Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 1"
(Created page with "==Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar== Satu bagian ruang staf dibuat sebagai area penerima tamu. Sebuah sekat memisahkan sebuah dipan berkain kulit hitam...") |
|||
Line 1: | Line 1: | ||
==Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar== |
==Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar== |
||
− | Satu bagian |
+ | Satu bagian ruangan staf dibuat sebagai area penerima tamu. Sebuah sekat memisahkan sebuah dipan berkain kulit hitam dan sebuah meja tamu kaca dari bagian ruangan yang lain. Ada sebuah jendela tepat di dekatnya, yang dari sana dapat terlihat sebagian besar perpustakaan. |
− | Tiupan angin awal musim panas yang cerah datang dari jendela yang terbuka, dan selembar kertas menari-nari di udara. Pemandangan yang mengharukan itu mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan secarik kertas itu dengan mataku, ingin tahu bagaimana kertas itu jatuh |
+ | Tiupan angin awal musim panas yang cerah datang dari jendela yang terbuka, dan selembar kertas menari-nari di udara. Pemandangan yang mengharukan itu mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan secarik kertas itu dengan mataku, ingin tahu bagaimana kertas itu jatuh nantinya. Dengan lembut, sekarang. Seperti air mata yang mengalir, kertas itu melayang ke lantai. |
Dan kemudian - robek. Sebilah belati membobosnya seperti tombak. |
Dan kemudian - robek. Sebilah belati membobosnya seperti tombak. |
||
Line 11: | Line 11: | ||
Setelan cukup bergaya, tapi daya tarik mereka sering kali kurang. Pantyhose akan memenuhi tuntutan keseksiannya jika wanita itu memakai rok, tapi ketika kakinya ditutupi oleh setelan dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita sekurus tongkat dan tidak memiliki daya pemikat, maka tidak ada gunanya baginya memakai setelan dan celana panjang - dia malah hanya akan terlihat mengerikan. |
Setelan cukup bergaya, tapi daya tarik mereka sering kali kurang. Pantyhose akan memenuhi tuntutan keseksiannya jika wanita itu memakai rok, tapi ketika kakinya ditutupi oleh setelan dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita sekurus tongkat dan tidak memiliki daya pemikat, maka tidak ada gunanya baginya memakai setelan dan celana panjang - dia malah hanya akan terlihat mengerikan. |
||
− | Dan namun kaki di depanku berbeda. Kakinya memiliki kesimetrisan yang sempurna sampai-sampai bisa kamu katakan memiliki Rasio Ideal. |
+ | Dan namun kaki di depanku berbeda. Kakinya memiliki kesimetrisan yang sempurna sampai-sampai bisa kamu katakan memiliki Rasio Ideal<ref> Golden Ratio </ref>. |
− | Ah, tapi itu tidak hanya dimaksudkan pada kakinya saja. Rompi ketatnya menampilkan lekukannya yang mencuram dengan lembut, dan lekukan itu akan segera sampai pada puncak buah dadanya yang mantap… OH, APAKAH INI GUNUNG FUJI? Tubuhnya disesuaikan dengan baik dari kepala sampai kaki seperti sebuah violin - tapi tidak violin sembarangan. Violinnya berdiri megah, dibuat sesempurna sebuah Stradivarius. |
+ | Ah, tapi itu tidak hanya dimaksudkan pada kakinya saja. Rompi ketatnya menampilkan lekukannya yang mencuram dengan lembut, dan lekukan itu akan segera sampai pada puncak buah dadanya yang mantap… OH, APAKAH INI GUNUNG FUJI? Tubuhnya disesuaikan dengan baik dari kepala sampai kaki seperti sebuah violin - tapi tidak violin sembarangan. Violinnya berdiri megah, dibuat sesempurna seperti sebuah Stradivarius. |
Masalahnya adalah dia juga memiliki tampang Buddha yang marah dan mengerikan, diukir oleh tangan genius. Dia itu menakutkan dilihat dari sudut pandang artistik, sudut pandang budaya dan sudut pandang sejarah. |
Masalahnya adalah dia juga memiliki tampang Buddha yang marah dan mengerikan, diukir oleh tangan genius. Dia itu menakutkan dilihat dari sudut pandang artistik, sudut pandang budaya dan sudut pandang sejarah. |
||
Line 61: | Line 61: | ||
Akan lebih mudah jika aku cukup membuat-buat sesuatu, tapi karena aku telah memusatkan semua perhatianku pada secarik kertas itu, aku tidak memiliki jawaban lain di pikiranku. Jika dia tidak dapat mengerti setelah membacanya, maka itu urusannya. |
Akan lebih mudah jika aku cukup membuat-buat sesuatu, tapi karena aku telah memusatkan semua perhatianku pada secarik kertas itu, aku tidak memiliki jawaban lain di pikiranku. Jika dia tidak dapat mengerti setelah membacanya, maka itu urusannya. |
||
− | Hiratsuka-sensei menghembuskan kepulan asap dari rokoknya dan menatap setajam belati ke arahku, seakan dia dapat membaca pikiranku dan tahu persis |
+ | Hiratsuka-sensei menghembuskan kepulan asap dari rokoknya dan menatap setajam belati ke arahku, seakan dia dapat membaca pikiranku dan tahu persis apa yang sedang kupikirkan. “Aku mengerti seberapa hancurnya sifat yang kamu miliki, tapi kupikir kamu sudah dewasa sedikit. Tidakkah menghabiskan waktu dengan Klub Servis mempengaruhimu sedikitpun?” |
“Uh-huh…” Aku menjawab, mencoba untuk mengenang kembali waktuku dengan yang disebut sebagai "Klub Servis" ini. |
“Uh-huh…” Aku menjawab, mencoba untuk mengenang kembali waktuku dengan yang disebut sebagai "Klub Servis" ini. |
Revision as of 03:51, 4 November 2014
Bab 1: Dan jadi, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar
Satu bagian ruangan staf dibuat sebagai area penerima tamu. Sebuah sekat memisahkan sebuah dipan berkain kulit hitam dan sebuah meja tamu kaca dari bagian ruangan yang lain. Ada sebuah jendela tepat di dekatnya, yang dari sana dapat terlihat sebagian besar perpustakaan.
Tiupan angin awal musim panas yang cerah datang dari jendela yang terbuka, dan selembar kertas menari-nari di udara. Pemandangan yang mengharukan itu mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan secarik kertas itu dengan mataku, ingin tahu bagaimana kertas itu jatuh nantinya. Dengan lembut, sekarang. Seperti air mata yang mengalir, kertas itu melayang ke lantai.
Dan kemudian - robek. Sebilah belati membobosnya seperti tombak.
Sepasang kaki gemulai menyilang di depanku. AKu tidak dapat tidak memperhatikan betapa panjang dan berbentuk kaki tersebut melalui setelan dan celana panjang ketat yang menutupi mereka.
Setelan cukup bergaya, tapi daya tarik mereka sering kali kurang. Pantyhose akan memenuhi tuntutan keseksiannya jika wanita itu memakai rok, tapi ketika kakinya ditutupi oleh setelan dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita sekurus tongkat dan tidak memiliki daya pemikat, maka tidak ada gunanya baginya memakai setelan dan celana panjang - dia malah hanya akan terlihat mengerikan.
Dan namun kaki di depanku berbeda. Kakinya memiliki kesimetrisan yang sempurna sampai-sampai bisa kamu katakan memiliki Rasio Ideal[1].
Ah, tapi itu tidak hanya dimaksudkan pada kakinya saja. Rompi ketatnya menampilkan lekukannya yang mencuram dengan lembut, dan lekukan itu akan segera sampai pada puncak buah dadanya yang mantap… OH, APAKAH INI GUNUNG FUJI? Tubuhnya disesuaikan dengan baik dari kepala sampai kaki seperti sebuah violin - tapi tidak violin sembarangan. Violinnya berdiri megah, dibuat sesempurna seperti sebuah Stradivarius.
Masalahnya adalah dia juga memiliki tampang Buddha yang marah dan mengerikan, diukir oleh tangan genius. Dia itu menakutkan dilihat dari sudut pandang artistik, sudut pandang budaya dan sudut pandang sejarah.
Selagi dia mengunyah filter rokoknya sambil melamun, guru Jepangku Hiratsuka-sensei melihatku dengan tatapan menghina. “Hikigaya. Kamu tahu bagaimana ini akan berakhir, bukan?”
“M-Mana kutahu…”
Intensitas itu tidak pernah pudar dari mata besarnya, dan aku segera memalingkan wajahku.
Segera setelah aku melakukannya, Hiratsuka-sensei mulai membunyikan kepalan jarinya. Semua yang bisa kudengar hanyalah suara firasat ajalku yang mendekat. “Jangan katakan kamu tidak tahu?”
“‘M-Mana kutahu? Oh aku tahu!’ itu apa yang akan aku katakan! Anda salah paham! Aku paham benar! Aku akan mengubahnya! Jangan pukul aku!”
“Tentu saja harus diubah. Geez… dan kupikir di sini kamu sudah sedikit berubah.”
“Mottoku adalah menyelesaikan apa yang perlu kukerjakan dan itu saja,” Aku berkata dengan senyuman murahan.
Aku dapat merasakan pembuluh darah meletup di dahi Hiratsuka-sensei.
“…jadi ternyata pilihanku satu-satunya adalah untuk menghantammu, huh? Orang-orang menghantam satu sama lain di televisi ketika mereka ingin melanjutkan ceritanya.”
“T-t-tidak, anda tidak bisa melakukannya pada tubuh rapuhku ini. Dan omong-omong, tayangan di televisi akhir-akhir ini sudah menurunkan level kekerasannya, anda tahu. Kalimat anda benar-benar menunjukkan usia anda!”
“Kenapa kamu…! Peluru Penggetar Pertama[2]!”
Duk. Teriakannya yang berlebihan tidak seberapa dengan suara lemah yang dihasilkan ketika tinjunya mendarat ke dalam perutku.
“…urk.”
Saat aku menaikkan kepalaku dengan lemah - dengan nyawaku terjuntai-juntai di depan mataku - Hiratsuka-sensei terkekek dengan kejinya. “Jika kamu tidak ingin merasakan Peluru Pelenyap Keduaku[3], kamu sebaiknya mengunci mulutmu dari sekarang.”
“M-Maaf…” Aku meminta-maaf dengan tingkah menurut. “Tolong ampuni aku dari Peluru Pemusnah Terakhir[4].”
Hiratsuka-sensei mencelempungkan dirinya ke dipannya, merasa puas. Dia menyeringai lebar melihatku dengan cepat menyerah atas serangannya. Dia mungkin merupakan jenis orang yang secara tidak sadar lupa betapa menyedihkan kata-kata dan tindakannya, tapi dia sebenarnya merupakan orang yang cantik di dalam dirinya.
“s-CRY-ed itu tayangan yang bagus, huh… baguslah jika kamu cepat mengerti, Hikigaya.”
Perbaikan: dia hanya menyedihkan. Kelihatannya dia hanya bisa tertawa pada leluconnya sendiri.
Aku baru-baru ini mengetahui tentang hobi guruku ini. Singkatnya, dia menyukai manga dan anime yang berdarah-panas. Aku sedang mempelajari begitu banyak hal sampah yang tidak kuindahkan, whoopee.
“Sekarang kalau begitu, Hikigaya. Aku akan menanyakanmu hal ini hanya untuk berjaga-jaga. Apa maksud jawaban sialanmu ini?”
“Anda tidak seharusnya berkata kotor pada murid anda…”
Akan lebih mudah jika aku cukup membuat-buat sesuatu, tapi karena aku telah memusatkan semua perhatianku pada secarik kertas itu, aku tidak memiliki jawaban lain di pikiranku. Jika dia tidak dapat mengerti setelah membacanya, maka itu urusannya.
Hiratsuka-sensei menghembuskan kepulan asap dari rokoknya dan menatap setajam belati ke arahku, seakan dia dapat membaca pikiranku dan tahu persis apa yang sedang kupikirkan. “Aku mengerti seberapa hancurnya sifat yang kamu miliki, tapi kupikir kamu sudah dewasa sedikit. Tidakkah menghabiskan waktu dengan Klub Servis mempengaruhimu sedikitpun?”
“Uh-huh…” Aku menjawab, mencoba untuk mengenang kembali waktuku dengan yang disebut sebagai "Klub Servis" ini.
Tujuan Klub Servis itu adalah, untuk menyederhanakannya, mendengarkan kekhawatiran murid lain dan menyelesaikan masalah mereka. Tapi pada kenyataannya, itu hanyalah sebuah ruang isolasi dimana murid-murid eksentrik dikumpulkan bersama-sama. Aku berakhir dalam situasi dimana aku dipaksa untuk membantu orang lain untuk memperbaiki sifat hancurku ini, tapi karena tidak ada satupun dari itu yang mempengaruhiku, level ikatan emosionalku dengan klub itu kira-kira nol. Apa yang bisa kukatakan?
…Walau Totsuka imut. Hanya itu saja.
“Hikigaya… tiba-tiba ada tampang mesum di matamu. Kamu sedang mengiler.”
“Huh?! Oh, lontong…” Aku buru-buru menyapu mulutku dengan lengan bajuku.
Itu berbahaya. Sesuatu sedang terbangun di dalam diriku.
“Kamu belum bertambah baik,” Hiratsuka-sensei berkata setelah berhenti sejenak. “Kamu hanya menjadi lebih menyedihkan.”
“Er, Aku merasa aku tidak semenyedihkan anda…” Aku bergugam. “Menyebut tentang s-Cry-ed itu apa yang dapat orang duga dari seseorang setua-”
“Peluru…”
“Yang kumaksud itu adalah itu sangat cocok untuk seorang wanita dewasa seperti diri anda. Aku benar-benar kagum akan rasa kewajiban anda untuk menyebarkan karya klasik. Memang! Serius, anda menabjubkan!” Aku berkata tanpa berpikir. Aku melakukan apa saja yang bisa kulakukan untuk mencegah dihantam.
Itu berhasil, karena Hiratsuka-sensei menurunkan tinjunya. Tapi dia menatapku dengan mata tajam karakteristiknya, mengingatkanku dengan seekor hewan gila. “Haah…” dia berkata pada akhirnya. "Yang penting, kumpulkan kembali Formulir Survei Tur Tempat Kerja Prospektifmu. Setelah kamu melakukannya, aku mau kamu menghitung semua formulir survei sebagai hukuman karena melukai perasaanku.”
“…ya guru.”
Ada setumpuk kertas yang menyemakkan di depan mataku. Menyortir setiap lembar satu-per-satu sangat meletihkan, seperti bekerja di sebuah pabrik roti. Atau mungkin seperti seorang penjaga pantai.
Sendirian bersama guru wanitaku sebenarnya bukanlah sebuah perkembangan yang mendebar-debarkan jantung, dan tentu saja jika dia meninjuku aku tidak akan terjatuh dan akhirnya menyentuh buah dadanya seperti seorang mesum kebetulan. Itu semua sepenuhnya omong kosong. Sungguh kebohongan! Aku menuntut permohonan maaf dari semua penulis dating sim dan pengarang novel ringan di luar sana.
Catatan Translasi
<references>