Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 2 Bab 4"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
Line 699: Line 699:
 
“Er, kamu tahu, Yukinoshita berkata untuk membawanya.”
 
“Er, kamu tahu, Yukinoshita berkata untuk membawanya.”
   
“Aku akan segera kesana.” Teleponnya tiba-tiba diputus dengan suara beep.
+
“Aku akan segera kesana.” Panggilannya tiba-tiba diputus dengan suara beep.
   
 
(…huh? Mengapa tingkahnya berubah segera setelah aku menyebut Yukinoshita? Dia begitu enggan ketika aku memintanya!)
 
(…huh? Mengapa tingkahnya berubah segera setelah aku menyebut Yukinoshita? Dia begitu enggan ketika aku memintanya!)
Line 731: Line 731:
 
“Apa-apaan…”
 
“Apa-apaan…”
   
“Oh. Er, uh, tidak ada apa-apa!” kata Yuigahama selagi dia menjulurkan tangannya dengan gugup. Kamakura mengamati tangannya dan membuat suara meow. Sambil tersentak, Yuigahama mengulaikan tangannya.
+
“Oh. Er, uh, tidak ada apa-apa!” kata Yuigahama selagi dia menjulurkan tangannya dengan gugup. Kamakura mengamati tangannya dan membuat suara meong. Sambil tersentak, Yuigahama mengulaikan tangannya.
   
 
“Mungkinkah itu… kamu tidak cocok dengan kucing?”
 
“Mungkinkah itu… kamu tidak cocok dengan kucing?”
   
“H-huh?! T-Tentu saja aku cocok dengan kucing! Malah, aku cinta m'reka! M-Maksudku, k'sini, kucing kecil. Meow meow.” Suaranya bergetar. Bukan seperti benar-benar ada alasan baginya untuk takut.
+
“H-huh?! T-Tentu saja aku cocok dengan kucing! Malah, aku cinta m'reka! M-Maksudku, k'sini, kucing kecil. Meong meong.” Suaranya bergetar. Bukan seperti benar-benar ada alasan baginya untuk takut.
   
 
“Komachi, Aku akan menyerahkannya padamu.” Aku menyerahkan Kamakura kepada Komachi. Selagi aku melakukannya, Kamakura tiba-tiba membuat suara purr seakan dia sedang dalam suasana hati yang bagus. Sial, aku bahkan dibenci oleh kucing. “Yah, aku pergi dulu.”
 
“Komachi, Aku akan menyerahkannya padamu.” Aku menyerahkan Kamakura kepada Komachi. Selagi aku melakukannya, Kamakura tiba-tiba membuat suara purr seakan dia sedang dalam suasana hati yang bagus. Sial, aku bahkan dibenci oleh kucing. “Yah, aku pergi dulu.”
Line 779: Line 779:
 
<br />
 
<br />
   
  +
Ketika kami memasukkan Kamakura ke dalam kotak kardusnya, dia mencoba menyentuhnya dengan cakar depannya. Setelah dia menghaluskan dasar kotaknya tiga kali, dia membuat suara purr dengan puas seakan untuk mengatakan , “Heh… cukup bagus.”
  +
  +
Kalau begitu sekarang, semua yang perlu kami lakukan sekarang adalah menunggu kemunculan Kawasaki Saki. Masalahnya adalah kami tidak tahu kapan dia akan muncul. Panjangnya ceramah Hiratsuka-sensei tergantung pada keinginannya.
  +
  +
“Mari kita bagi tugas,” usul Yukinoshita, mengambil alih situasinya. Dia menyuruh Totsuka menunggu sembunyi-sembunyi di depan ruang staf, selagi Yuigahama ditempatkan di samping area parkir sepeda. Komachi ditugaskan untuk berpatroli. Dan aku diperintahkan untuk menggotong kotak kardusnya dan berlari berkeliling.
  +
  +
Setelah kamu pikir-pikir, yang lain sudah memiliki tugas mereka, tapi aku tidak ada tugas yang bisa dikerjakan sampai Kawasaki Saki terlihat. Selagi aku sedang menunggu, aku mengumpulkan tekad besarku dan pergi membeli sekotak Sportop dari mesin penjual minuman terdekat. Selagi aku menusukkan sedotanku dan meminum satu atau dua teguk, aku kembali ke posku.
  +
  +
“Meong.” Aku mendengar suara meong Kamakura yang kukenali.
  +
  +
“Meong.” Aku mendengar suara meong seorang gadis yang tidak kukenali.
  +
  +
Aku secara rfleks memeriksa sekelilingku, tapi tidak ada gadis lain selain Yukinoshita di sekitar sini. Untuk sekarang, aku memanggil gadis yang punggungnya menghadapku itu.
  +
  +
“…apa yang sedang kamu lakukan?” tanyaku.
  +
  +
“Apa yang sedang kamu bicarakan?” jawab Yukinoshita dengan polosnya.
  +
  +
“Tidak apa-apa, hanya barusan kamu sedang berbicara dengan kucingnya.”
  +
  +
“Yang lebih pentingnya, aku cukup yakin aku memerintahkanmu untuk pergi menunggu, tapi kelihatannya menjalankan instruksi sederhana itu saja sudah di luar kemampuanmu. Aku memasukkan level ketidakbecusanmu ke dalam pertimbanganku, tapi jujur saja kamu benar-benar melampaui perkiraanku. Aku heran bagaimana seharusnya aku mengutarakan perintahku untuk membuatnya cukup sederhana untuk dimengerti seseorang yang lebih bodoh dari anak SD.”
  +
  +
Yukinoshita lima puluh persen lebih dingin dari biasanya dan nadanya begitu bengis. Matanya sedang memberitahuku bahwa aku akan mati jika aku mengucapkan satu patah kata lagi.
  +
  +
“A-Aku mengerti. Aku akan kembali menunggu…”
  +
  +
Selagi aku mengendap-endap kembali ke bangku tempat aku menunggu, ponselku mulai bergetar. Itu dari penelepon asing. Melihat dari timingnya, panggilannya hanya mungkin bisa dari Yuigahama atau Komachi atau Totsuka – atau mungkin Yukinoshita. Aku tahu nomor Yuigahama dan Komachi dan tidak mungkin Yukinoshita akan meneleponku setelah apa yang terjadi barusan.
  +
  +
…jadi itu berarti panggilannya dari Totsuka?!
  +
  +
“H-halo?!”
  +
  +
“Oh, apa ini onii-san? Aku meminta nomormu dari Hikigaya-san.”
  +
  +
“Aku tidak ada adik laki-laki ataupun adik ipar.”
  +
  +
Aku memutuskan panggilannya pada saat itu juga, tapi panggilan lain datang dengan segera. Bahkan tanpa melihat wajahnya, aku tahu dia itu jenis orang yang persisten, jadi aku menyerah.
  +
  +
“Hei, mengapa kamu memutuskan panggilannya?!”
  +
  +
“Apa yang kamu ingin katakan?”
  +
  +
“Hanya bahwa aku mendengar tentang kucing itu dan, yah, nee-chan ada alergi kucing.”
  +
  +
Hening. Rencana kami gagal total.
  +
  +
“Kenapa kamu tidak memberitahu kami dari tadi?”
  +
  +
“Maaf, aku baru tahu.”
  +
  +
“Astaga, aku mengerti, aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu kami. Sampai nanti.”
  +
  +
Aku menutup teleponnya untuk kali terakhirnya dan dengan segera menuju ke tempat Yukinoshita berada. Yukinoshita sedang berjongkok di depan Kamakura dan menggelitik leher Kamakura. Kamakura sedang melengkung seperti bola.
  +
  +
“Yukinoshita,” Aku memangilnya.
  +
  +
Yukinoshita tiba-tiba melepaskan kucingnya dan hanya menatapku dengan kata “Ada apa sekarang?” terpampang di seluruh wajahnya. Astaga, lupakan saja itu. Cara dia terus menatapiku itu hanya akan membuatku mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
  +
  +
“Aku barusan mendapat panggilan dari Taishi dan rupanya Kawasaki ada alergi terhadap kucing. Jadi aku rasa dia tidak akan mengutip kucingnya meskipun kita meletakkannya disini.”
  +
  +
“…huh. Itu menghancurkan rencananya,” kata Yukinoshita selagi dia membelai kepala Kamakura dengan sedih pada perspisahan mereka. Meong
  +
  +
[[Image:YahariLoveCom_v2-173.png|thumb|200px]]
  +
  +
Ketika aku memanggil yang lain untuk memberitahu mereka kami sudah menghentikan rencananya, Yuigahama, Totsuka dan Komachi kembali kemari.
  +
  +
“Onii-chan, kamu mendapat panggilan dari Kawasaki-kun?” tanya Komachi.
  +
  +
“Er, ya.” Kemudian aku berkata, “Jangan pergi memberitahu nomor telepon pada orang asing. Bagaimana jika sesuatu yang berbahaya terjadi? Berhati-hatilah ketika kamu menangani informasi personal.”
  +
  +
“Informasi personal Hikigaya-kun bukanlah masalah besar,” Yukinoshita mengejekku, tapi hanya setengah bercanda.
  +
  +
“Bukan punyaku, tapi punya Komachi. Kamu dengar aku? Jangan berikan nomor teleponmu dengan gampangnya, oke? Terutama pada laki-laki.”
  +
  +
“Tidak mungkin, kamu mengetahuinya?” Komachi mengelakkan peringatanku dengan sebuah tawa. Yah, adik kecilku adalah salah satu tipe “jangan ceramahi aku”. Itu tidak menghentikannya menjadi lebih superior dibandingku dalam hal-hal semacam ini.
  +
  +
(Atau malah, akulah yang mesti mengejarnya.)
  +
  +
Sekarang setelah operasi terapi hewan sudah gagal, kami perlu menemukan rencana lain. Karena aku sendiri tidak memiliki rencana, Aku melihat ke arah Yukinoshita. Ketika aku melakukannya, dia meihat pada Komachi dan diriku secara bergantian dan membuat helaan pelan.
  +
  +
“…Kalian bersaudara cukup akur.” Dia bimbang. “Aku agak cemburu.”
  +
  +
“Huh? Oh, orang-orang sering berkata begitu ketika mereka hanya anak satu-satunya. Itu bukanlah suatu hal yang hebat.”
  +
  +
“Tidak, aku…” suara Yukinoshita melemah, yang jarang baginya. Biasanya dia akan menyatakan apapun yang ada dalam pikirannya, meski akibatnya akan melukai orang lain. “Tidak, tidak apa-apa.”
  +
  +
Apa dia memakan sesuatu yang buruk, seperti salah satu biskuit Yuigahama atau semacamnya?
  +
  +
“Kalau begitu sekarang, apa yang mesti kita lakukan? Kita perlu memikirkan sesuatu.”
  +
  +
“Er, uh…” Totsuka mengacungkan tangannya dengan takut-takut. Dia melihat pada baik Yukinoshita dan Yuigahama dengan tampang tidak yakin di matanya, seakan dia ingin mengontribusikan sesuatu tapi tidak yakin bagaimana mengatakannya.
  +
  +
Silahkan dan katakan saja, pikirku. Meskipun tidak ada orang lain yang mau menerimanya, aku akan menerimanya! Contohnya, aku bahkan akan menerima cinta yang tidak dapat diterima ini!
  +
  +
“Silahkan,” kata Yukinoshita. “Aku tidak keberatan jika kamu mengutarakan isi pikiranmu. Itu akan membantu kita semua.”
  +
  +
“Oke kalau begitu… jadi um, bagaimana jika kalian memberitahu Hiratsuka-sensei tentang itu? Aku rasa Kawasaki mungkin terlalu dekat dengan orangtuanya untuk memberitahu mereka tentang masalahnya. Tapi jika dia sedang berbicara pada orang dewasa lain, dia mungkin bisa mencurhatkan masalahnya, mungkin bisa?”
  +
  +
Oh, sungguh pendapat yang hebat. Memang, dia mungkin tidak bisa membicarakannya pada orangtuanya karena mereka adalah orangtuanya. Contohnya, aku sepenuhnya tidak ada keinginan untuk membicarakan tentang porno atau kisah cintaku pada orangtuaku. Juga, aku tidak akan memberitahu mereka jika aku pergi ke sekolah dan ada coretan di atas mejaku, atau ada sampah di rak sepatuku, atau jika aku menerima sebuah surat cinta dan menjadi beitu bersemangat karenanya, hanya untuk mengetahui bahwa itu adalah lelucon teman sekelasku.
  +
  +
Itulah mengapa pihak ketiga itu diperlukan. Seseorang yang dapat diandalkan dengan pengalaman hidup yang berlimpah mungkin bisa pergi dan membantunya.
  +
  +
“Tapi Hiratsuka-sensei, katamu…” Ada sebuah faktor kekhawatiran disana. Bisakah kamu benar-benar memanggil orang semenyedihkan ini sebagai orang dewasa? Satu-satunya hal yang dewasa tentangnya adalah dadanya.
  +
  +
“Dibanding dengan guru lain, Hiratsuka-sensei sangat dekat dengan murid-muridnya.” ujar Yukinoshita. “Tidak ada orang yang lebih cocok untuk ini.”
  +
  +
“Oh, ya, kurasa.” Persis seperti yang dikatakan Yukinoshita, Hiratsuka-sensei memang bekerja keras dalam membimbing murid-muridnya. Dia mengarahkan murid-murid yang terjerat akan masalah pada Klub Servis, dan dia terhubung dengan murid-muridnya pada level harian. Dia mungkin bisa melakukan apa yang kami perlukan darinya karena pengamatannya begitu tajam dan semacamnya. “Kalau begitu aku akan mencoba menghubunginya.”
  +
  +
Aku menjelaskan inti situasi Kawasaki Saki dalam pesan teksku. Alamat telepon Hiratsuka-sensei, yang sepenuhnya tidak kubutuhkan ataupun kuinginkan, telah berguna untuk sekali ini.
  +
  +
“Itulah kira-kira. Aku memberitahunya kita akan menjelaskan lebih banyak di pintu masuk. Oke, itu akan membuatnya datang.”
  +
  +
Setelah aku menutup ''email''nya, kami menunggu selama lima menit.
  +
  +
Kami mendengar suara kaku dari sepatu hak tingginya menggesek lantai, menandakan kemunculan Hiratsuka-sensei.
  +
  +
“Hikigaya, Aku mengerti situasinya,” katanya dengan wajah serius. “Aku akan mendengar detilnya.” Dia memadamkan rokok yang dihisapnya ke dalam asbak portabelnya.
  +
  +
Aku menjelaskan apa yang kami tahu tenatang Kawasaki Saki, dan juga apa yang kami duga. Hirtsuka-sensei mendengar dengan hening sampai aku selesai, yang kemudian dia membuat helaan yang pendek dan singkat.
  +
  +
“Fakta bahwa murid sekolah kita sedang bekerja paruh waktu sampai lewat tengah malam adalah sebuah masalah serius. Kita perlu menyelesaikan maslaah ini dengan cepat sebelum masalahnya mejadi lebih besar lagi. Aku akan menanganinya.” Hiratsuka-sensei terkekeh dengan gaya yang agak tidak professional. “Apa yang kamu lihat? Aku baru melepaskan Kawasaki sebelum aku datang kemari. Dan itu memakan dua menit lagi untuk sampai kemari.”
  +
  +
…ada apa dengan perasaan tidak enak yang tidak dapat dijelaskan ini yang muncul di benakku? Keseluruhan tingkahnya berbau ''schadenfreude''<ref> Bahasa Jerman yang berarti senang di atas penderitaan orang lain </ref>.
  +
  +
“Um, anda tahu anda tidak diizinkan untuk meninju atau menendangnya bukan?”
  +
  +
“Tidak mungkin… kamu sadar aku hanya melakukan hal semacam itu padamu saja bukan?”
  +
  +
“Tidak, itu sama sekali tidak romantis.”
  +
  +
Selagi ini sedang terjadi, Kawasaki Saki muncul di pintu masuk. Dia menyeret kakinya dengan malas dan terkadang membuat uapan lebar. Dia melemparkan tas sekolahnya ke bahunya dengan lesu seakan dia tidak memperdulikan apapun juga. Sikunya maju mundur dengan malas.
  +
  +
“Tunggu dulu disana, Kawasaki,” Hiratsuka-sensei memanggil dengan nada memerintah pada punggungnya. Nada suaranya menggetarkan tanahnya dengan kasar.
  +
  +
Mendengar itu, Kawasaki berpaling, matanya menyipit setengah seakan dia sedang menatapinya. Selagi dia berpaling, dia membungkuk dengan gerakan yang mulus.
  +
  +
Hiratsuka-sensei juga tinggi, tapi dia inferior dibanding dengan Kawasaki. Kaki panjangnya, yang ditutupi dengan longgar oleh sepatunya, menendang sebuah kerikil dengan cekatan.
  +
  +
“…anda perlu sesuatu?” kata Kawasaki dengan tak ramahnya dengan nada serak yang menyatakan “Aku tidak peduli”. Caranya berbicara dengan blak-blakan itu menakutkan. Dia tidak menakutkan seperti preman atau yankee jenis “Aku akan meninjumu sampai setengah mati!”. Dia menakutkan seperti wanita tua di bar mesum. Dia membuat jenis kesan seseorang yang sedang duduk di sudut kasir, sedang merokok dan memegang sebotol whisky di satu tangan.
  +
  +
Di sisi lain, seluruh tubuh Hiratsuka-sensei juga menghasilkan aura yang sama menakutkannya. Dia menakutkan seperti seorang pria tua letih yang sedang menyajikan dirinya sebotol bir selagi dia mematan porsi soba kelimanya di sebuah rumah makan Chinese di depan stasiun di bagian kota yang kumuh, selagi meneriakkan hal-hal seperti, “Dia tidak ada harapan lagi! Sungguh ''pitcher'' <ref> Pelempar bola di baseball </ref>” saat menonton siaran ulang ''baseball''. Apa ini, Clash of the Titans?
  +
  +
“Kawasaki, Aku dengar kamu pulang telat ke rumah akhir-akhir ini – bahwa kamu pulang ke rumah pada subuh hari. Persisnya apa yang kamu lakukan dan dimana?”
  +
  +
“Apa seseorang memberitahu anda itu?”
  +
  +
“Informasi klienku sangat rahasia. Sekarang jawab pertanyaanku,” Hiratsuka-sensei berkata dengan anda jangan mengatakan hal sampah.
  +
  +
Kawasaki menghela dengan lesu. Kelihatannya, dia sedang mengejek sensei. “Tidak banyak. Apa itu benar-benar masalah kemana aku pergi? Tidak seperti aku sedang menganggu orang lain.”
  +
  +
“Tapi kamu mungkin bisa di kemudian hari. Kamu tidak akan menjadi murid SMA selamanya. Tidakkah kamu tahu ada orang yang sedang mengawasimu? Seperti orangtuamu dan aku,” tegas Hiratsuka-sensei.
  +
  +
Tapi Kawasaki hanya menatap dirinya dengan ekspresi bosan.
  +
  +
Hilang kesabaran, Hiratsuka-sensei mencengkram lengan Kawasaki. “Tidakkah kamu pernah memikirkan bagaimana perasaan orangtuamu?” tuntutnya dengan serius, mencengkramnya seakan dia tidak akan pernah melepaskannya.
  +
  +
Sentuhannya mungkin hangat dan lembut. Aku heran apakah perasaan penuh emosionalnya dapat meluluhkan hari Kawasaki.
  +
  +
“Sensei…” bisik Kawasaki, menyentuh tangan Hiratsuka-sensei dan menatap langsung ke dalam matanya.
  +
  +
Lalu-
  +
  +
“Macam aku tahu bagaimana perasaan orangtuaku. Dan lagipula, tidak mungkin anda bisa tahu karena anda belum menjadi orangtua juga, sensei. Bukankah anda sebaiknya mengatakan hal itu setelah anda sendiri menikah dan melahirkan anak?”
  +
  +
“Uuuuurk!”
  +
  +
Kawasaki sudah membalikkan situasinya sepenuhnya. Hiratsuka-sensei kehilangan pijakannya seperti seorang petinju dihantam oleh tinju yang tiba-tiba. Dia sedang menerima sejumlah luka yang cukup dalam. Kelihatannya perasaan Hiratsuka-sensei tidak sampai padanya.
  +
  +
“Sensei, anda seharusnya mengkhawatirkan masa depan anda sendiri sebelum anda mengkhawatirkan masa depanku. Seperti menikah dan semacamnya.”
  +
  +
Tubuh Hiratsuka-sensei terjungkir saat menerima tinjunya terus menerus. Jadi lukanya sudah mencapai kakinya, huh… Dampak lukanya mencapai panggulnya, bahunya dan mengarah ke atas sampai ke kotak suaranya. Dia membuat suara serak, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya berlinang-linang.
  +
  +
Si Kawasaki yang tak berperasaan itu tidak memperdulikannya dan menghilang ke area parkiran sepeda. Kami melihat pada satu sama lain tanpa mengatakan apapun, tidak tahu apa yang mau dikatakan. Yuigahama dan Komachi menatap tajam ke lantai, sementara Totsuka bergugam, “Kasihan sensei,” pada dirinya sendiri.
  +
  +
Kemudian Yukinoshita meringkuk. Itu seakan dia sedang mencoba menyembunyikan sosoknya.
  +
  +
Mengapa? Mengapa semua diserahkan padaku untuk melakukan sesuatu? Pikirku. Selagi aku melihat kondisi menyedihkan guruku, aku merasa terdorong untuk mengatakan sesuatu. Mungkinkah itu… bahwa aku sedang merasa kasihan padanya?
  +
  +
“Er, uh… sensei?” kataku, berusaha untuk memikirkan kata-kata penghibur.
  +
  +
Sensei berpaling dengan kaku seperti zombie. Dia terisak. “Aku pulang dulu…” katanya dengan suara yang tipis dan bergetar selagi dia mengusap matanya dengan sisi ibu jarinya.
  +
  +
Dan kemudian, bahkan tanpa menunggu jawabanku, dia mulai berjalan dengan terhuyung-huyung menuju ke parkiran mobil.
  +
  +
“A-Anda sudah berusaha yang terbaik.” Selagi aku melihat figur sendiriannya tersandung di kejauhan, sinar matahari sore menusuk mataku dan membuat air mataku berlinang.
  +
  +
Tolong, seseorang cepat nikahi dia.
 
==Catatan Translasi==
 
==Catatan Translasi==
 
<references> <references/>
 
<references> <references/>

Revision as of 11:51, 31 December 2014

Bab 4: Karena Berbagai Alasan, Kawasaki Saki Tidak Jujur

Ujian semester sudah mendekat tepat di depan mata kami.

Ada banyak kasus dimana waktu belajar itu kurang lebih diartikan sebagai waktu restoran keluarga atau waktu perpustakaan, tapi tidak ada cara untuk mengawasi murid SMA yang pergi berjalan-jalan jam sebelas malam. Aku diberitahu bahwa kamu akan diusir dari restoran keluarga setelah melewati jam sepuluh malam. Karena alasan itu, belajar di malam hari itu merupakan sesuatu yang dilakukan seluruhnya di rumah. Omong-omong, belajar di malam hari itu tidak sama dengan menonton tinju di malam hari.

Jarum jam menunjukkan hampir ke angka dua belas. Aku mengerang dan meregangkan diri. Aku merasa aku masih akan belajar selama satu atau dua jam lagi. Haruskah aku minum sedikit kopi? Aku berpikir pada diriku sendiri. Dengan langkah berat, aku menyeret diriku menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Kopinya berada pas di tempat dimana aku mengingatnya.

Mengisi kembali kandungan gula diri seseorang itu sepenuhnya diperlukan ketika kamu memakai otakmu terlampau berlebihan. Yang kumaksud adalah sudah saatnya bagi Kopi MAX yang begitu manis untuk tampil.

(Pemikiran tiba-tiba: Kopi MAX itu erotis ketika kamu memasukkan kafein dan sejumlah susu yang pas ke dalamnya. Pertama sekali, itu akan terlihat luar biasanya mirip dengan sepasang buah dada yang besar. Kopi itu berkedip padamu dan mengatakan, “Aku tidak akan membiarkanmu tidur hari ini ☆” – atau sesuatu semacam itu. Seseorang harus menggambarkan Kopi MAX-tan atau Pixiv untukku[1] …)

Saat aku berjalan ke ruang tamu, memikirkan berbagai kumpulan hal tidak berguna tentang Kopi MAX, aku menyadari adik kecilku Komachi sedang tertidur di sofa. Ujian Semester gadis ini juga segera datang sepertiku, tapi seperti biasa dia tidak khawatir sama sekali.

Saat aku mencari-cari Kopi MAX yang kubeli, aku ingat bahwa bejananya sudah terbuka dan jadi aku mulai mendidihkan air saja. Aku menuangkan air ke dalam ceret Tefal, menekan tombol daya yang membuat suara klik selagi aku melakukannya. Merasa bosan dan selagi menunggu airnya mendidih, aku duduk di ujung sofa dimana adik kecilku sedang tertidur.

Komachi sedang tertidur dengan perutnya tidak tertutupi.

Kulit polos nan putihnya naik dan turun pada saat yang sama dengan dengkurannya. Pada saat yang sama, pusar imutnya berkedut. Saat dia bergerak dengan erangan lembut, aku bisa melihat dia sedang berbaring memakai kaus dan jaketku, keduanya diambilnya tanpa izin. Aku tidak menyadari hal ini dari awal karena dia melengkung seperti bola, tapi mengapa gadis ini hanya memakai pakaian dalam? Dia akan terjangkit flu jika begini terus.

Untuk sekarang aku menyelimutinya dengan handuk mandi terdekat. Sebagai reaksinya, Komachi bergugam sesuatu dalam tidurnya. Selagi ini terus terjadi, air yang kudidihkan mulai berdesis dan membuat suara klik yang mengumumkan bahwa airnya sudah siap. Aku memasukkan kopi instan itu ke dalam sebuah cangkir dan menuangkan air panas ke atasnya.

Suatu bau sedap melayang dari kopiku. Aku menambahkan susu dan gula dalam jumlah yang cukup banyak dan mengaduknya empat kali dengan sendok teh. Ketika aku selesai, kopi manis tercintaku sudah siap disajikan. Aroma megah susuku dan keharuman yang berbau manis dari kopiku bercampur dengan satu sama lain. Aku tahu persis ini akan begitu enak.

Seakan dia menangkap hembusan bau itu, Komachi mendadak bangun.

Hal pertama sekali yang dia lakukan adalah berdiri terpatung-patung, menatapku tanpa suara selama dua detik penuh. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah katapun dia memakan tiga detik penuh untuk membuka jaket dan tirainya tanpa suara. Kemudian dia membuka matanya lebar-lebar dan menatap ke arah jamnya selama lima detik penuh tanpa suara. Dia membutuhkan total sepuluh detik untuk memahami situasinya sekarang ini.

YahariLoveCom v2-129.png

Kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Lontong! Aku ketiduran!” dia mulai berteriak dengan suara yang menjengkelkannya keras. “Aku hanya berencana untuk tidur selama satu jam, tapi kemudian aku tertidur selama lima jam!”

“Oh, aku mengerti sekarang. Kamu ketiduran, katamu? Kamu langsung pergi tidur segera sesaat kamu sampai ke rumah.”

“Kamu parah! Aku ada mandi dulu sebelum aku tertidur!”

“Astaga, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kamu begitu tersinggung.”

“Oh ya, mengapa kamu tidak membangunkanku?!”

Komachi benar-benar begitu jengkel padaku karena beberapa alasan. Aku pikir mungkin “Aku ketiduran” artinya kurang lebih sama dengan “Aku seekor babi ☆”.

“Ak benar-benar tidak peduli, tapi demi Tuhan tolong pakai celanamu. Dan siapa yang memberimu izin untuk memakai bajuku?”

“Hm? Oh, ini. Ini gaun tidur yang sempurna. Bukankah ini seperti pakaian one piece[2]?” katanya sambil menarik bagian depan kausnya.

Jangan tarik itu, jangan tarik itu. Aku bisa melihat bramu, kamu tahu. Dan jangan berputar-putar – Aku bisa melihat celana dalammu.

“…oke, aku akan berhenti memakainya, perengek,” katanya.

“Oh, terima kasih. Kalau begitu aku akan memberimu beberapa pakaian dalam, Komachi.”

“Ohhh, sangat kuhargai!”

Aku menyesap kopiku, setelah bersumpah jauh di dalam lubuk hatiku bahwa aku akan memberikannya kain lap saja. Selagi Komachi menyinsingkan lengan baju kausku seperti piyama one piece lagi, dia berjalan ke dapur dan mulai memanaskan susu di dalam mikrowave.

“Omong-omong, apa yang kamu lakukan pada jam segini?”

“Belajar untuk ujian. Aku turun ke bawah karna aku barusan beristirahat sejenak,” jawabku.

Komachi membuat suara terkejut. “Aku juga masih belum beristirahat sekarang setelah kamu mengatakannya.” Kemudian dia berhenti sejenak. “Onii-chan, sumpah, kamu akan menjadi pria yang 'suka berbisnis' ketika kamu mulai bekerja.”

“Hei, 'suka bisnis' tidak berarti aku 'suka' bekerja. Inggrismu hancur.”

“Tidak mungkin, onii-chan. Aku itu benar-benar jago Inggris. Aku itu jenius yo. I AM SMARTICLES,” katanya dengan kemampuan Inggris yang tidak mirip jenius sama sekali. Smarticles itu bahkan bukan sebuah kata, tolol.

Mikrowavenya berdering. Komachi memegang cangkirnya dengan kedua tangan, dan selagi dia meniupnya untuk mendinginkannya, dia mulai berjalan ke arahku. “Kurasa aku juga akan belajar.”

“Silahkan. Aku akan kembali belajar, kalau begitu. Kamu juga lebih baik terus bertahan belajarnya.”

Aku menegakkan seluruh kopiku dalam sekali teguk dan berdiri. Tapi pada saat itu, Komachi menarik punggung kausku dan membuat suara kroak seperti kodok kintel. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar.

“Kamu bilang ‘kamu juga,’ benar? Tidakkah biasanya itu berarti ‘ayo kita melakukannya bersama’? Onii-chan, apa bahasa Jepangmu sudah hancur?”

Kamu yang bahasa Jepangnya hancur…”

Yah, itu tidak masalah untuk membodohkan diriku sementara dengan melihat hasil PR adik kecil idiotku, pikirku.

Dan begitulah, sesi belajar malam hari dengan adik kecilku dimulai.

Kami membawa semua alat-alat belajar kami dari ruangan kami dan menyebarkannya di atas meja di ruang tamu. Aku memutuskan untuk berfokus terutama pada sejarah Jepang hari ini, jadi aku pergi membahas kumpulan soal Yamakawa dan juga manualnya, dan setelah itu aku masuk pada catatanku.

Pada sisi Komachi, ada buku “Inggris SMP: Target 1800”, seakan itu akan membantu Bahasa Inggrisnya yang menyedihkan.

Bersama, kami belajar dengan diam dan rajin. Aku menjawab soal dan menuliskan penjelasan panjang lebar ke dalam catatan ketika ada yang salah. Kami mengulang proses itu berulang kali. Pada saat aku selesai membahas isi ujian semesterku. Aku menyadari bahwa Komachi sedang menatapku dengan pandangan melamun di matanya.

“…apa?” tuntutku.

“Hm? Oh, Aku hanya berpikir kamu itu begitu kaku, onii-chan.”

“Kamu merendahk'n ku? Kamu mau berkelahi, bocah? Aku akan menjambak rambutmu!”

Tapi Komachi hanya tertawa akan ancaman lemahku. “Begitulah yang kamu bilang, onii-chan, tapi kamu pasti tidak akan memukulku.”

“Huh? Itu hanya apa yang kamu pikir. Alasan mengapa aku tidak memukulmu adalah karena orangtua kita akan meninjuku jika aku begitu. Itu saja. Jangan salam paham.”

“Teehee. Kamu merona, kamu merona,” nyanyinya selagi dia membuat tanda peace.

“D… diam…”

Untuk sekarang, aku memuaskan diriku hanya dengan menyodok dahinya. Tepatnya, aku menjentikkan sebuah penghapus ke kepalanya, menyebabkannya menghancurkan diri. Singkatnya, aku melancarkan semua simpanan tenagaku dalam satu serangan penuh dan tidak menahan apapun.

“Oof!” Komachi mengerang. Penghapus itu menghantam dahinya, menyisakan jejak. Selagi dia mengurut dahinya, Komachi menatap marah padaku dengan mata berlinang-linang. “Hmph… dan aku sedang memujimu sebagai murid yang begitu baik…”

“Itu karena kamu mengatakan sesuatu yang bodoh. Sekarang cepat belajar sana, astaga.”

“Hal seperti itu yang membuatmu begitu kaku. Men, ada begitu banyak tipe abang dan adik di luar sana. Aku memiliki seorang teman yang pergi ke les yang sama denganku yang kakaknya itu preman. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah di malam hari dan semacamnya.”

“Uh huh.” Kelihatannya Komachi sudah kehilangan semua motivasi untuk belajar. Entah kapan, dia menutup buku Target: 1800. Sekarang ini, kami sudah sudah masuk ke dalam waktu berbincang-bincang yang tidak ada gunanya.

Selagi aku dengan bijaknya mengabaikan ocehan Komachi, aku terus mempelajari sejarah Jepang. 645, Tahun terjadinya Reformasi Taika adalah pada tahun 645.

“Tapi ente tahu, kakaknya itu adalah murid yang super serius sampai dia masuk ke SMA Soubu. Aku heran apa ada sesuatu yang terjadi padanya.”

“Oh, begitu ya.”

Kata-kata Komachi masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lain. 694, Tahun dimana Fujiwara-kyo menjadi ibu kota adalah pada tahun 694. Oh tunggu, apa itu tahun 794? Tidak, itu Heian-kyo.

Namun, itu sudah cukup untuk membuatku terlelap. Manusia memiliki tekad yang kuat untuk tidak dikalahkan oleh obat-obatan. Dengan kata lain, tidak peduli berapapun kafein yang kukonsumi, keinginanku untuk tidur tetap mungkin bisa menang.

“Tapi yah, itu keluarganya jadi aku tidak bisa benar-benar mengatakan apapun. Kami sudah semakin dekat akhir-akhir ini, jadi dia mengungkapkan isi hatinya padaku, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Oh, namanya Kawasaki Taishi-kun dan dia mulai memasuki tempat lesku bulan April ini.”

“Komachi.”

Pensil mekanikku jatuh dari tanganku dan membuat suara dentuman. Kantukku hilang dalam sekejap.

“Apa hubunganmu dengan Taishi-kun ini? Apa maksudmu dengan semakin dekat?”

“Whoa, kamu memiliki tampang menakutkan di matamu, onii-chan…”

Kelihatannya aku sedang melihatnya dengan agak serius. Komachi agak sedikit terkejut. Tapi disini adalah adik idiotku. Sesuatu mungkin terjadi padanya jika dia tidak menjaga dirinya sendiri. Itu alamiah bahwa aku khawatir dengannya sebagai seorang keluarga. Jika dia terlibat dengan lelaki, itu tidak akan bagus baginya.

Onii-chan benar-benar tidak mentoleransi hal-hal seperti itu.

“Meh. Beritahu aku jika ada sesuatu yang menganggumu. Aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, tapi hal-hal yang kulakukan dengan Klub Servis – yang masih belum kumengerti, omong-omong – mungkin bisa membantumu, kurasa.”

Komachi menggembungkan pipinya dan tersenyum ketika aku mengatakan itu.

“Onii-chan, kamu benar-benar seorang pria yang kaku!”


× × ×


Sudah pagi hari. Burung pipit sedang bercicit. Jadi ini yang namanya “fast-forward sampai keesokan harinya” yang terjadi dalam cerita-cerita.

Aku membuka mataku, berkedip terkejut. Aku disapa, bukan oleh pemandangan yang biasa kujumpai, tapi oleh langit-langit yang tidak kukenali. Yang kumaksud dengan itu, aku sedang berada di ruang tamu. Kelihatannya kami entah bagaimana tertidur ketika kami sedang belajar. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang menginterogasi Komachi tentang status hubungannya.

“Hei, Komachi. Sudah pagi,” panggilku.

Saat itulah ketika aku sadar aku tidak melihat adik kecilku dimanapun. Aku melihat-lihat sekelilingku mencari Komachi selama dua detik. Kemudian, aku menatap ke luar jendela. Matahari sudah terbit cukup tinggi. Itu memakan waktu tiga detik untuk memastikan ini. Kemudian aku merasakan perasaan ada sesuatu yang salah dan aku melihat ke arah jam sambil berkeringat dingin. Sudah jam sembilan pagi. Aku melihatnya ke atas dan ke bawah, tapi masih jam sembilan pagi. Itu memakan lima detik penuh untuk memproses hal ini.

Dampak situasinya menghantamku dalam waktu sepuluh detik ini.

“Aku akan super telat…” Aku menundukkan kepalaku, merasa depresi.

Sarapan berisikan roti panggang, daging ham dan telur terjajar di atas meja, beserta secarik surat yang ditinggalkan Komachi sebelum dia berangkat.

Kepada onii-chan, Aku akan berangkat duluan karena aku tidak mau terlambat. Tenang saja!

S.P. Pastikan kamu memakan sarapanmu!!

“Tolol… kamu pikir kamu itu Security Police?”

Cara menulisnya yang benar adalah P.S.[3], seperti Playstation.

Yah, karena tidak ada gunanya gempar akan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan, aku mengunyah sarapan yang disiapkannya untukku dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sambil bersungut-sungut. Keliatannya orangtuaku sudah pergi bekerja. Karena kedua orangtuaku bekerja, pagi hari dalam keluarga Hikigaya mulai pagi sekali. Ibuku membuat sarapannya tapi Komachi biasanya bertugas menyiapkan makan malam.

Dan namun tidak ada satu orangpun yang membangunkanku meskipun mereka bangun pagi. Sementara aku khawatir apakah aku dicintai dan semacamnya, aku ingin percaya dalam kebaikan untuk membiarkan seseorang tetap tertidur.

Darahku sedang terpompa-pompa saat aku mengganti bajuku. Setelah memastikan pintunya sudah terkunci, aku meninggalkan rumah.

Selagi aku bersepeda dengan santai melintasi pinggiran sungai, aku melihat ke atas dan menjumpai gumpalan-gumpalan awan raksasa yang melintasi langit dengan cepat. Hari ini, jalur ke sekolah begitu indahnya sepi. Itu membuatku merasa tentram. Biasanya, rute menuju SMA Soubu adalah sebuah jalur lomba pacu bersepeda dimana murid dari sekolah lain berlomba-lomba melawan satu sama lain. Menyalip orang lain dan berteriak “Maju! Magnum!” adalah perasaan yang paling menyenangkan. Ketika kamu melawan para pria, kamu akan menjadi berapi-api dan mengatakan sesuatu seperti, “Aku tidak akan kalah! Sonic!” [4]

Hari ini, dalam perjalanan pulang baliknya kurang lebih antara para nyonya yang lebih tua berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan berat badan mereka dan pria yang lebih tua berjalan-jalan dengan anjing mereka, dan suasananya seintens seperti menonton orang memancing. Pergi ke sekolah seperti ini tidaklah buruk sekali-sekali. Sebenarnya, setelah aku memikirkannya, bersepeda di bawah langit biru terasa cukup bagus. Itulah hal-hal yang kamu beritahu seseorang untuk membujuk mereka untuk ikut membolos bersamamu, dan itu berhasil sekitar lima puluh persen kasus.

Dan namun, mengapa sewaktu aku hampir tiba ke sekolah, suatu perasaan melankolis yang tiba-tiba menerjangku…?

Meski begitu, aku tidak bergerak dengan diam-diam. Malah, aku memasuki sekolah dengan cara biasa. Pada saat ini para guru sedang berada di kelas, kamu tahu, jadi tidak mungkin mereka akan menyadari aku terlambat. Menjadi takut itu tidak ada gunanya. Aku mempelajari hal itu dari tujuh puluh dua kali keterlambatanku ke sekolah tahun lalu. Ini sudah ke delapan kalinya terlambat tahun ini, yang mungkin akan mmpengaruhi catatan sekolahku jika begini terus. Aku ingin mencapai angka dua ratus kali pada kelas tiga SMAku.

Masuk ke dalam gerbang sekolah itu gampang. Masalahnya adalah kelas. Aku menghentikan sepedaku di area parkir dan berpaling dengan cepat menuju pintu masuk. Segera sesaat aku memasuki lapangan sekolah, aku merasa seakan kekuatan gravitasinya bertambah dalam sekali hantam. Aku sedang berada di Planet Vegeta, kamu tahu? Aku menyeret diriku menaiki tangganya dan melintasi loronng dimana tidak ada satu orangpun, sampai akhirnya aku tiba pada kelasku di lantai dua.

Aku menarik nafas dalam-dalam di depan pintu. Kemudian aku meletakkan tanganku di gagang pintunya. Pada saat itu, aku merasa sangat gugup.

Pintunya terdorong terbuka.

Dan kemudian semua mata sekaligus melihatku, tidak ada seorangpun yang mengatakan apapun. Keheningan sudah menyeliputi seluruh kelas. Bisik-bisikan dan suara ajaran guruku sudah menghilang ke kehampaan.

Aku tidak benci terlambat. Apa yang kubenci adalah suasana ini.

Contohnya, jika itu Hayama yang melakukannya, aku cukup yakin mereka semua akan, “Hei, Hayama! Datang lebih telat lagi lain kali!” “Hayama, kamu begitu lamban, men!” “Hahaha, Hayama kamu lamban!”

Tapi dalam kasusku, tidak ada yang mengatakan apapun, dan selama sesaat aku mendapat pandangan dari semua orang yang bertanya, “Siapa pria ini?” Aku menjawab dengan hening selagi aku memasuki kelas dengan langkah berat. Sesaat setelah aku sampai ke tempat dudukku, sebuah perasaan letih tiba-tiba melandaku.

Tanpa kusadari aku menghela. Untuk guruku, itu yang terakhir.

“Hikigaya. Datang jumpai aku setelah kelas berakhir,” kta Hiratsuka-sensei selagi dia menghantam meja guru dengan tinjunya.

“Oke…”

…Gawat aku. Aku menundukkan kepalaku sebagai responnya, membuat Hiratsuka-sensei menganggukkan kepala dengan puas saat dia berpaling dan melanjutkan menulis di papan tulis, jas putihnya berlambai di belakangnya.

Tunggu dulu, hanya tinggal lima belas menit lagi sampai akhir kelas!

Dan yang kejamnya adalah lima belas menit itu berjalan begitu cepat. Sementara aku sedang mengabaikan pelajaran dan sedang berpikir ratusan alasan keterlambatanku, loncengnya berbunyi.

“Sekian untuk pelajaran ini. Hikigaya, datang kemari,” kata Hiratsuka-sensei sambil mengisyaratkanku datang dengan tak sabar.

Aku melihat wajahnya dengan perasaan ingin kabur yang luar biasa.

Hiratsuka-sensei memberungut dengan terang-terangan padaku. “Kalau begitu sekarang, sebelum aku meninjumu, aku akan bertanya padamu mengapa kamu terlambat, hanya untuk bersikap baik saja.”

Dia sudah memutuskan untuk meninjuku!

“Tunggu, anda salah. Tunggu sejenak. Tidakkah anda tahu kata ‘terlambat supaya keren’[5]..? Singkatnya, ini hanya latihan untuk nanti ketika aku menjadi seorang eksekutif yang hebat dan elit.”

“Aku pikir kamu ingin menjadi seorang bapak rumah tangga.”

“Urk!” aku menyernyit, tapi aku segera mendapat tumpuanku lagi. “Y-yah! Itu suatu kesalahan untuk berpikir bahwa terlambat itu sudah pasti hal yang buruk. Anda mengerti? Para polisi mulai bergerak setelah insidennya terjadi. Itu sudah dikenal luas bahwa sang pahlawan akan datang pada menit-menit terakhir. Dengan kata lain, mereka selalu terlambat. Tapi siapa yang menyalahkan mereka?! Tidak ada! Ironinya disini adalah bahwa keterlambatan itu merupakan keadilan!” aku berteriak dari lubuk jiwaku.

Ketika aku selesai, Hiratsuka-sensei memiliki tampang dingin di matanya untuk beberapa alasan.

“…Hikigaya. Mari kuberitahu kamu satu hal. Keadilan yang lemah itu tidak ada bedanya dengan kejahatan.”

“…keadilan lemah itu bahkan lebih baik dari kejaha- tunggu! Jangan pukul aku! Tidak!”

Aku Soku Zan [6].. Tinju Hiratsuka-sensei mendarat ke dalam liverku dengan keakuratan yang pas. Tubuhku mengerang akan luka yang dihasilkan. Selagi aku terjungkir dan jatuh ke lantai, aku terbatuk-batuk.

Hiratsuka-sensei menghela takjub sementara aku menggeliat kesakitan. “Astaga… tidak ada habisnya murid bermasalah di dalam kelas ini.” Tapi dia tidak mengatakannya dengan jijik – malah, dia terlihat senang daripada apapun. “Aku sedang membicarakan tentang satu orang lain ketika aku mengatakan itu.”

Sepenuhnya mengabaikan bahwa aku sudah terjatuh ke lantai, Hiratsuka-sensei mengetakkan sepatu hak tingginya ke lantai dan menghadap ke pintu belakang kelas. Aku melihat ke arah yang sama dari posisiku di atas lantai dan menyadari keberadaan seorang murid perempuan sedang memegang tas sekolahnya.

“Kawasaki Saki. Apa kamu juga terlambat supaya keren?” Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum masam di wajahnya.

Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa suaranya. Kemudian dia berjalan persis melewati tubuh terjuntaiku di lantai dan menuju tempat duduknya.

Rambut panjang hitamnya tumbuh sampai punggungnya; bagian yang tidak diperlukan dari lengan baju kemejanya dilonggarkan; kaki panjang dan tajamnya terlihat dibuat untuk menendang. Tapi yang memberikan kesan padaku adalah mata tanpa ambisinya, yang menatap kosong ke kejauhan. Tanpa disebutkan black lacenya yang kelihatan seakan dibordir oleh seorang penjahit.

YahariLoveCom v2-141.png

Sumpah aku pernah melihat gadis itu entah dimana sebelumnya… tunggu sebentar, jika dia ada di dalam kelasku, kalau begitu tentu saja aku pernah melihatnya sebelumnya.

Karena aku dapat melihat ke dalam roknya dari posisi terjuntaiku di lantai, aku langsung berdiri. Aku tidak mau siapapun curiga denganku.

Dan pada saat itu, tiba-tiba aku menyadari sesuatu dalam pikiranku.

“…kamu si gadis black lace itu, bukan?”

Dengan itu, semua keraguanku langsung sirna.

Tanpa sadar, aku mengingat kembali pada satu peristiwa yang telah terbakar ke dalam mataku. Aku mengingat si gadis yang tiba-tiba menertawaiku ketika dia melihatku di atap.

Oh, jadi dia berada dalam kelasku, huh? Sudah waktunya untuk sekali lagi memastikan bahwa ini adalah gadis yang sekarang sudah kuketahui bernama Kawasaki Saki. Daripada pergi ke tempat duduknya, Kawasaki berdiri di tempat dia berada dan melihat ke belakang padaku dengan santai dari bahunya.

“…apa kamu bodoh?” tanya Kawasaki Saki. Dia tidak menendang atau meninjuku. Dia tidak merona karena malu dan wajahnya tidak merah karena amarah – itu seakan dia sama sekali tidak tertarik. Dia hanya sedikit jengkel.

Jika Yukinoshita Yukino itu kaku, Kawasaki Saki hanya dingin. Itu seperti perbedaan antara es kering dengan es biasa. Yukinoshita melepuhkan siapapun yang menyentuhnya.

Dengan tampang jijik di wajahnya, Kawasaki menyisir seuntai rambut yang lepas sebelum menghadap ke tempat duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk di atasnya, dia melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong seakan dia merasa bosan. Itu seakan dia sedang melihat ke luar sehingga dia tidak perlu melihat ke dalam.

Tidak ada orang di dunia yang tidak menyadari aura “jangan bicara padaku”nya. Tapi aura “jangan bicara padaku”nya masih lemah. Tidak ada orang yang mau berbicara padaku di dalam kelas meskipun aku mengaktifkan aura “tolong bicara denganku”.

“Kawasaki Saki, huh…?”

“Hikigaya, berhenti mengutarakan nama gadis yang bagian dalam roknya kamu lihat dengan emosi mendalam.” Hiratsuka-sensei meletakkan tangannya di bahuku. Tangannya begitu dingin. “Kita akan berbincang-bincang tentang hal ini nanti. Datang jumpai aku di ruang staf setelah sekolah.”


× × ×


Setelah satu jam singkat diceramahi oleh Hiratsuka-sensei, aku mampir ke toko buku di pusat perbelanjaan Marinepia daripada langsung menuju ke rumah.

Aku mengamati rak bukunya dan membeli sebuah buku. Pergilah uang kertas seribu-yenku, bersama dengan uang receh yang bergemerincing dalam dompetku.

Setelah itu, aku pergi ke kafé, berpikir aku mungkin akan sekalian belajar. Tapi kelihatannya semua orang yang lain juga memikirkan hal yang sama, karena tempat itu dipadati oleh murid-murid dari segala tempat. Baru saja ketika aku sedang berpikir apakah aku sebaiknya pulang ke rumah saja, aku melihat beberapa wajah yang kukenali.

Totsuka Saika yang berpakaian baju olahraga sedang menatap kue di pajangan kaca. (Pada sekolah kami, kamu bisa memakai seragam atau baju olahraga – tidak masalah yang mana dipakai.) Kesan dari suasana itu bahkan lebih manis dari krim segar, dan aku tertarik padanya seperti semut tertarik pada gula. Aku adalah salah satu jenis orang “itu harus benar-benar pas☆”. Hei, aku kurang lebih mirip Goldilocks.

“Oke, sekarang giliranmu selanjutnya untuk menanyakan pertanyaan, Yukinon,” kata wajah familier nomor dua.

Yuigahama dan Yukinoshita tidak membuang-buang waktu mereka selagi mereka menunggu giliran mereka untuk dilayani dan terserap ke dalam kegiatan belajar mereka.

“Baik, kalau begitu sebuah pertanyaan bahasa Jepang,” ucap Yukinoshita. “Lengkapi ungkapan berikut ini: ‘Ketika perjalanan menjadi sulit-’”

“…jalur Tokyo-Chiba ditutup?”

Perbaikan: ternyata hanya Kuis Ultra Seputar Chiba [7]. Dan jawaban Yuigahama juga salah. Jawaban yang benar adalah “Akhir-akhir ini, lebih banyak kereta api yang melambat tanpa berhenti.”

Mendengar kesalahan ini, wajah Yukinoshita juga menjadi muram, persis seperti yang bisa kamu duga darinya. “Tidak benar… kalau begitu, pertanyaan selanjutnya. Yang ini lebih mengenai geografi. Sebutkan dua makanan khas lokal Chiba.”

Tik tok, tik tok. Jarum jam berdetak pergi. Yuigahama menelan ludah. “Kacang Miso… dan kacang rebus?” Dia memasang tampang begitu serius di wajahnya.

“Hei. Kamu pikir semua yang kami lakukan hanya menanam kacang di Chiba?” tanyaku.

“Whoa!” Yuigahama melompat. Kemudian dia berkata, “Oh, cuma Hikki. Selama sejenak, kupikir kamu itu seorang pria aneh yang mau merayuku…”

Lontong. Aku bermaksud untuk datang nanti, tapi sekarang aku berdiri pada antrian yang tololnya panjang ini karena aku memperbaiki kesalahan Yuigahama. Sialan! Alangkah menderitanya diriku karena cintaku akan Chiba!

Mendengar reaksi berlebihan Yuigahama. Totsuka berpaling dan menghadapku. Kemudian sebuah senyuman cerah terpampang di wajahnya. “Hachiman! Jadi kamu juga diundang mengikuti kelompok belajar ini!”

Totsuka berjalan dengan malu-malu ke arahku, sambil menyeringai. Tapi tentu saja tidak mungkin aku diundang, dan Yuigahama memasang tampang muram “Sungguh menjengkelkan. Orang ini bukan salah satu dari kami,” di wajahnya. Oi, hentikan itu, kamu sedang membangkitkan ingatanku tentang pesta ulang tahun teman sekelasku saat SD. Walaupun aku membawa sebuah hadiah dan segalanya, mereka semua mengabaikanku dan aku hampir mau menangis.

“Hikigaya-kun tidak pernah diundang,” kata Yukinoshita. “Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”

“Yukinoshita, berhenti menegaskan fakta-faktanya demi membuat seseorang merasa tidak enak.”

Astaga, jika aku tidak memiliki tekad yang kuat, kamu akan mendapat apa yang pantas kau dapat, bajingan.

Sebenarnya, aku mungkin sudah akan meneriakkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti dan menghantamnya dengan sebuah kursi. AKu ingin dia meminta maaf pada ego yang luar biasa kerasku ini.

“Aah, aku bermaksud mau memanggilmu, Hikki, tapi ada makanan dalam mulutku…” kata Yuigahama.

“Nah, Aku benar-benar tidak tersinggung.” Aku sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini.

“Apakah kamu juga datang kemari untuk belajar menghadapi ujian juga, Hikigaya-kun?” tanya Yukinoshita.

“Uh, kurasa. Kalian juga?”

“Tentu saja. Ujian hanya tinggal dua minggu lagi,” ujar Yuigahama.

“Men, sebelum kamu belajar untuk ujianmu, kamu lebih baik melatih trivia Chibamu. Pertanyaan terakhir itu sudah semacam bonus.”

“Aku tidak merasa itu semacam pertanyaan bonus… lebih condong pada pertanyaan geografi: ‘Sebuatkan dua makanan khas lokal Chiba.’” Yukinoshita mengutarakan pertanyaan yang sama seperti tadi dengan datar, seakan sedang mengujiku.

“Jawaban yang benar adalah ‘Budaya terkenal Chiba: festival dan menari.’”

“Aku bilang ‘makanan khas lokal’. Aku cukup yakin tidak ada orang yang tahu lirik lagu daerah Chiba.” Yukinoshita tercengang. Tidak, aku cukup yakin dia mengetahuinya. Dia hanya tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. (Omong-omong, lagu daerah Chiba dinyanyikan pada Bon-Odori[8], dan sebagian besarnya ditampilkan dengan cara mirip latihan senam modern. Penduduk Chiba bisa menyanyi dan menari sampai kedua-duanya. Ya, kamu bisa entah bagaimana menyanyi mengiringi latihan senam meskipun tidak ada lirik yang bisa dinyanyikan.)

Selagi semua ini sedang terjadi, orang di depan kita telah dilayani, dan sesaat kemudian sudah giliran kami. Pada saat itu, Yuigahama tiba-tiba menyeringai. “Hikki, Aku akan membayar punyamu,” kicaunya.

“Huh? Aku bilang aku tidak tersinggung… apa kamu akan menyamar menjadi nenekku selanjutnya? Nenek, sungguh besar gigimu.”

“Aku bukan si serigala besar jahat! Aku hanya berusaha bersikap baik meskipun aku tidak mau membayar punyamu!”

Apa dia baru saja menggali kuburannya? Dari awal pun tidak ada alasan kenapa Yuigahama harus mentraktirku.

Yukinoshita, yang sedang menonton perbincangan kami, membuat helaan jengkel. “Kamu sedang membuat malu dirimu, jadi hentikan itu. Aku tidak suka hal semacam itu. Aku membenci orang bermuka dua.”

Untuk sekali ini, aku setuju dengan Yukinoshita. “Ya. Aku juga benci tipe orang seperti itu.”

“Huh?! K-Kalau begitu aku tidak akan mengatakannya, jika begitu!” tegas Yuigahama.

“Nah, tidak apa-apa kalau itu lelucon dengan orang-orang yang dekat denganmu,” kataku. “Aku sarankan kamu cukup mengatakannya dengan orang yang kamu sukai pada lingkaran dalam pertemananmu?”

“Ya, memang,” kata Yukinoshita. “Kamu tidak termasuk dalam lingkaran dalam pertemananku, jadi aku tidak keberatan.”

“Aku agak terkejut kamu tidak menganggapku bagian lingkaran dalam pertemananmu!” Yuigahama melihat pada Yukinoshita dengan mata berlinang.

Pada saat yang sama, sudah giliranku dilayani. Ketika aku memesan kopi blend, asisten toko yang bisa membuatnya segera mengocokkan kopinya. “Harganya 390 yen.”

Itu terjadi ketika aku memasukkan tanganku ke dalam kantongku. Ingatanku tentang apa yang barusan terjadi muncul dalam benak pikiranku. Aku sudah membeli sebuah novel ringan di toko buku, dan lalu apa? Aku membayar 1000 yen, persis jumlah uang yang kumiliki, dan aku juga sudah memakai semua uang recehku… yang berarti aku tidak memiliki uang sekarang. Tapi kopinya sudah dibuat jadi sudah terlambat untuk menolaknya.

Aku mulai berbisik dengan diam-diam pada dua gadis di belakangku. “Maaf. Aku tidak ada uang sekarang, teehee. Sori, tapi bisakah kalian membayarkannya untukku?”

“…memuakkan.” Yukinoshita langsung mengecapku sebagai sampah.

Yuigahama menghela, dengan tampang terkejut di wajahnya. “Huh, kurasa tidak ada yang bisa dilakukan.”

…Y-Yuigahama-san! Kamu datang untukku, dewiku! Betapa aku memuja engkau!

“Aku akan mengambil kopi itu, jadi bagaimana kalau kamu minum air saja, Hikki?”

…setan ini. Apa dia Lilith atau semacamnya?

“Hachiman, A-Aku akan membayarkannya untukmu! Jadi tak usah khawatir akannya, oke?” Totsuka tersenyum padaku dengan baik hati.

Totsuka benar-benar seorang malaikat.

Ketika aku baru saja mau memeluknya, suara dingin Yukinoshita datang sebagai penghalang di antara kami. “Itu tidak akan baik baginya jika kamu memanjakannya.”

“Katakan itu setelah kamu melakukan sesuatu yang baik untukku sekali-sekali.”

Totsuka akhirnya membayarkannya untukku, jadi aku mencari-cari tempat duduk selagi aku mengucapkan terima kasih padanya. Paling tidak itu yang bisa kulakukan selagi mereka bertiga menunggu pesanan mereka.

Pada saat yang sama, satu kelompok berempat beranjak dari tempat duduk mereka, jadi aku menyelip ke dalam tempat mereka dengan segera. Aku meletakkan nampan di meja dan dengan buru-buru melemparkan tasku ke bawah. Karena terlalu bersemangat, tasku jatuh ke bawah tempat duduk dengan bantalan itu.

Seorang gadis sekolah berparas-cantik yang duduk di tempat duduk sebelah mengambilkannya kepadaku. Aku membungkuk dengan sopan sebagai respon pada sikap tak mengeluh dan anggunnya.

“Oh, itu onii-chan.”

Si gadis berparas-cantik itu adalah adikku, Hikigaya Komachi. Berpakaian dalam seragam SMPnya, dia melambai padaku dengan senyuman ceria yang muncul di wajahnya.

Itu memakan waktu yang lama untukku untuk merespon. “Apa yang kamu lakukan disini?” tuntutku.

“Lihat, aku hanya mendengarkan masalah Taishi-kun,” kata Komachi sambil memalingkan pandangannya kembali ke tempat duduk di depannya. Yang duduk disana adalah seorang anak laki-laki berseragam SMP.

Dia segera menundukkan kepalanya dan membungkuk ke arahku. Aku tanpa sadar mengamatinya dengan waswas. Persisnya mengapa laki-laki ini bersama Komachi…?

“Ini Kawasaki Taishi-kun. Aku memberitahumu tentangnya semalam, kamu tahu? Dia yang kakaknya menjadi preman.”

Sekarang setelah dia mengatakannya, aku ada perasaan kami berbincang-bincang seputaran itu. Hampir seluruhnya masuk ke dalam satu telinga dan keluar dari telinga yang lain karena aku begitu bertekad menghapal tanggal sejarah saat itu. Apa itu lagi yang terjadi pada tahun 694…?

“Jadi ya, dia barusan menanyakanku bagaimana dia bisa membuat kakaknya kembali seperti sebelumnya. Oh, iya. Kamu juga menanyakannya, onii-chan. Kamu bilang aku boleh memberitahumu jika aku ada masalah apapun.”

Oh, Aku entah bagaimana mendapat perasaan aku mungkin menceplos tanpa berpikir dan menyatakan sesuatu seperti itu semalam. “Serahkan itu padaku dan katakan saja!” atau entah apa. Ya, aku mungkin berniat melakukan sesuatu seperti itu jika itu demi adikku, tapi kalau aku benar-benar jujur, aku tidak ada niat seperti itu kalau mengenai temannya, terlebih untuk seorang laki-laki…

“Ya, aku mengerti. Tapi kamu tahu, aku rasa dia seharusnya membicarakannya lagi dengan keluarganya segera. Yap, malah, jangan buang-buang waktu lagi.”

Aku pikir aku bisa menyelesaikannya dengan tipu daya jika aku menyambungkan beberapa kata yang terdengar-keren. Kemudian aku bisa menyingkirkan Komachi dan pulang ke rumah. Selagi pemikiran itu melintasi otakku, si Taichi itu mulai bergembar-gembor seakan aku itu senpainya atau semacamnya.

“Kamu benar mengenai itu, tapi… akhir-akhir ini, nee-chan telat pulang ke rumah dan dia sama sekali tidak mendengarkan apa yang dibilang orangtua kami. Dia marah padaku dan berkata padaku itu bukan urusanku ketika aku mengatakan sesuatu padanya…”

Taishi menundukkan kepalanya selagi dia berbicara. Kelihatannya dia sedang merenungkannya dengan cara khususnya sendiri.

“…sekarang kamu satu-satunya yang bisa kuandalkan, onii-san.”

“Kamu tidak berhak memanggilku onii-san!”

“Kenapa kamu meneriakkan hal-hal seperti seorang ayah yang keras kepala?” ujar suatu suara dingin di belakangku.

Aku berpaling untuk melihat Yukinoshita dan yang lain sudah mendekat. Menilai mereka sebagai kenalanku dari bagaimana mereka memakai seragam yang sama sepertiku, Komachi tidak buang-buang waktu dalam menampilkan senyuman lugas.

“Hai semua! Aku Hikigaya Komachi. Terima kasih untuk berada disana untuk abangku,” Komachi menyapa mereka dengan senyum penuh arti. Salah satu kepribadian khususnya semenjak dia masih kecil adalah kemampuannya untuk bisa menyesuaikan diri kemanapun dia pergi, seringkali sampai ke tingkat mencengangkan.

Sementara itu, Taishi-kun, pelanggan yang lain, lebih suka untuk tetap diam. Dia merendahkan kepalanya setengah jalan dalam bungkukan yang patuh dan hanya memperkenalkan dirinya dengan menyebut namanya saja.

“Kamu adik kecil Hachiman?” kata Totsuka dengan sopan. “Senang bertemu denganmu. Aku teman sekelasnya. Namaku Totsuka Saika.”

“Oh, kamu begitu sopan, sungguh mempesona. Dan astaga, kamu sungguh imut. Benarkan, benarkan, onii-chan?”

Aku menggerutu. “Dia laki-laki.”

“Haha! Lelucon yang lucu! Hahaha, apa yang kamu katakan, abangku yang idiot?”

“Er, um. Aku laki-laki…” kata Totsuka dengan malu-malu sambil memalingkan wajahnya, terlihat merona.

…lontong sate! Apa orang ini benar-benar laki-laki?

“Uh… benarkah?” tanya Komachi, menyenggolku dengan sikunya.

“Maaf, aku tidak yakin untuk sesaat tadi, tapi dia mungkin seorang laki-laki. Walau dia itu imut.”

“Y-ya…” Komachi menatap lurus ke wajah Totsuka, hanya setengah-yakin. Selagi dia bergugam hal-hal seperti, “Bulu matamu sungguh panjang. Kulitmu benar-benar cantik,” Totsuka sambil merona berpaling dari pandangannya, bertingkah gelisah dan tidak nyaman.

Aku ingin menatap wujud manis Totsuka selamanya, tapi ketika dia membuat kontak mata denganku seakan sedang berkata, “Tolong akuuuuuu…” Aku memisahkan Komachi darinya.

“Sudah cukup untuk sekarang. Omong-omong, ini Yuigahama dan itu Yukinoshita.”

Komachi akhirnya melihat ke arah mereka berdua setelah pengenalan singkatku. Ketika mata mereka bertemu, Yuigahama tertawa dengan gugup. “S-Senang berjumpa denganmu,” dia memperkenalkan dirinya. “Aku Yuigahama Yui, teman sekelasnya Hikki.”

“Oh, hai, senang berjumpa denga-” Komachi berhenti bergerak dan menatap lurus pada Yuigahama. “Huh…”

Yuigahama menghindari matanya, selagi berkeringat deras. Apa, apa mereka itu si ular dengan di kodok? Tatapan mereka berlangsung selama tiga detik penuh sampai suatu suara mengusir kemandekkan itu.

“…apa kalian sudah selesai?” Yukinoshita memotong dengan kalem, setelah menunggu dengan sabar selama beberapa saat.

Itu menabjubkan bagaimana dengan hanya suaranya saja membuat Yuigahama dan Komachi diam dan memusatkan perhatian mereka padanya. Suaranya yang terang-terangan dingin begitu pelan dan lemah. Dan namun pesannya tersampaikan, keras dan jelas. Itu seperti mendengarkan suara salju segar sedang menimbun tanahnya.

Jadi itu mungkin lebih akurat untuk mengatakan bahwa – mereka bukan terdiam – mereka terkagum-kagum dengannya. Komachi membuka matanya lebar-lebar dan duduk terpaku di tempat di depan Yukinoshita. Selagi dia melihat Yukinoshita, dia sedang terpesona untuk sesaat.

“Senang berjumpa denganmu. Aku Yukinoshita Yukino. Hikigaya-kun itu… apa hubungan Hikigaya-kun denganku, ya…? Dia bukan teman sekelasku, dia juga bukan temanku… Aku benci untuk mengakuinya, tapi dia itu kenalanku, kurasa?”

“Mengapa kamu mengatakannya dengan begitu tidak yakinnya dan mengapa kamu begitu malu untuk mengenalku?”

“Kamu tahu, aku sedang berpikir apakah kenalan itu istilah yang tepat. Bagaimanapun juga satu-satunya hal yang kutahu tentangmu, Hikigaya-kun, adalah namamu. Atau mungkin akan lebih akurat untuk mengatakan aku tidak mau tahu lebih banyak tentangmu daripada itu. Dan namun aku masih memanggilmu sebagai kenalanku.”

Sungguh kalimat yang kejam. Tapi ketika kamu memikirkannya, definisi dari kenalan itu juga samar. Aku bahkan tidak tahu apa itu teman, apalagi seorang kenalan. Apa itu benar-benar tak masalah untuk memanggil seorang yang baru kamu temui sekali sebagai seorang kenalan? Apa kamu masih akan memanggil mereka sebagai kenalanmu setelah berjumpa dengannya berulang kali? Apakah kamu masih bisa memanggil mereka sebagai kenalanmu tidak peduli berapa banyak informasi yang kamu ketahui tentang orang itu?

Terserahlah. Memakai sebuah penamaan yang definisinya begitu buruk bukanlah sebuah ide yang bagus. Untuk sekarang, yang terbaik adalah untuk memprioritaskan fakta-fakta konkret.

“Untuk sekarang sesuatu seperti ‘satu sekolah[9]’ sudah cukup bagus.”

“Memang… kalau begitu izinkan aku untuk meralat pernyataanku. Aku benci untuk mengakuinya, tapi aku Yukinoshita Yukino, satu sekolah dengannya.”

“Kamu masih malu untuk mengenalku!” Yah, kamu tahu tidak? Aku juga sama malunya untuk mengenal dia!

“Tapi tidak ada cara lain bagiku untuk menyampaikannya.”

“Oh, um, tidak apa-apa. Aku rasa aku cukup mengerti hubungan macam apa antara kamu dengan abangku,” kata Komachi dengan baik hari pada Yukinoshita yang sedikit gelisah. Aku bersyukur adikku begitu cepat menangkap situasinya, tapi kasih sayang antar saudaranya sangat kurang, menurutku.

“…permisi, tapi apa yang sebaiknya kulakukan?”

Aku memalingkan kepalaku. “Huh? O-ohhh…”

Taishi-kun sedang dalam kebuntuan, sebuah ekspresi risau terpampang di wajahnya. Disini dia sedang menuangkan isi hatinya kepadaku, tapi satu-satunya kenalannya adalah Komachi, yang membuat situasinya kacau dan sulit baginya. Tidak, jujur saja, posisinya sekarang itu seperti kenalan dari kenalannya, dan itu tidak seperti dia bisa mengikuti perputaran alur percakapan yang aneh ini. Tidak usah dibilang fakta bahwa dia sedang dikelilingi hanya oleh orang-orang yang lebih tua dari dirinya. Dia benar-benar dalam situasi yang sulit. Sama sekali bukan soal menarik perhatian pada dirinya dengan berbicara tidak sopan dan tidak bijak, dia sedang dalam suatu posisi dimana orang akan menanyakannya apa masalahnya. “Mengapa begitu diam?” dan seterusnya. Jika aku berada dalam posisinya, aku mau mati. Pilihanmu satu-satunya adalah terus mengangguk sepanjang pembicaraan dan terkadang tertawa dan tersenyum dengan canggung.

Menghadapi semua itu, fakta bahwa Taishi bertekad untuk mengutarakan isi pikirannya menunjukkan kemampuan komunikasi yang cukup mengagumkan. Aku rasa kamu bisa katakan dia adalah laki-laki dengan prospek yang bagus. (Walau, aku tidak akan pernah membiarkannya menjaga Komachi.)

“Permisi, Aku Kawasaki Taishi. Nee-chan kelas sebelas di SMA Soubu… oh, dan namanya Kawasaki Saki. Nee-chan itu… bagaimana kalian mengatakannya…? Seorang preman? Dia menjadi busuk…?”

Aku ada ingatan mendengar nama itu baru-baru ini. Selagi aku mengaduk susu dalam kopi blendku, sambil merenung, aku disergap oleh landaan memori. Konstras antara hitam dan putih membentuk sebuah gradasi yang menstimulasi pandanganku.

…oh, benar! Si gadis black lace!

“Kamu maksud si Kawasaki Saki di kelas kami?”

“Kawasaki Saki-san…” Yukinoshita mengutarakan nama itu dan memiringkan kepalanya sedikit, yang menunjukkan betapa sedikitnya yang dia ketahui tentang Kawasaki.

Tapi Yuigahama, yang berada di kelas yang sama dengan Kawasaki, menepuk tangannya tanda dia kenal, seperti yang dapat diduga darinya. “Oooh. Kawasaki-san, benar? Dia itu tipenya agak menakutkan dan mirip preman.”

“Kalian bukan teman?” tanyaku.

“Kami ada berbincang, kurasa, tapi kami bukan benar-benar teman…” Yuigahama merespon dengan hati-hati. “Dan hei, itu bukan sesuatu yang seharusnya kamu tanyakan pada seorang gadis. Itu membuat kami dalam posisi sulit.”

Bahkan di antara para gadis, ada yang namanya kelompok, geng, perhimpunan, serikat dan sebagainya. Yang penting, dari caranya berbicara, kelompok Yuigahama tidak terlihat memiliki hubungan yang cukup bagus dengan Kawasaki.

“Tapi aku tidak pernah melihat Kawasaki-san bergaul dengan siapapun…” ujar Totsuka. “Aku merasa seperti dia selalu menatap kosong ke luar jendela.”

“…oh, itu kurang lebih bagaimana dirinya.” Aku ingat bagaimana tingkah Kawasaki Saki di dalam kelas. Dia adalah seorang gadis penyendiri dengan mata abu yang hanya menatap awan yang bergerak. Dipikir-pikir lagi, dia tidak melihat pada apapun di dalam kelas melainkan pada sesuatu tempat yang gerakannya lebih cepat lagi di luar jarak pandangnya.

“Jadi kira-kira kapan kakakmu menjadi preman?” tanya Yukinoshita tiba-tiba pada Taishi.

Dia langsung bereaksi. “Y-ya kak!”

Itu perlu diketahui bahwa dia gugup tidak hanya karena Yukinoshita itu menakutkan tapi juga karena seorang gadis cantik yang lebih tua sedang berbicara dengannya. Itu adalah reaksi yang benar untuk seorang anak laki-laki SMP. Jika aku masih murid SMP mungkin aku juga akan bertingkah seperti itu. Tapi ketika kamu menjadi murid SMA yang lemah lesu, kamu akan menyadari dia itu cuma menakutkan.

“Er, uh… itu kira-kira sekitaran saat nee-chan memasuki SMA Soubu karena dia itu seorang murid yang super serius sewaktu SMP dulu. Dia itu relatif baik dulu dan sering membuat makan malam dan semacamnya. Dia tidak berubah banyak bahkan ketika dia duduk di bangku SMA satu… dia berubah hanya baru-baru ini.”

“Jadi itu ketika dia memasuki kelas sebelas?” tanyaku, yang dijawab Taichi dengan tanda membenarkan.

Setelah mendengar itu, Yukinoshita mulai merenungkannya. “Mengenai perubahannya ketika dia duduk di kelas sebelas, apakah ada yang terpikir?”

“Ini cuma jawaban standar, tapi bukankah dia mengganti kelasnya? Itu setelah dia memasuki kelas F.”

“Dengan kata lain, itu ketika dia menjadi teman sekelas Hikigaya-kun.”

“Wah, wah, mengapa kamu mengatakannya seakan aku yang menyebabkannya?” potongku. “Apa aku ini, virus?”

“Aku tidak ada mengatakan sesuatu semacam itu. Kamu terlalu merasa terpersekusi, Hikikuman.”

“Tapi kamu yang mengatakannya sendiri. Kamu jelas-jelas mengatakan ‘kuman’.”

“Lidahku hanya terselip.”

Tidak, serius, hentikan itu. Ini membangkitkan memori traumatisku saat aku diperlakukan seakan aku memiliki kuman. Anak murid SD begitu kejam. Mereka semua akan mulai dengan, “Itu Hikikumaaaan!” “Kamu kena!” “Aku memakai perisai barusan!” hanya karena menyentuhku. “Perisai tidak berguna melawan Hikikuman!” kata mereka. Sebenarnya sekuat apa Hikikuman itu?

Yuigahama melihat pada Taishi-kun. “Tapi k'mu tahu, ketika kamu bilang dia telat pulang ke rumah, sebenarnya jam berapa dia pulangnya? Aku pulang ke rumah cukup telat dan semacamnya juga. Itu tidak begitu aneh untuk seorang anak SMA, k'mu tahu?”

“Oh, huh, tentang itu.” Taishi-kun berpaling, terlihat gugup.

Aku mengerti bagaimana itu. Dia sedang malu-malu karena seorang gadis lebih tua yang begitu seksi sedang berbicara dengannya. Itu reaksi yang benar bagi seorang anak laki-laki SMP. Ketika kamu menjadi anak SMA yang lemah lesu, kamu akan menyadari bahwa kamu sebenarnya bisa mengatakan apapun yang kamu sukai pada seorang pelacur.

“Tapi pulang ke rumah jam lima pagi dan semacamnya itu terlalu telat,” terusnya.

“Itu sudah pagi…” Dan dia juga akan telat. Dia hanya mendapat waktu sekitar dua jam untuk tidur, jika dapat.

“Dan orangtuamu tidak mengatakan apapun padanya ketika dia pulang pada jam se-segitu, menurut yang kudengar?” Totsuka bertanya pada Taishi dengan khawatir.

“Tidak. Kedua orangtua kami bekerja, dan kami ada seorang adik laki-laki dan seorang adik perempuan, jadi mereka tidak bisa benar-benar memarahi nee-chan. Ditambah pula, dia begitu telat sampai-sampai mereka jarang melihatnya… yah, kurasa membesarkan begitu banyak anak berarti kamu mempunyai cukup banyak beban untuk dipikul,” jawab Taishi, dengan relatif tak terguncang.

Hmph, seorang anak SMP sepertinya masih belum menyadari pesona Totsuka. Ketika kamu menjadi murid SMA yang lemah lesu, kamu pasti akan sadar bahwa Totsuka itu, sebenarnya, imut sekali.

“Pada kesempatan jarang kami bertemu satu sama lain, kami akan akhirnya bertengkar, dan kapanpun aku mengatakan sesuatu, dia menjadi benar-benar keras kepala dan berkata ‘Tidak ada urusannya denganmu’…” bahu Taishi terkulai. Dia benar-benar merasa kacau.

“Masalah keluarga, huh…” kata Yukinoshita. “Semua keluarga memilikinya.”

Dia memasang tampang murung mendalam di wajahnya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dia terlihat persis seperti Taishi, yang datang kemari untuk memberitahu kami masalahnya. Yang kumaksud dengan itu adalah dia terlihat mau menangis.

“Yukinoshita…”

Tapi sesaat setelah aku memanggilnya, awan menutupi mataharinya dan seberkas bayangan menutupi wajahnya. Karena itu, aku tidak dapat membaca wajah Yukinoshita yang tertunduk. Tapi hanya dengan melihat bahu sayunya terkulai, memberitahuku dia membuat helaan singkat.

“Kamu berkata sesuatu?” Yukinoshita menjawabku selagi dia mengangkat wajahnya.

Ekspresinya tidak berbeda dari biasanya – dingin dan menghina.

Awan hanya menutupi mataharinya selama sesaat. Aku tidak ada cara untuk mengetahui arti helaan yang dia buat selama sepersekian detik itu.

Satu-satunya yang menyadari perbedaan dalam tingkah laku Yukinoshita adalah diriku. Taishi dan yang lain terus berbincang dengan normal.

“Dan bukan itu saja… nee-chan mendapat semua panggilan teleponnya dari suatu tempat yang aneh.”

Mendengar kata-kata Taishi, sebuah tanda tanya melayang di atas kepala Yuigahama. “Tempat aneh?”

“Mmm. Dari Angel entah apa, mungkin dari semacam toko… si orang manajer itu berbicara padanya.”

“Apa tentangnya yang begitu aneh?” tanya Totsuka.

Taishi memukulkan tinjunya ke atas meja. “Maksudku coba pikir! Angel?! Itu benar-benar mirip nama toko kotor!”

“Huh, Aku sama sekali tidak mendapat kesan tersebut dari kata itu…” Yuigahama berkata dengan agak ragu-ragu, tapi aku benar-benar mendapat kesan tersebut.

Lihat, maksudnya, sensasi gairah anak SMPku sedang bergetar. Coba bayangkan kata “Angel” ini terpampang di distrik lampu merah Tokyo. Megerti yang kumaksud? Faktor mesumnya baru saja naik lima puluh persen. Dan selagi kita membicarakannya, kata “Super” itu membuatnya terasa empat puluh persen lebih erotis.

Tidak usah diragukan lagi, ini pastilah sebuah toko kotor.

Bocah ini telah menyadari hal itu, seperti yang bisa kalian duga.

“Hei, tenang dulu sejenak, Taishi,” kataku. “Aku mengerti semuanya.”

Bahagia karena dimengerti, Taishi mengusap air mata penuh emosi dari ujung telinganya dan merangkul serta memelukku dengan penuh emosional.

“O-onii-san!”

“Hahaha, apa kamu baru saja memanggilku onii-san? Apa kamu ingin mati?”

Selagi dua lelaki mengikat jiwa mereka bersama di bawah dewa yang bernama Ero, si gadis-gadis dengan tenang memutuskan rencana mereka untuk ke depannya.

“Bagaimanapun, jika dia sedang bekerja di suatu tempat, maka kita perlu membuat suatu rencana khusus,” kata Yukinoshita. “Meskipun itu bukanlah suatu toko berbahaya seperti yang diyakini idiot ini, fakta bahwa dia bekerja sampai subuh itu bermasalah. Kita perlu menemukan kemana mereka pergi dan menghentikannya.”

“Ya, tapi meskipun kita berhasil menghentikannya, dia mungkin akan mencari pekerjaan di tempat lain, k'mu tahu?” kata Yuigahama.

Komachi mengangguk setuju. “Keluar dari penggorengan dan masuk ke dalam api[10].”

“…maksudmu masuk ke dalam api,” kata Yukinoshita.

Oh, adik kecilku. Aku mohon, tolong, jangan buat malu nama Hikigaya. Lihat, kamu sedang membuat Yukinoshita merasa malu karena dirimu.

“Dengan kata lain, satu-satunya pilihan kita adalah mengobati gejalanya sekaligus mencabut akar penyebabnya,” Yukinoshita menyimpulkannya pada kira-kira saat yang sama aku memisahkan Taishi dariku.

“Hei, tunggu sebentar dulu. Apa kamu berencana membuat kami melakukan sesuatu?”

“Tapi tentu saja. Kawasaki Taishi-kun adalah adiknya Kawasaki Saki-san, murid di sekolah kami. Tidak usah dikatakan bagaimana sebagian besar kekhawatiran Taishi itu mengenai dirinya. Aku yakin itu berada di dalam lingkup pekerjaan Klub Servis.”

“Ya, tapi semua aktivitas klub ditangguhkan karena ujian semester…”

“Onii-chan.” Seseorang menyodok punggungku tanpa henti. Ketika aku berpaling, Komachi sedang tersenyum lebar padaku.

Itu adalah senyum Komachi setiap kali dia memintaku untuk melakukan sesuatu untuknya. Dulu sekali ketika Komachi ingin mendapatkan hadiah Natalku, dia juga memasang ekspresi ini di wajahnya. Mengapa Santa harus meminta kartu Love and Berryku [11]? Tidak mungkin aku bisa melawan Komachi, yang memegang kartu truf terkuat yang dinamakan simpati orangtua kami. Sial, dia tidak imut sama sekali…

“Aku akan melakukannya…” kataku dengan enggan.

Taishi membungkuk dengan antusias, seperti mesin dalam gigi tinggi. “Te-terima kasih!” teriaknya penuh sukacita. “Maaf telah mengangu kalian! Aku janji untuk berusaha yang terbaik!”


× × ×


Program rehabilitasi Kawasaki Saki dimulai keesokan harinya.

Setelah sekolah, aku pergi ke ruangan klub dimana Yukinoshita sedang menunggu dengan angkuh. “Kalau begitu, ayo kita mulai.”

Yuigahama dan aku mengangguk mendengar kata-katanya. Oh, dan karena beberapa alasan, Totsuka juga berada disana.

“Totsuka, kamu tidak perlu memaksa dirimu untuk datang kemari.” Maksudku, itu sangat menyakitkan harus menahan tirani Yukinoshita. Tanpa diragukan lagi dia hanya berada disini karena Yukinoshita telah memberinya tatapan maut.

Tapi Totsuka menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak, tidak apa-apa. Aku juga mendengar apa yang terjadi. Ditambah lagi, aku tertarik dalam apa yang kamu dan yang lain lakukan, Hachiman… Aku akan senang untuk pergi bersama kalian jika aku tidak menghalangi kalian.”

“Be-begitu ya. Kalau begitu… tolong pergi bersamaku.”

Aku mengatakan bagian “Tolong pergi bersamaku” secara refleks seperti pria kekar yang mempesona. Lihat, maksudku, apa lagi yang bisa kamu katakan ketika dia mencengkram lengan baju kausmu, melihat ke arahmu dengan mata menengadah dan berkata dia ingin pergi bersamamu? Aku sedang mengambil alih situasinya seperti pria jantan! …oh tunggu, Totsuka itu seorang laki-laki. Sial.

Karena aktivitas klub ditangguhkan selama ujian semester, lapangan sekolahnya kosong setelah pulang sekolah. Selain kami, ada beberapa murid lain yang sedang belajar sendiri-sendiri di dalam sekolah, dan juga tipe-tipe Kawasaki Saki yang sedang diceramahi karena terlambat. (Omong-omong, kamu akan dipanggil ke ruang staf untuk diceramahi jika kamu terlambat lebih dari lima kali dalam sebulan.)

Hiratsuka-sensei mungkin sudah menahan Kawasaki Saki dan sedang memberinya ceramah panjang lebar selagi kita berbicara.

“Aku sudah memikirkannya dan aku yakin bahwa Kawasaki-san sebaiknya menyelesaikan masalahnya dengan tangannya sendiri,” ujar Yukinoshita. “Ada sedikit resiko jika dia mengubah sikapnya dengan kekuatannya sendiri daripada dipaksa untuk melakukannya ooleh orang lain, dan hampir tidak ada peluang masalahnya menjadi kambuh lagi.”

“Itu masuk akal, kurasa,” aku setuju.

Ini bukan hanya terbatas pada preman, tapi juga ketika orang lain mengomentari tindakanmu, itu benar-benar menjengkelkan. Contohnya, jika seseorang yang dekat denganmu berusaha untuk memberitahumu apa yang seharusnya kamu lakukan, kamu akan mulai merasa dongkol dengan mereka. Cara yang mudah untuk membayangkannya adalah ketika ibumu berkata padamu saat sebelum ujian: “Bagaimana kalau kamu berhenti bermalas-malasan dan pergi belajar?” Sebagai responnya, kamu biasa akan seperti, “Oh, astaga! Aku baru saja akan melakukannya! Oh whoops, hilang sudah motivasiku.”

“Oke, jadi apa yang sebenarnya akan kita lakukan?” tanyaku.

“Apa kamu pernah mendengar terapi hewan?”

Terapi hewan itu, untuk menyederhanakannya, adalah sejenis terapi spiritual yang termasuk membelai-belai hewan untuk mengurangi level stres seseorang dan untuk mengeluarkan kepribadian positif seseorang. Saat Yukinoshita menjelaskan inti-intinya, aku dapat mendengar Yuigahama sedang terkekeh. Tapi menurutku, itu bukanlah cara yang buruk untuk menyelesaikan masalahnya. Dari apa yang dikatakan Taishi, Kawasaki dulunya seorang gadis yang kaku dan berhati baik. Ini mungkin ada pemicu untuk mengeluarkan sisi baik hatinya.

Tapi ada satu masalah.

“Siapa yang akan menyediakan hewannya?” tanyaku.

“Tentang itu… tidak adakah yang disini memelihara seekor kucing?” tanya Yukinoshita.

Totsuka menggelengkan kepalanya dengan murung sebagai jawabannya. Aww, tidak bolehkah aku memeliharanya? Dia begitu imut. Dia akan super efektif!

“Aku ada seekor anjing, apa itu oke?” Yuigahama mengacungkan jari kelingking dan jari telunjukknya dan membuat isyarat tangan dengan ibu jari, jari tengah dan jari manisnya. Itu rubah, bukan anjing [12].

“Kucing lebih disukai,” tegas Yukinoshita.

“Aku tidak benar-benar mengerti perbedaannya…” gugamku. “Serius, apa penjelasan ilmiah yang kamu punya?”

“Tidak ada yang spesifik.” Yukinoshita dengan cekatan menghindari tatapanku. “Yang penting, jangan anjing.”

“Apakah itu berarti kamu tidak suka anjing?”

“Aku yakin aku tidak pernah mengatakan sesuatu semacam itu. Tolong jangan buru-buru menarik kesimpulan,” kata Yukinoshita dengan tersinggung.

Yuigahamalah yang buru-buru menarik kesimpulan. “Tidak mungkin, Yukinon. Kamu benci anjing? Bagaimana bisa?! Bukankah kamu menyukai hewan imut?!”

“…kamu merasa seperti itu karena kamu menyukai anjing, Yuigahama-san.” Nada suara Yukinoshita tiba-tiba menjadi datar.

Apa, apakah dia ada sejenis trauma yang menyangkut anjing atau semacamnya? Apakah dia pernah digigit anjing sebelumnya? Meh, jika dia tidak menyukainya, aku rasa aku sebaiknya jangan memaksanya. Untuk sekarang, aku hanya merasa gembira bahwa aku mengetahui salah satu titik lemah Yukinoshita.

“Kami memelihara seekor kucing,” kataku. “Apakah tidak apa-apa memakai kucing kami?”

“Ya.”

Setelah mengantungi persetujuan Yukinoshita, aku menelepon Komachi. Aku bisa mendengar sejenis musik aneh sebagai latarnya/ Ada apa dengan musik murahan itu? Mengapa ponsel gadis ini menyanyi?

“Yaaaaaa, ini Komachi!”

“Oh, Komachi. Kamu berada di rumah sekarang ini?”

“Yep, Aku di rumah. Kenapa?”

“Ini soal kucing kita. Maaf, tapi bisakah kamu membawanya ke sekolah kami?”

“Huh? Kenapa? Ka-kun berat, jadi aku tidak mau.”

Ka-kun adalah nama kucing kami. Dia dulunya dipanggil Kamakura, tapi karena nama itu terlalu susah disebut jadi suatu hari namanya disingkat. Namanya diambil melihat betapa bulatnya kucing kami seperti kamakura kucing kami[13].

“Er, kamu tahu, Yukinoshita berkata untuk membawanya.”

“Aku akan segera kesana.” Panggilannya tiba-tiba diputus dengan suara beep.

(…huh? Mengapa tingkahnya berubah segera setelah aku menyebut Yukinoshita? Dia begitu enggan ketika aku memintanya!)

Aku menutup ponselku, merasa puas dia akan datang. SMA kami cukup terkenal di area ini, jadi dia mungkin tidak akan tersesaat saat datang kemari.

“Dia bilang dia akan segera kemari,” Aku memberitahu Yukinoshita. “Apa kita sebaiknya menunggu diluar?”

Kami menunggu di luar gerbang sekolah selama dua puluh menit, sampai Komachi muncul dengan keranjang di tangannya.

“Maafkan aku telah memanggilmu datang kemari,” kata Yukinoshita.

“Tidak, tidak, aku senang melakukannya untukmu, Yukino-san,” jawab Komachi sambil tersenyum selagi dia membuka tutup keranjangnya.

Kamakura tergeletak di dalamnya. Dia terang-terangan memberungut padaku dengan tampang seperti “Huh? Apa kau lihat-lihat, sampah?” di wajahnya. Bukan kucing yang terimut.

“Aww, dia begitu imut!” kata Totsuka saat dia mengusap kucingnya. Kamakura memelintir badannya seakan untuk berkata, “Hei, hei, tenang! Tunggu sebentar! Jangan perutku! Jangan usap disana!” Dia benar-benar dalam ampunan Totsuka.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan dengannya?” Aku memegang Kamakura pada bagian tengkuk lehernya setelah Totsuka menyerahkannya padaku. (Omong-omong, ini cara yang salah untuk memegang kucing. Cara yang benar adalah dengan menggendongnya di lenganmu.)

“Kita akan meletakkannya di dalam sebuah kotak kardus dan meninggalkannya di depan Kawasaki-san,” jelas Yukinoshita. “Aku yakin Kawasaki-san akan memungutnya jika hatinya tersentuh.”

“Dia bukan seorang banchou zaman dulu [14].” Jika dia pikir preman = pecinta kucing, maka dia salah besar. Sungguh cara berpikir mirip anak manja.

Dan sebenarnya, kami bahkan tidak begitu mengenal Kawasaki sebaik itu, jadi tidak ada jaminan bahwa cara tidak langsung seperti ini akan berhasil.

“Kalau begitu sekarang, aku akan membawa beberapa kardus.” Aku memberi isyarat untuk menyerahkan kucingku pada Yuigahama, yang berada persis di sampingku. Tapi dia melangkah mundur satu langkah dengan ketakutan.

…ambil saja sudah. Aku mencoba lagi, kali ini dengan memanggil namanya selagi aku menjulurkan Kamakura. Sekali lagi, Yuigahama mengelak untuk menghindarinya.

“Apa-apaan…”

“Oh. Er, uh, tidak ada apa-apa!” kata Yuigahama selagi dia menjulurkan tangannya dengan gugup. Kamakura mengamati tangannya dan membuat suara meong. Sambil tersentak, Yuigahama mengulaikan tangannya.

“Mungkinkah itu… kamu tidak cocok dengan kucing?”

“H-huh?! T-Tentu saja aku cocok dengan kucing! Malah, aku cinta m'reka! M-Maksudku, k'sini, kucing kecil. Meong meong.” Suaranya bergetar. Bukan seperti benar-benar ada alasan baginya untuk takut.

“Komachi, Aku akan menyerahkannya padamu.” Aku menyerahkan Kamakura kepada Komachi. Selagi aku melakukannya, Kamakura tiba-tiba membuat suara purr seakan dia sedang dalam suasana hati yang bagus. Sial, aku bahkan dibenci oleh kucing. “Yah, aku pergi dulu.”

Mungkin ada beberapa kardus di dalam ruang guru, pikirku. Kucing memiliki kotak yang mereka sukai dan kotak yang mereka benci, tapi kuccing kami tidak ada masalah degan sebagian besar jenis kotak. Oh, dan untuk alasan tertentu kucing kami menyukai plastik, dan dia seringkali mengunyah sampul plastik buku komikku. Aku benar-benar heran apa itu begitu merangsang seleranya.

Dipikir-pikir lagi, kemana aku bisa mendapatkan sebuah kantong plastik? Selagi aku berjalan berkeliling, berpikir bagaimana aku bisa menyenangkan kucingku, Yuigahama dengan cepat menyusulku.

“Um, kamu tahu. Aku benar-benar tidak membenci kucing.”

“Hm? Yah, aku tidak benar-benar peduli benci atau tidak. Yukinoshita itu tipe orang yang benci anjing, kamu tahu. Aku sendiri tidak benar-benar suka serangga.”

Atau sebenarnya, manusia.

“Tidak, maksudku aku benar-benar tidak membenci kucing. Aku rasa mereka imut.”

“Jadi? Kamu mengidap alergi kucing atau semacamnya?”

“Bukan itu… kamu tahu, kucingku melarikan diri, k'mu tahu? Itulah mengapa aku menjadi agak sedih karenanya.”

Yuigahama berkata dengan lembut, terbalik 180 derajat dengan sikapnya yang biasa riang. Ada tampang sayu di matanya. Laju langkahnya melamban, dan tentu saja aku ikut melamban bersamanya.

“Aku dulunya tinggal di kompleks multi-apartemen, kamu tahu. Itu benar-benar populer disana untuk menyembunyikan seekor kucing dan memeliharanya di dalam apartemenmu.”

“Itu yang pertama kalinya aku pernah mendengar itu…”

“Itulah bagaimana keadaannya bagi anak-anak yang hidup dalam sebuah apartemen! Kamu tidak dapat memelihara seekor kucing di dalam sebuah aparteman, k'mu tahu? Jadi aku memelihara seekor kucing liar tanpa memberitahu orangtuaku. Tapi pada suatu hari, dia menghilang…” suara Yuigahama melemah.

Dan maka dari itulah, dia menjadi tidak pandai menangani kucing.

Yuigahama tertawa dengan malu-malu seperti biasa. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan dirinya yang lebih muda pada perpisahan itu. Mungkin dia berpikir itu adalah seekor kucing yang imut dan mereka begitu akrab, jadi dia mungkin bingung mengapa dia melarikan diri. Itu pastilah terasa seperti sebuah pengkhianatan.

Tapi gadis yang sekarang ini tahu mengapa. Aku dengar seekor kucing meninggalkan pemiliknya ketika dia sudah mau mati. Karena itu, aku ingin tahu bagaimana Yuigahama yang sudah dewasa ini mengingat kembali kekesalan saat perpisahan itu. Mungkin dia penuh dengan penyesalan.

Itu hanya spekulasiku. Kebenarannya mungkin sangat berbeda sama sekali. Tapi meskipun begtu, aku merasa kesedihan dan kebaikan Yuigahama itu asli.

Dengan hening, tanpa mengutarakan sepatah katapun pada satu sama lain, kami menggotong kardus itu bersama. Kardusnya bahkan tidak seberat itu.


× × ×


Ketika kami memasukkan Kamakura ke dalam kotak kardusnya, dia mencoba menyentuhnya dengan cakar depannya. Setelah dia menghaluskan dasar kotaknya tiga kali, dia membuat suara purr dengan puas seakan untuk mengatakan , “Heh… cukup bagus.”

Kalau begitu sekarang, semua yang perlu kami lakukan sekarang adalah menunggu kemunculan Kawasaki Saki. Masalahnya adalah kami tidak tahu kapan dia akan muncul. Panjangnya ceramah Hiratsuka-sensei tergantung pada keinginannya.

“Mari kita bagi tugas,” usul Yukinoshita, mengambil alih situasinya. Dia menyuruh Totsuka menunggu sembunyi-sembunyi di depan ruang staf, selagi Yuigahama ditempatkan di samping area parkir sepeda. Komachi ditugaskan untuk berpatroli. Dan aku diperintahkan untuk menggotong kotak kardusnya dan berlari berkeliling.

Setelah kamu pikir-pikir, yang lain sudah memiliki tugas mereka, tapi aku tidak ada tugas yang bisa dikerjakan sampai Kawasaki Saki terlihat. Selagi aku sedang menunggu, aku mengumpulkan tekad besarku dan pergi membeli sekotak Sportop dari mesin penjual minuman terdekat. Selagi aku menusukkan sedotanku dan meminum satu atau dua teguk, aku kembali ke posku.

“Meong.” Aku mendengar suara meong Kamakura yang kukenali.

“Meong.” Aku mendengar suara meong seorang gadis yang tidak kukenali.

Aku secara rfleks memeriksa sekelilingku, tapi tidak ada gadis lain selain Yukinoshita di sekitar sini. Untuk sekarang, aku memanggil gadis yang punggungnya menghadapku itu.

“…apa yang sedang kamu lakukan?” tanyaku.

“Apa yang sedang kamu bicarakan?” jawab Yukinoshita dengan polosnya.

“Tidak apa-apa, hanya barusan kamu sedang berbicara dengan kucingnya.”

“Yang lebih pentingnya, aku cukup yakin aku memerintahkanmu untuk pergi menunggu, tapi kelihatannya menjalankan instruksi sederhana itu saja sudah di luar kemampuanmu. Aku memasukkan level ketidakbecusanmu ke dalam pertimbanganku, tapi jujur saja kamu benar-benar melampaui perkiraanku. Aku heran bagaimana seharusnya aku mengutarakan perintahku untuk membuatnya cukup sederhana untuk dimengerti seseorang yang lebih bodoh dari anak SD.”

Yukinoshita lima puluh persen lebih dingin dari biasanya dan nadanya begitu bengis. Matanya sedang memberitahuku bahwa aku akan mati jika aku mengucapkan satu patah kata lagi.

“A-Aku mengerti. Aku akan kembali menunggu…”

Selagi aku mengendap-endap kembali ke bangku tempat aku menunggu, ponselku mulai bergetar. Itu dari penelepon asing. Melihat dari timingnya, panggilannya hanya mungkin bisa dari Yuigahama atau Komachi atau Totsuka – atau mungkin Yukinoshita. Aku tahu nomor Yuigahama dan Komachi dan tidak mungkin Yukinoshita akan meneleponku setelah apa yang terjadi barusan.

…jadi itu berarti panggilannya dari Totsuka?!

“H-halo?!”

“Oh, apa ini onii-san? Aku meminta nomormu dari Hikigaya-san.”

“Aku tidak ada adik laki-laki ataupun adik ipar.”

Aku memutuskan panggilannya pada saat itu juga, tapi panggilan lain datang dengan segera. Bahkan tanpa melihat wajahnya, aku tahu dia itu jenis orang yang persisten, jadi aku menyerah.

“Hei, mengapa kamu memutuskan panggilannya?!”

“Apa yang kamu ingin katakan?”

“Hanya bahwa aku mendengar tentang kucing itu dan, yah, nee-chan ada alergi kucing.”

Hening. Rencana kami gagal total.

“Kenapa kamu tidak memberitahu kami dari tadi?”

“Maaf, aku baru tahu.”

“Astaga, aku mengerti, aku mengerti. Terima kasih sudah memberitahu kami. Sampai nanti.”

Aku menutup teleponnya untuk kali terakhirnya dan dengan segera menuju ke tempat Yukinoshita berada. Yukinoshita sedang berjongkok di depan Kamakura dan menggelitik leher Kamakura. Kamakura sedang melengkung seperti bola.

“Yukinoshita,” Aku memangilnya.

Yukinoshita tiba-tiba melepaskan kucingnya dan hanya menatapku dengan kata “Ada apa sekarang?” terpampang di seluruh wajahnya. Astaga, lupakan saja itu. Cara dia terus menatapiku itu hanya akan membuatku mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

“Aku barusan mendapat panggilan dari Taishi dan rupanya Kawasaki ada alergi terhadap kucing. Jadi aku rasa dia tidak akan mengutip kucingnya meskipun kita meletakkannya disini.”

“…huh. Itu menghancurkan rencananya,” kata Yukinoshita selagi dia membelai kepala Kamakura dengan sedih pada perspisahan mereka. Meong

YahariLoveCom v2-173.png

Ketika aku memanggil yang lain untuk memberitahu mereka kami sudah menghentikan rencananya, Yuigahama, Totsuka dan Komachi kembali kemari.

“Onii-chan, kamu mendapat panggilan dari Kawasaki-kun?” tanya Komachi.

“Er, ya.” Kemudian aku berkata, “Jangan pergi memberitahu nomor telepon pada orang asing. Bagaimana jika sesuatu yang berbahaya terjadi? Berhati-hatilah ketika kamu menangani informasi personal.”

“Informasi personal Hikigaya-kun bukanlah masalah besar,” Yukinoshita mengejekku, tapi hanya setengah bercanda.

“Bukan punyaku, tapi punya Komachi. Kamu dengar aku? Jangan berikan nomor teleponmu dengan gampangnya, oke? Terutama pada laki-laki.”

“Tidak mungkin, kamu mengetahuinya?” Komachi mengelakkan peringatanku dengan sebuah tawa. Yah, adik kecilku adalah salah satu tipe “jangan ceramahi aku”. Itu tidak menghentikannya menjadi lebih superior dibandingku dalam hal-hal semacam ini.

(Atau malah, akulah yang mesti mengejarnya.)

Sekarang setelah operasi terapi hewan sudah gagal, kami perlu menemukan rencana lain. Karena aku sendiri tidak memiliki rencana, Aku melihat ke arah Yukinoshita. Ketika aku melakukannya, dia meihat pada Komachi dan diriku secara bergantian dan membuat helaan pelan.

“…Kalian bersaudara cukup akur.” Dia bimbang. “Aku agak cemburu.”

“Huh? Oh, orang-orang sering berkata begitu ketika mereka hanya anak satu-satunya. Itu bukanlah suatu hal yang hebat.”

“Tidak, aku…” suara Yukinoshita melemah, yang jarang baginya. Biasanya dia akan menyatakan apapun yang ada dalam pikirannya, meski akibatnya akan melukai orang lain. “Tidak, tidak apa-apa.”

Apa dia memakan sesuatu yang buruk, seperti salah satu biskuit Yuigahama atau semacamnya?

“Kalau begitu sekarang, apa yang mesti kita lakukan? Kita perlu memikirkan sesuatu.”

“Er, uh…” Totsuka mengacungkan tangannya dengan takut-takut. Dia melihat pada baik Yukinoshita dan Yuigahama dengan tampang tidak yakin di matanya, seakan dia ingin mengontribusikan sesuatu tapi tidak yakin bagaimana mengatakannya.

Silahkan dan katakan saja, pikirku. Meskipun tidak ada orang lain yang mau menerimanya, aku akan menerimanya! Contohnya, aku bahkan akan menerima cinta yang tidak dapat diterima ini!

“Silahkan,” kata Yukinoshita. “Aku tidak keberatan jika kamu mengutarakan isi pikiranmu. Itu akan membantu kita semua.”

“Oke kalau begitu… jadi um, bagaimana jika kalian memberitahu Hiratsuka-sensei tentang itu? Aku rasa Kawasaki mungkin terlalu dekat dengan orangtuanya untuk memberitahu mereka tentang masalahnya. Tapi jika dia sedang berbicara pada orang dewasa lain, dia mungkin bisa mencurhatkan masalahnya, mungkin bisa?”

Oh, sungguh pendapat yang hebat. Memang, dia mungkin tidak bisa membicarakannya pada orangtuanya karena mereka adalah orangtuanya. Contohnya, aku sepenuhnya tidak ada keinginan untuk membicarakan tentang porno atau kisah cintaku pada orangtuaku. Juga, aku tidak akan memberitahu mereka jika aku pergi ke sekolah dan ada coretan di atas mejaku, atau ada sampah di rak sepatuku, atau jika aku menerima sebuah surat cinta dan menjadi beitu bersemangat karenanya, hanya untuk mengetahui bahwa itu adalah lelucon teman sekelasku.

Itulah mengapa pihak ketiga itu diperlukan. Seseorang yang dapat diandalkan dengan pengalaman hidup yang berlimpah mungkin bisa pergi dan membantunya.

“Tapi Hiratsuka-sensei, katamu…” Ada sebuah faktor kekhawatiran disana. Bisakah kamu benar-benar memanggil orang semenyedihkan ini sebagai orang dewasa? Satu-satunya hal yang dewasa tentangnya adalah dadanya.

“Dibanding dengan guru lain, Hiratsuka-sensei sangat dekat dengan murid-muridnya.” ujar Yukinoshita. “Tidak ada orang yang lebih cocok untuk ini.”

“Oh, ya, kurasa.” Persis seperti yang dikatakan Yukinoshita, Hiratsuka-sensei memang bekerja keras dalam membimbing murid-muridnya. Dia mengarahkan murid-murid yang terjerat akan masalah pada Klub Servis, dan dia terhubung dengan murid-muridnya pada level harian. Dia mungkin bisa melakukan apa yang kami perlukan darinya karena pengamatannya begitu tajam dan semacamnya. “Kalau begitu aku akan mencoba menghubunginya.”

Aku menjelaskan inti situasi Kawasaki Saki dalam pesan teksku. Alamat telepon Hiratsuka-sensei, yang sepenuhnya tidak kubutuhkan ataupun kuinginkan, telah berguna untuk sekali ini.

“Itulah kira-kira. Aku memberitahunya kita akan menjelaskan lebih banyak di pintu masuk. Oke, itu akan membuatnya datang.”

Setelah aku menutup emailnya, kami menunggu selama lima menit.

Kami mendengar suara kaku dari sepatu hak tingginya menggesek lantai, menandakan kemunculan Hiratsuka-sensei.

“Hikigaya, Aku mengerti situasinya,” katanya dengan wajah serius. “Aku akan mendengar detilnya.” Dia memadamkan rokok yang dihisapnya ke dalam asbak portabelnya.

Aku menjelaskan apa yang kami tahu tenatang Kawasaki Saki, dan juga apa yang kami duga. Hirtsuka-sensei mendengar dengan hening sampai aku selesai, yang kemudian dia membuat helaan yang pendek dan singkat.

“Fakta bahwa murid sekolah kita sedang bekerja paruh waktu sampai lewat tengah malam adalah sebuah masalah serius. Kita perlu menyelesaikan maslaah ini dengan cepat sebelum masalahnya mejadi lebih besar lagi. Aku akan menanganinya.” Hiratsuka-sensei terkekeh dengan gaya yang agak tidak professional. “Apa yang kamu lihat? Aku baru melepaskan Kawasaki sebelum aku datang kemari. Dan itu memakan dua menit lagi untuk sampai kemari.”

…ada apa dengan perasaan tidak enak yang tidak dapat dijelaskan ini yang muncul di benakku? Keseluruhan tingkahnya berbau schadenfreude[15].

“Um, anda tahu anda tidak diizinkan untuk meninju atau menendangnya bukan?”

“Tidak mungkin… kamu sadar aku hanya melakukan hal semacam itu padamu saja bukan?”

“Tidak, itu sama sekali tidak romantis.”

Selagi ini sedang terjadi, Kawasaki Saki muncul di pintu masuk. Dia menyeret kakinya dengan malas dan terkadang membuat uapan lebar. Dia melemparkan tas sekolahnya ke bahunya dengan lesu seakan dia tidak memperdulikan apapun juga. Sikunya maju mundur dengan malas.

“Tunggu dulu disana, Kawasaki,” Hiratsuka-sensei memanggil dengan nada memerintah pada punggungnya. Nada suaranya menggetarkan tanahnya dengan kasar.

Mendengar itu, Kawasaki berpaling, matanya menyipit setengah seakan dia sedang menatapinya. Selagi dia berpaling, dia membungkuk dengan gerakan yang mulus.

Hiratsuka-sensei juga tinggi, tapi dia inferior dibanding dengan Kawasaki. Kaki panjangnya, yang ditutupi dengan longgar oleh sepatunya, menendang sebuah kerikil dengan cekatan.

“…anda perlu sesuatu?” kata Kawasaki dengan tak ramahnya dengan nada serak yang menyatakan “Aku tidak peduli”. Caranya berbicara dengan blak-blakan itu menakutkan. Dia tidak menakutkan seperti preman atau yankee jenis “Aku akan meninjumu sampai setengah mati!”. Dia menakutkan seperti wanita tua di bar mesum. Dia membuat jenis kesan seseorang yang sedang duduk di sudut kasir, sedang merokok dan memegang sebotol whisky di satu tangan.

Di sisi lain, seluruh tubuh Hiratsuka-sensei juga menghasilkan aura yang sama menakutkannya. Dia menakutkan seperti seorang pria tua letih yang sedang menyajikan dirinya sebotol bir selagi dia mematan porsi soba kelimanya di sebuah rumah makan Chinese di depan stasiun di bagian kota yang kumuh, selagi meneriakkan hal-hal seperti, “Dia tidak ada harapan lagi! Sungguh pitcher [16]” saat menonton siaran ulang baseball. Apa ini, Clash of the Titans?

“Kawasaki, Aku dengar kamu pulang telat ke rumah akhir-akhir ini – bahwa kamu pulang ke rumah pada subuh hari. Persisnya apa yang kamu lakukan dan dimana?”

“Apa seseorang memberitahu anda itu?”

“Informasi klienku sangat rahasia. Sekarang jawab pertanyaanku,” Hiratsuka-sensei berkata dengan anda jangan mengatakan hal sampah.

Kawasaki menghela dengan lesu. Kelihatannya, dia sedang mengejek sensei. “Tidak banyak. Apa itu benar-benar masalah kemana aku pergi? Tidak seperti aku sedang menganggu orang lain.”

“Tapi kamu mungkin bisa di kemudian hari. Kamu tidak akan menjadi murid SMA selamanya. Tidakkah kamu tahu ada orang yang sedang mengawasimu? Seperti orangtuamu dan aku,” tegas Hiratsuka-sensei.

Tapi Kawasaki hanya menatap dirinya dengan ekspresi bosan.

Hilang kesabaran, Hiratsuka-sensei mencengkram lengan Kawasaki. “Tidakkah kamu pernah memikirkan bagaimana perasaan orangtuamu?” tuntutnya dengan serius, mencengkramnya seakan dia tidak akan pernah melepaskannya.

Sentuhannya mungkin hangat dan lembut. Aku heran apakah perasaan penuh emosionalnya dapat meluluhkan hari Kawasaki.

“Sensei…” bisik Kawasaki, menyentuh tangan Hiratsuka-sensei dan menatap langsung ke dalam matanya.

Lalu-

“Macam aku tahu bagaimana perasaan orangtuaku. Dan lagipula, tidak mungkin anda bisa tahu karena anda belum menjadi orangtua juga, sensei. Bukankah anda sebaiknya mengatakan hal itu setelah anda sendiri menikah dan melahirkan anak?”

“Uuuuurk!”

Kawasaki sudah membalikkan situasinya sepenuhnya. Hiratsuka-sensei kehilangan pijakannya seperti seorang petinju dihantam oleh tinju yang tiba-tiba. Dia sedang menerima sejumlah luka yang cukup dalam. Kelihatannya perasaan Hiratsuka-sensei tidak sampai padanya.

“Sensei, anda seharusnya mengkhawatirkan masa depan anda sendiri sebelum anda mengkhawatirkan masa depanku. Seperti menikah dan semacamnya.”

Tubuh Hiratsuka-sensei terjungkir saat menerima tinjunya terus menerus. Jadi lukanya sudah mencapai kakinya, huh… Dampak lukanya mencapai panggulnya, bahunya dan mengarah ke atas sampai ke kotak suaranya. Dia membuat suara serak, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya berlinang-linang.

Si Kawasaki yang tak berperasaan itu tidak memperdulikannya dan menghilang ke area parkiran sepeda. Kami melihat pada satu sama lain tanpa mengatakan apapun, tidak tahu apa yang mau dikatakan. Yuigahama dan Komachi menatap tajam ke lantai, sementara Totsuka bergugam, “Kasihan sensei,” pada dirinya sendiri.

Kemudian Yukinoshita meringkuk. Itu seakan dia sedang mencoba menyembunyikan sosoknya.

Mengapa? Mengapa semua diserahkan padaku untuk melakukan sesuatu? Pikirku. Selagi aku melihat kondisi menyedihkan guruku, aku merasa terdorong untuk mengatakan sesuatu. Mungkinkah itu… bahwa aku sedang merasa kasihan padanya?

“Er, uh… sensei?” kataku, berusaha untuk memikirkan kata-kata penghibur.

Sensei berpaling dengan kaku seperti zombie. Dia terisak. “Aku pulang dulu…” katanya dengan suara yang tipis dan bergetar selagi dia mengusap matanya dengan sisi ibu jarinya.

Dan kemudian, bahkan tanpa menunggu jawabanku, dia mulai berjalan dengan terhuyung-huyung menuju ke parkiran mobil.

“A-Anda sudah berusaha yang terbaik.” Selagi aku melihat figur sendiriannya tersandung di kejauhan, sinar matahari sore menusuk mataku dan membuat air mataku berlinang.

Tolong, seseorang cepat nikahi dia.

Catatan Translasi

<references>

  1. Pixiv adalah situs yang banyak dipakai pelukis Jepang untuk mengupload gambar-gambar anime. '-tan' bahasa Kansai yang sama dengan '-chan' dan digunakan sebagai istilah cinta hal-hal imut.
  2. Pakaian yang sekaligus menyatukan baju dengan rok, apa ada Indonya?
  3. Post Script = Setelah Isi
  4. Referensi pada Bakusō Kyōdai Let’s & Go!!, sebuah manga tua tentang lomba pacu.
  5. Fashionably late = Seni hanya terlambat sedikit (5 menit kira-kira) untuk memberikan kesan kamu itu orang yang populer dan sibuk yang terlambat karena ada urusan lain
  6. Secara harfiah berarti, “Bunuh Langsung Kejahatan.” Sebuah referensi pada moto Shinsengumi, kelompok pasukan revolusi. Juga banyak dikaitkan dengan kemampuan pedang Saitou Hajime dalam Rurouni Kensin, manga shonen klasik
  7. Referensi pada acara game show Trans America Ultra Quiz, yang menguji kontestan pengetahuan geografi mereka.
  8. Bon Festival adalah festival Jepang tahunan untuk menghormati sanak keluarga yang telah meninggal dunia, dan tarian tradisionil yang dilaksanakan sewaktu festivalnya dinamakan Bon-Odori.
  9. Ori sih 'fellow student' tapi aku rasa satu sekolah lebih cocok
  10. Mirip sudah jatuh ketimpa tangga pula
  11. Oshare Majo: Love and Berry mengacu pada kartu koleksi yang ditujukan untuk gadis kecil
  12. Isyarat tangannya: Isyarat Rubah
  13. Kamakura adalah sejenis rumah salju mirip igloo yang dipakai sebagai altar untuk memuja dewa air.
  14. Pimpinan preman. Seringkali diceritakan sebagai orang kuat dengan hati emas dalam cerita fiksi.
  15. Bahasa Jerman yang berarti senang di atas penderitaan orang lain
  16. Pelempar bola di baseball