Difference between revisions of "Hyouka Bahasa Indonesia:Jilid 1 Bab 6"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 244: Line 244:
 
''Telah setahun berlalu, sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami.''
 
''Telah setahun berlalu, sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami.''
   
''Selama tahun ini, Senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai hasilnya, 5 hari Festival Kebudayaan akan berlangsung seperti biasanya.''
+
''Selama tahun ini, Senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai hasilnya, Festival Kebudayaan akan berlangsung 5 hari seperti biasanya.''
   
 
''Akan tetapi, sembari legenda itu menyebar, aku berpikir dalam. Apakah orang-orang sepuluh tahun dari sekarang akan tetap mengingat sang pejuang yang pendiam dan pahlawan yang baik hati? Yang ditinggalkan senpai hanyalah bunga rampai ‘Hyouka’ ini, yang ia pilihkan sendiri namanya.''
 
''Akan tetapi, sembari legenda itu menyebar, aku berpikir dalam. Apakah orang-orang sepuluh tahun dari sekarang akan tetap mengingat sang pejuang yang pendiam dan pahlawan yang baik hati? Yang ditinggalkan senpai hanyalah bunga rampai ‘Hyouka’ ini, yang ia pilihkan sendiri namanya.''
Line 265: Line 265:
   
 
Ia lalu membagikan fotokopi untuk halaman kedua.
 
Ia lalu membagikan fotokopi untuk halaman kedua.
  +
  +
  +
  +
  +
1. “Senpai” telah pergi. (dari mana?)
  +
  +
2. “Senpai” menjadi seorang pahlawan 33 tahun yang lalu, dan telah menjadi legenda setahun kemudian
  +
  +
  +
3. “senpai” adalah seorang “pejuang yang pendiam” dan “pahlawan yang baik hati”
  +
  +
4. “Senpai” memberi nama bunga rampai ini ‘Hyouka’
  +
  +
5. Terjadi sebuah konflik dan terjadi pengorbanan (senpai=korban?)
  +
  +
“Wow.”
  +
  +
Oke, barusan itu singkat dan langsung ke poin-nya. Aku tidak bisa menahan untuk menghela napas dalam heran, tapi kalau dipikir-pikir, meskipun Chitanda merupakan gumpalan Rasa Ingin Tahu itu sendiri, ia juga seorang siswa teladan. Kalau ia tidak tahu bagaimana cara meringkas, ia tidak akan bisa mendapat nilai setinggi itu.
  +
  +
Setelah memastikan semua orang sudah membaca catatannya, Chitanda melanjutkan dengan penjelasannya.
  +
  +
“Pertama-tama, ‘Senpai’ disini, dengan kata lain, paman saya, mengundurkan diri dari SMA Kamiyama. Tingkat pendidikan terakhirnya adalah tingkat SMP. Saya berharap kalian semuanya mengerti yang saya katakana.”
  +
  +
Meskipun ini pertama kalinya aku mendengar Chitanda menyebutkan bahwa Sekitani Jun mengundurkan diri dari SMA Kamiyama, aku tidak begitu terkejut. Lagipula, tidak sulit menebaknya dari kalimat pembuka kata pengantar tadi: “sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami”.
  +
  +
Meskipun demikian, Chitanda mungkin tidak tahu alasan kenapa pamannya mengundurkan diri dari sekolah… tidak, ia benar-benar tidak tahu. Seandainya ia tahu, dia pasti sudah menyebutkan soal itu. Kalau dipikir-pikir, waktu di Café Pinapple Sandwich, ia memang menyebutkan kalau keluarga Sekitani dan Chitanda sudah menjauh.
  +
  +
“Kedua, kata pengantar ini melebih-lebihkan tentang bagaimana waktu telah berlalu. Poin yang ketiga menarik; selain menyebutkan senpai sebagai baik hati dan pendiam, beliau juga digambarkan sebagai seorang ‘pejuang’ dan ‘pahlawan’. Apa yang beliau perjuangkan? Poin kelima hanya mengiyakan bahwa ‘Senpai’ berjuang dalam suatu konflik dan menjadi pahlawan, dan sebagai akibatnya dijadikan korban. Untuk poin yang keempat… walaupun saya penasaran soal ini, poin ini tidak relevan dengan masalah yang dihadapi sekarang. Ini menutup laporan saya, apakah ada pertanyaan?”
  +
  +
Karena tidak begitu melenceng, aku tidak banyak Tanya.
  +
  +
Meskipun normalnya si Eksentrik (alias Satoshi) mengacungkan tangan dalam kelas, dalam perkumpulan seperti ini dimana hanya ada sedikit orang dan semua orang saling mengenal satu sama lain. Jadi sebagai gantinya, Ibara-lah yang langsung mulai bertanya, “Hm, kenapa kalimat ‘Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan’ ini tidak dipertimbangkan?”
  +
  +
Satoshi tentu saja tahu jawabannya. Walaupun dia ingin bicara, dia menahan diri dan melihat ke arahku. Dia bisa lumayan sopan kalau situasinya menuntut demikian, tidak ingin menyela Chitanda saat ia menjawab.
  +
  +
Disisi lain, karena Chitanda lah yang ditanya, ia segera menjawab, “Kalimat itu hanya ide si penulis, karena orang yang berbeda akan memiliki pandangan yang berbeda pula tentang apa yang disebut sebagai cerita kepahlawanan.”
  +
  +
“Lagipula,”
  +
  +
Setelah menunggu Chitanda menyelesaikan penjelasannya, Satoshi langsung menambahkan, “Kalimat itu mungkin bermaksud kalau ceritanya tidak seromantis cerita pahlawan, tapi lebih mirip pertarungan kotor. Jadi aku rasa kalimat ini tidak hanya merupakan ide saja.”
  +
  +
Ibara terlihat terbujuk dengan penjelasan tersebut.
  +
  +
Tidak ada pertanyaan lain yang diajukan.
  +
  +
“Sekarang, akan saya mulai hipotesis saya.”
  +
  +
Chitanda tidak terdengar percaya diri, tidak juga terdengar tidak yakin, tapi hanya seperti biasanya. Ia tidak memegang memo apapun sambil memulai, “Paman saya sepertinya terlibat dalam suatu konflik, dan setelah itu, ia mengundurkan diri dari sekolah. Saya kurang begitu yakin, tapi menurut saya konflik tersebut yang mendorong pengunduran diri paman saya. Ada satu poin lagi yang perlu dipertimbangkan selain kelima poin yang saya sebutkan: kalimat pembuka ‘telah setahun berlalu sejak’.
  +
  +
“Dengan kata lain, paman saya meninggalkan sekolah setahun sebelum Festival Kanya, artinya ketika Festival Kanya sebelumnya. Ngomong-ngomong, saya mendengar dari seorang teman yang bersekolah di SMA Swasta Kamiyama kalau ada insiden di Festival Kebudayaan mereka tahun kemarin.”
  +
  +
Satoshi berkata dengan riang, “Kalau tidak salah disebut Kerusuhan di Festival Kebudayaan. Kios-kios diancam dan laporan penjualan menghilang.”
  +
  +
Chitanda mengangguk.
  +
  +
Ada pepatah yang mengatakan, selama system masih ada, akan ada yang menentangnya. Apakah itu Festival Kebudayaan, Festival Olahraga ataupun Upacara Kelulusan, ada akan orang-orang yang menentang acara-acara tahunan seperti itu. Satu hal lagi, mohon lihat halaman 24 dari Buku Pegangan Siswa SMA Kamiyama.”
  +
  +
Meskipun ia berkata begitu, tidak ada yang bisa mengeluarkan Buku Pegangan Siswanya. Tentu saja, memangnya ada yang akan selalu membawanya kemana-mana?
  +
  +
“…Apa ada yang salah?”
  +
  +
“Sayangnya kami meninggalkan buku pegangan kita di rumah. Jadi apa yang tertulis disitu?”
  +
  +
“…Jangan-jangan kalian tidak selalu membawanya bersama kalian? Oh, lupakan saja. Umm, bunyinya begini, ‘dilarang keras melakukan tindak kekerasan’. Jadi inilah teori saya,”
  +
  +
Tanpa mengubah nada suaranya, Chitanda melanjutkan, “Ada gangguan yang tidak diharapkan pada Festival Kebudayaan pada tahun itu, dan kemungkinan paman saya meresponnya dengan kekerasan fisik. Meskipun beliau menjadi pahlawan, beliau harus bertanggung jawab atas tindakannya menggunakan kekerasan. Akibat tragisnya setelah itu membuat adik kelasnya menulis eulogi atas kepergiannya.”
  +
  +
Hmmm…
  +
  +
  +
  +
Aku dan Satoshi bicara berbarengan.
  +
  +
“Salah,”
  +
  +
“Maaf, Chitanda.”
  +
  +
Ibara lalu menoleh, bukan ke arah Chitanda tapi pada kami, heran atas apa yang sedang kami pikirkan.
  +
  +
“Apa teorinya salah? Bisakah kalian memberitahu alasannya?”
  +
  +
Chitanda bicara dengan pelan dan melihat ke arahku dengan ekspresi serius. Aku hanya mengangkat bahuku dan membalas, “Kau bilang ada orang-orang yang akan menentang system dan menyebabkan kerusuhan di Festival Kebudayaan. Tapi ini akan mengharuskan agar kios-kios memiliki penjualan yang tinggi agar menarik seseorang untuk mencuri dari mereka. Lagipula, apa kau ingat apa yang aku katakan waktu kau mengajukan supaya kita menerbitkan bunga rampai?”
  +
  +
Chitanda memutar matanya perlahan.
  +
  +
“Kamu bilang terlalu banyak yang perlu dilakukan.”
  +
  +
“Bukan, bukan itu. Yang lain.”
  +
  +
“Yang lain? Umm… Kamu juga bilang tiga penulis itu berlebihan, tapi sekarang kita punya empat.”
  +
  +
… Apakah aku harus memujinya atas ingatan nya yang luar biasa itu? Tidak akan. Aku mengakui kemampuannya dalam mengingat hal-hal seperti ini, tapi Chitanda, secara teknis, waktu aku mengatakan itu, anggota kami masih tiga orang.
  +
  +
“Apa lagi?”
  +
  +
“…Kamu mennyebutkan alternatif lain selain menerbitkan bunga rampai, seperti,”
  +
  +
Akhirnya ia sampai pada poin utama. Ia menepukkan tangannya di depan dada dan berkata, “Mendirikan kios pameran, dan saya berkata,”
  +
  +
“Kau bilang sendiri kalau kios-kios pameran itu biasanya dilarang. Aku juga mengingatnya. Kalau begitu, tidak ada ruang untuk menghasilkan uang di Festival Kanya. Menurutmu orang bisa menemukan barang berharga yang bisa dicuri dalam acara seperti itu?”
  +
  +
Seakan tidak percaya dengan argument seperti itu, Chitanda memiringkan kepalanya dekat dan berkata, “Tapi ada kemungkinan begitu.”
  +
  +
“Apa?”
  +
  +
“Walau mungkin tidak ada nilai uangnya, saya rasa ada nilainya bila dilihat dari aspek lain.”
  +
  +
Ugh.
  +
  +
…Oke, yang ia katakana ada benarnya. Kalau ia mengatakannya seperti itu, tidak ada lagi yang bisa kukatakan.
  +
  +
Satoshi tertawa.
  +
  +
“Kau benar-benar tidak pintar dalam hal begini ya, Houtarou. Kau tidak bisa meyakinkan Chitanda-san seperti itu.”
  +
  +
“Masa’? Kalau begitu bagaimana dengan pendapatmu?”
  +
  +
“Sesuatu yang aku tahu tidak akan disanggah paling tidak.”
  +
  +
Satoshi lalu pura-pura berdehem dan memulai, “ ‘Untuk setiap system ada kelompok orang yang menentangnya’; itu cara yang menarik untuk membahasakannya, Chitanda-san. Kemungkinan besar perkataan ini benar. Tapi bentuk perlawanannya bergantung pada gaya pada jaman tersebut.”
  +
  +
“Walaupun benar adanya kalau ada waktu-waktu dimana insiden terjadi selama Festival Kebuadayaan, kebanyakan, pelakunya bertindak demi tujuan materialistic. Tapi tidak bisa dikatakan ‘tidak ada gangguan’ ketika motifnya tidak materialistic. Kau perlu ingat kalau kejadian ini terjadi 33 tahun yang lalu, jadi untuk mengatakan bahwa keuntungan materialistic dari gangguan yang terjadi adalah hampir tidak mungkin.”
  +
  +
Gaya pada jaman tersebut? Maksudnya gaya perlawanannya?
  +
  +
Apa yang ingin dia katakana sebenarnya? Aku bisa merasakan adanya maksud lain darinya. Begitupula Ibara dan Chitanda, yang memandang Satoshi kebingungan.
  +
  +
“…Kenapa begitu?”
  +
  +
Ibara mendorong Satoshi untuk melanjutkan saat ia bertingkah sok penting dalam diam. Dia mengangguk puas dan berkata, “Kau mungkin tidak mengerti kalau aku mengatakan 33 tahun yang lalu, tapi bagaimana kalau aku menggunakan kata-kata ‘tahun 1960-an’?”
  +
  +
Satoshi terlihat lumayan gembira. Biasanya aku tidak akan membuang begitu banyak tenaga untuk bersaing dengannya untuk mendapat pengetahuan seperti itu, tapi rasanya menyedihkan sekali melihatnya dalam mood yang bagus sambil menyombongkannya. sayangnya, aku tidak banyak tahu soal sejarah.
  +
  +
“Bagaimana, Mayaka? Kau bisa menebaknya?”
  +
  +
Ibara mungkin tidak tahu juga. Ia membuat pose menyerah sambil mengepalkan kedua tangannya.
  +
  +
“Maaf, Fuku-chan, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan apapun.”
  +
  +
“Masa’? Bagaimana kalau Gedung Parlemen Nasional di Tokyo?...Mau tambahan petunjuk? Apa plakat dan demonstrasi mengingatkan kalian pada sesuatu?... Aku bicara soal pergerakan pelajar disini.”
  +
  +
“Hah?”
  +
  +
Kami saling melihat dalam kebingungan.
  +
  +
Saat aku berpikir candaan macam apa yang sedang dilakukannya, Satoshi tidak terlihat muram sedikitpun. Jadi aku membalasnya, “Satoshi, kenapa kita tiba-tiba dapat pelajaran Sejarah Jepang modern, sih? Kalau kau mau mengadakan acara kuis, kita bisa melakukannya setelah kita mengatasi masalah ini.”
  +
  +
Tapi Satoshi tetap membuat ekspresi serius dan berkata, “Justru, aku sedang mengatasi masalahnya. Dengar ya, berdasarkan teori Chitanda-san, kekerasan di wiliyah kampus seperti yang disebutkannya adalah hal yang lumayan biasa terjadi pada tahun 1960an. Waktu itu adalah era dimaan terjadi banyak konflik antara yang pro-pembangunan dan anti-pembangunan, jadi seseorang mungkin memanfaatkannya sebagai pelampiasan dan meniru aksi mereka. Ini bukan hanya sekedar tren.”
  +
  +
“… jangan mengatakannya seakan kau melihatnya sendiri.”
  +
  +
“Kan sudah pernah kubilang, aku sedang meneliti periode ini.”
  +
  +
Satoshi memperlihatkan senyuman ‘tak terkalahkan’ kebiasaannya kepadaku.
  +
  +
Hmm, meski tanpa pelajaran Sejarah Modern singkat dari Satoshi, aku kurang lebih sudah mengetahuinya. Tidak tidak wajar untuk semacam insiden terjadi selama Festival Kebudayaan 33 tahun yang lalu. Walau aku tidak mempunyai cara untuk mengetahui apakah hal itu benar tanpa semacam kemampuan penyelidikan (aku juga tidak peduli), tetapi, mengesampingkan candaan Satoshi, teori semacam itu bukanlah tidak mungkin.
  +
  +
“Hmm, Begitu ya… memang benar saya tidak mempertimbangkan kejadian dijaman itu…”
  +
  +
Chitanda seperti mulai tergoyahkan oleh serangan Satoshi di titik kelemahannya. Teorinya sekarang seperti nyala lilin yang diterpa angin.
  +
  +
Meskipun begitu, Ibara angkat suara dengan antusias menyusul Chitanda, “Maaf, Chi-chan,”
  +
  +
“…Ada apa?”
  +
  +
“Kurasa teori Chi-chan tidak akan valid begitu aku melaporkan temuanku. Berikutnya giliranku, jadi kalau bisa, aku akan melanjutkan setelahmu…”
  +
  +
Kalau boleh jujur, aku agak kesal. Kenapa Ibara, kau semestinya tidak angkat suara? Tapi Chitanda tersenyum dengan ramah dan berkata, “Tidak, toh teori saya ternyata tidak cocok setelah ditinjau.”
  +
  +
Sikap yang patut dihormati.
  +
  +
“Saya menarik hipotesis saya untuk sementara. Sekarang mari kita dengar dari Ibara-san, apakah kalian semua setuju?”
  +
  +
Tidak ada yang menentangnya. Adalah tepat membiarkan Chitanda menjadi moderator. Setelah Citanda mengenyampingkan teorinya sendiri, sekarang giliran Ibara untuk menyakinkan kalau teori semacam itu benar. Merupakan orang yang bijak, Ibara mungkin akan bicara dengan cara yang mudah dimengerti.
  +
  +
“Kalau begitu, Ibara-san, silahkan dimulai.”
  +
  +
  +
  +
  +
Salinan yang diberikan Ibara pada kami, bagaimana aku harus mengatakannya ya, ditulis dengan cara yang sepenuhnya berbeda yang mudah dimengerti. Jenis huruf dan tipografinya terlihat buram, dan kata-katanya sulit dibaca kata hurufnya kurang lengkungan. Di kertas B5 tertulis kalimat berikut:
  +
  +
  +
  +
Dengan kata lain, kami, ‘Massa’, dapat melanjutkan kemandirian kami dan kegiatan Anti-Birokrasi tanpa hambatan. Meskipun ini sama sekali bukanlah ketundukan pada kekerasan.
  +
  +
  +
Terlepas dari Persengketaan Besar-besaran Juni lalu, berkat dukungan heroic ketua Klub Sastra Klasik, Sekitani Jun, terhadap pragmatism kami yang berani, pemandangan saat ‘Kekuatan Itu’ mempermalukan diri mereka sendiri ketika perhitungan mereka justru menjadi senjata makan tuan, masih segar dalam ingatan kami.
  +
  +
“Ini adalah salah satu dari bunga rampai Klub Studi Manga dulu. Judulnya ‘Kesatuan dan Salut Volume 1’, walau hanya ada 2 volume yang diterbitkan. Seperti buku Chi-chan, ini juga diterbitkan pada 32 tahun yang lalu. Aku rasa, kalau ‘Hyouka’ menyebutkan insiden ini, maka aku bisa menemukan sesuatu dengan mencari di perpustakaan. Seperti yang kukira, tidak banyak klub yang bertahan lebih dari 30-40 tahun. Awalnya aku piker Klub Studi Manga belum ada saat itu, tapi aku malah menemukan ini… Hebat, bukan?”
  +
  +
Aku tidak tahu apakah penemuan bunga rampai itu yang hebat atau bunga rampai nya yang hebat. Kesatuan dan Salut… apa judul semacam ini yang digunakan pada jaman itu? Entah kenapa terdengar mencurigakan. Dan gaya prosa yang mereka gunakan! Ini justru lebih terdengar seperti yang akan digunakan oleh Klub Sastra Klasik.
  +
  +
Disisi lain, jelaslah kenapa teori Chitanda dijatuhkan. Singkatnya, Festival Kebudayaan SMA Kamiyama dilaksanakan setiap bulan Oktober, tapi paragraf ini menyebutkan bahwa insidennya terjadi di bulan Juni. Jadi itulah sebabnya teorinya ditolak.
  +
  +
Ibara mengeluarkan notebook memo bergaya kuliahan dari kantung seragamnya dan melanjutkan, “Maaf, aku belum menulis ringkasan seperti Chi-chan, jadi akan kubacakan saja. Pertama, ‘kami, Massa’ telah dituduh sebagai anti-pembangunan. Terjadi ‘prasengketan<ref>Dalam bahasa jepang terdapat banyak kanji yang rumit sehingga sering kali terjadi kesalahan pengucapan. Ibara disini salah mengucapkan kata yang berarti 'perselisihan' yang tertulis di dalam bunga rampai Klub Manga Klasik. sebagian makna dasar kanjinya hilang karena telah diterjemahkan karena kesulitan dalam menemukan padanan katanya dalam bahasa indonesia</ref>’ di bulan Juni tahun sebelumnya. Mereka dibantu oleh Sekitani Jun, dan berakhir pada semacam pragmatism sebagai akibatnya. Ini menyebabkan masalah bagi ‘Kekuatan Itu’. Sisa paragrafnya mungkin menarik, tapi sepertinya tidak mengandung hal yang relevan tentang insiden tersebut.”
  +
  +
Aku tidak merasa keberatan dengan laporannya, tapi memangnya apa ‘prasengketan’ itu? Aku menelusuri perbendaharaan kata di kepalaku dan tetap tidak menemukan apapun. Meskipun dari awal memang perbendaharaan kata yang kumiliki tidak sebanyak itu.
  +
  +
Ketika aku sibuk memikirkan apa yang dimaksud ‘prasengketan’, Chitanda melanjutkan pertemuannya, “Apakah laporannya sudah selesai?”
  +
  +
“Iya”
  +
  +
“Kalau begitu, ada pertanyaan?”
  +
  +
Aku langsung bertanya, “Apa maksudnya ‘prasengketan’?”
  +
  +
   
   

Revision as of 03:51, 9 June 2014

6 – Masa Lalu Klub Sastra Klasik yang Gemilang

Akhir Juli, dan liburan musim panas sudah dimulai. Seperti biasanya, hari ini aku naik sepadaku menuju SMA Kamiyama. Butuh 20 menit berjalan kaki untuk mencapai sekolah dari rumahku, tapi aku juga tidak tahu butuh berapa lama untuk mencapai sekolah menggunakan sepeda. Sambil beristirahat, aku mampir untuk membeli sekaleng kopi hitam dari sebuah mesin penjual otomatis. Aku lalu mengikuti tepian sungai dan berbelok di rumah sakit sebelum akhirnya sampai di depan SMA Kamiyama. Dan disana, aku berdiri terkagum.

Liburan musim panas seharusnya sudah dimulai.

Tapi lapangan olahraga dipenuhi dengan peralatan dan siswa yang berpakaian seragam musim panas. Aku bisa mendengar music yang dimainkan berbagai alat music tiup, gitar listrik, dan seruling bambu. Meskipun Blok Kelas Khusus agak jauh dari sini, aku tahu disana juga ada banyak siswa. Mereka semua, pastinya, disini utuk mempersiapkan Festival Kanya. Sisi enerjik dari SMA Kamiyama baru mulai lebih aktif sekarang karena memasuki liburan musim panas. Kerumunan orang bergerombol seperti sekelompok semut seakan berkata “Oke, semuanya, festival akan segera datang! Sekarang setelah kelas-kelas yang menyebalkan sudah menyingkir, ayo berjuang!”

Aku memandangi orang-orang yang penuh energy ini sambil melihat ada seseorang yang berlari ke arahku. Fukube Satoshi, berbaju casual dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek, sambil membawa tas gendong kecil yang terlihat sporty di punggungnya.

“Hey,”

“Maaf, nungguin?”

Aku dengan gembira mendengarkan Klub Acapella latihan bernyanyi di lapangan tengah, dan Satoshi membuatku harus menoleh dengan suara yang mengerikan. Aku berpikir untuk memutar sepedaku dan pulang, namun aku berubah pikiran dan berlanjut berjalan ke arahnya dan bergerak seperti akan menendangnya.

“Woah, Houtarou! Kenapa tiba-tiba kau anarkis?”

“Memangnya kau bisa bicara begitu! Apa kamu tidak punya malu, tidak tahu kapan tidak boleh mengganggu ketenangan orang?”

Satoshi mengangkat kedua bahunya.

Sepertinya memang dia tidak punya.

“Maaf, maaf, kumpul Klub Kerajinan Tangan nya agak ngaret”

“Memangnya apa sih yang kalian bicarakan?”

“Kami akan merajut Karpet Mandala seperti milik orang Buddha untuk Festival Kanya. Tapi kami menemui beberapa masalah, jadi kita kumpul untuk membicarakan kemungkinan yang lainnya tadi.”

Well, Kau sudah bekerja keras. Tidak hanya kamu, tapi juga Toogaito, atau bahkan seisi sekolah untuk hal ini.

“Jadi, Kau sudah menyiapkan catatanmu?”

Saat aku bertanya datar, Satoshi hanya melempar balik pertanyaan itu padaku.

“Bagaimana denganmu? Bukan hal yang biasa kau lakukan kan. Sudah ada yang kau pikirkan?”

Aku merasa agak malu untuk menjawab pertanyaannya, jadi ku jawab, “Yaa begitu deh”

“Oh? Jarang-jarang nih. Biasanya kau akan mencoba mencari alasan dan menghindari pertanyaan semacam itu… Yah terserahlah, aku ambil sepedaku dulu, jadi tunggu disini sebentar.”

Kemudian Satoshi dengan seenaknya membuatku menunggu sementara dia berlari menuju tempat parkir sepeda.


Untuk kenapa aku menunggu Satoshi disini ketika semestinya aku sedang tidur seakan tidak ada hari esok selama Libur Musim Panas yang berharga, kita harus kembali ke satu minggu yang lalu, hari dimana kami hampir saja menemukan kebenaran tentang Sekitani Jun, yang seharusnya tertulis di Volume pertama buku antologi “Hyouka”, hanya untuk menemukan bahwa volume tersebut tidak ada. Karena kami tidak bisa maju tanpa volume pertama itu, aku memberitahu diriku untuk tidak bekerja keras untuk mencari jawabannya. Tapi ternyata sudah terlambat, karena aku tanpa sadar sudah menyebrangi sungai Rubicon[1].

Aku tahu tidak ada gunanya membujuk Chitanda untuk melepaskan kasus ini, jadi aku mengajukan jalan tengah. Kalau kita akan menginvestigasi masa lalu, hanya kita berdua tidak cukup. Seperti kata pepatah, “3 berarti ramai”. Mungkin agak sulit baginya, tapi aku menjelaskan padanya kalau kita memiliki kemungkinan yang lebih baik dalam menyelesaikan kasus ini dengan bantuan Satoshin dan Ibara.

Setelah itu, Chitanda mengangguk setuju.

“Kurasa kita tidak punya pilihan lain kalau begitu.”

Meskipun ia meminta untuk menjaga rahasia ini hnaya diantara kami berdua di Café Pineapple Sandwich, aku akhirnya mengecewakannya. Aku tidak tahu apakah karena Chitanda benar-benar menyadari bahwa dia akan membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapat, atau karena dia tidak lagi menganggap penting petunjuk yang ia dapatkan sebelumnya, atau bisa juga karena nona kita ini hanya senang bertindak semaunya; pokoknya, ia mengadakan pertemuan mendadak dengan Klub Sastra Klasik esok harinya.

Disana, Chitanda mengulangi apa yang dia katakan padaku dan menutupnya,

“Saya sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada paman saya 33 tahun yang lalu.”

Ibara langsung menerima tantangan itu.

“Ilustrasi halaman depannya menarik. Kalau kita bisa memecahkan kasus ini dan menemukan latar belakang ceritanya, aku bahkan bisa menggunakannya sebagai materi untuk publikasi di Klub Penelitian Manga.”

Satoshi menambahkan, “Kisah Fiksi Heroik dipecahkan oleh junior mereka 33 tahun kemudian, ya? Aku juga kebetulan sedang meneliti hal-hal dari periode itu.”

Dan setuju dengan kedua tangan terangkat. Sementara aku tidak ada keinginan untuk bicara, karena aku juga tidak punya kekuatan veto, aku memnutuskan untuk bicara saja mumpung kami sedang membicarakan kasusnya.

“Karena kita juga masih mencoba memutuskan apa yang akan kita tulis untuk essai antologi kita, kenapa tidak kita gunakan saja cerita Chitanda untuk mengisi halamannya… um, maksudku, supaya sekali dayung dua tiga pulau terlewati… maaf, maksudku, menulis sesuatu yang bermakna didalamnya?”

Usulan Menghemat-Energi milikku, meskipun lumayan kelihatan jelas, diterima dengan suara penuh. Kemudian, Investigasi insiden Klub Sastra Klasik SMA Kamiyama 33 tahun yang lalu menjadi prioritas Klub Sastra Klasik.


Satoshi mengendarai sepeda gunung. Karena dia mengenakan celana pendek, kau bisa melihat otot-otot yang kokoh, yang tidak sesuai dengan posturnya yang pendek, pada kakinya. Untuk seseorang yang lebih tertarik pada bahasa, satu-satunya olahraga yang aku ketahui ia tertarik adalah bersepeda. Ngomong-ngomong, sepedaku adalah semacam sepeda kumbangm jadi tidak banyak yang bisa dijelaskan.

Kami bersepeda sepanjang pinggir sungai dan menjauh dari jalan raya. Perlahan-lahan jarak antara rumah-rumah digantikan oleh sawah-sawah yang luas. Demi bersembunyi dari teriknya matahari, kami berhenti di sebuah toko tembakau, aku mengambil handuk kecil dari tasku untuk menyeka keringat yang terus menerus menetes.

Oh, keringat sehat.

Bukanlah sesuatu yang bakal pernah aku katakan. Malahan, aku heran kenapa orang harus bergerak untuk mencapai tempat tujuan mereka. “Revolusi Informasi belum berhasil. Kawan-kawan, kalian harus terus berjuang!”

“Satoshi, apa kita sudah dekat?”

Satoshi menaruh kembali sapu tangannya ke dalam kantong dan menjawab, “Yup. Kita hampir sampai. Kalau mengikuti kecepatanmu tentunya.”

Dia lalu tersenyum.

“Kau akan kaget kalau kau melihat rumah mereka. Keluarga Chitanda merupakan salah satu pemilik perkebunan terbesar di Kota Kamiyama.”

Kurasa aku menantikannya kalau begitu. Aku akan sangat senang untuk mendengar bagaimana mereka melakukan bersih-besih di musim semi mereka di tempat seluas itu. Setelah kembali menyeka keringat dengan handuk, aku meletakkan kakiku di pedal dan melanjutkan perjalanan.

Ketika kami mulai beranjak, Satoshi mengambil alih di depan dan menunjukkan jalan. Setelah melewati beberapa lampu merah, kami sampai di sebuah jalanan lurus yang panjang, dimana sepeda kami bisa berjajar. Sepanjang jalan ini tidak ada apa-apa selain lading perkebunan dan sawah di kedua sisi jalan.

Satoshi memutar pedalnya dan mulai bersenandung dengan riang. Tersenyum adalah semacam wajah resminya, tapi hari ini dia terlihat lumayan senang. Aku memutuskan untuk bertanya, “Satoshi,”

“Ya?”

“Kau lagi senang ya?”

Satoshi menoleh padaku dan menjawab ceria, “Tentu saja. Karena aku suka bersepeda. Lihatlah langit yang biru! Dan awan yang putih! Tidak peduli seberapa biasanya mereka terlihat, rasa gembira ketika melihatnya sambil bersepeda dengan kecepatan tinggi seperti…”

Aku segera menyela niat Satoshi untuk bercanda.

“Kupikir kehidupan SMAmu biasa saja.”

Tiba-tiba terlihat suram, Satoshi menjawab, “Oh… maksudmu soal Warna Mawar itu…”

Ingatan yang bagus, terutama karena terakhir kali kita membicarakannya hampir tiga bulan yang lalu. Entah kenapa Satoshi melambat dan melihat ke depan sambil berkata, “Kau tahu, kurasa kehidupan SMA ku lumayan berwarna bagai mawar.”

“tidak, rasanya lebih mirip shocking pink.”

“Haha, itu juga bagus. Kalau begitu, kehidupanmu berwarna abu-abu.”

“Kau sudah pernah mengatakannya padaku.”

Karena suaraku hampir sama sekali tidak meninggi, Satoshi tidak menertawakannya.

“Masa? Jangan salah paham ya, aku tidak bermaksud untuk mengejekmu waktu bilang kehidupan SMA mu berwarna abu-abu.”

“…”

“Contohnya, kalau hidupku warna shocking pink, maka tidak ada yang akan bisa mewarnainya seperti warna mawar. Aku tidak akan membiarkannya.”

Aku langsung mengejek wajahnya yang tersenyum.

“Masa? Kupukir sudah diwarnai.”

“Tentu saja belum!”

Kata Satoshi dengan jawaban, yang secara mengejutkan, tegas dan melanjutkan, “Belum, Houtarou. Aku sudah sibuk dengan panitia OSIS dan Klub Kerajinan Tangan, menurutmu aku akan bilang begitu? Kau pasti bercanda. Mau membantu mengatur jadwal kegiatan untuk Festival Kanya , atau merajut karpet Mandala, aku menikmati setiap momennya. Kalau tidak, memangnya siapa yang akan mengorbankan bersepeda yang menyenangkan atau Liburan Musim Panas Cuma untuk pergi ke sekolah?”

“Tidak ada orang seperti itu?”

“Ada waktu dimana seseorang harus meminjamkan kemampuan dan hadir demi kepentingan masyarakat yang lebih besar. Meski begitu, kau tipe yang tidak akan tergerak ‘kan? Untuk orang yang ‘berwarna abu-abu’ sepertimu, seandainya seorang pemimpin bilang ‘semua orang berwarna seperti mawar’, kau akan melambaikan tanganmu dan bilang ‘jangan ajak aku’.”

Setelah mengatakan itu semua dalam satu tarikan napas, dia mulai sedikit tenang dan melanjutkan, kalau aku mau benar-benar mengejekmu, aku akan menyebutmu tidak berwarna.”

Satoshi terdiam setelah mengatakan itu. Aku merenungkan jawabannya sambil membiarkan kulitku terbakar matahari.

“…”

Dan membuat wajah suram.

“Aku tidak akan bilang aku ingin jadi sepertimu atau sejenisnya, tahu.”

“Bukan, bukan itu maksudku.”

Satoshi meninggikan suaranya dan tertawa. Dia lalu mengatakan, “Lihatlah, Houtarou, kita sudah sampai di kediaman keluarga Chitanda!”


Sesuai dengan penggambarannya, ‘Kediaman’ Chitanda dibangun di tengah-tengah padang sawah yang luas. Dibangun dalam bentuk bungalo bergaya Jepang dikelilingi oleh pagar. Suara air mengalir menandakan adanya kolam di tamannya, yang dikelilingi oleh pepohonan pinus yang dipangkas dengan baik. Dan di depan pintu gerbang besar yang terbuka, terlihat orang-orang sedang melakukan ritual menyiramkan air[2]. “Bagaimana? Lumayan hebat ‘kan?”

Kata Satoshi sambil membusungkan dadanya, meskipun aku bukan ahli arsitektur atau gardening Jepang. Meski aku tidak tahu seberapa hebatnya kediaman ini, aku merasa ada kesan anggun dan berwibawa dari kediaman tersebut.

Saat kami sedang mengagumi kompleks tersebut, aku melirik jam tanganku. Kami lumayan tepat waktu… Tidak, sepertinya kami agak telat.

“Ayo, Chitanda dan Ibara sudah menunggu,”

“Oh, iya… ngomong-ngomong, Houtarou,”

“Apa lagi sekarang?”

“Bukannya kita harusnya menunggu pelayan-pelayan untuk datang menjemput kita?”

Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Aku melangkah ke beranda depan dan membunyikan bel.

“…Ya~”

Setelah menunggu beberapa saat, pintunya dibuka oleh Chitanda sendiri. Flu musim panasnya sepertinya sudah sembuh karena ia berbicara dengan suara yang biasanya lagi. Ia membiarkan rambutnya yang panjang menjuntai ke bahunya tanpa mengikatnya, dan memakai baju terusan berwarna hijau muda.

“Maaf membuat kalian menunggu.”

Aku mendengar Satoshi berdecak, seakan kecewa karena tidak ada pelayan yang menyambut kami.

Setelah melepas sepatu kami di pintu masuk yang di beton, Chitanda memandu kami melewati koridor yang terbuat dari kayu.

“Dimana kalian memarkir sepeda kalian?”

“Kita boleh parker dimana?”

“Dimana saja boleh”

Lalu kenapa bertanya?

Tak lama kemudian, kami dipandu menuju sepasang pintu geser tradisional, dan angin sepoi yang sejuk keluar setelah membukanya. Karena langit-langitnya tinggi, ruangannya terasa sejuk dan menyegarkan. Ukuran ruangannya sekitar… 15 meter persegi. Besar.

“Kalian terlambat.”

Ibara sudah datang. Sepertinya ia ada sedikit urusan di sekolah sebelumnya, karena ia datang sambil mengenakan seragam. Ada meja berwarna coklat gelap yang memantulkan cahaya temaram, dan di atasnya berserakan lembaran-lembaran kertas. Pasti catatannya Ibara. Dia lumayan bersemangat soal ini.

“Duduklah dimanapun kalian suka.”

Aku duduk dihadapan Ibara setelah dipersilahkan. Setelah Chitanda duduk di tengah, tempat duduk sisanya diduduki oleh Satoshi. Adalah pemandangan yang jarang untuk melihat seseorang dengan tas ransel duduk di dalam ruang tamu bergaya tradisional Jepang[3]. Membuka tasnya, Satoshi mengeluarkan berlembar-lembar kertas. Ibara terlihat sangat siap sambil memainkan pulpennya, sementara Chitanda menumpuk lembaran kertas diatas meja.

“Baiklah…”

“Mari kita mulai pertemuan penyelidikan kita.”

Kami semua membungkuk dan memberi salam.


Tentu saja, pertemuan ini dipimpin oleh Chitanda, karena ia-lah ketua klubnya.

“Mari kita konfirmasi agenda pertemuan hari ini. Semuanya dimulai dari kenangan saya. Lalu, saat kita menemukan bunga rampai Hyouka, saya menyadari apapun yang terjadi dengan Klub Sastra Klasik 33 tahun yang lalu ada hubungannya dengan kenangan saya ini. Tujuan pertemuan hari ini adalah untuk menebak apa yang terjadi 33 tahun yang lalu. Selanjutnya, fakta apapun yang telah dikonfirmasi akan digunakan sebagai materi untuk esai dalam bunga rampai Klub Sastra Klasik tahun ini.”

Meskipun Ibara lebih tertarik pada desain ilustrasi cover Hyouka, ia tidak terlihat begitu kecewa dengan proklamasi dari Chitanda. Mungkin ia menyadari ilustrasi itu ada hubungannya dengan insiden itu sendiri, atau Chitanda sudah memberitahunya?

“Selama seminggu terakhir ini, kita sudah mengumpulkan berbagai bahan untuk diteliti, dan karenanya kita akan melaporkan penemuan kita dan menyimpulkan kesimpulan yang paling mungkin.”

Eh? Memangnya pertemuan hari ini soal itu? Terakhir kali aku dengar, Chitanda hanya memberi tahu kami untuk membawa materi apa saja yang bisa kami temukan. Aku tidak ingat ada soal membuat kesimpulan… Tapi karena Satoshi dan Ibara tidak terlihat kaget sedikit pun, ini berarti memang aku yang tidak memperhatikan. Sial, sepertinya aku harus melewatinya entah bagaimana, tapi perutku masih terasa tidak enak.

Tanpa membawa selembarpun agenda bersamanya, Chitanda menatap kami satu per satu dan menjelaskan dengan lancar, “Kita akan bergiliran melaporkan penemuan kita, diikuti oleh pertanyaan dari anggota yang lain, membuat hipotesa, dan meninjau ulang hipotesa yang dikeluarkan. Tidak boleh bertanya selama melaporkan… ini untuk mencegah kata-kata kita bercampur aduk. Kalau begitu, sekarang kita dengarkan laporan pertama.”

Oh, ia pemimpin yang lumayan bagus. Siapa yang tahu, ia mungkin memiliki bakat untuk hal seperti ini.

Tidak, bukan, dia memang memberi tahu aku kalau dia tipe orang yang akan mencari tahu keseluruhan system, jadi tidak mengejutkan kalau dia begitu ahli dalam aturan memimpin pertemuan.

“Bisakah kita mulai laporan pertama… oh?”

“Chi-chan, memangnya siapa yang akan lapor pertama?”

“Umm, siapa ya?”

… Dan ia bicara aneh lagi. Aku heran apakah ia hanya mudah dimengerti atau keteraturannya hanya terbatas pada tindakannya sendiri. Aku bicara pada Chitanda yang kebingungan.

“siapa saja boleh. Bagaiman kalau kamu mulai duluan?”

Karena biasanya pemimpin yang mulai bicara pertama kali, kan? Toh, bukannya Chitanda juga tidak akan melaporkan apapun. Dan karena ia yang menentukan cara melaporkannya, sekalian saja ia juga yang memulai pertama dan membaut pertemuan berjalan lancar. Ia mengangguk dan berkata, “Oh, kamu benar. Kalau begitu, sekarang… kita akan melaporkan satu persatu berurutan sesuai arah jarum jam dimulai dari saya.”

Ia mulai membagikan catatannya di atas meja setelah berkata begitu.

Hanya selirik dan aku tahu kalau ini adalah sumber dari penyelidikan ini, kata pengantar dari “Hyouka volume 2”. Jadi begitu, ia mulai dari awal mulanya ya? Walau aku tidak akan bilang kalau ini adalah gayanya yang biasa. Aku sekali lagi membaca paragraph yang pernah aku lihat sebelumnya.



Kata Pengantar

Dan akhirnya, kami melakukan Festival Kebudayaan lagi tahun ini.


Telah setahun berlalu, sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami.

Selama tahun ini, Senpai telah menjadi legenda dan menjadi seorang pahlawan. Sebagai hasilnya, Festival Kebudayaan akan berlangsung 5 hari seperti biasanya.

Akan tetapi, sembari legenda itu menyebar, aku berpikir dalam. Apakah orang-orang sepuluh tahun dari sekarang akan tetap mengingat sang pejuang yang pendiam dan pahlawan yang baik hati? Yang ditinggalkan senpai hanyalah bunga rampai ‘Hyouka’ ini, yang ia pilihkan sendiri namanya.

Sebagai pengorbanan dari konflik itu, bahkan senyuman senpai akan berakhir pada arus waktu menuju keabadian.

Tidak, mungkin lebih baik jikalau kita tidak mengingatnya. Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan.

Sekali subjektivitasnya dihilangkan, cerita ini akan menjadi sastra klasik karena melampaui semua perspektif sejarah.

Akankah datang sebuah waktu dimana kisah kami menjadi cerita klasik untuk seseorang di masa yang akan datang?


13 Oktober 1968, Kooriyama Youko



Berdeham, Chitanda mulai menjelaskan, “Ini diambil dari bunga rampai ‘Hyouka’. Untuk mengetahui artikel seperti apa yang diterbitkan Hyouka setiap tahunnya, seseorang harus membaca kata pengantarnya dan menemukan topik apa saja yang dibahas. Sayangnya, meskipun begitu, paragraf ini adalah satu-satunya yang menyebutkan tentang insiden 33 tahun yang lalu. Mungkin saja sebenarnya dituliskan di tempat lain, tapi kita tidak memiliki jilid pertamanya… Lalu, saya sudah meringkas poin-poin utama dari kata pengantar ini di dalam catatan disini,”

Ia lalu membagikan fotokopi untuk halaman kedua.



1. “Senpai” telah pergi. (dari mana?)

2. “Senpai” menjadi seorang pahlawan 33 tahun yang lalu, dan telah menjadi legenda setahun kemudian


3. “senpai” adalah seorang “pejuang yang pendiam” dan “pahlawan yang baik hati”

4. “Senpai” memberi nama bunga rampai ini ‘Hyouka’

5. Terjadi sebuah konflik dan terjadi pengorbanan (senpai=korban?)

“Wow.”

Oke, barusan itu singkat dan langsung ke poin-nya. Aku tidak bisa menahan untuk menghela napas dalam heran, tapi kalau dipikir-pikir, meskipun Chitanda merupakan gumpalan Rasa Ingin Tahu itu sendiri, ia juga seorang siswa teladan. Kalau ia tidak tahu bagaimana cara meringkas, ia tidak akan bisa mendapat nilai setinggi itu.

Setelah memastikan semua orang sudah membaca catatannya, Chitanda melanjutkan dengan penjelasannya.

“Pertama-tama, ‘Senpai’ disini, dengan kata lain, paman saya, mengundurkan diri dari SMA Kamiyama. Tingkat pendidikan terakhirnya adalah tingkat SMP. Saya berharap kalian semuanya mengerti yang saya katakana.”

Meskipun ini pertama kalinya aku mendengar Chitanda menyebutkan bahwa Sekitani Jun mengundurkan diri dari SMA Kamiyama, aku tidak begitu terkejut. Lagipula, tidak sulit menebaknya dari kalimat pembuka kata pengantar tadi: “sejak Sekitani-senpai meninggalkan kami”.

Meskipun demikian, Chitanda mungkin tidak tahu alasan kenapa pamannya mengundurkan diri dari sekolah… tidak, ia benar-benar tidak tahu. Seandainya ia tahu, dia pasti sudah menyebutkan soal itu. Kalau dipikir-pikir, waktu di Café Pinapple Sandwich, ia memang menyebutkan kalau keluarga Sekitani dan Chitanda sudah menjauh.

“Kedua, kata pengantar ini melebih-lebihkan tentang bagaimana waktu telah berlalu. Poin yang ketiga menarik; selain menyebutkan senpai sebagai baik hati dan pendiam, beliau juga digambarkan sebagai seorang ‘pejuang’ dan ‘pahlawan’. Apa yang beliau perjuangkan? Poin kelima hanya mengiyakan bahwa ‘Senpai’ berjuang dalam suatu konflik dan menjadi pahlawan, dan sebagai akibatnya dijadikan korban. Untuk poin yang keempat… walaupun saya penasaran soal ini, poin ini tidak relevan dengan masalah yang dihadapi sekarang. Ini menutup laporan saya, apakah ada pertanyaan?”

Karena tidak begitu melenceng, aku tidak banyak Tanya.

Meskipun normalnya si Eksentrik (alias Satoshi) mengacungkan tangan dalam kelas, dalam perkumpulan seperti ini dimana hanya ada sedikit orang dan semua orang saling mengenal satu sama lain. Jadi sebagai gantinya, Ibara-lah yang langsung mulai bertanya, “Hm, kenapa kalimat ‘Karena kisahnya sama sekali tidak dimaksudkan sebagai kisah pahlawan’ ini tidak dipertimbangkan?”

Satoshi tentu saja tahu jawabannya. Walaupun dia ingin bicara, dia menahan diri dan melihat ke arahku. Dia bisa lumayan sopan kalau situasinya menuntut demikian, tidak ingin menyela Chitanda saat ia menjawab.

Disisi lain, karena Chitanda lah yang ditanya, ia segera menjawab, “Kalimat itu hanya ide si penulis, karena orang yang berbeda akan memiliki pandangan yang berbeda pula tentang apa yang disebut sebagai cerita kepahlawanan.”

“Lagipula,”

Setelah menunggu Chitanda menyelesaikan penjelasannya, Satoshi langsung menambahkan, “Kalimat itu mungkin bermaksud kalau ceritanya tidak seromantis cerita pahlawan, tapi lebih mirip pertarungan kotor. Jadi aku rasa kalimat ini tidak hanya merupakan ide saja.”

Ibara terlihat terbujuk dengan penjelasan tersebut.

Tidak ada pertanyaan lain yang diajukan.

“Sekarang, akan saya mulai hipotesis saya.”

Chitanda tidak terdengar percaya diri, tidak juga terdengar tidak yakin, tapi hanya seperti biasanya. Ia tidak memegang memo apapun sambil memulai, “Paman saya sepertinya terlibat dalam suatu konflik, dan setelah itu, ia mengundurkan diri dari sekolah. Saya kurang begitu yakin, tapi menurut saya konflik tersebut yang mendorong pengunduran diri paman saya. Ada satu poin lagi yang perlu dipertimbangkan selain kelima poin yang saya sebutkan: kalimat pembuka ‘telah setahun berlalu sejak’.

“Dengan kata lain, paman saya meninggalkan sekolah setahun sebelum Festival Kanya, artinya ketika Festival Kanya sebelumnya. Ngomong-ngomong, saya mendengar dari seorang teman yang bersekolah di SMA Swasta Kamiyama kalau ada insiden di Festival Kebudayaan mereka tahun kemarin.”

Satoshi berkata dengan riang, “Kalau tidak salah disebut Kerusuhan di Festival Kebudayaan. Kios-kios diancam dan laporan penjualan menghilang.”

Chitanda mengangguk.

Ada pepatah yang mengatakan, selama system masih ada, akan ada yang menentangnya. Apakah itu Festival Kebudayaan, Festival Olahraga ataupun Upacara Kelulusan, ada akan orang-orang yang menentang acara-acara tahunan seperti itu. Satu hal lagi, mohon lihat halaman 24 dari Buku Pegangan Siswa SMA Kamiyama.”

Meskipun ia berkata begitu, tidak ada yang bisa mengeluarkan Buku Pegangan Siswanya. Tentu saja, memangnya ada yang akan selalu membawanya kemana-mana?

“…Apa ada yang salah?”

“Sayangnya kami meninggalkan buku pegangan kita di rumah. Jadi apa yang tertulis disitu?”

“…Jangan-jangan kalian tidak selalu membawanya bersama kalian? Oh, lupakan saja. Umm, bunyinya begini, ‘dilarang keras melakukan tindak kekerasan’. Jadi inilah teori saya,”

Tanpa mengubah nada suaranya, Chitanda melanjutkan, “Ada gangguan yang tidak diharapkan pada Festival Kebudayaan pada tahun itu, dan kemungkinan paman saya meresponnya dengan kekerasan fisik. Meskipun beliau menjadi pahlawan, beliau harus bertanggung jawab atas tindakannya menggunakan kekerasan. Akibat tragisnya setelah itu membuat adik kelasnya menulis eulogi atas kepergiannya.”

Hmmm…


Aku dan Satoshi bicara berbarengan.

“Salah,”

“Maaf, Chitanda.”

Ibara lalu menoleh, bukan ke arah Chitanda tapi pada kami, heran atas apa yang sedang kami pikirkan.

“Apa teorinya salah? Bisakah kalian memberitahu alasannya?”

Chitanda bicara dengan pelan dan melihat ke arahku dengan ekspresi serius. Aku hanya mengangkat bahuku dan membalas, “Kau bilang ada orang-orang yang akan menentang system dan menyebabkan kerusuhan di Festival Kebudayaan. Tapi ini akan mengharuskan agar kios-kios memiliki penjualan yang tinggi agar menarik seseorang untuk mencuri dari mereka. Lagipula, apa kau ingat apa yang aku katakan waktu kau mengajukan supaya kita menerbitkan bunga rampai?”

Chitanda memutar matanya perlahan.

“Kamu bilang terlalu banyak yang perlu dilakukan.”

“Bukan, bukan itu. Yang lain.”

“Yang lain? Umm… Kamu juga bilang tiga penulis itu berlebihan, tapi sekarang kita punya empat.”

… Apakah aku harus memujinya atas ingatan nya yang luar biasa itu? Tidak akan. Aku mengakui kemampuannya dalam mengingat hal-hal seperti ini, tapi Chitanda, secara teknis, waktu aku mengatakan itu, anggota kami masih tiga orang.

“Apa lagi?”

“…Kamu mennyebutkan alternatif lain selain menerbitkan bunga rampai, seperti,”

Akhirnya ia sampai pada poin utama. Ia menepukkan tangannya di depan dada dan berkata, “Mendirikan kios pameran, dan saya berkata,”

“Kau bilang sendiri kalau kios-kios pameran itu biasanya dilarang. Aku juga mengingatnya. Kalau begitu, tidak ada ruang untuk menghasilkan uang di Festival Kanya. Menurutmu orang bisa menemukan barang berharga yang bisa dicuri dalam acara seperti itu?”

Seakan tidak percaya dengan argument seperti itu, Chitanda memiringkan kepalanya dekat dan berkata, “Tapi ada kemungkinan begitu.”

“Apa?”

“Walau mungkin tidak ada nilai uangnya, saya rasa ada nilainya bila dilihat dari aspek lain.”

Ugh.

…Oke, yang ia katakana ada benarnya. Kalau ia mengatakannya seperti itu, tidak ada lagi yang bisa kukatakan.

Satoshi tertawa.

“Kau benar-benar tidak pintar dalam hal begini ya, Houtarou. Kau tidak bisa meyakinkan Chitanda-san seperti itu.”

“Masa’? Kalau begitu bagaimana dengan pendapatmu?”

“Sesuatu yang aku tahu tidak akan disanggah paling tidak.”

Satoshi lalu pura-pura berdehem dan memulai, “ ‘Untuk setiap system ada kelompok orang yang menentangnya’; itu cara yang menarik untuk membahasakannya, Chitanda-san. Kemungkinan besar perkataan ini benar. Tapi bentuk perlawanannya bergantung pada gaya pada jaman tersebut.”

“Walaupun benar adanya kalau ada waktu-waktu dimana insiden terjadi selama Festival Kebuadayaan, kebanyakan, pelakunya bertindak demi tujuan materialistic. Tapi tidak bisa dikatakan ‘tidak ada gangguan’ ketika motifnya tidak materialistic. Kau perlu ingat kalau kejadian ini terjadi 33 tahun yang lalu, jadi untuk mengatakan bahwa keuntungan materialistic dari gangguan yang terjadi adalah hampir tidak mungkin.”

Gaya pada jaman tersebut? Maksudnya gaya perlawanannya?

Apa yang ingin dia katakana sebenarnya? Aku bisa merasakan adanya maksud lain darinya. Begitupula Ibara dan Chitanda, yang memandang Satoshi kebingungan.

“…Kenapa begitu?”

Ibara mendorong Satoshi untuk melanjutkan saat ia bertingkah sok penting dalam diam. Dia mengangguk puas dan berkata, “Kau mungkin tidak mengerti kalau aku mengatakan 33 tahun yang lalu, tapi bagaimana kalau aku menggunakan kata-kata ‘tahun 1960-an’?”

Satoshi terlihat lumayan gembira. Biasanya aku tidak akan membuang begitu banyak tenaga untuk bersaing dengannya untuk mendapat pengetahuan seperti itu, tapi rasanya menyedihkan sekali melihatnya dalam mood yang bagus sambil menyombongkannya. sayangnya, aku tidak banyak tahu soal sejarah.

“Bagaimana, Mayaka? Kau bisa menebaknya?”

Ibara mungkin tidak tahu juga. Ia membuat pose menyerah sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Maaf, Fuku-chan, aku tidak bisa memikirkan kemungkinan apapun.”

“Masa’? Bagaimana kalau Gedung Parlemen Nasional di Tokyo?...Mau tambahan petunjuk? Apa plakat dan demonstrasi mengingatkan kalian pada sesuatu?... Aku bicara soal pergerakan pelajar disini.”

“Hah?”

Kami saling melihat dalam kebingungan.

Saat aku berpikir candaan macam apa yang sedang dilakukannya, Satoshi tidak terlihat muram sedikitpun. Jadi aku membalasnya, “Satoshi, kenapa kita tiba-tiba dapat pelajaran Sejarah Jepang modern, sih? Kalau kau mau mengadakan acara kuis, kita bisa melakukannya setelah kita mengatasi masalah ini.”

Tapi Satoshi tetap membuat ekspresi serius dan berkata, “Justru, aku sedang mengatasi masalahnya. Dengar ya, berdasarkan teori Chitanda-san, kekerasan di wiliyah kampus seperti yang disebutkannya adalah hal yang lumayan biasa terjadi pada tahun 1960an. Waktu itu adalah era dimaan terjadi banyak konflik antara yang pro-pembangunan dan anti-pembangunan, jadi seseorang mungkin memanfaatkannya sebagai pelampiasan dan meniru aksi mereka. Ini bukan hanya sekedar tren.”

“… jangan mengatakannya seakan kau melihatnya sendiri.”

“Kan sudah pernah kubilang, aku sedang meneliti periode ini.”

Satoshi memperlihatkan senyuman ‘tak terkalahkan’ kebiasaannya kepadaku.

Hmm, meski tanpa pelajaran Sejarah Modern singkat dari Satoshi, aku kurang lebih sudah mengetahuinya. Tidak tidak wajar untuk semacam insiden terjadi selama Festival Kebudayaan 33 tahun yang lalu. Walau aku tidak mempunyai cara untuk mengetahui apakah hal itu benar tanpa semacam kemampuan penyelidikan (aku juga tidak peduli), tetapi, mengesampingkan candaan Satoshi, teori semacam itu bukanlah tidak mungkin.

“Hmm, Begitu ya… memang benar saya tidak mempertimbangkan kejadian dijaman itu…”

Chitanda seperti mulai tergoyahkan oleh serangan Satoshi di titik kelemahannya. Teorinya sekarang seperti nyala lilin yang diterpa angin.

Meskipun begitu, Ibara angkat suara dengan antusias menyusul Chitanda, “Maaf, Chi-chan,”

“…Ada apa?”

“Kurasa teori Chi-chan tidak akan valid begitu aku melaporkan temuanku. Berikutnya giliranku, jadi kalau bisa, aku akan melanjutkan setelahmu…”

Kalau boleh jujur, aku agak kesal. Kenapa Ibara, kau semestinya tidak angkat suara? Tapi Chitanda tersenyum dengan ramah dan berkata, “Tidak, toh teori saya ternyata tidak cocok setelah ditinjau.”

Sikap yang patut dihormati.

“Saya menarik hipotesis saya untuk sementara. Sekarang mari kita dengar dari Ibara-san, apakah kalian semua setuju?”

Tidak ada yang menentangnya. Adalah tepat membiarkan Chitanda menjadi moderator. Setelah Citanda mengenyampingkan teorinya sendiri, sekarang giliran Ibara untuk menyakinkan kalau teori semacam itu benar. Merupakan orang yang bijak, Ibara mungkin akan bicara dengan cara yang mudah dimengerti.

“Kalau begitu, Ibara-san, silahkan dimulai.”



Salinan yang diberikan Ibara pada kami, bagaimana aku harus mengatakannya ya, ditulis dengan cara yang sepenuhnya berbeda yang mudah dimengerti. Jenis huruf dan tipografinya terlihat buram, dan kata-katanya sulit dibaca kata hurufnya kurang lengkungan. Di kertas B5 tertulis kalimat berikut:


Dengan kata lain, kami, ‘Massa’, dapat melanjutkan kemandirian kami dan kegiatan Anti-Birokrasi tanpa hambatan. Meskipun ini sama sekali bukanlah ketundukan pada kekerasan.


Terlepas dari Persengketaan Besar-besaran Juni lalu, berkat dukungan heroic ketua Klub Sastra Klasik, Sekitani Jun, terhadap pragmatism kami yang berani, pemandangan saat ‘Kekuatan Itu’ mempermalukan diri mereka sendiri ketika perhitungan mereka justru menjadi senjata makan tuan, masih segar dalam ingatan kami.

“Ini adalah salah satu dari bunga rampai Klub Studi Manga dulu. Judulnya ‘Kesatuan dan Salut Volume 1’, walau hanya ada 2 volume yang diterbitkan. Seperti buku Chi-chan, ini juga diterbitkan pada 32 tahun yang lalu. Aku rasa, kalau ‘Hyouka’ menyebutkan insiden ini, maka aku bisa menemukan sesuatu dengan mencari di perpustakaan. Seperti yang kukira, tidak banyak klub yang bertahan lebih dari 30-40 tahun. Awalnya aku piker Klub Studi Manga belum ada saat itu, tapi aku malah menemukan ini… Hebat, bukan?”

Aku tidak tahu apakah penemuan bunga rampai itu yang hebat atau bunga rampai nya yang hebat. Kesatuan dan Salut… apa judul semacam ini yang digunakan pada jaman itu? Entah kenapa terdengar mencurigakan. Dan gaya prosa yang mereka gunakan! Ini justru lebih terdengar seperti yang akan digunakan oleh Klub Sastra Klasik.

Disisi lain, jelaslah kenapa teori Chitanda dijatuhkan. Singkatnya, Festival Kebudayaan SMA Kamiyama dilaksanakan setiap bulan Oktober, tapi paragraf ini menyebutkan bahwa insidennya terjadi di bulan Juni. Jadi itulah sebabnya teorinya ditolak.

Ibara mengeluarkan notebook memo bergaya kuliahan dari kantung seragamnya dan melanjutkan, “Maaf, aku belum menulis ringkasan seperti Chi-chan, jadi akan kubacakan saja. Pertama, ‘kami, Massa’ telah dituduh sebagai anti-pembangunan. Terjadi ‘prasengketan[4]’ di bulan Juni tahun sebelumnya. Mereka dibantu oleh Sekitani Jun, dan berakhir pada semacam pragmatism sebagai akibatnya. Ini menyebabkan masalah bagi ‘Kekuatan Itu’. Sisa paragrafnya mungkin menarik, tapi sepertinya tidak mengandung hal yang relevan tentang insiden tersebut.”

Aku tidak merasa keberatan dengan laporannya, tapi memangnya apa ‘prasengketan’ itu? Aku menelusuri perbendaharaan kata di kepalaku dan tetap tidak menemukan apapun. Meskipun dari awal memang perbendaharaan kata yang kumiliki tidak sebanyak itu.

Ketika aku sibuk memikirkan apa yang dimaksud ‘prasengketan’, Chitanda melanjutkan pertemuannya, “Apakah laporannya sudah selesai?”

“Iya”

“Kalau begitu, ada pertanyaan?”

Aku langsung bertanya, “Apa maksudnya ‘prasengketan’?”



Catatan Penerjemah dan Referensi

  1. Saya tidak tahu apa sudah disebutkan sebelumnya. ‘menyebrangi sungai Rubicon’ berasal dari idiom bahasa Inggris “Crossing the Rubicon”, yang artinya “melalui titik yang tidak ada jalan kembali/ tidak bisa ditarik lagi”. Crossing the Rubicon diambil dari sejarah Itali dimana pasukan militer yang dipimpin Caesar yang menyebrangi Sungai Rubicon demi mengejar Pompeius – saya tidak hapal nama lengkapnya – waktu itu diberlakukan larangan pada pasukan militer untuk menyebrangi sungai Rubicon untuk mencegah perang internal di kekaisaran Romawi.
  2. Uchimizu, semacam ritual dimana orang-orang menyiramkan/ menyipratkan air ke jalanan atau taman untuk mengurangi debu dan mendinginkan jalan terutama di hari-hari musim panas. Selengkapnya bisa lihat di Wiki 
  3. Tokonoma. Ruangan dalam desain rumah tradisional jepang yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu. Dalam tokonoma biasanya dipajang benda-benda seni seperti lukisan, kaligrafi, ikebana, dan bonsai.
  4. Dalam bahasa jepang terdapat banyak kanji yang rumit sehingga sering kali terjadi kesalahan pengucapan. Ibara disini salah mengucapkan kata yang berarti 'perselisihan' yang tertulis di dalam bunga rampai Klub Manga Klasik. sebagian makna dasar kanjinya hilang karena telah diterjemahkan karena kesulitan dalam menemukan padanan katanya dalam bahasa indonesia



Kembali ke Halaman Utama Maju ke Bab 7