Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 33: Line 33:
 
Bu Hiratsuka hanya menganga mendengar pernyataan itu.
 
Bu Hiratsuka hanya menganga mendengar pernyataan itu.
   
“Hikigaya, jelaskan maksud dari tulisan yang melecehkan ini? Ibu beri kau kesempatan untuk menjelaskannya."
+
“Hikigaya, jelaskan maksud dari tulisanmu yang melecehkan ini? Ibu beri kau kesempatan untuk menjelaskannya."
   
 
Nada bicara Bu Hiratsuka yang keras, berpadu dengan pandangan marahnya, saat beliau menatapku dari pojok. Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh mencekam.
 
Nada bicara Bu Hiratsuka yang keras, berpadu dengan pandangan marahnya, saat beliau menatapku dari pojok. Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh mencekam.

Revision as of 09:06, 22 June 2013

Pada Dasarnya, Hachiman Hikigaya Itu Sudah Membusuk

Sambil mengernyitkan alis matanya, Ibu Shizuka Hiratsuka, Guru Bahasa Jepang kami, membacakan karyaku keras-keras, tepat di depanku. Sembari mendengarkannya, aku jadi mulai meragukan kemampuan menulisku, karena esai yang kubuat itu masih terasa kurang. Meski telah menggunakan kosakata pilihan dengan cermat, esai tersebut tak bisa dianggap ilmiah. Menilik masa lalu justru terdengar seperti lelucon yang disamarkan, dasar penulis yang payah. Rupanya kata-kata kasar yang ada di dalamnya, jadi alasan yang membuatku dipanggil ke ruang guru.

Namun tentu saja bukan itu alasannya. Aku pun sebenarnya sudah tahu.

Setelah selesai membacanya, Bu Hiratsuka menaruh tangannya di dahi dan menghela napas panjang.

"Katakan pada Ibu, Hikigaya. Apa kau ingat tema untuk esai yang Ibu suruh kerjakan ini?"

"...ya, temanya Menilik Kembali Masa-Masa di SMA."

"Sudah jelas, bukan? Lalu kenapa esai ini malah tampak seperti surat ancaman? Memangnya kau ini teroris? Atau cuma sekadar orang bodoh, hah?"


YahariLoveCom v1-015.png


Bu Hiratsuka kembali menghela napasnya lalu menggaruk kepalanya, tanda frustasi.

Kini aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar Guru Perempuan saja.

Aku menyengir selagi melamunkan hal itu, hingga gulungan kertas menghantam kepalaku.

"Perhatikan Ibu bicara!"

"Ya, Bu."

"Tatapanmu kosong, persis ikan yang sudah busuk."

"Apa itu artinya tubuh saya kaya akan omega-3, ya Bu? Berarti saya jenius banget dong."

Bu Hiratsuka hanya menganga mendengar pernyataan itu.

“Hikigaya, jelaskan maksud dari tulisanmu yang melecehkan ini? Ibu beri kau kesempatan untuk menjelaskannya."

Nada bicara Bu Hiratsuka yang keras, berpadu dengan pandangan marahnya, saat beliau menatapku dari pojok. Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh mencekam.

“Bagaimana, ya... Saya memang menceritakan pengalaman saya saat di SMA, 'kan? Kurang lebih sama saja... Belakangan ini, beberapa siswa SMA juga ada yang merasa demikian... Mereka juga mengalaminya, mereka...”

Lidahku mendadak kaku. Aku bisa jadi gugup hanya karena berbincang dengan satu orang saja — dan juga perempuan yang lebih tua, tak lebih.

“Sebenarnya, Ibu berharap kau mau bercermin dari pengalaman pribadimu.”

“Kalau begitu, harusnya Bu Hiratsuka menyisipkan kata pengantar mengenai maksud tema ini. Jika seperti itu, pasti akan saya kerjakan betul-betul. Dengan kata lain, ini kesalahan Ibu?"

“Jangan berlagak pintar di depan Ibu, ya Nak.”

Nak? ...yah, memang benar sih, perbedaan umur antara saya dengan Bu Hiratsuka sangat jauh, sehingga Ibu boleh memanggilku Nak.”

Wuuusshhh.

Yang barusan ternyata sebuah tinju. Tinju yang dilesatkan secara tiba-tiba dengan mudahnya. Yang terpenting lagi, sebuah keajaiban, karena tinju itu hanya menyerempet di samping pipiku.

“Berikutnya tak akan meleset.”

Tatapannya serius.

“Sa-saya sungguh minta maaf. Akan saya tulis ulang lagi.”

Meski sudah bersikap layaknya orang yang meminta maaf, aku masih harus hati-hati dalam memilih kata-kata. Dilihat dari keadaannya, Bu Hiratsuka ternyata orang yang sulit untuk merasa puas. Sial. Haruskah aku segera memohon sambil bertekuk lutut? Tapi itu bisa membuat celanaku kusut, dan aku harus merapihkannya kembali; Membungkuk, lalu tegap kembali. Jika aku menekuk lutut kananku terlebih dulu, aku masih bisa mendekat ke tanah. Penghormatan yang elegan juga datar.

“Asal kau tahu, bukan berarti tandanya Ibu marah.”

Ya Tuhan. Kumohon, keluarkan aku. Keluarkan aku dari tempat ini.

Sandiwara ini sungguh klise. Itu sama saja seperti berkata aku enggak marah kok, jadi katakan saja, walau pada akhirnya, beliau tetap marah.

Yang mengejutkan, tampaknya beliau tak benar-benar marah. Setidaknya beliau tak marah mengenai komentar yang menyinggung perbedaan usia tadi. Atas dasar itu, aku mengangkat lutut kananku dari tanah.

Bu Hiratsuka mengambil sebatang rokok Seven Stars dari saku baju di dadanya yang seolah-olah menyembul keluar. Dilanjutkan dengan mengetuk-ngetuk filter rokok tersebut ke meja — kelakuan yang sesuai untuk seorang wanita paruh baya. Setelah dirasa cukup, beliau pun menyalakannya dengan pemantik yang harganya Rp.10.000 itu. Beliau menghirupnya yang kemudian disusul kepulan asap yang terhembus dari napasnya. Beliau menatapku; sorot matanya sungguh mengerikan.

“Kau masih belum bergabung pada klub mana pun, 'kan?”

“Ya, belum.”

“...apa kau punya teman, atau hal semacamnya?”

Seakan-akan beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.

“Sa-saya menjunjung tinggi kesetaraan di atas segalanya. Dengan demikian, saya tak meyakini adanya sebuah kedekatan maupun hubungan antarpribadi satu sama lainnya!”

“Singkatnya, kau tak punya teman, 'kan?”

“Ta-tak perlu blak-blakan begitu juga kali'...”

Mendengar jawabanku, wajah Bu Hiratsuka pun berubah sumringah.

“Jadi kau memang enggak punya, ya? Sudah Ibu duga! Tampaknya tebakan Ibu tepat. Ibu menyadarinya ketika melihat tatapan kosongmu tadi!”

Jika beliau bisa tahu hanya dengan melihat saja, tak perlu sampai bertanya seperti tadi, 'kan?

Sambil mengangguk, tanda sudah mengerti, beliau memandang wajahku dengan ekspresi yang ditahan.

“...lalu kalau pacar atau semacamnya? Sudah punya?”

Semacamnya? Apa maksudnya itu? Lalu, apa tanggapan beliau jika kubilang kalau pacarku seorang lelaki?

“Untuk saat ini, belum.”

Sambil menekankan jawaban tadi, aku memasukkan segala harapan masa depanku di dalamnya.

“Oh, begitu...”

Kali ini beliau menjaga jarak pandangannya, matanya tampak berair. Kuyakin itu karena asap rokok. Sudahlah, hentikan. Berhenti memandangku dengan tatapan seperti itu.

Lagi pula, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa beliau sengaja memicingkan matanya? Inikah yang beliau maksud karena nila setitik, rusak susu sebelanga? Atau guru berandal kembali mengajar[1]? Bisakah aku langsung pulang saja?

“Baiklah, kalau begitu, tulis ulang esaimu.”

“Baik.”

Dan memang akan kukerjakan.

Aku paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang diharapkan; aku harus menulis dengan komposisi yang sempurna tanpa ada cacat sekalipun. Ini akan setara dengan tulisan yang ada di blog para model vulgar maupun aktris pengisi suara semacamnya, contoh:

Makan malam kali ini apa, ya...? Ya ampun! Ternyata kare!

Begitulah. Tunggu, lalu kenapa pernyataan ya ampun itu justru tampak meyakinkan?

Hal itu semakin memperluas sudut pandangku. Pikiranku malah semakin terganggu oleh hal-hal yang mengikutinya.

“Meski begitu, ucapan kasar dan sikapmu barusan sudah menyakiti perasaan Ibu. Apa tak ada yang mengajarimu, kalau kau tak boleh membahas masalah umur di depan wanita? Karena perbuatanmu itu, Ibu menyuruhmu untuk ikut serta dalam kegiatan Klub Bantuan. Lagi pula, yang namanya dosa juga harus dihukum, 'kan?”

Untuk seseorang yang telah dilukai perasaannya, Bu Hiratsuka tak tampak seperti orang yang berwibawa layaknya seorang guru. Kenyataannya beliau justru lebih ceria dari biasanya, bahkan cara bicaranya pun dibuat lebih menggoda dan menggairahkan.

Itulah yang kupikirkan sekarang. Kata menggairahkan biasanya membuat kita berpikir ke arah payudara, ya 'kan? kenyataannya, mataku sekarang malah tertuju ke arah blus yang menonjolkan payudara Bu Hiratsuka.

Tindakan yang tak bisa dibenarkan... Meski begitu, bisa-bisanya ada orang yang tega menjatuhkan hukuman dengan ekspresi seceria itu?

Kegiatan Klub Bantuan? ...lalu, apa saja yang dikerjakan di sana?”

Selidik demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal semacam membersihkan selokan atau apa pun jenisnya. Intinya adalah hal yang bisa membuatmu tak lelap saat tidur. Amit-amit jabang bayi deh.

“Ikutlah dengan Ibu.”

Bu Hiratsuka pun mematikan rokoknya ke asbak yang penuh dengan sisa-sisa abu, lalu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan menyisakan diriku yang tanpa kejelasan mengenai pengajuan mendadak ini, rupanya Bu Hiratsuka telah ada di dekat pintu sambil menoleh ke belakang dan menatapku.

“Ayo jalan!”

Disertai deritan pintu dan kebingungan ini, aku pun mengikuti beliau dari belakang.

Catatan Penerjemah

  1. Berdasarkan serial drama jepang "Drop-out Teacher Returns to School" (Yankii Boukou ni Kaeru).