Difference between revisions of "Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 6"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
((belum disunting-telat satu hari-sorry))
 
m
Line 1: Line 1:
  +
<div align=justify><span style="font-family: Maiandra GD; font-size:110%">
==Pemakaman, Pertemuan, Dana==
 
  +
== Pemakaman, Rapat, Dana ==
   
“Jadi katamu, kamu berpapasan dengan Kagurazaka-senpai?
+
"Jadi katamu, kau berpapasan dengan Kagurazaka-senpai?"
   
  +
Di pagi yang baru, di dalam ruang kelas, Chiaki memandang wajahku sambil menanyakan hal itu.
Pagi berikutnya, Chiaki memandang wajahku dan menanyakan pertanyaan itu saat kami ada di ruang kelas.
 
   
“Oh, iya. Aku menjawabnya dengan nada kesal,”Meski kupikir lebih tepatnya dia yang menungguku, daripada berpapasan.
+
"Begitu, deh." Jawabku dengan nada kesal. "Meski rasanya lebih tepat kalau dia yang menungguku daripada dibilang berpapasan."
   
“Terus...... apa kamu bergabung dengan klub?
+
"Terus... kau jadi bergabung dengan klub?"
   
“Kenapa kamu berpikir aku bergabung!?
+
"Kenapa kaupikir aku mau bergabung?!"
   
“Karena, Senpai adalah jenis orang yang......pasti akan mendapatkan apapun yang diinginkannya.”
+
"Karena senpai itu... orang yang pasti akan mendapatkan apa saja yang diinginkannya.”
   
Kagurazaka-senpai mengatakan hal menakutkan yang sama persis padaku di lapangan di depan ruang latihan, dengan jarinya menunjuk padaku kemarin. “Kalau itu adalah hal yang kuinginkan aku akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, dengan cara jujur atau curang. Tidak masalah apa itu Ebisawa Mafuyu, ruang ini, ataupun kamu.
+
Kagurazaka-senpai mengatakan hal yang sama menakutkannya padaku sewaktu di lapangan kemarin. Di depan ruang latihan, sambil jarinya menunjuk padaku, ia berkata, ''Kalau itu memang sesuatu yang kuinginkan, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkannya, baik dengan cara jujur ataupun curang. Tak peduli apa itu Ebisawa Mafuyu, ruangan ini, ataupun dirimu''.
   
Sesudah dia mengatakan hal itu padaku, sonata lagu kematian Chopin terdengar dari ruang latihan, dan kebetulan berada tepat di bagian akhir dimana angin topan mengamuk di pemakaman untuk sesaat, aku merasa akan mati.
+
Sesudah ia mengatakan hal itu padaku, barisan sonata lagu berkabung gubahan Chopin terdengar dari ruang latihan, dan kebetulan berada tepat pada bagian akhir di mana angin topan mengamuk di pemakaman untuk sesaat, aku merasa seperti akan mati.
   
Berhenti mengingatkanku hal-hal menakutkan itu! Meski begitu, Chiaki membuatku mengingat ingatan-ingatan itu dalam pikiranku.
+
Berhenti mengingatkanku akan hal-hal menakutkan! Meski sudah berusaha melupakannya, Chiaki justru membuat ingatan-ingatan itu kembali menyeruak di pikiranku.
   
“Aku dengar...... kalau dia sangat menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta yen<ref>sekitar seratus juta rupiah</ref>. Hasilnya dia pergi bekerja untuk toko musik dimana gitar itu dijual, dan dia bahkan berhasil mendapat kelemahan...... urm, dia menjadi teman dekat dengan pemilik toko, dan akhirnya mendapatkan gitar itu secara gratis.
+
"Aku pernah dengar... kalau ia dulu sangat menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta yen. Karena itu ia bekerja di toko musik yang menjual gitar tersebut, dan ia pun berhasil mengetahui kelemahan... eh, berteman dekat dengan manajer toko, hingga akhirnya ia bisa memperoleh gitar itu secara gratis."
   
“Apa gunanya polisi?!
+
"Terus apa gunanya ada polisi?!"
   
“Karena Senpai bisa mendapatkan gitar itu, Nao pastinya sangat mudah baginya.
+
"Kalau gitar itu saja bisa senpai dapatkan, sudah pasti Nao adalah hal mudah baginya."
   
Jadi maksudmu aku bahkan tidak berharga satu juta yen?
+
Jadi maksudnya, aku tidak lebih berharga dari satu juta yen, begitu?
   
“Berada dalam satu klub dengan orang seperti itu aku benar-benar tidak memahami apa yang ada dalam pikiranmu.
+
"Bisa satu klub dengan orang macam begitu aku benar-benar tak paham jalan pikiranmu."
   
“Tapi Kagurazaka-senpai sangat keren!
+
"Tapi Kagurazaka-senpai itu sangat keren!"
   
Hmm...... dia mungkin kelihatan keren kalau aku melihatnya dari jarak dua kilometer.
+
Hmm... ia mungkin kelihatan keren kalau kulihat dari jarak dua kilometer.
   
  +
"Menikahi senpai bukanlah hal yang buruk, 'kan?"
“Tidak buruk menikahi Senpai, kan?”
 
   
“Baiklah, silahkan! Tapi karena Jepang tidak mengakui pernikahan sesama jenis, pergi menikahlah di Kanada! Tahu kan, Kanada! Dan jangan pernah kembali lagi!
+
"Terserah kau saja! Tapi karena Jepang tak mengakui pernikahan sesama jenis, menikah di Kanada saja sana! Betul, Kanada!" Dan jangan pernah kembali lagi!
   
“Tapi baik Senpai dan aku tidak bisa memasak. Kenapa Nao tidak ikut saja?
+
"Tapi baik senpai maupun aku sama-sama tidak bisa memasak. Kenapa Nao tak ikut kami saja?"
   
  +
"Kenapa aku harus ikut segala?!"
“Gak ada hubungannya denganku!”
 
 
Saat aku mengatakannya pada Chiaki, pintu belakang ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bell persiapan cuma kebetulan berbunyi di saat yang sama, seolah mengingatkan semuanya dimana mereka berada di ruang kelas. Dia melihatku dari ujung matanya, lalu duduk di kursinya dalam diam. Tepat saat itu, aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang kelas.
 
   
  +
Saat mengatakan itu pada Chiaki, pintu belakang ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bel persiapan kebetulan berbunyi di saat bersamaan, seolah mengingatkan semua anak bahwa mereka masih di ruang kelas. Gadis itu melirikku dari samping, lalu duduk di kursinya tanpa bersuara. Pada saat bersamaan, aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang kelas.
   
 
Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.
 
Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.
   
“Ada apa denganmu? Chiaki mengejarku.
+
"Kau ini kenapa?" Tanya Chiaki sambil mengejarku.
   
“Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku.
+
"Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku."
   
“Aku dengar dari Senpai...... kalau kau dikalahkan Ebisawa?
+
"Aku dengar dari senpai... kalau kau dikalahkan Ebisawa, ya?"
   
Aku menghentikan langkahku. Bell yang menunjukkan kelas di mulai berbunyi, dan murid-murid yang berkumpul di koridor ditelan oleh ruang kelas mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di sana cuma Chiaki dan aku.
+
Aku menghentikan langkahku. Bel dimulainya jam pelajaran pun berbunyi, dan murid-murid yang berkumpul di koridor serasa ditelan oleh ruang kelas mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di sini cuma Chiaki dan aku.
   
“Kau tidak bisa menyebutnya sebagai kekalahan.”
+
"Kau tak bisa langsung menganggap itu sebagai kekalahan.”
   
“Bukankah dia mengatakan kalau...... mereka yang tidak memainkan alat musik tidak diperbolehkan mendekati ruang kelas itu...... dan kemudian kamu melarikan diri?
+
"Bukankah ia bilang kalau... mereka yang tak bisa memainkan alat musik tidak diperbolehkan mendekati ruang kelas itu... makanya kau melarikan diri. 'kan?"
   
“Kalau kau berfikir bisa memancingku dengan mengatakan hal semacam itu, kau salah besar! Jangan meremehkan kurangnya motivasiku! Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku, mau tidak mau aku mengasihani diriku sendiri.
+
"Kalau kaupikir bisa memprovokasiku dengan ucapan semacam itu, kau salah besar! Jangan meremehkan kurangnya motivasiku!" Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku, mau tak mau aku jadi mengasihani diri sendiri.
   
“Nao bisa bermain gitar kan?
+
"Nao tahu caranya bermain gitar, 'kan?"
   
“Kau tidak bisa menganggapnya ‘bisa bermain gitar’. Dan yang lebih penting lagi...... aku sudah membuang gitar yang dulu kugunakan, jadi sekarang aku tidak memiliki gitar apapun.
+
"Ini tak ada hubungannya dengan tahu atau tidaknya cara bermain gitar." Dan yang lebih penting lagi... aku sudah membuang gitar yang dulu kugunakan, jadi untuk saat ini aku sama sekali tidak memiliki gitar.
   
“Tidak apa-apa kalau kau mau berlaih dari awal lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kau bisa memintanya mengajarimu.
+
"Tidak apa-apa kalau kau mau berlaih dari awal lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kau bisa memintanya mengajarimu."
   
“Kalau memang begitu, kenapa kau tidak meminta Senpai mengundang langsung Ebisawa ke band? Dia tahu kalau Ebisawa sangat ahli dengan gitar, dan ingin sekalian mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub kan?
+
"Kalau memang begitu, kenapa tak kauminta saja senpai agar langsung mengajak Ebisawa bergabung ke ''band''? Padahal ia tahu kalau Ebisawa sangat ahli dalam memainkan gitar, dan ingin sekalian mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub, ya 'kan?"
   
Aku tidak berfikir hal itu berhubungan denganku sedikitpun! Aku cuma berharap mereka bisa meninggalkanku sendiri.
+
Aku sama sekali tak merasa kalau hal itu ada hubungannya denganku! Aku cuma berharap mereka tidak menggangguku lagi.
   
Chiaki tiba-tiba membisu...... sial, wajahnya menunjukkan kalau dia hampir menangis dan ingin menghajarku di saat yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?
+
Chiaki tiba-tiba membisu... sial, kelihatannya ia hampir mau menangis dan ingin menghajarku di saat yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?
   
...... Apa kau tahu kenapa Senpai mengajakmu bergabung? Apa kau benar-benar berfikir kalau kau cuma barang tambahan sesudah Ebisawa?
+
"...apa kau tahu alasan senpai mengajakmu bergabung? Apa kau benar-benar berpikir kalau kau cuma barang pelengkap setelah mendapatkan Ebisawa?"
   
Kata-kata Chiaki terdengar seolah dia memaksanya keluar dari dalam mulutnya.
+
Kata-kata Chiaki terdengar seolah ia memaksa itu keluar dari dalam mulutnya.
   
...... Aku. Tidak. Tahu!
+
"...aku... tidak... tahu!"
   
 
Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah. Punggungku membentur dinding koridor.
 
Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah. Punggungku membentur dinding koridor.
   
“Nao, kau idiot! Dipemakamanmu, aku akan mengatakan ‘Hidup Nao sangat membosankan’!
+
"Nao, kau benar-benar bodoh! Di pemakamanmu nanti, aku akan bilang, ''Hidup Nao sangat membosankan''!"
   
Sesudah mengatakan hal itu, Chiaki berlari kembali ke ruang kelas.
+
Ucap Chiaki sambil berlari kembali ke ruang kelas.
   
Aku berjalan ke toilet dengan hati yang berat, dan duduk di atas penutup toilet. Apa maksudnya itu!
+
Dengan berat hati aku berjalan masuk ke toilet, lalu duduk di atas penutup toilet. Apa-apaan yang barusan itu?!
   
Pasti hebat kalau aku tahu bagaimana cara bermain gitar, tapi...... kalau saja aku bisa mendapatkan motivasi di dalam diriku setelah mendengarkan Mafuyu bermain gitar. Aku duduk di atas penutup toilet dengan kedua tangan memeluk lututku, dan suara bell terdengar. Aku tidak bergerak sedikitpun...... ini adalah pertama kalinya aku bolos pelajaran...... dan sekarang baru satu bulan sejak sekolah dimulai bukannya terlalu awal ya? Ini adalah langkah paling awalku menuju jalan menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!
+
Bakal bagus sekali kalau aku tahu caranya bermain gitar, tapi... itupun jika aku bisa mendapat motivasi diri setelah mendengar Mafuyu bermain gitar. Aku duduk di atas penutup toilet sambil merangkul lututku dengan kedua tangan. Suara bel pun terdengar. Aku tidak bergerak sedikitpun.... ini adalah pertama kalinya aku membolos pelajaran... dan itu baru satu bulan sejak dimulainya tahun ajaran baru bukankah itu terlalu dini? Ini langkah paling awalku menuju jalan menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
   
  +
Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam kedua. Aku adalah jenis orang yang suka menyerah di tengah jalan, aku pun tak punya keberanian untuk pergi ke pusat permainan. Terlebih, jam ketiga dan keempat adalah Olahraga — sungguh menakutkan jika berhadapan dengan gurunya kalau aku membolos.
   
  +
Di separuh waktu istirahat makan siang, aku berjalan menuju ruang musik lama sambil berpikir kalau ada baiknya jika kuambil semua barang milikku dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa mendengar suara gitar; seolah suara itu mengaduk-aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat istirahat juga? Cih, kupikir sebaiknya aku datang lain kali saja. Tepat saat akan kembali ke kelas, pandanganku tertarik oleh sesuatu yang diletakkan di samping pintu ruangan. Itu... kantung sampah yang berisi sampah yang tak bisa dibakar. Kira-kira isi di dalamnya itu apa, ya?
Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam kedua. Aku adalah orang yang menyerah di tengah jalan dalam hal apapun, dan aku tidak punya keberanian untuk melangkah ke arcade. Terlebih, jam ke tiga dan ke empat adalah olahraga – gurunya akan jadi mengerikan kalau aku membolos dikelasnya.
 
   
  +
Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip ke dalam; kemarahan meledak dalam diriku. Di dalam kantung itu terdapat banyak CD — The Beatles, The Doors, Jimi Hendrix, The Clash — yang kesemuanya adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu berbuat begini! Kudobrak pintu itu dengan paksa dan menghempaskannya. Suara gitar mulai menghujam telingaku, namun sesegeranya menghilang.
Di separuh waktu istirahat makan siang, aku berjalan menuju ruang musik lama, berfikir kalau aku sebaiknya mengambil semua barang milikku dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa mendengar suara gitar, dan seolah suara itu mengaduk-aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat istirahat juga? Haah, aku berpikir kalau aku sebaiknya datang lain kali saja. Saat aku akan kembali ke kelas, pandanganku tertarik oleh sesuatu yang ditaruh di samping pintu ruang itu. Itu adalah...... kantung samapah yang berisi sampah yang tidak bisa dibakar. Sebenarnya apa itu?
 
   
  +
"...sudah kubilang, jangan masuk seenaknya!"
Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip ke dalam, kemarahan meledak dalam diriku. Dalam kantung itu terdapat banyak CD – The Beatles; The Doors; Jimi Hendrix; The Clash – semuanya adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu melakukan hal ini! Aku mendorong terbuka pintu itu dengan paksa, dan membantingnya terbuka. Suara gitar itu mulai menyerangku, namun ia lalu berhenti dengan segera.
 
   
  +
Mafuyu duduk di bantal di atas meja sambil memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat mengatakan hal itu, tapi aku belum mau mundur.
“...... Bukankah aku sudah bilang, jangan masuk seenaknya!”
 
   
  +
Aku mengangkat kantung sampah itu dan dengan marah memprotesnya. "Apa yang kaulakukan?"
Mafuyu duduk di bantal di meja dan memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat dia berdiri mengatakan hal itu, tapi aku belum mau mundur.
 
   
  +
"Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku mengeluarkannya dari ruangan."
Aku mengangkat kantung sampah itu dan memprotes dengan marah,”Apa yang kau lakukan?”
 
   
  +
"Kau pikir kumpulan CD ini milik siapa?"
“Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku mengeluarkannya dari ruangan.”
 
   
  +
"Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!"
“Kau pikir CD ini milik siapa?”
 
 
“Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!”
 
   
 
Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya. Apa maksudnya itu!
 
Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya. Apa maksudnya itu!
   
“Oi, karena kau bermain gitar, seharusnya kau menghargai perintis-perintis besar dari genre rock! Dan kau seharusnya menghargai barang pribadiku juga!
+
"Oi, karena kau bermain gitar, seharusnya kau menghargai para perintis besar genre ''rock''!" Dan ia seharusnya menghargai barang pribadiku juga!
   
“Aku tidak mendengarkan rock atau apalah, ataupun tahu sesuatu mengenainya. Barang-barang ini mengganggu pemandangan dan memakan tempat, jadi cepat bawa pergi sana!
+
"Aku tidak mendengarkan musik rock atau apalah itu namanya. Aku juga tak tahu apa-apa mengenai musik itu. Yang pasti barang-barang itu mengganggu pemandangan dan memakan tempat. Jadi cepat bawa pergi sana!"
   
Mafuyu mendorongku yang masih terkejut keluar dari ruangan dan menutup pintu. Apa yang terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Piano Sonata No. 12 di A-flat Major> Beethoven. Lagu pemakaman lagi!? Dia sengaja kan!? Saat itu, sebuat melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku Aku mengabaikan lagu pemakaman itu utuk sesaat dan memusatkan pikiranku..... Chuck Berry!
+
Mafuyu lalu mendorong diriku yang masih terkejut ini agar keluar dari ruangan dan menutup pintu. Yang terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Piano Sonata No. 12 di A♭ mayor> Beethoven. Lagu pemakaman lagi?! Ia sengaja, ya?! Saat itu, sebuat melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku untuk sesaat kuabaikan lagu pemakaman tadi dan memusatkan pikiranku... Chuck Berry!
   
 
<Roll over Beethoven>.
 
<Roll over Beethoven>.
   
Dia berani mengatakan kalau ia memakan tempat? Tapi dia tidak pernah mendengarkan satupun sebelumnya! Aku sudah mengabiskan separuh kehidupanku yang membosankan untuk mendengarkan musik rock, tapi dia kemudian meremehkannya? Pada awalnya aku ingin memukul pintu ruang kelas itu dengan palu karena frustasi, tapi pada akhirnya aku merubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.
+
Berani sekali ia mengatakan kalau kumpulan CD itu memakan tempat. Padahal ia tak pernah mendengarkan CD-CD itu sebelumnya! Sudah kuhabiskan separuh kehidupanku yang membosankan untuk mendengarkan musik ''rock'', tapi ia justru meremehkannya? Awalnya aku ingin memukul pintu ruangan itu dengan palu karena frustasi, tapi akhirnya aku pun mengubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.
   
  +
Kupeluk kantung sampah itu sambil berjalan kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD-CD itu di mejaku satu demi satu, aku mulai memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu... meski tentu saja, aku tidak benar-benar berpikir untuk memukulnya. Para anak lelaki dari kelasku pun berdatangan. "CD sebanyak ini mau kaujadikan dagangan, ya?" "Wah, semuanya musik barat." Aku tidak memedulikan mereka meski mereka mengatakan berbagai macam hal.
   
  +
Apa yang harus kulakukan...? Bagaimana cara memberinya pelajaran? Baiklah, akan kutunjukkan betapa hebatnya musik rock. Tapi, aku tak bisa begitu saja memberi CD secara paksa padanya, jadi—
Aku memeluk kantung sampah itu sambil berjalan kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD itu di mejaku satu per satu, aku mulai memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu...... meski tentu saja, aku tidak benar-benar berfikir untuk memukulnya. Cowok-cowok dari kelasku berdatangan: “Kau mau berdagang dengan CD-CD ini?” “Semuanya musik barat.” Aku tidak memperhatikan mereka meski mereka mengatakan berbagai macam hal.
 
   
  +
Akhirnya kutemukan juga album Chuck Berry dari tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD tadi pada ''discman''-ku, lalu kupasang ''earphone'' ke telingaku.
Apa yang harus kulakukan......? bagaimana caranya memberinya pelajaran? Baiklah, aku sebaiknya membiarkannya melihat kehebatan musik rock. Tapi, aku tidak bisa sekedar memberi CD padanya secara paksa, jadi—
 
   
  +
Jam pelajaran siang hari itu pun kuhabiskan dengan mendengarkan lagu-lagunya.
Aku akhirnya menemukan album Chuck Berry dari tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD itu pada discman ku, aku memasang earphone di telingaku.
 
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
Pelajaran sore hari itu kuhabiskan untuk mendengarkan lagu-lagunya.
 
   
  +
Aku bergegas ke rumah sepulangnya sekolah, tapi karena lupa membuka pintu pelan-pelan, alhasil, CD-CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah longsor. Kutumpuk baik-baik serakan CD itu kembali, lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor. Dari ruang tamu terdengar komposisi gubahan Bruckner.
   
  +
"Tetsurou, ada yang mau kubicarakan denganmu!"
Aku berlari cepat ke rumah seusai sekolah, tapi aku lupa membuka pintu dengan lembut, dan karenanya CD-CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah longsor. Aku menumpuk CD-CD itu kembali dengan baik, lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor. Dari ruang tamu terdengar hasil-hasil karya Bruckner.
 
   
  +
Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan beliau sedang mengetik artikel dengan kecepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi hantaman keras pada ''keyboard''-nya — laptop itu sebentar lagi pasti rusak.
“Tetsurou, aku mau membicarakan sesuatu denganmu!”
 
   
  +
Dari speaker terdengar suara gebukan ''timpani'', dan Tetsurou mengetik pada ''keyboard'' sambil mengeluarkan bunyi *darararara* bersamaan dengan tempo musik yang terdengar — sepertinya beliau tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karena itu, tanpa basa-basi kumatikan musiknya. Tersurou melorot turun dari sofa.
Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan dia sedang mengetik artikel dengan cepat. Dia memukul keyboard dengan keras – laptop itu sebentar lagi pasti rusak.
 
   
  +
"Apa yang kaulakukan, Nak? Hal yang paling membuat Ayah jengkel adalah saat simfoni terpotong di bagian ketiga — bukankah sudah pernah Ayah bilang sebelumnya?"
Dari speaker terdengar ketukan timpani, dan Tetsurou mengetik di keyboard dengan <nowiki>*</nowiki>darararara* bersamaan dengan tempo musik - sepertinya dia tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karenannya, aku mematikan musik itu tanpa basa-basi. Tersurou melorot turun dari sofa.
 
   
  +
"Sebagai pria paruh baya yang sudah terpotong di bagian ketiga kehidupannya, apa kaupikir pantas berbicara begitu?"
“Putraku, apa yang kau lakukan? Hal yang paling membuatku jengkel adalah saat simponi terpotong di gerakan ke tiga – bukankah aku sudah bilang sebelumnya?”
 
   
  +
"Wah, Nao-kun, dari mana kau memelajari balasan sekasar itu? Ayah jadi sedih..." Itu dari kritik-kritik pedasnya sendiri!
“Sebagai seorang pria paruh baya yang gerakan ketiga dalam hidupnya terganggu, apa kau pikir punya hak untuk berbicara semacam itu?” <--! I need to fix this !-->
 
   
  +
"Baiklah, sesekali harusnya kau mendengar apa yang kukatakan, paham? Berhenti tiduran di sana, duduk yang baik — jangan bersimpuh di atas laptop! Apa kau mau kalau itu sampai rusak?"
“Whoa, Nao kecilku, dimana kau belajar membalas dengan kotor seperti itu? Ayah merasa sangat sedih......” Aku membacanya dari kritik-kritikmu!
 
   
  +
Seusai erangan marah dan serangkaian omelan, akhirnya aku berhasil membuat Tetsurou duduk di posisi di mana beliau bisa mendengarkanku.
“Baiklah, kau harusnya sesekali mendengarkan apa yang kukatakan, oke? Berhenti tiduran di sana, duduk dengan baik— jangan duduk seiza di atas laptop! Apa kau mau merusaknya?”
 
   
  +
"Apa ada yang ingin kaudiskusikan dengan Ayah?"
Seusai jeritan marah dan serangkaian omelan, aku akhirnya berhasil membuat Tetsurou duduk di posisi di mana dia bisa mendengarkanku.
 
   
  +
"Ya. Aku mau mengadakan rapat keluarga."
“Apa kau ingin mendiskusikan sesuatu denganku?”
 
   
  +
"Ada apa? Sekarang Ayah sedang tak punya keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis seperti Chiaki, mungkin Ayah akan pertimbangkan."
“Yup. Aku meminta rapat keluarga.”
 
   
  +
"Berhenti berkhayal, dasar kriminal! Takkan lagi ada perempuan yang tertarik menikah denganmu! Dan bukan itu yang mau kudiskusikan!"
“Ada apa? Sekarang aku tidak sedang memiliki keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis seperti Chiaki, aku mungkin akan mempertimbangkannya.”
 
   
  +
"Kalau begitu, apa yang mau kaubeli?"
“Berhenti berkhayal, kriminal! Tidak akan ada orang kedua di dunia ini yang tertarik menikahimu! Dan yang ingin kudiskusikan juga bukan mengenai hal itu!”
 
   
  +
Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat karena kaget.
“Apa yang ingin kau beli kalau begitu?”
 
   
  +
"Kau ingin sesuatu, 'kan?"
Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat karena keterkejutan.
 
   
  +
"Eng... iya."
“Ada yang kau inginkan kan?”
 
 
“Urm...... yeah.”
 
   
 
Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.
 
Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.
   
Pada dasarnya akulah yang bertanggung jawab dengan keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti aku bisa menggunakannya seenakku. Aku harus mengadakan rapat keluarga kalau aku ingin membeli sesuatu yang mahal.
+
Pada dasarnya, akulah yang bertanggung jawab terhadap keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti aku bisa menggunakannya sesukaku. Aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang mahal.
   
“Aku...... ingin sebuah gitar.
+
"Aku... ingin sebuah gitar."
   
“Bukannya ada satu di rumah?
+
"Bukannya sudah ada satu di rumah?"
   
“Kau merusaknya saat kau mengayunkannya dalam pertandingan baseball! Gak ingat!?”
+
"Sudah kaurusak saat mengayunkannya sewaktu menonton pertandingan bisbol dulu! Apa kaulupa?!
   
Untuk orang seperti dia yang tidak menghargai alat msuik, apa dia masih memenuhi syarat sebagai kritikus musik......?
+
Apa orang seperti beliau yang tidak menghargai alat musik ini, masih layak menjadi kritikus musik...?
   
...... Kau melakukannya untuk seorang gadis?
+
"...apa ini demi seorang gadis?"
   
Tetsurou menanyakan hal itu dengan tiba-tiba.
+
Tiba-tiba Tetsurou menanyakan hal itu.
   
“Eh? A-apa?
+
"Eh? A-apa?"
   
“Cuma ada satu alasan bagi seorang cowok tiba-tiba menginginkan gitar. Agar mereka bisa populer dengan para gadis!”
+
"Hanya ada satu alasan bagi seorang lelaki jika tiba-tiba menginginkan sebuah gitar. Supaya mereka bisa populer di kalangan para gadis!”
   
“Omong kosong macam apa itu? Meminta maaflah pada semua gitaris di seluruh dunia sekarang!
+
"Omong kosong macam apa itu? Minta maaf sana pada semua gitaris di seluruh dunia!"
   
“Aku akan menolaknya kalau kau tidak mengakuinya dengan jujur. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Kenapa dia begitu menjengkelkan!?
+
"Ayah akan menolaknya kalau tidak kauakui dengan jujur." Aku tak bisa berkata apa-apa. Kenapa sikapnya begitu menjengkelkan?!
   
“Memangnya kau pikir harga gitar berapa? Setidaknya lima puluh sampai enam puluh ribu yen<ref>5-6 juta</ref> kalau kau mau yang cukup pantas kan? Kau cuma punya sekitar dua puluh ribu yen yang bisa kau gunakan semaumu, benar kan?
+
"Memangnya kau pikir berapa harga sebuah gitar? Untuk gitar yang biasa, bisa lima puluh sampai enam puluh ribu yen, 'kan? Sedangkan dari dana yang bisa kaugunakan sesukamu, kau hanya punya sekitar dua puluh ribu yen, ya 'kan?"
   
“Kenapa kau tahu persis mengenai hal semacam ini?
+
"Kenapa kau sampai tahu persis mengenai hal ini?"
   
Aku merengut, dan menenggelamkan diriku di sofa.
+
Aku merengut dan menenggelamkan diriku di sofa.
   
“Kenapa kau tidak mencari uang sendiri! Cukup tulis beberapa artikel untukku.
+
"Kenapa kau tidak mencari uang sendiri! Cukup tulis beberapa artikel saja buat Ayah."
   
Tetsurou mendorong laptop di meja ke arahku.
+
Tetsurou mendorong laptopnya yang ada di meja ke arahku.
   
“Tidak...... aku tidak mau melakukannya lagi. Aku mendorong balik laptop itu. Aku pernah membantu Tetsurou dengan sebagian artikelnya saat hampir deadline. Pada awalnya kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak SMP diterbitkan di majalah musik resmi, aku tidak hampir menyangka kalau editor benar-benar menggunakannya. Mungkin karena Tetsurou mengeditnya sedikit atau semacamnya? Ngomong-ngomong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu, artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari artikel-artikel itu.
+
"Tidak... aku tak mau melakukannya lagi." Kudorong kembali laptop itu. Aku pernah membantu Tetsurou untuk beberapa artikelnya sewaktu beliau sudah mendekati tenggat waktu. Awalnya kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak SMP bakal diterbitkan di majalah musik resmi, tapi sedikit tak kusangka, ternyata editor benar-benar menggunakannya. Apa mungkin Tetsurou sudah sedikit menyuntingnya atau semacam itu? Omong-omong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu, artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari artikel-artikel itu.
   
Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou mengatakan kalau tigapuluh persen adalah milikku, sementara tujuhpuluh persen akan digunakan dalam pengeluaran keluarga. Aku pernah mencoba memprotes sekali dengan berkata, “Kenapa aku tidak bisa menggunakan semua uang yang kuhasilkan?”, dan dia menjawabnya dengan, “Karena aku juga begitu! Aku tidak bisa membalas jawaban itu. Sebagai hasilnya, aku harus mengadakan rapat keluarga kalau aku ingin membeli sesuatu yang lebih dari budgetku.
+
Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou bilang kalau tigapuluh persen adalah milikku, sementara tujuhpuluh persen akan digunakan untuk kebutuhan keluarga. Pernah kucoba sesekali memprotes dengan berkata, "Kenapa aku tak bisa memakai semua uang penghasilanku?" Dan dia menjawabnya dengan, "Karena Ayah pun begitu!" Aku tak bisa membalas jawaban itu. Alhasil, aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang melebihi anggaranku.
   
Dengan kata lain, aku tidak perlu megadakan rapat keluarga seperti ini kalau aku menulis artikel lebih banyak di bawah nama Tetsurou. Tapi kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan majalah musik yang tidak sekalipun menyadari kalau mereka menerbitkan artikel yang ditulis oleh anak SMP......? Dan juga, aku ingin membeli gitar itu sekarang agar aku bisa berlatih dengannya, tapi butuh setidaknya dua bulan sebelum aku bisa menerima royalti dari artikel ku.
+
Akan tetapi, aku tak perlu mengadakan rapat keluarga seperti ini kalau aku kembali menulis artikel atas nama Tetsurou. Kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan majalah musik yang sama sekali tak sadar kalau sudah menerbitkan artikel yang ditulis oleh anak SMP...? Tapi andai aku menulisnya pun, butuh waktu dua bulan agar bisa menerima royalti; dan aku ingin sesegera mungkin membeli gitar itu supaya bisa latihan.
   
“Respon dari artikel yang kau tulis cukup bagus. Kau memang mewarisi kemampuanku hebat sekali! Kebetulan aku baru bisa menulis dua baris sejak pagi ini, jadi tolong bantu sedikit!
+
"Tanggapan-tanggapan dari artikel yang kautulis cukup bagus. Kau memang mewarisi keahlianku hebat sekali! Kebetulan sejak pagi tadi Ayah baru bisa menulis dua baris saja, jadi tolong bantulah sedikit!"
   
Tolong jangan mengatakan hal semacam mewarisi kemampuanmu. Aku tidak akan pernah membantumu menulis artikel lagi!
+
Kuharap beliau berhenti mengatakan hal semacam mewarisi ''keahlian'' begitu. Aku takkan pernah mau bantu menulis artikel lagi!
   
“Kalau kau tidak mau membantu, kau harus mengakui kalau kau ingin membeli gitar agar kau bisa populer diantara para gadis! Kalau tidak, aku tidak akan setuju kau membelinya.
+
"Kalau kau tak mau bantu, berarti harus kauakui kalau kau ingin membeli gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis! Kalau tidak, Ayah takkan menyetujuinya."
   
“Kenapa kau begitu keras kepala mengenai hal itu!
+
"Kenapa kau begitu keras kepala soal itu!"
   
“Karena kau pernah berlatih bermain gitar sekali, tapi menyerah segera setelahnya.
+
"Karena dulu kau sempat berlatih bermain gitar, tapi langsung berhenti begitu saja."
   
Aku memeluk bantal, dan terdiam. Tetsurou selalu tepat sasaran sesekali diantara lelucon-leluconnya kurasa itu adalah kebiasaannya yang sangat buruk.
+
Aku memeluk bantal dan terdiam. Ucapan Tetsurou terkadang selalu tepat sasaran, bahkan di antara lelucon-leluconnya kurasa itu pasti kebiasaan paling buruk miliknya.
   
“Memang benar, tapi......”
+
"Memang benar, tapi..."
   
“Itulah kenapa, kalau seorang cowok melakukan sesuatu karena dia ingin populer dengan para gadis, maka tidak akan ada masalah! Akui sajalah. Saat ini, kau harus punya ketetapan hati seperti bila kau menyerah ditengah jalan, kau tidak akan mendapatkan pacar hidupmu!
+
"Itu sebabnya, jika seorang lelaki melakukan itu karena ingin populer di kalangan para gadis, maka bukanlah masalah! Akui saja. Soalnya saat ini kau harus meyakinkan hatimu. Bila kau menyerah ditengah jalan, seumur hidup kau takkan punya pacar!"
   
Kata-kata itu terdengar bodoh, tapi juga terasa sangat meyakinkan. Aku memikirkan selama beberapa saat apa yang dikatakannya dalam diam.Untuk para gadis, huh semua ini memang pada awalnya dimulai Mafuyu, tapi lebih ke keadaan dimana aku ingin memberinya pelajaran......?
+
Kata-kata barusan terdengar konyol, tapi entah kenapa juga terasa begitu meyakinkan. Aku hening sejenak, merenungi yang baru saja dikatakannya. Demi gadis, ya semua ini awalnya memang gara-gara Mafuyu, tapi lebih pada alasan di mana aku ingin memberinya pelajaran...?
   
...... Baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa populer dengan para gadis. Cepat segera beri persetujuanmu!
+
"...baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis. Jadi, cepat setujui!"
   
“Whoa, sampai bisa mendengar kalimat bodoh seperti itu dari mulut Nao kecil – Ayah merasa sangat sedih~
+
"Wuaah, sampai bisa mendengar kalimat konyol seperti itu dari mulut Nao-kun Ayah jadi sangat sedih~"
   
“Tetsurou, kau tidak punya hak mengatakan hal semacam itu!
+
"Tetsurou, kau tak pantas mengatakan itu!"
   
Aku marah dan melempar bantal itu ke Tetsurou, tapi dia tidak tanpa kuduga mengambil laptop dan menggunakannya sebagai perisai dari seranganku.
+
Aku marah dan melemparkan bantal ke Tetsurou, tapi tak kusangka beliau mengambil laptop dan menggunakannya sebagai tameng seranganku.
   
“Cuma bercanda! Ingatlah untuk menulis namaku saat kau membayar, kalau tidak mereka tidak bisa meminta bayarannya padaku.
+
"Cuma bercanda! Jangan lupa pakai namaku saat membayar, kalau tidak, mereka tak bisa meminta bayarannya padaku."
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
   
Kemarahanku menghilang setelah aku melempar koran-koran dan pisang yang telah dimakan separuh pada Tetsurou. Aku kembali ke kamarku, dan menata pikiranku sambil tiduran di kasur.
+
Kemarahanku mereda setelah aku melempar koran-koran dan pisang yang separuh dimakan ke arah Tetsurou. Aku kembali ke kamarku dan merenung sambil tiduran di kasur.
   
Aku tidak pernah punya alat musik yang pantas sebelumnya. Mereka memang menampilkan beberapa gitar di toko CD musik, tapi aku tidak berniat mendapatkan yang setengah-setengah dari mereka. Akan tetapi, terasa tidak nyaman kalau kau ingin aku dengan sengaja mencari toko alat musik di jalanan. Juga, kalau bia, aku ingin mendapatkan gitar yang lebih murah.
+
Sebelum ini aku memang tak pernah punya alat musik yang cukup layak digunakan. Toko CD musik pun sebenarnya juga memajang beberapa gitar, tapi aku tidak berniat mendapatkan barang yang kurang meyakinkan. Meski begitu, rasanya tidak nyaman jika aku mencari toko alat musik di jalanan dengan sungguh-sungguh begini. Kalau bisa, aku ingin mencari gitar yang harganya murah.
   
Setelah berfikir mengenai hal itu selama beberapa saat, teleponku berbunyi menunjukkan nomor telepon Chiaki. Kalau aku berbicara dengannya mengenai keinginanku membeli gitar, dia pasti akan membuatku bergabung di klub rakyat-apalah itu, jadi aku akan melewatinya hal itu untuk sekarang.
+
Setelah merenunginya beberapa saat, teleponku berbunyi ternyata nomor Chiaki. Kalau aku berbicara dengannya soal keinginanku membeli gitar, ia pasti akan membuatku bergabung ke Klub Riset-Was-Wes-Wos itu, jadi untuk saat ini aku tak akan membahasnya.
   
“—Nao? Sekarang masih terlalu awal bagimu untuk di rumah, pengecut.
+
"—Nao? Jam sebegini masih terlalu cepat untukmu berada di rumah, dasar pengecut."
   
“Kenapa kau menyebutnya pengecut? Oh iya, ada hal...... yang ingin kuminta bantuan darimu.
+
"Apa hubungannya? Oh, iya, ada hal... yang ingin kuminta bantuan darimu."
   
“Sebuah permintaan? Ada apa? Aku bisa mendengarkan, tapi bayaranku untuk membantumu adalah kau akan bergabung dengan klub kami.
+
"Bantuan? Memangnya ada apa? Akan kudengarkan, tapi sebagai gantinya kau akan bergabung dengan klub kami."
   
“Gak akan. Dengar, apa kau tahu toko alat musik yang cukup bagus?
+
"Tidak akan. Begini, apa kau tahu toko alat musik yang cukup bagus?"
   
“Toko alat musik? Kenapa?
+
"Toko alat musik? Kenapa?"
   
“Untuk membeli alat musik lah. Aku mau membeli gitar.
+
"Untuk membeli alat musik, lah. Aku mau membeli gitar."
   
Aku sedikit menyesalinya, tapi aku tetap mengatakan padanya alasanku. Sudah kuduga, dia ingin tahu penyebabnya,
+
Aku jadi sedikit menyesal, tapi tetap saja kukatakan alasanku padanya. Sudah kuduga, ia begitu ingin tahu penyebabnya.
   
“Kenapa, kenapa? Apa kau memimpikan seseorang? Eric Clapton?
+
"Kenapa, kenapa? Apa kau memimpikan seseorang? Eric Clapton?"
   
Aku bukan kamu! Dan juga, Clapton masih hidup!
+
Aku tak sama dengannya! Dan juga, Clapton masih hidup!
   
“Mungkinkah...... hal yang dikatakan Ebisawa padamu?”
+
"Jangan-jangan... ini soal ucapan Ebisawa padamu tempo hari, ya?”
   
Aku tidak bisa berkata-kata selama beberapa saat.
+
Sejenak aku tak bisa berkata apa-apa.
   
  +
"Ah! Kok diam? Benar, ya~"
“Ah! Terdiam. Aku benar~”
 
   
  +
"...bukan begi—"
“...... Bukan begi—“
 
   
“Ehh, Nao dan Ebisawa—“
+
"Ehh, Nao dan Ebisawa—"
   
Kmi berdua menelan lagi apa yang ingin kami katakan ditengah kalimat hampir disaat bersamaan. Kesunyian sejenak mengikutinya. Aku bisa mendengar pengumuman kedatangan kereta dari teleponnya dia mungkin menelepon dari stasiun saat dia mau pulang atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata,
+
Kami berdua kembali menelan perkataan kami di tengah-tengah kalimat pada saat bersamaan. Kesunyian sejenak mengikutinya. Bisa kudengar pengumuman kedatangan kereta dari teleponnya apa mungkin ia menelepon dari stasiun selagi dalam perjalanan pulang atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata.
   
“Baiklah, karena aku akan pulang sekarang, gimana kalau pergi bersama?
+
"Baiklah, mumpung sekarang aku dalam perjalanan pulang, bagaimana kalau pergi bareng?"
   
“Urm...... kau tidak harus ikut. Katakan saja tempatnya, dan aku akan ke sana sendiri.
+
"Eng... kau tak harus ikut. Katakan saja tempatnya, biar aku ke sana sendiri."
   
“Ah, tidak apa-apa. Aku pelanggan reguler di sana, jadi akan lebih murah kalau kita pergi bersama.
+
"Ah, tidak apa-apa. Aku sudah jadi pelanggan di sana, jadi akan lebih murah kalau kita bareng-bareng ke sana."
   
“Terimakasih, tapi......”
+
"Terima kasih, tapi..."
   
“Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi di stasiun.
+
"Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi di stasiun."
   
Dia menutup teleponnya sebelum aku sempat mengatakan apa yang kupikirkan. Untuk suatu alasan, suaranya terdengar sedikit parau. Aku merasa sedikit tidak nyaman, tapi aku tetap mengeluarkan limapuluh ribu yen dari amplop yang berisi uang untuk pengeluaran keluarga dan memasukkannya dalam dompetku, sebelum berjalan keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, aku menaruh tanganku di daerah dimana jantungku berada, dan memastikannya sekali lagi......
+
Ia menutup teleponnya sebelum aku sempat mengutarakan pikiranku. Entah kenapa, suaranya terdengar sedikit parau. Aku jadi sedikit tidak nyaman, tapi aku tetap mengambil lima puluh ribu yen dari amplop yang berisi uang untuk kebutuhan keluarga dan memasukkannya dalam dompetku sebelum berjalan keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, kuletakkan tangan ini di dada dan memastikannya sekali lagi...
   
Masih panas. Ini bukan keinginan sesaat.
+
Masih panas. Ini bukan sekadar keinginan sesaat.
   
  +
<span style="font-size: 200%; border: "><center>♪</center></span>
   
Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki tunjukkan padaku, Kau harus keluar dari pintu masuk utara dari stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung. Sesudah berjalan menuruni tangga, toko itu terletak di kanan persimpangan jalanan pertokoan dan daerah tempat tinggal yang sedikit sepi. Ia diapit tepat di tengah dua bangunan besar terlihat seperti punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama bertuliskan ‘Toko Alat Musik Nagashima’ terpasang di atas pintu masuk. Toko itu sedikit sempit, dan di sana ada gitar-gitar yang dipampang di dua sisi dinding dari lantai sampai ke atap yang membuat toko ini sedikit mengintimidasi. Musik yang diputar di toko itu adalah heavy metal dari Eropa Utara, yang menambah aura intimidasinya.
+
Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki tunjukkan padaku, kita harus keluar dari pintu masuk utara stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung. Setelah berjalan menuruni tangga, toko tersebut terletak tepat di persimpangan jalanan pertokoan dan daerah pemukiman yang cukup sepi. Toko itu diapit di antara dua bangunan besar dan agak terlihat seperti punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama bertuliskan '''Toko Alat Musik Nagashima''' terpasang di atas pintu masuk. Toko itu memang sedikit sempit, tapi temboknya didekorasi dengan gitar-gitar di kedua sisi, mulai dari lantai dasar hingga atap yang membuat toko ini terlihat cukup mengintimidasi. Musik yang diputar di toko tersebut biasanya bergenre heavy metal dari Eropa Utara, yang menambah aura intimidasinya.
   
Chiaki mengatakan padaku sebelum memasukki toko,”Aku pelanggan reguler di sini, jadi kalau kau pintar menawar, kau pasti mendapatkan harga murah dan memuaskan. Tapi aku tidak punya pengalaman dalam hal tawar menawar sih, jadi aku tidak merasa terlalu percaya diri dalam hal ini.
+
Chiaki berkata padaku sebelum memasuki toko, "Aku pelanggan di toko ini, jadi kalau kau pintar menawar, kau pasti mendapatkan harga murah dan memuaskan." Aku sendiri tak punya pengalaman dalam hal tawar menawar, jadi aku tak merasa terlalu percaya diri mengenai hal tersebut.
   
“Tapi, kenapa kau memutuskan bermain gitar lagi? Kau masih sangat tidak termotivasi pagi ini.
+
"Tapi, kenapa kau mau bermain gitar lagi? Padahal tadi pagi kau masih tampak tak bersemangat."
   
Dia masih bertanya pada akhirnya.
+
Ujung-ujungnya ia tetap bertanya.
   
“Hmm—aku cuma tiba-tiba merasa ingin bermain gitar.
+
"Hmm— tiba-tiba saja aku merasa ingin bermain gitar."
   
“Apa kau pikir aku baru bertemu denganmu kemarin? Kau bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba semacam ini, tapi...... terserahlah. Hello~
+
"Kau pikir aku baru mengenalmu kemarin? Kau bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba begini, tapi... terserahlah. Halo~"
   
Chiaki menggenggam tanganku dan berjalan menuju toko. Bahkan lantainya pun dipenuhi gitar-gitar yang di sandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan melewati gitar-gitar itu dan berjalan ke dalam. Akhirnya, aku sampai ke konter di antara tumpukan CD dan lembaran musikuntuk suatu alasan aneh, aku merasakan perasaan nostalgia.
+
Chiaki menggandeng tanganku lalu berjalan masuk ke toko. Bahkan di lantai dasar pun dipenuhi gitar-gitar yang disandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan melewati gitar-gitar itu dan berjalan masuk. Akhirnya, kami pun sampai di loket di antara tumpukan CD dan lembaran partiturentah kenapa, perasaan nostalgia menghinggapiku.
   
“Apa pemilik tokonya ada?
+
"Apa manajer tokonya ada?"
   
Saat Chiaki mengatakan hal itu, seorang pria berjalan keluar dari pintu di belakang konter. Rambut berantakannya di sisir sepintas ke belakang. Seharusnya dia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat sedikit menyedihkan seolah dia adalah kentang yang ditinggalkan setelah tiga minggu diambil dari ladang.
+
Saat Chiaki mengatakannya, seorang pria berjalan keluar dari pintu belakang loket. Rambut berantakannya disisir begitu saja ke belakang. Padahal ia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat cukup menyedihkan bagaikan kentang yang ditelantarkan selama tiga minggu setelah diunduh dari ladang.
   
“Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang......”
+
"Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang..."
   
“Yah maaf, tapi dia pelanggan biasa. Dia mau membeli gitar.
+
"Yah, maaf, tapi anak ini cuma pengunjung biasa. Ia mau membeli gitar."
   
Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan pemilik toko, seseorang muncul dari dari pintu di belakang konter.
+
Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan pemilik toko, seseorang muncul dari pintu belakang loket.
   
“Pemilik toko! Senar yang ada di stok tidak ada yang cocok— mmm?
+
"Pak Manajer! Senar-senar yang ada di stok sama sekali tidak sesuai— hmm?"
   
“Eh? Senpai hari ini jaga?
+
"Eh? Hari ini Senpai kerja?"
   
Aku yang berada di antara Chiaki dan konter terkejut. Kagurazaka-senpai mengenakan apron berwarna hijau dengan logo toko tercetak di sana, dan ditangannya dia memegang buku catatan. Bagaimana? Kenapa dia ada di sini?
+
Aku tercengang selagi berdiri di antara Chiaki dan loket. Kagurazaka-senpai mengenakan celemek kerja berwarna hijau dengan logo toko tercetak di sana dan ditangannya dia memegang buku catatan. Bagaimana bisa? Kenapa ia ada di sini?
   
“Ah, Saudaraku Aihara. Kami sedang mengecek persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba ada kekurangan sumber daya manusia. Ngomong-ngomong, kita bertemu lagi, anak muda. Manis sekali. Cepat buat keputusan dan bergabung dengan klub, oke?
+
"Ah, rekanku Aihara. Kami sedang mengecek persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba kami kekurangan tenaga bantu. Omong-omong, kita bertemu lagi, Shounen. Bagus sekali. Cepat buat keputusan dan bergabunglah ke klub, oke?"
   
“Urm...... ah, tidak...... ugh, kenapa?
+
"Eng... ah, tidak... eh, kenapa?"
   
Hal itu mengingatkanku, Chiaki pernah mengatakan padaku kalau Senpai bekerja di toko musik untuk mendapatkan gitarnya...... Jadi dia membicarakan mengenai tempat ini? Aku seharusnya memikirkan mengenai hal itu di awal...... Sial, aku kena! Ini konspirasi!
+
Aku jadi ingat kalau Chiaki pernah bercerita padaku kalau senpai bekerja di toko musik supaya bisa memperoleh gitar... jadi tempat ini yang ia maksud? Harusnya dari awal aku sudah tahu... sial, aku terpedaya! Ini konspirasi!
   
“Silahkan nikmati waktumu! Ini adalah tokoku, jadi kau tidak perlu sungkan-sungkan.
+
"Tak usah tergesa-gesa! Ini tokoku, jadi tak perlu sungkan."
   
“Urm, ini tokoku.....” Pemilik toko itu memprotes lemah.
+
"Eng... ini tokoku..." Sedikit protes dari manajer toko.
   
“Toko milikmu adalah toko milikku kan? Ngomong-ngomong, jumlah senar untuk Martin Extra di stok tidak cocok sama sekali. Apa kau menaruhnya di tempat lain?
+
"Toko milik Manajer, toko milikku juga, 'kan? Omong-omong, jumlah senar untuk Martin Extra di stok sama sekali tidak sesuai. Apa Manajer menaruhnya di tempat lain?"
   
“Ah, tidak, mengenai itu...... Aku tidak tahu kalau direktur tidak ada!
+
"Ah, tidak, mengenai itu... aku tak tahu kalau supervisornya sedang tidak ada!"
   
  +
"Manajer, kau memang tak bisa diandalkan..."
“Pemilik toko, kau benar-benar tidak berguna......”
 
   
Pemilik toko itu terlihat seperti akan menangis.
+
Manajer toko itu terlihat seperti akan menangis.
   
“Tidak ada hal yang bisa kulakukan kalau begitu. Anak muda, aku punya waktu luang, jadi aku akan membantumu belanja. Apa yang kau butuhkan?
+
"Kalau begitu, apa boleh buat. Shounen, aku punya waktu luang, jadi akan kubantu kau dalam memilih. Apa yang kaubutuhkan?"
   
“Eh? Ye-yeah, aku tidak bermaksud membeli apapun. Aku mengarang kebohongan di tempat.
+
"Eh? Ya-yah, aku tidak ingin membeli apa-apa." Sesegera itu juga aku berbohong.
   
“Dia ingin membeli gitar. Apa yang kau sarankan, Senpai?
+
"Ia ingin membeli gitar. Apa saranmu, Senpai?"
   
Chiaki memotong. Tidak ada gunanya aku mencoba tetap berbohong.
+
Potong Chiaki. Meski tak ada gunanya aku mencoba tetap berbohong.
   
“Hmm. Berapa yang kaupunya, anak muda?
+
"Hmm. Berapa uang yang kaupunya, Shounen?"
   
  +
"Yah..."
“Yah......”
 
   
“Oh, ini cukup banyak! Sekitar limapuluh ribu yen.
+
"Oh, cukup banyak juga! Sekitar lima puluh ribu yen."
   
“Jangan mengambil dompetku tanpa permisi! Dan juga jangan melihat isinya!
+
"Jangan ambil dompetku seenakmu! Dan jangan seenakmu juga melihat isinya!"
   
Aku merebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.
+
Kurebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.
   
“Limapuluh, huh..... kau cuma bisa membeli barang murah di sini dengan uang sebanyak yang kaumiliki itu, tapi kau cuma akan membuang uang.
+
"Lima puluh ribu, ya... kau hanya bisa membeli barang murahan dengan uang sebanyak itu di toko ini, tapi uangmu itu akan terbuang percuma."
   
“Jangan berkata begitu......” pemilik toko itu merengut saat dia mengatakan hal itu. Aku tidak tahu siapa namanya, tapu aku mulai mengasihaninya.
+
"Jangan bilang begitu..." Jawab manajer toko sambil merengut. Aku memang tak tahu siapa namanya, tapi aku mulai mengasihaninya.
   
“Anak muda, bagaimana kalau begini? Kita akan bermain batu-kertas-gunting. Kalau kau menang, aku akan menjual sebuah gitar yang masih disimpan di gudang dan seharga seratus ribu, setengah harga. Kalau aku menang aku akan memilih sebuah gitar untukmu yang sesuai dengan anggaranmu. Bagaimana?
+
"Shounen, bagaimana kalau begini? Kita akan bermain jan-ken-pon. Kalau kau menang, akan kujual sebuah gitar seharga seratus ribu yang masih disimpan di gudang dengan separuh harga. Kalau aku yang menang, akan kupilihkan sebuah gitar yang sesuai dengan anggaranmu. Bagaimana?"
   
“Tunggu sebentar, Kyouko. Bagaimana bisa kau bersikap begitu kasar? Pemilik toko itu kebingungan.
+
"Tunggu sebentar, Kyouko-chan. Kenapa kau sampai bisa sekasar itu?" Manajer toko itu kebingungan.
   
“Kau bilang setengah harga, huh...... tapi apa tidak apa-apa?
+
"Kau bilang setengah harga, ya... memangnya tak apa-apa?"
   
“Tidak perlu khawatir. Tertulis dengan jelas di bagian pertama Das Kapital: orang-orang menjual tenaga bekerja mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi keinginan pribadi mereka akan pembeli, namun untuk memperbesar modal pembeli.
+
"Jangan khawatir. Tertulis dengan jelas pada bab pertama Das Kapital: ''Orang-orang menjual tenaga fisik mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sang pembeli, namun untuk memperbesar modal pembeli''."
   
“Aku tidak paham......”
+
"Aku tidak begitu paham..."
   
“Sederhananya, hampir semua alat musik di sini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami masih akan untung meski aku menjualnya setengah harga.
+
"Sederhananya, hampir semua alat musik di toko ini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami masih akan untung meski aku menjualnya separuh harga."
   
“Kyouko......” pemilik toko itu hampir menangis.
+
"Kyouko-chan..." Manajer toko itu hampir menangis.
   
“Pemilik toko terlalu menyebalkan, jadi ayo kita mainkan permainan kita di luar. Anak muda, apa kau ingin menerima tantanganku atau tidak?
+
"Manajer toko ini mengganggu sekali. ''Jan-ken-pon''-nya kita mainkan di luar saja, yuk. Shounen, Kau jadi terima tantanganku, tidak?"
   
 
Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan menarikku keluar toko.
 
Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan menarikku keluar toko.
   
Meski sangat menyedihkan bagi pemilik toko, apa yang dikatakan Kagurazaka-senpai cukup masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, karena aku tidak akan kehilangan apapun.
+
Meski sangat menyedihkan bagi si manajer toko, tapi yang dikatakan Kagurazaka-senpai tadi cukup masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk jadi kenyataan, soalnya aku tidak dirugikan sedikit pun.
   
“Kalau harga dari menjual gitar dengan murah adalah aku harus bergabung dengan klub, maka aku akan pulang.
+
"Kalau harga dari menjual murah sebuah gitar adalah aku harus bergabung dengan klub, lebih baik aku pulang saja."
   
“Tidak perlu bagiku membuat kondisi semacam itu kan? Lagipula, aku tidak berfikir akan pernah kalah dari pecundang dari lahir sepertimu. Sial, dia benar-benar blak-blakan.
+
"Tak perlu bagiku sampai memberi syarat segala, kau tahu? Lagi pula, tak pernah terpikir olehku bakal kalah dari pecundang sejak lahir sepertimu." Sial, ia benar-benar blakblakan.
   
“Baiklah, aku mengerti. Kau akan menjual gitar yang pantas padaku tidak peduli hasilnya kan? Kau tidak akan memberiku barang cacat atau semacamnya?
+
"Baiklah, aku mengerti. Kau akan menjual gitar yang pantas padaku tidak peduli hasilnya, 'kan? Kau takkan memberiku barang cacat atau semacamnya, 'kan?"
   
“Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan reputasi toko ini!
+
"Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan reputasi toko ini!"
   
  +
"Yah... baiklah."
“Ok......Baiklah.”
 
   
“Siap? Aku akan memberimu bantuan.
+
"Siap? Aku akan sedikit mengalah padamu."
   
Kagurazaka-senpai menunjukkan senyum puas, dan menunjukkan sesuatu yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Itu adalah... pick gitar. Eh? Telunjuk dan jari tengah?
+
Kagurazaka-senpai sekilas tersenyum puas dan menunjukkan sesuatu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Itu adalah... ''pick'' gitar. Eh? Telunjuk dan jari tengah?
   
Itu rtinya dia tidak akan mengeluarkan gunting? Tidak tunggu...... apa itu jebakan? Dia mengecohku agar aku jatuh dalam jebakan? “Batu--kertas--gunting! Bersamaan dengan suara Senpai, aku mengeluarkan batu dengan segera.
+
Itu artinya ia tidak akan mengeluarkan ''ken''? Eh, tunggu... apa itu jebakan? Ia mengecohku agar aku jatuh dalam jebakan? "Jan—ken—pon!" Bersamaan dengan suara senpai, aku langsung mengeluarkan ''jan''.
   
Jari-jari senpai terbuka membentuk kertas pick itu jatuh ke tanah dari tangannya.
+
Jari-jari senpai terbuka membentuk ''pon'' ''pick''-nya terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.
   
......Anak muda, kau orang yang cukup jujur.
+
"...Shounen, kau orang yang cukup jujur."
   
Dia menepuk kepalaku dengan lembut. Licik! Sebenarnya, daripada mengatakan kalau senpai licik, haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena dengan mudah terjebak perangkapnya? Saat senpai menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya, aku bisa melihat pemilik toko di belakangnya menghembuskan nafas lega.
+
Ia mengelus kepalaku dengan lembut. Licik! Sebenarnya, ketimbang menuduh senpai licik, haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena mudah terjebak perangkapnya? Sewaktu senpai menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya, bisa kulihat manajer toko menghela napas lega di belakangnya.
   
“Baiklah kalau begitu...... aku akan pergi ke gudang untuk menemukan pilihan terbauk yang cocok dengan anggaranmu.
+
"Baiklah kalau begitu... aku akan pergi ke gudang untuk mencari gitar yang sesuai dengan anggaranmu."
   
Aku menenangkan diriku sendiri sedikit, dan berjongkok di tempat. Chiaki datang ke sampingku dan berkata,
+
Aku sedikit menenangkan diri dan berjongkok di tempat. Chiaki mendekat ke sampingku dan berkata.
   
“Nao sangat lemah ya.
+
"Nao lemah sekali, ya."
   
  +
"Berisik..."
“Berisik......”
 
   
“Kau kalah di saat kau menerima tantangannya.
+
"Kau sudah kalah duluan saat menerima tantangan senpai tadi."
   
Aku menganggkat kepalaku, dan sesudah melihat Senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari gudang, aku akhirnya mengerti apa yang dimaksud Chiaki.
+
Aku mengangkat kepalaku, dan setelah melihat senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari gudang, akhirnya aku mengerti yang dimaksud Chiaki.
   
“Ini adalah Aria Pro II seharga limapuluh empat ribudan enam ratus yen, termasuk pajak. Yah, tepat limapuluh ribu kalau aku membulatkannya kebawah untukmu.
+
"Ini Aria Pro II seharga lima puluh empat ribu enam ratus yen, sudah termasuk pajak. Yah, untuk pembulatan, kuberi harga lima puluh ribu saja."
   
“Urm...... cuma ada empat senar?
+
"Eng... senarnya kok cuma empat?"
   
“Hmm? Apa kau tidak tahu? Ini adalah bass. Ia memiliki dua senar lebih sedikit dari gitar biasa, dan pitch nya lebih rendah satu oktaf.
+
"Hmm? Masa kau tidak tahu? Ini bas. Senar bas lebih sedikit dari gitar biasa, dan nadanya lebih rendah satu oktaf."
   
“Tidak, aku tahu hal itu. Tapi kenapa kau menjual bass padaku?
+
"Bukan, aku sudah tahu itu. Maksudku, kenapa kau malah menjual bas padaku?"
   
 
Aku ke sini untuk membeli gitar!
 
Aku ke sini untuk membeli gitar!
   
“Bass termasuk keluarga gitar kan?
+
"Bas termasuk keluarga gitar, 'kan?"
   
“Urm, yah, tapi—“
+
"Eng... yah, tapi—"
   
Chiaki meletakkan tangannya di pundakku dan berkata,
+
Chiaki meletakkan tangannya di bahuku dan berkata.
   
“Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan bassist itulah kenapa. Kau paham sekarang?
+
"Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan pemain bas itu alasannya. Kau paham sekarang?"
   
Butuh waktu dua detik bagiku untuk memahaminya, sebelum aku menyadari dalam keterkejutan aku sudah jatuh dalam perangkapnya. Motif gadis itu sejak awal adalah untuk bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, dan karenanya dia menjanjikanku kalau aku akan mendapatkan gitar tidak perduli hasilnya. Orang yang tidak menyadari rencananya...... adalah aku.
+
Butuh waktu dua detik bagiku untuk paham, sebelum aku terkejut menyadarinya aku sudah jatuh dalam perangkapnya. Sejak awal, niat gadis itu adalah supaya bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, itu sebabnya ia menjanjikan kalau aku akan mendapatkan gitar tak peduli apa hasilnya. Orang yang tidak menyadari rencananya... hanyalah diriku seorang.
   
“Tu-tunggu......”
+
"Tung-tunggu..."
   
“Aku tidak tertarik dengan kata-kata pecundang. Butuh nota?
+
"Aku tak tertarik mendengar kata-kata dari pecundang. Butuh nota?"
   
Kagurazaka-senpai menunjukkan senyum sekilas saat mengatakan hal itu. Jadi dia sebenarnya punya sisi imut juga—
+
Ucap Kagurazaka-senpai sambil sekilas tersenyum. Ternyata ia juga punya sisi manis—
   
“Aku tidak pernah berfikir memainkan bass......
+
"Aku tak pernah berpikir ingin memainkan bas..."
   
“Yah, kau tidak benar-benar paham cara bermain gitar pada umumnya kan?
+
"Yah, kau juga tak begitu bisa menguasai dasar-dasar bermain gitar, 'kan?"
   
Protes lemahku dengan segera ditolak oleh Senpai.
+
Protes lemahku segera ditolak senpai.
   
“Dan juga, kau ingin menantang Ebisawa Mafuyu dengan gitar kan?
+
"Lagi pula, kau ingin menantang Ebisawa Mafuyu dengan gitar, 'kan?"
   
  +
"Uh..."
“Ugh......”
 
   
  +
Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata apa-apa.
Aku tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.
 
   
“Gadis itu bisa memainkan Chopin dan Liszt cuma dengan satu gitar. Anak muda, dilihat dari kemampuanmu sekarang, tidak ada kesempatan bagimu untuk menang dengan gitar!
+
"Gadis itu bisa memainkan gubahan Chopin dan Liszt hanya dengan sebuah gitar. Shounen, dilihat dari kemampuanmu sekarang, tak ada kesempatan bagimu untuk menang dengan gitar!"
   
Aku tidak benar-benar bermaksud menantangnya atau semacamnya cuma—
+
Bukan berarti aku bermaksud menantangnya atau semacam itu, hanya saja—
   
“Akan tetapi, kau bisa menang kalau kau menggunakan bass.
+
"Akan tetapi, kau bisa menang kalau menggunakan bas."
   
Kagurazaka-senpai mendorong bass berat itu ke tanganku—
+
Kagurazaka-senpai menyodorkan bas berat itu ke tanganku—
   
  +
"Akan kumenangkan kau."
“Aku akan membuatmu menang.”
 
   
   
  +
<noinclude>
==Catatan Penerjemah==
 
  +
  +
===Catatan Penerjemah===
  +
 
<references/>
 
<references/>
  +
  +
{| border="1" cellpadding="5" cellspacing="0" style="margin: 1em 1em 1em 0; background: #f9f9f9; border: 1px #aaaaaa solid; padding: 0.2em; border-collapse: collapse;"
  +
|-
  +
| '''Mundur ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 5|Bab 5]]
  +
| '''Kembali ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia)|Halaman Utama]]
  +
| '''Lanjut ke''' [[Sayonara Piano Sonata (Indonesia):Jilid 1 Bab 7|Bab 7]]
  +
|-
  +
|}
  +
</noinclude>

Revision as of 10:05, 9 August 2014

Pemakaman, Rapat, Dana

"Jadi katamu, kau berpapasan dengan Kagurazaka-senpai?"

Di pagi yang baru, di dalam ruang kelas, Chiaki memandang wajahku sambil menanyakan hal itu.

"Begitu, deh." Jawabku dengan nada kesal. "Meski rasanya lebih tepat kalau dia yang menungguku daripada dibilang berpapasan."

"Terus... kau jadi bergabung dengan klub?"

"Kenapa kaupikir aku mau bergabung?!"

"Karena senpai itu... orang yang pasti akan mendapatkan apa saja yang diinginkannya.”

Kagurazaka-senpai mengatakan hal yang sama menakutkannya padaku sewaktu di lapangan kemarin. Di depan ruang latihan, sambil jarinya menunjuk padaku, ia berkata, Kalau itu memang sesuatu yang kuinginkan, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkannya, baik dengan cara jujur ataupun curang. Tak peduli apa itu Ebisawa Mafuyu, ruangan ini, ataupun dirimu.

Sesudah ia mengatakan hal itu padaku, barisan sonata lagu berkabung gubahan Chopin terdengar dari ruang latihan, dan kebetulan berada tepat pada bagian akhir di mana angin topan mengamuk di pemakaman — untuk sesaat, aku merasa seperti akan mati.

Berhenti mengingatkanku akan hal-hal menakutkan! Meski sudah berusaha melupakannya, Chiaki justru membuat ingatan-ingatan itu kembali menyeruak di pikiranku.

"Aku pernah dengar... kalau ia dulu sangat menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta yen. Karena itu ia bekerja di toko musik yang menjual gitar tersebut, dan ia pun berhasil mengetahui kelemahan... eh, berteman dekat dengan manajer toko, hingga akhirnya ia bisa memperoleh gitar itu secara gratis."

"Terus apa gunanya ada polisi?!"

"Kalau gitar itu saja bisa senpai dapatkan, sudah pasti Nao adalah hal mudah baginya."

Jadi maksudnya, aku tidak lebih berharga dari satu juta yen, begitu?

"Bisa satu klub dengan orang macam begitu — aku benar-benar tak paham jalan pikiranmu."

"Tapi Kagurazaka-senpai itu sangat keren!"

Hmm... ia mungkin kelihatan keren kalau kulihat dari jarak dua kilometer.

"Menikahi senpai bukanlah hal yang buruk, 'kan?"

"Terserah kau saja! Tapi karena Jepang tak mengakui pernikahan sesama jenis, menikah di Kanada saja sana! Betul, Kanada!" Dan jangan pernah kembali lagi!

"Tapi baik senpai maupun aku sama-sama tidak bisa memasak. Kenapa Nao tak ikut kami saja?"

"Kenapa aku harus ikut segala?!"

Saat mengatakan itu pada Chiaki, pintu belakang ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bel persiapan kebetulan berbunyi di saat bersamaan, seolah mengingatkan semua anak bahwa mereka masih di ruang kelas. Gadis itu melirikku dari samping, lalu duduk di kursinya tanpa bersuara. Pada saat bersamaan, aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang kelas.

Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.

"Kau ini kenapa?" Tanya Chiaki sambil mengejarku.

"Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku."

"Aku dengar dari senpai... kalau kau dikalahkan Ebisawa, ya?"

Aku menghentikan langkahku. Bel dimulainya jam pelajaran pun berbunyi, dan murid-murid yang berkumpul di koridor serasa ditelan oleh ruang kelas mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di sini cuma Chiaki dan aku.

"Kau tak bisa langsung menganggap itu sebagai kekalahan.”

"Bukankah ia bilang kalau... mereka yang tak bisa memainkan alat musik tidak diperbolehkan mendekati ruang kelas itu... makanya kau melarikan diri. 'kan?"

"Kalau kaupikir bisa memprovokasiku dengan ucapan semacam itu, kau salah besar! Jangan meremehkan kurangnya motivasiku!" Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku, mau tak mau aku jadi mengasihani diri sendiri.

"Nao tahu caranya bermain gitar, 'kan?"

"Ini tak ada hubungannya dengan tahu atau tidaknya cara bermain gitar." Dan yang lebih penting lagi... aku sudah membuang gitar yang dulu kugunakan, jadi untuk saat ini aku sama sekali tidak memiliki gitar.

"Tidak apa-apa kalau kau mau berlaih dari awal lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kau bisa memintanya mengajarimu."

"Kalau memang begitu, kenapa tak kauminta saja senpai agar langsung mengajak Ebisawa bergabung ke band? Padahal ia tahu kalau Ebisawa sangat ahli dalam memainkan gitar, dan ingin sekalian mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub, ya 'kan?"

Aku sama sekali tak merasa kalau hal itu ada hubungannya denganku! Aku cuma berharap mereka tidak menggangguku lagi.

Chiaki tiba-tiba membisu... sial, kelihatannya ia hampir mau menangis dan ingin menghajarku di saat yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?

"...apa kau tahu alasan senpai mengajakmu bergabung? Apa kau benar-benar berpikir kalau kau cuma barang pelengkap setelah mendapatkan Ebisawa?"

Kata-kata Chiaki terdengar seolah ia memaksa itu keluar dari dalam mulutnya.

"...aku... tidak... tahu!"

Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah. Punggungku membentur dinding koridor.

"Nao, kau benar-benar bodoh! Di pemakamanmu nanti, aku akan bilang, Hidup Nao sangat membosankan!"

Ucap Chiaki sambil berlari kembali ke ruang kelas.

Dengan berat hati aku berjalan masuk ke toilet, lalu duduk di atas penutup toilet. Apa-apaan yang barusan itu?!

Bakal bagus sekali kalau aku tahu caranya bermain gitar, tapi... itupun jika aku bisa mendapat motivasi diri setelah mendengar Mafuyu bermain gitar. Aku duduk di atas penutup toilet sambil merangkul lututku dengan kedua tangan. Suara bel pun terdengar. Aku tidak bergerak sedikitpun.... ini adalah pertama kalinya aku membolos pelajaran... dan itu baru satu bulan sejak dimulainya tahun ajaran baru — bukankah itu terlalu dini? Ini langkah paling awalku menuju jalan menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!

Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam kedua. Aku adalah jenis orang yang suka menyerah di tengah jalan, aku pun tak punya keberanian untuk pergi ke pusat permainan. Terlebih, jam ketiga dan keempat adalah Olahraga — sungguh menakutkan jika berhadapan dengan gurunya kalau aku membolos.

Di separuh waktu istirahat makan siang, aku berjalan menuju ruang musik lama sambil berpikir kalau ada baiknya jika kuambil semua barang milikku dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa mendengar suara gitar; seolah suara itu mengaduk-aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat istirahat juga? Cih, kupikir sebaiknya aku datang lain kali saja. Tepat saat akan kembali ke kelas, pandanganku tertarik oleh sesuatu yang diletakkan di samping pintu ruangan. Itu... kantung sampah yang berisi sampah yang tak bisa dibakar. Kira-kira isi di dalamnya itu apa, ya?

Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip ke dalam; kemarahan meledak dalam diriku. Di dalam kantung itu terdapat banyak CD — The Beatles, The Doors, Jimi Hendrix, The Clash — yang kesemuanya adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu berbuat begini! Kudobrak pintu itu dengan paksa dan menghempaskannya. Suara gitar mulai menghujam telingaku, namun sesegeranya menghilang.

"...sudah kubilang, jangan masuk seenaknya!"

Mafuyu duduk di bantal di atas meja sambil memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat mengatakan hal itu, tapi aku belum mau mundur.

Aku mengangkat kantung sampah itu dan dengan marah memprotesnya. "Apa yang kaulakukan?"

"Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku mengeluarkannya dari ruangan."

"Kau pikir kumpulan CD ini milik siapa?"

"Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!"

Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya. Apa maksudnya itu!

"Oi, karena kau bermain gitar, seharusnya kau menghargai para perintis besar genre rock!" Dan ia seharusnya menghargai barang pribadiku juga!

"Aku tidak mendengarkan musik rock atau apalah itu namanya. Aku juga tak tahu apa-apa mengenai musik itu. Yang pasti barang-barang itu mengganggu pemandangan dan memakan tempat. Jadi cepat bawa pergi sana!"

Mafuyu lalu mendorong diriku yang masih terkejut ini agar keluar dari ruangan dan menutup pintu. Yang terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Piano Sonata No. 12 di A♭ mayor> Beethoven. Lagu pemakaman lagi?! Ia sengaja, ya?! Saat itu, sebuat melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku — untuk sesaat kuabaikan lagu pemakaman tadi dan memusatkan pikiranku... Chuck Berry!

<Roll over Beethoven>.

Berani sekali ia mengatakan kalau kumpulan CD itu memakan tempat. Padahal ia tak pernah mendengarkan CD-CD itu sebelumnya! Sudah kuhabiskan separuh kehidupanku yang membosankan untuk mendengarkan musik rock, tapi ia justru meremehkannya? Awalnya aku ingin memukul pintu ruangan itu dengan palu karena frustasi, tapi akhirnya aku pun mengubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.

Kupeluk kantung sampah itu sambil berjalan kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD-CD itu di mejaku satu demi satu, aku mulai memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu... meski tentu saja, aku tidak benar-benar berpikir untuk memukulnya. Para anak lelaki dari kelasku pun berdatangan. "CD sebanyak ini mau kaujadikan dagangan, ya?" "Wah, semuanya musik barat." Aku tidak memedulikan mereka meski mereka mengatakan berbagai macam hal.

Apa yang harus kulakukan...? Bagaimana cara memberinya pelajaran? Baiklah, akan kutunjukkan betapa hebatnya musik rock. Tapi, aku tak bisa begitu saja memberi CD secara paksa padanya, jadi—

Akhirnya kutemukan juga album Chuck Berry dari tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD tadi pada discman-ku, lalu kupasang earphone ke telingaku.

Jam pelajaran siang hari itu pun kuhabiskan dengan mendengarkan lagu-lagunya.

Aku bergegas ke rumah sepulangnya sekolah, tapi karena lupa membuka pintu pelan-pelan, alhasil, CD-CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah longsor. Kutumpuk baik-baik serakan CD itu kembali, lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor. Dari ruang tamu terdengar komposisi gubahan Bruckner.

"Tetsurou, ada yang mau kubicarakan denganmu!"

Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan beliau sedang mengetik artikel dengan kecepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi hantaman keras pada keyboard-nya — laptop itu sebentar lagi pasti rusak.

Dari speaker terdengar suara gebukan timpani, dan Tetsurou mengetik pada keyboard sambil mengeluarkan bunyi *darararara* bersamaan dengan tempo musik yang terdengar — sepertinya beliau tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karena itu, tanpa basa-basi kumatikan musiknya. Tersurou melorot turun dari sofa.

"Apa yang kaulakukan, Nak? Hal yang paling membuat Ayah jengkel adalah saat simfoni terpotong di bagian ketiga — bukankah sudah pernah Ayah bilang sebelumnya?"

"Sebagai pria paruh baya yang sudah terpotong di bagian ketiga kehidupannya, apa kaupikir pantas berbicara begitu?"

"Wah, Nao-kun, dari mana kau memelajari balasan sekasar itu? Ayah jadi sedih..." Itu dari kritik-kritik pedasnya sendiri!

"Baiklah, sesekali harusnya kau mendengar apa yang kukatakan, paham? Berhenti tiduran di sana, duduk yang baik — jangan bersimpuh di atas laptop! Apa kau mau kalau itu sampai rusak?"

Seusai erangan marah dan serangkaian omelan, akhirnya aku berhasil membuat Tetsurou duduk di posisi di mana beliau bisa mendengarkanku.

"Apa ada yang ingin kaudiskusikan dengan Ayah?"

"Ya. Aku mau mengadakan rapat keluarga."

"Ada apa? Sekarang Ayah sedang tak punya keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis seperti Chiaki, mungkin Ayah akan pertimbangkan."

"Berhenti berkhayal, dasar kriminal! Takkan lagi ada perempuan yang tertarik menikah denganmu! Dan bukan itu yang mau kudiskusikan!"

"Kalau begitu, apa yang mau kaubeli?"

Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat karena kaget.

"Kau ingin sesuatu, 'kan?"

"Eng... iya."

Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.

Pada dasarnya, akulah yang bertanggung jawab terhadap keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti aku bisa menggunakannya sesukaku. Aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang mahal.

"Aku... ingin sebuah gitar."

"Bukannya sudah ada satu di rumah?"

"Sudah kaurusak saat mengayunkannya sewaktu menonton pertandingan bisbol dulu! Apa kaulupa?!”

Apa orang seperti beliau yang tidak menghargai alat musik ini, masih layak menjadi kritikus musik...?

"...apa ini demi seorang gadis?"

Tiba-tiba Tetsurou menanyakan hal itu.

"Eh? A-apa?"

"Hanya ada satu alasan bagi seorang lelaki jika tiba-tiba menginginkan sebuah gitar. Supaya mereka bisa populer di kalangan para gadis!”

"Omong kosong macam apa itu? Minta maaf sana pada semua gitaris di seluruh dunia!"

"Ayah akan menolaknya kalau tidak kauakui dengan jujur." Aku tak bisa berkata apa-apa. Kenapa sikapnya begitu menjengkelkan?!

"Memangnya kau pikir berapa harga sebuah gitar? Untuk gitar yang biasa, bisa lima puluh sampai enam puluh ribu yen, 'kan? Sedangkan dari dana yang bisa kaugunakan sesukamu, kau hanya punya sekitar dua puluh ribu yen, ya 'kan?"

"Kenapa kau sampai tahu persis mengenai hal ini?"

Aku merengut dan menenggelamkan diriku di sofa.

"Kenapa kau tidak mencari uang sendiri! Cukup tulis beberapa artikel saja buat Ayah."

Tetsurou mendorong laptopnya yang ada di meja ke arahku.

"Tidak... aku tak mau melakukannya lagi." Kudorong kembali laptop itu. Aku pernah membantu Tetsurou untuk beberapa artikelnya sewaktu beliau sudah mendekati tenggat waktu. Awalnya kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak SMP bakal diterbitkan di majalah musik resmi, tapi sedikit tak kusangka, ternyata editor benar-benar menggunakannya. Apa mungkin Tetsurou sudah sedikit menyuntingnya atau semacam itu? Omong-omong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu, artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari artikel-artikel itu.

Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou bilang kalau tigapuluh persen adalah milikku, sementara tujuhpuluh persen akan digunakan untuk kebutuhan keluarga. Pernah kucoba sesekali memprotes dengan berkata, "Kenapa aku tak bisa memakai semua uang penghasilanku?" Dan dia menjawabnya dengan, "Karena Ayah pun begitu!" Aku tak bisa membalas jawaban itu. Alhasil, aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang melebihi anggaranku.

Akan tetapi, aku tak perlu mengadakan rapat keluarga seperti ini kalau aku kembali menulis artikel atas nama Tetsurou. Kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan majalah musik yang sama sekali tak sadar kalau sudah menerbitkan artikel yang ditulis oleh anak SMP...? Tapi andai aku menulisnya pun, butuh waktu dua bulan agar bisa menerima royalti; dan aku ingin sesegera mungkin membeli gitar itu supaya bisa latihan.

"Tanggapan-tanggapan dari artikel yang kautulis cukup bagus. Kau memang mewarisi keahlianku — hebat sekali! Kebetulan sejak pagi tadi Ayah baru bisa menulis dua baris saja, jadi tolong bantulah sedikit!"

Kuharap beliau berhenti mengatakan hal semacam mewarisi keahlian begitu. Aku takkan pernah mau bantu menulis artikel lagi!

"Kalau kau tak mau bantu, berarti harus kauakui kalau kau ingin membeli gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis! Kalau tidak, Ayah takkan menyetujuinya."

"Kenapa kau begitu keras kepala soal itu!"

"Karena dulu kau sempat berlatih bermain gitar, tapi langsung berhenti begitu saja."

Aku memeluk bantal dan terdiam. Ucapan Tetsurou terkadang selalu tepat sasaran, bahkan di antara lelucon-leluconnya — kurasa itu pasti kebiasaan paling buruk miliknya.

"Memang benar, tapi..."

"Itu sebabnya, jika seorang lelaki melakukan itu karena ingin populer di kalangan para gadis, maka bukanlah masalah! Akui saja. Soalnya saat ini kau harus meyakinkan hatimu. Bila kau menyerah ditengah jalan, seumur hidup kau takkan punya pacar!"

Kata-kata barusan terdengar konyol, tapi entah kenapa juga terasa begitu meyakinkan. Aku hening sejenak, merenungi yang baru saja dikatakannya. Demi gadis, ya — semua ini awalnya memang gara-gara Mafuyu, tapi lebih pada alasan di mana aku ingin memberinya pelajaran...?

"...baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis. Jadi, cepat setujui!"

"Wuaah, sampai bisa mendengar kalimat konyol seperti itu dari mulut Nao-kun — Ayah jadi sangat sedih~"

"Tetsurou, kau tak pantas mengatakan itu!"

Aku marah dan melemparkan bantal ke Tetsurou, tapi tak kusangka beliau mengambil laptop dan menggunakannya sebagai tameng seranganku.

"Cuma bercanda! Jangan lupa pakai namaku saat membayar, kalau tidak, mereka tak bisa meminta bayarannya padaku."

Kemarahanku mereda setelah aku melempar koran-koran dan pisang yang separuh dimakan ke arah Tetsurou. Aku kembali ke kamarku dan merenung sambil tiduran di kasur.

Sebelum ini aku memang tak pernah punya alat musik yang cukup layak digunakan. Toko CD musik pun sebenarnya juga memajang beberapa gitar, tapi aku tidak berniat mendapatkan barang yang kurang meyakinkan. Meski begitu, rasanya tidak nyaman jika aku mencari toko alat musik di jalanan dengan sungguh-sungguh begini. Kalau bisa, aku ingin mencari gitar yang harganya murah.

Setelah merenunginya beberapa saat, teleponku berbunyi — ternyata nomor Chiaki. Kalau aku berbicara dengannya soal keinginanku membeli gitar, ia pasti akan membuatku bergabung ke Klub Riset-Was-Wes-Wos itu, jadi untuk saat ini aku tak akan membahasnya.

"—Nao? Jam sebegini masih terlalu cepat untukmu berada di rumah, dasar pengecut."

"Apa hubungannya? Oh, iya, ada hal... yang ingin kuminta bantuan darimu."

"Bantuan? Memangnya ada apa? Akan kudengarkan, tapi sebagai gantinya kau akan bergabung dengan klub kami."

"Tidak akan. Begini, apa kau tahu toko alat musik yang cukup bagus?"

"Toko alat musik? Kenapa?"

"Untuk membeli alat musik, lah. Aku mau membeli gitar."

Aku jadi sedikit menyesal, tapi tetap saja kukatakan alasanku padanya. Sudah kuduga, ia begitu ingin tahu penyebabnya.

"Kenapa, kenapa? Apa kau memimpikan seseorang? Eric Clapton?"

Aku tak sama dengannya! Dan juga, Clapton masih hidup!

"Jangan-jangan... ini soal ucapan Ebisawa padamu tempo hari, ya?”

Sejenak aku tak bisa berkata apa-apa.

"Ah! Kok diam? Benar, ya~"

"...bukan begi—"

"Ehh, Nao dan Ebisawa—"

Kami berdua kembali menelan perkataan kami di tengah-tengah kalimat pada saat bersamaan. Kesunyian sejenak mengikutinya. Bisa kudengar pengumuman kedatangan kereta dari teleponnya — apa mungkin ia menelepon dari stasiun selagi dalam perjalanan pulang atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata.

"Baiklah, mumpung sekarang aku dalam perjalanan pulang, bagaimana kalau pergi bareng?"

"Eng... kau tak harus ikut. Katakan saja tempatnya, biar aku ke sana sendiri."

"Ah, tidak apa-apa. Aku sudah jadi pelanggan di sana, jadi akan lebih murah kalau kita bareng-bareng ke sana."

"Terima kasih, tapi..."

"Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi di stasiun."

Ia menutup teleponnya sebelum aku sempat mengutarakan pikiranku. Entah kenapa, suaranya terdengar sedikit parau. Aku jadi sedikit tidak nyaman, tapi aku tetap mengambil lima puluh ribu yen dari amplop yang berisi uang untuk kebutuhan keluarga dan memasukkannya dalam dompetku sebelum berjalan keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, kuletakkan tangan ini di dada dan memastikannya sekali lagi...

Masih panas. Ini bukan sekadar keinginan sesaat.

Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki tunjukkan padaku, kita harus keluar dari pintu masuk utara stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung. Setelah berjalan menuruni tangga, toko tersebut terletak tepat di persimpangan jalanan pertokoan dan daerah pemukiman yang cukup sepi. Toko itu diapit di antara dua bangunan besar dan agak terlihat seperti punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama bertuliskan Toko Alat Musik Nagashima terpasang di atas pintu masuk. Toko itu memang sedikit sempit, tapi temboknya didekorasi dengan gitar-gitar di kedua sisi, mulai dari lantai dasar hingga atap — yang membuat toko ini terlihat cukup mengintimidasi. Musik yang diputar di toko tersebut biasanya bergenre heavy metal dari Eropa Utara, yang menambah aura intimidasinya.

Chiaki berkata padaku sebelum memasuki toko, "Aku pelanggan di toko ini, jadi kalau kau pintar menawar, kau pasti mendapatkan harga murah dan memuaskan." Aku sendiri tak punya pengalaman dalam hal tawar menawar, jadi aku tak merasa terlalu percaya diri mengenai hal tersebut.

"Tapi, kenapa kau mau bermain gitar lagi? Padahal tadi pagi kau masih tampak tak bersemangat."

Ujung-ujungnya ia tetap bertanya.

"Hmm— tiba-tiba saja aku merasa ingin bermain gitar."

"Kau pikir aku baru mengenalmu kemarin? Kau bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba begini, tapi... terserahlah. Halo~"

Chiaki menggandeng tanganku lalu berjalan masuk ke toko. Bahkan di lantai dasar pun dipenuhi gitar-gitar yang disandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan melewati gitar-gitar itu dan berjalan masuk. Akhirnya, kami pun sampai di loket di antara tumpukan CD dan lembaran partitur – entah kenapa, perasaan nostalgia menghinggapiku.

"Apa manajer tokonya ada?"

Saat Chiaki mengatakannya, seorang pria berjalan keluar dari pintu belakang loket. Rambut berantakannya disisir begitu saja ke belakang. Padahal ia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat cukup menyedihkan — bagaikan kentang yang ditelantarkan selama tiga minggu setelah diunduh dari ladang.

"Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang..."

"Yah, maaf, tapi anak ini cuma pengunjung biasa. Ia mau membeli gitar."

Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan pemilik toko, seseorang muncul dari pintu belakang loket.

"Pak Manajer! Senar-senar yang ada di stok sama sekali tidak sesuai— hmm?"

"Eh? Hari ini Senpai kerja?"

Aku tercengang selagi berdiri di antara Chiaki dan loket. Kagurazaka-senpai mengenakan celemek kerja berwarna hijau — dengan logo toko tercetak di sana — dan ditangannya dia memegang buku catatan. Bagaimana bisa? Kenapa ia ada di sini?

"Ah, rekanku Aihara. Kami sedang mengecek persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba kami kekurangan tenaga bantu. Omong-omong, kita bertemu lagi, Shounen. Bagus sekali. Cepat buat keputusan dan bergabunglah ke klub, oke?"

"Eng... ah, tidak... eh, kenapa?"

Aku jadi ingat kalau Chiaki pernah bercerita padaku kalau senpai bekerja di toko musik supaya bisa memperoleh gitar... jadi tempat ini yang ia maksud? Harusnya dari awal aku sudah tahu... sial, aku terpedaya! Ini konspirasi!

"Tak usah tergesa-gesa! Ini tokoku, jadi tak perlu sungkan."

"Eng... ini tokoku..." Sedikit protes dari manajer toko.

"Toko milik Manajer, toko milikku juga, 'kan? Omong-omong, jumlah senar untuk Martin Extra di stok sama sekali tidak sesuai. Apa Manajer menaruhnya di tempat lain?"

"Ah, tidak, mengenai itu... aku tak tahu kalau supervisornya sedang tidak ada!"

"Manajer, kau memang tak bisa diandalkan..."

Manajer toko itu terlihat seperti akan menangis.

"Kalau begitu, apa boleh buat. Shounen, aku punya waktu luang, jadi akan kubantu kau dalam memilih. Apa yang kaubutuhkan?"

"Eh? Ya-yah, aku tidak ingin membeli apa-apa." Sesegera itu juga aku berbohong.

"Ia ingin membeli gitar. Apa saranmu, Senpai?"

Potong Chiaki. Meski tak ada gunanya aku mencoba tetap berbohong.

"Hmm. Berapa uang yang kaupunya, Shounen?"

"Yah..."

"Oh, cukup banyak juga! Sekitar lima puluh ribu yen."

"Jangan ambil dompetku seenakmu! Dan jangan seenakmu juga melihat isinya!"

Kurebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.

"Lima puluh ribu, ya... kau hanya bisa membeli barang murahan dengan uang sebanyak itu di toko ini, tapi uangmu itu akan terbuang percuma."

"Jangan bilang begitu..." Jawab manajer toko sambil merengut. Aku memang tak tahu siapa namanya, tapi aku mulai mengasihaninya.

"Shounen, bagaimana kalau begini? Kita akan bermain jan-ken-pon. Kalau kau menang, akan kujual sebuah gitar seharga seratus ribu yang masih disimpan di gudang dengan separuh harga. Kalau aku yang menang, akan kupilihkan sebuah gitar yang sesuai dengan anggaranmu. Bagaimana?"

"Tunggu sebentar, Kyouko-chan. Kenapa kau sampai bisa sekasar itu?" Manajer toko itu kebingungan.

"Kau bilang setengah harga, ya... memangnya tak apa-apa?"

"Jangan khawatir. Tertulis dengan jelas pada bab pertama Das Kapital: Orang-orang menjual tenaga fisik mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sang pembeli, namun untuk memperbesar modal pembeli."

"Aku tidak begitu paham..."

"Sederhananya, hampir semua alat musik di toko ini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami masih akan untung meski aku menjualnya separuh harga."

"Kyouko-chan..." Manajer toko itu hampir menangis.

"Manajer toko ini mengganggu sekali. Jan-ken-pon-nya kita mainkan di luar saja, yuk. Shounen, Kau jadi terima tantanganku, tidak?"

Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan menarikku keluar toko.

Meski sangat menyedihkan bagi si manajer toko, tapi yang dikatakan Kagurazaka-senpai tadi cukup masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk jadi kenyataan, soalnya aku tidak dirugikan sedikit pun.

"Kalau harga dari menjual murah sebuah gitar adalah aku harus bergabung dengan klub, lebih baik aku pulang saja."

"Tak perlu bagiku sampai memberi syarat segala, kau tahu? Lagi pula, tak pernah terpikir olehku bakal kalah dari pecundang sejak lahir sepertimu." Sial, ia benar-benar blakblakan.

"Baiklah, aku mengerti. Kau akan menjual gitar yang pantas padaku tidak peduli hasilnya, 'kan? Kau takkan memberiku barang cacat atau semacamnya, 'kan?"

"Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan reputasi toko ini!"

"Yah... baiklah."

"Siap? Aku akan sedikit mengalah padamu."

Kagurazaka-senpai sekilas tersenyum puas dan menunjukkan sesuatu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Itu adalah... pick gitar. Eh? Telunjuk dan jari tengah?

Itu artinya ia tidak akan mengeluarkan ken? Eh, tunggu... apa itu jebakan? Ia mengecohku agar aku jatuh dalam jebakan? "Jan—ken—pon!" Bersamaan dengan suara senpai, aku langsung mengeluarkan jan.

Jari-jari senpai terbuka membentuk ponpick-nya terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.

"...Shounen, kau orang yang cukup jujur."

Ia mengelus kepalaku dengan lembut. Licik! Sebenarnya, ketimbang menuduh senpai licik, haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena mudah terjebak perangkapnya? Sewaktu senpai menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya, bisa kulihat manajer toko menghela napas lega di belakangnya.

"Baiklah kalau begitu... aku akan pergi ke gudang untuk mencari gitar yang sesuai dengan anggaranmu."

Aku sedikit menenangkan diri dan berjongkok di tempat. Chiaki mendekat ke sampingku dan berkata.

"Nao lemah sekali, ya."

"Berisik..."

"Kau sudah kalah duluan saat menerima tantangan senpai tadi."

Aku mengangkat kepalaku, dan setelah melihat senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari gudang, akhirnya aku mengerti yang dimaksud Chiaki.

"Ini Aria Pro II seharga lima puluh empat ribu enam ratus yen, sudah termasuk pajak. Yah, untuk pembulatan, kuberi harga lima puluh ribu saja."

"Eng... senarnya kok cuma empat?"

"Hmm? Masa kau tidak tahu? Ini bas. Senar bas lebih sedikit dari gitar biasa, dan nadanya lebih rendah satu oktaf."

"Bukan, aku sudah tahu itu. Maksudku, kenapa kau malah menjual bas padaku?"

Aku ke sini untuk membeli gitar!

"Bas termasuk keluarga gitar, 'kan?"

"Eng... yah, tapi—"

Chiaki meletakkan tangannya di bahuku dan berkata.

"Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan pemain bas — itu alasannya. Kau paham sekarang?"

Butuh waktu dua detik bagiku untuk paham, sebelum aku terkejut menyadarinya — aku sudah jatuh dalam perangkapnya. Sejak awal, niat gadis itu adalah supaya bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, itu sebabnya ia menjanjikan kalau aku akan mendapatkan gitar tak peduli apa hasilnya. Orang yang tidak menyadari rencananya... hanyalah diriku seorang.

"Tung-tunggu..."

"Aku tak tertarik mendengar kata-kata dari pecundang. Butuh nota?"

Ucap Kagurazaka-senpai sambil sekilas tersenyum. Ternyata ia juga punya sisi manis—

"Aku tak pernah berpikir ingin memainkan bas..."

"Yah, kau juga tak begitu bisa menguasai dasar-dasar bermain gitar, 'kan?"

Protes lemahku segera ditolak senpai.

"Lagi pula, kau ingin menantang Ebisawa Mafuyu dengan gitar, 'kan?"

"Uh..."

Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata apa-apa.

"Gadis itu bisa memainkan gubahan Chopin dan Liszt hanya dengan sebuah gitar. Shounen, dilihat dari kemampuanmu sekarang, tak ada kesempatan bagimu untuk menang dengan gitar!"

Bukan berarti aku bermaksud menantangnya atau semacam itu, hanya saja—

"Akan tetapi, kau bisa menang kalau menggunakan bas."

Kagurazaka-senpai menyodorkan bas berat itu ke tanganku—

"Akan kumenangkan kau."



Catatan Penerjemah


Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7