengan jubah kain hitam, memakai topi runcing yang sama-sama hitam gelap, suatu kostum tukang sihir yang mudah dikenali.
Di bawah pandangan kami, Nagato, yang berpakaian bagai malaikat maut, dengan diam berjalan ke kursinya yang biasa di pojok, mengeluarkan tas dan buku bersampul tebalnya dari bawah jubahnya, dan menaruhnya di meja.
Tanpa mempedulikan pandangan kami yang terhenyak, dia mulai membaca bukunya.
Tampaknya ini adalah kostum yang digunakan acara ramalan kelasnya di festival sekolah.
Sebagai orang pertama yang pulih dari rasa terkejut, Haruhi mencecar Nagato dengan serangkaian pertanyaan. Dari jawaban-jawaban satu-katanya, kami sampai pada kesimpulan berikut: pasti ada seorang desainer fashion berbakat di kelasnya untuk bisa membuat Nagato bisa menikmati memakai kostum ini kemana-mana.
Nagato memasuki ruangan dalam kostum mirip boneka yang menakutkan; apakah dia diam-diam memutuskan untuk berkompetisi dengan Asahina-san lewat caranya sendiri? Jalan pikirannya bahkan lebih susah dimengerti daripada jalan pikiran Haruhi!
Di bawah atmosfer sunyi ini dimana tidak ada seorangpun yang berani berbicara, hanya Haruhi yang berkata dengan bergairah,
“Jadi akhirnya kau menikmatinya, Yuki! Kostum ini hebat sekali!”
Nagato dengan perlahan menggerakkan matanya ke arah Haruhi dan lalu menggerakkan pandangannya kembali ke bukunya.
“Kostum ini benar-benar cocok dengan konsep penokohanku! Beritahukanku nanti siapa yang merancang kostum ini untukmu, aku ingin mengirimkan telegram kepadanya untuk berterima kasih atas usahanya!”
Tolonglah, mengirim telegram ucapan terima kasih hanya akan membuat dia lebih curiga, khawatir apakah ada makna tersembunyi di dalamnya. Bisakah kau melihat secara objektif bagaimana orang lain memandangmu?
Haruhi sudah ada di surga ketujuh. Sambil menyenandungkan Rondo ala Turca, dia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas bertulisan. Dia kemudian membagikan kertas-kertas itu pada setiap orang diantara kami, sambil berbinar bagai Kintarou yang baru saja mengalahkan si beruang hitam.
Aku tidak punya pilihan lain selain daripada mengarahkan pandanganku pada kertas itu.
Di atasnya tertulis hal berikut:
“Battle Waitress – Pelayan Tempur: Petualangan Asahina Mikuru (judul sementara)”
Para Pemain: Asahina Mikuru – Pelayan Tempur dari masa depan Koizumi Itsuki – pemuda esper Nagato Yuki – alien jahat Figuran – semua orang lain |
.... Ya Tuhan, apa-apaan ini? Dia ternyata menebak semuanya dengan tepat.
Aku benar-benar shock. Aku tidak tahu apakah dia mempunyai kemampuan deduksi yang sangat hebat, ataukah dia menebak begitu saja dan benar semua. Aku bahkan curiga bahwa dia pura-pura tidak tahu. Mampu membuat penilaian yang sangat tepat dengan begitu saja, memangnya kekuatan macam apa itu?
Aku tidak bisa berkata-kata untuk sesaat, dan baru sadar ketika aku mendengar seseorang yang terkikik di sebelahku. Ini tidak lain pastilah Koizumi.
“Oh, aku mengerti....”
Dia tampaknya agak senang; aku benar-benar iri terhadapnya.
“Bagaimana mengatakannya, ya? Seperti yang diharapkan dari Suzumiya-san, mungkin? Hanya Suzumiya-san yang mampu membuat tokoh-tokoh semacam ini, hebat sekali.”
Jangan tersenyum ke arahku seperti itu, kau membuatku tidak nyaman.
Asahina-san menggenggam tumpukan kertas A4 itu dengan tangannya, yang bergetar selagi dia membaca isinya.
“Ah....”
Dia berseru dengan lembut dan melihat ke arahku, dengan ekspresi seolah memohon untuk diselamatkan. Aku melihat dengan hati-hati dan memperhatikan bahwa matanya membawa suatu perasaan sedih yang amat sangat, dibarengi dengan tatapan yang sedikit mencela, seperti kakak perempuan ramah yang sedang memarahi anak kecil yang baru berbuat nakal.... Ah, aku ingat sekarang. Setelah kejadian enam bulan lalu, aku memberitahukan Haruhi identitas asli mereka.
Duh, duh. Apakah ini salahku?
Dengan kalut aku menoleh ke arah Nagato, dan melihat si Interface Humanoid Hidup buatan alien, mengenakan jubah hitam dan topi runcingnya....
“....”
Masih membaca bukunya dalam diam.
“Ini bukan masalah yang sebesar itu.”
Koizumi berkata dengan optimis. Aku bahkan tidak dalam suasana hati untuk tertawa.
“Aku tahu ini tidak lucu, tapi tidak suram juga.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Karena ini hanyalah pembagian karakter untuk film. Suzumiya-san tidak benar-benar percaya bahwa aku adalah seorang esper, hanya di dunia film yang fiktif ini si tokoh Koizumi Itsuki, yang diperankan olehku, kebetulan adalah seorang esper.”
(+/- 35%)
Kembali ke Bab 1 | Teruskan ke Main Page | Teruskan ke Bab 3 |