Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 1 Bab 1"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 165: Line 165:
 
Beliau menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi mengejek, layaknya sedang melihat orang bodoh.
 
Beliau menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi mengejek, layaknya sedang melihat orang bodoh.
   
Hmm. Kabarnya, tugas-tugas itu mencakup penyimpanan barang maupun administrasinya. Jika itu hanya memerlukan pekerjaan ringan, berarti tak perlu sampai membanting tulang.
+
Hmm. Kabarnya, tugas-tugas itu mencakup penyimpanan barang maupun administrasinya. Jika itu hanyalah segelintir pekerjaan ringan, berarti aku tak perlu sampai membanting tulang.
   
 
'''“'''Saya mengidap penyakit yang membuat saya merasa sekarat ketika memasuki kelas, Bu.'''”'''
 
'''“'''Saya mengidap penyakit yang membuat saya merasa sekarat ketika memasuki kelas, Bu.'''”'''
Line 171: Line 171:
 
'''“'''Kau justru terdengar seperti sniper berhidung panjang. Memangnya kau ini anggota Bajak Laut Topi Jerami?'''"'''<ref>Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung panjang.</ref>
 
'''“'''Kau justru terdengar seperti sniper berhidung panjang. Memangnya kau ini anggota Bajak Laut Topi Jerami?'''"'''<ref>Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung panjang.</ref>
   
Rupanya beliau senang membaca shounen manga juga, ya?
+
Rupanya beliau juga senang membaca ''shounen manga'', ya?
   
Terserahlah. Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri tanpa ada yang mengganggu, jadi aku bisa lebih fokus. Aku adalah sebuah mesin. Meniadakan segala hasrat manusiawi, sehingga tak akan ada masalah yang muncul. Aku bisa melakukannya hingga hal yang tak diinginkan terjadi, begitulah seharusnya.
+
Terserahlah. Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri tanpa ada yang mengganggu, jadi aku bisa lebih fokus. Aku ini layaknya sebuah mesin. Dengan meniadakan segala hasrat manusiawi, sehingga tak akan ada masalah yang muncul. Aku bisa melakukannya hingga hal yang tak diinginkan terjadi, begitulah seharusnya.
   
 
'''“'''Kita sudah sampai.'''”'''
 
'''“'''Kita sudah sampai.'''”'''

Revision as of 12:57, 26 June 2013

Pada Dasarnya, Hachiman Hikigaya Itu Sudah Busuk

Sambil mengernyitkan alis matanya, Ibu Shizuka Hiratsuka selaku Guru Bahasa Jepang kami, membacakan karyaku keras-keras tepat di depanku. Sembari mendengarkannya, mulai terbesit keraguan akan kemampuanku dalam menulis, sebab esai yang kubuat ini masih terasa kurang. Meski kutelah menggunakan dengan cermat beberapa kosakata pilihan, esai tersebut tak bisa dikatakan sebagai karya ilmiah. Menilik masa lalu justru terdengar seperti lelucon yang disamarkan, dasar penulis kacangan. Rupanya kata-kata kasar yang ada di dalamnya, jadi alasan yang membuatku dipanggil ke ruang guru.

Namun tentu saja bukan itu alasannya. Aku pun sebenarnya sudah tahu.

Setelah selesai membacanya, Bu Hiratsuka menaruh tangannya di dahi dan menghela napas panjang.

"Katakan pada Ibu, Hikigaya. Apa kau ingat tema untuk esai yang Ibu suruh kerjakan ini?"

"...ya, temanya Menilik Kembali Masa-Masa di SMA."

"Sudah jelas, bukan? Lalu kenapa esai ini malah tampak seperti surat ancaman? Memangnya kau ini teroris? Atau cuma sekadar orang bodoh, hah?"


YahariLoveCom v1-015.png


Bu Hiratsuka kembali menghela napasnya lalu menggaruk kepalanya, tanda frustasi.

Kini aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar Guru Perempuan saja.

Aku menyengir selagi melamunkan hal itu, hingga gulungan kertas menghantam kepalaku.

"Perhatikan Ibu bicara!"

"Ya, Bu."

"Tatapanmu kosong, persis ikan yang sudah busuk."

"Apa itu artinya tubuh saya kaya akan omega-3, ya Bu? Berarti saya jenius banget dong."

Bu Hiratsuka hanya menganga mendengar pernyataan itu.

"Hikigaya, jelaskan maksud dari tulisanmu yang melecehkan ini? Ibu beri kau kesempatan untuk menjelaskannya."

Nada bicara Bu Hiratsuka yang keras, berpadu dengan pandangan marahnya saat beliau menatapku dari pojok. Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh mencekam.

"Bagaimana, ya... Saya memang menceritakan pengalaman saya saat di SMA, 'kan? Kurang lebih sama saja... Belakangan ini, beberapa siswa SMA juga ada yang merasa demikian... Mereka juga mengalaminya, mereka..."

Lidahku mendadak kaku. Aku bisa jadi gugup hanya karena berbincang dengan satu orang saja — dan juga perempuan yang lebih tua, tak lebih.

"Sebenarnya, Ibu berharap kau mau bercermin dari pengalaman pribadimu."

"Kalau begitu, harusnya Bu Hiratsuka menyisipkan kata pengantar mengenai maksud tema ini. Jika seperti itu, pasti akan saya kerjakan betul-betul. Dengan kata lain, ini kesalahan Ibu?"

"Jangan berlagak pintar di depan Ibu, ya Nak."

"Nak? ...yah, memang benar sih, perbedaan umur antara saya dengan Bu Hiratsuka sangat jauh, sehingga Ibu boleh memanggilku Nak."

Wuuusshhh.

Yang barusan ternyata sebuah tinju. Tinju yang dilesatkan secara tiba-tiba dengan mudahnya. Yang terpenting lagi, sebuah keajaiban, karena tinju itu hanya menyerempet di samping pipiku.

"Berikutnya tak akan meleset."

Tatapannya penuh keseriusan.

"Sa-saya sungguh minta maaf. Akan saya tulis ulang lagi."

Meski sudah bersikap layaknya orang yang meminta maaf, aku masih harus hati-hati dalam memilih kata-kata. Dilihat dari keadaannya, Bu Hiratsuka ternyata orang yang sulit untuk merasa puas. Sial. Haruskah aku segera memohon sambil bertekuk lutut? Tapi itu bisa membuat celanaku kusut, dan aku harus merapihkannya kembali; Membungkuk, lalu tegap kembali. Jika aku menekuk lutut kananku terlebih dulu, aku masih bisa mendekat ke tanah. Penghormatan yang elegan juga datar.

"Asal kau tahu, bukan berarti tandanya Ibu marah."

Ya Tuhan. Kumohon, keluarkan aku. Keluarkan aku dari tempat ini.

Sandiwara ini sungguh klise. Itu sama saja seperti berkata "aku enggak marah kok, jadi katakan saja", walau pada akhirnya, beliau tetap marah.

Yang mengejutkan, tampaknya beliau tak benar-benar marah. Setidaknya beliau tak marah mengenai komentar yang menyinggung perbedaan usia tadi. Atas dasar itu, aku mengangkat lutut kananku dari tanah.

Bu Hiratsuka mengambil sebatang rokok Seven Stars dari saku baju di dadanya yang seolah-olah menyembul keluar. Dilanjutkan dengan mengetuk-ngetuk filter rokok tersebut ke meja — kelakuan yang sesuai untuk seorang wanita paruh baya. Setelah dirasa cukup, beliau pun menyalakannya dengan pemantik yang harganya Rp.10.000 itu. Seraya menghirupnya yang kemudian disusul kepulan asap yang terhembus dari napasnya. Beliau menatapku; sorot matanya sungguh mengerikan.

"Kau masih belum bergabung pada klub mana pun, 'kan?"

"Ya, belum."

"...apa kau punya teman, atau hal semacamnya?"

Seakan-akan beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.

"Sa-saya menjunjung tinggi kesetaraan di atas segalanya. Dengan demikian, saya tak meyakini adanya sebuah kedekatan maupun hubungan antarpribadi satu sama lainnya!"

"Singkatnya, kau tak punya teman, 'kan?"

"Ta-tak perlu blak-blakan begitu juga kali..."

Mendengar jawabanku, wajah Bu Hiratsuka pun berubah sumringah.

"Jadi kau memang enggak punya, ya? Sudah Ibu duga! Tampaknya tebakan Ibu tepat. Ibu menyadarinya ketika melihat tatapan kosongmu tadi!"

Jika beliau bisa tahu hanya dengan melihat saja, tak perlu sampai bertanya seperti tadi, 'kan?

Sambil mengangguk, tanda sudah mengerti, beliau memandang wajahku dengan ekspresi yang ditahan.

"...lalu, kalau pacar atau semacamnya? Sudah punya?"

Semacamnya? Apa maksudnya itu? Apa beliau menganggap laki-laki pun bisa dijadikan pacar bagiku?

"Untuk saat ini, belum."

Sambil mempertegas jawaban tadi, aku menyisipkan segala harapan masa depanku di dalamnya.

"Kasihan, jadi begitu, ya..."

Sambil menjauhkan pandangannya, mata beliau pun tampak berkaca-kaca. Kuyakin itu hanya karena asap rokok. Sudahlah, hentikan. Berhenti memandangku dengan tatapan sentimentil itu.

Lagi pula, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa beliau sengaja membuat matanya agar tampak seperti itu? Inikah yang beliau maksud dengan peribahasa: karena nila setitik, rusak susu sebelanga? Atau guru berandal kembali mengajar[1]? Bisakah aku langsung pulang saja?

"Ya sudah, kalau begitu, tulis ulang saja esaimu."

"Baik."

Dan memang akan kukerjakan.

Aku paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang diharapkan; aku harus menulis dengan komposisi yang sempurna tanpa ada cacat sekalipun. Yang isinya tak beda jauh dengan ocehan yang ada di blog para model vulgar maupun aktris pengisi suara semacamnya, contoh:

Makan malam kali ini apa, ya...? Ya ampun! Ternyata kare!

Begitulah. Tunggu, lalu kenapa pernyataan Ya ampun! itu justru bisa tampak meyakinkan?

Hal itu semakin memperluas sudut pandangku. Pikiranku malah semakin terganggu oleh hal-hal yang mengikutinya.

"Biar bagaimanapun, ucapan kasar dan sikapmu barusan sudah menyakiti perasaan Ibu. Apa tak ada yang mengajarimu, kalau kau tak boleh membahas masalah umur di depan wanita? Karena sikapmu tadi, jadi Ibu memaksamu untuk ikut serta dalam kegiatan Klub Layanan Sosial. Lagi pula, yang namanya dosa juga harus dihukum, 'kan?"

Untuk seseorang yang telah dilukai perasaannya, Bu Hiratsuka tak tampak seperti orang yang berwibawa layaknya seorang guru. Kenyataannya beliau justru lebih ceria dari biasanya, bahkan cara bicaranya pun dibuat lebih menggoda dan menggairahkan.

Itulah yang kupikirkan sekarang. Kata menggairahkan biasanya membuat kita berpikir ke arah yang tak jauh-jauh dari payudara, 'kan? Kenyataannya, mataku sekarang malah tertuju ke arah blus yang menonjolkan payudara Bu Hiratsuka.

Itu memang hal yang tak bisa dibenarkan... Meski begitu, bisa-bisanya ada orang yang tega menjatuhkan hukuman dengan ekspresi sesantai itu?

"Kegiatan Klub Layanan Sosial? ...jadi, apa saja yang dikerjakan di sana?"

Selidik demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal semacam membersihkan selokan atau apa pun jenisnya. Intinya adalah hal yang bisa membuatmu tak lelap saat tidur. Amit-amit jabang bayi deh.

"Ikutlah dengan Ibu."

Bu Hiratsuka pun mematikan rokoknya ke asbak yang penuh dengan puntung rokok dan sisa-sisa abu, lalu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan menyisakan diriku yang tanpa kejelasan mengenai pengajuan mendadak ini, Bu Hiratsuka ternyata telah menunggu di dekat pintu seraya menoleh ke belakang, menatapku.

"Ayo jalan!"

Disertai suara deritan pintu dan kebingungan ini, aku pun mengikuti beliau dari belakang.

Gedung sekolah SMA Negeri Chiba entah kenapa terlihat agak timpang sebelah. Bila dilihat dari atas, kurang lebih bentuknya agak mirip dengan Aksara Mandarin 口 (Kou) yang berarti mulut — berbentuk seperti bujur sangkar — tapi mungkin lebih mirip dengan Aksara Jepang untuk suku kata ロ (ro) — bujur sangkar dengan beberapa garis yang keluar dari sudut sisinya. Lalu sepasang kaki pada bujur sangkar itu adalah gedung audio visual, yang melengkapi pemandangan lansekap sekolah kami. Gedung untuk kelas mengajar menghadap ke jalan raya, sementara paviliunnya menghadap ke arah sebaliknya. Jembatan yang menghubungkan dua bangunan tersebut terletak di lantai dua, yang kesemuanya membentuk pola seperti bujur sangkar.

Gedung sekolah mengapit sebuah tempat di keempat sisinya, sebuah halaman terbuka yang diperuntukkan sebagai tanah suci para Riajuu — orang-orang yang diberkahi dengan sempurnanya kehidupan remaja mereka — yang tak lain adalah taman pusat. Di tempat ini, mereka saling berbaur satu sama lain — baik cowok maupun cewek — saat jam istirahat makan siang. Dilanjutkan bermain bulutangkis setelah makan siang demi melancarkan pencernaan. Setelah jam pelajaran selesai, beberapa pasang kekasih saling melontar ucapan gombal dengan ditemani remangnya matahari senja di belakang gedung sekolah, sambil berselimutkan desiran angin laut dan bintang-bintang di atas langitnya.

Aje gile.

Saat kumelihat pemandangan itu, rasanya seperti melihat orang-orang yang rela tampil berlebihan hanya untuk sebuah peran di sebuah audisi drama remaja. Memikirkannya saja membuatku merinding. Andaikan aku ikut pun, mungkin aku lebih memilih untuk mengambil peran sebagai sebuah POHON atau semacamnya.

Bu Hiratsuka menyusuri lantai linoleum itu tanpa sepatah kata pun, langkah kakinya menuju ke paviliun.

Firasatku buruk tentang ini.

Terlebih lagi, tampaknya belum ada yang jelas mengenai kegiatan Klub Layanan Sosial ini.

Yang kutahu, Layanan Sosial bukanlah seperti kegiatan yang biasanya dilakukan sehari-hari; sebaliknya, ini seperti layanan yang disediakan dalam situasi-situasi tertentu. Contohnya: seorang pelayan yang melayani sang majikannya. Dalam kasus ini, layanan bisa berupa ucapan "selamat datang", atau bahkan " “LETSA PARTY!”[2] Tapi dalam kenyataannya, hal itu takkan mungkin terjadi. Eh, tunggu. Itu bisa saja terjadi asal ada kesepakatan mengenai harga terlebih dulu. Namun tetap saja, jika memang benar hal seperti itu bisa diselesaikan dengan uang, maka yang namanya hasrat — bahkan mimpi sekalipun — apa bisa terpenuhi? Kalau memang begitu, kata Layanan tak cocok dengan diriku.

lalu yang terjadi sekarang, kami sedang menuju ke paviliun. Sudah pasti akan ada kegiatan bersih-bersih di sana, seperti memindahkan piano ke ruang musik, membuang limbah sisa-sisa laboratorium biologi, atau menyusun koleksi katalog perpustakaan, dan beberapa hal lainnya. Aku pun memberanikan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan kuhadapi.

"Asal Ibu tahu, saya punya penyakit kronis di sekitar selangkangan, lho. Kalau enggak salah namanya... Her-Her-Herpes, ya? Iya, itu..."

"Jika yang kaumaksud itu Hernia, maka tak perlu khawatir. Ibu tak melibatkanmu dalam pekerjaan kasar kok."

Beliau menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi mengejek, layaknya sedang melihat orang bodoh.

Hmm. Kabarnya, tugas-tugas itu mencakup penyimpanan barang maupun administrasinya. Jika itu hanyalah segelintir pekerjaan ringan, berarti aku tak perlu sampai membanting tulang.

Saya mengidap penyakit yang membuat saya merasa sekarat ketika memasuki kelas, Bu.

Kau justru terdengar seperti sniper berhidung panjang. Memangnya kau ini anggota Bajak Laut Topi Jerami?"[3]

Rupanya beliau juga senang membaca shounen manga, ya?

Terserahlah. Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri tanpa ada yang mengganggu, jadi aku bisa lebih fokus. Aku ini layaknya sebuah mesin. Dengan meniadakan segala hasrat manusiawi, sehingga tak akan ada masalah yang muncul. Aku bisa melakukannya hingga hal yang tak diinginkan terjadi, begitulah seharusnya.

Kita sudah sampai.

Beliau berdiri di depan pintu kelas tanpa berbuat sesuatu yang biasanya ia lakukan.

Tak ada tulisan apa pun yang tertera di plat nama ruangan.

Sambil menatapnya, aku merasa ada yang janggal hingga Bu Hiratsuka mendadak membuka pintu.

Meja dan bangku tertumpuk rapi di pojok ruangan. Mungkin ini dulunya gudang. Setiap perabotan unik pun menghiasi ruangan ini. Tak lebih, ini hanyalah ruang kelas biasa.

Berbicara mengenai itu, di dalam ruangan tampak sebuah pemandangan yang mungkin sebuah hal paling tak wajar bagiku, dan itu datangnya dari seorang gadis.

Gadis itu membaca bukunya sembari dibalut sinar senja.

Pemandangan akan dirinya bagai sebuah lukisan, yang mampu menyihir siapa pun yang melihatnya, tak diragukan lagi, selagi ia membaca, dunia seakan mau berakhir.

Saat kumelihatnya, tubuh dan jiwaku serasa terpisah satu sama lain.

Tanpa kusadari, aku pun memasuki ruangan itu.

Menyadari akan kedatangan orang lain, ia pun menyelipkan pembatas buku pada bacaannya lalu menengadahkan kepalanya menghadap kami.

YahariLoveCom v1-029.png

Catatan Penerjemah

  1. Berdasarkan serial drama jepang "Drop-out Teacher Returns to School" (Yankii Boukou ni Kaeru).
  2. Mengacu pada ucapan Date Masamune dari anime Sengoku BASARA yang sering memakai kata-kata "Engrish".
  3. Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung panjang.
Mundur ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2