Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 5: Difference between revisions

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Tony Yon (talk | contribs)
Created page with "==Toccata, Gembok, Revolusi== Sejujurnya, ada yang tidak kuberitahukan pada Mafuyu – ada satu masalah besar dengan ruang kelas itu: Celah di pintu. Peredam suara di ruang ke..."
 
Cucundoweh (talk | contribs)
mNo edit summary
Line 1: Line 1:
==Toccata, Gembok, Revolusi==
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
Sejujurnya, ada yang tidak kuberitahukan pada Mafuyu – ada satu masalah besar dengan ruang kelas itu: Celah di pintu. Peredam suara di ruang kelas itu tidak sempurna, jadi suara masih akan mengalir keluar ruangan. Karenanya, sebuah rumor tentang “sebuah permainan gitar solo yang sangat menakjubkan bisa didengar dari halaman sekolah” menyebar ke seluruh sekolah beberapa hari kemudian.
== Toccata, Gembok, Revolusi ==


“Lagu yang mana? Apakah itu <Cyarari ~Spitting Milk from the Nose~>?”


Sejujurnya, ada yang tak sempat kuberitahukan kepada Mafuyu — sebuah persoalan besar yang ada di ruang kelas itu, yaitu celah di sekitar pintu. Peredam suara di ruang kelas tersebut tidaklah sempurna, jadi suara masih akan terdengar keluar dari ruangan. Karenanya, beberapa hari kemudian, sebuah rumor tentang ''permainan mengagumkan dari gitar solo yang bisa terdengar dari lapangan seusai jam pelajaran'' pun menyebar ke seluruh sekolah.


“Aku juga pernah mendengarnya. Aku merasa pusing kalau mendengarnya terlalu lama.”
"Lagu yang mana? Apa itu <Chahari ~Hana Kara Gyuunyuu~>?"


Jadi itu sebenarnya Bach <Toccata dan Fugue di D minor, BWV 565>. Gadis itu benar-benar menyukai Bach, huh? Sekarang belum waktunya homeroom, dan aku mendengarkan setengah hati pada siaran gosip pagi para gadis, sambil mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan.
"Aku juga pernah mendengarnya. Kepalaku pun jadi pusing kalau lama-lama mendengarnya."


Sebenarnya itu <Toccata dan Fugue di D minor, BWV 565> gubahan Bach. Anak itu memang benar-benar menyukai Bach, ya? Sesi bimbingan kelas masih belum dimulai, jadi dengan setengah hati kudengarkan saja gosip pagi yang disebarkan para gadis, selagi aku mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan kala itu.


“Kemarin dia juga memainkan <Farewell>. Sangat~cepat. Pada awalnya aku tidak tahu lagu apa itu.
"Kemarin ia juga memainkan <Farewell>. Permainannya begitu cepat. Pada awalnya aku tak tahu lagu apa itu."


“Ah, jadi itu <Farewell>?
"Ah, jadi itu <Farewell>?"


Aku juga sudah pernah mendengar versi gitar <Farewell>. Chopin pada awalnya menyusun lagu itu untuk dimainkan dalam tempo yang cepat kira-kira empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang – karenanya dalam satu pengertian, performance Mafuyu sebenarnya versi yang benar. Aku ingin mengatakannya, tapi semuanya pasti akan mengatakan kritikus maniak atau penguntit, jadi aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhkan? Cepat hentikan!
Aku juga sudah pernah mendengar <Farewell> dalam versi gitar. Awalnya Chopin menggubah lagu itu untuk dimainkan dalam tempo yang cepat kira-kira empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang — jadi pada pengartian tertentu, permainan Mafuyu itu sesungguhnya adalah versi yang benar. Aku ingin mengatakan itu, tapi semuanya pasti akan menjulukiku ''kritikus maniak'' atau ''penguntit'', makanya aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhku? Cepat hentikan!


Guru kami membuka pintu sebelum bell sekolah selesai berdentang, dan Mafuyu mengikutinya dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba tenggelam dalam kesunyian. Semuannya bertukar pandang satu sama lain untuk sesaat, sebelum kembali ke kursi masing-masing seolah tidak ada yang terjadi satu-satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah orangnya sendiri. Meskipun begitu, sepertinya Mafuyu merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi. Saat dia berjalan ke kursinya, dia menatap semuanya dengan pandangan bingung.
Guru kami membuka pintu kelas sebelum bel sekolah selesai berbunyi, yang kemudian diikuti Mafuyu dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba tenggelam dalam kesunyian. Semuanya saling bertukar pandang sejenak sebelum kembali ke kursi masing-masing, seolah tak sedang terjadi apa-apa — satu-satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah perempuan itu sendiri. Meski begitu, tampaknya Mafuyu sempat merasa kalau ada sesuatu yang sedang terjadi. Saat ia berjalan menuju kursinya, ia menatap semuanya dengan pandangan bingung.


"Pulang sekolah nanti, mau coba mendengarkannya, enggak?"


“Mau mendengarkannya seusai sekolah?”
"Kalau begitu, nanti kucoba mendengarnya sebelum kegiatan klub dimulai—"


“Kalau begitu aku akan mendengarkan sebelum kegiatan klub dimulai—“
Kudengarkan orang-orang yang berbisik demikian dan menyadari ada beberapa anak lelaki yang melirik Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada seminggu Mafuyu pindah ke sekolah ini, tapi jumlah gadis yang berniat mengobrol dengannya sudah turun hingga mendekati nol — ia mungkin diperlakukan sebagai makhluk langka oleh semua orang.


Aku mendengar orang-orang berbisik-bisik sepeti itu, dan aku juga melihat beberapa cowok melirik Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada seminggu Mafuyu pindah ke sini, tapi jumlah gadis yang mau memulai percakapan dengannya sudah turun menjadi hampir tidak ada – dia mungkin diperlakukan sebagai makhluk langka oleh semuanya.
Akan tetapi, hal itu juga jadi masalah buatku. Tempat itu sebenarnya ruang istirahatku, dan sekarang, sudah ditempati oleh orang lain. Sepertinya aku harus merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.


Akan tetapi, hal itu juga menjadi masalah buatku. Tempat itu sebenarnya adalah tempat istirahatku, akan tetapi sekarang diduduki oleh orang lain. Sepertinya aku harus merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>


Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik untuk mengunci diriku sendiri di ruang itu dan membuat mafuyu tak bisa masuk ke dalamnya. Saat jam pelajaran Matematika — yang merupakan jam keenam di hari itu — berakhir, segera kuambil tasku lalu berlari keluar kelas seusai membungkuk tanda berpisah kepada guru.


Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik – aku akan mengunci diriku sendiri di ruang kelas itu, dan dengan begitu Mafuyu akan kehilangan tempat. Saat pelajaran matematika – yang merupakan pelajaran jam ke enam di hari itu – berakhir, aku segera mengambil tasku dan berlari keluar kelas sesudah membungkuk sampai jumpa pada guru.
Akan tetapi, aku tercengang sesampainya di kompleks bangunan musik tua yang ada di belakang gedung. Di sana sudah tergantung gembok yang mengunci pintu ruang kelas. Sial, berani-beraninya ia melakukan ini pada ruangan (yang kuakui) milikku ini!


Akan tetapi, aku tercengang saat aku sampai di komplek musik tua di belakang bagunan. Di sana sudah ada gembok tergantung di pintu ruang kelas. Sialan, berani-beraninya dia melakukan ini pada ruangan (yang kuaku-aku) milikku!
Saat menatap gembok yang ada di depanku, aku jadi ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan dalam tasku. Jangan remehkan kemampuan yang kudapat dari memodifikasi sistem audio semenjak kecil, ya — hanya butuh seutas kawat panjang dan tipis untuk bisa membuka gembok murahan ini. Tunggu, ini bisa dianggap tindak kejahatan, 'kan? Bicara soal itu, bisa-bisa aku bakal ''game over'' kalau ada yang melihatku sedang berusaha membuka gembok ini. Namun, kalau aku melakukannya dengan cepat, mungkin ini bisa selesai kurang dari satu menit...


Saat menatap pada gembok di depanku, aku ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan di tasku. Jangan meremehkan kemampuan yang aku dapatkan dari memodifikasi sound sistem sejak aku masih kecil – sebuang kawat panjang dan tipis cukup untuk membuka gembok kualitas rendah. Tunggu, ini bisa dianggap kejahatan kan? Dan ngomong-ngomong, sama saja game over bagiku kalau ada yang melihatku mencoba membuka gembok ini. Akan tetapi, kalau aku melakukannya dengan cepat, mungkin gak akan ada satu menit....... “Kamu lagi ngapain?”
"Sedang apa kau?"


Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku hampir saja melompat tiga meter karena ketakutan. Saat aku menoleh—
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku hampir saja melompat setinggi tiga meter karena ketakutan. Saat aku menoleh—


Itu ternyata adalah Mafuyu. Dia benar-benar marah, dan rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di kepalanya.
Ternyata itu Mafuyu. Ia benar-benar marah, dan rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di atas kepalanya.


“Dasar penjahat, kau pasti berfikir untuk mencongkel gemboknya kan? Tolong jangan pernah dekat-dekat denganku lagi.
"Dasar kriminal, kau pasti berniat mencongkel gemboknya, 'kan? Tolong jangan pernah lagi dekat-dekat denganku."


Memang sebenarnya begitu, tapi atas dasar apa kau punya hak memarahiku?
Memang mestinya begitu, tapi atas dasar apa ia punya hak membentakku?


“Kenapa kau selalu mengikutiku?
"Kenapa kau selalu saja mengikutiku?"


Kasar sekali, jadi dia memperlakukanku seperti penguntit juga? Menguntit adalah sebuah kejahatan, kalau dia benar-benar menutut complain padaku – sepertinya hidupku ada dalam keadaan yang sangat buruk sekarang.
Lancang sekali. Jadi ia juga memperlakukanku seperti seorang penguntit? Menguntit itu tindak kejahatan, tahu! Dan aku bisa kena masalah kalau ia benar-benar menuntutku. Tampaknya hidupku kini berada dalam situasi yang buruk.


“Bukan, tunggu...... aku selalu menggunakan ruang kelas ini, dan amplifier itu juga aku yang memodifikasi.
"Bukan begitu, asal kau tahu... aku selalu menggunakan ruang kelas ini sebelumnya, dan ''amplifier'' itu juga aku yang memodifikasinya."


Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri.
Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri.


“Kau cuma menggunakannya tanpa ijin!
"Kau sudah seenaknya menggunakan ruangan ini tanpa izin!"


“Tapi Miss Mikoujima juga memberiku ijin menggunakan ruang kelas ini......”
"Tapi Mukoujima-sensei juga sudah memberiku izin untuk menggunakan ruang kelas ini..."


“Ini adalah ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu bersantai dan menghabiskan waktu mendengarkan CD!
"Ini ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu bersantai dan menghabiskan waktu sambil mendengarkan CD!"


Mafuyu mendorongku ke samping. Dia membuka gemboknya, dan berjalan ke ruang kelas lalu menutup pintunya. Aku membeku di tempat dan berfikir selama beberapa detik. Aku lalu masuk paksa ke ruang itu tanpa pikir-pikir lagi, dengan membuka pintu paksa seolah aku mencoba menghancurkannya.
Mafuyu mendorongku ke samping. Ia buka gemboknya, masuk ke ruang kelas, lalu menutup pintunya. Aku terdiam di tempat dan termenung selama beberapa detik. lalu, tanpa pikir panjang, aku menerobos masuk ke dalam, membuka paksa pintu seolah berusaha menghancurkannya.


“Berhenti menganggapku sebagai idiot yang cuma menghabiskan waktu. Hidup itu hanya menghabiskan waktu sampai orang itu mati.
"Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh yang cuma bisa membuang waktu. Hidup itu memang sekadar menghabiskan waktu sampai akhirnya mati."


“Terus kenapa kamu gak mati aja?
"Terus, kenapa kamu enggak mati saja sana?"


Apa dia barusan mengatakan sesuatu yang kejam padaku?
Apa ia baru saja mengatakan hal yang amat kejam padaku?


“Gak bisa. Kalau aku mati, ibuku dan adik perempuanku akan sangat sedih.Aku membiarkan diriku berkata omong-kosong. “Aku sudah tahu kalau keluarga yang kaupunya cuma ayah yang tidak berguna.” Apa maksudnya jawabannya itu? Sial, mungkin gadis ini sudah membaca artikel-artikel tulisan Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu selalu menyebutkanku dalam artikelnya. Contohnya: “Cara konduktor ini menghadapi adagio selambat salad kentang buatan anakku”, dan semacamnya. Akan tetapi—
"Enggak boleh. Kalau aku mati, ibu dan adik perempuanku akan sangat sedih." Aku membiarkan diriku mengucapkan omong-kosong.


“Aku mengakui kalau dia memang tidak berguna, dan kau bebas menganggapnya sebagai idiot kalau kau suka. Akan tetapi, orang yang akan kena masalah karena ini semua adalah aku. Minta maad sekarang juga – terutama padaku!”
"Aku sudah tahu, kok, kalau keluarga yang kaupunya cuma seorang ayah tak berguna." Apa maksud jawabannya itu? Sial, apa anak ini sudah membaca artikel-artikelnya Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu selalu menyebut namaku dalam artikelnya. Misal: ''Cara konduktor ini melakukan adagio sama lambatnya seperti anakku ketika ia membuat salad kentang''. Meski begitu—


“Keberadaan kritikus itu sendiri merepotkan. Mereka selalu menulis omong kosong.”
"Kuakui kalau ayahku memang tak berguna, dan terserah kalau kau menganggapnya orang bodoh kalau kau memang suka. Akan tetapi, orang yang akan merasa terganggu atas semua komentar tadi adalah aku. Cepat minta maaf — terutama padaku!


Oi oi, apa maksudnya ini? Ekspresi Mafuyu tiba-tiba berubah sungguh-sungguh dan dia terlihat seolah hampir menangis. Terus, kenapa aku bertengkar dengannya di tempat seperti ini! Saat menyadari hal itu, otakku segera mendingin.
"Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong."


“Mereka bukan yang memainkan lagu-lagu. Yang mereka lakukan cuma mendengarkan dengan sembrono, dan lalu mereka mulai mengatakan omong kosong seperti yang barusan kau katakan.
Hei, hei, apa-apaan ini? Ekspresi Mafuyu mendadak tegang, dan ia terlihat seolah hampir menangis. Terus, kenapa di tempat begini aku malah bertengkar dengannya?! Sewaktu memikirkannya, tensi pikiranku langsung menurun.


“Urm yah......” mengatakan omong kosong sebenarnya salahku—sebenarnya aku mau mengatakn hal itu, tapi setelah memikirkannya lebih dalam, aku menyadari kalau itu cuma akan menjadi balasan lemah. Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.
"Padahal bukan mereka yang memainkan lagu-lagunya. Yang mereka lakukan cuma mendengarkannya dengan asal-asalan, lalu mulai mengatakan omong kosong seperti yang barusan kaukatakan."


......Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya!”
"Eng, yah..." Tadi aku memang sempat mengatakan omong kosong — aku sebenarnya mau mengatakan itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kusadari kalau itu cuma akan jadi balasan yang lemah. Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.


Kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa kusadari. Itu cuma omong kosong sih.
"...kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya!"


Sebagai seorang cowok yang mendengarkan berbagai macam musik rock, dulu aku juga bermain gitar, meski itu cuma kulakukan saat musim panas saat kelas dua SMP. Aku menemukan gitar klasik berdebu dari gudang di rumahku waktu itu, yang kemudian kugunakan untuk berlatih prelude dari <Stairway to Heaven> dengan sungguh-sungguh.
Kata-kata itu tanpa sengaja keluar dari mulutku. Walaupun itu bukan omong kosong.


Akan tetapi, aku tidak pernah menyentuhnya lagi.
Sebagai lelaki yang menikmati berbagai jenis musik rock, aku pun dulunya bermain gitar; Meski hal itu kulakukan sewaktu musim panas saat kelas dua SMP dulu. Waktu itu aku menemukan gitar klasik yang sudah berdebu di gudang rumahku, yang kemudian kugunakan untuk berlatih prelude <Stairway to Heaven> dengan sungguh-sungguh.


Mafuyu menyipitkan pandangannya dan tatapannya menjadi dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata,”Aku bertaruh kalau kau cuma mengatakan omong kosong.
Meski begitu, sudah lama aku tak pernah menyentuhnya.


Tepat saat aku mau mengatakan hal yang lainnya, Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang bersandar di meja, dan mencolokkannya pada amplifier. Dia kemudian berjalan ke sisiku, dan memaksaku mengenakan full-size headphone di kepalaku.
Mafuyu menyipitkan mata dan tatapannya menjadi dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata, ''Aku bertaruh kalau tadi itu cuma omong kosongmu saja.''


“Ap......?”
Tepat saat aku mau mengatakan hal lainnya, Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang tersandar di dekat meja, lalu mencolokkannya pada ''amplifier''. Ia kemudian berjalan ke sisiku, dan secara paksa memasangkan ''full-size headphone'' ke kepalaku.


“Jangan bergerak!”
"Ap...?"


Dia dengan lembut mengambil pick dengan kedua jarinya, dan memetik senar gitar itu. Tiba-tiba aku terhanyut dalam dalam alunan melodi. Di antara discord<ref>bunyi-bunyi sumbang/tidak harmonis</ref> yang kuat, not-not turun yang selalu berubah memancar seperti air terjun dari atas tebing. Yang mengikutinya adalah arpeggio arch yang hebat namun ngeri dan juga melodi halus yang mencakup hentakan kaki bersama tarian keduanya yang naik dari dasar lembah.
"Jangan bergerak!"


Itu adalah...... <Etude Op. 10, No. 12> Chopin.
Dengan lembut ia mengambil ''pick'' dengan kedua jari dan memetik senar gitarnya. Tiba-tiba saja aku terhanyut ke dalam alunan melodi. Di antara disonansi yang kuat,<ref>Disonansi adalah bunyi yang membuat rasa galau pada pendengaran.</ref> not-not menurun yang kian berubah memancar bagai air terjun yang mengalir dari puncak tebing. Yang mengikutinya adalah liukan ''arpeggio'' yang megah sekaligus menyeramkan,<ref>Arpeggio adalah uraian nada-nada dari akor yang berurutan naik dan turun.</ref> seiring melodi halus yang diisi hentakan kaki bersamaan dengan tarian — di mana keduanya terangkat dari dasar lembah.


Sebuah badai mengamuk dalam pikiranku, namun dengan paksa disela oleh cadence yang tiba-tiba.
Itu adalah... <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin.


Aku tercengang. Mafuyu melepas headphone itu dari kepalaku, dan suara dari kenyataan perlahan merangkak ke dalam telingaku. Detak jantungku; suara nafasku; suara mesin dari jalan yang jauh; suara sorakan saat tim baseball berlari ke base - tiap dan semua suara yang aku dengar terasa seolah tidak nyata.
Badai mulai berkecamuk dalam pikiranku, akan tetapi, lagu itu pun disela paksa oleh ''cadence'' yang tiba-tiba.<ref>Cadence adalah harmoni yang menjadi konklusi sementara atau akhir.</ref>


Mafuyu membungkuk dan menatap padaku, seolah dia berkata”Apa ‘permainan gitar’ mu terdengar seperti ini?” Kesunyian yang cukup berat meliputi.
Aku tercengang. Mafuyu melepas ''headphone''-nya dari kepalaku, lalu suara dari kehidupan nyata perlahan merangkak masuk ke telingaku. Detak jantungku; suara napasku; suara mesin dari jalanan di kejauhan; suara sorakan tim bisbol sewaktu pemainnya berlari ke ''base'' — segala suara yang kudengar tadi serasa tak nyata.


“...... Dengan ini, apa kau masih bisa berkata ‘Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya’?”
Mafuyu membungkuk dan menatapku, seolah ia berkata, ''Apa permainan gitarmu terdengar seperti ini?'' Kesunyian pun langsung meliputi.


Aku ingat dia juga mendesah.
"...dengan ini, apa kau masih bisa bilang, ''Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya'', hah?"


Aku sebenarnya ingin berkata,”Berhenti memperlakukanku seperti orang bodoh”, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan meyakinkan.
Aku ingat kalau ia juga berdesah.


“Aku sudah mengatakannya. Pergi. Tempat ini adalah tempat latihan.”
Aku sebenarnya ingin berkata, ''Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh'', tapi aku tak bisa mengatakannya dengan tegas.


“Apa susahnya memainkan alat musik?” aku komplain. “Jadi maksudmu kalau aku membawa sebuah gitar ke sini, aku juga bisa menggunakan ruang kelas ini?”
"Sudah kubilang. Pergi sana. Ini tempat untuk latihan."


“Jangan meniruku kalau kau tidak punya kemampuan. Pergi!”
"Apa susahnya memainkan alat musik?" Protesku. "Jadi maksudmu, kalau aku membawa gitar ke sini, aku juga bisa menggunakan ruang kelas ini, begitu?"


Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.
"Jangan meniruku kalau kau tak punya kemampuan. Enyah sana!"


Tidak lama setelah itu, musik lain mengalir dari celah dibelakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Marche Funebre> Chopin dari <Piano Sonata No. 2 di B♭minor>. Dia sengaja ingin berkelahi? Tidak tunggu, dia tidak tahu kalau suaranya bisa terdengar dari luar ruangan kan? <ref>ini lagu pemakaman</ref>
Sewaktu aku tak bisa lagi berbuat apa-apa, Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.
 
Tak lama setelah itu, lagu lain mengalir dari celah di belakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Marche Funebre> gubahan Chopin dari <Piano Sonata No. 2 di B♭ minor>. Ia sengaja ingin cari gara-gara, ya? Eh, tunggu, ia tak tahu kalau suaranya bisa terdengar dari luar, 'kan?"


Sial.
Sial.


Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil menundukkan kepala. Selama beberapa saat, aku membiarkan tubuhku diserap oleh suara gitar Mafuyu. Perlahan ia berubah menjadi rasa sakit yang tak tertahankan, tapi aku tidak bisa meninggalkan tempat itu.
Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil menundukkan kepala. Selama beberapa saat, kubiarkan suara gitar Mafuyu meresap ke dalam tubuhku. Perlahan lagu itu berubah menjadi perih yang tak tertahankan, namun aku sendiri justru tak bisa meninggalkan tempat itu.


Aku berfikir – kenapa gitar?
Aku sempat berpikir — kenapa gitar?


Cukup mainkan pianomu dengan tulus. Kalau begitu aku bisa saja mendengarkanmu memainkan piano, saat berfikir dengan naif pada diriku sendiri,”meski dia masih muda, tekniknya cukup brilian.Kenapa kau harus memasuki duniaku? Hampir semua lagu yang kau mainkan adalah musik piano kan? Lelucon macam apa itu!?
Mestinya ia bermain piano saja dengan sepenuh hati. Dengan begitu, aku bisa saja mendengarkannya bermain piano sambil berlagak naif pada diriku sendiri, ''Meski ia masih belia, tekniknya sungguh brilian.'' Kenapa ia harus masuk ke duniaku? Hampir semua lagu yang dimainkannya adalah komposisi piano, 'kan? Lelucon macam apa itu!?


Jangan meniruku kalau kau tidak punya kemampuan.
''Jangan meniruku kalau kau tak punya kemampuan.''


Aku mengingat kata-kata Mafuyu. Pundakku merosot dengan enggan, dan aku menarik tanganku dari pintu. Kalau dibandingkan dengan teknik indah Mafuyu, tidak ada yang memiliki kemampuan dalam lingkup yang bisa diterima, tidak peduli siapapun dia. Terutama bagiku, karena aku menyerah dalam memainkan gitar cuma setelah tiga bulan memainkannya.
Aku teringat kembali kata-kata Mafuyu. Tak sengaja pundakku terturun, dan kulepaskan tanganku dari pintu. Jika dibandingkan teknik tingkat tinggi Mafuyu, tak seorang pun bisa punya kemampuan seperti itu yang bisa diterima oleh nalar, tak peduli siapa pun orangnya. Terutama bagiku, karena aku sudah menyerah bermain gitar setelah tiga bulan memainkannya.


Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang kupakai tanpa ijin terlebih dahulu – karena cukup menggoda menjadi tempat dimana aku bisa mendengarkan CD favoritku dengan suara keras tanpa perlu menggenakan full-size headphone; akan tetapi cuma itu saja. Aku tidak akan benar-benar merasa bermasalah tanpanya.
Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang dulunya kupakai tanpa izin, soalnya tempat itu begitu menggoda untuk dijadikan tempat buat mendengarkan keras-keras CD favoritku tanpa perlu mengenakan ''full-size headphone''. Yah, sebenarnya cuma itu saja, sih. Aku takkan merasa benar-benar kesusahan meski tanpa ruang itu.


Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke bangunan utama—
Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke gedung utama—


“Anak muda, kau sudah menyerah?
"Shounen, kau sudah menyerah?"


Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.


Aku melompat kaget, dan segera menoleh kebelakang. Apa yang terlihat oleh mataku adalah pemandangan seorang gadis mengenakan seragam, yang setengah berlutu tepat di atar pintu atap rendah ruang musik. Dia menunjukkan sebuah seringai besar tak kenal takut. Aku tidak bisa bergerak sedikitpun, dan cuma bisa melihatnya dalam kebekuan.
Aku melompat kaget dan segera menoleh ke belakang. Yang terlihat di mataku adalah sosok seorang gadis berseragam, yang setengah berlutut di atas pintu — di atap bagian bawah ruang musik. Ia memperlihatkan sesimpul seringai besar dan menantang. Aku tak bisa bergerak sedikit pun, dan hanya bisa terpaku melihatnya.


...... Si-siapa orang itu?
...si-siapa itu?


Dia memiliki bagian lengkap wajah yang cantik, dengan mata yang memberikan tatapan tajam menakutkan. Dia terlihat seperti kucing betina yang kabur dari lingkungan bagus yang membesarkannya, seperti bangsawan Mesir atau keluarga bangsawan lain. Aku melihat warna lencana nya, dan memastikan kalau dia adalah murid tahun kedua.
Ia memiliki paras yang cantik, dengan sepasang mata yang memberi tatapan tajam menakutkan. Ia terlihat seperti kucing betina yang kabur dari lingkungan terawat — layaknya yang ada di Mesir atau pada keluarga bangsawan lain — yang membesarkannya. Kulihat warna lencananya, dan memastikan kalau ia adalah murid kelas dua.


“Apa kau bermaksud kabur dengan wajah kecewa segera setelah menerima pelajaran darinya? Kau akan menjadi pengalah yang sesungguhnya kalau terus begini, tahu kan?
"Apa kau mau kabur dengan wajah putus asa begitu, tepat setelah menerima pelajaran darinya? Kau bisa jadi bulan-bulanan sungguhan kalau begini, kau tahu?"


“Urm, tah.....” Kakiku yang kaku akhirnya bisa bergerak aku mundur sedikit “......apa yang kamu bicarakan?
"Eng, yah..." Kakiku yang kaku akhirnya bisa bergerak aku lalu mundur sedikit "...apa yang sedang kaubicarakan?"


Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Lagu itu adalah <Born to Lose> Ray Charle.<ref>secara literal ‘terlahir untuk kalah’ </ref>
Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Itu adalah <Born to Lose> karya Ray Charles.


“Terlahir untuk kalah. Tidakkah kau berfikir kalau lagu ini ada hanya untukmu?
"Terlahir untuk kalah. Tidakkah kau merasa kalau lagu ini diciptakan untukmu?"


“Kita semua terlahir untuk kalah. Bukankah selalu begitu?” Tidak tunggu, kenapa aku menjawabnya? Seharunya aku kabur. Kelihatannya tidak bagus. Sebaiknya aku tidak dekat-dekat dengan orang seperti dia.
"Kita semua memang terlahir untuk kalah. Bukannya dari dulu sudah begitu?" Eh, tunggu, kenapa aku menjawabnya? Mestinya aku kabur saja. Kelihatannya ini tidak bagus. Sebaiknya aku jangan dekat-dekat dengan orang sepertinya.


Dia tertawa dengan sungguh-sungguh.
Ia lalu tertawa dengan senangnya.


“Jadi anak muda, kau sebenarnya cukup bagus dengan jawabanmu kan? Aku merasa sedikit lega. Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu? Negerimu sedang dibinasakan oleh musuh.
"Jadi, Shounen, sebenarnya kau sudah cukup puas dengan jawabanmu, 'kan? Aku jadi sedikit lega. Kenapa tak kau keluarkan saja senjatamu? Padahal negerimu sedang diporak-porandakan musuh."


<nowiki>*</nowiki>Thud thud* Dia mengatakannya sambil mengetukkan tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa aku membiarkan diriku dikritik oleh mu seperti itu? Terus, kamu siapa sih?
'*Thud thud* Ia berbicara sambil mengetukkan tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa sampai kubiarkan diriku dikritik begitu olehnya? Lagipula, dirinya itu siapa?


“Mafuyu pasti barusan memainkannya. <Etude Op. 10, No. 12> Chopin -- <Revolutionary Etude>.
"Mestinya tadi Mafuyu memainkan <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin <Revolutionary Etude> — untukmu."


Dia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku mengangguk dengan “Mmm”, dan tiba-tiba mengingat sesuatu—
[[Image:P0073.JPG|250px|thumbnail]]


Aku mengenakan headphone full-size kan? Bagaimana dia tahu?
Ia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku mengangguk sambil bergumam, "Hmm..." hingga aku pun mendadak teringat sesuatu—


Senyuman kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor gajah pingsan.
Padahal tadi aku mengenakan ''full-size headphone'', 'kan? Bagaimana ia bisa tahu?


“Aku bisa mendengar semua lagu revolusi di dunia ini.
Senyum kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor gajah pingsan.


Dia dengan gesit melompat turun dari atap, dan rambut panjangnya yang dikucir di belakang mengambang di udara seperti ekor bulu hewan liar yang agung. Dia membuat pendaratan sunyi di antara aku dan pintu, lalu dengan segera berdiri tegak.
"Aku bisa mendengar semua lagu revolusi yang ada di dunia ini."


“Aku ingin membuat Mafuyu menjadi kawanku. Karenanya anak muda, aku membutuhkan bantuanmu. Tolong bantu aku.
Dengan lincah ia melompat turun dari atap, dan rambut panjangnya yang dikepang ke belakang mengambang di udara bagaikan bulu ekor hewan keramat. Tanpa bersuara ia mendarat di antara diriku dan pintu, lalu segera berdiri menegakkan badannya.


Tidak, berhenti, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan—
"Aku ingin menjadikan Mafuyu rekanku. Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu. Kumohon, bantulah aku."


“Namaku adalah Kagurazaka Kyouko.
Tidak, hentikan. Aku sungguh tak tahu apa yang sedang ia bicarakan—


Kagurazaka. Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, di suatu tempat. Aku mulai mencari dalam ingatanku.
"Namaku Kagurazaka Kyouko."


Oh benar, Chiaki mengatakan nama itu padaku sebelumnua.
Kagurazaka. Nama itu pernah kudengar di suatu tempat sebelumnya. Aku pun mulai menelusuri ingatanku.


Kagurazaka-senpai mengulurkan tangannya padaku.
Oh, iya, Chiaki pernah menyebut nama itu padaku sebelumnya.


“Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung sebagai anggota.
Kagurazaka-senpai lalu mengulurkan tangannya padaku.


"Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung menjadi anggota."
<noinclude>
===Catatan Penerjemah===


==Catatan Penerjemah==
<references/>
<references/>
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
|-
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 3|Bab 3]]
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 5|Bab 5]]
|-
|}
</noinclude>

Revision as of 00:39, 16 March 2014

Toccata, Gembok, Revolusi

Sejujurnya, ada yang tak sempat kuberitahukan kepada Mafuyu — sebuah persoalan besar yang ada di ruang kelas itu, yaitu celah di sekitar pintu. Peredam suara di ruang kelas tersebut tidaklah sempurna, jadi suara masih akan terdengar keluar dari ruangan. Karenanya, beberapa hari kemudian, sebuah rumor tentang permainan mengagumkan dari gitar solo yang bisa terdengar dari lapangan seusai jam pelajaran pun menyebar ke seluruh sekolah.

"Lagu yang mana? Apa itu <Chahari ~Hana Kara Gyuunyuu~>?"

"Aku juga pernah mendengarnya. Kepalaku pun jadi pusing kalau lama-lama mendengarnya."

Sebenarnya itu <Toccata dan Fugue di D minor, BWV 565> gubahan Bach. Anak itu memang benar-benar menyukai Bach, ya? Sesi bimbingan kelas masih belum dimulai, jadi dengan setengah hati kudengarkan saja gosip pagi yang disebarkan para gadis, selagi aku mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan kala itu.

"Kemarin ia juga memainkan <Farewell>. Permainannya begitu cepat. Pada awalnya aku tak tahu lagu apa itu."

"Ah, jadi itu <Farewell>?"

Aku juga sudah pernah mendengar <Farewell> dalam versi gitar. Awalnya Chopin menggubah lagu itu untuk dimainkan dalam tempo yang cepat — kira-kira empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang — jadi pada pengartian tertentu, permainan Mafuyu itu sesungguhnya adalah versi yang benar. Aku ingin mengatakan itu, tapi semuanya pasti akan menjulukiku kritikus maniak atau penguntit, makanya aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhku? Cepat hentikan!

Guru kami membuka pintu kelas sebelum bel sekolah selesai berbunyi, yang kemudian diikuti Mafuyu dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba tenggelam dalam kesunyian. Semuanya saling bertukar pandang sejenak sebelum kembali ke kursi masing-masing, seolah tak sedang terjadi apa-apa — satu-satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah perempuan itu sendiri. Meski begitu, tampaknya Mafuyu sempat merasa kalau ada sesuatu yang sedang terjadi. Saat ia berjalan menuju kursinya, ia menatap semuanya dengan pandangan bingung.

"Pulang sekolah nanti, mau coba mendengarkannya, enggak?"

"Kalau begitu, nanti kucoba mendengarnya sebelum kegiatan klub dimulai—"

Kudengarkan orang-orang yang berbisik demikian dan menyadari ada beberapa anak lelaki yang melirik Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada seminggu Mafuyu pindah ke sekolah ini, tapi jumlah gadis yang berniat mengobrol dengannya sudah turun hingga mendekati nol — ia mungkin diperlakukan sebagai makhluk langka oleh semua orang.

Akan tetapi, hal itu juga jadi masalah buatku. Tempat itu sebenarnya ruang istirahatku, dan sekarang, sudah ditempati oleh orang lain. Sepertinya aku harus merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.

Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik untuk mengunci diriku sendiri di ruang itu dan membuat mafuyu tak bisa masuk ke dalamnya. Saat jam pelajaran Matematika — yang merupakan jam keenam di hari itu — berakhir, segera kuambil tasku lalu berlari keluar kelas seusai membungkuk tanda berpisah kepada guru.

Akan tetapi, aku tercengang sesampainya di kompleks bangunan musik tua yang ada di belakang gedung. Di sana sudah tergantung gembok yang mengunci pintu ruang kelas. Sial, berani-beraninya ia melakukan ini pada ruangan (yang kuakui) milikku ini!

Saat menatap gembok yang ada di depanku, aku jadi ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan dalam tasku. Jangan remehkan kemampuan yang kudapat dari memodifikasi sistem audio semenjak kecil, ya — hanya butuh seutas kawat panjang dan tipis untuk bisa membuka gembok murahan ini. Tunggu, ini bisa dianggap tindak kejahatan, 'kan? Bicara soal itu, bisa-bisa aku bakal game over kalau ada yang melihatku sedang berusaha membuka gembok ini. Namun, kalau aku melakukannya dengan cepat, mungkin ini bisa selesai kurang dari satu menit...

"Sedang apa kau?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku hampir saja melompat setinggi tiga meter karena ketakutan. Saat aku menoleh—

Ternyata itu Mafuyu. Ia benar-benar marah, dan rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di atas kepalanya.

"Dasar kriminal, kau pasti berniat mencongkel gemboknya, 'kan? Tolong jangan pernah lagi dekat-dekat denganku."

Memang mestinya begitu, tapi atas dasar apa ia punya hak membentakku?

"Kenapa kau selalu saja mengikutiku?"

Lancang sekali. Jadi ia juga memperlakukanku seperti seorang penguntit? Menguntit itu tindak kejahatan, tahu! Dan aku bisa kena masalah kalau ia benar-benar menuntutku. Tampaknya hidupku kini berada dalam situasi yang buruk.

"Bukan begitu, asal kau tahu... aku selalu menggunakan ruang kelas ini sebelumnya, dan amplifier itu juga aku yang memodifikasinya."

Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri.

"Kau sudah seenaknya menggunakan ruangan ini tanpa izin!"

"Tapi Mukoujima-sensei juga sudah memberiku izin untuk menggunakan ruang kelas ini..."

"Ini ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu bersantai dan menghabiskan waktu sambil mendengarkan CD!"

Mafuyu mendorongku ke samping. Ia buka gemboknya, masuk ke ruang kelas, lalu menutup pintunya. Aku terdiam di tempat dan termenung selama beberapa detik. lalu, tanpa pikir panjang, aku menerobos masuk ke dalam, membuka paksa pintu seolah berusaha menghancurkannya.

"Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh yang cuma bisa membuang waktu. Hidup itu memang sekadar menghabiskan waktu sampai akhirnya mati."

"Terus, kenapa kamu enggak mati saja sana?"

Apa ia baru saja mengatakan hal yang amat kejam padaku?

"Enggak boleh. Kalau aku mati, ibu dan adik perempuanku akan sangat sedih." Aku membiarkan diriku mengucapkan omong-kosong.

"Aku sudah tahu, kok, kalau keluarga yang kaupunya cuma seorang ayah tak berguna." Apa maksud jawabannya itu? Sial, apa anak ini sudah membaca artikel-artikelnya Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu selalu menyebut namaku dalam artikelnya. Misal: Cara konduktor ini melakukan adagio sama lambatnya seperti anakku ketika ia membuat salad kentang. Meski begitu—

"Kuakui kalau ayahku memang tak berguna, dan terserah kalau kau menganggapnya orang bodoh kalau kau memang suka. Akan tetapi, orang yang akan merasa terganggu atas semua komentar tadi adalah aku. Cepat minta maaf — terutama padaku!”

"Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong."

Hei, hei, apa-apaan ini? Ekspresi Mafuyu mendadak tegang, dan ia terlihat seolah hampir menangis. Terus, kenapa di tempat begini aku malah bertengkar dengannya?! Sewaktu memikirkannya, tensi pikiranku langsung menurun.

"Padahal bukan mereka yang memainkan lagu-lagunya. Yang mereka lakukan cuma mendengarkannya dengan asal-asalan, lalu mulai mengatakan omong kosong seperti yang barusan kaukatakan."

"Eng, yah..." Tadi aku memang sempat mengatakan omong kosong — aku sebenarnya mau mengatakan itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kusadari kalau itu cuma akan jadi balasan yang lemah. Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.

"...kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya!"

Kata-kata itu tanpa sengaja keluar dari mulutku. Walaupun itu bukan omong kosong.

Sebagai lelaki yang menikmati berbagai jenis musik rock, aku pun dulunya bermain gitar; Meski hal itu kulakukan sewaktu musim panas saat kelas dua SMP dulu. Waktu itu aku menemukan gitar klasik yang sudah berdebu di gudang rumahku, yang kemudian kugunakan untuk berlatih prelude <Stairway to Heaven> dengan sungguh-sungguh.

Meski begitu, sudah lama aku tak pernah menyentuhnya.

Mafuyu menyipitkan mata dan tatapannya menjadi dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata, Aku bertaruh kalau tadi itu cuma omong kosongmu saja.

Tepat saat aku mau mengatakan hal lainnya, Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang tersandar di dekat meja, lalu mencolokkannya pada amplifier. Ia kemudian berjalan ke sisiku, dan secara paksa memasangkan full-size headphone ke kepalaku.

"Ap...?"

"Jangan bergerak!"

Dengan lembut ia mengambil pick dengan kedua jari dan memetik senar gitarnya. Tiba-tiba saja aku terhanyut ke dalam alunan melodi. Di antara disonansi yang kuat,[1] not-not menurun yang kian berubah memancar bagai air terjun yang mengalir dari puncak tebing. Yang mengikutinya adalah liukan arpeggio yang megah sekaligus menyeramkan,[2] seiring melodi halus yang diisi hentakan kaki bersamaan dengan tarian — di mana keduanya terangkat dari dasar lembah.

Itu adalah... <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin.

Badai mulai berkecamuk dalam pikiranku, akan tetapi, lagu itu pun disela paksa oleh cadence yang tiba-tiba.[3]

Aku tercengang. Mafuyu melepas headphone-nya dari kepalaku, lalu suara dari kehidupan nyata perlahan merangkak masuk ke telingaku. Detak jantungku; suara napasku; suara mesin dari jalanan di kejauhan; suara sorakan tim bisbol sewaktu pemainnya berlari ke base — segala suara yang kudengar tadi serasa tak nyata.

Mafuyu membungkuk dan menatapku, seolah ia berkata, Apa permainan gitarmu terdengar seperti ini? Kesunyian pun langsung meliputi.

"...dengan ini, apa kau masih bisa bilang, Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya, hah?"

Aku ingat kalau ia juga berdesah.

Aku sebenarnya ingin berkata, Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh, tapi aku tak bisa mengatakannya dengan tegas.

"Sudah kubilang. Pergi sana. Ini tempat untuk latihan."

"Apa susahnya memainkan alat musik?" Protesku. "Jadi maksudmu, kalau aku membawa gitar ke sini, aku juga bisa menggunakan ruang kelas ini, begitu?"

"Jangan meniruku kalau kau tak punya kemampuan. Enyah sana!"

Sewaktu aku tak bisa lagi berbuat apa-apa, Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.

Tak lama setelah itu, lagu lain mengalir dari celah di belakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Marche Funebre> gubahan Chopin dari <Piano Sonata No. 2 di B♭ minor>. Ia sengaja ingin cari gara-gara, ya? Eh, tunggu, ia tak tahu kalau suaranya bisa terdengar dari luar, 'kan?"

Sial.

Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil menundukkan kepala. Selama beberapa saat, kubiarkan suara gitar Mafuyu meresap ke dalam tubuhku. Perlahan lagu itu berubah menjadi perih yang tak tertahankan, namun aku sendiri justru tak bisa meninggalkan tempat itu.

Aku sempat berpikir — kenapa gitar?

Mestinya ia bermain piano saja dengan sepenuh hati. Dengan begitu, aku bisa saja mendengarkannya bermain piano sambil berlagak naif pada diriku sendiri, Meski ia masih belia, tekniknya sungguh brilian. Kenapa ia harus masuk ke duniaku? Hampir semua lagu yang dimainkannya adalah komposisi piano, 'kan? Lelucon macam apa itu!?

Jangan meniruku kalau kau tak punya kemampuan.

Aku teringat kembali kata-kata Mafuyu. Tak sengaja pundakku terturun, dan kulepaskan tanganku dari pintu. Jika dibandingkan teknik tingkat tinggi Mafuyu, tak seorang pun bisa punya kemampuan seperti itu yang bisa diterima oleh nalar, tak peduli siapa pun orangnya. Terutama bagiku, karena aku sudah menyerah bermain gitar setelah tiga bulan memainkannya.

Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang dulunya kupakai tanpa izin, soalnya tempat itu begitu menggoda untuk dijadikan tempat buat mendengarkan keras-keras CD favoritku tanpa perlu mengenakan full-size headphone. Yah, sebenarnya cuma itu saja, sih. Aku takkan merasa benar-benar kesusahan meski tanpa ruang itu.

Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke gedung utama—

"Shounen, kau sudah menyerah?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.

Aku melompat kaget dan segera menoleh ke belakang. Yang terlihat di mataku adalah sosok seorang gadis berseragam, yang setengah berlutut di atas pintu — di atap bagian bawah ruang musik. Ia memperlihatkan sesimpul seringai besar dan menantang. Aku tak bisa bergerak sedikit pun, dan hanya bisa terpaku melihatnya.

...si-siapa itu?

Ia memiliki paras yang cantik, dengan sepasang mata yang memberi tatapan tajam menakutkan. Ia terlihat seperti kucing betina yang kabur dari lingkungan terawat — layaknya yang ada di Mesir atau pada keluarga bangsawan lain — yang membesarkannya. Kulihat warna lencananya, dan memastikan kalau ia adalah murid kelas dua.

"Apa kau mau kabur dengan wajah putus asa begitu, tepat setelah menerima pelajaran darinya? Kau bisa jadi bulan-bulanan sungguhan kalau begini, kau tahu?"

"Eng, yah..." Kakiku yang kaku akhirnya bisa bergerak — aku lalu mundur sedikit "...apa yang sedang kaubicarakan?"

Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Itu adalah <Born to Lose> karya Ray Charles.

"Terlahir untuk kalah. Tidakkah kau merasa kalau lagu ini diciptakan untukmu?"

"Kita semua memang terlahir untuk kalah. Bukannya dari dulu sudah begitu?" Eh, tunggu, kenapa aku menjawabnya? Mestinya aku kabur saja. Kelihatannya ini tidak bagus. Sebaiknya aku jangan dekat-dekat dengan orang sepertinya.

Ia lalu tertawa dengan senangnya.

"Jadi, Shounen, sebenarnya kau sudah cukup puas dengan jawabanmu, 'kan? Aku jadi sedikit lega. Kenapa tak kau keluarkan saja senjatamu? Padahal negerimu sedang diporak-porandakan musuh."

'*Thud thud* Ia berbicara sambil mengetukkan tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa sampai kubiarkan diriku dikritik begitu olehnya? Lagipula, dirinya itu siapa?

"Mestinya tadi Mafuyu memainkan <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin — <Revolutionary Etude> — untukmu."

File:P0073.JPG

Ia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku mengangguk sambil bergumam, "Hmm..." hingga aku pun mendadak teringat sesuatu—

Padahal tadi aku mengenakan full-size headphone, 'kan? Bagaimana ia bisa tahu?

Senyum kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor gajah pingsan.

"Aku bisa mendengar semua lagu revolusi yang ada di dunia ini."

Dengan lincah ia melompat turun dari atap, dan rambut panjangnya yang dikepang ke belakang mengambang di udara bagaikan bulu ekor hewan keramat. Tanpa bersuara ia mendarat di antara diriku dan pintu, lalu segera berdiri menegakkan badannya.

"Aku ingin menjadikan Mafuyu rekanku. Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu. Kumohon, bantulah aku."

Tidak, hentikan. Aku sungguh tak tahu apa yang sedang ia bicarakan—

"Namaku Kagurazaka Kyouko."

Kagurazaka. Nama itu pernah kudengar di suatu tempat sebelumnya. Aku pun mulai menelusuri ingatanku.

Oh, iya, Chiaki pernah menyebut nama itu padaku sebelumnya.

Kagurazaka-senpai lalu mengulurkan tangannya padaku.

"Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung menjadi anggota."



Catatan Penerjemah

  1. Disonansi adalah bunyi yang membuat rasa galau pada pendengaran.
  2. Arpeggio adalah uraian nada-nada dari akor yang berurutan naik dan turun.
  3. Cadence adalah harmoni yang menjadi konklusi sementara atau akhir.
Mundur ke Bab 3 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 5