Difference between revisions of "Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 2"
Line 144: | Line 144: | ||
Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Klasik, benar?" |
Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Klasik, benar?" |
||
+ | "... Siapa kau?" <!-- aku berfikir 'kamu siapa?' atau 'siapa kamu' kedengaran lebih sopan, tapi aku tidak yakin houtaro menggunakan bahasa sopan atau tidak di novel aslinya -Tony --> |
||
− | "... Siapa kau?" |
||
Kutanya dengan terus terang. Walau aku tidak pernah berinteraksi dengan baik terhadap orang-orang, aku tidak bermaksud untuk memperlakukan dengan dingin orang yang pertama kali kutemui. Di saat ketika aku tidak mengenalinya, untuk beberapa alasan, ia terlihat seperti mengenaliku. |
Kutanya dengan terus terang. Walau aku tidak pernah berinteraksi dengan baik terhadap orang-orang, aku tidak bermaksud untuk memperlakukan dengan dingin orang yang pertama kali kutemui. Di saat ketika aku tidak mengenalinya, untuk beberapa alasan, ia terlihat seperti mengenaliku. |
Revision as of 14:02, 11 September 2012
Sering dikatakan bahwa kehidupan di masa SMA itu berwarna seperti mawar. Seraya tibanya akhir dari tahun 2000, kedatangan hari yang cocok dengan deskripsi seperti yang di definisikan pada kamus Jepang tersebut sudah tidak jauh lagi.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua siswa SMA mengharapkan perihal semacam kehidupan yang berwarna mawar itu. Apakah itu dalam belajar, olahraga atau percintaan, akan selalu ada beberapa orang yang lebih menyukai kehidupan yang berwarna abu-abu daripada semua itu; aku tahu beberapa dalam perhitunganku. Tetap saja, itu sebuah cara yang kesepian untuk menjalani sebuah kehidupan.
Disini, aku telah memulai sebuah percakapan dengan topik semacam itu bersama teman lamaku Fukube Satoshi dalam ruangan kelas yang tersinari oleh cahaya matahari senja. Seperti biasanya, Satoshi menampilkan senyum diwajahnya dan berkata, "Begitulah yang kupikirkan. Ngomong-ngomong, aku tidak pernah tahu kalau kau begitu masokhistis[1]."
Betapa salahnya dia. Karenanya aku memprotes, "Apa kamu mengatakan kalau hidupku berwarna abu-abu?"
"Apa aku berkata seperti itu? Tapi Houtarou, apakah itu dalam belajar, olahraga, atau apakah yang lainnya? Percintaan? Aku tidak berpikir kau akan pernah memandang ke depan pada hal-hal tersebut."
"Tentunya aku tidak memandang ke belakang juga."
"Ya, benar,"
Senyuman Satoshi semakin lebar.
"Lagipula kau hanya 'menghemat energi'."
Aku menyetujuinya dengan mendengus. Tidak mengapa selama kau mengerti bahwa aku tidak benar-benar membenci menjadikan diriku aktif. Aku cuma tidak suka menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang merepotkan. Cara hidupku adalah untuk menghemat energi untuk kemajuan planet ini. Dengan kata lain, "Jika aku tidak harus melakukannya, aku tidak akan melakukannya. Jika aku harus melakukannya, lakukan secepat mungkin."
Selagi aku mengucapkan motoku, Satoshi mengangkat bahunya seperti biasa.
"Apapun itu menghemat energi atau sinisme, itu adalah hal yang sama, iya kan? Pernahkah kamu mendengar tentang instrumentalisme[2][3]?"
"Tidak"
"Singkatnya, itu berarti bahwa untuk orang sepertimu yang tidak mempunyai ketertarikan tertentu, cuma dengan melihat fakta bahwa kau tidak mengikuti klub manapun di sini, di SMA Kamiyama, Tanah Suci-nya aktifitas klub SMA, membuatmu menjadi seorang yang berwarna abu-abu."
"Apa? Apa kamu mengatakan kalau kematian karena pembunuhan itu tidak berbeda dari kematian karena kelalaian?"
Satoshi menjawab tanpa keraguan, "Dari sebuah perspektif tertentu, iya. Meskipun itu masalah yang berbeda sepenuhnya jika kamu mencoba meyakinkan orang mati bahwa kematiannya dikarenakan kelalaianmu agar bisa menenangkan jiwanya."
"..."
Dasar muka tebal sialan. Sekali lagi aku melihat orang didepanku. Fukube Satoshi, teman lamaku, lawan yang pantas dan rival yang mematikan, ia mempunyai badan yang agak pendek untuk seorang lelaki. Bahkan sebagai seorang siswa SMA, dia bisa saja dikelirukan dengan seorang yang terlihat feminim dan lemah, tapi dia sangat berbeda di dalam. Sungguh sulit untuk menjelaskan apa perbedaannya ー bagaimanapun, dia hanya berbeda. Disamping tersenyum sepanjang waktu, dia selalu terlihat dengan sebuah tas bertali, sebagaimana ia adalah seorang yang bermuka tebal. Dia juga seorang anggota Klub Kerajinan Tangan, jangan tanya aku mengapa.
Berdebat dengannya hanya membuang tenaga saja. Aku melambaikan tangan untuk menandakan akhir dari percakapan ini.
"Yah, terserah. Sudahlah pulang duluan saja sana."
"Ya, kau benar. Aku tidak punya kegiatan klub apapun hari ini... mungkin aku akan pulang duluan."
Selagi ia meregangkan pinggangnya, tiba-tiba ia menyadari sesuatu dan menatapku.
"'Pulang duluan saja'? Sangat jarang mendengar kata itu darimu."
"Apa?"
"Kalau pulang ke rumah, bukankah kau biasa melakukannya terlebih dahulu sebelum mengatakan kalimat itu? Ada urusan apa yang akan kau lakukan sepulang sekolah ketika kau tidak mengikuti klub manapun?"
"Ah."
Aku mengangkat alisku dan mengambil selembar kertas dari dalam saku jaket seragamku. Setelah dengan tenang memberikannya kepada Satoshi, matanya terbuka lebar dalam ketakjuban. Tidak, ia memberi reaksi yang berlebihan. Ini tidak seperti jika ia benar-benar terkejut, walaupun benar bahwa matanya terbuka lebar. Lagipula ia memang selalu bereaksi secara berlebihan.
"Apa?! Bagaimana bisa?!"
"Satoshi, tenangkan dirimu."
"Bukankah ini formulir pendaftaran klub? Aku terkejut. Ada apakah gerangan yang terjadi? Untuk Houtarou yang sebenarnya bergabung dengan sebuah klub..."
Ini memang benar sebuah formulir pendaftaran klub. Ketika melihat nama dari klub yang tertulis, Satoshi mengangkat alisnya.
"Klub Klasik?"
"Kau pernah mendengarnya?"
"Tentu saja, tapi, kenapa Klub Klasik? Apakah kau tiba-tiba menemukan minat pada sastra klasik?"
Sekarang bagaimana aku harus menjelaskan ini? Aku menggaruk kepala dan mengambil lembaran kertas yang lainnya dari dalam sakuku. Itu adalah sebuah surat dengan tulisan tangan yang terlihat tergesa-gesa, yang lalu aku berikan kepada Satoshi.
"Bacalah."
Dengan segera Satoshi mengambil surat itu dan membacanya, dan seperti yang diharapkan, ia mulai tertawa. "Haha, Houtarou, pasti itu menyusahkanmu. Sebuah permintaan dari kakakmu, hah? Tidak ada cara yang bisa dilakukanmu untuk menolaknya."
Kenapa ia terlihat begitu riang gembira? Meskipun, ia sadar bahwa aku menunjukan ekspresi yang pahit. Surat yang sejak tadi pagi datang dari India ini berusaha untuk membuat sebuah penyesuaian terhadap gaya hidupku. Oreki Tomoe memang selalu seperti itu, mengirim surat untuk menggeser jalur hidupku keluar.
'Houtarou, selamatkanlah Klub Klasik, masa muda kakakmu.'
Ketika aku membuka amplop dan membacanya dengan singkat pada pagi ini, aku menjadi sadar akan sifat egoisnya yang tertulis. Aku tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kenangan masa muda kakakku, tapi...
"Apa keahlian kakakmu? Jujutsu?"
"Aikido dan Taiho-jutsu[4]. Itu bisa sangat menyakitkan jika ada salah satunya yang ingin menyakiti."
Ya, kakakku, seorang mahasiswi yang pandai secara akademis maupun dalam seni bela diri, tidak berhasrat untuk menaklukkan Jepang sendirian, dan telah memutuskan untuk pergi keluar negeri dan menantang dunia. Tidaklah bijak untuk mendatangkan kemarahannya.
Ditambah lagi, di saat aku bisa melawan dengan sedikit kebanggaan yang kumiliki, memang benar aku punya alasan kecil untuk menentangnya. Memang kakakku telah tepat sasaran dengan menujukkan bahwa aku tidak punya apapun yang bisa kulakukan dengan lebih baik. Aku telah memutuskan bahwa mungkin aku menjadi anggota klub yang semu daripada siswa yang tidak berafiliasi, dan juga tanpa keraguan, "aku sampaikan surat pendaftaran ini tadi pagi"
"Kau tahu apa artinya ini, Houtarou?"
Ucap Satoshi sambil melirik surat Kakak dengan sepintas. Aku berkata dengan nada mengeluh, "Yah, ini semua terlihat tidak ada manfaatnya."
"... Tidak, bukan itu yang kumaksud."
Setelah menengadahkan pandangannya dari surat itu, Satoshi mengatakannya dengan nada yang riang namun aneh. Ia menepuk surat itu dibalik telapak tangannya dan berkata, "Saat ini Klub Klassik tidak ada anggotanya , kan? Artinya hanya kau sendiri yang akan menjaga ruangan klubnya. Bagus kan? Sebuah markas pribadi dalam lingkungan sekolah milikmu sendiri."
Sebuah markas pribadi?
"... Sebuah cara yang bagus dalam memandang hal ini."
"Bukankah kau menyukainya?"
Jalan pikiran yang aneh. Pada dasarnya Satoshi mengatakan bahwa aku bisa memiliki markas pribadi di sekolah. Bisa saja aku tidak pernah mempunyai ide seperti itu. Sebuah ruang rahasia, hah? Bukannya aku menginginkannya dan akan berusaha untuk itu... Tapi tidak begitu buruk jika digunakan untuk tempat bersantai. Kuambil kembali surat itu dari tangan Satoshi dan menjawab, "Kupikir tidak terlalu buruk. Aku mungkin akan melihatnya."
"Bagus. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk tidak mencobanya."
Mencoba kesempatan yang ada, begitu ya? Yah, ini tidak seperti terlalu berlawanan dengan kepribadianku, jadi aku tersenyum dengan pahit dan mengangkat tas bahuku.
Aku masih tetap percaya kepada motoku sendiri.
Dari jendela yang terbuka, bisa terdengar seruan dari Tim Atletik.
"... Fight! Fight! Fight!..."
Aku tidak ingin melibatkan diriku untuk membuang energi yang kupakai untuk hal semacam itu. Jangan salah paham, aku tidak berkata jika menghemat energi yang kumaksud adalah kehendak yang superior[5], jadi aku sama sekali tidak menganggap mereka yang selalu aktif adalah orang bodoh. Aku melangkah menuju ruangan Klub Klasik sambil mendengar mereka melanjutkan seruannya.
Aku berjalan di sepanjang lorong yang berubin dan naik ke lantai 3. Ketika kumelihat penjaga sekolah yang membawa tangga yang besar, aku bertanya kepadanya dimana ruangan Klub Klasik berada, dan diarahkan menuju Ruang Pembelajaran Geologi di lantai 4 Blok Kejuruan.
Sekolah ini, SMA Kamiyama, baik jumlah siswa maupun luas area kampus, sama-sama memiliki angka yang sangat besar.
Jumlah seluruh siswa ada sekitar seribu. Meskipun sekolah ini menyediakan kurikulum untuk mengikuti ujian ke universitas, bidang akademik bukanlah hal yang terlalu diutamakan. Dengan kata lain, ini adalah sekolah SMA biasa. Disamping itu, sekolah ini mempunyai jumlah klub yang luar biasa banyak (seperti Klub Melukis atau Klub A Capella, seperti halnya Klub Klasik), karena itu sekolah ini sangat dikenal mempunyai Festival Budaya yang diselenggarakan setiap tahun.
Dalam wilayah kampus terdapat tiga gedung besar. Blok Umum yang merupakan ruang kelas reguler, Blok Kejuruan untuk ruang kelas kejuruan, dan Gimnasium. Ini sangat normal, sungguh. Terdapat pula Dojo Seni Bela Diri dan Ruang Penyimpanan Peralatan Olahraga. Lantai empat Blok Kejuruan dimana ruangan Klub Klasik berada, relatif terpencil.
Sementara mengutuk terhadap perilaku yang memboros energi, aku berjalan melintasi lorong penghubung dan naik ke lantai empat, dimana aku dapat menemukan dengan cepat Ruang Geologi. Tanpa ragu aku segera menggeser pintunya agar terbuka, namun pintunya terkunci. Tidak heran, kabanyakan ruang kejuruan memang biasanya terkunci. Kuambil kunci yang telah kupinjam sebelumnya agar aku bisa menghemat energi, dan kubuka pintunya.
Setelah pintunya tak terkunci, aku menggesernya sampai terbuka. Dalam Ruang Geologi yang kosong, matahari terbenam dapat terlihat dari jendelanya yang menghadap ke arah barat.
Apa tadi kubilang kosong? Tidak, itu tidak sesuai dengan apa yang aku sangka.
Dalam sinar matahari senja yang menyelimuti seluruh Ruang Geologi, yang juga ruang Klub Klasik, ada seseorang di dalamnya.
Seorang siswa sedang berdiri disamping jendela dan menatapku. Tidak, dia seorang gadis perempuan, lebih tepatnya dia adalah seoarang siswi.
Meski "anggun" dan "rapi" bukanlah kata-kata pertama yang tepat tersirat dalam pikiranku ketika aku melihatnya, kupikir tidak ada kata-kata yang lain untuk menggambarkan dirinya dengan baik. Rambut panjangnya melambai melewati kedua pundaknya, dan seragam pelautnya sangat cocok dikenakan oleh dirinya. Dia cukup tinggi untuk seorang gadis, mungkin dia lebih tinggi dari Satoshi. Ketika aku mengetahuinya dengan jelas bahwa ia adalah seorang siswi SMA, bibir tipis dan sosoknya yang seperti penuh dengan pengharapan, memperkuat pandanganku tentang bagaimanakah kelihatannya seorang siswi SMA yang bergaya jaman dulu. Yang membedakannya adalah kedua pupil matanya yang begitu besar, dan dibanding terlihat anggun, keduanya terlihat begitu bersemangat.
Ia bukanlah gadis yang kukenal.
Namun ketika ia melihatku, dia tersenyum dan berkata, "Halo. Kamu pasti Oreki-san dari Klub Klasik, benar?"
"... Siapa kau?"
Kutanya dengan terus terang. Walau aku tidak pernah berinteraksi dengan baik terhadap orang-orang, aku tidak bermaksud untuk memperlakukan dengan dingin orang yang pertama kali kutemui. Di saat ketika aku tidak mengenalinya, untuk beberapa alasan, ia terlihat seperti mengenaliku.
"Tidakkah kamu mengingatku? Namaku Chitanda, Chitanda Eru."
Chitanda Eru. Meskipun ia telah memberitahukan namanya, aku masih belum mendapat petunjuk. Bagaimanapun, Chitanda adalah nama belakang yang cukup jarang, begitupula dengan nama depannya, Eru. Rasanya mustahil bagiku untuk melupakan nama semacam itu.
Aku melihat lagi seorang gadis yang dipanggil Chitanda itu. Setelah memastikan bahwa aku tidak mengenalnya, aku menjawab, "Maaf, kurasa aku tidak ingat siapa kamu."
Sambil mempertahankan senyumannya, dia memiringkan kepalanya, seperti kebingungan.
"Kamu Oreki-san, kan? Oreki Houtarou dari Kelas 1-B?"
Aku mengangguk.
"Saya dari kelas 1-A."
Jadi apakah kau mengingatnya sekarang? Apakah dia terlihat seperti mengisyaratkan bahwa... Begitu buruknya ingatanku ?
Tunggu dulu. Aku dari Kelas B dan dia dari Kelas A, apakah ada kesempatan bagi kami untuk bertemu sebelumnya?
Meski sesama kelas 1, sama sekali tidak mungkin untuk para siswa yang berbeda kelas untuk saling berinteraksi. Kesempatan yang ada hanya melakukannya lewat kegiatan klub atau hubungan dengan teman. Aku tidak punya kedua penghubung itu. Maka hal ini pasti melibatkan seluruh siswa, namun kejadian semacam itu yang muncul di benakku hanyalah upacara pembukaan semester awal di sekolah. Lagipula, aku tidak pernah merasa dikenalkan kepada orang lain di luar kelas.
Tidak, tunggu. Aku ingat. Itu dia, ada satu kesempatan bagi kita untuk berinteraksi dengan kelas lain selama pelajaran. Jika saat pelajaran harus menggunakan suatu ruang atau barbagai peralatan, maka akan lebih efisien untuk mengajar lebih dari satu kelas sekaligus. Hal itu berarti selama penjas, atau pelajaran yang berhubungan dengan kesenian. Saat SMP, ada juga kelas kejuruan, tetapi mengingat SMA ini adalah sebuah sekolah yang mengutamakan bidang akademik, ini tidaklah sama. Dan saat penjas siswa dan siswi dipisahkan, itu berarti...
"Mungkinkah jam pelajaran musik kita sama?"
"Ya, itu dia!"
Chitanda menganggukkan kepalanya dengan sangat.
Catatan penerjemah dan referensi
- ↑ Masokhis = Orang yang senang disakiti
- ↑ http://en.wikipedia.org/wiki/Instrumentalism
- ↑ http://4diskusi.wordpress.com/2011/03/20/instrumentalisme-john-dewey/
- ↑ http://en.wikipedia.org/wiki/Taiho_Jutsu
- ↑ Maksudnya "superior" disini adalah bersifat seperti orang yang lebih tinggi kedudukannya.
Kembali ke Halaman Utama | Kembali ke 1 - Surat dari Benares | Lanjut ke 3 - Aktifitas-aktifitas Klub Klasik yang Bergengsi |