Difference between revisions of "Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 2"
Line 1: | Line 1: | ||
==Bab 2: Sudah Kuduga, Kisah Komedi Romantis Remajaku Bersama Totsuka Memang Tepat Sekali== |
==Bab 2: Sudah Kuduga, Kisah Komedi Romantis Remajaku Bersama Totsuka Memang Tepat Sekali== |
||
===2-1=== |
===2-1=== |
||
− | Dua puluh menit setelah aku menerima perintahku yang menindas, aku berada di area parkir sepeda, |
+ | Dua puluh menit setelah aku menerima perintahku yang menindas, aku berada di area parkir sepeda, benar-benar merasa bingung. |
Persis seperti yang Yukinoshita katakan, memotivasi Yuigahama untuk kembali ke Klub Servis merupakan prioritas nomor satu kami. Itu tidak seakan aku memiliki keberatan<!--objection to--> apapun untuk Yuigahama kembali atau semacamnya. Sekarang setelah aku sudah menekan tombol ulang, seharusnya ada jarak yang sesuai di antara kami. Tidak ada masalah jika aku bisa cukup mempertahankan jarak tersebut. |
Persis seperti yang Yukinoshita katakan, memotivasi Yuigahama untuk kembali ke Klub Servis merupakan prioritas nomor satu kami. Itu tidak seakan aku memiliki keberatan<!--objection to--> apapun untuk Yuigahama kembali atau semacamnya. Sekarang setelah aku sudah menekan tombol ulang, seharusnya ada jarak yang sesuai di antara kami. Tidak ada masalah jika aku bisa cukup mempertahankan jarak tersebut. |
||
Line 159: | Line 159: | ||
Sesudah kami sampai ke lantai atas menaiki liftnya, kami berjalan ke ''arcade'', setelah memutuskan untuk mengecek tempat itu dulu. Ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam aulanya, aku dilanda oleh banjiran suara-suara seakan sebuah dunia yang benar-benar berbeda sedang terbuka <!--flash open-->di depan mataku: lampu dekoratif yang berkerlap-kerlip, asap rokok yang membumbung tiada henti, jeritan tawa yang menolak untuk diredam oleh semua kehiruk-pikukan tersebut. |
Sesudah kami sampai ke lantai atas menaiki liftnya, kami berjalan ke ''arcade'', setelah memutuskan untuk mengecek tempat itu dulu. Ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam aulanya, aku dilanda oleh banjiran suara-suara seakan sebuah dunia yang benar-benar berbeda sedang terbuka <!--flash open-->di depan mataku: lampu dekoratif yang berkerlap-kerlip, asap rokok yang membumbung tiada henti, jeritan tawa yang menolak untuk diredam oleh semua kehiruk-pikukan tersebut. |
||
− | Persis di depanku, terdapat sebuah tempat |
+ | Persis di depanku, terdapat sebuah tempat game ''crane''. |
− | Segera setelah aku melihat seorang pasangan sedang mengoperasikan |
+ | Segera setelah aku melihat seorang pasangan sedang mengoperasikan ''crane''nya dan sedang membuat keributan yang luar biasa dasyatnya dengan gelak tawa mereka, aku ingin pulang. Sialan, Preman-san, apa yang menahan kalian begitu lama? Tolong segera buru rakyat jelata ini, dan selagi kalian melakukannya, tolong berbaik-hatilah pada para polisi dengan menghajar diri kalian satu sama lain.… |
− | Si pria kelihatannya sedang kesusahan dengan game |
+ | Si pria kelihatannya sedang kesusahan dengan game ''crane'' itu, karena dia sedang bernegosiasi dengan salah satu pegawainya dan membuatnya memindahkan salah satu mainan lembut itu untuknya. Kelihatannya mendapatkan mainan untuk pelangganmu adalah bagian dari pelayanannya sekarang ini. Sungguh sudah mulai longgar disini… |
Menyelip melewati pasangan tersebut, Totsuka dan aku berpaling ke tempat video game. |
Menyelip melewati pasangan tersebut, Totsuka dan aku berpaling ke tempat video game. |
||
Line 208: | Line 208: | ||
<br /> |
<br /> |
||
+ | ===2-3=== |
||
+ | |||
+ | Salah satu ciri khusus para penyendiri dikenal sebagai “bertingkah berlebihan ketika mendengar nama mereka”. Biasanya, jarang sekali seseorang pernah memanggil nama mereka, jadi pada saat-saat langka seorang penyendiri ''memang'' mendengar nama mereka dipanggil, mereka cenderung bertingkah berlebih-lebihan. Sumber: diriku. Mereka membuat beberapa reaksi tolol seperti berkoak-koak dengan tingkah yang terlampau kaget. Seperti, itu berada pada level menjawab dengan refleks ketika pengumum mengatakan, “Pemberhentian selanjutnya adalah Ichigaya,” pada jalur kereta api Soubu. |
||
+ | |||
+ | “Siapa sangka aku akan bertemu denganmu di tempat ini. Mengapa kamu berada di sini?” Zaimokuza berhenti sejenak. “Ini adalah medan pertempuran, kamu tahu. Sebuah tempat bagi mereka yang siap untuk membuang nyawa mereka.” |
||
+ | |||
+ | “Um, Aku hanya diajak kemari oleh Totsuka seperti orang normal,” tunjukku, menolak untuk bermain dengan main-peran Zaimokuza yang menjengkelkan. |
||
+ | |||
+ | Reaksi Zaimokuza adalah membuat mata sok polos paddaku. Tidak imut. “Jadi Hachiman, apakah kamu ada semacam kerjaan untuk dilakukan disini?” |
||
+ | |||
+ | “Nah, Aku hanya datang untuk menyantai.” |
||
+ | |||
+ | “Bilang apa?! Tunggu dulu. Kamu sedang melakukan ini dengan Tuan Totsuka?” Zaimokuza melirik ke arah Totsuka, matanya melebar dengan keterkejutan yang berlebihan. Itu membuat Totsuka tersentak dan mundur ke balik punggungku. |
||
+ | |||
+ | “Uh, ya…” kataku. |
||
+ | |||
+ | “Oho, Aku akan bersama dengan kalian untuk sekarang ini.” Zaimokuza meninggalkan kami dengan sempoyongan, dengan sebuah seringai yang lebar namun tidak mengenakkan di wajahnya. Kelihatannya dia sedang mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sedang berbincang dengannya barusan tadi. Kurang dari satu menit berlalu sebelum dia kembali, dengan mendesah berat. “Kalau begitu sekarang, ayo kita jalan.” |
||
+ | |||
+ | “Um, kamu sadar kami tidak pernah mengajakmu…” |
||
+ | |||
+ | Zaimokuza, yang entah kapan membuat keputusannya untuk menemani kami berdua, terus berdesah sampai bahunya bergetar. Dia mengusap keringatnya dengan lengan bajunya, seakan dia tidak ada waktu untuk keberatan malasku. |
||
+ | |||
+ | “Hei, Zaimokuza, apa pria barusan itu temanmu atau semacamnya?” |
||
+ | |||
+ | “Nai. Dia seorang Arcanabro.” |
||
+ | |||
+ | “Uh, Aku tidak sedang menanyakan nama alias orang itu, kamu tahu.” |
||
+ | |||
+ | “Hm? Itu bukan nama aliasnya. Nama aliasnya itu Ash si |
||
==Catatan Translasi== |
==Catatan Translasi== |
||
<references> <references/> |
<references> <references/> |
Revision as of 19:05, 7 February 2015
Bab 2: Sudah Kuduga, Kisah Komedi Romantis Remajaku Bersama Totsuka Memang Tepat Sekali
2-1
Dua puluh menit setelah aku menerima perintahku yang menindas, aku berada di area parkir sepeda, benar-benar merasa bingung.
Persis seperti yang Yukinoshita katakan, memotivasi Yuigahama untuk kembali ke Klub Servis merupakan prioritas nomor satu kami. Itu tidak seakan aku memiliki keberatan apapun untuk Yuigahama kembali atau semacamnya. Sekarang setelah aku sudah menekan tombol ulang, seharusnya ada jarak yang sesuai di antara kami. Tidak ada masalah jika aku bisa cukup mempertahankan jarak tersebut.
Kalau begitu sekarang, bagaimana aku bisa membuat Yuigahama termotivasi?
Itu tidak seperti aku cukup dapat melemparkan tali laso ke lehernya, dan memintanya langsung untuk kembali akan membangkitkan kesan tidak mengenakkan dari yang sebelumnya, yang benar-benar tidak menarik minatku.
Jadi apa sekarang?
Aku memikirkannya untuk sejenak. Tapi… Aku tidak tahu. Apa aku seharusnya minta maaf? Nah, tidak seakan aku melakukan sesuatu yang salah…
Pertengkaranku dengan Komachi selalu berakhir tanpa perlu banyak berkata-kata. Entah bagaimana aku mendapat perasaan keadaannya tidak akan membaik dengan sendirinya kali ini…
Selagi aku menggaruk kepalaku dengan ekspresi kaku pada wajahku, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. “Hachiman? Oh, itu benar-benar kamu, Hachiman.”
Ketika aku berpaling, Totsuka Saika sedang bertingkah gelisah dengan malu-malu, cahaya matahari sore yang cemerlang menyinari dirinya. Debu di udara berubah menjadi partikel cahaya hanya karena dia berdiri di sana. Totsuka itu betul-betul malaikat.
Aku segera terpesona, tapi aku memutuskan untuk bertingkah sekeren mungkin yang bisa dicapai manusia. “Yo.”
“Yo juga.” Totsuka mengangkat satu tangannya seakan dia sedang mencoba untuk meniruku. Tingkah kasar itu pastilah membuatnya malu, karena dia tertawa dengan tersipu-sipu dan senyuman malu-malu terbentuk di wajahnya. Lontong sate, dia terlalu imut. “Apa kamu juga akan pulang sekarang, Hachiman?”
“Ya. Jadi apa klub tenis juga sudah selesai untuk hari ini, Totsuka?”
Totsuka, yang sedang berpakaian dalam pakaian olahraganya, mengatur raket pada punggungnya dan memikirkannya sejenak sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih belum, tapi aku dilatih di malam hari jadi… Aku pulang lebih awal.”
“Dilatih?”
Apa, apa Totsuka itu begitu imutnya sampai dia mengikuti Sekolah Aktor Okinawa untuk menjadi seorang bintang? Baik, aku akan membeli 100 CDnya! Maksudku, aku akan membeli sebanyak yang dibutuhkan sehingga aku bisa menarik sebuah tiket acara jabat tangan[1].
“Mm, di sekolah tenis, kamu tahu. Klub di sini berfokus terutama dalam melatih dasar-dasarnya.”
“Ohh… kamu cukup profesional.”
“T-Tidak ada yang bisa dibanggakan, sungguh… tapi… itu cintaku.”
“Huh? Maaf, tapi bisakah kamu mengatakannya lagi?”
“Um… tidak ada yang bisa dibanggakan?”
“Tidak, sedikit setelah itu.”
“…cintaku.”
“Oke, sudah mengerti kali ini.”
Aku menekan tombol simpan dalam hati dan mengukir kata-katanya ke dalam hatiku.
Selagi aku menghela dengan penuh kebahagiaan, seorang Totsuka yang melongo memiringkan kepalanya sedikit dan membuat suara bingung. Yang penting, aku sudah meraih tujuanku. Misi terselesaikan.
“Oh, maaf tentang itu,” kataku. “Jadi kamu sudah mau dilatih, benar, Totsuka? Oke. Sampai jumpa, kalau begitu.”
Melambai dengan santai, aku naik ke atas sepedaku dan baru saja mau mulai mengayuh. Tapi pada saat itu, aku merasakan sebuah tarikan menahan di punggungku. Ketika aku berpaling ke belakang, Totsuka sedang mencengkram kausku.
“Um, kamu tahu… dilatihnya mulai di malam hari. Jadi aku ada sedikit waktu sebelum dilatih…” Suaranya melemah, sebelum memulai lagi. “Tempatnya dekat ke stasiun, jadi… Aku bisa langsung berjalan ke sana… Maksudku, maukah kamu jalan-jalan sebentar?”
“Apa…”
“Kalau kamu senggang, maksudnya…”
Aku ragu ada orang di dunia ini yang akan menolak setelah diminta seperti itu. Macam, meskipun aku harus berangkat ke tempat kerja paruh-waktu nanti, aku yakin aku pasti akan meminta cuti satu hari dari tempat kerja. Aku mungkin akan menjadi muak bekerja dan langsung berhenti berkat dirinya.
Jika seorang gadis yang mengajakku, aku akan pertama-tama memeriksa sekelilingku mencari teman yang memaksanya memainkan permainan pinalti, dan bahkan setelah itu aku akan menolaknya hanya untuk berjaga-jaga, tapi…
Totsuka seorang laki-laki.
…laki-laki, lontong.
Meski begitu. Aku diliputi oleh rasa aman yang absolut karena Totsuka itu seorang laki-laki.
Dalam kasus Totsuka, dia bisa bertingkah sebaik yang dia inginkan padaku tanpa membuatku salah paham. Jika aku menyatakan cintaku padanya hanya untuk ditolak mentah-mentah, itu tidak akan mengakibatkanku banyak luka. Tapi dipikir lagi, menyatakan cintaku pada seorang laki-laki akan mengakibatkanku luka yang tiada henti di masyarakat.
Karena seperti itu kejadiannya, aku menemukan bahwa aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya. “Tentu, tidak seperti aku ada hal yang lebih baik untuk dikerjakan di rumah selain membaca buku.”
Tidak ada yang benar-benar mengejutkan mengenai itu. Membaca buku, membaca komik manga, menonton anime yang kurekam, memainkan sebuah game, belajar ketika aku bosan – itulah kemungkinan yang terjadi padaku. Hidupku benar-benar begitu penuh dengan kesenangan dan game, itulah kutukanku.
“Begitu ya, baguslah kalau begitu… j-jadi ayo kita pergi ke stasiun?”
“Kamu mau naik di belakangku?” tanyaku, menepuk tempat duduk sepedaku dengan pelan.
Itu tidak begitu jarang bagi dua laki-laki untuk menaiki sepeda bersama-sama. Lebih seperti itu suatu pemandangan yang umum. Jadi aku tidak merasa ada sesuatu yang aneh mengenai Totsuka duduk di jok sepeda, mengalungkan lengannya padaku dan berkata, “Hachiman… punggungmu begitu lebar.”
Tapi Totsuka menggelengkan kepalanya.
“T-tidak usah. Aku berat, kamu tahu…”
Bagaimanapun kamu menjulingkan matamu, dia terlihat lebih ringan dari seorang gadis… Aku baru saja mau mengatakan sesuatu seperti itu, tapi aku menahan diriku dan menjawab dengan hanya sepatah “Begitu ya”. Totsuka benar-benar tidak suka diperlakukan seperti seorang gadis.
“Agak sedikit jauh ke stasiun, tapi ayo jalan ke sana bersama.” Dengan senyuman malu-malu, Totsuka mulai berjalan pada jalannya.
Aku mengikuti selangkah di belakangnya, sambil mendorong sepedaku bersamaku.
Di sepanjang perjalanan, dia akan kadang-kadang melihat padaku, seakan mencoba mengintip ekspresiku. Dia melangkah lima langkah dan mengintip ke arahku, dan kemudian setelah delapan langkah dia mengintip lagi. Um, dia benar-benar tidak perlu begitu khawatir tentang apakah aku benar-benar mengikutinya atau tidak.
Tanpa mengatakan apapun pada satu sama lain, kami berputar di sudut taman di samping Saize dan menjalani jalan itu sampai melewati jembatan penyebrangan. Seperti pasangan murid SMP yang sedang berkencan, kesempatan yang bagus untuk membuka mulut kami terbang di depan kami, bahkan selagi kami bertukar pandangan sembunyi-sembunyi.
Ada rasa sakit yang manis di dalamnya. Jantungku berdebar begitu kencang sampai-sampai kupikir aku mau mati.
Jembatan yang menyebrangi jalan raya nasional itu merupakan sebuah bangunan bertingkat dua; mobil pada tingkatan atas dan pejalan kaki pada tingkatan bawah. Selagi angin menghembus pergi asap kenderaannya, sebuah semilir angin menyegarkan meniup ke naungan jembatan ini.
“Sungguh semilir yang menyegarkan, Hachiman.” Seakan atas aba-aba, Totsuka berpaling pada langkah kelima.
Aku ingin mengambil foto senyuman menyegarkannya itu dan menyimpannya dalam bentuk JPEG – seperti itu jenis pemandangan awal musim panas yang indah.
“Mm ya,” kataku. “Ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk tidur siang.”
“Hachiman, kamu tidur begitu banyak saat jam istirahat dan kamu masih ingin tidur sekarang?” kata Totsuka sambil terkekek. Namun, dia keliru mengenaiku. Aku tidak ada siapapun untuk berbincang-bincang, dan karena tidak ada yang bisa dilakukan, aku pikir aku cukup tidur saja untuk melewati waktunya…
“Kamu tahu, di Spanyol mereka ada sebuah tradisi yang disebut siesta, dan tergantung bagaimana kamu melakukannya, rasa kantuk dan kelesuan hilang dan efisiensi kerjamu akan naik di sore hari. Aku dengar itu umum di sana.”
“Wow… kamu benar-benar berpikir panjang mengenai kebiasaan tidurmu, Hachiman.”
“Er, kurasa.”
Tentu saja, aku tidak memiliki niat itu sama sekali dan hanya mengarang-ngarang semua omong kosong itu, tapi dia menerima itu semua dengan begitu antusias. Itu membuatku kelimpungan sedikit. Aku agak tercengang akan betapa besarnya kepercayaan yang Totsuka miliki padaku, melihat dari betapa mudahnya untuk mengelabui dirinya. Dia bisa dimanfaatkan oleh orang jahat suatu hari nanti, yang menguatirkan. Aku harus melindunginya!
2-2
Setelah kami selesai menyebrangi jembatan penyebrangan itu, stasiunnya tidak terlalu jauh lagi. Kami berdua berjalan lurus bersama pada kecepatan yang sudah biasa bagi kami. Saat stasiunnya masuk ke dalam pandangan, laju berjalan Totsuka agak melambat. Dia terlihat bimbang tentang mau pergi kemana.
“Kemana kamu mau pergi?” tanyaku.
“Um… suatu tempat untuk bersantai sejenak.”
“…jadi kamu sudah mengumpulkan cukup banyak stres, benar?”
Apa perasaan bersalah mengerikan yang datang padaku ini? Oh, ya, itu mengingatkanku pada suatu kali kucing kami hanya berkeliaran di dekatku dan aku menganggunya terlampau sering sampai aku berakhir dicakarinya… dan berkat itu, kucing kami tidak mau membiarkanku menggendonginya pada lenganku lagi sampai hari ini. Ketika kamu menganggu jenis hewan peliharaan domestik ini terlampau sering, mereka benar-benar mengumpulkan stres, kamu tahu. Sebaiknya berhati-hati ketika menghadapi Totsuka.
“Er, uh, itu bukan soal aku…”
“Aku tidak benar-benar mengerti apa yang kamu maksud, tapi kamu bisa pergi ke karaoke atau ke arcade, kurasa.”
“Tidak apa-apa terserah yang mana?” Totsuka bertanya padaku dengan bimbang.
Itu membuatku berpikir untuk sejenak.
Karaoke sudah pasti menyantaikan. Itu terasa cukup enak untuk dengan diam terus memasukkan lagu-lagu sendirian dan menyanyikan sebuah lagu hebat dengan penuh semangat. Hanya saja, tenggorokanmu dan semangatmu akan sudah hancur pada lagu kelima, dan ketika pelayan karaokenya datang dengan minuman dan melihatmu seperti itu, kata-kata tidak mampu mengungkapkan betapa terasa menyuramkannya itu. Dan perasaan “Apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku…?” setelah kamu selesai begitu dasyat.
Arcade sama menyantaikannya. Game-game perkelahian dimonopoli oleh para veteran, dan rakyat jelata yang masuk hanyalah lawan yang mudah. Kamu bisa bersenang-senang memainkan permainan kuisnya. Karena pertandingan internet sedang marak-maraknya belakangan ini, penantang-penantang level-nasional dan turnamen-turnamen juga bermunculan. Itu tentu terasa enak untuk membisikkan “Heh, si bodoh dungu” selagi kamu menghabisi lawan-lawanmu. Itu memakanku tiga jam untuk menyadari aku sedang mengincar sesuatu pada skala menjajah Shanghai atau Tembok Raksasa China dan bahwa itu benar-benar begitu buang-buang waktu. Perasaan “Apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku…?” setelah aku selesai juga begitu kuat.
Fakta bahwa yang manapun itu akan berakhir dengan diriku bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan dengan hidupku itu agak bermasalah.
Karaoke atau arcade – itu kira-kira mirip dengan Dotch Cooking Show dimana kamu dipaksa untuk memilih salah satu[2].. Itulah Chiba. Aku sudah bersiap untuk momen-momen seperti ini.
“Yah, kalau kita pergi ke Big Mu, disana ada kedua-duanya.”
Big Mu adalah sebuah taman hiburan serba-guna, jadi tentu saja Big Mu dilengkapi dengan bar karaoke, sebuah arcade dan bahkan sebuah pusat bowling, ruang biliar dan rumah minum. Yah, area gamenya dipadati oleh semua tersangka-tersangka biasa, jadi pada saat kami memang pergi kesana aku ingin membuat tindakan berjaga-jaga yang cukup sebelum pergi.
“Begitu ya… kalau begitu ayo kita pergi ke Big Mu.”
Atas desakan Totsuka, aku mendorong sepedaku keluar dari bundaran jalan raya di stasiun dan memarkirkannya di area parkir sepeda di Big Mu.
Sesudah kami sampai ke lantai atas menaiki liftnya, kami berjalan ke arcade, setelah memutuskan untuk mengecek tempat itu dulu. Ketika aku melangkahkan kakiku ke dalam aulanya, aku dilanda oleh banjiran suara-suara seakan sebuah dunia yang benar-benar berbeda sedang terbuka di depan mataku: lampu dekoratif yang berkerlap-kerlip, asap rokok yang membumbung tiada henti, jeritan tawa yang menolak untuk diredam oleh semua kehiruk-pikukan tersebut.
Persis di depanku, terdapat sebuah tempat game crane.
Segera setelah aku melihat seorang pasangan sedang mengoperasikan cranenya dan sedang membuat keributan yang luar biasa dasyatnya dengan gelak tawa mereka, aku ingin pulang. Sialan, Preman-san, apa yang menahan kalian begitu lama? Tolong segera buru rakyat jelata ini, dan selagi kalian melakukannya, tolong berbaik-hatilah pada para polisi dengan menghajar diri kalian satu sama lain.…
Si pria kelihatannya sedang kesusahan dengan game crane itu, karena dia sedang bernegosiasi dengan salah satu pegawainya dan membuatnya memindahkan salah satu mainan lembut itu untuknya. Kelihatannya mendapatkan mainan untuk pelangganmu adalah bagian dari pelayanannya sekarang ini. Sungguh sudah mulai longgar disini…
Menyelip melewati pasangan tersebut, Totsuka dan aku berpaling ke tempat video game.
“Whoa, ini begitu keren…” beber Totsuka.
Itu adalah sebuah pemandangan yang sudah terbiasa bagiku, tapi kelihatannya bagi Totsuka itu adalah pemandangan yang masih baru berkilau.
Ada game berkelahi di depanku, dan di jantung arcade terdapat tipe-permainan di atas meja seperti puzzle dan mahjong, dengan game-game tembak-tembakan terhimpit di antara kedua game itu. Di sebelah kananku terdapat meja game kartu. Kelihatannya di dalam arcade ini, game kartu lumayan sukses. Game berkelahi dan mahjong wajar-wajar saja populer, sementara hanya ada segelintir orang yang tersebar di sana-sini yang mencari game kuis. Tempat dimana kamu benar-benar tidak boleh menurunkan kewaspadaanmu adalah game tembak-tembakan dan game puzzle. Kadang-kadang, kamu akan berpapasan dengan orang mirip zombie yang kelihatannya tidak ada kehidupan lain selain mendapatkan skor yang bodohnya tinggi, dan kadang-kadang ada keramaian yang berkumpul untuk menonton mereka bermain.
“Hachiman, apa yang biasanya kamu mainkan?”
“Uh… game kuis dan Shanghai, kurasa.”
Seperti yang bisa kalian duga, aku tidak bisa mengatakan strip Mahjong.
Yang penting, jika hanya kami berdua yang bermain-main, game kuis merupakan pilihan yang aman. Kuis Akademi Sihir yang biasanya kumainkan terletak di dekat game-game berkelahi. “Totsuka, sebelah sini,” kataku, sambil melambai saat aku berbicara karena sekeliling kami yang ribut.
Totsuka mengangguk, dan kemudian dia mengengam lengan baju kausku. Yah, uh… Kurasa karena ini adalah yang pertama kali Totsuka datang kemari dan semacamnya, dia kira-kira harus melakukan ini supaya dia tidak tersesat. Yap, tidak ada yang tidak biasa mengenai ini sama sekali. Ini super wajar-wajar saja.
Kemudian, selagi kami sedang melewati tempat game berkelahi, mataku berpapasan dengan sebuah sosok familier yang mengenakan jas mantel. Lengannya dilipat dengan angkuh dan dia mengenakan sarung tangan pelindung hebat pada pergelangan tangannya , dan setiap kali dia bergelak tawa, rambut bun yang terikat di belakang kepalanya akan bergoyang sedikit.
Dia sedang berdiri dengan segerombolan orang yang berkumpul di sekitaran pemain game berkelahi, dan kadang-kadang dia akan membisikan sesuatu pada orang lain dan mereka akan berbincang-bincang dengan ramah.
“Um, Hachiman…” Ekspresi Totsuka penuh dengan kebingungan. “Apa itu Zaimo-?”
“Itu orang lain.” Aku memotong pertanyaannya.
Tentu, dia terlihat familier. Tapi kami tidak mengenal satu sama lain.
Tidak ada satupun orang di antara kenalanku yang bisa berbicara dengan begitu nyamannya dengan orang lain. Bagaimanapun, dia adalah si pria tanpa teman.
“Oh, begitu ya… Aku pikir dia itu Zaimokuza-kun…”
“Lontong, Totsuka, jangan panggil namanya.”
“Hmm? Suatu suara melafalkan nama saya… wah oh astaga! Bukankah ini Hachiman!”
…jadi dia menyadari keberadaan kami, huh.
2-3
Salah satu ciri khusus para penyendiri dikenal sebagai “bertingkah berlebihan ketika mendengar nama mereka”. Biasanya, jarang sekali seseorang pernah memanggil nama mereka, jadi pada saat-saat langka seorang penyendiri memang mendengar nama mereka dipanggil, mereka cenderung bertingkah berlebih-lebihan. Sumber: diriku. Mereka membuat beberapa reaksi tolol seperti berkoak-koak dengan tingkah yang terlampau kaget. Seperti, itu berada pada level menjawab dengan refleks ketika pengumum mengatakan, “Pemberhentian selanjutnya adalah Ichigaya,” pada jalur kereta api Soubu.
“Siapa sangka aku akan bertemu denganmu di tempat ini. Mengapa kamu berada di sini?” Zaimokuza berhenti sejenak. “Ini adalah medan pertempuran, kamu tahu. Sebuah tempat bagi mereka yang siap untuk membuang nyawa mereka.”
“Um, Aku hanya diajak kemari oleh Totsuka seperti orang normal,” tunjukku, menolak untuk bermain dengan main-peran Zaimokuza yang menjengkelkan.
Reaksi Zaimokuza adalah membuat mata sok polos paddaku. Tidak imut. “Jadi Hachiman, apakah kamu ada semacam kerjaan untuk dilakukan disini?”
“Nah, Aku hanya datang untuk menyantai.”
“Bilang apa?! Tunggu dulu. Kamu sedang melakukan ini dengan Tuan Totsuka?” Zaimokuza melirik ke arah Totsuka, matanya melebar dengan keterkejutan yang berlebihan. Itu membuat Totsuka tersentak dan mundur ke balik punggungku.
“Uh, ya…” kataku.
“Oho, Aku akan bersama dengan kalian untuk sekarang ini.” Zaimokuza meninggalkan kami dengan sempoyongan, dengan sebuah seringai yang lebar namun tidak mengenakkan di wajahnya. Kelihatannya dia sedang mengucapkan selamat tinggal pada orang yang sedang berbincang dengannya barusan tadi. Kurang dari satu menit berlalu sebelum dia kembali, dengan mendesah berat. “Kalau begitu sekarang, ayo kita jalan.”
“Um, kamu sadar kami tidak pernah mengajakmu…”
Zaimokuza, yang entah kapan membuat keputusannya untuk menemani kami berdua, terus berdesah sampai bahunya bergetar. Dia mengusap keringatnya dengan lengan bajunya, seakan dia tidak ada waktu untuk keberatan malasku.
“Hei, Zaimokuza, apa pria barusan itu temanmu atau semacamnya?”
“Nai. Dia seorang Arcanabro.”
“Uh, Aku tidak sedang menanyakan nama alias orang itu, kamu tahu.”
“Hm? Itu bukan nama aliasnya. Nama aliasnya itu Ash si
Catatan Translasi
<references>
- ↑ Ini adalah referensi pada bentuk bisnis grup idola AKB48 yang terkenal, yang seluruhnya terdiri dari gadis imut. Tiket-tiket diikut-sertakan dalam CD-CD tertentu yang mengizinkanmu datang ke sebuah acara jabat tangan, dimana kamu bisa bertemu anggota grup idola itu secara langsung..
- ↑ The Dotch Cooking Show adalah acara memasak Jepang. Tiap episode, dua koki memasak dua masakan yang bersaing, tapi masakannya hanya disajikan pada juri yang memilih masakan dengan voting mayoritas